Pengelolaan Perikanan TINJAUAN PUSTAKA

24 terbukti mampu melakukan self-control terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka panjang long-term resilience menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini.Dengan demikian, perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri as fish atau keuntungan ekonomi semata as rents tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas perikanan sustainable community yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi institutional sustainability yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan Gambar 3. Gambar 3 Segitiga keberlanjutan sistem perikanan Charles 2001.

2.3 Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan sumber daya ikan merupakan suatu aspek yang sangat menonjol di sektor perikanan. Ketidak mampuan dalam pengelolaan sumber daya ikansumber daya perikanan dapat berakibat menurunnya pendapatan sektor perikanan yang berasal dari sumber yang ada Mallawa 2006. Karakteristik perikanan di Indonesia seperti halnya di banyak negara berkembang lain di Asia Tenggara, cenderung melakukan eksploitasi secara terus 25 menerus yang mengarah kepada penipisan sumber daya ikan Murdiyanto 2004a. Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat juga pada umumnya berpenghasilan rendah karena hasil tangkapan yang relatif kecil. Penghasilan yang relatif kecil ini disebabkan sebagian besar mereka tergolong sebagai nelayan pantai yang mengeksploitasi sumber daya ikan tidak jauh dari kampung dimana mereka bertempat tinggal. Peningkatan tekanan penangkapan di suatu wilayah penangkapan menyebabkan populasi ikan yang berukuran besar semakin menipis sehingga penangkapan menghasilkan ikan-ikan yang semakin kecil ukurannya dan muda usianya. Di tempat-tempat yang perikanannya tidak diatur secara tegas, kepemilikan dan kewenangan yang tidak jelas menyebabkan masyarakat nelayan tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi sumber daya ikan menjadi sumber mata pencahariannya. untuk melindungi potensi dan habitat sumber daya ikan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan diperlukan kegiatan pengaturan dan penataan sumber daya secara baik yaitu proses pengelolaan sumber daya perikanan. Menurut Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan sumber daya perikanan adalah rangkaian tindakan yang terorganisir untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk memanfaatkan dan memelihara sumber daya perikanan secara berkelanjutan Murdiyanto 2004a. Secara umum tujuan dari pengelolaan perikanan adalah : 1 Mempertahankan kelestarian sumber daya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi ikan melalui pemanfaatan sumber daya pantai sebagai mata pencaharian masyarakat pantai yang bersangkutan. Tanpa sumber daya ikan maka tidak ada lagi keperluan pengelolaan, karena tersedianya sumber daya ikan merupakan alasan utama suatu negara membangun perikanannya resource based development. 26 2 Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan pantai. 3 Menjamin upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari perikanan pantai. Secara rinci tujuan pengelolaan perikanan dijabarkan dalam Undang- Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan di atas, yaitu pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan: 1 Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil; Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; 2 Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; 3 Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; 4 Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; 5 Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; 6 meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; 7 mencapai pemanfatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan 8 menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat menentukan pilihan terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan yang diizinkan; tingkat pemanfaatan yang diizinkan; ukuan ikan yang boleh ditangkap; lokasi penangkapan yang dapat dimanfaatkan; dan bagaimana harus mengatur alokasi keuangan untuk menyusun aturan atau regulasi pengelolaan, penegakan hukum, pengembangan produksi, dan sebagainya. Tujuan pengelolan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu yang berorientasi pada : aspek biologi, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek rekreasi. Dari alternatif tujuan yang ada mungkin saja beberapa jenis perikanan hanya menekankan pada satu atau dua macam tujuan saja, akan tetapi pada umumnya perlu mengusahakan terciptanya baku timbang yang baik antara berbagai jenis tujuan tersebut Murdiyanto 2004a. Sebagaimana yang diuraikan di atas bahwa pengelolaan perikanan tangkap besifat sangat kompleks. Setiap jenis sumber daya memiliki karakteristik tersendiri. Sebagai langkah awal maka pengelolaan perikanan tangkap di suatu 27 kawasan hendaknya diprioritaskan kepada sumber daya unggulan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan pemanfaatan suatu sumber daya ikan unggulan secara optimal di Selat Alas, informasi yang akurat mengenai status sumber daya yang akan dieksploitasi dan jumlah optimal yang dapat dimanfaatkan, jenis unit penangkapan yang tepat untuk melakukan penangkapan, dan kapasitas dari masing-masing komponen yang mendukung perikanan tangkapmerupakan informasi yang sangat dibutuhkan. Di kabupaten Lombok Timur sendiri, upaya pengelolaan perikanan telah mulai dilakukan secara sungguh-sungguh. Melalui Perda nomo 9 tahun 2006, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur telah menguatkan Kelompok Masyarakat Pengawas POKMASWAS dalam mengelola perikanan. Dengan membentuk Komite Kelautan dan Perikanan Kabupaten KKPK dan Komite Pengelolaan Perikanan Laut KPPL. KKPK merupakan lembaga pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan pantai mempunyai tugas memebrikan penilaian danpertimbangan terhadap suatu usul kegiatan usaha di wilayahpesisir. Keanggotaan KKPK paling sedikit 15 lima belas orang dan\paling banyak 23 dua puluh tiga orang, yang berasal dari wakil-wakil kelompok masyarakat pemangku kepentingandan instansidinas daerah yang terkait. Sementara KPPL dibentuk disetiap kawasan pengelolaan yang berupa suatu teluk atau suatu kawasan perairan pantai yang terbuka dan memanjang dengan batas-batas administrasi kecamatan. Keanggotaan KPPL paling sedikit 6 enam orang dan paling banyak 36 tiga puluh enam orang yang berasal dari semua kelompok masyarakat pemangku kepentingan disetiap desa di suatu kawasan pengelolaan. Keanggotaan KPPL terdiri dari wakil-wakil desa yang berasal dari kelompok-kelompok nelayan budidaya laut, wanita nelayan, tokoh agama, tokoh pemuda, dan pemerintah desa. 2.4 Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Phillips 1976 mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan model adalah representasi sederhana dari sesuatu yang nyata. Model dapat juga dikatakan sebagai jembatan antara dunia nyata real world dan dunia berpikir 28 thinking Fauzi dan Anna 2005. Dengan pengertian ini menunjukkan bahwa model selalu tidak sempurna. Penting untuk diketahui bahwa dalam pemodelan penting untuk melakukan revisi dan mengupgrade strategi. Mengingat segala sesuatu berubah, mengalir, dan tidak ada yang tetap, maka pemodelan dapat dikatakan sebagai proses menerima, memformulasi, meroses, dan menampilkan kembali persepsi dunia luar. Adakalanya lingkungan nyata terlalu rumit sehingga sekedar untuk memahaminya ataupun untuk mengkomunikasikan dengan orang lain diperlukan sebuah model yang representatif. Model semacam ini banyak ditemui dalam ilmu kehidupan, kimia fisik dan fisika. Sebagai contoh : model atom, model struktur genetika, persamaan matematik yang menjabarkan dalil fisika tentang gerakan ataupun reaksi kimia. Dengan demikian menjadi jelas bahwa untuk kondisi tertentu biasanya perlu membangun sebuah model yang mewakili sistem nyata serta mempelajarinya sebagai pengganti sistem nyata Manonama dan Soetopo 2008. Dalam proses interpretasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau bentuk model bisa dilakukan. Ada model yang lebih mengembangkan interpretasi verbal seperti bahasa, ada yang diterjemahkan kedalam bahasa simbolik, seperti bahasa matematika, sehingga menghasilkan model kuantitatif Fauzi dan Anna 2005. Mannonama dan Soetopo 2008 mendeskripsikan tiga macam model yaitu model fisik, model analog, dan model matematik. Kerapkali sebuah model berbentuk fisik. Pada model fisik, replika atau tiruan dilaksanakan dengan menirukan domain ruangdaerah dimana fenomena atau peristiwa alam tersebut terjadi. Tiruan domain dapat lebih besar ataupun lebih kecil dibandingkan dengan keadaan nyata di alam. Kesesuaian dari model ini ditentukan oleh seberapa mungkin kesebangunan geometris, kinematis, dan dinamis di alam dapat ditirukan ke dalam model. Misalnya, seorang ahli struktur yang mempelajari bagian struktur pesawat ruang angkasa dalam versi skala kecil. Contoh lainnya, umur rencana operasi pesawat terbang dipengaruhi oleh hasil penelitian model di 29 dalam terowongan angin. Untuk bidang Teknik Sipil misalnya, model bendung, dan model bangunan pelimpah. Sementara model analog adalah model yang merepresentasikan proses pada sistem nyata dengan menggunakan benda lain yang memiliki sifatprinsip yang sama. Benda yang digunakan dapat bersifat fisik, mekanik, ataupun listrik. Dapat dikatakan bahwa pada model analog replikatiruan dilaksanakan dengan menganalogikan suatu fenomenaperistiwa alam dengan fenomenaperistiwa alam yang lain kemudian dibuatkan model fisiknya. Sebagai contoh : peristiwa aliran air tanah di bawah bendung ditirukan dengan model yang menggunakan arus listrik. Model matematik adalah representasi ideal dari sistem nyata yang dijabarkan dinyatakan dalam bentuk simbol dan pernyataan matematik. Dengan kata lain model matematik merepresentasikan sebuah sistem dalam bentuk hubungan kuantitatif dan logika, berupa suatu persamaan matematik. Pada model matematik replikatiruan dari feomenaperistiwa alam dideskripsikan melalui satu set persamaan matematik. Kecocokan model terhadap fenomena alam yang dideskripsikan tergantung dari ketepatan formulasi persamaan matematiknya. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemukan istilah model konseptual. Model konseptual merupakan sintesis dari suatu kumpulan konsep dan kernyataan yang menginterpretasikan konsep-konsep tersebut menjadi suatu kesatuan. Model konseptual adalah suatu diagram dari satu set hubungan antara faktor-faktor tertentu yang di yakini memberi dampak terhadap atau menghantar ke suatu kondisi target http:penabulu.org201203model-konseptual . Diakse 2 Juli 2012. Haryadi 2008 menyatakan bahwa model konseptual menunjukkan keterkaitan antar variabel yang menentukan perilaku sistem. Model ini termasuk model verbal yang hanya menguraikan hubungan masalah, sistem, dan tujuan studi. Tujuan studi memberikan indikasi penampilan apa yang ingin dicapai dan model konseptual inilah yang memberikan kerangka apa yang membentuk penampilan performance itu. Sebuah model konseptual yang baik menampilkan sebuah gambaran situasi sebenarnya, menunjukkan perkiraan hubungan antara faktor-faktor yang 30 mempengaruhi kondisi target, menunjukkan ancaman utama yang langsung dan tak langsung, yang mempengaruhi kondisi target, hanya menghadirkan faktor- faktor yang relevan, didasarkan alas data dan informasi yang dapat dipercaya, dan merupakan hasil dari suatu upaya tim. Pengelolaan sumber daya perikanan merupakan suatu sistem yang kompleks. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. Subsistem tersebut meliputi komponen sumber daya ikan, unit penangkapan terdiri dari perahukapal, alat penangkapan, dan nelayan, unit pemasaran, unit pelabuhan, dan komponen sarana pendukung. Fauzi dan Anna 2005 menyebutkan kompleksitas tersebut timbul, baik dari sistem sumber daya alam sendiri maupun interaksi antara sistem sumber daya alam dengan aspek manusia. Di sisi sumber daya, stok sumber daya ikan bermigrasi dan bergerak dalam ruang tiga dimensi. Kondisi ini menambah kompleksitas dalam pengelolaan, misalnya saja menyangkut pengaturan hak pemilikan atas sumber daya tersebut. Di Selat Alas, kompleksitas pengelolaan perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh adanya batasan administrasi. Nelayan- nelayan yang beroperasi di Selat Alas umumnya berasal dari dua daerah administrasi yang berbeda yaitu Kabupaten Lombok Timur dan Sumbawa Barat. Dimensi kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya perikanan juga ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian uncertainty dan resiko pengelolaan yang ditimbulkan. Jumlah stok ikan, misalnya, sulit diketahui tidak pasti. Selain itu tidak ada input yang digunakan, seperti halnya pakan dalam budi daya, untuk mengendalikan pertumbuhan ikan, pengetahuan pertumbuhan ikan, migrasi, mortalitas sangat terbatas. Dengan kondisi kompleksitas seperti yang diuraikan tersebut di atas maka pendekaan dengan menggunakan pemodelan merupakan salah satu alternatif yang tepat. Pengelolaan sumber daya ikan yang baik memerlukan pembuatan model teoritis tentang populasi dan teori ekonomi Murdiyanto 2004a. Secara teoritis, agar kegiatan penangkapan ikan dapat berlangsung secara berkelanjutan atau lestari sustainable, harus diupayakan agar laju penangkapan menghasilkan 31 jumlah tangkapan yang seimbang dengan laju pertumbuhan stok ikan. Kajian teoritis tentang keseimbangan antara penangkapan dan stok akan menghasilkan model-model penentuan produksi lestari. Model ini telah banyak berkembang dalam ilmu perikanan dan banyak dipakai dalam pengelolaan sampai saat ini. Banyak pula ketidakpuasan terhadap validasi model-model produksi lestari yang berkembang karena berbagai alasan seperti tidak memperhitungkan fluktuasi jangka pendek dari populasi dan hasil tangkapan serta pengaruh sejumlah faktor perubahan alamiah yang mengganggu keseimbangan ekologi. Kegiatan perikanan mempunyai cakupan luas yang tidak hanya terbatas pada faktor hasil tangkapan saja tetapi juga mencakup masalah nelayan dan alat tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan reaksi komponen nelayan penangkap ikan dan memprediksi segala hal penting dan berarti bagi nelayan seperti nilai kuantitatif yang berkaitan dengan upaya yang dilakukan oleh nelayan Murdiyanto 2004a. Nilai hasil tangkapan per satuan usaha catch perunit effort, CPUE perlu dikaji sebagai indeks untuk menentukan tingkat pendapatan nelayan. Estimasi nilai CPUE dapat memberikan gambaran tentang apakah suatu kegiatan perikanan yang ada masih dapat memberikan pendapatan bagi nelayan secara wajar atau tidak. Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, masalah pasca panen berupa pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan akan merupakan komponen yang mempengaruhi pengelolaan perikanan. Proses pasca panen akan mempengaruhi pendapatan nelayan baik secara langsung maupun tidak langsung dan oleh karenanya harus diperhitungkan dalam merancang pengelolaan perikanan. Menurut Murdiyanto 2004a paling tidak ada tiga alternatif model pengelolaan perikanan, pengelolaan oleh pemerintah, pengelolaan berbasis komunitas, dan pengelolaan secara partisipatif. Dalam hal pengelolaan oleh pemerintah, keseluruhan proses pengelolaan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan pengaturan, pembuatan peraturan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat nasional maupun di tingkat pemerintah daerah. Pola model pengelolaan oleh pemerintah seringkali mendapat kendala, misalnya aturan tidak lagi ditaati, seringkali menimbulkan konflik di antara pemerintah sebagai pengelola dan masyarakat 32 nelayan sebagai pemanfaat. Pendekatan dengan pola model ini memerlukan biaya yang relatif tinggi dan dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Model pengelolaan dengan peran besar berada di tangan masyarakat atau komunitas disebut “pengelolaan sumber daya berbasis komunitas”, didefinisikan sebagai pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya ikan dimana komunitas setempat mengambil tanggung jawab utama pengelolaan sumber daya. Model pengelolaan ini menempatkan masyarakat setempat sebagai pihak yang diberi tanggung jawab dan wewenang oleh pemerintah dalam porsi yang cukup berarti untuk melakukan pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayahnya. Dalam pengelolaan model ini masyarakat sering berkompetisi antar sesamanya. Kompetisi ini seringkali menjadi potensi konflik yang bila tidak ditangani secara dini dapat berdampak buruk terhadap sumber daya yang dikelola. Dalam pengglolaan berbasis masyarakat masih sulit dibayangkan bagaimana masyarakat dapat mengelola dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya hingga tujuan pelestarian bisa dicapai. Dengan berbagai alasan tentunya masih diperlukan campur tangan pemerintah dalam mengatur pemanfaatan sumber daya tersebut melalui instansi tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Perturan yang dibentuk masyarakat dari kebiasaan tradisional misalnya perlu dipertimbangkan untuk dilegalisasi melalui instansi yang berwenang. Implementasi peraturan yang ditetapkan serta penegakan hukum dan pelaksanaan sanksinya perlu melibatkan aparat pemerintah. Oleh karenanya diperlukan adanya proses pendekatan antara masyarakat dan pemerintah yang bisa memadukan semua aspirasi yang ada menyangkut pemanfaatan dan konservasi sumber daya ikan. dengan model pengelolaan yang partisipatif ini diharapkan pengaturan untuk mengelola sumber daya alam dapat mempertemukan secara si nergis antara pengaturan yang bersifat “top-down” yang berasal dari pemerintah dan proses ”bottom-up” yang merupakan aspirasi yang tumbuh dari masyarakat sebagai suatu kemitraan dalam pengelolaan co- management .

3. METODOLOGI PENELITIAN