lokasi tidak mungkin terbaca dari peta tersebut. Aktivitas ini hanya mungkin diselami jika pembaca peta bersedia berkunjung dan mengamati segala sesuatu yang terjadi di lokasi
setempat. Dengan menyadari segala bahaya penyederhanaan tersebut, setidaknya ada empat
faset utama hukum yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini. Keempat faset ini merupakan garis-garis besar wajah hukum menurut pemaknaan ontologis tentang konsep
hukum. Tentu saja, dalam setiap makna ini disadari terdapat berbagai variasi pemikiran, yang demi tujuan penyederhanaan ini, sengaja tidak akan dibahas.
1. Hukum sebagai nilai dan asas
Hampir semua perilaku yang dilakukan secara sadar, merupakan pengejawantahan dari sikap mental para pelakunya. Sikap mental ini adalah suatu moralitas. Dengan
demikian, hukum dapat diidentikkan dengan moralitas, yaitu moralitas manusia yang beradab. Semua umat manusia yang mengaku beradab diasumsikan memiliki asas-asas
moralitas yang sama tentang apa yang mereka pandang benar dan adil. Apapun wujud hukum, semua harus dikembalikan kepada asas-asas moralitas tersebut. Pernyataan St.
Agustinus 354- 430, ‖
Unjust law is no law
,‖ merupakan penegasan yang tepat mengenai faset hukum yang satu ini.
Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka hukum yang paling hakiki itu senantiasa objektif untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan bagi siapa saja, di mana
saja, dan kapan saja. Pandangan ini menyiratkan adanya ukuran-ukuran yang universal dalam moralitas, termasuk di dalamnya tentang apa yang disebut benar dan adil.
Pandangan aliran hukum kodrat ini tidak menampik adanya hukum-hukum nasional atau lokal buatan manusia, asalkan hukum-hukum ini tetap sejalan dengan nilai
dan asas yang universal. Dua asas yang paling utama adalah asas kebenaran dan keadilan. Keduanya berada dalam tataran hukum yang kodrati, sehingga posisinya dipandang lebih
tinggi daripada norma-norma hukum nasional atau lokal. Asas kebenaran ini menjalankan fungsi konsitutif dalam hukum, sementara asas keadilan melaksanakan fungsi
regulatifnya. Fungsi konstitutif memungkinkan dilakukannya uji formal terhadap norma- norma hukum nasional atau lokal itu, sedangkan fungsi regulatif memberi kesempatan
dilakukannya uji material.
Prosiding Seminar Nasional
14
ISBN 978-602-72446-0-3
2. Hukum sebagai perintah penguasa
Hukum yang berhasil dipetakan di atas kertas, sebagaimana terlihat dalam norma- norma positif dalam sistem perundang-undangan, adalah faset paling sederhana dari
hukum. Dalam konteks ini, hukum adalah perintah dari penguasa yang berwenang
command of the sovereign
. Keluasan hukum yang dapat dihasilkan sangat bergantung pada keluasan kewenangan yang dimiliki si penguasa. Setelah timbul konsep negara-
negara nasional, hukum sebagai produk penguasa ini makin terkukung dalam batas-batas nasionalitas.
Pandangan formalisme hukum ini mengasumsikan adanya
rule of law
yang berlaku sama untuk semua orang. Artinya, setiap fakta hukum yang terjadi harus dapat dikaitkan
dengan sumber-sumber hukum tertentu yang dipersepsikan berlaku secara umum
equality before the law
. Norma-norma hukum inilah yang menentukan apa yang nantinya akan ditetapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan hukum yang terjadi. Untuk menjamin agar
hukum berfungsi dengan baik, maka sistem perundang-undangan perlu dibangun sekomprehensif mungkin, antara lain melalui kodifikasi. Sebab, jika ada perbuatan atau
peristiwa yang tidak dapat dihubungkan dengan sistem perundang-undangan, dengan sendirinya perbuatan atau peristiwa itu dianggap tidak berakibat hukum.
Pandangan formalisme ini di kemudian hari lebih populer diberi label positivisme hukum. Perlu dicatat bahwa beberapa penulis seperti J.A. Pointier 2008: 77 menolak
positivisme hukum disamakan dengan positivisme undang-undang dan legisme. Menurutnya, hukum tidak identik dengan undang-undang. Hukum adalah apa yang oleh
penguasa dikehendaki atau danggap dapat berlaku sebagai hukum. Dalam barisan formalisme hukum yang disebut positivisme hukum ini dapat pula
dimasukkan kelompok utilitarianisme. Secara historis, utilitarianisme sebenarnya muncul lebih dulu daripada aliran legisme, yang untuk sementara dalam tulsian ini disamakan
dengan positivisme hukum. Persamaan antara utilitarianisme dan positivisme hukum terletak pada anggapan mereka bahwa undang-undang adalah sumber hukum utama.
Perbedaan utilitarianisme dan positivisme hukum ada pada dimensi epistemologis dan aksiologisnya, yakni terkait pada metode penalaran dan tujuan hukum yang diajukan.
Utilitarianisme memandang hukum positif tidak cukup hanya ditegakkan, melainkan juga
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
15
ISBN 978-602-72446-0-3
harus memberi dampak positif bagi masyarakat luas. Dampak ini dapat diukur tentang seberapa luas dan besar kemanfaatannya.
3. Hukum sebagai kebiasaan