Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

(1)

1.1 Latar Belakang

Hutan kerangas merupakan salah satu tipe ekosistem di Indonesia yang dilindungi karena kekhasan ekosistem dan fungsi ekologisnya. Hutan kerangas yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah podsol, tanah pasir kuarsa, miskin hara dan pH rendah (Whitmore 1984). Hal ini menyebabkan hutan kerangas rentan terhadap gangguan (Hilwan 1996 diacu dalam Onrizal et al. 2005). Hutan kerangas juga kurang mendapat perhatian serius dalam pelestarian komponen ekosistem karena kondisi fisik yang memberi kesan tidak produktif pada hutan kerangas.

Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki hutan kerangas adalah Pulau Belitung. Spesies tumbuhan yang tercatat di Pulau Belitung hanya 174 spesies (Dinperhut 2009). Secara perlahan tutupan hutan yang ada di Belitung semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya perkebunan karet dan kelapa sawit, penambangan timah dan pasir kuarsa, illegal logging, serta pembangunan daerah. Khususnya di Kabupaten Belitung Timur yang merupakan kabupaten pemekaran sejak tahun 2003.

Lantai hutan kerangas yang kering memengaruhi spesies tumbuhan yang tumbuh di atasnya. Menurut Zuhud (2009), setiap individu dari populasi tumbuhan yang tumbuh secara alami di masing-masing tipe ekosistem hutan merupakan suatu unit terkecil dari pabrik alami yang melakukan proses metabolis sekunder yang menghasilkan beranekaragam bahan bioaktif yang khas dan berpotensi sebagai obat.

Dewasa ini, kecenderungan penggunaan obat herbal semakin meningkat. Namun hal tersebut belum diimbangi dengan kesadaran akan potensi tumbuhan obat lokal yang ada. Penggalian pengetahuan lokal terkait khasiat tumbuhan di hutan kerangas sebagai obat-obatan perlu dilakukan sebagai dasar pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan secara lestari. Sumberdaya alam yang ada saat ini merupakan modal potensial bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Modal


(2)

potensial tidak akan bermanfaat secara optimum apabila tidak dikelola dengan baik (Soenjoto 2007).

Salah satu contoh masyarakat yang masih memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan tradisional adalah masyarakat Melayu Belitung. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Melayu Belitung sudah dilakukan secara turun temurun. Pemanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan salah satunya, yaitu pembuatan ramuan tradisional untuk wanita setelah melahirkan, sekurangnya membutuhkan 44 spesies tumbuhan obat (Fakhrurrazi 2001).

Maraknya pengembangan sektor perkebunan, penambangan, pariwisata, pertanian, perikanan, pertambangan dan jasa publik lainnya diharapkan tidak mengesampingkan sektor kehutanan sebagai penyangga ekosistem. Kenyataan ini menuntut upaya keras pengelolaan hutan kolaboratif dan tersistem untuk menyelamatkan sumberdaya hutan yang masih tersisa (Nurrochmat et al. 2009). Sebelum kehilangan kekayaan alam di hutan kerangas dan kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam, maka penting dilakukan penelitian terkait komposisi vegetasi dan potensi tumbuhan obat. Masyarakat sudah semestinya diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan potensi yang ada.

1.2 Tujuan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi komposisi vegetasi hutan kerangas.

2. Mengidentifikasi potensi tumbuhan obat di hutan kerangas berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data flora Belitung Timur dan menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung Timur. Dokumentasi data dan informasi terkait potensi tumbuhan obat diharapkan dapat menjadi modal pengembangan masyarakat lokal khususnya dan masyarakat Belitung pada umumnya.


(3)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Kerangas

Hutan kerangas merupakan salah satu ekosistem di Sumatera yang dikelompokkan ke dalam uncommon lowland forest bersama 2 tipe ekosistem lainnya yaitu hutan kayu ulin (ironwood forest) dan ekosistem karst (forest on limestone) (Whitten et al. 1984). Hutan kerangas di Sumatera hanya dapat dijumpai di pulau Bangka dan Belitung, namun dalam area yang kecil juga dapat dijumpai di kepulauan Natuna (Whitten et al. 1984). Hilwan (1996) diacu dalam Onrizal et al. (2005) menyebutkan bahwa selain di Belitung, hutan kerangas juga ditemukan di Sumatera dan Singkep.

MacKinnon et al. (1996) menyebutkan bahwa hutan kerangas adalah ekosistem khusus dan mudah dikenali di seluruh formasi hutan hujan dataran rendah. Kalimantan memiliki areal hutan kerangas yang paling luas di Indonesia. Hutan kerangas diberi nama heath forest oleh Richard (1996) yang merupakan vegetasi khusus di Sarawak. Deskripsi ilmiah terkait hutan kerangas Kalimantan pertama kali disampaikan oleh Beccari (1904) diacu dalam MacKinnon et al. (1996).

Secara umum, hutan kerangas tumbuh di daerah dataran rendah beriklim selalu basah. Di daerah Malesia, hutan kerangas tersebar secara terbatas di Kalimantan (Indonesia), Sarawak dan Sabah (Malaysia), dan Brunei.Biasanya, banyak ditemukan di daerah yang berbukit-bukit (Whitmore 1984).

Pulau Belitung didominasi oleh tanah podsol. Hal ini menyebabkan hutan kerangas dan vegetasi padang sebagai ekosistem paling umum dan khas. Sistem perladangan masyarakat asli dalam mengolah tanah, memengaruhi ekosistem setempat. Ekosistem di belitung meliputi ekosistem alami (Ai, Rimba, Padang, Pesisir dan Bakau), buatan (Ume dan Pekarangan) dan suksesi (Bebak, Bebak usang, Kelekak dan Kelekak usang) (Fakhrurrazi 2001).

2.2 Tanah Hutan Kerangas

Hutan kerangas merupakan salah satu hutan penting Indonesia yang tumbuh di atas tanah podsol, tanah pasir kuarsa yang sarang, miskin hara dan pH


(4)

rendah. Hal ini menyebabkan, hutan kerangas rentan terhadap gangguan (Hilwan 1996diacu dalam Onrizal et al. 2005). Kondisi fisik yang berpasir, kering dan gersang memberi kesan tidak produktif pada hutan kerangas. Kegiatan pertanian tidak dapat berlangsung di lahan hutan kerangas. Ekosistemnya mudah rusak dan sulit dikembalikan lagi jika sudah terganggu. Keterbukaan hutan kerangas akan mengakibatkan timbulnya padang savana yang gersang (MacKinnonet al.1996).

Biasanya tanah di hutan kerangas berasal dari material mineral silika yang tak terpisahkan dengan tekstur yang kasar. Tanah yang terikat di hutan kerangas atau di bawah semak-semak berwarna hitam kecokelatan, hal ini disebabkan oleh dekomposisi bahan organik. Sedangkan di padang terbuka, umumnya berwarna putih dengan ketebalan sekitar 0,5 – 5 cm di sekitar lapisan yang lebih gelap. Tanah di hutan kerangas dikenal dengan nama white-sand soils. White-sand soils

terbentuk akibat erosi pantai dan adanya pengangkatan dasar laut ke permukaan. Keadaan yang berlangsung terus-menerus ini akan membangun lapisan yang keras (podsol). Deskripsi podsol tropika pertama kali dikemukakan oleh Hardon (1937) diacu dalam Whitten et al. (1984) dari sebuah tanah padang di Pulau Bangka (Tabel 1).

Tabel 1 Deskripsi podsol dari Pulau Bangka Horizon Kedalaman (cm) pH Deskripsi

A0 0-10 2.7 Sebagian hitam, terdekomposisi material organik yang bercampur dengan kuarsa

A1 10-25 3.9 Lapisan pasir kuarsa yang sudah lepas lapisan hitam keabuan

A2 25-40 6.1 Lapisan pasir kuarsa yang sudah lepas lapisan putih keabuan

B1 40-70 3.9 Cokelat tua yang kompok dengan pasir kuarsa B2 70-100 4.6 Lapisan pasir kuarsa yang sudah lepas warna

cokelatnya Sumber: Hardon (1937) diacu dalam Whitten et al. (1984)

Tingkat porositas, pencucian tanah dapat dikatakan tinggi dan cepat sehingga rendah dalam penyimpanan hara. Oleh karena itu, white-sand soils

mungkin di antara tanah-tanah yang miskin haranya, tanah ini termasuk yang paling miskin haranya di dunia (Mohr et al. 1954 diacu dalam Whitten et al. 1984)

Hutan kerangas di Belitung, tumbuh di atastanah teraja’, yaitu lahan dengan jenis tanah podsol (pasir putih, batuan kuarsa) dengan lapisan batuan


(5)

bawahnya kedap air, seperti tanah liat, batu granit dan tanah kaolin. Pada musim hujan sering tergenang dan biasanya air genangan berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan tanah berwarna hitam yang mudah larut (Fakhrurrazi 2001). Whitten et al. (1984) juga menyebutkan bahwa air yang mengalir dari hutan kerangas umumnya berwarna kehitaman.

2.3Vegetasi Hutan Kerangas

Belum ada survei mendetail terkait hutan kerangas yang diselenggarakan di Bangka ataupun Belitung, sehingga banyak yang mengikuti kajian yang dilakukan di Sarawak dan Brunei. Beberapa aspek hutan kerangas memberi kesan dalam terbatasnya produktivitas karena rendahnya kandungan nutrisi di tanah. Pertama, biomassa hutan kerangas lebih rendah daripada hutan dataran rendah yang tumbuh di atas tanah latosol. Kedua, tumbuhan dengan sumber nutrisi tambahan menunjukkan keadaan yang biasa, misalnya myrmecophytes dan insektivora. Ketiga, hutan kerangas sangat mudah rusak menjadi padang jika dibakar atau ditinggalkan setelah dilakukan ladang berpindah. Spesies yang banyak dijumpai pada ekosistem ini antara lain Calophyllum sp., Garcinia sp., dan Syzygium sp. (Whitten et al. 1984).

Kissinger (2002) menyebutkan bahwa dari sampel hutan kerangas yang diamatinya, hutan kerangas yang tingkat gangguannya paling tinggi memiliki keanekaragaman tumbuhan yang rendah, karena sebarannya cenderung berkelompok. Menurut Hilwan (1996) diacu dalam Onrizal et al. (2005) spesies-spesies yang sering dijumpai terutama Dacrydium elatum, Agathis borneensis, Tristania dan Casuarina sumatrana. Umumnya keanekaragaman tumbuhan di hutan kerangas lebih sedikit jika dibadingkan dengan hutan hujan dataran rendah lainnya (Proctor et al. 1983). Satu hal keistimewaan hutan kerangas yang harus diperhatikan yaitu spesiesnya merupakan yang paling menonjol di genus yang ada di Australia. Keterwakilan famili Myrtaceae yang paling jelas di hutan kerangas, khususnya Tritaniopsissp. dan Syzygiumsp.. Spesies lain yang dapat dijumpai yaitu dari famili Rubiaceae, dan Melastomaceae (Whitmore 1984).

Beberapa spesies tumbuhan yang dapat dimakan hidup di lahan hutan kerangas Belitung yaitu sebagian besar anggota dari famili Myrtaceae, seperti jemang (Rhodamia cinerea), keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’en


(6)

(Melastoma polyanthum) dan simpor bini (Dillenia suffruticosa), kemudian dari jenis Syzygium dan lainnya dari Ericaceae yaitu perai laki (Vaccinium bancanum), perai bini (V. bracteatum), dari Clusiaceae seperti melak (Garcinia bancana), kiras (G.hombroniana) dan kandis (G.parvifolia), serta dari jenis Rubiaceae antara lain tenam (Psychotria viridiflora) dan tempala’en (Timonius sp.). Kesemua spesies ini amat toleran atau telah teradaptasi dengan baik pada kondisi ekosistem padangan, seperti lahan hutan kerangas yang kurang menguntungkan (Fakhrurrazi 2001).

Hutan kerangas memiliki karakteristik komposisi vegetasi yang khusus, berbeda dengan hutan campuran dataran rendah pada umumnya. Pohon-pohon tampak pendek dan kurus-kurus. Spesies yang sering dijumpai di Sarawak antara lain Casuarina nobilis, Dacrydium dan Podocarpus (Jacob 1988 diacu dalam MacKinnon et al.1996). Berdasarkan penelitian Onrizal (2004), komposisi spesies di hutan kerangas Taman Nasional Danau Sentarum didominasi oleh tingkat pertumbuhan pancang dan sebagian besar anggota famili Dipterocarpaceae.

Pada kondisi lantai hutan yang berpasir dan miskin hara, air hujan terserap dengan cepat, sehingga kapasitas tumbuhan mengikat air di akar relatif kecil. Namun tumbuhan di hutan kerangas teradaptasi secara fisiologis yaitu dengan adaptasi morfologi vegetasi hutan kerangas yang kecil dan seragam, daun yang berkilat dan kecil-kecil, hal ini untuk mengurangi besarnya penguapan yang dilakukan (Whitmore 1990 diacu dalam MacKinnon et al. 1996). Regenerasi hutan kerangas yang telah terganggu sulit dilakukan karena rendahnya nutrisi dan pH tanah yang terlalu asam. Semaian yang bertahan sangat sedikit, kecuali spesies yang sudah teradaptasi seperti Hoya multiflora, Schizaea dichotoma dan

Nepenthes spp. (Riswan & Kartawinata 1988).

2.4Perlindungan Hutan Kerangas

Keberadaan hutan kerangas saat ini dinilai sangat penting. Dalam hal ini, bukan hanya untuk melindungi tumbuhannya lalu diambil kayunya, karena manfaat terpenting hutan kerangas adalah manfaat yang tidak langsung, seperti penyerapan karbon, perlindungan tata air, habitat satwaliar, ekowisata dan lainnya (Onrizal 2004). Menurut masyarakat Belitung, lahan dengan jenis tanah teraja’tidak boleh dibuka (digarap), karena lahan inimerupakan lingkungan yang


(7)

amat rawan dan perlu daerah penyangganya yaitu teraja’ malangen. Jenis-jenis tumbuhan buah-buahan liar edibel yang tumbuh di tana teraja’ berperan penting dalam menjaga kerawanan lahan ini. Kerusakan di lingkungan teraja’, kemudian hari tak bisa dikembalikan seperti semula (Fakhrurrazi 2001)

Konsorsium Revisi High Conservation ValueForest (HCVF) Toolkit Indonesia (2008) menyebutkan bahwa hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alami dengan ditambah zona penyangga minimal satu kilometer dimana kegiatan pemanfaatan harus seminimal mungkin.

Area hutan kerangas yang utuh ataupun yang telah terganggu saat ini tidak diketahui, tapi mungkin akan terus berkurang. Ini mungkin merupakan ekosistem Sumatera yang paling berbahaya dan harus ditangani sesegera mungkin (Whitten

et al. 1984).

2.5 Tumbuhan Obat

Pengetahuan masyarakat tentang potensi dari tumbuhan obat yang ada disekitar hutan sering diangap sebagai pengetahuan yang kuno, ketinggalan jaman, kolot dan hanya sebagai takhayul semata. Padahal pengetahuan inilah yang akan mengikat manusia untuk menumbuhkan sikap memiliki terhadap sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu;

1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya memiliki obat dan telah digunakan sebagai bahan obat tradisional. 2. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah

dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki khasiat obat tetapi belum dapat dibuktikan secara medis.


(8)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2011 di Kabupaten Belitung Timur. Lokasi pengambilan data pada 3 tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu;hutan kerangas primer (Rimba) di Hutan Lindung Gunung Sepang Desa Kelubi Kecamatan Manggar, hutan kerangas sekunder (Bebak) di Bebak milik masyarakat Desa Kelubi Kecamatan Manggar dan hutan kerangas khusus (Padang) di Hutan Lindung Gunung Sepang Kecamatan Kelapa Kampit (Gambar 1).

Gambar 1 Lokasi penelitian di hutan kerangas.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data dan informasi terkait hutan kerangas setempat dan sampel tumbuhan yang digunakan untuk pembuatan herbarium. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Peralatan analisis vegetasi: kompas, pita meter (1,5m), meteran (20m), tambang plastik (20m), tali rafia, parang, dan buku identifikasi tumbuhan. 2. Peralatan pembuatan herbarium: kertas koran, alkohol 70%, gunting dan


(9)

3. Peralatan dokumentasi: GPS, alat tulis, tallysheet, label dan kamera.

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer yang dikumpulkan terdiri dari spesies tumbuhan (nama lokal, ilmiah, dan famili), jumlah individu, spesies tumbuhan yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat sekitar, bagian tumbuhan obat yang digunakan dan cara penggunaan.

b. Data sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan berupa informasi terkait kondisi umum lapangan yang meliputi sejarah kawasan, letak, luas, kondisi tanah, topografi, iklim, kondisi vegetasi, satwa, dan masyarakat sekitar kawasan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Data primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode analisis vegetasi dan pembuatan herbarium.

1.Analisis vegetasi

Analisis vegetasi yang digunakan yaitu metode kombinasi jalur dan garis berpetak (Kusmana 1997) Dalam metode ini, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur, yaitu pada jalur yang lebarnya 10 m dan panjangnya 100 m, sebanyak 10 jalur di setiap tipe hutan kerangas. Jarak antar jalur yang digunakan adalah 50 m. Penempatan jalur menggunakan metode systematic sampling

(Gambar 2).

Dalam setiap jalur dibuat petak contoh berukuran 10 x 10 m2 dan minimal terdiri dari 10 petak contoh. Selanjutnya petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi sub petak sesuai tingkat pertumbuhan vegetasinya, yaitu:

a. Petak ukur semai(2 x 2) m2, yaitu anakan dengan tinggi ≤ 1,5 m dan semak/ perdu, tumbuhan bawah dan liana/ rotan/ pandan.

b. Petak ukur pancang (5 x5) m2, yaitu anakan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batang setinggi dada< 10 cm.


(10)

c. Petak ukur pohon (10 x 10) m2, yaitu diameter batang setinggi dada ≥ 10 cm.

Keterangan: petak ukur (2x2) m2 untuk semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan (a), petak ukur (5x5) m2 untuk pancang (b) dan petak ukur (10x10) m2 untuk pohon.

Gambar 2 Desain petak-petak contoh di lapangan. 2. Pembuatan herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan pada semua spesies tumbuhan yang ditemukan di plot pengamatan (Onrizal 2005). Tahapan-tahapan dalam pembuatan herbarium yaitu:

a. Mengambil contoh herbarium berupa ranting yang lengkap dengan daunnya, pengambilan contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi.

b. Contoh herbarium yang diperoleh dipotong dengan menggunakan gunting dengan panjang sekitar 40 cm.

c. Contoh herbarium yang telah dipotong diberikan label berukuran 3x5 cm. Label ini berisi informasi tentang nomor plot, nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan data dan nama pengumpul.

d. Setelah diberikan label, masukan ke dalam kertas koran dan disusun dalam sasak yang terbuat dari bambu.

e. Masukkan sasak tersebut ke dalam kantong plastik dan basahkan kertas koran dengan alkohol 70% hingga rata dan agak terendam untuk penyimpanan.

f. Herbarium yang akan diidentifikasi dioven pada suhu 50 – 700C.

g. Herbarium yang sudah kering, diidentifikasi nama ilmiahnya berdasarkan ciri morfologi maupun keterangan yang tertera pada label.


(11)

3. Wawancara

Data dan infornasi terkait khasiat sebagai obat diperoleh melalui wawancara masyarakat sekitar kawasan hutan kerangas dengan teknik in depth interview. Penetapan responden pertama secara purposive sampling (memilih informan kunci) kemudian dilakukan dengan teknik snowball, yaitu memilih unit-unit yang mempunyai karakteristik langka dan unit-unit-unit-unit tambahan yang ditunjukkan oleh responden sebelumnya (Sarwono 2011). Jumlah seluruh responden yang diambil yaitu sebanyak 25 orang.

3.4.2 Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi literatur dan wawancara. Literatur yang digunakan meliputi buku, laporan penelitian, skripsi, tesis dan jurnal ilmiah lainnya.

3.5Analisis Data

3.5.1 Komposisi vegetasi

Data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi akan dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung Indeks Nilai Penting setiap spesies yang ditemukan.

Kerapatan (K) :

Kerapatan Relatif (KR) :

Dominansi (D) :

Dominansi Relatif (DR) :

 Frekuensi (F) :

 Frekuensi Relatif (FR) :

 Indeks Nilai Penting (INP) :

INP = KR + FR (untuk semai dan pancang) INP = KR + FR + DR (untuk pohon)


(12)

Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif, yang berkisar antara 0 dan 300 (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Untuk tingkat pertumbuhan sapihan dan semai merupakan penjumlahan kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sehingga maksimum nilai penting adalah 200.

3.5.2 Indeks keanekaragaman spesies (H’)

Keanekaragaman spesies tumbuhan ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Ludwig & Reynolds 1988) dengan rumus:

Keterangan:

H’ = Indeks Keanekaragaman spesies ni = Nilai penting spesies ke-i

N = Total nilai penting semua spesies

Makin besar H’ suatu komunitas maka semakin mantap pula komunitas tersebut. Nilai H’ = 0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu contoh (sampel) dan H maksimal bila semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna (Ludwig & Reynolds 1988).

3.5.3 Indeks kekayaan spesies (R)

Kekayaan spesies diukur dengan menggunakan Indeks Margalef (1958) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988), yaitu:

Keterangan : S = Jumlah spesies N = Jumlah individu


(13)

3.5.4Indeks kemerataan spesies (E)

Untuk kemerataan spesies digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Evennes (Ludwig & Reynolds 1988) adalah:

Keterangan:

E = Indeks kemerataan spesies H’= Indeks Shannon-Wiener S = Jumlah spesies

3.5.5 Indeks kesamaan komunitas (IS)

Indeks kesamaan komunitas dihitung untuk membandingkan keanekaragaman spesies antara dua komunitas yang berbeda. Nilai IS teringgi 100% dan terendah 0%, semakin mendekati 100% komunitas tumbuhan yang dibandingkan semakin identik (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974)

Keterangan:

IS = Indeks Kesamaan Komunitas (%)

C = Jumlah nilai penting yang terkecil dari jenis-jenis yang sama terdapat pada kedua komunitas yang diperbandingkan

a = Jumlah nilai penting semua jenis pada salah satu komunitas b = Jumlah nilai penting semua jenis pada komunitas lainnya

3.5.6 Karakteristik responden

Karakteristik responden yang dianalisis meliputi persentase usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan terakhir responden.

3.5.7 Keanekaragaman tumbuhan obat

Persen tumbuhan obat adalah persentase dari tumbuhan obat terhadap jumlah tumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi. Persen tumbuhan obat ini untuk mengetahui potensi tumbuhan yang ada di hutan kerangas.


(14)

3.5.7.1 Persen famili tumbuhan obat

Persen famili adalah persentase dari famili tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat. Persen famili tersebut dapat diperoleh dari :

3.5.7.2 Persen habitus tumbuhan obat

Persentase habitus merupakan telaah tentang besarnya suatu habitus yang digunakan tehadap seluruh habitus yang ada. Habitus tersebut meliputi pohon, semak, perdu, liana dan herba. Adapun rumus yang digunakan adalah:

3.5.7.3Persen bagian yang digunakan

Bagian tumbuhan yang digunakan meliputi daun, akar, buah, bunga, batang, kulit kayu, rimpang dan umbi. Persen bagian yang digunakan diperoleh melalui perhitungan berikut ini:

3.5.7.4 Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit

Tumbuhan obat yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi diklasifikasikan berdasarkan kelompok penyakit menurut fisiologi manusia (Lukaningsih 2011) serta berdasarkan klasifikasi penyakit menular dan infeksi (Novel 2010).

Tabel 2 Kelompok fisiologi manusia dan jenis penyakit No Fisologi Manusia Jenis Penyakit

1. Sistem kerangka dan otot Pegal, kejang, kram, turun berok, patah tulang, keselo, dan lain-lain

2. Sistem pencernaan Gusi bengkak, gigi berlubang, sariawan, magh, diare, tipus, hepatitis, lever, Buang Air Besar (BAB) berlendir, BAB berdarah, kondtipasi, kolik, keracunan makanan, apendisitis dan lain-lain 3. Sistem pernafasan Keracunan gas sianida (CN) dan karbon monoksida


(15)

No Fisologi Manusia Jenis Penyakit

(CO), pilek, kanker paru-paru, asma, TBC, radang paru-paru, sinus dan lain-lain

4. Sistem urinaria Diabetes, beser, kencing batu dan lain-lain 5. Sistem reproduksi Tumor payudara, keputihan, impotensi, gonorea,

prostat, inferlitilisasi, kanker serviks, sifilis, herpes, nyeri haid, dan lain-lain

6. Sitem peredaran darah Stroke, hipertensi, hipotensi, anemia dan lain-lain 7. Sistem syaraf Kurang daya pikir dan lain-lain

8. Kulit, telinga, mata dan wajah Panu, kadas, kurap, koreng, congek, jerawat, sakit mata,

9. Sistem ketahanan tubuh Demam, masuk angin, panas dalam dan lain-lain 10. Lain-lain Malaria, demam berdarah, cacar, campak, tetanus,

kutil, AIDS dan lain-lain yang tidak tercantum Sumber: Lukaningsih (2011),Novel (2010)


(16)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas

Kabupaten Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berdiri pada tahun 2005 dan beribukota di Manggar. Kabupaten Belitung Timur adalah satu kesatuan wilayah daratan dengan kabupaten Belitung Induk. Secara geografis kabupaten Belitung Timur terletak antara 107045’ BT sampai 108018’ BT dan 02030’ LS sampai 03015’ LS dengan luas daratan mencapai 250.691 Ha atau kurang lebih 2.506,91 km2 (BAPPEDA 2007). Batas-batas wilayah kabupaten Belitung Timur adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,

 Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Karimata,

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Belitung.

Lokasi pengambilan data yaitu di hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak) dan hutan kerangas khusus (Padang). Letak Rimba dan Padang yaitu di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Sepang Kecamatan Manggar dan Kelapa Kampit Kabupaten Belitung Timur. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Belitung Timur, luas kawasan ini adalah 19.433,26 Ha (Dinperhut 2009). Sedangkan letak hutan kerangas sekunder (Bebak) yaitu di lahan milik masyarakat Desa Kelubi Kecamatan Manggar.

4.2 Kondisi Fisik 4.2.1Topografi

Keadaan alam Kabupaten Belitung Timur sebagian besar merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 20 – 49 meter di atas permukaan laut dan sisanya merupakan dataran rendah, dan perbukitan (Tabel 3). Dataran rendah di Belitung Timur dibagi menjadi dua yaitu dataran rendah dan dataran pantai (Pratiwi 2010).


(17)

Tabel 3 Klasifikasi bentang alam Kabupaten Belitung Timur Satuan Relief Kelerengan

(%)

Beda Tinggi (mdpl)

Persentase dari total wilayah studi (%) Perbukitan agak curam 30 – 40 600 – 1400 12 Perbukitan bergelombang 15 – 29 50 – 600 8

Dataran tinggi 8 – 14 20 – 49 63

Dataran rendah/ dataran pantai < 8 < 20 17 Sumber: Pratiwi (2010)

4.2.2 Kondisi geologi

Pulau Belitung merupakan pulau yang memiliki geomorfologi perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 0 – 1400 mdpl. Perbukitan dialiri oleh sungai dengan pola dendritik (Suwarna et al. 1994 diacu dalam Pratiwi 2010). Menurut Pratiwi (2010) unit Satuan Kemampuan Lahan (SKL) kesuburan tanah di Belitung Timur 87% termasuk dalam kelas buruk. Hal ini dicirikan dari tingginya kandungan pasir kuarsa, keasaman yang tinggi, pertukaran kation yang rendah, peka terhadap erosi dan sangat kering.

Tabel 4 Unit SKL kesuburan tanah Belitung Timur Tingkat

Kesuburan Tanah

Luas (Ha) Deskripsi Sebaran

Baik ± 10.027 Berupa batupasir, tanah relatif berwarna coklat kehitaman, pasir lepas kuarsa dan lumpur, jenis tanah Lisotol, tanpa/ sedikit perkembangan profil tanah, memiliki batuan induk sedimen keras.

Ds. Bentayan, Ds. Kelubi, Bukit Samak.

Cukup Baik ± 22.562 Berupa batupasir, granodiorit, batupasir kuarsa, jenis tanah Regosol, tanah muda dan belum mengalami diferensiasi horizon, konsistensi lepas-lepas, bahan induk material vulkanik, pH umumnya netral

Sebagian kecil daerah Gantung, Ds. Burung Mandi, Ds. Air Lanci

Buruk ± 281.101 Berupa batupasir, batubesi, batuserpih, batulempung, lumpur dan endapan alluvial, jenis tanah Podsol, tanah tua dan telah mengalami perkembangan profil tanah, kondisi fisik tanah kering dan gersang.

Kec. Kelapa Kampit bagian tengah dan sebagian besar Kec. Gantung

Sumber: Pratiwi (2010)

4.2.3 Iklim

Kabupaten Belitung Timur mempunyai iklim tropis dan basah dengan variasi curah hujan bulanan pada tahun 2008 antara 70,0 mm sampai 401,3 mm dengan jumlah hari hujan antara 9 sampai 26 hari setiap bulannya (BAPPEDA 2007).


(18)

4.3 Kondisi Biologi 4.3.1 Flora

Jumlah flora yang terdapat di Belitung Timur adalah 174 spesies yang sudah teridentifikasi nama ilmiahnya (Dinperhut 2009). Tumbuhan yang diperoleh berasal dari semua tipe hutan, misalnya hutan Dipterocarpaceae campuran, hutan pantai, hutan mangrove, dan lainnya. Spesies-spesies tumbuhan tingkat pohon atau jenis kayu yang diperoleh antara lain, Litsea sp., Syzygium sp.

Shorea sp., Calopyhllum sp., dan Tristaniopsis sp. Selain jenis kayu juga diperoleh spesies perdu, palem, pandan dan tanaman air. Beberapa spesies tersebut yaitu Baeckea frutescens dan Leptospermum flavescens.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, terdapat 34 spesies tumbuhan dan satwa yang dilindungi di seluruh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Beberapa tumbuhan yang dilindungi diantaranya pohon gaharu (Aquilaria malaccensis), pohon ramin (Gonystylus bancanus), anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum).

4.3.2 Fauna

Jumlah fauna yang terdapat di Belitung Timur adalah 46 spesies satwa darat, 16 satwa air tawar dan 46 satwa air lautyang belum teridentifikasi nama ilmiahnya. Keanekaragaman aves lebih tinggi dibandingkan kelas mamalia, reptil dan amfibi. Beberapa jenis burung yang terdapat disana yaitu bangau, bayan, murai batu, pelintang, elang, berebak, rangkong, tiong dan peregam (Dinperhut 2009).

Beberapa spesies satwa dilindungi dalam PP No. 7 Tahun 1999 yang terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung antara lain kukang (Nycticebus coucang), rusa bawean (Axis kuhlii), duyung (Dugong dugong), buaya muara (Crocodillus porosus). Spesies lainnya termasuk dalam Appendix II CITES diantaranya salah satu spesies elang laut (Haliaeetus leucogaster), mentilin (Tarsius bancanus), trenggiling (Manis javanica), musang congkok (Prinodon linsang), biawak (Varanus salvator), monyet (Macaca tonkeana), burung hantu (Otus angelinae), burung betet (Psittacula alexandri) dan burung beo (Gracula religiosa) (Dephut 1999).


(19)

4.4 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar 4.4.1 Jumlah penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Belitung Timur tahun 2007 berjumlah 98.194 jiwa. Hal ini menunjukkan telah terjadi pertambahan jumlah penduduk dibanding tahun sebelumnya sebanyak 6.492 orang atau 7,08 persen. Penduduk di Kabupaten Belitung Timur lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, dimana 50.743 jiwa atau 51,67% laki-laki dan sisanya 47.451 jiwa atau 48,32% adalah perempuan. Khusus di kecamatan Gantung, penduduknya berjumlah 25.257 jiwa (BAPPEDA 2007).

4.4.2 Tingkat pendidikan

Peningkatan sumberdaya manusia sekarang ini lebih diutamakan dengan memberikan kesempatan kepada penduduk untuk mengecap pendidikan seluas-luasnya, terutama penduduk pada kelompok umur 7 – 24 tahun yang merupakan kelompok usia sekolah. Jika dilihat dari angka kelulusan Sekolah Menengah Atas terdapat sepertiga dari peserta ujian nasional yang tidak lulus di tahun 2006 (BAPPEDA 2007).

4.4.3 Mata pencaharian

Sebagian besar penduduk Belitung Timur memiliki mata pencaharian di sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Tidak kurang dari 3000 orang yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Selain di sektor perkebunan, pertambangan pun menjadi pilihan mata pencaharian penduduk Belitung Timur, diantanya penambangan pasir, pasir kuarsa, timah, batu besi dan Golongan C lainnya (BAPPEDA 2007).


(20)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Vegetasi

Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller-Dombois& Ellenberg 1974). Komposisi vegetasi dalam suatu ekosistem akan menjadi satu fungsi dari beberapa faktor, seperti habitat, waktu dan tumbuhan setempat. Perbedaan komposisi vegetasi berdasarkatan tipe habitat dapat dilihat pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan di tiga tipe hutan kerangas (Gambar 3). Hasil rekapitulasi spesies dari ketiga tipe hutan kerangas tersebut diperoleh sebanyak 224 spesies dan 72 famili tumbuhan dari berbagai habitus dan tingkat pertumbuhan pohon (semai, pancang dan pohon).

Gambar 3 Jumlah spesies di tiga lokasi hutan kerangas.

Famili tumbuhan yang anggotanya banyak ditemukan yaitu Myrtaceae (27 spesies), Clusiaceae (15 spesies), Rubiaceae (13 spesies), Euphorbiaceae (14 spesies) dan Fabaceae (8 spesies). Spesies-spesies dari Myrtaceae cenderung teradaptasi dengan baik di lahan yang kritis seperti di hutan kerangas sehingga mendominasi komunitas (MacKinnon et al. 1996). Beberapa spesies dari Myrtaceae juga sebagai tumbuhan pionir, misalnya keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), jemang (Rhodamnia cinerea) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium). Selain kelima famili di atas, juga ditemukan Annonaceae,

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 J um la h spes ies Lokasi Rimba Bebak padang 157 31 135


(21)

Nepenthaceae, Droseraceae, Sapotaceae dan famili lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Perbedaan tipe ekosistem memengaruhi jumlah spesies dan individu yang ditemukan. Rimba merupakan ekosistem alami yang tumbuh di atas tana darat, yaitu lahan dengan jenis tanah podsol (tana teraja) dan letaknya relatif lebih tinggi atau di lingkungan lembab/basah (tana amau) (Fakhrurrazi 2001). Lokasi Rimba terletak pada 02046.833’ LS dan 108007.761’ BT. Spesies tumbuhan di Rimba didominasi oleh spesies klimaks dan nomaden. Sedikitnya spesies pionir disebabkan oleh tingginya mortalitas pionir-pionir akhir dan berangsur digantikan oleh spesies-spesies yang tahan naungan yang dapat tumbuh di bawah tajuk pionir akhir (Irwanto 2006). Beberapa spesies pionir yang diperoleh di Rimba yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sengkelut (Lycopodium cernuum).

Spesies tumbuhan yang ditemukan di Bebak didominasi oleh spesies nomaden, yaitu spesies yang dapat tumbuh pada ekosistem yang baru terbuka dan subklimaks seperti singkang (Syzygium lineatum) dan kabal (Lithocarpus blumeanus). Posisi Bebak terletak tidak berjauhan dengan Rimba yaitu pada 02050.274’ LS dan 108009.450’ BT. Bebak merupakan hutan suksesi yang tumbuh di atas lahan milik masyarakat, bekas perladangan sahang (Piper nigrum). Jumlah spesies penyusun Bebak lebih sedikit daripada Rimba karena faktor umur ekosistem yang lebih muda daripada Rimba. Menurut Odum (1993) semakin tua umur sebuah ekosistem, maka keanekaragaman spesiesnya semakin tinggi dan lebih stabil.

Komposisi vegetasi penyusun Padang paling sedikit diantara Rimba dna Bebak. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik Padang yang ekstrim dan sangat terbuka, sehingga hanya spesies yang toleran terhadap sinar matahari dan mampu beradaptasi pada kondisi miskin unsur hara yang dapat hidup disana. Spesies-spesies pionir banyak dijumpai di Padang, seperti kucai padang (Fimbrystilis sp.), kerupit padang (Panicum sp.) dan sengkelut (Lycopodium cernuum). Namun, juga ditemukan satu spesies klimaks yaitu belangeran (Shorea belangeran) pada tingkat semai. Hal ini disebabkan karena ekosistem Padang berbatasan langsung dengan Rimba dengan posisi 02050.282’ LS dan 108009.208’ BT, sehingga


(22)

dimungkinkan adanya penyebaran biji oleh angin. Menurut Whitten et al. (1984), di ekosistem padang Bangka dan Belitung didominasi oleh pohon kecil seperti

Baeckia frutescens dan Malaleuca cajuputi. Pada lokasi penelitian, sapu padang (Baeckia frutescens) tidak mendominasi. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kepadatan rumput di Padang, sehingga persaingan unsur hara cukup tinggi baik

intraspecies maupun interspecies.

5.1.1 Komposisi semai, semak/perdu, herba , liana, rotan dan pandan

Hasil analisis vegetasi semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan yang dilakukan pada 100 plot pengamatan di Rimba, diperoleh 119 spesies tumbuhan yang terdiri dari 72 spesies semai, 6 spesies semak/perdu, 12 spesies herba, 27 spesies liana dan 2 spesies rotan. Spesies tumbuhan yang paling dominan di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan INP 20,20% dan kerapatan 13.475 ind/ha (Tabel 5).

Tabel 5 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 20,20 2. Betor Padi Calophyllum depressinervosum Clusiaceae 16,23 3. Singkang Syzygium lineatum Myrtaceae 11,24 4. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,20

5. Sisilan Syzygium rostratum Myrtaceae 7,95

Dominasi spesies dari famili Myrtaceae terlihat pada tabel di atas. Hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi beberapa anggota famili Myrtaceae pada lahan hutan kerangas yang miskin hara. Dalam penelitian Brunig (1974) yang meneliti hutan kerangas di Sarawak, juga diperoleh anggota famili Myrtaceae yang relatif banyak. Kelima spesies diatas merupakan spesies dari tingkat semai. Keberadaan semak/perdu, herba sebagai spesies pionir tidak mendominasi, karena kondisi ekosistem di Rimba relatif sudah mencapai klimaks.

Spesies tumbuhan dengan INP terendah terdiri dari beberapa spesies diantaranya girak (Symplocos adenophylla), menterasan (Memecylon olygoneurum) dan libut (Edospermum diadenum) yaitu 0,14%. Rentang nilai INP tertinggi dan terendah cukup besar, dan hal ini menunjukkan penguasaan spesies dengan INP teringgi di Rimba relatif tinggi dari 119 spesies yang ada disana.


(23)

Tingginya heterogenitas spesies di Rimba ditunjukkan dengan ditemukannya 23 spesies dalam satu plot berukuran 2 x 2 m2 (Gambar 4). Data seluruh nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 3

Gambar 4 Plot ditemukannya jumlah spesies tumbuhan terbanyak.

Hasil analisis vegetasi di Bebak diperoleh 110 spesies tumbuhan yang terdiri dari 61 spesies semai, 9 spesies semak/perdu, 16 spesies herba, 22 spesies liana, 1 spesies rotan dan 1 spesies pandan. Nilai penting tertinggi yaitu pulas (Guioa pleuropteris) sebesar 12,57% dengan kerapatan 3.600 ind/ha dan kelebantuian (Syzygium euneura) sebesar 12,09% dengan kerapatan 3.025 ind/ha (Tabel 6). Salah satu spesies dengan nilai penting terkecil yaitu pansi (Elaeocarpus palembanicus) 0,15% dan kerapatan 25 ind/ha. Beberapa liana yang ditemukan yaitu akar ibu (Lygodium microphyllum), akar kuaya (Dalbergia rostrata) dan akar geruntang tangga (Salacia oblongifolia). Data seluruh nilai penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 6 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pulas Guioa pleuropteris Sapindaceae 12,57 2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 12,09 3. Tenam Psychotria viridiflora Rubiaceae 11,21

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,28

5. Seru Schima wallichii Theaceae 9,42

Hasil analisis vegetasi di Padang diperoleh 31 spesies tumbuhan yang terdiri dari 8 spesies semai, 3 spesies semak/perdu, 16 spesies herba dan 2 spesies


(24)

liana. Nilai penting tertinggi sebesar 51,14% yaitu kucai padang (Fimbristylis sp.) dengan kerapatan 85.250 ind/ha (Tabel 7) dan seluruh data nilai penting semai, semak/ perdu, herba dan liana, rotan dan pandan di Padang dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 7 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kucai Padang Fimbristylis sp. Cyperaceae 51,14 2. Jenis C Eriocaulon sp. Eriocaulaceae 32,67 3. Kerupit Padang Panicum sp. Poaceae 27,53 4. Drosera Drocera burmanii Droceraceae 19,71 5. Rumput Padang bola Rhynchospora aurea Cyperaceae 15,23

Pada plot pengamatan ditemukan salah satu insentivora unik yaitu drosera dengan INP 19,71%. Spesies ini seringkali terabaikan dan sangat jarang ditemukan di tempat lain, berwarna merah menyala di lantai Padang (Gambar 5a). Selain drosera juga ditemukan salah satu spesies Nepenthes yaitu Nepenthes gracilis yang tumbuh di lantai Padang maupun merambat di semak (Gambar 5b). Spesies ini seringkali ditemukan di lahan-lahan teraja seperti di Padang. Ekosistem Padang memang merupakan habitat dari Nepenthes sp. dan Drosera sp. (Whitmore 1984). Mansur (2007) menyebutkan bahwa spesies ini memiliki toleransi tinggi terhadap intensitas cahaya tinggi dan dapat juga tumbuh pada tempat-tempat yang terlindungi.

Gambar 5 Drosera burmanii yang sudah berbunga (a), Nepenthes gracilis yang tumbuh berkelompok di lantai Padang (b).

Pada saat pengamatan, kondisi tanah yang kering tidak membatasi kehidupan Drosera burmanii. Drosera burmanii tumbuh secara berkelompok di Padang (Gambar 6). Pada kondisi tanah yang lembab dan berair pun, drosera


(25)

dapat hidup dengan baik (LIPI 2002). Sesuai dengan asas minimun Liebig yang dinyatakan tahun 1840 (Odum 1993) dijelaskan bahwa kemampuan hidup suatu spesies pada satu keadaan ekosistem tertentu dipengaruhi oleh kecukupan minimum bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan.

Gambar 6 Drosera burmanii yang tumbuh berkelompok.

Jumlah spesies dan individu semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di tiga tipe hutan kerangas relatif bervariasi. Khusus di Rimba dan Bebak, jumlah spesies yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh letak Rimba yang berbatasan langsung dengan Bebak, sehingga penyebaran biji-biji beberapa spesies tumbuhan di Bebak dapat tumbuh di Rimba dan sebaliknya untuk spesies yang bersifat nomaden. Sedangkan di Padang, jumlah spesies relatif sedikit, namun nilai INP dari 31 speises yang diperoleh sangat tinggi dibandingkan Rimba dan Bebak.

Pertumbuhan kucai padang (Fimbristylis sp.) hampir menutupi seluruh lantai Padang. Spesies ini merupakan pionir yang sudah sangat lama hidup di Padang. Menurut masyarakat sekitar, asal terbentuknya Padang yaitu akibat proses kebakaran hebat yang terjadi pada zaman dahulu (ratusan tahun yang lalu). Kebakaran tersebut disebabkan oleh api yang dihasilkan akibat gesekan pohon-pohon di hutan kerangas yang sangat rapat akibat hembusan angin musim kemarau panjang. Sisa kebakaran hutan yaitu berupa hamparan padang rumput yang tidak dapat dikembalikan menjadi hutan lagi (Gambar 7).


(26)

Gambar 7 Ekosistem padang.

Padang sebagai satu kesatuan ekosistem juga dijadikan lokasi bagi pelanduk untuk mencari makan, saat tumbuhan hutan berbuah (musim bua utan). Salah satu buah yang digemari pelanduk yaitu sekudong pelandok (Syzygium buxifolium) (Gambar 8a). Rasa buahnya seperti rasa jambu air, namun agak sepat dan kering. Selain sekudong pelandok, Gambar 8b juga merupakan spesies tumbuhan yang buahnya enak dimakan yaitu kedindiman (Syzygium incarnatum).

Gambar 8 Buah sekudong pelandok (a), buah kedindiman (b).

5.1.2 Komposisi pancang

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada 100 plot di Rimba diperoleh 93 spesies tumbuhan. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Rimba. Berkurangnya spesies pada tingkat pancang dapat disebabkan oleh tergantinya spesies-spesies pionir yang sudah tidak tahan naungan, sehingga tidak mampu tumbuh hingga tingkat pancang.


(27)

Spesies tingkat pancang di Rimba yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% dengan kerapatan 900 ind/ha. Spesies tingkat pancang dengan INP terkecil yaitu mendaran (Palaquium ridleyi) 0,15% dengan kerapatan 4 ind/ha (Tabel 8). Total kerapatan pancang di Rimba lebih tinggi dari pada di Bebak yaitu 8.804 ind/ha, sedangkan di Bebak 7.932 ind/ha. Data nilai penting pancang di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 8 Nilai penting tingkat pancang di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Betor Belulang Calophyllum lanigerum Clusiaceae 17,27 2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,82 3. Meleman Psychotria malayana Rubiaceae 10,76

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,75

5. Pelawan Kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 10,59

Lima nilai penting tertinggi tingkat pancang yang diperoleh relatif merata. Hal ini menunjukkan dominasi lima spesies tersebut di Rimba relatif seimbang dan rapat. Jumlah spesies yang cukup banyak juga didukung dengan jumlah individu yang banyak. Hal inilah yang memberikan kenampakan Rimba relatif rapat dan didominasi tegakan yang kurus-kurus. Ciri-ciri hutan kerangas menurut MacKinnon et al. (1996) yaitu memiliki pohon-pohon yang kecil dan kurus.

Salah satu spesies tingkat pancang tersebut adalah pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Spesies ini sangat mudah dikenali di lokasi penelitian, karena memiliki batang yang berwarna merah dan kulit batang yang mengelupas (Gambar 9a). Kayu pelawan kiring cukup keras dan sering dimanfaatkan sebagai kayu pagar (Gambar 9b).

Gambar 9 Pelawan kiring (a), kondisi rimba yang didominasi pancang (b).


(28)

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Bebak diperoleh 76 spesies. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini juga menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Bebak. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu kiras (Garcinia hombroniana) sebesar 21,50% dengan kerapatan 1.292 ind/ha, jemang (Rhodamnia cinerea) dengan INP 18,11% dengan kerapatan 800 ind/ha (Tabel 9). Data nilai penting pancang di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 7.

Beberapa spesies tingkat semai masih tetap ditemukan hingga tingkat pancang, seperti kelebantuian (Syzygium euneura), jemang (Rhodamnia cinerea) dan seru (Schima wallichii). Spesies tumbuhan atau pohon tahunan juga mulai ditemukan misalnya durian (Durio zibethinus), cempedak (Artocarpus integer) dan jering (Archidendron pauciflorum). Menurut McNaughton dan Wolf(1990) menyebutkan bahwa suksesi sekunder pada lahan bekas pertanian akan didominasi oleh spesies tumbuhan semusim selama satu atau dua tahun sampai mereka digantikan oleh tumbuhan yang memiliki siklus hidupnya lebih panjang. Tabel 9 Nilai penting tingkat pancang di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kiras Garcinia hombroniana Clusiaceae 21,50

2. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 18,11

3. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 11,05

4. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 10,86

5. Seru Schima wallichii Theaceae 10,81

Tutupan vegetasi di Bebak relatif lebih terbuka dibandingkan Rimba (Gambar 10). Hal ini juga disebabkan oleh jumlah pancang Bebak lebih sedikit dari pada di Rimba. Selain itu juga disebabkan oleh pemilihan Bebak yang digunakan adalah Bebak yang baru berumur 10 tahun, sehingga proses suksesi masih berlangsung. Berdasarkan observasi di lapangan, Bebak yang berumur 30 tahun sudah hampir mirip dengan Rimba, baik dari spesies maupun kenampakan formasi yang relatif rapat. Namun belum dilakukan kajian lebih lanjut terkait Bebak berumur selain 10 tahun.


(29)

Gambar 10 Hutan kerangas sekunder (Bebak) yang relatif terbuka.

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Padang diperoleh 3 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 88,46% (Tabel 10) dengan kerapatan 20 ind/ha sama dengan kerapatan pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Nilai kerapatan spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Ekosistem padang memang didominasi oleh tumbuhan bawah. Kondisi tumbuhan di Padang relatif kurus dan kering karena kurangnya unsur hara.

Tabel 10 Nilai penting tingkat pancang di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pelawan kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 55,13 2. Gelam Malaleuca leucadendron Myrtaceae 56,41 3. Sekuncong Leptospermum flavescens Myrtaceae 88,46

Sekuncong (Leptospermum flavescens) merupakan jenis pohon kecil di Padang yang ditemukan pada tingkat pancang. Spesies ini cocok dijadikan tanaman bonsai karena tidak terlalu besar. Daunnya yang kecil-kecil dan agak tajam merupakan bentuk adaptasi morfologi terhadap kondisi ekosistem yang ekstrim untuk mengurangi penguapan.

5.1.3 Komposisi pohon

Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Rimba diperoleh 51 spesies tumbuhan dari 22 famili. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Tingkat pohon didominasi oleh spesies dari Myrtaceae (23,5%). Namun spesies tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi dari famili Theaceae yaitu seru (Schima wallichii) dengan INP sebesar 53,36% dan kerapatan 105 ind/ha (Tabel 11). Spesies ini merupakan spesies yang sering dijumpai pada


(30)

hutan dataran tinggi di pulau Jawa. Spesies lain yang juga memiliki INP di atas 50% yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan kerapatan 144 ind/ha. Nilai penting spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 9.

Salah satu spesies tumbuhan khas hutan kerangas yaitu gerunggang (Cratoxylon glaucum) dengan INP sebesar 15,02%. Spesies ini juga merupakan spesies yang dominan ditemukan di hutan kerangas Taman Nasional Bako, Malaysia Timur (Katagiri et al. 1991).

Tabel 11 Nilai penting tingkat pohon di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Seru Schima walichii Theaceae 53,36

2. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 52,15

3. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 16,07

4. Gerunggang Cratoxylon glaucum Clusiaceae 15,02 5. Betor Padi Calophyllum depressinervosum Clusiaceae 14,69

Berdasarkan kelas diameter, pohon di Rimba didominasi oleh kelas diameter 10 ≤ 20 cm yaitu 74,53% dari 683 individu pohon yang ditemukan atau 509 ind/ha (Gambar 11). Menurut Onrizal (2004), distribusi kelas diameter dari tegakan hutan kerangas Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat yang tertinggi yaitu 2 ≤ 10 cm (6010 ind/ha), sedangkan 10 ≤ 20 cm memiliki kerapatan 670 ind/ha. Hal ini juga ditemukan di hutan kerangas Kalimantan Timur yang memiliki pohon berdiameter 10 cm dengan kerapatan 454 – 750 ind/ha (Riswan 1982 diacu dalam MacKinnon et al. 1996).


(31)

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Bebak diperoleh 35 spesies tumbuhan dari 18 famili. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Tingkat pohon juga didominasi oleh spesies dari Myrtaceae (17,64%). Nilai penting tertinggi tingkat pohon dari famili Theaceae yaitu seru (Schima wallichii) dengan INP sebesar 103,00% dengan kerapatan 109 ind/ha (Tabel 12). Nilai penting spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tabel 12 Nilai penting tingkat pohon di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Seru Schima wallichii Theaceae 103,00

2. Jering Archidendron pauciflorum Fabaceae 48,18

3. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 15,48

4. Medang kalong Cinnamomum parthenoxylon Lauraceae 13,10

5. Mensira Ilex cymosa Aquifoliaceae 12,37

Seru (Schima wallichii) memiliki rentang kecocokan tempat tumbuh yang cukup lebar dari ketinggian 100 – 1600 mdpl (Boojh & Ramakrishnan 1982). Spesies ini juga termasuk spesies pionir sekaligus spesies klimaks, sehingga mampu tumbuh dengan baik di Rimba maupun Bebak (Vaidhayakarn & Maxwell 2010). Pertumbuhan seru (Schima wallichii) relatif cepat pada lahan yang baru terbuka, sehingga seru sangat mudah ditemukan di dalam maupun di luar kawasan hutan dengan warna pucuk daunnya kemerah-merahan. Bunga seru sangat mudah dikenali di permukaan tanah (Gambar 12). Menurut Sahoo dan Lalfakawma (2010), semakin banyak pohon induk semakin banyak anakannya dan kemampuan survival Schima wallichii pada lahan yang terganggu lebih tinggi daripada lahan yang tidak terganggu.


(32)

Di Bebak juga ditemui jering (Archidendron pauciflorum) yang merupakan spesies tumbuhan yang sudah biasa dibudidayakan. Spesies lain yang ditemukan yaitu Mensira (Ilex cymosa) yang biasanya berada di komunitas yang agak terbuka, dan cukup baik beradaptasi terhadap api (Whitmore 1984).

Pohon yang tumbuh di Padang memiliki kayu yang sangat keras, kering dan sangat jarang ditemukan. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Padang diperoleh 2 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 180,60% dengan kerapatan 2 ind/ha dan prepat (Combretocarpus rotundatus) sebesar 119,40% dengan kerapatan 1 ind/ha. Kedua spesies tersebut hanya ditemukan di satu plot pengamatan (Lampiran 11). Sedikitnya tingkat pohon di Padang semakin menunjukkan tingkat kerawanan ekosistem ini sebagai sebagai penyangga ekosistem.

Permukaan batang sekuncong (Leptospermum flavescens) sangat keras dan kering yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan (Gambar 13). Kondisi tanah yang asam dan miskin hara tidak mendukung kelangsungan hidup spesies-spesies lain yang ditemukan pada tingkat semai hingga tingkat pancang maupun pohon. Namun hal ini memang merupakan ciri khas dari ekosistem padang.

Gambar 13 Kondisi batang pohon sekuncong (Leptospermum flavescens) yang keras dan kering.

Secara umum dapat dilihat adanya perbedaan spesies yang mendominasi di setiap tipe hutan kerangas dan pada setiap tingkat pertumbuhan. Spesies tingkat


(33)

semai yang mendominasi di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa), spesies ini bukan spesies yang mendominasi pada tingkat pancang dan pohon. Demikian juga yang terjadi di Bebak dan Padang. Pada tingkat pohon di Rimba dan Bebak didominasi seru (Schima wallichii). Berdasarkan Mosaic Theory, komposisi dan dominansi vegetasi di suatu ekosistem akan mengalami perubahan di masa depan (Richards 1952 diacu dalam Hikmat 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat survival suatu spesies tehadap dinamika eksosistem baik secara fisik maupun biotik serta gangguan dari luar.

5.1.4 Keanekaragaman spesies tumbuhan (H’)

Nilai keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di Rimba lebih tinggi daripada di Bebak dan Padang yaitu 3,73 dan 3,09 (Gambar 14). Semakin klimaks sebuah ekosistem maka akan diikuti dengan bertambahnya jumlah spesies yang dapat hidup disana pada tingkat semai dan hanya spesies-spesies tertentu saja yang dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, penurunan nilai keanekaragaman dari tingkat semai menuju tingkat pohon dapat terjadi.

Nilai keanekaragaman tingkat semai di Rimba lebih kecil daripada di Bebak, yaitu 3,86 sedangkan di Bebak 4,03. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah individu setiap spesies di Rimba tidak terdistribusi secara merata (Ludwig & Reynolds 1988). Nilai keanekaragaman semai, pancang dan pohon di Padang sangat rendah dibandingkan Bebak dan Rimba yaitu 2,34; 1,07 dan 0,67. Menurut Wells (1976) diacu dalam McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan bahwa beberapa spesies mempunyai kemampuan berkoloni yang cepat di tegakan pionir.

Gambar 14 Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan kerangas. 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

Semai Pancang Pohon

Nila i indek s k ea nek a ra g a m a n Tingkat pertumbuhan Rimba Bebak Padang


(34)

Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh bervariasi berdasarkan tipe hutan dan tingkat pertumbuhan. Menurut Kissinger (2002) perubahan indeks keanekaragaman jenis terjadi sebagai akibat dari karakteristik biologis dari hutan yang selalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu, perubahan keanekaragaman juga dapat terjadi dalam waktu yang cepat sebagai akibat dari aktivitas manusia atau gejala alam lainnya.

5.1.5 Kekayaan spesies tumbuhan (R)

Nilai kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai di Rimba dan Bebak tidak berbeda jauh. Nilai kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai di Rimba yaitu 14,35, sedangkan di Bebak 14,44 (Gambar 15). Perbedaan yang tidak signifikan ini juga dapat disebabkan oleh kemiripan tipe ekosistem. Bebak merupakan hutan sekunder bekas ladang yang sudah ditinggalkan selama 10 tahun, sehingga jumlah spesies yang terdapat disana juga cukup banyak, terutama spesies pionir. Menurut Wells (1976) diacu dalam McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan bahwa beberapa spesies mempunyai kemampuan berkoloni yang cepat di tegakan pionir. Faktor yang memengaruhi nilai kekayaan spesies yaitu total jumlah individu semua spesies. Semakin besar total jumlah individu semua spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem maka nilai kekayaan akan semakin kecil, dengan pembanding ekosistem kedua memiliki jumlah spesies yang sama namun jumlah total individu semua spesies lebih kecil (Ludwig & Reynolds 1988).

Pada ekosistem padang, kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai, pancang dan pohon paling kecil, berturut-turut 3,27; 0,78 dan 0,91. Jumlah spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon selain sedikit juga memiliki jumlah individu yang sedikit. Pada tingkat pancang hanya diperoleh 3 spesies dengan jumlah individu sebanyak 52 ind/ha. Sedangkan pada tingkat pohon hanya diperoleh 2 spesies dengan jumlah individu sebanyak 3 ind/ha. Jumlah ini relatif sangat kecil dan memberikan ciri hutan kerangas khusus atau Padang memiliki kekayaan spesies tingkat pancang dan pohon yang sangat rendah.


(35)

Gambar 15 Indeks kekayaan spesies tumbuhan di hutan kerangas.

5.1.6 Kemerataan spesies tumbuhan (E)

Nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat semai di Bebak paling tinggi dari pada di Rimba dan Padang. Sedangkan nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon tertinggi yaitu di Padang. Tingkat pohon di Padang hanya diperoleh sebanyak dua spesies dengan jumlah individu sebanyak tiga individu. Hal ini menyebabkan nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat pohon di Padang lebih tinggi yaitu 0,97 (Gambar 16).

Pada ekosistem Rimba, nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat pohon yaitu 0,78. Hal ini disebabkan oleh jumlah individu dari 51 spesies pohon, hanya 14 spesies tumbuhan yang jumlah individunya di atas rata-rata, sisanya di bawah rata-rata.

Gambar 16 Indeks kemerataan spesies tumbuhan di hutan kerangas. 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Semai Pancang Pohon

Nila i indek s k ek a y a a n Tingkat pertumbuhan Rimba Bebak Padang 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Semai Pancang Pohon

Nila i indek s k em er a ta a n Tingkat pertumbuhan Rimba Bebak Padang


(36)

5.1.7 Kesamaan komunitas tumbuhan (IS)

Indeks kesamaan komunitas tumbuhan antara Rimba dan Bebak yaitu 58%; antara Rimba dan Padang yaitu 13 %; dan antara Bebak dan Padang sebesar 12% (Gambar 17). Nilai yang diperoleh ini menunjukkan adanya spesies tumbuhan yang sama di setiap ekosistem. Tingginya jumlah spesies yang sama di Rimba dan Bebak dapat disebabkan oleh jarak antara Bebak dan hutan alam yang tidak terlalu jauh, sehingga masih sangat dimungkinkan adanya penyebaran biji oleh agen penyebar biji maupun agen penyerbuk. Kondisi habitat yang hampir sama juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesamaan spesies pada kedua lokasi tersebut.

Gambar 17 Indeks kesamaan komunitas.

5.1.8 Status konservasi

Hutan kerangas merupakan kawasan yang bernilai konservasi tinggi (Konsorsium Revisi HCVF Toolkit Indonesia 2008). Hal ini didukung oleh keberadaan spesies-spesies di hutan kerangas dan termasuk dalam spesies yang dilindungi menurut IUCN Red List 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, dan CITES (Tabel 13).

Tabel 13 Status konservasi spesies yang diperoleh

No Nama Lokal Nama Ilmiah Status Konservasi

IUCN CITES PP No 7 Tahun 1999 1. Belangeran Shorea belangeran CR - Tidak dilindungi 2. Ketakong 1 Nepenthes gracilis LC App. II Dilindungi 3. Ketakong 2 Nepenthes ampullaria LC App. II Dilindungi 4. Ketakong 3 Nepenthes rafflesiana LC App. II Dilindungi 5. Ketakong 4 Nepenthes reinwardtiana LC App. II Dilindungi 6. Perepat Combretocarpus rotundatus VU - Tidak dilindungi

Rimba dan Bebak, 58

Rimba dan

Padang, 13 Padang, 12 Bebak dan

0 10 20 30 40 50 60 70 Ind ek s K esa m a a n K o m un it a s (%) Lokasi


(37)

Hasil analisis vegetasi juga diperoleh belangeran (Shorea belangeran). Spesies ini termasuk dalam kategori CR (Critically endangered) dalam IUCN Red List tahun 2010 yang berarti kritis dan terancam punah. Kayu belangeran merupakan salah satu jenis kayu komersil. Selain belangeran (Shorea belangeran), spesies lain yang termasuk dalam status konservasi VU (Vulnerable/Rawan) IUCN Red List tahun 2010 adalah prepat (Combretocarpus rotundatus). Jumlahnya masih berisiko rendah dari kepunahan.

Spesies-spesies yang dilindungi menurut PP Nomor 7 Tahun 1999 yaitu dari famili Nepenthaceae, diantaranya Nepenthes gracilis, Nepenthes ampularia, Nepenthes rafflesiana dan Nepenthes reinwardtiana. Keempat spesies nepenthes tersebut juga termasuk dalam kategori LC (Least Concern/Kurang diperhatikan) menurut IUCN Red List tahun 2010.

Beberapa spesies nepenthes tersebut relatif masih mudah dijumpai baik Rimba, Bebak maupun Padang. Spesies nepenthes yang relatif melimpah yaitu

Nepenthes gracilis dan Nepenthes ampularia. Namun keempat spesies nepenthes yang diperoleh tetap memerlukan perhatian khsuus dari pemerintah, karena termasuk dalam kategori Appendix II CITES. Menurut Mardiastuti dan Soehartono (2003) spesies yang termasuk dalam kategori Appendix II CITES merupakan spesies yang ada pada saat ini tidak termasuk ke dalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangan tidak diatur. Perdagangan terhadap jenis yang termasuk Appendiks II dapat diperbolehkan, selama Management Authority dari negara pengekspor megeluarkan izin ekspor

5.2 Keanekaragaman Tumbuhan Obat 5.2.1 Karakteristik responden

Jumlah responden yang diwawancarai terkait hasil analisis vegetasi yang diperoleh yaitu sebanyak 25 orang. Wawancara dihentikan ketika sudah tidak ada lagi perbedaan khasiat obat yang diperoleh. Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu didominasi oleh masyarakat yang berusia di atas 50 tahun yaitu sebanyak 68% (Gambar 18), berlatar pendidikan sekolah dasar sebanyak 84% (Gambar 19) dan memiliki pekerjaan utama sebagai buruh harian sebanyak


(38)

84% (Gambar 20). Beberapa responden yang bekerja sebagai buruh harian juga merangkap pekerjaan lain, misalnya sebagai dukun kampung dan peramu obat tradisional. Namun pekerjaan ini bersifat sosial dan sukarela, bukan mata pencaharian. Jumlah responden didominasi oleh responden laki-laki yaitu 68% dan responden wanita sebanyak 32% dengan nama responden terlampir (Lampiran 12).

Gambar 18 Persentase usia responden.

Masyarakat peramu obat masih mengambil tumbuhan obat langsung dari hutan. Pekerjaan ini dijalankan turun-temurun sesuai dengan pengetahuan yang telah diwariskan. Responden yang diklasifikasikan sebagai peramu adalah orang yang bermata pencaharian sebagai penjual obat tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan obat. Pada kenyataannya kemampuan meramu obat juga dimiliki oleh beberapa responden lainnya yang bermata pencaharian sebagai buruh harian. Sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai buruh harian perkebunan kelapa sawit dan karet yang ada di sekitar hutan.

Masuknya perkebunan kelapa sawit dan karet selain mengurangi ketersediaan hutan, juga mengubah pola kehidupan masyarakat sekitar. Sebelum masuknya perkebunan sawit, masyarakat masih menggantungkan hidup dari kawasan hutan. Jam harian masyarakat banyak dihabiskan di rumah atau di hutan. Setelah masuknya perkebunan kelapa sawit, masyarakat menjadi buruh harian dengan pekerjaan yang beragam seperti menebas, mengisi polibag, mendangir,

4%

24%

4% 68%

20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50 tahun ke atas


(39)

memupuk dan lainnya. Gambar 19 menunjukkan persentase pekerjaan responden yang diperoleh saat pengambilan data.

Gambar 19 Persentase pekerjaan responden.

Tingkat pendidikan terakhir responden didominasi oleh tingkat SD. Responden mengaku bahwa bukan hanya karena ketidakmampuan ekonomi untuk sekolah, tetapi juga karena kurangnya motivasi untuk melanjutkan sekolah. Tempat tinggal yang jauh dari sekolah lanjutan juga semakin mengurungkan keinginan mereka untuk bersekolah.

Pada saat seperti ini, masyarakat hanya melihat kekayaan perkebunan yang sudah merusak hutan mereka. Aksesibilitas menuju lokasi penelitian sudah diaspal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di sana belum ada aliran listrik dari PLN sehingga masyarakat tetap mempersiapkan genset di rumah-rumah mereka.

Gambar 20 Persentase pendidikan terakhir responden. 84%

8% 4% 4%

Buruh harian Peramu

Ibu rumah tangga Wiraswasta

84% 8%

8%

SD SMP/MTs SMA


(40)

5.2.2 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan famili

Spesies tumbuhan obat yang diperoleh dari 224 spesies tumbuhan yang ditemukan yaitu sebanyak 101 spesies. Sebanyak 83,17% spesies tumbuhan obat dari Rimba, 69,31% dari Bebak dan 9,90% dari Padang. Tumbuhan obat tersebutdiklasifikasikan ke dalam 50 famili yang dapat dilihat pada Lampiran 13.Enam famili tersebut diantaranyayaitu Myrtaceae (11 spesies), Rubiaceae (10 spesies), Clusiaceae (6 spesies), Fabaceae (5 spesies), Euphorbiaceae (5 spesies) dan Apocynaceae (5 spesies) (Gambar 21).

Gambar 21 Jumlah tumbuhan obat berdasarkan enam famili tertinggi. Myrtaceae merupakan famili yang memiliki berbagai macam spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, seperti jemang (Rhodamnia cinerea), gelam (Malaleuca leucadendron), keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium).

Secara ekologi, beberapa spesies Myrtaceae merupakan spesies pionir sehingga lebih cepat tumbuh di daerah kritis. Salah satunya yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa) yang memiliki manfaat sebagai obat dan fungsi ekologis yang tinggi. Spesies ini dapat tumbuh di areal bekas tambang timah (Gambar 22). Menurut Pratiwi (2010) keberadaan keremuntingan di lahan bekas tambang timah dapat dijadikan sebagai pionir untuk meningkatkan unsur hara tanah dan pencegah erosi. Keremuntingan juga telah terbukti memiliki kandungan antioksidan yang berguna bagi tubuh (Putra et al., 2009). Keremuntingan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sakit perut dan penurun tekanan darah

0 2 4 6 8 10 12

Myrtaceae Rubiaceae Clusiaceae Fabaceae Euphorbiaceae Apocynaceae

Jumlah spesies

F

a

m


(41)

tinggi. Daun keremuntingan diseduh dan diminum airnya. Heyne (1987a) menyebutkan bahwa daun keremuntingan yang ditumbuk berguna untuk menyembuhkan luka-luka.

Gambar 22 Keremuntingan di lahan bekas tambang timah.

Keleta’an (Melastoma polyanthum) berguna sebagai obat sakit gigi dan gusi bengkak. Penggunaannya yaitu dengan merebus daun keleta’an kemudian airnya digunakan untuk berkumur. Manfaat lain dari spesies ini yaitu sebagai obat luka bakar dan menyembuhkan buang air berdarah (Heyne 1987a).

Spesies dari famili Rubiaceae biasa dikenal kopi-kopian yang memiliki ciri khas yaitu pada buahnya terdapat aroma yang nikmat (Lubis 2008). Pada kondisi habitat yang ekstrim, tumbuhan akan memproduksi metabolit sekunder yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi yang subur. Spesies dari famili ini di antara, yaitu meleman (Psychotria malayana), akar rurutan (Gynochtodes coriacea), akar segendai (Coptosapelta tomentosa), tempala (Timonius flavescens) dan sereting (Prismatomeris tetrandra).

Potensi tumbuhan obat di hutan kerangas belum banyak diungkapkan oleh peneliti-peneliti. Menurut Nurrohman (2011) diperoleh 38 spesies tumbuhan berguna di HCV PT Agro Lestari Mandiri Kalimantan Barat dengan tipe hutan kerangas. Menurut Widyaninggar (2011) diperoleh 152 spesies tumbuhan berguna di HCV PT Sawit Kapuas Kencana dengan tipe hutan kerangas. Hasil yang didapat keduanya menyebutkan bahwa spesies yang diperoleh di hutan kerangas lebih sedikit daripada hutan dataran rendah.

Menurut Ditjen POM (1991) diacu dalam Zuhud et al. (1994), persentase penyebaran tumbuhan obat di Indonesia diperoleh dari 6 tipe hutan di Indonesia,


(42)

antara lain hutan hujan dataran rendah (49,4%), hutan mangrove (3,9%), hutan pantai (5,6%), hutan savana (6,1%), hutan musim (13,9%) dan hutan hujan pegunungan (21,1%). Sebanyak 16 spesies tumbuhan obat di hutan kerangas yang diperoleh dalam penelitian ini sudah terdokumentasi sebagai tumbuhan obat menurut Zuhud et al. (1994), misalnya Baeckea frutescens, Cratoxylon formosum, Curculigo latifolia dan Rhodamnia cinerea.

5.2.3 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus

Persentase keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus yaitu sebanyak 45% pohon, 30% liana dan 14% perdu (Gambar 23). Salah satu spesies pohon yang berkhasiat sebagai obat diantaranya yaitu pohon butun (Cratoxylon formosum). Pohon ini memiliki duri pada batangnya yang masih muda (Gambar 24a). Daun yang menempel di ujung duri batang tersebut berkhasiat sebagai obat bisul dan sasak isi (koreng di badan). Kegunaan lain dari spesies ini yaitu kulit batangnya sebagai obat sakit perut, getahnya sebagai obat kudis dan daunnya untuk obat luka bakar (Adriyanti et al. 2003).

Gambar 23 Persentase tumbuhan obat berdasarkan habitus.

Potensi liana yang sering digunakan sebagai obat oleh masyarakat, diantaranya akar kayu bau (Artabotrys suaveolens) sebagai obat masuk angin, panas dalam dan salah satu dari 44 ramuan setelah melahirkan; akar sariawan (Connarus semidecandrus) sebagai obat sariawan; dan akar banar (Smilax barbata) sebagai obat maag dan salah satu dari 44 ramuan setelah melahirkan

30%

14% 45%

3%

8%

Liana Perdu Pohon Semak Herba


(43)

(Gambar 24b). Sesuai dengan potensi liana yang diperoleh yaitu terbanyak kedua setelah pohon. Masyarakat mengenal liana berkayu maupun liana yang tidak berkayu dengan sebutan akar.

Pada habitus herba, semak dan perdu digunakan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada pohon dan liana. Hal ini dapat disebabkan karena potensi habitus ini memang tidak mendominasi dalam komunitas hutan.

Gambar 24 Beberapa spesies tumbuhan obat: (a) Butun (Cratoxylon formosum), (b) Akar banar (Smilax barbata).

5.2.4 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan bagian yang digunakan

Bagian tumbuhan obat yang banyak digunakan adalah akar dan daun. Sebanyak 49 spesies dimanfaatkan bagian akarnya sebagai obat atau sekitar 45% dan 35 spesies dimanfaatkan daunnya sebagai obat atau sekitar 35% (Gambar 25). Potensi lainnya yaitu bunga, buah, batang, air kantung dan herba. Hal ini sesuai dengan potensi habitus yang ada disana, yaitu liana atau akar dalam bahasa setempat.

Gambar 25 Persentase tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan. Akar

45%

Daun 32% Bunga

2% Buah

3%

Batang 13%

Air kantung 3%

Herba 2%


(1)

95 Digunakan Penggunaan

49. Kelumpang Sterculia gilva Miq. Sterculiaceae Phn Panas dalam, * Akar Diseduh

50. Kemanisan aik Gynotroches axillaris Blume Rhizophoraceae Phn Demam Akar Rendam dan

diminium

51. Kembang taru Bromheadia finlaysoniana Reichb.f. Orchidaceae Hrb * Akar Direbus

52. Kembuelan Diospyros laevis Boj.ex A.DC. Ebenaceae Phn Kutil Buih dari

kayu yang dibakar

Dioles

53. Keremuntingan Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. Myrtaceae Hrb Sakit perut, tensi kolesterol

Daun Diseduh

54. Ketakong 1 Nepenthes gracilis Korth. Nepenthaceae Ln Sakit mata,

menghilangkan kebiasan ngompol Air dari kantung yang masih tertutup Ditetes, diminum lansung

55. Ketakong 2 Nepenthes ampularia Jack. Nepenthaceae Ln Sakit mata,

menghilangkan kebiasan ngompol Air dari kantung yang masih tertutup Ditetes, diminum lansung

56. Ketakong 3 Nepenthes raflesiana Jack. Nepenthaceae Ln Sakit mata,

menghilangkan kebiasan ngompol Air dari kantung yang masih tertutup Ditetes, diminum lansung

57. Ketakong 4 Nepenthes reinwartiana Miq. Nepenthaceae Ln Sakit mata,

menghilangkan kebiasan ngompol Air dari kantung yang masih tertutup Ditetes, diminum lansung

58. Ketembab Lithocarpus elegans (Bl.) Hatus. ex Soepadmo Fagaceae Phn Demam Air dari

batang

Diminum langsung

59. Kubing Artocarpus nitida Trec. Moraceae Phn Sakit perut Akar Direbus


(2)

96 Lampiran 13 Lanjutan data keanekaragaman tumbuhan obat di hutan kerangas Kabupaten Belitung Timur

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus Khasiat Bagian yang

Digunakan

Cara Penggunaan

61. Lepang Alpinia oxymitra K. Schum Zingiberaceae Hrb * Bunga, akar Direbus

62. Libut Endospermum diadenum (Miq.) Airy Shaw Euphorbiaceae Phn Congek Akar Parut lalu

basahkan dalam kain dan

diteteskan di telinga

63. Mali-mali Leea aculeata Blume Leeaceae Hrb Patah tulang Batang Diikat

64. Medang belilin Cryptocarya densiflora Blume Lauraceae Phn Demam, sakit kepala Daun Param

65. Medang lubang Barringtonia macrostachya Kurz. Lecythidaceae Phn Sakit perut Akar Direbus

66. Melak Garcinia bancana Miq. Clusiaceae Phn KB Akar Direbus

67. Meleman Psychotria malayana F.Villar ex Vidal Rubiaceae Prd4) Cacing kremi Akar Diseduh

68. Membalong Calophyllum canum Hook.f. Clusiaceae Phn Malaria Getah Diseduh

69. Mencukaan Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. Sapindaceae Prd Jerawat, * Daun, akar Param,

direbus

70. Mendiraman Symplocos adenophylla Wall. Symplocaceae Phn Sakit kepala Daun Diuras

71. Mengkelingan Undet. Undet. Phn Koreng Daun Param

72. Mengkikiran Myrica javanica Blume Myricaceae Ln Gatal kulit Kulit batang Direbus dan

digosok

73. Mensalongan Coptosapelta sp. Rubiaceae Ln Masuk angin, * Akar Direbus

74. Mensira Ilex cymosa Bl. Aquifoliaceae Phn Ambien, malaria Kulit batang Direbus

75. Meripongan Archidendron clypearia (Jack) Nielsen Fabaceae Prd Koreng Daun Mandi

76. Paku riok Blechnum orientale L. Blechnaceae Hrb Sinus, bisul Pucuk, daun Dibuat

rokok, param 77. Pelawan kiring Tristaniopsis obovata (Benn.) P.G. Wilson &

J.T. Waterhouse


(3)

97 Digunakan Penggunaan

78. Perai Vaccinium bancanum Miq. Ericaceae Prd * Akar Direbus

79. Perepat Combretocarpus rotundatus Danser Rhizophoraceae Phn * Akar Direbus

80. Pialu Suregada glomerulata Baill. Euphorbiaceae Phn Lemah, lesu Akar Direndam

dan ditetes ke mata

81. Pialu geli Clerodendrum sp. Verbenaceae Prd Mual Akar Diseduh

82. Pinang galing Dracaena elliptica Thunb. Liliaceae Prd * Akar Direbus

83. Rumput segar Fimbristylis sp. Cyperaceae Hrb Mata merah,* Akar Direndam

dan ditetes ke mata, direbus

84. Samak Syzygium palembanicum Miq. Myrtaceae Phn Gatal kaligata Kulit batang Digosok

langsung 85. Samak tali Glochidion celastroides Pax Euphorbiaceae Phn Bengkak mata, * Daun, akar Ditapal,

direbus

86. Sekudong pelandok Syzygium buxifolium Myrtaceae Prd Sakit perut, * Akar, daun Direbus,

direbus

87. Semungggu Glochidion superbum Baill. Euphorbiaceae Prd * Daun Direbus

88. Sengkelut Lycopodium cernuum Linn. Lycopodiaceae Hrb Sakit kuning Herba Direbus

89. Sengkeratongan Helicia robusta Vill. Proteaceae Phn Sakit kepala Daun Diuras

90. Sereting Prismatomeris tetrandra (Roxb.) K. Schum. Rubiaceae Prd Sakit tulang belakang, * Akar Direbus

91. Seru Schima wallichiiI Korth. Theaceae Phn Koreng Daun Ditapal

92. Sesalah Eurya nitida Hieron Theaceae Prd Luka luar, * Daun, akar Ditapal,

direbus 93. Sesepit Tabernaemontana divaricata G. Don Apocynaceae Prd Sakit gigi, sakit kuku Akar, getah

daun

Parut dan ditapal, dioles


(4)

98 Lampiran 13 Lanjutan data keanekaragaman tumbuhan obat di hutan kerangas Kabupaten Belitung Timur

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus Khasiat Bagian yang

Digunakan

Cara Penggunaan

95. Sirih utan Piper miniatum Bl. Piperaceae Ln Gatal Daun Digosok

96. Telaseh hutan Hemidiodia ocimifolia Schum. Rubiaceae Hrb Bisul, koreng nanah Daun Ditapal

97. Tempala Timonius flavescens Baker Rubiaceae Prd Bercak kulit karna ASI Daun Mandi

98. Tenam Psychotria viridiflora Reinw. ex Blume Rubiaceae Phn Gusi bengkak, cuci perut, *

Akar Direbus

99. Tenam gunong Psychotria sp. Rubiaceae Prd Demam Akar Diseduh

100. Terentang Campnosperma auriculata Hook.f. Anacardiaceae Phn Koreng gana Daun Dibakar,

dibuat minyak dan dioles

101. Tukak Tabernaemontana sp. Apocynaceae Phn Sakit gigi Getah daun Dioles

Keterangan:

1) Ln: Liana, 2) Phn: Pohon, 3) Hrb: Herba, 4) Prd: Perdu


(5)

RINGKASAN

DINA OKTAVIA. Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan IWAN HILWAN

Hutan kerangas di Belitung Timur diduga mempunyai keanekaragaman spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Namun informasi tentang hal tersebut belum banyak diungkapkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang komposisi vegetasi dan potensi tumbuhan di hutan kerangas yang bermanfaat sebagai bahan obat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2011. Lokasi pengambilan data yaitu di hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak) dan hutan kerangas khusus (Padang). Jenis data yang diambil meliputi spesies tumbuhan (nama lokal dan nama ilmiah), spesies tumbuhan yang digunakan sebagai obat dan bagian tumbuhan obat yang digunakan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah analisis vegetasi dan wawancara. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi jalur dan garis berpetak. Jumlah jalur di setiap tipe hutan kerangas sebanyak 10 jalur dengan ukuran jalur 10 m × 100 m dan jarak antar jalur adalah 50 m.

Hasil penelitian diperoleh 224 spesies tumbuhan di hutan kerangas yang didapat dari berbagai habitus dan tingkat pertumbuhan. Spesies dengan nilai penting tertinggi tingkat semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan adalah samak (Syzygium lepidocarpa) sebesar 20,2% di Rimba, pulas (Guioa pleuropteris) sebesar 12,57% di Bebak dan kucai padang (Fimbristylis sp.) sebesar 51,14% di Padang. Spesies dengan nilai penting tertinggi tingkat pancang adalah betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% di Rimba, kiras (Garcinia hombroniana) sebesar 21,50% di Bebak dan sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 88,46% di Padang. Spesies dengan nilai penting tertinggi tingkat pohon adalah seru (Schima wallichii) sebesar 53,36% di Rimba, seru (Schima wallichii) sebesar 103% di Bebak dan sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 180,2% di Padang

Jumlah spesies tumbuhan obat yang teridentifikasi berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal sebanyak 101 spesies. Famili tumbuhan yang anggotanya paling banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah Myrtaceae. Habitus tumbuhan obat yang paling banyak digunakan adalah pohon. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah akar. Kelompok penyakit yang paling banyak disembuhkan dengan pemanfaatan tumbuhan obat adalah kelompok penyakit sistem ketahanan tubuh (demam, panas dalam dan masuk angin).

Komposisi vegetasi di hutan kerangas berpotensi sebagai cadangan plasma nutfah tumbuhan obat indonesia. Konservasi sumberdaya hutan kerangas dapat mendukung kelestarian spesies tumbuhan dan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan.

Kata kunci: Hutan kerangas, vegetasi, tumbuhan obat, keanekaragaman spesies.


(6)

SUMMARY

DINA OKTAVIA. The Composition of Vegetation and The Potential Medicinal Plants in Heath Forest East Belitung Regency Province of Bangka-Belitung. Under Supervision of AGUS HIKMAT and IWAN HILWAN

Heath forest on East Belitung is thought to have a diversity of plant species that can be used for medications. However, the information about it has not been revealed yet. Therefore, research about composition of vegetation and potential medicinal plants in the heath forest is necessary.

This research was conducted in the primay heath forest (Rimba), secondary heath forest (Bebak) and particular heath forest (Padang) at East Belitung on July to Agustus 2011. The collected data includes species of plants (local name and scientific name), species of plants used medicine and part of plants that is used for medicine. Methods that is used to collect the data is the analysis of vegetation and interview method. Analysis vegetation was done by using combination of line and compartment method. The number of lines in each forest type are 10 with each line size is 10 m × 100 m and the distance between the lines is 50 m.

The research results 224 species of plants in the heath forest obtained from different habitus and growth rates. Species with the highest value of importance on seedling, bush/shrub, herbaceous, liana, rattan and pandan is the samak (Syzygium lepidocarpa) amounted to 20.2% in the primary heath forest, pulas (Guioa pleuropteris) amounted to 12.57% in the secondary heath forest and kucai padang (Fimbristylis sp.) amounted to 51.14% in the particular heath forest. Species with the highest value of important on sapling is betor belulang (Calophyllum lanigerum) amounted to 17.27% in the primary heath forest, kiras (Garcinia hombroniana) amounted to 21.50% in the secondary heath forest and sekuncong (Leptospermum flavescens) amounted to 88.46% in the particular heath forest. Species with the highest value of important on tree is seru (Schima wallichii) amounted to 53.36% in primary heath forest, seru (Schima wallichii) amounted to 103% in secondary heath forest and sekuncong (Leptospermum flavescens) amounted to 180.2% in the particular heath forest.

The number of medicinal plant species are identified based on knowledge of local communities as much as 101 species. Plant family which were most widely utilized is Myrtaceae. Tree is the most common habitus of medicinal plant to be used. The part of plants which is widely used is root and the most numerous group of diseases cured with medicinal plant is diseases of body resilience system (fever).

Composition of vegetation in heath forest is potential as a germ plasm reserve of medicinal plants in Indonesia. Heath forest resources conservation can support sustainability of species and benefits to community around the forest.