AKTIVITAS PROMOTER ANTIVIRUS PADA UDANG WINDU Penaeus monodon MENGGUNAKAN GEN EGFP

IV. AKTIVITAS PROMOTER ANTIVIRUS PADA UDANG WINDU Penaeus monodon MENGGUNAKAN GEN EGFP

ENHANCED GREEN FLUORESCENT PROTEIN SEBAGAI PENANDA ABSTRAK Untuk mengetahui aktivitas promoter, diperlukan adanya suatu gen penanda yang disambungkan dengan promoter dalam konstruksi gen. Promoter dikatakan aktif apabila gen penanda dapat terekspresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas promoter antivirus ProAV pada udang windu Penaeus monodon dengan menggunakan EGFP enhanced green fluorescent protein sebagai penanda. Promoter ProAV digabungkan dengan gen EGFP dalam vektor pEGFP-N1 sehingga terbentuk konstruksi gen pProAV-EGFP. Transfer konstruksi gen dilakukan dengan menggunakan metode transfeksi kepada telur udang windu yang telah terbuahi. Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan ekspresi sementarnya diamati pada embrio dan larva. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa derajat penetasan telur udang windu hasil transfeksi adalah 39,3 dan tidak berbeda nyata P0,05 dengan perlakuan transfeksi tanpa konstruksi gen 43,1 serta tanpa transfeksi 49,0. Hal ini berindikasi bahwa larutan transfeksi jetPEI dan gen EGFP tidak memberikan efek yang membahayakan bagi embrio udang. Selain itu, promoter antivirus ProAV udang windu dapat aktif dan mampu mengendalikan ekspresi sementara gen EGFP pada embrio dan larva. Pola ekspresi sementara gen EGFP pada embrio dan larva udang windu mulai terlihat 12 jam setelah transfeksi jst, dan mencapai puncak ekspresi pada 24 jst dan selanjutnya ekspresi menurun pada pengamatan 30 jst. Hasil penelitian tersebut berimplikasi bahwa promoter ProAV dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan udang windu transgenik dengan menggunakan gen target yang diinginkan. Kata kunci: promotor, gen berpendar, konstruksi gen, transfeksi, ekspresi sementara, udang windu. ------------------ Bab ini telah dipresentasikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur FITA pada tanggal 20-23 April 2010, di Bandar Lampung. ACTIVITY OF ANTIVIRAL PROMOTER ON TIGER SHRIMP Penaeus monodon USING EGFP ENHANCED GREEN FLUORESCENT PROTEIN GENE AS A MARKER ABSTRACT To study the promoter activity, a reporter gene should be combined with the promoter on a gene construct. The active promoter is indicated by the transient expression of the reporter gene. The present study aimed to examine the activity of ProAV promoter on tiger prawn Penaeus monodon using EGFP enhanced green fluorescent protein as a reporter gene. Promoter ProAV and EGFP gene were cloned into pEGFP-N1 to obtain the gene construct of pProAV-EGFP. Transfection technique was used to transfer the construct gene plasmid to fertilized eggs of tiger prawn embryo. The insertion of EGFP gene and its transient expression were confirmed on the shrimp embryo and larvae. The results showed that the hatching rate of tiger shrimp with transfection was 39.3 and it was not significantly different P0.05 with the transfection without plasmid gene construct 43.1 and without transfection 49.0. It was indicated that the jetPEI reagent and EGFP gene did not show the toxicity to the shrimp embryo. The study revealed that the ProAV promoter showed the activity to regulate the transient expression of EGFP gene on embryo and larvae of tiger prawn. The expression of EGFP started to show at 12 hours after transfection hat and the peak expression at 24 hat. The expression showed the decrease at 30 hat. The result implied that the utilization of ProAV promoter would be useful on development of transgenic tiger shrimp using the appropriate target gene. Keywords: promoter, fluorescent gene, gene construct, transfection, transient expression, tiger shrimp. PENDAHULUAN Teknologi transgenesis merupakan piranti yang sangat ampuh dalam menganalisis fungsi biologi molekuler dan dalam menghasilkan trait karakter penting yang komersil dalam akuakultur. Teknologi trangenesis adalah suatu proses mengintroduksikan DNA eksogenus atau DNA asing ke hewan uji dengan tujuan untuk memanipulasi struktur genetiknya Glick Pasternak 2003. Beberapa kajian ikan transgenik yang mengarah pada produksi secara komersial dari trait-trait penting khususnya pada peningkatan pertumbuhan dan resistensi terhadap patogen penyebab penyakit telah dilakukan. Sebagai aplikasi teknologi transfer gen penyandi resistensi penyakit, dilakukan pengujian keaktifan promoter secara in vivo pada telur yang telah terbuahi. Uji in vivo terhadap transfer gen diharapkan dapat mendekati sistem ekspresi gen secara alami. Dua strategi pengamatan yang dapat dilakukan yakni 1 ekspresi sementara transient expression yang merujuk pada transkripsi gen asing pada ekstra kromosom secara temporal, dan 2 ekspresi tetap stable expression yang terjadi setelah gen eksogenus terintegrasi dengan DNA genom. Alimuddin et al. 2003 melaporkan bahwa aktivitas promoter dari konstruksi gen dari ikan all-fish construct lebih tinggi dalam pengaturan ekspresi transgennya dibandingkan dengan promoter yang diisolasi dari mamalia atau virus. Aplikasi konstruksi gen dari ikan telah berhasil digunakan pada ikan salmon Yaskowiak et al. 2006; ikan mud loach Nam et al. 2001, ikan nila hitam Kobayashi et al. 2007. Pengujian aktivitas promoter umumnya dilakukan dengan cara menginjeksi langsung konstruksi gen ke otot daging atau transfeksi ke sel kultur Kato et al. 2007 . Meskipun demikian, pengamatan ekspresi gen setelah diinjeksi relatif sulit dilakukan akibat terhalang oleh pigmen kulit. Metode yang paling umum dilakukan saat ini adalah introduksi konstruksi gen ke dalam embrio menggunakan gen reporter sebagai indikator pengamatan ekspresi sementaranya Muller et al. 1993, 1997; Takagi et al. 1994; Hamada et al. 1998; Sheela et al. 1998; Maclean et al. 2002; Alimuddin 2003 ; Kobolak Muller 2003; Her et al. 2004; Kato et al. 2007. Ekspresi gen dapat juga dianalisis dengan cara mengukur level messenger RNA mRNA dan protein. Messenger RNA dari gen asing dapat dideteksi dengan menggunakan probe dengan melabel fragmen DNA dengan radioaktif misalnya 35 P, dan protein dengan cara immunodeteksi dengan menggunakan antibodi Alimuddin et al. 2003. Akan tetapi kedua metode tersebut membutuhkan banyak waktu dan relatif lebih kompleks. Untuk mengembangkan promoter diperlukan suatu metode yang sederhana dan cepat untuk mendeteksi ekspresi gen yang dikendalikannya. Sebuah metode yang baru dikembangkan adalah dengan menggunakan gen pengkode protein berpendar hijau GFP, green fluorescent protein dari ubur-ubur yang digunakan sebagai penanda atau gen pelapor reporter gene. Gen GFP tersebut dapat dengan mudah dideteksi dengan menggunakan mikroskop berpendar fluorescent microscope atau melalui analisis ekspresi gen menggunakan teknik RT-PCR. Penggunaan gen GFP semakin pesat dengan semakin meningkatkan studi aktivitas promoter dalam teknologi transgenesis. Kelebihan dari gen berpendar ini adalah memiliki tingkat sitotoksisitas yang rendah, tidak memerlukan substrat tambahan dan kofaktor untuk berpendar, serta ekspresi transgen dapat terlihat pada sel dengan menggunakan sinar ultra violet UV Felts et al. 2001; Gong et al. 2003b. Oleh karena itu, sebagai tahap ketiga studi transfeksi gen antivirus pada udang windu dalam penelitian ini, dilakukan uji aktivitas promoter gen antivirus ProAV secara in vivo dengan menggunakan gen enhanced green fluorescent protein EGFP sebagai gen penanda. Secara in vitro promoter antivirus ProAV ini telah dibuktikan keaktifannya dengan menggunakan gen GFP. Luo et al. 2007 melaporkan bahwa aktivitas promoter ProAV semakin meningkat jika sekuen mikrosatelitnya dihilangkan. Karena itu, penelitian ini sudah dirancang secara khusus untuk menggunakan promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu tanpa sekuen mikrosatelit. Keberhasilan dalam menentukan aktif atau tidaknya promoter ProAV ini merupakan dasar untuk melanjutkan penelitian transfeksi gen antivirus udang windu PmAV dengan menggunakan promoter ProAV tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas promoter gen antivirus ProAV pada udang windu P. monodon dengan menggunakan gen berpendar EGFP sebagai gen penanda. BAHAN DAN METODE Pembuatan Konstruksi Gen ProAV-EGFP Konstruksi promoter ProAV dengan gen EGFP dilakukan dengan memanfaatkan vektor pEGFP-N1 Clontech yang di dalamnya telah memiliki gen berpendar EGFP yang telah dikembangkan dari gen GFP. Pembuatan konstruksi gen diawali dengan digesti promoter ProAV pada plasmid dari klon bakteri dalam vektor pGEM-T Easy dengan menggunakan enzim restriksi BamHI. Fragmen DNA promoter tersebut diisolasi dan dipurifikasi untuk selanjutnya diligasi ke vektor pEGFP-N1 dengan memanfaatkan situs restriksi BamHI. Proses kloning promoter ProAV pada vektor pEGFP-N1 dan transformasi ke bakteri inang dilakukan mengikuti prosedur standar kloning gen yang telah dijelaskan pada Bab II III sebelumnya. Skema pembuatan konstruksi gen pProAV-EGFP disajikan pada Lampiran 7. Keberhasilan transfer promoter dalam vektor dapat diketahui dengan menggunakan teknik cracking seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Koloni bakteri warna putih diambil menggunakan tusuk gigi steril dan dioleskan ke dasar tabung mikro 1,5 mL dan dilanjutkan dengan menggoreskannya ke dalam master plate yang mengandung setiap koloni bakteri yang dianalisa dengan cracking , yang merupakan sumber koloni bakteri untuk setiap tahap penelitian berikutnya. Master plate bakteri diinkubasi pada suhu 37 o C selama 8 jam. Ke dalam tabung mikro yang berisi bakteri ditambahkan 10 uL buffer cracking 0,2 g saccharosa; 40 µL NaOH 5M; 50 µL SDS 10; dan sisanya SDW sehingga volume larutan menjadi 1 mL, 10 uL larutan EDTA 10 mM dan sekitar 2 µL 6 X buffer loading DNA berisi KCl 4M dengan perbandingan volume 1:1 yang diletakkan di bagian dalam penutup tabung mikro. Setelah diinkubasi sekitar 5 menit, larutan di-spin down pada kecepatan 5.000 rpm selama 3 detik dan kemudian divorteks keras. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 o C. Sebanyak 10 µL supernatan yang terbentuk digunakan untuk elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,7. Untuk mengetahui koloni bakteri yang membawa DNA insersi dalam plasmid digunakan bakteri biru sebagai kontrol. Ukuran DNA plasmid koloni bakteri yang membawa insersi akan lebih besar dari pada kontrol tergantung ukuran fragmen DNA yang diligasi. Hasil cracking yang menunjukkan positif insersi gen digunakan sebagai templat PCR untuk uji selanjutnya. Untuk mengetahui keberhasilan arah penyambungan promoter dalam vektor pada setiap klon bakteri, dilakukan uji orientasi melalui teknik PCR dengan menggunakan primer promoter ProAV-F: 5’- gtc gga tcc agt ccc aca ctc cat caa - 3’ dan EGFP-R: 5’- acg aac tcc agc agg acc at -3’. Reaksi PCR yang digunakan adalah 0,05 µL Taq Polimerase; 1 µL 10 X buffer; 0,8 µL dNTP mix; 0,8 µL MgCl 2 ; 10 pmol masing-masing primer; 1 µL templat DNA; dan 4,35 µL SDW. Program PCR yang digunakan adalah: suhu pre-denaturasi 94 o C selama 3 menit, 35 siklus untuk denaturasi 94 o C selama 30 detik, annealing 58 o C selama 30 detik dan ekstensi 72 o C selama 45 detik, serta final ekstensi 72 o C selama 3 menit. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1,0 untuk melihat fragmen DNA yang terbentuk. Klon yang memperlihatkan hasil amplifikasi PCR dengan fragmen sekitar 1,1 kb menunjukkan kesesuaian arah ligasi yang diinginkan. Pematangan Induk Udang Windu Pembenihan udang windu dilakukan berdasarkan prosedur standar operasional perbenihan udang windu Deptan 1987. Induk yang digunakan dikarantina di bak induk untuk dilakukan uji bebas virus khususnya WSSV dengan menggunakan kit WSSV IQ-2000 sesuai dengan prosedur dalam manual kit. Hanya induk udang yang dinyatakan negatif atau SPF specific pathogen free digunakan untuk dilanjutkan pada proses pematangan. Induk udang windu dipelihara dalam bak beton ukuran 3 ton sistem air mengalir dengan kepadatan 10 ekor dengan rasio jantan:betina adalah 1:1. Pakan induk sebanyak 15 dari bobot tubuh berupa cumi-cumi dan cacing laut diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Sebelum pakan diberikan, dilakukan perendaman dalam larutan iodin 100 ppm selama 10 menit yang bertujuan untuk disinfeksi pakan. Untuk mempercepat pematangan gonad dilakukan ablasi mata, yaitu dengan memotong tangkai bola mata induk udang. Dalam waktu 3–4 hari setelah ablasi, induk udang menunjukkan kematangan gonad. Udang yang telah matang gonad TKG IV dipindahkan ke bak pemijahan yang berbentuk kerucut dengan volume 300 L. Untuk menghindari agar induk udang tidak stres dan memudahkan pemantauan waktu pemijahan telur, bak pemijahan dirancang khusus dengan membuat lubang berbentuk bundar diameter 15 cm pada kedua sisi yang berlawanan dan dilengkapi dengan lampu pijar 5 Watt lihat Lampiran 8. Pemijahan pada umumnya terjadi pada malam hari. Sekitar 5 menit setelah pemijahan dilakukan koleksi telur untuk keperluan transfeksi. Uji Aktivitas Promoter ProAV Persiapan transfeksi diawali dengan isolasi plasmid konstruksi gen ProAV- EGFP dari bakteri. Isolasi plasmid menggunakan GF-1 Plamid DNA Extraction Kit Vivantis dengan prosedur yang sesuai dengan manual kit yang digunakan. Prosedur isolasi plasmid mengikuti kit tersebut dilakukan sesuai dengan metode yang telah dijelaskan pada Bab II III khusunya Isolasi Plasmid pada Sub Bab Penderetan Nukleotida. Skema isolasi DNA plasmid menggunakan kit GF-1 Plamid DNA Extraction Kit disajikan pada Lampiran 5. Kuantitas dan kualitas isolat plasmid diukur dengan menggunakan UV-VIS spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kuantitas konsentrasi plasmid dihitung dengan mengacu pada rumus yang talah dikembangkan oleh Linacero et al. 1998, sedangkan kualitas kemurnian plasmid dihitung dari rasio absorpsi 260 nm dan 280 nm OD 260 OD 280 . Telur segera dikoleksi setelah pemijahan berlangsung dengan menggunakan saringan telur. Kotoran dihilangkan dan induk udang dipindahkan kembali ke bak pematangan induk. Telur dibuat konsentrat dalam 500 mL air laut yang telah disaring dengan membran filter untuk mendapatkan jumlah telur yang banyak dalam volume yang kecil. Sebanyak 2 mL telur konsentrat dipindahkan ke dalam cawan petri 35x10 mm untuk digunakan dalam proses transfeksi. Untuk mengetahui jumlah telur dalam konsentrat tersebut dilakukan penghitungan langsung telur dengan cara sampling sebanyak 2 mL sebanyak 3 kali. Metode transfeksi yang digunakan mengacu pada standar protokol yang diuraikan dalam manual larutan transfeksi jetPEI Polyplus Transfection. Plasmid DNA sebanyak 6 µg dicampur dengan 100 μL NaCl 150 mM. Sementara itu, 8 μL larutan jetPEI dicampur dengan 100 μL NaCl 150 mM. Campuran jetPEI dan NaCl tersebut ditambahkan ke campuran plasmid dan NaCl tersebut, kemudian divorteks 15 detik dan diinkubasi selama 15-30 menit. Sebanyak 200 μL kompleks plasmid-jetPEI ditambahkan ke dalam konsentrat telur pada cawan petri memudian dihomogenkan dan diinkubasi selama 50 menit lihat Lampiran 9. Telur yang sudah ditransfeksi selanjutnya dicuci dengan air laut dan kemudian dimasukkan ke dalam stoples yang berisi air laut 2 liter dan dilengkapi dengan aerasi untuk proses penetasan telur lihat Lampiran 10. Untuk mengetahui toksisitas larutan transfeksi terhadap embrio telur digunakan perlakuan kontrol untuk pengamatan daya tetas larva. Kontrol positif dilakukan sesuai prosedur transfeksi telur tanpa menggunakan plasmid DNA, sedangkan kontrol negatif dilakukan sesuai prosedur transfeksi tanpa menggunakan larutan transfeksi dan plasmid DNA. Masing-masing perlakuan dilakukan dalam 5 ulangan 2 ulangan untuk pengambilan sampel pengamatan keberhasilan transfer gen dan ekspresinya, dan 3 ulangan untuk penghitungan derajat penetasan telur. Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan aktivitas promoter ProAV dalam embrio dan larva dilakukan dengan mengisolasi DNA genom dan RNA dilanjutkan dengan sintesis cDNA dengan menggunakan 50 butir telur pooled sample . Untuk mengetahui aktivitas promoter dilakukan pengamatan ekspresi transgen yang ditandai dengan keberadaan telur berpendar di bawah UV transilluminator dan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Pengambilan sampel dilakukan 12 jam setelah transfeksi jst, kemudian dengan selang waktu pengamatan 6 jam 18, 24, dan 30 jst. Penghitungan derajat penetasan larva dilakukan setelah telur diinkubasi selama 24 jam. Gen EGFP dan ekspresi sementaranya dideteksi dengan teknik PCR semi kuantitatif. DNA genom dari sampel telur tanpa transfeksi digunakan sebagai kontrol dalam penelitian ini. Primer yang digunakan adalah EGFP-F : 5’- ggt cga gct gga cgg cga cg -3’ dan EGFP-R : 5’- acg aac tcc agc agg acc at -3’, dengan menggunakan DNA genom dan cDNA sebagai templat PCR. Target DNA fragment gen EGFP adalah berada pada posisi 627 bp. Proses PCR dijalankan dengan program suhu pre-denaturasi 94 o C selama 3 menit; 35 siklus untuk denaturasi 94 o C selama 30 detik, annealing 58 o C selama 30 detik, dan ekstensi 72 o C selama 45 detik; serta final ekstensi 72 o C selama 3 menit. Untuk melihat keberadaan fragmen DNA target, hasil amplifikasi PCR dieletroforesis pada gel agarosa 1,0 pada tegangan 50 Volt selama 1-2 jam dan didokumentasi dengan menggunakan Gel Documentation System Biometra. Untuk menentukan berat molekul fragmen DNA yang teramplifikasi digunakan marker VC 100bp Plus DNA Ladder Vivantis. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, penelitian dilakukan dalam dua kali pengamatan pelaksanaan transfeksi gen ke embrio udang windu. Analisis Data Derajat penetasan larva dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas menjadi naupli dibandingkan dengan jumlah telur yang diinkubasi. Untuk melihat pengaruh pemberian larutan transfeksi dan plasmid DNA terhadap derajat penetasan dilakukan analisis ragam dengan menggunakan program Statistix Versi 3.0 NH Analytical Software dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5. Uji konfirmasi masuknya gen EGFP dan pola ekspresi sementaranya disajikan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan konstruksi gen pProAV-EGFP merupakan langkah yang harus dilakukan untuk mengetahui aktif tidaknya promoter antivirus ProAV pada udang windu dengan menggunakan gen berpendar EGFP sebagai penanda. Keberhasilan pembuatan konstruksi gen tersebut dapat diketahui setelah dilakukan uji konfirmasi masuknya fragmen DNA promoter yang diligasikankan ke vektor pEGFP-N1 sehingga ukuran plasmid bakteri inang menjadi bertambah besar. Pembuktian tersebut dilakukan dengan teknik cracking yang ditunjukkan pada Gambar 9A, dimana bakteri pembawa gen insersi memperlihatkan ukuran plasmid yang lebih besar dibandingkan dengan bakteri non-insersi kontrol bakteri koloni biru. Walaupun masuknya gen telah terdeteksi, untuk mengetahui benar atau tidaknya arah ligasi dilakukan uji orientasi. Gambar 9B memperlihatkan perbedaan antara arah ligasi yang benar dan yang salah, dimana arah ligasi yang benar diindikasikan dengan adanya DNA fragmen yang teramplifikasi pada posisi sekitar 1,1 kb ukuran yang sama bila promoter ProAV digabungkan dengan gen berpendar EGFP. Hasil pengujian tersebut menunjukkan arah ligasi yang benar relatif besar sekitar 86 18 klon bakteri dari 21 klon bakteri yang dianalisis. Kedua metode verifikasi yang digunakan cracking dan uji orientasi menunjukkan bahwa konstruksi gen pProAV-EGFP berhasil dibuat dan bakteri pembawa plasmid konstruksi tersebut berhasil diidentifikasi. Klon-klon bakteri yang memiliki orientasi positif orientasi yang benar selanjutnya dipindahkan ke media agar padat Gambar 9C untuk dijadikan stok materi biologis sebagai sumber plasmid konstruksi pProAV-EGFP untuk pengujian pada tahapan penelitian selanjutnya. Gambar 9 Hasil analisis cracking dan PCR konstruksi gen pProAV-EGFP. A=hasil cracking klon bakteri pembawa promoter dan EGFP pada gel agarosa dimana tanda panah menunjukkan indikator positif sebagai pembawa gen dan negatif sebagai kontrol bakteri koloni biru, B=hasil uji orientasi ligasi promoter ProAV dalam vektor dimana tanda panah menunjukkan arah ligasi yang benar dan yang salah, dan C=hasil plating klon bakteri pembawa konstruksi gen pProAV-EFGP. Hasil pengujian cracking dan uji orientasi ligasi antara promter ProAV dengan gen EGFP menunjukkan bahwa konstruksi gen pProAV-EGFP telah berhasil dibuat. Plasmid DNA yang terbentuk dari konstruksi pProAV-EGFP diperkirakan memiliki panjang 5,9 kb, dimana peta konstruksi gen tersebut disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Peta konstruksi gen pProAV-EGFP yang digunakan dalam uji aktivitas promoter pada udang windu P. monodon. Sebelum dilakukan transfeksi, pengecekan ulang keberadaan promoter dan gen EGFP harus dilakukan pada plasmid yang diisolasi. Keberadaan fragmen promoter pada posisi 368 bp dan gen EGFP pada posisi 627 bp Gambar tidak diperlihatkan merupakan indikator yang dapat digunakan untuk verifikasi apakah plasmid tersebut dapat digunakan. Transfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP dilakukan dalam dua kali pelaksanaan, dimana pada tahap pertama didapatkan kepadatan telur 370 butir2 mL air laut, sedangkan pada tahap kedua adalah 235 butir2 mL air laut dengan derajat penetasan rata-rata 39,3 pada telur yang ditransfeksi dan tidak berbeda dengan perlakuan transfeksi tanpa konstruksi gen kontrol positif 43,1 dan tanpa transfeksi yakni 49,0 kontrol negatif. Daya tetas embrio, jumlah telur berpendar, deteksi DNA, dan cDNA pada udang windu setiap tahap transfeksi disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa keberadaan larutan jetPEI dan plasmid konsruksi gen pProAV-EGFP tidak berpengaruh nyata P0,05 terhadap derajat penetasan udang windu. Hal tersebut menunjukkan bahwa larutan jetPEI dan konstruksi gen yang digunakan tidak bersifat toksik terhadap embrio udang windu. Kajian mengenai toksisitas larutan jetPEI dan kemungkinan degradasinya telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Transfeksi menggunakan jetPEI telah dilaporkan memiliki toksisitas seluler yang rendah Horbinski et al. 2001 dan dapat terdegredasi secara alami Ahn et al. 2002. Beberapa studi menunjukkan bahwa plasmid konstruksi gen tidak memberikan pengaruh negatif pada kelangsungan hidup embrio setelah transfeksi. Introduksi konstruksi gen promoter dan gen β-galaktosidase melalui teknik elektroporasi kepada embrio ikan zebra tidak memberikan dampak negatif yang ditandai dengan daya tetas 72 dibandingkan dengan kontrol yakni 85 Sheela et al . 1998. Dilain pihak, dengan jetPEI, vektor ekspresi p βactP2-TSV-CP dapat ditransfer ke embrio udang vaname dengan laju transfer yang tinggi, baik sebelum terbentuknya lapisan jeli pada bagian luar telur 72, maupun setelah jeli terbentuk 50 Sun et al. 2005. Daya tetas yang relatif rendah 17,6-20,1 pada embrio udang windu dilaporkan oleh Yasawa et al. 2005 dengan menggunakan metode mikroinjeksi konstruksi gen pJEF-GFP. Tabel 3 Daya tetas embrio, jumlah telur berpendar, deteksi DNA dan cDNA pada udang windu P. monodon hasil transfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP. Tahap Daya tetas Telur berpendar embrio Deteksi Transfeksi EGFP Kontrol positif Kontrol negatif DNA cDNA 1 2 44,7±13,0 a 33,9±19,7 a 60,0±3,0 a 26,2±6,9 a 66,8±12,1 a 31,2±14,4 a 1-2 1-3 + + + + Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata P0,05, angka ditulis dalam rataan ± SD, = analisis dilakukan terhadap 50 embrio pooled sample, + = gen EGFP positif terdeteksi pada genom DNA dan cDNA. Daya tetas embrio udang windu yang didapatkan pada penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh pada udang vaname, L. vannamei dimana didapatkan daya tetas sebesar 50-60 dengan metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI Sun et al. 2005. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena penggunaan spesies udang yang berbeda dan kualitas induk dan telur yang dihasilkan serta metode pemijahan atau penetasan yang digunakan. Meskipun demikian, hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa penggunaan larutan jetPEI dan plasmid konstruksi gen tidak memberikan efek yang nyata dalam penetasan telur udang windu. Hal tersebut berimplikasi bahwa introduksi plasmid DNA ke telur yang telah terbuahi melalui teknik transfeksi menawarkan suatu alternatif transfer gen asing tanpa menyebabkan kerusakan fisik telur udang. Kesuksesan aplikasi teknik transfeksi tersebut telah dilaporkan pada sel mamalia dan vertebrata lainnya Boussif et al. 1995; Abe et al. 1998; Remy et al. 1998; Carballada et al. 2000; Wall et al. 2002; Sun et al. 2005. Pengamatan gen berpendar pada embrio dilakukan dengan menggunakan UV-transilluminator Biometra pada panjang gelombang 365 nm, karena keterbatasan alat mikroskop berpendar fluorescent microscope. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, panjang gelombang 365 nm dapat digunakan untuk eksitasi GFP, yang walaupun dinyatakan bahwa gen berpendar EGFP memperlihatkan emisi maksimum pada gelombang 507 nm Sun et al. 2005. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa embrio yang berpendar adalah sedikitnya 1-3 embrio dari 50 telur yang diamati Tabel 3. Karena keterbatasan alat yang digunakan, pengamatan tersebut ditujukan tidak untuk melihat perpendaran embrio secara detail di beberapa bagian tubuh, tetapi hanya untuk melakukan verifikasi masuk atau tidaknya gen EGFP yang diintroduksi, sehingga pembuktian lebih lanjut melalui analisis DNA dan RNA cDNA tetap harus dilakukan, serta pengamatan ekspresi sementaranya pada embrio dan larva udang windu. Adanya fragmen EGFP pada posisi sekitar 627 bp baik melalui analisis DNA maupun cDNA merupakan indikator positif masuknya gen EGFP pada embrio dan larva udang windu Tabel 3; Gambar 11. Uji konfirmasi keberadaan gen EGFP pada embrio udang windu dilakukan dengan menggunakan DNA genom sebagai cetakan PCR. Hasil analisis PCR menunjukkan bahwa embrio udang windu yang ditransfeksi telah membawa gen EGFP dalam tubuhnya dengan indikasi keberadaan fragmen DNA pada posisi sekitar 627 bp, yang tidak didapatkan pada embrio udang yang tidak ditransfeksi konstruksi gen pProAV-EGFP Gambar 11A. Keberhasilan masuknya gen target ke embrio udang melalui metode transfeksi menggunakan larutan jetPEI juga telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Meskipun demikian, beberapa larutan transfeksi dapat digunakan sebagai media introduksi vektor ekspresi ke dalam embrio udang, misalnya Effectene dan SuperFect dari Qiagen, serta Lipofectamine 2000 dari GibcoBRL. Sun et al. 2005 melaporkan bahwa metode transfeksi menggunakan jetPEI pada udang vaname menunjukkan laju efesiensi transfer gen mencapai 40-60, sedangkan dengan metode mikroinjeksi dan elektroporasi masing-masing adalah 10-20 dan 10-15. Metode RT-PCR semi-kuantitatif dilakukan untuk mengetahui tingkat ekspresi sementara transient gene expression gen EGFP dari beberapa waktu pengamatan setelah dilakukan transfeksi. Elektroforesis hasil analisis RT-PCR terhadap ekspresi sementara gen EGFP pada pengamatan 12, 18, 24, dan 30 jst disajikan pada Gambar 11B, dengan menggunakan kontrol internal dari ekspresi gen β-aktin udang windu Gambar 11C. Gambar 11 Analisis DNA genom dan ekspresi gen EGFP pada udang windu P. monodon . A=DNA embrio udang windu pembawa gen EGFP 1-2, kontrol 3-4, dan marker VC 100bp Plus DNA Ladder M; B=Ekspresi gen EGFP pada pengamatan 12, 18, 24, dan 30 jam setelah transfeksi, dan C=Kontrol internal β-aktin udang windu pada waktu pengamatan yang sama dengan gen EGFP. Ekspresi sementara gen EGFP pada embrio udang mulai terlihat pada pengamatan 12 jst yang walaupun ekspresinya masih relatif kecil. Ekpresi sementara EGFP selanjutnya meningkat pada fase 18 dan 24 jst yang diperkirakan pada fase akhir dan fase baru menetas naupli, kemudian sedikit melemah pada pengamatan 30 jst. Berdasarkan pengamatan tersebut, pola ekspresi sementara gen EGFP mencapai puncak sekitar 24 jam setelah transfeksi atau fase dimana telur sudah mulai menetas menjadi naupli. Sedangkan ekspresi gen β-aktin udang windu sebagai kontrol internal memperlihatkan kecenderungan ekspresi yang sama atau merata sepanjang waktu pengamatan. Beberapa penelitian menunjukkan pola ekspresi gen berpendar yang relatif sama. Hamada et al. 1998 melaporkan bahwa ekspresi gen GFP tipe liar wild-type GFP, wtGFP dengan menggunakan promotor β-aktin ikan medaka menunjukkan ekspresi sementara dimulai dari fase mid-blastula dan ekspresi terkuat terjadi pada fase gastrula akhir. Selanjutnya Ath-thar 2007 melaporkan bahwa ekspresi sementara gen hrGFP humanized Renilla reniformis green flourescent protein pada telur lele mulai kelihatan pada fase gastrula awal atau awal permulaan adanya epibodi. Lebih lanjut Purwanti 2007 melaporkan bahwa ekspresi sementara gen berpendar hrGFP pada embrio ikan mas Cyprinus carpio dengan menggunakan promoter β- aktin ikan medaka Oryzias latipes mulai terlihat pada saat 12 jam setelah 627 bp 400 bp 627 bp mikroinjeksi atau diperkirakan dalam fase blastula dan ekspresi memuncak pada pengamatan 18 jam setelah mikroinjeksi atau pada fase gastrula akhir, dan selanjutnya ekspresi hrGFP menurun. Ekspresi sementara suatu gen merupakan salah satu bentuk replikasi secara ekstra kromosom DNA asing extrachromosomal foreign DNA. Level ekspresi umumnya akan berkurang akibat adanya degradasi ekstra kromosom DNA, sehingga ekspresi gen asing yang terintegrasi ke dalam kromosom tidak sebesar dengan ekspresi sementaranya. Tingginya ekspresi sementara gen EGFP pada pengamatan 24 jst larva sudah berada pada fase naupli pada penelitian ini, diduga terjadi masih terekspresinya plasmid-plasmid DNA yang ditransfeksi, tetapi seiring dengan perkembangan embrio, plasmid-plasmid DNA mulai terdegradasi oleh enzim-enzim nuklease sehingga ekspresi semakin berkurang pada pengamatan 30 jst. Puncak ekspresi gen sementara yang sama 24 jam setelah microinjeksi pada ikan lele Afrika Clarias gariepinus yang dikontrol oleh promoter CMV telah dilaporkan oleh Volckaert et al. 1994 dengan menggunakan gen luciferase dan lacZ sebagai gen reporter. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Winkler et al. 1991, replikasi DNA asing umunya ditemukan hanya sampai fase gastrula, dimana setelah fase tersebut DNA asing yang bertahan hanya dalam jumlah yang terbatas akibat adanya degradasi oleh enzim restriksi nuklease yang menyebabkan ekspresi transgen melemah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi sementara gen asing pada ikan berawal dari fase embrio setelah mid-blastula dan kemudian level ekspresi meningkat selama fase embriogenesis dan selanjutnya menurun setelah penetasan Yoshizaki 2001. Adanya ekspresi gen berpendar merupakan salah satu bukti akan aktifnya promoter yang digunakan, sehingga fungsi promoter sebagai regulator gen traget dapat terjadi. Pola ekspresi gen GFP selain dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop berpendar dan Real-Time PCR, juga dapat dideteksi dengan menggunakan teknik PCR semi-kuantitatif seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Iyengar et al. 1996 menyatakan bahwa tingginya ekspresi sementara yang umumnya terjadi pada fase mid-blastula hingga fase gastrula kemungkinan merupakan hasil dari akumulasi DNA eksogenus yang berlanjut pada peningkatan replikasi selama fase pembelahan cleavage dan akumulasi dari enzim RNA polimerase-II yang menyebabkan dimulainya transkripsi pada saat MBT mid-blastula-transition. Perbedaaan pola ekspresi gen GFP telah diamati pada beberapa organ ikan zebra dengan menggunakan beberapa jenis promoter. Yasawa et al. 2005 telah melaporkan pengaruh empat jenis promoter yang disambungkan ke gen GFP. Promoter C3 promoter dari Japanese flounder memperlihatkan level aktivitas yang tinggi pada hati, gelatinase B pada sirip dan insang, keratin pada kulit dan hati, sedangkan promoter TNF tumor necrosis factor pada jaringan epitel. Adanya ekspresi gen sementara EGFP pada embrio dan larva udang windu menunjukkan aktifnya promoter gen antivirus ProAV. Hal ini menunjukkan bahwa promoter ProAV mampu mengontrol gen EGFP sebagai penanda aktifnya promoter. Aktifnya promoter ProAV diduga sangat erat kaitannya dengan keberadaan faktor-faktor transkripsi penting sebagai regulator gen target lihat Bab II. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa promoter ProAV yang diisolasi dari udang windu memberikan peluang dalam pengembangan udang transgenik yang resisten terhadap patogen. Oleh karena itu, konstruksi gen antivirus PmAV dengan promoter ProAV tersebut sangat diperlukan untuk menganalisis kemampuan promoter tersebut dalam mengatur gen antivirus pada udang windu. KESIMPULAN Promoter antivirus ProAV udang windu dapat aktif mengendalikan ekspresi transgen EGFP pada embrio dan larva udang windu. Promoter ProAV dapat dimanfaatkan sebagai regulator gen target yang diinginkan dalam upaya pengembangan teknologi transgenesis pada udang windu.

V. EKSPRESI GEN ANTIVIRUS PADA EMBRIO DAN LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon