Susceptibility Status of Aedes aegypti to Insecticides and Its Connections with Cases of Dengue Haemorrhagic Fever in Bogor City

STATUS KERENTANAN VEKTOR Aedes aegypti TERHADAP
INSEKTISIDA DAN KAITANNYA DENGAN KEJADIAN
KASUS DEMAM BERDARAH DI KOTA BOGOR

SITI NURJANAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status kerentanan vektor Aedes
aegypti terhadap insektisida dan kaitannya dengan kejadian kasus demam
berdarah di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Siti Nurjanah
NIM B252110071

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.

RINGKASAN
SITI NURJANAH. Status Kerentanan Vektor Aedes aegypti terhadap
Insektisida dan Kaitannya dengan Kejadian Kasus Demam Berdarah di Kota
Bogor. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan DWI JAYANTI
GUNANDINI.
Hingga saat ini, DBD masih menjadi satu di antara masalah kesehatan di
Indonesia khususnya di Kota Bogor. Cara penanggulangan yang sering dilakukan
adalah penyemprotan insektisida (fogging-focus) dengan insektisida malation
untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data status kerentanan vektor Ae.
aegypti terhadap insektisida malation, bendiokarb dan deltametrin di Kota Bogor.
Penelitian dilakukan melalui cara uji standar WHO (1975) menggunakan

susceptibility test kit dengan impragnated paper berbahan aktif malation 0,8%,
bediokarb 0,1% dan deltametrin 0,025%. Nyamuk Ae. aegypti diperoleh dengan
cara mengumpulkan telur menggunakan ovitrap dari 12 kelurahan endemis DBD
di Kota Bogor. Telur-telur tersebut ditetaskan dan dipelihara hingga generasi
kedua (F2) lalu diujikan terhadap insektisida.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persentase kematian
nyamuk terdapat 5 isolat nyamuk Ae. aegypti (Lawang Gintung, Kebon Kelapa,
Kebon Pedes, Kedung Waringin, dan Tegal Gundil) telah resisten terhadap
malation (organofosfat); 5 isolat berstatus toleran yaitu Katulampa, Bondongan,
Tegal Lega, Menteng, dan Bantarjati; dan 2 isolat berstatus rentan yaitu
Baranangsiang dan Cilendek Barat. Sementara itu, semua isolat nyamuk tersebut
telah menujukkan status resisten terhadap bendiokarb (karbamat) dan deltametrin
(piretroid). Adapun, berdasarkan nilai RR50, terlihat bahwa 8 isolat nyamuk
(Katulampa, Bondongan, Tegal Lega, Menteng, Bantarjati, Kebon Kelapa,
Baranangsiang serta Cilendek Barat) menunjukkan status telah resisten terhadap
malation (RR50>10) dan sisanya 4 isolat nyamuk (Lawang Gintung, Kebon Pedes,
Kedung Waringin, serta Tegal Gundil) menunjukkan status tidak resisten
(RR5010) terhadap bendiokarb dan deltametrin. Sebaran status
kerentanan 12 isolat nyamuk Ae. aegypti di Kota Bogor disajikan dalam bentuk
peta.

Kajian terhadap kasus DBD di Kota Bogor menunjukkan bahwa tingginya
kejadian DBD berhubungan dengan tingginya frekuensi penggunaan insektisida
yang digunakan dalam pengendalian vektor. Selain itu, kasus DBD di Kota Bogor
selama tahun 2008-2012 juga berhubungan dengan faktor-faktor iklim seperti
curah hujan, suhu dan kelembaban. Hasil analisis korelasi antara kasus DBD dan
curah hujan selama 5 tahun menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
(P0,05) terhadap curah
hujan. Adapun, hubungan kasus DBD dengan rata-rata suhu selama 5 tahun di 12
kelurahan tidak menunjukkan hubungan yang signifkan (P>0,05). Selanjutnnya,

hubungan kasus DBD dengan rata-rata kelembaban selama tahun 2008-2012
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P0,05).
Kata Kunci : Aedes aegypti Linn., resistensi insektisida, organofosfat, Demam
Berdarah Dengue

SUMMARY
SITI NURJANAH. Susceptibility Status of Aedes aegypti to Insecticides and Its
Connections with Cases of Dengue Haemorrhagic Fever in Bogor City. Supervised by
UPIK KESUMAWATI HADI dan DWI JAYANTI GUNANDINI.
Nowadays, Dengue Haemorrhagic Fever is still one of the health problems in

Indonesia, especially in Bogor City. Spraying insecticides with malathion are the most
common activity to control Aedes aegypti as a Dengue vector. The objective of this
study was to obtain data on susceptibility status of Ae. aegypti to malathion
(organophosphate), bendiocarb (carbamate) and deltamethrin (pyrethroid) in Bogor
City. The research was carried out by using the method of susceptibility test (WHO
1975) which contained malathion 0,8%, bendiocarb 0,1% and deltamethrin 0,025%
impragnated paper. Ae. aegypti was collected by ovitrap from 12 endemic regions in
Bogor City. The eggs were hached and reared in laboratory until F2 generations, then
treated by those insecticides.
The result showed that based on percentage of mortality, five isolates of Ae.
aegypti (i.e. Lawang Gintung, Kebon Kelapa, Kebon Pedes, Kedung Waringin, and
Tegal Gundil) were resistant against malathion (organophosphate); five isolates (i.e.
Katulampa, Bondongan, Tegal Lega, Menteng, and Bantarjati) were tolerant; and two
isolates (i.e. Baranangsiang and Cilendek Barat) were still susceptible. Otherwise, all
strains of Ae. aegypti from 12 regions in Bogor City were resistant against bendiocarb
(carbamate) and deltamethrin (pyrethroid). Meanwhile the result of RR50 value showed
that eight isolates (i.e. Katulampa, Bondongan, Tegal Lega, Menteng, Bantarjati,
Baranangsiang dan Cilendek Barat, Kebon Kelapa) were resistant against malathion;
four isolates of Ae. aegypti (i.e. Lawang Gintung, Kebon Pedes, Kedung Waringin, and
Tegal Gundil) ware not resistant (RR10). The

susceptibility status of 12 Ae. aegypti isolates in Bogor City were also performed in
distribution by map.
The study on dengue cases in Bogor City showed that the high insidence of
dengue was related to the high frequency of using insecticides as one of the vector
control method. Beside that the dengue cases in Bogor City during the years of 20082012 were also related to the climate factors such as precipitation, temperature and
humidity. The result analysis of correlation between dengue cases and precipitation for
5 years showed significant values (P0,05) (i.e. Katulampa,
Bondongan, Tegal Lega, Menteng and Lawang Gintung). Meanwhile, the relationship
of dengue cases with average temperatures for five years showed no significant values
in all area of Bogor City. Futhermore, the relationship of dengue cases with average
humidity during the years of 2008-2012 showed significant values (P0,05).
Key word : Aedes aegypti Linn., Insecticide resistance, organophosphate, Dengue
Haemorrhagic Fever

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STATUS KERENTANAN VEKTOR Aedes aegypti TERHADAP
INSEKTISIDA DAN KAITANNYA DENGAN KEJADIAN KASUS
DEMAM BERDARAH DI KOTA BOGOR

SITI NURJANAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Susi Soviana, MSi.

Judul Usul Penelitian : Status Kerentanan Vektor Aedes aegypti terhadap Insektisida
dan Kaitannya dengan Kejadian Kasus Demam Berdarah di
Kota Bogor.
Nama
: Siti Nurjanah
NIM
: B252110071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MSi
Ketua

Dr drh Dwi Jayanti Gunandini, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr drh Upik Kesumawati Hadi, M.Si

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian :

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Status Kerentanan Vektor Aedes aegypti terhadap Insektisida dan
Kaitannya dengan Kejadian Kasus Demam Berdarah di Kota Bogor. Penelitian ini yang
dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Mei 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Upik Kesumawati Hadi MS dan

Ibu Dr drh Dwi Jayanti Gunandini Msi selaku pembimbing yang telah memberikan
saran serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr drh Susi
Soviana Msi selaku pembimbing luar komisi pada ujian tesis atas saran dan masukan
pada tesis ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf
pengajar program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) atas semua ilmu,
pengalaman, bimbingan dan nasihat. Ucapan terima kasih untuk teman-teman PEK
angkatan 2011 atas persahabatan, keceriaan dan semangatnya selama ini. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa
dan kasih sayang yang senantiasa tercurah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hipotesis
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Demam Berdarah Dengue
Nyamuk Aedes aegypti
Pengendalian Penyakit DBD
Resistensi Nyamuk Aedes aegypti terhadap Insektisida
Resistensi Aedes aegypti terhadap Malation
Resistensi Aedes aegypti terhadap Bendiokarb
Resistensi Aedes aegypti terhadap Deltametrin
3 METODE
Waktu dan Tempat
Penetasan Telur dan Pemeliharaan Nyamuk
Uji Kerentanan
Pengumpulan data kasus penyakit DBD dan cuaca di kota Bogor
Pemetaan Status Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kerentanan
Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti terhadap Malation
`
Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti terhadap Bendiokarb

Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti terhadap Deltametrin
Kajian Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor
Hubungan Kasus DBD dengan Status Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti
Hubungan Kasus DBD dengan Curah Hujan di Kota Bogor
Hubungan Kasus DBD dengan Suhu di Kota Bogor
Hubungan Kasus DBD dengan Kelembaban di Kota Bogor
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
2
3
5
5
6
7
8
9
9
10
10
11
11
11
12
12
12
15
19
23
23
25
27
30
32
32
33
33
37

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan jalur masuknya
Rata-rata persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap
malation di Kota Bogor
Status kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap malation di Kota
Bogor
Nilai-nilai LT50, LT95, RR50 dan RR95 nyamuk Ae. aegypti terhadap
malation 0,8%
Rata-rata Persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap
bendiokarb di Kota Bogor
Status kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap bendiokarb di Kota
bogor
Nilai-nilai LT50, LT95, RR50 dan RR95 nyamuk Ae. aegypti terhadap
bendiokarb 0,1%
Rata-rata Persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap
deltametrin di Kota Bogor
Status kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap deltametrin di
Kota bogor
Nilai-nilai LT50, LT95, RR50 dan RR95 nyamuk Ae. aegypti terhadap
deltametrin
Hasil analisis bivariat antara kasus DBD dan curah Hujan
di Kota Bogor
Hasil analisis bivariat antara kasus DBD dan Suhu di Kota Bogor
Hasil analisis bivariat antara kasus DBD dan kelembaban di Kota
Bogor

6
13
13
14
16
17
18
20
20
21
26
28
32

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Peta status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation 0,8%
di Kota Bogor
Peta status kerentanan Ae. aegypti terhadap bendiokarb di Kota
Bogor
Peta status kerentanan Ae. aegypti terhadap deltametrin di Kota
Bogor
Grafik kasus demam berdarah dari tahun 2008-2012 di Kota Bogor
Grafik kasus DBD dan rata-rata curah hujan selama tahun 2008-2012
di
Hubungan kasus DBD dengan curah hujan di Kota Bogor
Grafik kasus DBD dan rata-rata suhu selama tahun 2008-2012 di
Kota Bogor
Hubungan kasus DBD dengan suhu di Kota Bogor
Grafik kasus DBD dan rata-rata kelembaban selama tahun 20082012 di Kota Bogor
Hubungan kasus DBD dengan kelembaban di Kota Bogor

14
17
21
24
25
26
28
29
31
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Kegiatan Penetasan Telur
Uji Kerentanan
Hasil Uji Korelasi Kasus DBD dan Rata-Rata
Curah Hujan Tahun 2008-2012
Hasil Uji Korelasi Kasus DBD dan Rata-Rata
Kelembaban Tahun 2008-2012
Hasil Uji Korelasi Kasus DBD dan Rata-Rata
Suhu Tahun 2008- 2012

37
38
39

41
43

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 maret 1987 sebagai putri dari ayah
bernama Syahrun Nasir dan Ibu bernama Humaidah. Penulis merupakan anak ke empat
dari empat bersaudara yaitu Meidaliantisyah STp, Nurliana SPd dan Diana Tri Oktora
Amd.
Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2005 setelah itu,
penulis sempat melanjutkan pendidikan sarjana di jurusan Pendidikan Biologi
Universitas Negeri Jakarta. Pada tahun 2006, penulis diterima di Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung (FMIPA
UNILA) melalui jalur SPMB dan lulus tahun 2010. Sejak menyelesaikan pendidikan
sarjana, penulis berhasil memperoleh beasiswa unggulan Dikti (BU-DIKTI) dan
melanjutkan pendidikannya di program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
(PEK), sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu di antara masalah
kesehatan yang utama di Indonesia. Jumlah penderita DBD meningkat dari tahun
ke tahun seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk di
Indonesia. Sejak tahun 1968 sampai tahun 2009, Indonesia menempati urutan
pertama dengan jumlah penderita tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit DBD
pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1968 di kota Surabaya, 58 orang
terinfeksi virus dengue dengan 24 orang di antaranya meninggal dunia dengan
angka kematian (AK) sebesar 41,3 %. Sejak saat itu penyakit DBD menyebar luas
ke seluruh Indonesia (Kemenkes RI 2010).
Sejak tahun 2008 sampai tahun 2012 terdapat dua kelurahan yang memiliki
tingkat kasus DBD paling tinggi di Kota Bogor yaitu Kelurahan Bantarjati dan
Tegal Gundil di Kecamatan Bogor Utara, sehingga dua kelurahan tersebut
ditetapkan sebagai wilayah endemis penyakit DBD di Kota Bogor. Tingginya
tingkat kasus penyakit DBD di Bogor kemungkinan disebabkan oleh perubahan
cuaca global dan infrastruktur wilayah yang buruk. Selain itu, adanya toleransi
atau bahkan resistensi dari insektisida yang selama ini digunakan dalam
pemberantasan vektor nyamuk Ae. aegypti diduga memberikan kontribusi
terhadap peningkatan kasus demam berdarah dengue di Kota Bogor. Insektisida
yang biasa digunakan dalam penyemprotan insektisida (fogging-focus) untuk
mengendalikan nyamuk dewasa sejak tahun 2000 di Kota Bogor adalah dari
golongan piretroid, dan sebelum tahun 2000 insektisida yang digunakan adalah
malation 0,8% (DKK Bogor 2012).
Penggunaan insektisida malation, bendiokarb dan deltametrin dalam jangka
waktu yang lama berpotensi menyebabkan adanya resistensi nyamuk Ae. aegypti.
Laporan mengenai toleransi dan resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap
insektisida malation, bendiokarb dan deltametrin telah banyak dilaporkan. Di
Guyana (Perancis), Dusfour et al (2011) telah melaporkan adanya resistensi
nyamuk Ae. aegypti terhadap malation. Hal serupa juga dilaporkan di Malaysia
bahwa nyamuk Ae. aegypti telah resisten terhadap insektisida malation dengan
rasio resistensi mencapai 52,7 (Hidayati et al. 2011)
Widiarti et al. (2011) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah resisten
terhadap insektisida malation 0,8%, bendiokarb 0,1%, lamdasihalotrin 0,05%,
permetrin 0,7%, deltametrin 0,05% dan etopenfrok 0,5% di Jawa Tengah dan
Yogyakarta, tetapi masih rentan terhadap sipermetrin 0,05% dan bendiokarb 0,1%.
Hal serupa juga dilaporkan oleh Shinta et al. (2008) bahwa nyamuk Ae. aegypti
telah resisten terhadap malation 0,8% dan lamdasihalotrin 0,05% tetapi masih
toleran terhadap lamdasihalotrin 0,25% dan rentan terhadap malation 5% di
Jakarta dan Bogor (Kecamatan Tanah Sareal). Sebaliknya, Nusa et al. (2008)
melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti masih rentan terhadap malation 0,8% di
Kota Depok. Sementara itu, untuk data status kerentanan di Kota Bogor secara
menyeluruh belum pernah diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan
tujuan memperoleh data status kerentanan nyamuk Ae. aegypti yang menjadi
vektor penyakit DBD dengan insektisida malation 0,8 %, bendiokarb 0,1 % dan

2
deltametrin 0,025 % di Kota Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi dalam menentukan strategi pengendalian DBD yang efektif dan efisien
di Kota Bogor.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah insektisida yang digunakan dalam
pengendalian DBD sudah resisten terhadap nyamuk vektor Ae. aegypti sehingga
perlu dilakukan monitoring dan rotasi insektisida di Kota Bogor, serta terdapat
hubungan yang signifikan antara peningkatan kasus DBD dengan faktor iklim
(curah hujan, suhu dan kelembaban) di Kota Bogor.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data status kerentanan nyamuk
Aedes aegypti yang menjadi vektor penyakit DBD dengan insektisida malation
0,8 %, bendiokarb 0,1 % dan deltametrin 0,025 % serta kaitannya dengan status
penyakit DBD yang terjadi di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai data acuan
status kerentanan vektor terhadap jenis insektisida yang digunakan di kota Bogor
sebagai rekomendasi mengambil kebijakan program pengendalian yang akan
dilakukan agar lebih efektif dan efisien.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah maupun Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit
yang menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang penting dan semakin
meningkat jumlahnya baik di daerah tropis maupun di subtropis. Kasus demam
berdarah juga semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya urbanisasi dan
pergerakan populasi yang meningkat. Kasus epidemi penyakit DBD di Asia
Tenggara pertama kali terjadi di Manila, Filipina pada tahun 1953-1954 kemudian
diikuti oleh Bangkok, Thailand pada tahun 1958 dan Singapura serta Vietnam
pada tahun 1960 (Gubler 2002).
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue dari kelompok
Arbovirus B, yaitu Arthropod-borne virus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektornya. Virus dengue merupakan virus RNA rantai
tunggal, genus flavivirus dari family Flaviviridae, terdiri atas 4 tipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Struktur antingen ke-4 serotipe ini sangat
mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing – masing tipe virus
tidak dapat saling memberikan perlindungan silang. Penderita yang tinggal di
daerah endemis, dapat terinfeksi lebih dari 1 serotipe selama hidupnya. Variasi

3
genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar tipe
virus, tetapi juga di dalam tipe virus itu sendiri tergantung waktu dan daerah
penyebarannya (Lei et al. 2001).
Infeksi virus dengue memiliki spektrum klinis yang bervariasi mulai dari
yang asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk
yang lebih berat yaitu demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue. Pada
kasus demam dengue atau Dengue Fever (DF) sifatnya terbatas dan jarang fatal,
namun akan beresiko lebih besar jika infeksi tersebut berkembang menjadi
Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Sindrom
Syok Dengue atau Dengue Shock Syndrome (DSS) (Setiasih 2009).
Tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu: manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,
namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat
mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Virus kemudian berkembang biak dalam tubuh nyamuk yang terutama
ditemukan dalam kelenjar liurnya dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya (WHO 2011).
Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat diturunkan kepada keturunannya
melalui telur (transovarial transmission). Pada manusia, virus memerlukan waktu
4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan sakit. Penularannya
dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul. (Kemenkes 2010).
Gejala kilinis utama pada DBD didasarkan pada empat manifestasi yaitu
demam tinggi yang berkelanjutan yang berlangsung 2-7 hari, terjadi pendarahan
yang ditandai dengan positifnya Tes Tourniquet, bintik kemerahan, atau epistaksis,
penurunan jumlah trombositopenia >100.000 sel/mm3, dan adanya tanda
kebocoran plasma yang dimanifestasi oleh adanya haemokonsenterasi
(peningkatan hematokrit ≥ 20% di atas rata-rata) (Chuansumrit &
Tangnararatchakit 2006).
Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor demam berdarah yang tersebar
secara kosmopolitan di daerah tropis maupun subtropis. Nyamuk ini termasuk
dalam famili Culicidae, subfamili Culicinae, genus Aedes, subgenus Stegomyia
Theobald dan spesies aegypti (Becker et al. 2005). Perkembangan nyamuk Ae.
aegypti dimulai dari nyamuk dewasa betina bertelur, kemudian menjadi larva
yang memiliki 4 instar, dalam waktu 6-8 hari akan berkembang menjadi pupa.
Pupa kurang lebih dua hari akan berkembang menjadi nyamuk dewasa. Jadi total
siklus hidup dapat diselesaikan dalam waktu 9-12 hari (Hadi & Koesharto 2006).
Telur biasanya diletakkan oleh nyamuk betina satu persatu pada bagian
dinding kontainer yang berbatasan langsung dengan air (Christopher 1960).
Menurut Hadi dan Soviana (2010), telur Ae. aegypti dapat bertahan tanpa air
dalam waktu yang lama, meskipun harus dalam lingkungan yang lembab. Telur

4
akan menetas menjadi larva dalam kondisi yang optimal setelah dua hari terendam
air. Larva Ae. aegypti umumnya bergerak dengan lincah, bersifat fototaksis
negatif dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang
permukaan air (Christopher 1960). Pada saat istirahat, nyamuk Ae. aegypti
memiliki posisi tubuh yang sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.
Setelah keluar dari pupa, nyamuk akan langsung mencari pasangannya untuk
melakukan perkawinan, setalah itu nyamuk betina akan menghisap darah untuk
proses pematangan telur sementara nyamuk jantan mencari makanan berupa
cairan tumbuhan. Nyamuk betina akan mengeluarkan telurnya kurang lebih 3 hari
setelah menghisap darah. Nyamuk jantan umumnya hanya bertahan hidup selama
6-7 hari sementara untuk nyamuk betina dapat bertahan hidup sampai 2 minggu di
alam (Hadi & Soviana 2010).
Nyamuk Ae. aegypti betina dewasa sangat bersifat anthropofilik (menyukai
darah manusia) dan pada umumnya memiliki aktifitas menghisap darah pada pagi
siang hari yang dilakukannya baik di dalam maupun di luar rumah. Aktifitas
tersebut memiliki dua puncak yaitu pagi hari pada pukul 10.00 sampai dengan
pukul 12.00 dan pada siang hari pukul 15.00 sampai pukul 17.00 (WHO 2011).
Tetapi menurut Hadi et al. (2012) nyamuk Ae. aegypti tidak hanya memiliki
aktivitas menggigit di siang hari tetapi juga di malam hari. Aktifitas menggigit
tersebut dilakukan nyamuk Ae. aegypti sepanjang malam dari pukul 18.00 sampai
pukul 05.15 pagi. Sementara itu, berdasarkan penelitian Riwu (2013) mengenai
bioekologi nyamuk Ae. aegypti di kota Bogor, aktivitas nyamuk Ae. aegypti lebih
cenderung untuk menghisap darah dan beristirahat di dalam rumah dengan puncak
aktivitas pada jam 11.00-12.00 dan jam 14.00-15.00. Menurut Marchoux dan
Simond (1903) dalam Christopher (1960), pada suhu dibawah 15 oC nyamuk Ae.
aegypti tidak dapat melakukan aktifitas menghisap darah, karena pada suhu
tersebut nyamuk akan susah terbang karena kakinya akan lemah.
Populasi nyamuk Ae. aegypti lebih memilih tempat untuk beristirahat seperti
tempat atau permukaan yang gelap, lembab, dan terpencil di suatu ruangan di
dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, lemari, kamar mandi dan
dapur. Nyamuk Ae. aegypti juga menyukai daerah dibawah meja (furniture),
benda yang menggantung seperti baju atau tirai dan dinding. Nyamuk ini jarang
ditemukan berada di luar ruangan atau di antara vegetasi. Setelah beristirah untuk
memantangkan telurnya, nyamuk Ae. aegypti akan mencari tempat untuk
meletakkan telurnya (oviposisi). Preferensi nyamuk Ae. aegypti untuk melakukan
oviposisi lebih cenderung pada wadah buatan manusia seperti bak mandi dan
ember yang menampung air, kendi dan tempayan, botol dan kaleng bekas, wadah
plastik yang menyimpan air dan sebagainya.
Beberapa nyamuk memiliki kemampuan terbang dengan jarak yang
berbeda-beda. Jarak yang ditempuh nyamuk betina Ae. aegypti dari tempat
perindukan dan sumber makanan darah sekitar 50 sampai 100 meter, tetapi di
Singapura nyamuk ini juga dilaporkan dapat terbang dengan mudah dan cepat
dalam mencari tempat perindukan mencapai 320 meter (Hadi & Koesharto 2006).
Menurut WHO (2011) jarak tempuh nyamuk betina dari tempat perindukan dan
sumber makanan darah hanya berkisar antar 30-50 m, kemampuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah ketersediaan tempat bertelur.
Berdasarkan penelitian di Puerto Rico, nyamuk Ae. aegypti dapat terbang sejauh
400 meter dalam mencari tempat untuk bertelur.

5

Pengendalian Penyakit DBD
Hingga saat ini belum ditemukan obat khusus yang dapat membunuh virus
dangue. Oleh karena itu upaya pencegahan yang utama dititik beratkan pada
pemberantasan nyamuk penularnya disamping kewaspadaan dini terhadap kasus
DBD. Menurut Hadi dan Koesharto (2006) pengendalian nyamuk secara umum
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pengendalian nonkimiawi maupun
dengan kimiawi. Pengendalian nonkimiawi pada dasarnya merupakan
pengendalian dengan muambuat keadaan lingkungan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan nyamuk. Pengendalian dengan pengelolaan lingkungan merupakan
salah satu contoh pengendalian nonkimiawi. Adapun, cara pengelolaan
lingkungan yang dapat dilakukan yaitu 1). Modifikasi lingkungan, kegiatan
pengendalian ini khususnya dalam pemberantasan vektor DBD telah banyak
dilakukan di Indonesia, kegiatan ini cukup populer dengan nama pengendalian
sarang nyamuk “3M” menutup, menguras dan menimbun berbagai tempat yang
menjadi sarang nyamuk, 2). Manipulasi lingkungan, adapun kegiatan
pengendalian nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor DBD yang direkomendasi oleh
WHO (2011) yaitu dengan mengatur kontainer alami dan buatan agar tidak
menjadi tempat perbiakan nyamuk, seperti pengeringan instalasi air, pembersihan
pot-pot yang menampung air, serta pengaturan konstruksi bangunan.
Pengendalian nyamuk secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan
insektisida dan cara-cara aplikasi yang banyak digunakan di Indonesia adalah
dengan menggunakan Pengendalian vektor DBD selama ini telah dilakukan
adalah pengendalian nyamuk dewasa melalui fogging menggunakan malation
serta temephos (abatisasi) yang diaplikasikan dalam pengendalian jentik. Malation
juga tergolong kedalam insektisida organofosfat yang sering digunakan oleh
program nasional untuk membunuh nyamuk vektor DBD dengan cara
disemprotkan dalam bentuk kabut (asap) dengan menggunakan mesin khusus.
Temephos (abate) telah direkomendasikan penggunaanya oleh WHO sejak tahun
1970 untuk pengendalian larva Aedes dan aman bila digunakan pada air minum
(Kemenkes 2011).
Konsep baru dalam pengendalian penyakit menular khususnya demam
berdarah telah diperkenalkan dengan konsep manajemen demam berdarah
berbasis wilayah. Dewasa ini berbagai program untuk pengendalian laju kejadian
pengakit demam berdarah telah banyak dilakukan di Indonesia. Kegiatan secara
intensif seperti gerakan masyarakat untuk mengandalikan tempat perindukan
nyamuk, pengendalian larva dan kegiatan penyuluhan untuk pelibatan masyarakat
secara positif telah dilaksanakan. Konsep ini menggabungkan pengendalian
penyakit pada sumbernya yakni penderita awal yang memiliki potensi sebagai
sumber penularan, pengendalian pada nyamuk dengan pengendalian sarang
nyamuk serta penyuluhan masyarakat untuk mendukung gerakan brantas (secara)
tuntas penyakit demam berdarah (Getas DBD) (Achmadi 2010).
Resistensi Nyamuk Aedes aegypti terhadap Insektisida
Kerugian dalam penggunaan insektisida dalam program pengendalian
penyakit demam berdarah di antaranya adalah timbulnya galur nyamuk vektor

6
yang resisten terhadap insektisida yang digunakan. resistensi serangga merupakan
kemampuan peningkatan daya tahan suatu populasi serangga terhadap insektisida
yang semula mematikan. Populasi suatu spesies serangga pada mulanya rentan
terhadap insektisida yang digunakan, tetapi setelah beberapa generasi daya guna
insektisida tersebut akan semakin menurun karena serangga yang menjadi sasaran
semakin toleran atau bahkan telah resisten terhadap insektisida yang digunakan.
Resistensi Aedes aegypti terhadap Malation
Insektisida malation termasuk dalam golongan organofosfat yang telah
digunakan sejak tahun 1950 di Amerika dan tahun 1970 di Indonesia. Insektisida
ini merupakan jenis insektisida yang digunakan untuk aplikasi di luar ruangan.
Menurut Tarumingkeng (1992), malation termasuk salah satu insektisida yang
paling aman dengan nilai LD 50 oral akut 900-5800 yang diujikan pada tikus serta
dapat diurai dalam hati manusia. Cara masuk insektisida ini pada serangga target
dapat melalui kulit (kontak) ataupun sebagai uap dan juga sebagai racun perut.
Malation dengan nama kimia O,O-dimethyl dithiophosphate of diethil
mercaptosuccinat, merupakan insektisida yang juga digunakan untuk mencegah
hama dari tanaman sayuran, buah dan sebagainya. Rumus empirik dari malation
adalah C10H19O6PS2 dengan berat molekul 330,4 (Cox 2003).
Malation murni berwujud cair, tidak berwarna dan memiliki titik didih
156-157 oC, sedangkan secara teknis malation berwarna coklat dan berbau seperti
bawang putih. Malation larut pada hampir semua jenis pelarut tetapi cenderung
kurang larut dalam air (145 ppm). Pada pH 5 atau 8 malation akan terhidrolisis
dan terurai pada suhu yang tinggi. Insektisida ini dapat membunuh serangga
dikarenakan dapat diubah menjadi malaoxon yang berufungsi menghambat enzim
asetilkolin dalam tubuh serangga (Tarumingkeng 1992). Pada tahun 2000
malation diduga sebagai bahan karsinogenik yaitu bahan yang dapat merangsang
pertumbuhan sel kanker, tetapi tidak cukup berdampak karsinogenik terhadap
manusia (Cox 2003). Pada mamalia dan aves, malation tidak memiliki dampak
yang mematikan karena pada mamalia dan aves memiliki aktifitas
karboksilesterase yang lebih besar daripada serangga, sehingga dapat menetralisir
malation lebih cepat sehingga tidah berubah manjadi malaoxon (NPIC 2012).
Toksisitas malation dibagi menjadi empat jenis sesuai dengan dosisnya yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan jalur masuknya
Jalur masuk ke
dalam tubuh

Toksisitas
kuat

Oral (mulut) LD50

≤ 50 mg/kg

Inhalasi
(pernapasan) LC50

≤ 0,05 mg/L
(aerosol)
≤ 200 mg/kg

Dermal LD50

Toksisitas
sedang
>50 – 500
mg/Kg
>0,05 – 0,5
mg/L
>200 – 2000
mg/Kg

Toksisitas rendah

Toksisitas sangat
rendah

>500 – 5000
mg/Kg

>5000 mg/Kg

>0,05 – 2,0 mg/L

>2,0 mg/L
(serbuk)

>2000 – 5000
mg/Kg

>5000 mg/Kg

7
Cara kerja pada insektisida memberikan pengaruh terhadap serangga
berdasarkan aktivitas insektisida di dalam tubuh serangga tersebut. Menurut Fales
dan Kohler (1998) dalam Wirawan (2006) cara kerja insektisida yang digunakan
dalam pengendalian hama permukiman terdiri dari 5 kelompok yaitu
mempengaruhi sistem saraf, menghambat produksi energi, mempengaruhi sistem
endokrin, menghambat produksi kutikula, dan menghambat keseimbangan air.
Malation termasuk ke dalam kelompok insektisida yang memiliki cara
kerja dalam mengganggu sistem saraf pada tubuh serangga target. Malation
bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) sehingga
enzim ini tidak dapat menghidrolisis asetilkolin (ACh). ACh merupakan suatu
neurotransmitter yang menstimulasi pembukaan saluran Na+ dan K+, sedangkan
AChE merupakan katalis dari reaksi hidrolisis asetilkolin menjadi kolin inaktif
dan asetat (Foley 2005). Gejala yang ditimbulkan pada serangga sama seperti pola
umum keracunan pada saraf yaitu adanya keresahan, hiperexiability, gemetaran,
kejang, lumpuh dan mati.
Kejadian resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap malation telah banyak
dilaporkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Resistensi malation terjadi
pada beberapa strain nyamuk di Amerika Selatan. Pengujian dilakukan terhadap
102 strain nyamuk Ae. aegypti terhadap malation yang telah digunakan selama 2030 tahun di beberapa negara di Amerika Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa strain St. Vincent (RR = 4,4), Dominica (RR = 4,2), dan Trinidad (RR =
4,0) telah resisten terhadap malation yang telah digunakan selama 20 tahun dalam
pengendalian nyamuk Ae. aegypti (Rawlins 1998). Selain itu, resistensi Ae.
aegypti terhadap malation juga dilaporkan di Sudan. Hasil penelitian tersebut
melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah resisten terhadap malation 5%
dengan pengujian standar WHO (Husham et al. 2010). Resistensi nyamuk Ae.
aegypti terhadap malation juga dilaporkan di Perancis. Pengujian resistensi
dilakukan dengan pengujian efikasi dengan penyemprotan insektisida
menggunakan Ultra Low Volume (ULV) terhadap 5 strain nyamuk Ae. aegypti.
Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa terjadi peningkatan kekebalan
nyamuk Ae. aegypti yang terekam dalam peningkatan persentase kematian
(Dusfour et al.2011).
Di Indonesia, resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap malation juga
dilaporkan antara lain pada strain nyamuk Jakarta dan Bogor (Kecamatan Tanah
Sareal). Pengujian resistensi tersebut melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah
resisten terhadap malation 0,8%, tetapi masih toleran terhadap malation 5%
(Shinta et al. 2008). Selain itu, resistensi nyamuk Ae. aegypti juga dilaporkan
pada galur nyamuk Bandung, Jakarta, Surabaya dan Palu walaupun tingkat
resistensinya tergolong rendah bila dibandingkan dengan resistensi Ae. aegypti
terhadap permetrin (piretroid) (Ahmad et al. 2009).
Resistensi Aedes aegypti terhadap Bendiokarb
Insektisida bendiokarb termasuk dalam golongan karbamat yang cukup
populer digunakan dalam pengendalian nyamuk, lalat dan lipas. Insektisida ini
biasa digunakan dalam formulasi aerosol dan oil spray karena memiliki kelebihan
yaitu daya knockdown yang cepat (Wirawan 2006). Dalam program pengendalian
penyakit, insektisida ini hanya digunakan untuk nyamuk Anopheles sebagai vektor
penyakit malaria. Bendiokarb bekerja sebagai racun kontak dan sistemik serta

8
memiliki efek residual yang cukup lama sehingga sesuai dalam menekan populasi
nyamuk dewasa. Insektisida ini memiliki LD50 oral akut terhadap tikus sebesar 80
mg/kg (Tarumingkeng 1992).
Insektisida bendiokarb yang tergolong dalam karbamat secara umum
memiliki cara kerja dan gejala keracunan yang serupa dengan golongan
organofosfat. Kedua golongan ini dapat menghambat kerja dari enzim
kolinesterase sehingga menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps saraf
(Wirawan 2006). Perbedaan yang terlihat dari insektisida golongan karbamat
terlihat dari adanya sifat selektivitas dan reversibilitas. Aplikasi dari bendiokarb
pada serangga target juga dimulai dengan pembentukan kompleks reversibel
(EOH-AX) oleh enzim asetilkolinesterase (EOH) terhadap insektisida ini (AX).
Tahap selanjutanya akan terjadi fosforilasi, asetilasi dan karbamilasi sehingga
menghasilkan kompleks enzim dan karbamat yang terinhibisi (EOA). Pada tahap
akhir akan terjadi reaksi hidrolisis yang meliputi reaksi defosforilasi, deasetilasi
dan dekarbarilasi pada enzim. Penghambatan enzim asetilkolinesterase ini tidak
bersifat tetap (reversible) sehingga dapat pulih kembali.
Walaupun tidak dipakai dalam pengendalian nyamuk Ae. aegypti,
bendiokarb kerap dilakukan pengujian status kerentanannya terhadap Ae. aegypti.
Hal itu dikarenakan insektisida ini biasa digunakan dalam formulasi insktisida
rumah tangga. Adapun, laporan mengenai resistensi Ae. aegypti terhadap
bendiokarb antara lain dilaporkan di Malaysia. Nyamuk Ae. aegypti dilaporkan
telah resisten terhadap bendiokarb dan propoksur (karbamat) dengan persentase
kematian >80%. Pengujian tersebut dilakukan di 2 lokasi yaitu Shah Alam dan
Selangor Malaysia dengan menggunakan pengujian bioassay standar WHO (Rong
et al. 2012). Penelitian di Sudan dengan metode standar WHO melaporkan bahwa
nyamuk Ae. aegypti masih rentan terhadap bendiokarb 0,1% (Husham et al. 2010).
Sementara itu, di Indonesia, resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap bendiokarb
telah dilaporkan terhadap populasi nyamuk di 8 wilayah Propinsi Jawa Tengah
(Kabupaten Jepara, Kabupaten Blora, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota
Magelang, dan Kota Purwokerto) dan di 3 wilayah Daerah Istimewa Jogyakarta
(Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman) (Widiarti et al.
2011).
Resistensi Aedes aegypti terhadap Deltametrin
Insektisida deltametrin termasuk dalam golongan insektisida piretroid
generasi keempat yang bersifat fotostabil yang pada awalnya digunakan untuk
bidang pertanian. Keunggulan dari insektisida ini merupakan racun kontak dan
perut yanag bekerja dengan cepat pada tubuh serangga target. Deltametrin
cenderung tidak menimbulkan iritasi pada manusia sehingga menjadi alasan
banyak digunakannya insektisida ini dalam program pengendalian hama
permukiman maupun pengendalian penyakit yang disebabkan vektor terutama
nyamuk (Wirawan 2006). Di Indonesia golongan piretroid telah banyak
digunakan dalam program pengendalian vektor penyakit khususnya vektor
penyakit demam berdarah yaitu nyamuk Ae. aegypti. Golongan piretroid telah
digunakan sejak tahun 1980 untuk menggantikan malation dari golongan
organofosfat.
Cara kerja dari insektisida ini terdiri atas 2 tahap yaitu dengan meracuni
serangga (knock down) kemudian mengganggu saraf (blockade) serangga.

9
Serangga akan lumpuh (knock down) tetapi dapat normal kembali bila tahap
pertama bisa di atasi. Pada saat knock down, serangga tidak akan mati tetapi bila
serangga tidak bisa menetralkan tahap pertama maka jaringan saraf akan
terganggu dan akhirnya mati. Racun akan mengganggu sel saraf dengan cara
merangsang terjadinya pelepasan berulang (repetitive discharge) yang membuat
serangga lumpuh/paralisis. Pengaruh ini disebabkan oleh kerja piretrum dalam
celah sodium (Na) yang merupakan celah sempit untuk masuknya ion-ion sodium
(Na) ke akson yang mengakibatkan eksitasi. Piretrum akan terikat pada suatu
protein dalam saraf yang dikenal dengan voltage-gated sodium channel. Protein
ini akan membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk
menghentikan sinyal saraf dalam keadaan normal. Efek yang ditimbulkan dari
insektisida ini sama seperti yang disebabkan oleh organofosfor dan karbamat,
impuls saraf akan mengalami stimulasi secara terus menerus dan mengakibatkan
serangga menunjukkan gejala tremor/gemetar, gerakan tak terkendali (IRAC
2012; Wirawan 2006).
Kasus resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap golongan piretroid
khususnya deltametrin telah banyak dilaporkan antara lain di Thailand. Penelitian
tersebut melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah resisten terhadap permetrin
(piretroid) dengan kenaikan aktifitas enzim Glutation S-Transferase dan Esterase
yang dilakukan dengan pengujian biokimia (Prapanthadara et al. 2002). Hal
serupa juga dilaporkan oleh Ponlawat et al. (2005) bahwa nyamuk Ae. aegypti
telah resisten terhadap permetrin di Thailand. Selain itu, Dusfour et al. (2011)
melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah resisten terhadap deltametrin yang
diaplikasikan dengan pengujian efikasi menggunakan ULV. Di Malaysia, nyamuk
Ae. aegypti telah dilaporkan resisten terhadap permetrin (0,75%) dengan
persentase kematian