Karakteristik Kualitas Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang Kabupaten Simalungun

(1)

KARAKTERISTIK KUALITAS TANAH PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN HULU DAS PADANG KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI

Oleh:

YOGA P. DAMANIK 050303018 ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

KARAKTERISTIK KUALITAS TANAH PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN HULU DAS PADANG KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI

Oleh:

YOGA P. DAMANIK 050303018/ILMU TANAH

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

Judul Penelitian : Karakteristik Kualitas Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang Kabupaten Simalungun

Nama : Yoga P. Damanik

Nim : 050303018

Departemen : Ilmu Tanah

Prog. Studi : Konservasi Tanah dan Air

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Kemala Sari Lubis,SP, MP

Ketua Anggota

Ir.M.M.B.Damanik.MSc

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Karakteristik Kualitas Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan DAS Padang Bagian Hulu Kabupaten Simalungun” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemala Sari Lubis, SP,MP dan Ir. MMB. Damanik, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2010


(5)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Tanah ... 4

Indikator Kualitas Tanah ... 5

Kerusakan, Kapasitas Penyangga dan Pemulihan Tanah ... 8

Kerusakan Tanah ... 8

Penyebab Degradasi ... 8

Kapasitas Penyangga dan Pemulihan Tanah ... 10

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 12

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 16

Persiapan... 16

Tahap Kegiatan Lapangan ... 16

Pengumpulan Data ... 16

Parameter yang Diukur ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 18

Pembahasan ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 32

Saran ... 32 DAFTAR PUSTAKA


(6)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas

tanah didasarkan atas kepermanenanya dan tingkat kepekaanya terhadap pengelolaan( Islami dan Weil, 2000)………. 7 2. Ketinggian dan Koordinat Penggunaan Lahan……… 14 3. Rataan pH, Karbon Organik, Nitrogen Total Tanah dan Fosfat

Tersedia, Kalium Tukar, Magnesium Tukar, Kalsium Tukar pada dan kerapatan Lindak Tanah Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang…... 19 4. Persentase Fraksi Debu, Liat, Pasir dan Tekstur Tanah…………. 20 5. Rataan Karbon Organik, C/N, Permeabilitas, Kerapatan Lindak dan

Porositas Tanah dan Respirasi Spesifik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang……… 21


(7)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Ilustrasi hubungan antara soil resistence, soil resilience dengan

kualitas tanah (Seybold et al, 1999)………... 11

2. Peta Topografi Kawasan Hulu DAS Padang……… 13

3. Lahan Hutan di Kawasan Hulu DAS Padang... 35

4. Lahan Kebun Campuran di Kawasan Hulu DAS Padang……… 36

5. Lahan Kelapa Sawit umur 4 Tahun di Kawasan Hulu DAS Padang... 36

6. Lahan Kelapa Sawit umur 30 Tahun di Kawasan Hulu DAS Padang... 37

7. Lahan Semak-semak di Kawasan DAS Padang……… 37


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Rataan pH Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan

Hulu DAS Padang……….. 38

2. Rataan Karbon Organik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang... 38

3. Rataan Bahan Organik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang... 38

4. Rataan Nitrogen Total Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang…... 39

5. Rataan Fosfat Tersedia Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang ... 39

6. Rataan Kalium Tukar Tanah (K-dd) pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang………... 39

7. Rataan Magnesium Tukar Tanah (Mg-dd) pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang……….. 40

8. Rataan Kalsium Tukar Tanah (Ca-dd) pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang……….. 40

9. Rataan Permeabilitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang……… 40

10. Rataan Kerapatan Lindak Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang………. 41

11. Rataan Porositas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang………..… 41

12. Rataan Respirasi Spesifik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang... 41

13. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah... .... 42

14. Peta Penggunaan Lahan Kawasan Hulu DAS Padang... 43

15. Peta Ketinggian Tempat KawasanHulu DAS Padang... 44


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 17. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 46 17. Kriteria Kemasaman ... 47 18. Kriteria Kelas Permeabilitas Tanah ... 47


(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan makroporositas yang relatif banyak, sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran. Kondisi ini mendukung air hujan yang jatuh dapat mengalir ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga mengalir secara lateral (Susswein et al., 2001).

Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian pada umumnya menyebabkan turunnya fungsi hidrologis hutan. Alih fungsi hutan ini berpangkal dari peningkatan jumlah penduduk yang memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian, hal ini sering dilakukan tanpa memperhatikan kemampuan tanahnya. Sejalan dengan itu semakin terbatasnya lahan pertanian yang sesuai untuk usaha di bidang pertanian, maka penduduk memperluas lahan petaniannya dengan membuka hutan di daerah lereng-lereng pegunungan. Pemanfaatan sumberdaya lahan yang mempunyai kemiringan yang curam untuk usaha pertanian mempunyai resiko yang besar terhadap ancaman erosi, terutama apabila dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim. Alih fungsi hutan menjadi lahan petanian tanaman semusim melibatkan faktor-faktor yang kompleks yaitu berupa kegiatan-kegiatan pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan budidaya yang diusahakan. Kegiatan tersebut akan memberi pengaruh tertentu terhadap sifat-sifat tanahnya (Asdak, 2004).

Wilayah sungai Padang merupakan aliran sungai yang terbentang mulai dari kabupaten Simalungun dengan hulu sungai Gunung Simbolon dan bagian hilir sungai wilayah kotamadya Tebingtinggi dengan luas DAS sungai Padang sekitar 126.163


(11)

hektar. Wilayah DAS Padang berasal dari empat anak sungai masing-masing sungai padang memiliki beragam penggunaan lahan bahilang dan sungai sibaran. Kawasan DAS Padang memiliki beragam penggunaan lahan dimulai dari wilayah Simalungun yang masih ditumbuhi vegetasi hutan hingga wilayah Tebingtinggi yang merupakan lahan perkebunan rakyat, perkebunan pemerintah maupun kebun campuran.

Perubahan peruntukan lahan hutan menjadi lahan-lahan pertanian dan perkebunan di sepanjang DAS Padang mengakibatkan terjadi perubahan keseimbangan di dalam tanah khususnya kualitas tanah. Akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan air presipitasi tidak dapat ditahan oleh tanah secara optimal. Air mengalir dan membawa massa tanah di permukaan lahan menuju aliran air ke sungai. Daerah sekitar sungai Padang dan Bahilang di Tebingtinggi merupakan daerah berpotensi banjir berupa banjir kiriman dari Kabupaten Simalungun yang berada di hulu (Ramothu, 2009).

Pengurangan lapisan bahan organik di permukaan lahan memicu terjadinya degradasi tanah di sepanjang daerah aliran sungai. Indikator suatu tanah terdegradasi dapat dilihat dari kualitas tanah suatu lahan. Kualitas suatu lahan dikatakan baik bila masih melaksanakan fungsi-fungsi tanah sebagaimana mestinya. Perubahan kualitas tanah disebabkan terjadinya gangguan. Bila gangguan sedang terjadi, kualitas tanah menjadi fungsi dari resistensi (kapasitas penyangga) tanah. Namun, bila gangguan sudah terjadi, kualitas merupakan fungsi dari pemulihan tanah (soil resilience). Kapasitas penyangga tanah dan pemulihan tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah yakni fisika, kimia, dan biologi tanah ini, diantaranya ada yang dapat berubah pada jangka waktu pendek, dalam jangka waktu yang panjang atau tidak dapat berubah selamanya. Dengan demikian kita melihat adanya perubahan kualitas tanah melalui pendekatan sifat


(12)

tanah menurut waktu berubahnya. Permasalahan diatas menarik perhatian peneliti untuk menganalisis kualitas tanah pada beberapa penggunaan lahan baik menjadi lahan perkebunan maupun lahan pertanian campuran.

Tujuan Penelitian

Menganalisis karakteristik kualitas tanah pada beberapa penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Padang melalui pendekatan sifat fisik yang berubah dalam waktu yang cepat maupun yang relatif lama.

Hipotesa Penelitian

- Akibat alih fungsi lahan terjadi perubahan kualitas tanah melalui pendekatan sifat tanah dalam jangka singkat maupun jangka panjang di kawasan hulu DAS Padang.

Kegunaan Penelitian

- Memberikan informasi tingkat kualitas tanah pada beberapa penggunaan lahan di DAS Padang.

- Memberikan informasi tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi penurunan kualitas tanah.


(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Kualitas Tanah

Secara umum kualitas tanah (soil quality) didefenisikan sebagai kapasitas tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya dukungnya terhadap tanaman dan hewan, pencegahan erosi dan

pengurangan terjadinya pengaruh negatif terhadap sumberdaya air dan udara (Karlen et al., 1997).

Kualitas tanah dapat dilihat dari 2 sisi (Seybold et al., 1999) :

1. Sebagai kualitas inherent tanah (inherent soil quality) yang ditentukan oleh lima faktor pembentuk tanah, atau

2. Kualitas tanah yang bersifat dinamis (dynamic soil quality), yakni perubahan fungsi tanah sebagai fungsi dari penggunaan dan pengeloaan tanah oleh manusia.

Terdapat konsesus umum bahwa tata ruang lingkup kualitas tanah mencakup tiga komponen pokok yakni (Parr et al., 1992) :

1. Produksi berkelanjutan yakni kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi.

2. Mutu lingkungan, yaitu mutu air, tanah dan udara dimana tanah diharapkan mampu mengurangi pencemaran lingkungan, penyakit dan kerusakan di sekitarnya.

3. Kesehatan makhluk hidup, yaitu mutu makanan sebagai produksi yang dihasilkan dari tanah harus memenuhi faktor keamanan (safety) dan


(14)

Karena bersifat kompleks, kualitas tanah tiidak dapat diukur namun dapat diduga dari sifat-sifat tanah yang dapat diukur dan dapat dijadikan indikator dari kualitas tanah (Acton dan Padbury, 1978 dalam Islam dan Weil, 2000).

Indikator Kualitas Tanah

Indikator kualitas tanah adalah sifat fisika, kimia dan biologi serta proses dan karakteristik yang dapat diukur untuk memantau berbagai perubahan dalam tanah (USDA, 1996). Secara lebih spesifik Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi kriteria:

a. Berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem dan berorientasi modeling.

b. Mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia, fisika dan biologi tanah. c. Mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang dan dapat diakses oleh

para pengguna.

d. Peka terhadap variasi pengelolaan dan iklim (terutama untuk menilai kualitas tanah yang bersifat dinamis).

e. Sedapat mungkin merupakan komponen basis tanah.

Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih difokuskan terhadap sifat fisika dan kimia tanah karena metode pengukuran yang sederhana dari parameter tersebut relatif tersedia (Larson and Pierce, 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat-sifat biologi dan biokimia dapat lebih cepat teridentifikasi dan merupakan indikator yang sensitif dari kerusakan agroekosistem atau perubahan produktivitas tanah (Kenedy and Pependick, 1995).


(15)

Minimum data set yang berpotensi untuk menjaring kondisi kualitas tanah

adalah indikator fisika tanah meliputi : tekstur tanah, ketebalan tanah (lebih ditujukan sebagai kualitas inherent tanah), infiltrasi, berat isi tanah dan

kemampuan tanah memegang air. Indikator kimia tanah meliputi : biomass mikroba, C dan N, potensi N dapat dimineralisasi, respirasi tanah, kandungan air dan suhu ( Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce, 1994).

Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator kualitas tanah, namun, pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan untuk indikator kualitas tanah sangat tergantung pada tujuan dilakukuannya evaluasi. Karlen et al., (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah, perlu dilakukan identifikasi indikator-indikator yang sensitif terhadap praktek produksi pertanian. Jangka waktu suatu pengelolaan juga akan berpengaruh terhadap pemilihan parameter yang akan digunakan. Idealnya indicator-indikator tersebut akan dapat dideteksi perubahannya dalam jangka waktu pendek (1 – 5 tahun) setelah dilakukannya perubahan pengelolaan.

Islami dan Weil (2000) menunjukkan klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas tanah yang didasarkan kepermanenannya (permanence) dan tingkat kepekaannya (sensivity) terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam jangka waktu harian (ephemeral) atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh cuaca, Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang permanen yang merupakan sifat bawaan (inherent) tanah atau lokasi (site) dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan. Sifat-sifat atau parameter yang digunakan


(16)

untuk penilaian kualitas tanah yang diorentasi pada pengelolaan, merupakn peralihan (intermediate) dari kedua faktor ekstrim tersebut ( tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas tanah didasarkan atas kepermanenanya dan tingkat kepekaanya terhadap pengelolaan (Islam dan Weil, 2000)

Berubah dalam jangka harian atau rutin

(ephemeral)

Ditentukan oleh manajemen dari beberapa tahun

(intermediate) Sifat bawaan (permanen) Kadar Air Respirasi tanah pH N mineral K mineral P tersedia Kerapatan isi Agregasi Biomassa mikrobia Respirasi Basal Respirasi Spesifik Karbon aktif

Kandungan karbon organik

Kedalaman Tanah Lereng Iklim Restrictive layer Tekstur Batuan Mineralogi

Mudah berubah Sulit berubah Tidak berubah

Stabilitas agregat tanah dalam air (water-stable aggregate) atau distribusi ukuran agregat direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah lapisan permukaan (surface soil quality). Resistensi agregat untuk terdispersi ketika dibasahi merupakan sifat tanah yang tergolong penting karena faktor ini mempengaruhi banyak fungsi tanah dan juga dapat merefleksikan keterkaitan sifat biologi, kimia dan sifat fisik tanah (Karlen et al., 1999; Islami dan Weil, 2000). Berat isi merupakan quite variable, tetapi harus dimasukkan dalam evaluasi kualitas tanah. Bukan hanya sebagai sifat fisik tanah tetapi juga untuk mengkonversi data konversi ke unit volumetrik yang lebih relevan (Karlen et al., 1999).


(17)

Kerusakan, Kapasitas Penyangga dan Pemulihan Tanah

Kerusakan Tanah (soil degradation)

Kerusakan tanah didefenisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan. Arsyad (2000) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik fungsinya sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun maupun fungsinya sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Oldeman (1993) mendefinisikan kerusakan tanah sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan pada saat ini atau pada saat yang akan datang yang disebabkan oleh ulah manusia.

Penyebab Degradasi

Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor:

1. Penggunaan dan peruntukkan lahan menyimpang dari rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi pemukiman, lahan budidaya pertanian dialihfungsikan menjadi pemukiman atau industri.

2. Penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yans semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya


(18)

lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang intensif atau pemukiman.

3. Perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan, pertanian, industri, pemukiman) harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan belum tentu memadai di bidang yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).

4. Tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan masyarakat menerapkan konservasi tanah dan air secara mamadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat. Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan,


(19)

seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air.

Kapasitas Penyangga dan Pemulihan Tanah

Lal (2000) menyatakan bahwa resiliensi tanah tergantung pada keseimbangan antara restorasi tanah dan degradasi tanah. Proses degradasi di lahan kering antara lain memburuknya struktur tanah, gangguan terhadap siklus air, karbon dan hara, sedangkan restorasinya meliputi pembentukan mikroagregat mantap, mekanisme humifikasi dan biomassa C tanah, meningkatkan cadangan hara dan mekanisme siklus hara, dan keragaman hayati.

Beberapa ahli tanah mendefenisikan pemulihan sebagai kapasitas tanah untuk memulihkan fungsi dari kemantapan (integritas) strukturalnya setelah mengalami gangguan. Seybold et al., (1990) mendefenisikan kapasitas penyangga sebagai kapasitas tanah untuk tetap melakukan fungsinya walaupun mengalami gangguan. Dinyatakannya secara langsung terdapat 3 pendekatan untuk mengkaji resiliensi tanah antara lain:

1. Mengukur secara langsung pemulihan (recovery) setelah terjadinya gangguan.

2. Melakukan kuantifikasi terpadu mekanisme pemulihan (recovery) setelah terjadi gangguan.

3. Mengukur sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme pemulihan (recovery) tersebut.


(20)

Beberapa ahli tanah mendefinisikan pemulihan sebagai kapasitas tanah untuk memulihkan fungsi dan kemantapan (integritas) strukturalnya setelah mengalami gangguan. Pemulihan tanah dihubungkan dengan kualitas tanah dalam hubungannya dengan pemulihan (recovery) fungsi-fungsi tanah, sedangkan kapasitas penyangga tanah berhubungan dengan ketahanan/kemampuan tanah untuk mempertahankan kualitasnya sebagai akibat adanya gangguan.

Gambar 1. Illustrasi hubungan antara soil resistance, soil resilience dengan kualitas tanah (Seybold et al.,1999)

Secara lebih pasti dinyatakan bahwa selama terjadinya gangguan, kualitas tanah menjadi fungsi dari resistensi tanah (soil resistence), sedangkan sesudah terjadi gangguan, kualitas tanah menjadi fungsi dari soil resilience. Karena

gangguan (disturbance) merupakan hal yang umum terjadi di alam (terjadi dimana-mana) maka karakteristik dari soil resilience dan soil resistence

menjadi komponen dasar dari kualitas tanah. Gambar 1 mengilustrasikan pengaruh dari adanya gangguan, resistensi tanah dan pemulihan tanah terhadap fungsi-fungsi tanah. Ditunjukkan pula bahwa kapasitas tanah untuk pulih menjadi

Indikator

kapasitas untuk melawan perubahan (soil resistence)

Indikator

kapasitas untuk pemulihan (soil resilience) Kapasitas

Pemulihan Mekanisme Penyangga Kualitas Tanah

Indikator (kapasitas untuk berfungsi) Fungsi Tanah


(21)

dua komponen yaitu pemulihan dan derajat pemulihan. Pemulihan tanah dan kapasitas penyangga tanah dipengaruhi oleh karakteristik bawaan (inherent) tanah maupun karakteristik tanah yang mudah berubah (dynamic soil characteristics) (Seybold et al., 1999).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengertian Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 2002).

Daerah aliran sungai didefenisikan sebagai wilayah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan wilayah lainya oleh pemisah alami topografi yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Wiersum et al., 1979). Sedangkan Lindsey et al., (1980) memberikan batasan bahwa DAS (watershed) atau river basin atau drainage basin atau catchment area adalah seluruh wilayah yang dialiri oleh sebuah system sungai yang saling berhubungan sehingga semua

aliran sungai yang berasal dari wilayah ini keluar melalui satu muara (single outlet).


(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hulu DAS Padang Kabupaten Simalungun mulai bulan Desember 2009 sampai dengan Maret 2010. Lokasi penelitian dilakukan di kawasan DAS Padang. Letak geografi lokasi penelitian sekitar 3o35’0’’ – 2o45’0” LU dan 98o35’0’’- 99o20’0’’ BT. Berikut ini adalah peta topografi DAS Padang di kawasan hulu DAS Padang sekitar Gunung Simbolon.


(23)

Wilayah DAS Padang memiliki luas lahan sekitar 126.163 hektar. Bagian hulu sekitar wilayah Urug Simbolon masih merupakan wilayah hutan. Bagian tengah merupakan wilayah perkebunan pemerintah maupun perkebunan campuran rakyat dan agroforestri. Sedangkan bagian hilir merupakan perkebunan karet dengan beberapa keragaman umur dan sebahagian hutan mangrove. Sistem pembukaan hutan pada zaman Belanda dilakukan dengan cara tebang bakar. Lahan mula-mula ditanami dengan tanaman semusim, kemudian berangsur-angsur ditanami dengan tanaman perkebunan dan/atau disertai tanaman pelindung berupa tanaman kayu (pepohonan). Kondisi ini dikategorikan sebagai agroforestri sederhana (de Foresta dan Michon, 2000). Kondisi topografi dan lima penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Ketinggian dan Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Menurut Penggunaan Lahan

Penggunaan Lahan Ketinggian (m) Koordinat

Hutan 648 03o02’45,6’’ LU

98o51’31,1’’ BT Kebun sawit umur

30 tahun

325 03o07’46,0’’ LU 98o54’21,3’’ BT Kebun sawit umur

4 tahun

282 03o08’00,2’’ LU 98o55’14,4’’ BT

Kebun campuran 574 03o05’19,6’’ LU

98o53’17,6’’ BT

Semak-semak 206 03o08’04,9’’ LU


(24)

Bahan dan Alat Penelitian

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dan Sampel tanah lapangan, bahan-bahan kimia untuk kebutuhan analisa di laboratorium, label nama untuk menandai tiap perlakuan, plastik untuk membungkus sampel dan bahan-bahan lain yang mendukung penelitian.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS untuk menentukan letak lokasi penelitian, ring sampel untuk mengambil sampel tanah tidak terganggu, cangkul untuk mengambil sampel tanah terganggu dari lapangan, goni sebagai tempat sampel tanah, spidol untuk memberi tanda, gunting untuk menggunting, dan meteran untuk mengukur panjang blok, alat-alat lain yang diperlukan untuk keperluan analisa di laboratorium.

Metoda Penelitian

Penelitian terlebih dahulu dilaksanakan dengan melakukan survey di lapangan. Survey dilakukan di kawasan DAS Padang Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, mencakup beberapa penggunaan lahan pada kelerengan yang beragam sesuai kondisi di lapangan serta analisis tanah dengan metoda deskriptif dengan mengevaluasi kriteria sifat-sifat tanah yang mudah dan sulit berubah. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan berdasarkan peta topografi dan peta penggunaan lahan. Lahan yang diteliti meliputi beberapa penggunaan lahan yakni: hutan, kebun campuran, kelapa sawit umur 30 tahun, kelapa sawit umur 4 tahun dan semak-semak. Topografi lahan penelitian meliputi kemiringan lereng yang berbeda.


(25)

Pelaksanaan Penelitian

a. Persiapan

Sebelum melakukan penelitian di lapangan, terlebih dahulu dilakukan konsultasi dengan komisi pembimbing, pengadaan peralatan, studi literatur, dan penyusunan usulan penelitian.

b. Tahap Kegiatan di Lapangan

Penelitian ini dilakukan dimulai dengan melakukan survei pendahuluan di lapangan dengan mengadakan orientasi di daerah penelitian kemudian dilakukan pengambilan contoh tanah untuk beberapa analisis kimia tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm. untuk analisis beberapa sifat fisika

tanah melalui pengambilan contoh tanah tidak terganggu pada kedalaman 0 – 10 cm dengan menggunakan ring sampel. Pada tiap penggunaan lahan dibuat

plot berukuran 10 x 10 meter dan diambil contoh tanah sebanyak 5 tempat, yakni pada tiap sudut dan bagian tengah.

c. Pengumpulan Data dan Analisis Data

Pengumpulan data koordinat lokasi dan ketinggian tempat di lapangan dilakukan dengan bantuan GPS. Data sifat tanah yang diteliti meliputi sifat fisik, sifat biologi dan sifat kimia tanah. Hasil yang diperoleh diinterpretasikan berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat tanah dan berdasarkan tipe penggunaan lahan.


(26)

d. Parameter yang Diukur

1. pH tanah dengan metoda Elektrometri

2. C-Organik dengan metoda Walkley and Black 3. N total dengan metoda Kjedahl

4. P-Tersedia dengan metoda P-Bray II

5. K-dd dengan metoda ekstraksi NH4OAc 1 N pH 7 6. Ca-dd dengan metoda ekstraksi NH4OAc 1 N pH 7 7. Mg-dd dengan metoda ekstraksi NH4OAc 1 N pH 7 8. Bulk density tanah dengan metoda Ring Sample 9. Porositas tanah dengan metoda Perhitungan

10.Permeabilitas tanah dengan metoda Constant Head 11.Respirasi spesifik tanah dengan metoda Titrasi HCL 12.Tekstur tanah dengan metoda Hydrometer


(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Analisis Sifat Tanah yang Mudah Berubah pada Beberapa Penggunaan Lahan

Kemasaman Tanah, Nitrogen Total, Fosfat Tersedia dan Kalium Tukar Tanah

Nilai kemasaman tanah, nitrogen total, fosfat tersedia, kalium tukar, magnesium tukar, kalsium tukar dan kerapatan lindak tanah pada beberapa penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Kemasaman tanah pada beberapa penggunaan lahan tersebut termasuk dalam kriteria masam (4,16-5,28), nilai tertinggi yakni pada lahan hutan dan terendah pada lahan semak. Nitrogen total tanah termasuk dalam kriteria rendah dengan nilai tertinggi pada kebun campuran yakni 0,21 % dan terendah pada lahan hutan dan semak-semak yakni 0,17 %. Fosfat tersedia tanah termasuk kriteria sangat rendah (< 8 ppm ), nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 3,03 ppm dan terendah pada kebun campuran 2,36 ppm. Adapun kalium tukar tanah termasuk kriteria sedang hingga sangat tinggi, dengan nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 2,463 me/100 g dan terendah pada lahan semak-semak yakni 0,532 me/100 g.


(28)

Tabel 3. Rataan pH, Karbon Organik, Nitrogen Total, Fosfat Tersedia, Kalium Tukar, Magnesium Tukar Kalsium Tukar dan Kerapatan Lindak Tanah pada Beberapa Penggunaaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang

Penggunaan Lahan

pH Nitrogen total (%) Fosfat tersedia (me/100 g) Kalium (me/100 g) Mg Tukar (me/100 g) Kalsium (me/100 g) Kerapatan Lindak (g/cm3)

Hutan 5,28m 0,17r 3,03sr 2,436st 0,609r 0,208sr 1,113

Kebun Sawit (30 tahun)

4,27sm 0,20r 2,76sr 0,573s 0,560r 0,192sr 1,410 Kebun Sawit

(4 tahun)

4,34sm 0,20r 2,54sr 0,650t 0,533r 0,148sr 1,633 Kebun

Campuran

5,03m 0,21s 2,36sr 0,689t 0,537r 0,199sr 1,403 Semak-semak 4,16sm 0,17r 2,37sr 0,532s 0,543r 0,182sr 1,600

Keterangan: m = masam; sm = sangat masam; r = rendah; s = sedang; sr = sangat sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi

Kandungan Magnesium, Kalsium Tukar dan Kerapatan Lindak Tanah

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa magnesium tukar tanah termasuk kriteria rendah dengan kisaran 0,40 – 1,00 me/100 g, dengan nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 0,609 me/100 g dan terendah pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 0,533 me/100 g. Kandungan kalsium tukar tanah termasuk kriteria sangat rendah (< 2 me/100 g), dengan nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 0,208 me/ 100 g dan terendah pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 0,148 me/100 g. Adapun kerapatan lindak tanah tertinggi pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 1,63 g/cm3 dan terendah pada lahan semak yakni 1,11 g/cm3.


(29)

Analisis Sifat Tanah Bawaan, Sulit Berubah dan Sifat Fisika Tanah Pendukung pada Beberapa Penggunaan Lahan

Tekstur Tanah

Tekstur tanah merupakan sifat bawaan (inherent) yang tidak dapat berubah. Komposisi fraksi pasir, debu, liat dan tekstur tanah pada beberapa penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Persentase Fraksi Pasir, Debu, Liat dan Tekstur Tanah

Penggunaan Lahan Pasir Debu Liat Tekstur

Hutan 70 14 16 Lempung Berpasir

Kebun Campuran 62 14 24 Lempung Liat Berpasir

Kelapa sawit (30 Tahun) 53 14 33 Lempung Liat Berpasir Kelapa sawit (4 Tahun) 53 18 29 Lempung Liat Berpasir

Semak-Semak 43 21 36 Lempung Berliat

Pada lahan hutan fraksi pasir tanah cukup tinggi sebesar 70% dan terendah pada lahan semak yakni 43 %. Fraksi debu tertinggi pada lahan semak sebesar 21 % dan terendah pada lahan hutan. Sedangkan fraksi liat tertinggi juga pada lahan semak yakni 36 % dan terendah pada lahan hutan 16 %. Semakin terbuka lahan menunjukkan semakin meningkatnya fraksi liat. Secara visual di lapangan dapat dilihat bahwa pada permukaan tanah hutan banyak ditemukan batuan yang belum hancur dan pasir yang menutupi permukaan tanah bercampur dengan bahan organik sangat halus.

Kandungan Karbon Organik, Bahan Organik Tanah dan Rasio C/N

Kandungan karbon Organik, Bahan Organik C/N, permeabilitas, kerapatan lindak, porositas tanah dan respirasi spesifik tanah pada beberapa penggunaan


(30)

Tabel 6. Rataan Karbon Organik, Bahan Organik C/N, Permeabilitas, Kerapatan Lindak, Porositas Tanah dan Respirasi Spesifik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang

Penggunaan Lahan Karbon Organik (%) Bahan Organik (%)

C/N Permeabilitas (cm/jam) Porositas (%) Respirasi Spesifik (kg/hari)

Hutan 1,77r 3,04r 10,41r 1,230al 60,337 0,627

Kebun Sawit (30 tahun)

2,05s 3,53s 10,25r 1,817al 53,208 0,713 Kebun Sawit

(4 tahun)

2,06s 3,55s 10,30r 4,847c 61,635 0,997 Kebun

Campuran

2,06s 3,33r 9,19r 1,483al 52,953 0,310 Semak-semak 0,82sr 1,14sr 4,82sr 1,527al 43,346 0,970 Keterangan: sr = sangat rendah; r = rendah; s = sedang; c = cukup; al = agak lambat

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan karbon organik tanah tertinggi pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 2,06 % dan terendah pada lahan semak yakni 0,82 %. Demikian juga dengan bahan organik tanah, tertinggi pada kebun sawit 4 tahun yakni yakni 3,55 dan terendah pada lahan semak yakni 1,14 %. Kandungan karbon organik pada semua penggunaan lahan termasuk kriteria sangat rendah hingga sedang. Adapun rasio C/N tertinggi pada lahan hutan yakni 10,41, dan terendah pada lahan semak yakni 4,82 %.

Permeabilitas, Porositas dan Respirasi Spesifik Tanah

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa permeabilitas tanah termasuk kriteria agak lambat hingga cukup. Permeabilitas tertinggi pada kebun sawit umur 4 tahun yakni sebesar 4,487 cm/jam (cukup) sedangkan permeabilitas tanah terendah pada lahan hutan sebesar 1,23 cm/jam (agak lambat). Porositas tanah tertinggi yakni kebun sawit 4 tahun (61,64 %) dan terendah pada lahan semak (43,35 %). Adapun respirasi spesifik tanah tertinggi pada lahan kelapa sawit umur 4 tahun yakni 0,997 kg/hari dan terendah pada kebun campuran yakni 0,31 kg/hari.


(31)

Pembahasan

Tekstur tanah pada kebun sawit, kebun campuran dan semak termasuk dalam kelas tekstur yang sama yakni halus menurut USDA. Tekstur tanah pada lahan hutan termasuk lempung berpasir yang termasuk dalam kriteria tekstur agak kasar (Hillel, 1982) dengan fraksi pasir sebesar 70 %. Tingginya kandungan pasir ditandai dengan banyaknya ditemukan batuan pada permukaan tanah hutan. Pada kedalaman 0-10 cm banyak dijumpai pasir halus bercampur bahan oganik halus. Ketinggian dan keadaan lahan hutan yang berbukit mempengaruhi jumlah fraksi pasir yang tinggi. Bahan induk vulkanik yang merupakan batuan induk di kawasan hulu DAS Padang ini mengandung SiO2 yang tinggi karena tersusun atas

batuan felsik dan intermediate yang merupakan batuan asam. Silika oksida yang tinggi menyumbangkan kandungan pasir yang tinggi terutama bila belum mengalami pencucian. Pada kebun campuran fraksi pasir mendekati jumlah fraksi pasir pada lahan hutan. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan ketinggian lahan hutan dan kebun campuran yang tidak besar, dan kedua penggunaan lahan ini sangat dipengaruhi oleh bahan induk. Pada lahan semak-semak fraksi pasir semakin berkurang sedangkan fraksi liat meningkat dan bertekstur lempung. Lahan semak berada pada ketinggian terendah diatas permukaan laut telah mengalami limpasan tanah dan air dari lahan yang lebih tinggi saat hujan. Pembalikan tanah melalui pengolahan tanah, proses penghancuran yang lebih lanjut mengurangi fraksi pasir tanah di lahan semak. Kebun sawit memiliki tekstur yang sama yakni lempung liat berpasir. Tidak terdapat perbedaan fraksi pasir, debu dan liat pada kedua penggunaan lahan tersebut.


(32)

Nilai pH tanah di kawasan hulu DAS Padang termasuk kriteria masam, hal ini disebabkan bahan induk di kawasan Gunung Simbolon yang termasuk vulkanik, sistem lahan tuff vulkanik masam, mengandung batuan felsik dan intermediate. Batuan felsik merupakan batuan beku asam dengan susunan batuan granit dan rhyolit yang memiliki kadar SiO2 > 62 %. Sedangkan batuan

intermediate disusun oleh batuan andesit dan darit dengan kandungan SiO2

berkisar 52 – 63 %. Namun pada lahan semak, nilai pH tanah bernilai sangat masam. Hal ini juga diduda karena tekstur tanah pada lahan semak yang didominasi fraksi liat yang tentunya mengandung unsur Al dan Fe yang dapat memasamkan tanah karena mengikat unsur hara N, P, K dan Ca. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rosmakam dan Yuwono (2002) menyatakan bahwa tanah yang mengandung ion Al3+ dan Fe3+ menyebabkan tanah menjadi sangat masam.

Kandungan nitrogen total tanah termasuk kriteria rendah pada seluruh penggunaan lahan, namun bernilai paling tinggi pada kebun sawit umur 4 tahun telah mengalami pemberaan beberapa bulan sebelum ditanam kembali untuk mengembalikan hara didalam tanah. Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya. Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak pula nitrogen organik yang mengalami mineralisasi sehingga akumulasi nitrogen di dalam tanah semakin besar jumlahnya. Pengurangan N dari tanah dapat dikarenakan nitrogen terangkut keluar dari lahan dalam bentuk hasil tanaman. Menurut Pitar et al., (2005) terdapat hubungan yang nyata secara statistik pada beberapa penggunaan lahan di daerah aliran sungai terhadap konsentrasi ammonium, fosfat dan nitrogen pada permukaan air pada


(33)

tingkat kepercayaan 99 %. Keadaan ini juga dapat disebabkan karena pengaruh pemupukan dan keberadaan tanaman leguminosa pada lahan kelapa sawit 4 tahun yang mengakibatkan terjadinya fiksasi N dari udara sehingga tanah lebih banyak mengandung unsur nitrogen. Hanafiah (2005) menyatakan bahwa unsur N dalam tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik sisa-sisa tanaman maupun binatang, pemupukan (terutama urea dan amonium nitrat) dan air hujan.

Kandungan fosfat tersedia dan kalsium tukar meskipun sangat rendah, bernilai tinggi pada lahan hutan dan semakin menurun dengan penggunaan lahan baik untuk kebun sawit, campuran maupun semak-semak sesuai bahan induk tanah yang berasal dari batuan asam. Hal ini dapat dipastikan karena pada tanah masam kandungan fosfat dan kalsium sangat rendah. Hasil penelitian Monde (2008) di DAS Nopu Sulteng menunjukkan kadar fosfat tersedia menurun dan sangat rendah setelah alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kakao yang ditanam secara monokultur berumur > 10 tahun.

Sumber kalium di dalam tanah adalah mineral primer felspar, mika dan leusit (Hardjowigeno, 1982). Ketiganya merupakan penyusun batuan malihan (Poerwowidodo, 1992). Kalium terdapat dalam tanah dalam bentuk yang dapat dipertukarkan terjerap oleh koloid liat atau humus. Liat yang rendah dan bahan organik yang rendah pada tiap penggunaan lahan tidak memungkinkan untuk menjerap ion kalium dalam jumlah besar. Kalium tukar terdapat dalam jumlah yang sangat tinggi pada lahan hutan. Banyaknya batuan yang ditemukan pada permukaan tanah lahan hutan menunjukkan pelapukan batuan belum intensif. Hal ini dapat diterima karena permukaan tanah hutan lebih sedikit mendapatkan paparan sinar matahari karena adanya tutupan tajuk tanaman yang cukup rapat.


(34)

Tidak adanya perbedaan yang besar pada siang dan malam hari, perbedaan kelembaban dan kekeringan mengurangi proses pelapukan. Dengan semakin terbukanya lahan maka kandungan kalium menurun. Hal ini disebabkan telah terjadi pencucian hingga lapisan tanah yang lebih dalam yang mengakibatkan kalium hilang dari tanah.

Kandungan magnesium tukar sangat rendah pada seluruh pengguanan lahan. Hal ini juga dipengaruhi pH tanah yang masam. Kation magnesium bersumber dari mineral dolomit, biotit dan augit yang merupakan penyusun batuan malihan (Poerwowidodo, 1992) dan termasuk kelompok marbel, bukan penyusun batuan beku. Fraksi liat yang rendah pada tiap penggunaan lahan menunjukkan rendahnya kandungan mineral di dalam tanah baik mineral primer maupun sekunder. Hal ini menandakan tanah mengandung kation K dan Mg yang rendah. Hasil penelitian Monde (2008) di DAS Nopu Sulteng menunjukkan bahwa berkurangnya kadar Ca dan Mg pada lahan yang ditanami kacang tanah, jagung dan vanili karena lahan tersebut telah mengalami pencucian dan erosi yang cukup besar. Lahan vanili sebelumnya ditanami tanaman semusim sehingga diduga telah banyak banyak kehilangan kalsium baik oleh erosi, aliran, permukaan maupun karena terangkut hasil panen.

Kerapatan lindak adalah perbandingan massa pada tanah dengan volume total tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan lindak pada lahan hutan berkisar 1,113 g/cm3 (tekstur lempung berpasir). Sedangkan kebun sawit dan kebun campuran memiliki kerapatan lindak 1,41 – 1,60 g/cm3 (lempung liat berpasir). Hal ini sesuai dengan pernyataaan Hillel (1982) bahwa tanah lempung dan berliat memiliki kerapatan lindak 1,6 g/cm3 sedangkan tanah


(35)

berpasir memiliki kerapatan lindak 1,1 g/cm3. Hal ini didukung hampir seimbangnya fraksi pasir, liat dan debu. Tanah hutan memiliki pori-pori tanah yang banyak yang didominasi oleh fraksi pasir yang dalam keadaan lembab akan mudah mengembang. Sedangkan, pada lahan kebun campuran, kebun sawit dan semak-semak, didominasi oleh fraksi liat yang menyebabkan tanah menjadi padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2007) yang menyatakan bahwa makin padat suatu tanah makin tinggi kerapatan lindak, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.

Melalui pendekatan sifat tanah yang mudah berubah, indikator penurunan kualitas tanah sudah dapat dilihat dengan rendahnya kandungan nitrogen total, fosfat tersedia, magnesium dan kalsium tukar tanah pada beberapa penggunaan

lahan. Penurunan semakin besar dengan semakin terbukanya lahan (semak-semak). Adanya penurunan disebabkan proses dekomposisi bahan organik yang semakin meningkat dengan terbukanya lahan. Penurunan tajuk penutup lahan menyebabkan hara dalam tanah semakin mudah tercuci oleh air yang jatuh dipermukaan tanah. Penurunan kerapatan lindak tanah akibat pengolahan tanah di lahan kebun memudahkan air meresap dan berinfiltrasi kelapisan tanah lebih dalam. Adapun unsur kalium cenderung mudah tercuci, meskipun dilakukan pemupukan kalium di lahan kebun sawit. Secara umum sifat tanah yang mudah berubah yakni pH, fosfat, kalium, magnesium dan kalsium tanah pada suatu lahan sangat dipengaruhi oleh sifat tanah bawaan (inherent) yakni tekstur tanah dan batuan induk.


(36)

Porositas tanah dikatakan cukup baik pada kandungan fraksi pasir, liat dan debu yang hampir seimbang. Pada tingkat kerapatan lindak < 1 g/cm3 tanah lebih mudah diolah untuk penggunaan pertanian yang baru. Mengingat bahan organik pada lahan semak merupakan yang terendah, perlu dilakukan pemberian pupuk organik bila ingin mengelola lahan semak menjadi lahan pertanian. Peningkatan kerapatan lindak pada kebun campuran akibat meningkatnya kepadatan tanah yang disebabkan meningkatnya frekuensi kunjungan pekerja kebun campuran dalam mengawasi kebun. Sesuai dengan hasil penelitian Al Dariah (2004) di kawasan hutan lindung Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat menunjukkan bahwa akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kopi terjadi pemulihan beberapa sifat fisika tanah untuk tanah dengan tingkat resistensi relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari adanya penurunan berat isi tanah dan perbaikan porositas

tanah. Setelah tanaman kopi berumur dewasa, berat isi mencapai angka < 80 g/cm3 untuk tanah dengan resistensi tinggi sedangkan pada tanah dengan

resistensi rendah berat isi tanah bertahan pada kisaran > 1 g/cm3 . Demikian juga dengan ruang pori total, setelah tanaman kopi berumur dewasa ruang pori total tanah dengan resisten rendah masih < 65 %. Pada penelitian ini alih fungsi lahan telah mengakibatkan tanah memiliki resistensi rendah, dengan porositas < 65 %. Demikian juga halnya dengan kerapatan lindak tanah menunjukkan tanah memiliki resistensi rendah yakni sudah berkisar > 1 g/cm3. Sehingga dapat dikatakan lahan dikawasan hulu DAS Padang sudah mengalami degradasi lahan.

Kandungan karbon organik merupakan indikator yang paling penting pada sifat tanah yang sulit berubah. Terjadi sedikit peningkatan karbon organik pada lahan kebun sawit, lalu kembali penurunan sejalan dengan semakin terbukanya


(37)

lahan (semak-semak). Sumber karbon di tanah dapat berasal dari biomassa tanaman, serasah tanaman yang melapuk dan sebagian kecil CO2 yang terurai.

Pada lahan hutan karbon dalam tanah termasuk rendah. Kemungkinan karbon masih dalam bentuk biomassa yang belunm hancur. Pada lantai hutan kelembaban umumnya tinggi, dan intensitas matahari kurang akibatnya perubahan iklim yang drastis tidak terjadi di lahan hutan. Selanjutnya proses pelapukan juga sangat

rendah. Ini dapat dilihat dengan rasio C/N di tanah hutan yakni sebesar 10,41 (kriteria sedang) yang menandakan proses pelapukan belum lanjut. Dapat dilihat

di lapangan bahwa permukaan tanah hutan banyak mengandung batuan dan tanah mengandung kandungan pasir yang tinggi (Tabel 4). Tanah dengan kandungan pasir tinggi kurang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan kation yang berikatan dengan lignin pada bahan organik yang ada. Hasil penelitian Monde (2008) di DAS Nopu menunjukkan bahwa kandungan karbon menurun akibat berubahnya penggunaan lahan hutan menjadi kebun kakao umur < 3 tahun (2,01 – 3,00 %), sedangkan pada lahan jagung dan kacang tanah kandungan karbon semakin menurun (1,00 – 2,00 %). Hal ini disebabkan sumbangan karbon yang rendah dari jaringan tanaman jagung dan kacang tanah lebih rendah dibandingkan kakao. Daun kakao mengandung sumber bahan organik berupa lignin yang lebih sulit terdekomposisi dibandingkan daun jagung dan kacang tanah. Menurut penelitian Al Dariah (2004) akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kopi, kadar karbon organik tanah Ultisol daerah Bodong (Typic Paleudult) di kawasan hutan register Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat mengalami penurunan drastis. Kandungan karbon organik pada lahan kopi muda > 2,5 %


(38)

sedangkan kadar karbon organik di lahan kopi muda daerah (Oxic Dystrudept) masih > 3 %.

Pada kebun kelapa sawit umur 30 tahun kandungan bahan organik merupakan yang tertinggi (3,55 %) dan terendah pada lahan semak – semak. Hal ini dapat dijelaskan dengan respirasi spesifik pada kebun sawit 30 tahun, merupakan nilai tertinggi yakni 0,997 kg/hari. Tingginya respirasi spesifik pada kebun sawit menunjukkan tingginya aktivitas mikroba. Aktivitas mikroba meningkat dengan adanya sumber bahan organik sebagai sumber energi. Hal ini diduga karena pada lahan kelapa sawit umur 30 tahun dan kebun campuran dipengaruhi oleh pemberian pupuk baik dan teratur secara organik maupun kimia yang mengakibatkan peningkatan bahan organik. Hasil ini didukung dengan pernyataan Winarso (2005) bahwa kadar bahan organik tanah meningkat dalam sistem penanaman yang berbeda setelah penggunaan pupuk jangka panjang (10 tahun), baik sumber organik maupun pupuk anorganik.

Permeabilitas tanah merupakan aliran air dalam tanah dalam keadaan jenuh. Secara umum permeabilitas tanah pada setiap penggunaan lahan tidak berbeda dan termasuk kriteria cukup. Permeabilitas lahan hutan, kebun campuran, kelapa sawit 4 tahun dan semak – semak termasuk agak lambat dan justru meningkat pada kebun kelapa sawit umur 30 tahun. Fraksi liat pada tanah kebun sawit lebih tinggi dibandingkan pada kebun campuran dan hutan dan tertinggi pada lahan semak – semak. Fraksi liat mengandung pori – pori mikro yang lebih besar dari pada fraksi pasir, dan pori – pori ini akan menahan dan mengalirkan air meski pada hisapan yang rendah. Faktor yang sangat mempengaruhi sehingga permeabilitas di lahan hutan ini lebih rendah adalah faktor kadar air yang


(39)

dikandung lahan hutan saat dilakukan pengambilan sampel dan analisis. Lahan hutan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya, sehingga ketika dilakukan pengukuran, kondisi tanah hutan sudah jenuh air sehingga permeabilitas menjadi lambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asdak (2002) yang menyatakan bahwa berkurangnya laju infiltrasi dapat terjadi karena bertambahnya kadar air atau kelembaban dari tanah, sehingga menyebabkan butiran tanah berkembang dengan demikian menutup pori-pori tanah. Peningkatan permeabilitas tanah juga dipengaruhi oleh porositas tanah, sedangkan porositas tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah. Pada kebun sawit umur 30 tahun terjadi penurunan kandungan pasir serta peningkatan liat dan debu. Dengan berkurangnya fraksi pasir maka pori – pori makro juga semakin berkurang akibatnya tanah memiliki kemampuan menahan air yang lebih tinggi. Hal ini dapat didukung dengan adanya peningkatan respirasi spesifik didalam tanah. Hasil penelitian Monde (2008) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan hutan menjadi kakao menurunkan permeabilitas tanah secara nyata pada kedalaman 10 cm dan 30 cm. selanjutnya ada kecenderungan bahwa lahan hutan yang telah dialihgunakan menjadi lahan pertanian mengalami penurunan permeabilitas seperti lahan kacang tanah, jagung dan vanilli, sebaliknya pada lahan yang baru dibuka tingkat penurunan permeabilitasnya relatif rendah (kakao umur < 3 tahun). Demikian juga pada lahan kacang tanah terjadi penurunan permeabilitas yang tajam (kriteria sedang hingga agak cepat).

Peningkatan respirasi spesifik menunjukkan adanya peningkatan aktivitas

mikroba dalam tanah. Peningkatan aktivitas mikrobia meningkatkan laju dekomposisi bahan organik, terutama di kebun sawit umur 30 tahun


(40)

(0,997 kg/hari) dan laju C/N 10,25 (sedang). Pada lahan semak laju dekomposisi juga termasuk tinggi dengan hasil C/N yang semakin menurun (< 5) namun respirasi spesifik termasuk tinggi (0,97 kg/hari). Hal ini menunjukkan bahwa karbon yang stabil belum terdekomposisi sempurna pada lahan semak, namun aktivitas mikrobia justru terus meningkat. Pada lahan yang lebih terbuka, faktor pencucian dan perubahan iklim sangat mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik. Kondisi aerase yang baik juga mendukung meningkatnya aktivitas mikrobia. Hasil penelitian Al Dariah (2004) pada hutan kawasan lindung di Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat, menunjukkan bahwa respirasi spesifik tanah semakin menurun dengan adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kaliandra, kebun campuran, kopi umur 10 tahun dan 3 tahun secara berturut – turut. Hal ini didukung dengan semakin menurunnya karbon mikrobia dan karbon organik pada penggunaan lahan di atas secara berturut – turut pula.


(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Indikator kualitas tanah menurun ditinjau dari sifat tanah yang mudah berubah yakni pH, nitrogen total, fosfat tersedia, magnesium dan kalsium tukar tanah. 2. Indikator kualitas tanah mulai menurun ditinjau dari sifat tanah yang sulit

berubah yakni karbon organik yang berkisar 0,82 – 2,06 (rendah hingga sedang).

3. Indikator sifat tanah yang mudah berubah dan sulit berubah dangat dipengaruhi oleh sifat tanah bawaan (tekstur dan batuan induk).

4. Perubahan sifat fisik lahan hutan menjadi lahan perkebunan di DAS Padang, menyebabkan pemadatan tanah sehingga tanah sulit untuk meneruskan air sehingga terjadi luapan air sungai di DAS Padang bagian hilir.

Saran

1. Sebelum melakukan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian di kawasan hulu DAS Padang, perlu dilakukan rehabilitasi lahan.

2. Salah satu metoda rehabilitasi tanah yang dilakukan melalui aktifitas konservasi tanah metoda vegetative untuk menyumbang bahan organik di dalam tanah dan menungkatkan kemampuan tanah menyerap air sesuai dengan fungsi hulu DAS sebagai aral tangkapan air (catchment area).


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi. Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor, IPB Press, Bogor.

Al Dariah, A. 2004. Tingkat Erosi dan Kualitas Tanah pada Lahan Usaha Tani Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Bogor.

De Foresta H, A kuswono, G Michon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan. Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Center Reserch in Agroforestry, Bogor.

Doran, J.W and T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In J. W Doran, D.C Coleman, D.F Bezdicek and B.A Stewart (Eds.) Definiing Soil Quality for Suistainable Environment. SSSA. Madison, Wisconsin. Special Publication. 35 : 3-21.

Hanafiah, K.A., 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hardjowigeno, S., 2007. Ilmu Tanah. Edisi Baru, Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta.

Hillel, D. 1982. Introduction to Soil Physycs. Academic Press Inc, Orlando, Florida.

Islam, K.R dan Weil. 2000. Soil quality indicator properties in mid-atlantic soils as influenced by conservation management. J. Soil and Water Cons. 55 (1) : 69-78.

Karlen, D.L, M.J Mausbach, J.W. Doran, R.G. Cline, R.F Harris and G.E. Schuman. 1997. Soil quality : a concept, definition and framework for evolution (a guest editional). Soil Sci. Soc. Am. J. 61 : 4-10. Washington. Kennedy, A.C and R.I. Papendick. 1995. Microbial characteristics of soil quality.

J. Soil and Water Cons. 50 : 243-248.

Linsley, R.K, M.A Kohler and J.L.H.Paujhus. 1980. Surface Retention and Detentioon and Overland Flow. Applied Hydrology. Chap. 11 : 260-302. Mc Graw-Hill Book Co., New York.


(43)

Monde, A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao di DAS Nopu Sulawesi Tengah. Disertasi r. S3. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Oldeman, L.R. 1993. An international methodology for an assessment of soil degradation land geo-referenced soil and terrain databased. In : Report of the expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Bangkok. Pp.33-60.

Parr, J.F, R.I. Papendick, S.B Hornick and R.E. Meyer. 1992. Soil quality : Atributes and relationship to alternative and suistanable agriculture, Am.J.Alt.Agr. 7 : (1 dan 2).

Pintar, M., Boris, K., Urska, B., Elizabeta, G., Gregor, S., Matej, U., Lidija, G. 2005. The Impact of Land Use on Nitrogen Concentration in surface Waters in Slovenia. ICID 21st European Regional Conference Frankfurt (Oder) and Slubice – Germany and Poland. Pg. \1 – 5.

Poerwowidodo, 1992. Selidik Tanah. Usaha Nasional. Surabaya, Indonesia. 344 halaman.

Ramothu, S. D. 2009. Kota Tebingtinggi Dilanda Banjir. Harian Bersama. 23 Maret.2009.File:///D:/banjir%20tebing%20kiriman%20gunung%simbolon %simalungun.htm

Seybold, C. A. J. E. Herrick, and J. J. Brejda. 1999. Soil resilience: afundamental componenet of soil quality. Soil science. 164(4) : 224-234.

Susswein, P.M.; Van Noordwijk, M. dan B. Verbist. 2001. Forest Watershed Functions and Tropical Land Use Change. Dalam van Noordwijk, M.; Williams, S. dan B. Verbist (Eds.), Towards integrated natural resource management in forest margins of the humid tropics: local action and global concerns. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor. 28 pp. Wiersum, K.F. View points on agroforestry, Nair, P.K.R. Introduction to

Afroforestry.

Yuwono, N.W dan Rosmakam, A. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


(44)

Gambar 3. Lahan Hutan di Kawasan Hulu DAS Padang


(45)

Gambar 4. Lahan Kebun Campuran di Kawasan Hulu DAS Padang


(46)

Gambar 6. Lahan Kelapa Sawit umur 30 Tahun di Kawasan Hulu DAS Padang


(47)

Lampiran 1. Rataan pH Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 5.26 5.33 5.25 15.84 5.28

Kebun Campuran 4.55 4.13 4.13 12.81 4.27

Kelapa sawit (30 Tahun) 4.39 4.29 4.34 13.02 4.34 Kelapa sawit (4 Tahun) 5.11 5.08 4.90 15.09 5.03

Semak-Semak 4.19 4.12 4.18 12.49 4.16

TOTAL 23.50 22.95 22.80 69.25

Lampiran 2. Rataan Karbon Organik Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 1.86 1.72 1.72 5.30 1.77

Kebun Campuran 2.18 1.93 2.04 6.15 2.05

Kelapa sawit (30 Tahun) 1.90 2.25 2.04 6.19 2.06 Kelapa sawit (4 Tahun) 2.00 1.90 1.90 5.80 1.93

Semak-Semak 1.65 0.41 0.41 2.47 0.82

TOTAL 9.59 8.21 8.11 25.91

Lampiran 3. Rataan Bahan Organik pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 3.20 2.92 2.92 9.12 3.04

Kebun Campuran 3.75 3.32 3.51 10.58 2.55

Kelapa sawit (30 Tahun) 3.27 3.87 3.51 10.65 3.55 Kelapa sawit (4 Tahun) 3.44 3.27 3.27 9.98 3.33

Semak-Semak 2.84 0.71 0.71 4.26 1.42


(48)

Lampiran 4. Rataan Nitrogen Total Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (%)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 0.23 0.19 0.1 0.52 0.17

Kebun Campuran 0.19 0.21 0.19 0.59 0.20

Kelapa sawit (30 Tahun) 0.20 0.20 0.21 0.61 0.20 Kelapa sawit (4 Tahun) 0.23 0.20 0.22 0.65 0.22

Semak-Semak 0.19 0.15 0.18 0.52 0.17

TOTAL 1.04 0.95 0.90 2.89

Lampiran 5. Rataan Fosfat Tersedia Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (ppm)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 2.48 2.65 2.98 8.11 2.70

Kebun Campuran 3.15 2.98 2.14 8.27 2.76

Kelapa sawit (30 Tahun) 2.65 2.48 2.48 7.61 2.54 Kelapa sawit (4 Tahun) 2.31 2.48 2.28 7.07 2.36

Semak-Semak 2.31 2.31 2.48 7.10 2.37

TOTAL 12.90 12.90 12.36 38.16

Lampiran 6. Rataan Kalium Tukar Tanah (K-dd) pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (me/100 g)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 2.435 2.414 2.455 7.304 2.435

Kebun Campuran 0.564 0.595 0.561 1.720 0.573 Kelapa sawit (30 Tahun) 0.644 0.711 0.596 1.951 0.650 Kelapa sawit (4 Tahun) 0.911 0.591 0.805 2.307 0.769 Semak-Semak 0.527 0.518 0.550 1.595 0.532


(49)

Lampiran 7. Rataan Magnesium Tukar Tanah (Mg-dd) pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang ( me/100 g)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 0.599 0.609 0.620 1.828 0.609

Kebun Campuran 0.569 0.544 0.566 1.679 0.560 Kelapa sawit (30 Tahun) 0.522 0.545 0.531 1.598 0.533 Kelapa sawit (4 Tahun) 0.532 0.542 0.537 1.611 0.537 Semak-Semak 0.541 0.547 0.540 1.628 0.543

TOTAL 2.763 2.787 2.794 8.344

Lampiran 8. Rataan Kalsium Tukar Tanah (Ca-dd) pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (me/100 g)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 0.207 0.198 0.219 0.624 0.208

Kebun Campuran 0.234 0.153 0.188 0.575 0.192 Kelapa sawit (30 Tahun) 0.158 0.163 0.122 0.443 0.148 Kelapa sawit (4 Tahun) 0.184 0.184 0.230 0.598 0.199 Semak-Semak 0.116 0.187 0.244 0.547 0.182

TOTAL 0.899 0.885 1.003 2.787

Lampiran 9. Rataan Permeabilitas Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (cm/jam)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 1.42 1.01 1.26 3.69 1.23

Kebun Campuran 2.21 1.66 1.58 5.45 1.82

Kelapa sawit (30 Tahun) 3.08 8.77 2.69 14.54 4.85 Kelapa sawit (4 Tahun) 1.00 0.92 2.53 4.45 1.48

Semak-Semak 1.74 1.58 1.26 4.58 1.53


(50)

Lampiran 10. Rataan Kerapatan Lindak Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (g/cm3)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 1.13 1.34 0.87 3.34 1.11

Kebun Campuran 1.63 1.68 1.59 4.90 1.63

Kelapa sawit (30 Tahun) 1.22 1.43 1.56 4.21 1.40 Kelapa sawit (4 Tahun) 1.48 1.41 1.34 4.23 1.41

Semak-Semak 1.71 1.50 1.59 4.80 1.60

TOTAL 7.17 7.36 6.95 21.48

Lampiran 11. Rataan Porositas Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (%)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 64.52 56.60 60.00 181.13 60.33

Kebun Campuran 55.84 53.20 50.56 159.62 53.20 Kelapa sawit (30 Tahun) 61.50 63.39 60.00 184.90 61.63 Kelapa sawit (4 Tahun) 46.03 53.96 58.86 158.86 52.95 Semak-Semak 42.64 50.56 32.83 126.03 43.34

TOTAL 270.55 277.73 262.264 910.55

Lampiran 12. Rataan Respirasi Spesifik Tanah pada beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang (Kg/hari)

Penggunaan Lahan

Ulangan Total Rataan

I II III

Hutan 1.20 0.17 0.51 1.88 0.63

Kebun Campuran 0.68 0.85 0.60 2.13 0.71

Kelapa sawit (30 Tahun) 0.77 1.02 1.20 2.99 0.99 Kelapa sawit (4 Tahun) 0.34 0.17 0.42 0.93 0.31

Semak-Semak 0.34 1.37 1.20 2.91 0.97


(51)

(52)

(53)

(54)

(55)

Lampiran 16. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Satuan S. Rendah Rendah Sedang Tinggi S. Tinggi

C (Karbon) % <1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.00

N (Nitrogen) % <0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75 >0.75

C/N --- <5 5-10 11-15 16-25 >25

P2O5 Total % <0.03 0.03-0.06 0.06-0.079 0.08-0.10 >0.10

P2O5 eks-HCl % <0.021 0.021-0.039 0.040-0.060 0.061-0.10 >0.1

P-avl Bray II ppm <8.0 8.0-15 16-25 26-35 >35

P-avl troug ppm <20 20-39 40-60 61-80 >80

P-avl Olsen ppm <10 10-25 26-45 46-60 >60

K2O eks-HCl % <0.03 0.03-0.06 0.07-0.11 0.12-0.20 >20

CaO eks-HCl % <0.05 0.05-0.09 0.10-0.20 0.21-0.30 >0.30

MgO eks-HCl % <0.05 0.05-0.09 0.10-0.20 0.21-0.30 >0.30

MnO eks-HCl % <0.05 0.05-0.09 0.10-0.20 0.21-0.30 >0.30

K-tukar me/100 <0.10 0.10-0.20 0.30-0.50 0.60-1.00 >1.00

Na-tukar me/100 <0.10 0.10-0.30 0.40-0.70 0.80-1.00 >1.00

Ca-tukar me/100 <2.0 2.0-5.0 6.0-10.0 11.0-20.0 >20.0

Mg-tukar me/100 <0.40 0.40-1.00 1.10-2.00 2.10-8.00 >8.00

KTK (CEC) me/100 <5 5-16 17-24 25-40 >40

Kejenuhan Basa

% <20 20-35 36-50 51-70 >70

Kejenuhan Al % <10 10-20 21-30 31-60 >60

EC (Nedeco) mmhos --- --- 2.5 2.6-10 >10


(56)

Lampiran 17. Kriteria Penilaian Kemasaman Tanah Sangat

Masam

Masam Agak Masam

Netral Agak Alkalis

Alkalis pH H2O <4.5 4.5-5.5 5.6-6.5 6.6-7.5 7.6-8.5 >8.5

pH KCL <2.5 2.5-4.0 --- 4.1-6.0 6.1-6.5 >6.5

Lampiran 18. Kriteria Kelas permeabilitas tanah menurut Hanafiah (2005)

Kelas Laju infiltrasi (cm/jam)

Sangat Cepat Cepat

Agak Cepat Sedang Agak Lambat Lambat

Sangat Lambat

> 25,4 12,7-25,4 6,3-12,7 2-6,3 0,5-2 0,1-0,5 < 0,1


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Lampiran 16. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Satuan S. Rendah Rendah Sedang Tinggi S. Tinggi

C (Karbon) % <1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.00 N (Nitrogen) % <0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75 >0.75

C/N --- <5 5-10 11-15 16-25 >25

P2O5 Total % <0.03 0.03-0.06 0.06-0.079 0.08-0.10 >0.10 P2O5 eks-HCl % <0.021 0.021-0.039 0.040-0.060 0.061-0.10 >0.1 P-avl Bray II ppm <8.0 8.0-15 16-25 26-35 >35 P-avl troug ppm <20 20-39 40-60 61-80 >80 P-avl Olsen ppm <10 10-25 26-45 46-60 >60 K2O eks-HCl % <0.03 0.03-0.06 0.07-0.11 0.12-0.20 >20 CaO eks-HCl % <0.05 0.05-0.09 0.10-0.20 0.21-0.30 >0.30 MgO eks-HCl % <0.05 0.05-0.09 0.10-0.20 0.21-0.30 >0.30 MnO eks-HCl % <0.05 0.05-0.09 0.10-0.20 0.21-0.30 >0.30 K-tukar me/100 <0.10 0.10-0.20 0.30-0.50 0.60-1.00 >1.00 Na-tukar me/100 <0.10 0.10-0.30 0.40-0.70 0.80-1.00 >1.00 Ca-tukar me/100 <2.0 2.0-5.0 6.0-10.0 11.0-20.0 >20.0 Mg-tukar me/100 <0.40 0.40-1.00 1.10-2.00 2.10-8.00 >8.00 KTK (CEC) me/100 <5 5-16 17-24 25-40 >40 Kejenuhan

Basa

% <20 20-35 36-50 51-70 >70 Kejenuhan Al % <10 10-20 21-30 31-60 >60

EC (Nedeco) mmhos --- --- 2.5 2.6-10 >10


(6)

Lampiran 17. Kriteria Penilaian Kemasaman Tanah

Sangat

Masam

Masam

Agak

Masam

Netral

Agak

Alkalis

Alkalis

pH H

2

O

<4.5

4.5-5.5

5.6-6.5

6.6-7.5

7.6-8.5

>8.5

pH KCL

<2.5

2.5-4.0

---

4.1-6.0

6.1-6.5

>6.5

Lampiran 18. Kriteria Kelas permeabilitas tanah menurut Hanafiah (2005)

Kelas

Laju infiltrasi (cm/jam)

Sangat Cepat

Cepat

Agak Cepat

Sedang

Agak Lambat

Lambat

Sangat Lambat

> 25,4

12,7-25,4

6,3-12,7

2-6,3

0,5-2

0,1-0,5

< 0,1