Keragaman Terjemah

Keragaman Terjemah

Salah satu ciri bahasa Al-Qur’an, ungkapannya singkat makna- nya padat (al-qa¡du fi al-laf§ wa al-waf ā’u bi al-ma’nā). Ungkap- an-ungkapannya, seperti kata Imam Ali, hamm ālun ©ū wujūh (mengandung berbagai kemungkinan penafsiran). Oleh karena itu

Ibid, jld. 4, hlm. 84. Penjelasan yang sama dapat ditemukan dalam karya- karya tafsir lainnya.

192 192 ¢u¥uf, Vol. 4, No. 2, 2011: 169 – 195

kemungkinan terjadinya perbedaan dalam memahami sangat terbuka luas. Keragaman buku-buku tafsir menjadi bukti itu semua. Hal yang sama terjadi pada terjemahan. Seperti halnya tafsir, dalam terjemah perbedaan juga akan sangat mungkin terjadi. Demikian pula kesalahan yang mungkin terjadi dalam penafsiran juga akan terjadi dalam terjemahan. Keduanya hanyalah upaya manusia yang terbatas untuk memahami kal āmullāh yang tiada batas.

Kerendah-hatian sangat dibutuhkan dalam melakukan itu. Karenanya, perbedaan terjemah atau tafsir selama dimungkinkan sesuai karakteristik bahasa Al-Qur’an dan dilakukan oleh ulama yang otoritatif tidak sepatutnya diposisikan secara kontradiktif (ikhtil āf ta«ā«), tetapi hendaknya dipandang sebagai variasi (ikh- til āf tanawwu’) yang akan memperluas cakrawala Al-Qur’an. Para ulama terdahulu tidak saling menegasikan satu sama lainnya ketika mereka berbeda dalam soal-soal keagamaan, termasuk dalam tafsir dan terjemah.

Mencermati beberapa masukan dari MMI dalam rangka perbaikan terjemah Kemenag, yang disebut-sebut memiliki lebih dari seribu kesalahan, bahkan terakhir dikatakan terdapat 3424 kesalahan, perbedaan yang ada hemat penulis terjadi karena beda pendekatan/metode seperti dijelaskan di muka, dan keduanya sama- sama dimungkinkan secara kebahasaan dan secara syar’i. Jadi perbedaannya lebih bersifat variatif sebagai bentuk kekayaan terjemahan/penafsiran. Misalnya pada firman Allah dalam QS. Al- Mumtahanah/60: 13:

Dalam terjemahan Kementerian Agama disebutkan,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan orang-orang yang dimurkai Allah sebagai penolongmu, sungguh, mereka telah putus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur juga berputus asa”.

Terjemahan di atas dianggap menyalahi struktur bahasa Arab, karena menjadikan kalimat al-kuff ār min a¡¥āb al-qubūr (orang- orang kafir yang telah berada dalam kubur) sebagai subjek (fa’il) dari kata ya-i-sa. Menurut MMI, dalam struktur Bahasa Arab kata

Problematika Terjemahan Al-Qur'an — Muchlis M. Hanafi 193 193

ya-i-sa selalu diikuti oleh kata depan min, sehingga susunan katanya menjadi ya-i-sa min yang berarti berputus asa atau tidak punya harapan. Merujuk pada beberapa kitab tafsir seperti Ibn Ka£ īr, Ba¥r al-‘Ulūm, al-Muntakhab, dan al-Wajīz, MMI menegas- kan bahwa subjek (fa’il) dari kata ya-i-sa adalah al-kuff ār, bukan al-kuff ār min a¡hāb al-qubūr. Terjemahan yang ditawarkan:

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum yang Allah murkai sebagai teman karib kalian. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengharapkan pahala akhirat, sebagaimana orang-orang berputus asa terhadap hidup kembalinya keluarganya yang telah mati.”

Perbedaan seperti ini sebenarnya sudah ada dalam buku-buku tafsir yang otoritatif. Dalam kitab Tafs īr al-Qur’ān al-A§īm karya Ibn Ka£

26 īr disebutkan dua pendapat ulama ahli tafsir seputar ayat itu. Pertama, pendapat yang menafsirkannya; sebagaimana berpu-

tus-asanya orang-orang kafir yang masih hidup terhadap (kemung- kinan) berkumpul kembali dengan kerabat mereka yang sudah mati disebabkan keingkaran mereka terhadap adanya hari kebangkitan. Pendapat ini disampaikan oleh al-‘Ufi, al-Hasan al-Ba¡ry, Qat ādah, dan al-¬a¥¥ āk. Kedua, pendapat yang menafsirkannya; sebagaima- na berputus-asanya orang-orang kafir yang sudah mati di dalam kubur dari segala kebaikan. Keputus-asaan yang timbul setelah ganjaran dari amal perbuatan mereka diperlihatkan kepadanya setelah mati. Pendapat ini dikemukakan oleh al-A’masy, Muj āhid, ‘Ikrimah, Muq ātil, Ibn Zaid, al-Kalaby, Man¡ur, dan dianggap kuat oleh Ibn Jar īr a¯-°abari.

Dari dua pendapat di atas, MMI memilih pendapat yang pertama, sedang Kementerian Agama memilih yang kedua. Per- soalannya hanya beda pilihan yang dimungkinkan secara kebaha- saan, bukan kesalahan logika bahasa Arab.