BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Televisi sebagai media audio visual merupakan media yang dianggap paling efektif dalam menyebarkan nilai-nilai yang konsumtif dan permisif. Bahkan
apapun yang diproduksi dan ditayangkan televisi akan selalu menarik bagi setiap penontonnya. Setiap acara televisi dikelola oleh banyak orang yang ahli
dibidangnya masing-masing di stasiun televisi. Stasiun televisi merupakan lembaga penyiaran atau tempat bekerja yang melibatkan banyak orang, dan yang
mempunyai kemampuan atau keahlian dalam bidang penyiaran yang berupaya menghasilkan siaran atau karya yang baik. Namun diskriminasi dan representasi
terhadap penyandang disabilitas dalam media televisi berakar dari struktur media massa yang berpihak kepada kelompok dominan atau penguasa dan mengabaikan
kelompok minoritas yang termarginalkan. Akibatnya, ruang informasi, wawasan dan pemahaman masyarakat dan pemerintah terhadap persoalan disabilitas sangat
terbatas. Dengan demikian peneliti menilai bahwa televisi cenderung diskriminatif terhadap isu disabilitas dan kerap menempatkan disabilitas sebagai kelompok
yang “aneh”, menjadi bahan tertawaan, atau kelompok yang harus dibantu dan dikasihani. Stigma dan stereotipe negatif tersebut salah satunya disebabkan oleh
konstruksi sosial dalam memandang persoalan disabilitas dan kelompok disabilitas di masyarakat.
Awalnya, disabilitas dikenal dengan istilah “cacat”. Terminologi “cacat” disematkan karena orang “cacat” dianggap memiliki kekurangan, kerusakan, atau
ketidaklengkapan fisik sebagaimana yang “normal” Masduqi, 2010: 2. Label yang diberikan pada orang yang memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu dapat
menyebabkan orang tersebut merasa tidak berharga dan dipandang sebagai penyimpangan dalam masyarakat. Seringkali, konotasi negatif yang diberikan
orang lain dapat membuat orang tersebut merasa tidak berharga atau dapat menyebabkan orang lain memperlakukan ia secara berbeda
Mangunsong, 2009, dalam disertasi Nurhidaya Amar, 2014: 1. Bahkan media massa seringkali
menempatkan disabilitas sebagai kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari normal. Media massa merupakan teknologi atau sarana pembawa pesan
dalam bentuk cetak maupun audio visual yang keberadaannya tak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan media massa sangat berperan
dalam mempengaruhi perubahan di masyarakat. Televisi menjadi salah satu jenis media yang paling sukses untuk mendorong terjadinya perubahan. Televisi sering
dikatakan menjadi salah satu bentuk komunikasi sosial yang populer dan telah mengubah dunia kita.
Televisi juga dipandang sebagai hasil temuan dari riset ilmiah dan teknik yang sifat-sifat inherennya sebagai suatu media elektronik telah mengubah
persepsi-persepsi dasar kita mengenai realitas dan dengan begitu mengubah cara berelasi kita dengan yang lain dan dengan dunia Williams, 2009: 4. Televisi
sebagai media audio visual yang mengandalkan pendengaran dan penglihatan dari khalayak sasaran penonton akan menjadi sangat efektif dengan pesan maupun
informasi yang disampaikan. Keterjangkauan “kotak ajaib” ini dapat sampai ke semua lapisan masyarakat dengan memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan
dengan media lainnya, yakni bersifat langsung dan intim. Televisi juga didefinisikan Baksin 2006: 16 bahwa: “Televisi merupakan
hasil produk teknologi tinggi hi-tech yang menyampaikan isi pesan dalam bentuk audio visual gerak. Isi pesan audio visual gerak memiliki kekuatan yang
sangat tinggi untuk mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu”. Sementara menurut ensiklopedia Indonesia dalam Parwadi 2004: 28 lebih luas
lagi dinyatakan bahwa: “Televisi adalah sistem pengambilan gambar, penyampaian, dan penyuguhan kembali gambar melalui tenaga listrik. Gambar
tersebut ditangkap dengan kamera televisi, diubah menjadi sinyal listrik, dan dikirim langsung lewat kabel listrik kepada pesawat penerima”.
Berdasarkan pendapat di atas menjelaskan bahwa televisi adalah sistem elektronis yang menyampaikan suatu isi pesan dalam bentuk audio visual gerak
dan merupakan sistem pengambilan gambar, penyampaian, dan penyuguhan kembali gambar melalui tenaga listrik. Isi pesan di televisi sangat berperan dalam
mempengaruhi mental, serta pola pikir khalayak umum. Ketidakadilan dalam penggambaran disabilitas di media massa
ditunjukkan dengan stereotip dan representasi negatif media massa terhadap kelompok disabilitas. Penggambaran umum penyandang disabilitas juga terdapat
dalam laporan Disabling Imagery and the Media oleh The British Council of Organisations of Disabled People
Barnes, 199: 28-19 yang mengidentifikasi
karakteristik umum stereotip media di Inggris terhadap kelompok disabilitas. Karakteristik tersebut antara lain:
1 Orang yang hidupnya menyedihkan dan patut dikasihani, 2 Objek kekerasan, 3 Orang yang kejam dan mengerikan, 4 Orang yang misterius dan mengancam,
5 Orang yang memiliki kekuatan super dan kekuatan ajaib dibandingkan orang ‘normal’, 6 Objek lelucon dan kekonyolan, 7 Satu-satunya musuh dan musuh
terburuk dari orang ‘normal’, 8 Beban sosial bagi orang lain, 9 Orang dengan kelainan seksual, 10 Orang yang terasing dari masyarakat Barnes, 1992:8-19.
Lebih lanjut istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan seseorang dengan keterbatasan tertentu dikenal dengan sebutan
difabel. Difabel Different ability people adalah orang yang mengalami keterbatasan atau cacat secara jasmani fisik atau adanya gangguan psikologis.
Misalnya, tunadaksa karena kelumpuhan dengan adanya gangguan organ tubuh atau juga pada otak, tuna grahita karena mengalami keterbelakangan mental.
Sedangkan secara psikologis dapat terlihat pada intelegensi atau kecerdasan, perkembangan bahasa, kemampuan berpikir, lambat belajar, rendah diri dan
perasaan tidak mampu Mangunsong, 2009, dalam disertasi Nurhidaya Amar, 2014: 1-2.
Potensi disabilitas sebagai komoditas menarik televisi kini dapat dengan mudah ditemukan hampir di setiap produk budaya populernya, diantaranya
program reality show “Bedah Rumah” RCTI “Kejamnya Dunia” Trans TV, “Minta Tolong” RCTI. Para pemirsa televisi di Indonesia juga sebenarnya
tengah dimanja dengan lawakan-lawakan dari kaum difabel lainnya melalui sosok Sony “Wakwaw”, Ucok Baba, dan Daus Mini. Satu diantaranya adalah Sony
“Wakwaw”, bocah yang dikenal melalui sinetron Mak Ijah Pengen ke Mekah
yang ditayangkan di stasiun televisi swasta SCTV, berhasil melambungkan kembali rating dan share sinetron yang hampir gulung tikar tersebut.
Ketidaksempurnaannya pada kemampuan melihat dan keterbelakangan mentalnya, justru menjadi bahan lawakan segar yang menghidupkan kembali
sinetron tersebut. Sehingga lagi-lagi kaum difabel menjadi sasaran empuk lelucon yang merupakan bahan komoditas menarik bagi kaum kapitalis.
Praktik komodifikasi lain yang menempatkan kelompok disabilitas sebagai komoditas yang lemah dan patut dikasihani adalah program reality show “Tukar
Nasib” yang tayang di SCTV. Acara yang ditayangkan sejak tahun 2009 tersebut menampilkan dua keluarga satu keluarga kaya dan satu lagi lagi keluarga
miskin, di mana hidup kedua keluarga itu ditukar yang kaya tinggal di rumah miskin, dan yg miskin di rumah yang kaya. Acara tersebut bertujuan mulia, di
mana si kaya tinggal di rumah si miskin agar dapat merasakan penderitaan yang dialami si miskin. Sedangkan si miskin tinggal di rumah si kaya agar memahami
perjuangan si kaya sampai akhirnya bisa memperoleh kekayaan seperti sekarang. Namun, acara ini seakan menjadi sangat tidak etis karena menampilkan sosok
keluarga miskin sebagai keluarga yang sangat kampungan dan menjadi bahan olokan. Keluarga si miskin yang tinggal di rumah si kaya ditampilkan begitu
kikuk menyikapi kehidupan orang kaya. Apalagi sang ayah dari keluarga miskin itu disuruh memimpin rapat di kantor si kaya, atau menjadi Manager Marketing
yang menjual mobil ke seorang pelanggan. Mereka sama sekali tidak dibekali pengetahuan apapun, bahkan terkesan dilempar begitu saja ke kandang harimau.
Mereka hanya bisa tersenyum bingung, sembari ditertawai para staf dan
pelanggan. Acara seperti ini tentu tidak etis. Hal tersebut justru menjatuhkan harga diri sang ayah dari keluarga miskin tersebut, yang membuatnya minder dan
sakit hati. Di mana hati nurani tim kreatif acara ini? Tidak ada pesan moral dan hal baik yang bisa didapat, selain hanya membuat jurang pemisah antara si kaya
dan si miskin semakin lebar. http:ragamfakta.blogspot.com20111110-acara-
reality-show-indonesia paling.html , diakses 2 Februari 2015, pukul 04.18 WIB
Hasil observasi awal yang dilakukan peneliti terhadap berbagai acara hiburan yang ditayangkan televisi tersebut menunjukkan kecenderungan stereotip
negatif terhadap kelompok disabilitas. Hal tersebut juga bisa dilihat dari yang kecenderungan mengeksploitasi penyandang disabilitas sebagai objek lelucon dan
kekonyolan seperti karakter Aziz Gagap di Opera van Java, karakter si buta, si tuli, dan si gagap dalam sinetron Tri Masketir Global TV, serta program
talkshow yang menghadirkan Ucok Baba, Daus Mini dan Mulyana, atlet renang tuna daksa dalam program talk show Hitam Putih TRANS7.
Melalui media massa, banyak hal tentang kemampuan atlet difabel ditampilkan. Mulyana adalah anak seorang petani miskin di wilayah Purwakarta,
Jawa Barat yang terlahir dengan kondisi cacat fisik tuna daksa dimana dia tidak memiliki tangan sebelah kanan buntung, dan kaki sebelah kanan yang lebih
pendek serta kecil dibandingkan kaki kanannya. Meski dengan keterbatasan fisik, Mulyana mampu menjadi atlet renang tuna daksa tingkat Internasional. Ini
dibuktikan dengan keberhasilannya meraih tiga medali emas di Myanmar, dan dua medali emas serta satu medali perak di ajang Asian Para Games di Incheon, Korea
Selatan pada 18-24 Oktober 2014 lalu. Bahkan prestasinya di Asian Para Games
2014 itu sekaligus mematahkan rekor dunia yang sebelumnya dipegang Darko Duric, asal Slovakia dengan catatan waktu 40,48 detik yang dicapai dalam
Paralympic 2012 di London, Inggris. Mulyana, menggenggam rekor baru dunia nomor 50 meter gaya kupu-kupu kelas S4 dengan catatan waktu 39,44 detik untuk
menyentuh garis finis pada partai final di Munhak Park Tae-hwan Aquatics Center di Asian Para Games Incheon, Korea Selatan 2014.
Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pada Bab VII mengenai pembinaan dan pengembangan olahraga
penyandang cacat, pasal 30 ayat 1 menyebutkan: “Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dilaksanakan dan diarahkan untuk
meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi olahraga”. Kemudian pada ayat 4 disebutkan: “Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang
cacat diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi berdasarkan jenis olahraga khusus bagi penyandang cacat yang
sesuai dengan kondisi kelainan fisik danatau mental seseorang”. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Pemerintah bersama dengan
DPR sepakat meratifikasi konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas. Dalam ratifikasi konvensi tersebut, istilah penyandang cacat mulai ditinggalkan
dan digantikan dengan kata “disabilitas”. Ini sama persis dengan harapan dari UU No. 19 tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak-hak
penyandang disabilitas. Undang-undang tersebut merupakan ratifikasi dari penandatanganan Convention on the Right of Person with Disabilities Konvensi
mengenai hak-hak penyandang disabilitas yang dilakukan pada 30 Maret 2007 di
New York. Konvensi ini disusun dan disepakati oleh PBB pada 13 Desember 2006. Konvensi ini merupaan capaian tertinggi dan penting dalam upaya
memberikan perlindungan bagi penyandang difabel dan juga menjadi angin segar dalam bidang olahraga, terutama bagi atlet difabel.
Ketetapan Undang-undang tersebut bagi kaum difabel tentu sangat berarti, karena memberi landasan yang kuat bahwa atlet difabel juga perlu memperoleh
kesempatan yang sama layaknya orang normal dalam hal pendidikan khususnya dibidang olahraga. Salah satu cara membantu mengoptimalkan kemampuan
mereka adalah melalui program pendidikan khusus untuk membantu mengikuti pelatihan dibidang olahraga sehingga mampu bersaing di kancah nasional maupun
internasional. Dengan demikian masyarakat bisa mengetahui bahwa kaum difabel juga bisa menorehkan prestasi yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Dan para
orangtua yang memiliki anak difabel tidak lagi malu dan mengucilkannya. Bahkan jangan lagi mengganggap mereka sebagai kelompok masyarakat yang
hanya menjadi beban, tetapi mereka merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, sama seperti
warga negara yang mempunyai fisik normal. Media massa yang besar dan berbasis korporasi umumnya hanya
berorientasi kepada kepentingan ekonomi politik kelompok penguasa atau kelompok-kelompok dominan. Media, dalam hal ini adalah televisi justru menjadi
salah satu struktur sosial yang melakukan suatu upaya manipulatif dan opresif karena rentan dikuasai oleh kelompok penguasa dan digunakan untuk
mempertahankan dominasi atau kekuasaannya Rogers, 1994; Herman dan
Chomsky, 1994; Golding dan Murdock, 1991. Padahal perlindungan terhadap kelompok minoritas dalam media di Indonesia ini sudah dijamin dalam Pedoman
Perilaku Penyiaran–Standar Program Siaran P3-SPS yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia KPI pada Pasal 15 ayat 1 dan 2 P3-SPS KPI, 2009 yang
memuat tentang kewajiban memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan kelompok masyarakat minoritas dan marginal, termasuk di dalamnya kelompok
disabilitas. Namun wacana media dalam konteks masyarakat demokratis
menempatkan fungsi media massa sebagai wahana yang mempertemukan aspirasi dan tuntutan publik, yaitu dalam bentuk debat publik, penilaian dan kriteria yang
disajikan secara langsung dalam media McQuail, 2005. Kondisi pluralistik dalam masyarakat demokratis tidak memperkenankan satu kekuasaan tunggal dan
dominan. Dengan demikian, media massa memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi rujukan dan melindungi kelompok minoritas di tengah-tengah
dominasi suatu kelompok dalam masyarakat pluralis McQuail, 2005. Dalam hal ini objek penelitian yang ingin dikaji adalah program talkshow
Hitam Putih di TRANS7 episode 27 November 2014, pada pukul 19.00 WIB yang menghadirkan narasumber Mulyana, atlet renang tuna daksa dengan segudang
prestasi yang membanggakan. Tayangan yang dipandu mentalist kontroversial Deddy Corbuzier tersebut dengan “sengaja” memilih Mulyana, atlet renang tuna
daksa. Melalui observasi awal, peneliti melihat tim produksi program talkshow Hitam Putih TRANS7 pada episode 27 November 2014 itu seolah-olah berpihak
kepada narasumber dengan memberikan ruang yang sama di layar kaca, namun
sosok Mulyana yang memiliki ketidaksempurnaan fisik tersebut justru menjadi komoditas yang menarik untuk ditonton dan mengaduk-aduk perasaan pemirsa
guna meraup rating. Sosoknya serta prestasi yang diraih Mulyana menarik perhatian media
massa, khususnya dalam hal ini televisi. Peneliti melihat stasiun televisi swasta TRANS7 tertarik untuk menghadirkan Mulyana sebagai tamu spesial dalam
program talkshow Hitam Putih. Meski tayangan tersebut berupaya mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap penyandang disabilitas serta memberikan
sudut pandang yang lain bahwa seorang atlet difabel mampu menginspirasi lewat kisah hidup dan perjuangannya mencapai prestasi dibidang olahraga, namun
peneliti melihat sepanjang berlangsungnya acara yang berdurasi 30 menit itu, program talk show Hitam Putih TRANS7 masih cenderung diskriminatif terhadap
isu disabilitas dan kerap menempatkan disabilitas sebagai kelompok yang “aneh”, menjadi bahan tertawaan, atau kelompok yang harus dibantu dan dikasihani.
Secara kasat mata banyak tanda-tanda visual yang menempatkan Mulyana sebagai orang yang harus dikasihani bahkan ditertawakan dengan keterbatasan fisik yang
dimilikinya. Mulyana, yang muncul dalam sosok atlet renang tuna daksa di acara tersebut menjadi suguhan menarik bagi media massa. Dia hadir dan hidup dalam
kepalsuan dunia media massa. Mulyana muncul sebagai komoditi pasar, yang mampu meraup rating tinggi saat ditertawakan publik atau justru dikasihani
publik karena kekurangannya. Ketidaksempurnaan pada kemampuan fisiknya, justru menjadi bahan lawakan segar yang menghidupkan suasana di studio.
Sehingga lagi-lagi disabilitas menjadi sasaran empuk lelucon yang merupakan bahan komoditas menarik bagi kaum kapitalis.
Melalui penelitian ini, makna dari tanda-tanda yang dimunculkan dalam seluruh konten acara, baik berupa audio yakni skrip narasi yang dibacakan
presenter, voice over, sound effect dan musik pengantar yang muncul, maupun lewat visual, yakni seluruh footage, baik grafis, foto, dan video yang memiliki
nilai tukar itu akan coba dibongkar oleh peneliti. Untuk melihat bagaimana praktik komodifikasi yang terjadi, peneliti akan mencermati tiap konten audio
dan visual yang dipilih oleh tim produksi Hitam Putih TRANS7. Pemilihan seluruh konten acara tersebut tentu saja juga merupakan usaha para pekerja
televisi atau tim produksi Hitam Putih TRANS7 untuk meraup rating tinggi. Dalam ranah penelitian, usaha seorang peneliti melihat makna dibalik teks
media massa termasuk dalam penelitian semiotika. Semiotika, dalam penelitian ini akan menjadi sebuah bentuk pendekatan guna menganalisis seluruh konten di
talk show Hitam Putih TRANS7. Penelitian dilakukan khususnya pada episode 27 November 2014 yang menghadirkan Mulyana, atlet renang tuna daksa sebagai
sebuah tayangan populer di televisi. Secara spesifik, penelitian ini akan menggunakan pisau analisis semiotika
Roland Barthes. Untuk itu, yang akan menjadi bahan kajian disini adalah setiap sistem tanda yang disusun oleh tim produksi Hitam Putih TRANS7. Secara
spesifik adalah tiap tanda baik berupa audio yakni skrip yang dibacakan presenter, voice over, sound effect dan musik pengantar yang muncul. Maupun lewat visual,
yakni seluruh footage, baik grafis, foto, dan video mengenai disabilitas.
1.2. Perumusan Masalah