Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Penggunaan Lahan Hortikultura Di Sub Das Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu)

(1)

LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

SKRIPSI

Oleh:

CORY MEILIANY BR. SURBAKTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

SKRIPSI

Oleh:

CORY MEILIANY BR. SURBAKTI 050308025/TEKNIK PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Sumono, MS Ir.Edi Susanto, M.Si

Ketua Anggota

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(3)

Nama : Cory Meiliany Br. Surbakti

NIM : 050308025

Departemen : Teknologi Pertanian Program Studi : Teknik Pertanian

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS)

Ketua Anggota (Ir. Edi Susanto, M.Si)

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Pertanian (Ir. Saipul Bahri Daulay, M. Si)


(4)

Wampu), dibimbing oleh SUMONO dan EDI SUSANTO.

Pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan budidaya pertanian di bagian hulu DAS Wampu khususnya di Sub DAS Lau Biang telah mengakibatkan masalah peningkatan laju erosi di DAS tersebut. Untuk itu dilaksanakan penelitian di lahan tanaman hortikultura (jeruk) pada bulan April-Juli 2009 dengan menggunakan metode USLE dan metode Petak Kecil dengan mengambil 10 kecamatan untuk pengambilan sampel. Parameter yang diamati adalah jenis tanah, kedalaman efektif tanah, permeabilitas tanah, kadar C-organik tanah, tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng dan curah hujan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihfungsian lahan menjadi lahan tanaman hortikultura (jeruk) berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi. Rata-rata erosi yang terjadi menurut metode prediksi sebesar 361,794 ton/ha.thn dan pengukuran erosi dengan metode petak kecil diperoleh laju erosi 20,299 ton/ha.thn lebih kecil dibandingkan dengan metode USLE. Kata kunci : Erosi tanah, Erosi yang Ditoleransikan, Tingkat Bahaya Erosi.

ABSTRACT

CORY MEILIANY BR. SURBAKTI: The Study of Erosion Hazard Level (TBE) on Horticulture Land at Sub DAS Lau Biang (Headwaters of DAS Wampu), supervised by SUMONO and EDI SUSANTO.

The transferring of function of forest land into agriculture at the headwaters of DAS Wampu, especially at Sub DAS Lau Biang has resulted in the increase of erosion rate at this DAS. Therefore, research was carried out at the orange crop area in April-July 2009 using the USLE and small square methods by taking 10 subdistricts for sampling. The observed parameters were the kind of soil, the effective depth of soil, soil permeability, soil C-organic content, soil texture, soil structure, slope and rainfall.

The results showed that the transferring of function of forest land into orange crop affected the amount of erosion. The average of erosion that occured according to the predictive method was 361,794 ton/ha.year, and according to small squares method was 20,299 ton/ha.year that was smaller than the USLE method.


(5)

Drs. Konsep Surbakti dan ibu Srie Mory Br. Bangun. Penulis merupakan putri sulung dari tiga bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri I Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA). Selain itu penulis juga pernah aktif pada Kegiatan Mahasiswa Kristen (KMK). Penulis juga merupakan asisten praktikum Erosi dan Bangunan Pencegah pada tahun 2009. Pada tanggal 16 Juli sampai dengan 15 Agustus 2008, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di pabrik pengolahan kopi CV. Prima Harapan yang beralamat di Jalan Kongsi No. 278 A, Mariendal, Medan.


(6)

segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Penggunaan Lahan Tanaman Hortikultura di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara

dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS sebagai Ketua Pembimbing dan

Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing serta kepada yang telah membimbing dan memberikan masukan berharga kepada penulis mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai skripsi ini diselesaikan. Khusus untuk Bapak Ahmad Syofyan, SE di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser yang telah banyak memberi bantuan selama penelitian.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar di Program studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, serta semua rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Desember 2009


(7)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Umum Pengelolaan DAS ... 6

Kondisi Umum DAS Wampu ... 10

Erosi dan Sedimentasi pada Suatu DAS ... 15

Faktor Yang Mempengaruhi Erosi ... 19

Faktor iklim ... 19

Faktor tanah ... 20

Faktor topografi ... 22

Faktor vegetasi... 24

Faktor manusia dan tindakan konservasi ... 25

Tingkat Bahaya Erosi ... 26

Tanaman Hortikultura ... 27

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 30

Bahan dan Alat Penelitian ... 30

Metode Penelitian ... 30

Pengamatan lapangan... 31

Laju erosi yang dapat ditoleransikan (T) ... 31

Pengukuran erosi dengan metode petak kecil ... 32

Prediksi erosi dengan metode USLE ... 34

Faktor erosivitas hujan (R) ... 34

Faktor erodibilitas tanah (K)... 35

Faktor topografi (LS) ... 36

Faktor vegetasi (C) dan faktor manusia/tindakan konservasi (P) ... 36

Tingkat bahaya erosi ... 38

Parameter Penelitian ... 38


(8)

Hal. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu ... 41

Pengukuran Erosi Tanah di Lahan Tanaman Hortilkultura (Jeruk) di Sub DAS Lau Biang ……… 42

Erosi ditoleransikan (T) pada lahan tanaman hortikultura (jeruk) ... 42

Erosi pada lahan tanaman hortikultura (jeruk) Sub DAS Lau Biang ... 43

Pengukuran erosi tanah dengan metode Petak Kecil ... 43

Prediksi erosi dengan metode USLE ... 46

Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Tanaman Hortikultura (Jeruk)……….. ……… 49

Penilaian Faktor-Faktor Erosi ... 51

Faktor erosivitas hujan (R) ... 51

Faktor erodibilitas tanah (K)... 52

Faktor topografi (LS) ... 56

Faktor vegetasi (C) dan faktor manusia/tindakan konservasi (P) ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 60

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(9)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Luas wilayah kecamatan, kabupaten dan kota DAS Wampu ... 12

2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang ... 13

3. Kelas kemiringan lereng di kawasan DAS Wampu ... 13

4. Jenis dan luas penggunaan lahan di setiap Sub DAS Wampu ... 14

5. Nilai faktor kedalaman tanah pada berbagai jenis tanah ... 32

6. Kode struktur tanah ... 36

7. Kode permeabilitas profil tanah ... 36

8. Nilai faktor (C) untuk berbagai tipe pengelolaan tanaman ... 37

9. Nilai faktor (P) untuk berbagai tindakan konservasi tanah ... 37

10. Kriteria tingkat bahaya erosi ... 38

11. Nilai erosi yang ditoleransikan (T) pada lahan tanaman jeruk ... 42

12. Data petak kecil pada lahan tanaman Jeruk ... 43

13. Nilai tingkat bahaya erosi (TBE) pada lahan tanaman jeruk ... 48

14. Nilai erosivitas hujan di Sub DAS Lau Biang ... 50

15. Nilai kandungan partikel tanah (M) pada lahan tanaman jeruk ... 53

16. Nilai C-organik (a) pada lahan tanaman jeruk ... 54

17. Nilai topografi (LS) pada tanaman jeruk ... 55

18. Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi (P) ... 56


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Laju deforestasi versus laju rehabilitasi ... 7 2. Penampang petak kecil dan kolektor... 33


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Flowchart pengukuran laju erosi metode USLE ... 65

2. Flowchart pengukuran laju erosi metode petak kecil ... 66

3. Data curah hujan di Tiga Pancur ... 67

4. Data curah hujan di Barus Jahe... 68

5. Data curah hujan di Merek ... 69

6. Data curah hujan di Tiga Panah ... 70

7. Data curah hujan di Sumber Jaya... 71

8. Data curah hujan di Sinabung ... 72

9. Tabel nilai erosivitas hujan... 73

10. Tabel nilai erodibilitas tanah pada lahan tanaman jeruk ... 74

11. Tabel nilai erosi (A) lahan tanaman jeruk ... 75

12. Data hasil analisis tanah pada lahan tanaman jeruk ... 76

13. Gambar petak kecil di lapangan ... 77

14. Gambar proses permeabilitas ... 78

15. Data permeabilitas pada lahan tanaman jeruk ... 79

16. Peta administrasi ... 80

17. Peta jenis tanah ... 81

18. Peta kelas lereng... 82


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumber daya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun.

Dari definisi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan

outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu

merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tata guna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air


(13)

dan transport sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu-hilir seperti tersebut di atas maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumber daya alam termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan (Marwah, 2001).

Sub DAS Lau Biang merupakan bagian hulu dari DAS Wampu yang mencakup wilayah Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta di Kabupaten Simalungun, serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga Panah, Simpang Empat, Kabanjahe, Berastagi, Barus Jahe, Payung, Dolat Rakyat, Merdeka, Namanteran, Tiga Binanga, Munthe, Tiganderket, dan Kuta Buluh di Kabupaten Karo, dan sebagian wilayah Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang, serta sebagian wilayah Kecamatan Salapian dan Sei Bingei di Kabupaten Langkat. Luas wilayah Sub DAS Lau Biang sekitar 95.552,095 Ha atau sekitar 22,95% dari total luas wilayah DAS Wampu (410.715 Ha). Selain Sub DAS Lau Biang, Sub DAS lainnya di DAS Wampu adalah Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.680 Ha (49,83%), Sub DAS Sei Bingei seluas 79.047 Ha (19,25%), dan Sub DAS Wampu Hilir seluas 32.738 Ha (7,97%) (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).

Permasalahan umum di DAS Wampu yang menyebabkan berbagai bencana alam, diantaranya Banjir Bandang di Sub DAS Wampu Hulu Sub-Sub DAS Bahorok pada November 2003 yang lalu adalah akibat banyaknya penggarapan-penggarapan liar yang menyebabkan banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir. Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaidah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang di Kabupaten Simalungun dan Karo dengan komoditi utama tanaman pangan dan hortikultura. Sedangkan pada bagian


(14)

hilir terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai khususnya di Sub DAS Wampu Hilir dan Sub DAS Sei Binge di Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008). Khusus di Sub DAS Lau Biang, penggunaan lahan dominannya justru untuk pertanian lahan kering seluas 85,06% dari luas Sub DAS tersebut, sementara untuk hutan hanya 11,43% (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).

Hutabarat (2008) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab degradasi DAS di Indonesia yaitu : (1) keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan; (2) iklim, terutama curah hujan yang tinggi dan potensial dapat menimbulkan daya rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang menyebabkan erosivitas yang tinggi; dan (3) aktivitas manusia dalam pemanfaatan/penggunaan lahan/hutan yang melampaui daya dukung wilayah/lingkungan dan atau tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani, serta sikap mental orang-orang yang tidak bertanggung jawab (memiliki moral hazard) terutama dalam menggarap/alih fungsi hutan menjadi lahan budidaya atau untuk penggunaan lainnya.

Kemampuan tanah yang rendah dalam menyerap dan menyimpan air, bukan hanya menyebabkan tanaman akan mudah kekeringan pada musim kemarau, tetapi juga menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah (run off) pada musim hujan menjadi lebih banyak dan akan menyebabkan lapisan tanah akan lebih banyak terkikis akibat erosi.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bagian hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang) yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan (jagung, padi gogo,


(15)

umbi-umbian), hortikultura (sayuran, buah-buahan), dan tanaman industri (kopi,

cacao, dan kemiri). Sementara agroteknologi yang dikembangkan belum

sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan sangat minimal, dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, dan kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi dengan jenis tanah andosol yang rentan terhadap erosi serta kondisi relief yang bergelombang hingga bergunung dengan luas penggunaan lahan pertanian kering yang mencapai 85% dengan mengusahakan tanaman pangan dan tanaman hortikultura (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Berkaitan dengan hal tersebut akan dilakukan penelitian guna mendapatkan informasi sejauh mana tingkat bahaya erosi yang terjadi pada penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang).

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar laju erosi yang masih dapat ditoleransikan pada penggunaan

lahan tanaman hortikultura di Sub DAS Lau Biang.

2. Bagaimana tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi pada penggunaan lahan tanaman hortikultura di Sub DAS Lau Biang.

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju erosi yang dapat ditoleransikan (T) dan besarnya tingkat bahaya erosi (TBE) di Sub DAS Lau Biang pada lahan tanaman hortikultura.


(16)

Kegunaan penelitian

1. Sebagai bahan dasar bagi penulis untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya erosi pada penggunaan lahan tanaman hortikultura, khususnya di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang).


(17)

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai

DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi

lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2006).

Berbicara tentang pengelolaan DAS, maka tidak akan terlepas dari permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini merupakan bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 120,35 juta Ha atau 63% dari luas daratan, dan terdiri dari hutan konservasi 20,50 juta Ha, hutan lindung seluas 33,50 juta Ha, dan hutan


(18)

produksi seluas 66,35 juta Ha. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi kawasan yang tidak berhutan terjadi deforestasi seluas 30,83 juta Ha atau 25,6% dari luas kawasan hutan. Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,08 juta Ha/tahun (Gambar 1). Kawasan hutan yang kritis semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu Ha/tahun (Hutabarat, 2008).

Gambar 1. Laju deforestasi versus laju rehabilitasi (Hutabarat, 2008) DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS sering kali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan

= Luas (Ha)


(19)

rangkaian proses alami daur hidrologi (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2006).

Peran daerah hulu dalam menjamin kelangsungan ekonomi sumber daya dan konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity) secara sistem hidrologi dan ekologi tidak dapat diabaikan. Dengan pertimbangan tersebut, maka menurut Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi (preservation), reservasi (reservation), dan konservasi (conservation). Dengan demikian menunjukkan bahwa daerah hulu dan hilir suatu DAS mempunyai keterkaitan biofisik yang direpresentasikan oleh daur hidrologi dan daur unsur hara. Adanya keterkaitan biofisik tersebut, DAS dapat dimanfaatkan sebagai satuan perencanaan dan evaluasi yang logis terhadap pelaksanaan program-program pengelolaan DAS. Berdasarkan rumusan yang dihasilkan dari lokakarya Pengelolaan DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1995, maka ada 3 hal yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya pengelolaan DAS, yaitu :

1. Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumber daya hutan, tanah, dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan. 2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat multi disiplin dan lintas sektoral

sehingga keterpaduan (integrated) mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal.


(20)

3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan azas “Integrated Watershed Management Plan”. Untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah dan nasional serta kesinambungannya.

Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan untuk melaksanakan amanat Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Seperti diketahui terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III dalam upaya penanggulangan/rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 Ha dan 23.306.233 Ha merupakan lahan kritis (Darori, 2008).

Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak diperlukan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan keselarasan, keserasian, keseimbangan antara sumber daya manusia, dalam memanfaatkan sumber daya buatan dan sumber daya alam serta mengupayakan kelestarian fungsi sumber daya alam dalam jangka panjang (Nasution, 2008).

Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya


(21)

hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai

menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air

(Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2006).

Secara geografis Daerah Aliran Sungai Wampu terletak antara 02º58’51”- 04º36’00’’ Lintang Utara dan 97º48’03”- 98º38’50” Bujur Timur

dengan luas sekitar 410.714,75 Ha atau 4107,15 Km² (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Sedangkan menurut administratif terletak di

Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba - Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular - Sebelah Barat berbatasan dengan provinsi NAD

(Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).

Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu dengan luas 410.714,75 Ha tersebut terbagi ke dalam 4 (empat) wilayah Sub DAS yaitu:


(22)

(a). Sub DAS Wampu Hulu seluas 204.679,85 Ha (49,83%) (b). Sub DAS Sei Bingei seluas 79.046,91 Ha (19,25%) (c). Sub DAS Wampu Hilir seluas 32.737,53 Ha (7,97%) (d). Sub DAS Lau Biang seluas 94.250,45 Ha (22,95%). (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008).

Wilayah kecamatan yang termasuk ke dalam DAS Wampu meliputi : - 16 kecamatan di Kabupaten Karo

- 11 kecamatan di Kabupaten Langkat - 2 kecamatan di Kabupaten Deli Serdang - 2 kecamatan di Kabupaten Simalungun - 5 kecamatan di Kota Binjai (Tabel 1).

Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang sebanyak 19 kecamatan dengan luas wilayah masing-masing sebagaimana disajikan pada Tabel 2.


(23)

Tabel 1. Luas wilayah kecamatan, kabupaten dan kota DAS Wampu.

Kabupaten/Kecamatan Luas Wilayah

Ha %

Kabupaten Karo:

1. Barus Jahe 9548,74 2,32

2. Berastagi 2341,99 0,57

3. Dolat Rakyat 2042,32 0,50

4. Kabanjahe 4311,29 1,05

5. Lau Baleng 3026,28 0,74

6. Mardingding 12808,45 3,12

7. Merdeka 2540,34 0,62

8. Merek 12130,48 2,95

9. Munthe 7901,31 1,92

10. Namanteran 7698,06 1,87

11. Payung 3071,95 0,75

12. Kuta Buluh 23457,62 5,71

13. Tiga Binanga 6333,69 1,54

14. Tiganderket 12247,33 2,98

15. Tiga Panah 9516,64 2,32

16. Simpang Empat 7281,31 1,77

Jumlah 126257,80 30,73

Kabupaten Langkat:

1. Bahorok 103357,41 25,17

2. Binjai 2918,01 0,71

3. Hinai 3791,08 0,92

4. Kuala 21379,31 5,21

5. Salapian 48314,93 11,76

6. Secanggang 12985,46 3,16

7. Sei Bingei 33029,15 8,04

8. Selesai 16468,91 4,01

9. Tanjung Pura 6969,22 1,70

10. Wampu 6225,41 1,52

11. Stabat 4894,16 1,19

Jumlah 260333,10 63,39

Kota Binjai:

1. Binjai Barat 1236,61 0,30

2. Binjai Kota 429,99 0,10

3. Binjai Selatan 3033,75 0,74

4. Binjai Timur 766,49 0,19

5. Binjai Utara 540,74 0,13

Jumlah 6007,58 1,46

Kabupaten Simalungun:

1. Dolok Silau 4933,66 1,20

2. Silima Kuta 6872,22 1,67

Jumlah 11805,88 2,87

Kabupaten Deli Serdang:

1. Kutalimbaru 6265,20 1,53

2. Sunggal 45,21 0,01

Jumlah 6310,41 1,54

Jumlah 410714,75 100,00


(24)

Tabel 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang

Kecamatan Luas (Ha) % dari luas Sub DAS Lau Biang

1. Silimakuta 6872,220 7,29

2. Dolok Silau 4933,664 5,23

3. Merek 12130,468 12,87

4. Barus Jahe 9548,745 10,13

5. Tiga Panah 9516,642 10,10

6. Kabanjahe 4311,296 4,57

7. Dolat Rakyat 2042,315 2,17

8. Berastagi 2341,986 2,48

9. Simpang Empat 7281,310 7,73

10. Merdeka 2366,886 2,51

11. Namanteran 7523,418 7,98

12. Munthe 7901,312 8,38

13. Payung 3071,953 3,26

14. Tiganderket 9283,204 9,85

15. Kuta Buluh 2863,562 3,04

16. Tiga Binanga 2185,782 2,32

17. Kutalimbaru 1,374 0,001

18. Salapian 24,847 0,03

19. Sei Bingei 49,473 0,05

Luas Sub DAS Lau Biang 95552,095 100,00

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu adalah agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26%) seluas 282.179,86 Ha atau 68,7% dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya berikut luasnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelas kemiringan lereng di kawasan DAS Wampu

Lereng (%) Bentuk Lahan Ha %

< 2 Datar 30851,025 7,51

2 – 8 Landai 27809,410 6,77

9-15 Bergelombang 67114,834 16,34

16-25 Berbukit 2759,617 0,67

26-40 Agak curam 104853,056 25,53

41-60 Curam 77465,902 18,86

> 60 Sangat curam 99860,902 24,31

Jumlah 410714,747 100,00

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

Jenis dan penggunaan lahan di setiap Sub DAS dalam kawasan DAS Wampu disajikan pada Tabel 4.


(25)

Tabel 4. Jenis dan luas penggunaan lahan di setiap Sub DAS dalam kawasan DAS Wampu

No Sub Das Penggunaan Lahan Ha %/Kec.

1 Lau Biang Belukar 1062,491 1,05

Danau/air 152,338 0,13

Hutan tanaman industri 1617,986 1,13

Hutan lahan kering sekunder 11869,586 10,30

Pemukiman 482,023 0,54

Pert. lahan kering campur semak 315,966 0,85

Pertanian lahan kering 80169,822 85,06

Sawah 415,763 0,60

Terbuka 314,261 0,33

95.552,095 100,00

2 Sei Bingei Belukar 2706,732 3,42

Hutan lahan kering sekunder 12589,229 15,93

Pemukiman 3605,944 4,56

Perkebunan 11830,809 14,97

Pert. lahan kering campur semak 30411,443 38,47

Pertanian lahan kering 15494,856 19,60

Rawa 20,249 0,03

Sawah 1711,881 2,17

Terbuka 675,768 0,85

79046,911 100,00

3 Wampu Hilir Belukar 2199,217 6,72

Hutan belukar/rawa 5111,674 15,61

Hutan mangrove sekunder 18,732 0,06

Pemukiman 1222,289 3.73

Perkebunan 4234,642 12,94

Pert. lahan kering campur semak 7914,319 24,17

Pertanian lahan kering 5960,24 18,21

Rawa 261,864 0,80

Sawah 1529,18 4,67

Tambak 3753,854 11,47

Terbuka 531,517 1,62

32737,528 100,00

4 Wampu Hulu Belukar 9883,575 4,83

Danau/air 7,167 0,004

Hutan lahan kering primer 40837,661 19,95

Hutan lahan kering sekunder 63941,95 31,24

Pemukiman 389,488 0,19

Perkebunan 24605,028 12,02

Pert. lahan kering campur semak 43683,562 21,34

Pertanian lahan kering 17639,344 8,62

Sawah 2444,487 1,19

Terbuka 1247,592 0,61

204679,854 100,00

Total DAS Wampu 410714,747


(26)

Permasalahan khusus di DAS Wampu antara lain adalah (1) banyaknya penggarapan-penggarapan liar di era reformasi, sehingga banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu saat ini, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir; (2) pola usaha tani yang kurang mengikuti kaidah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang (tanaman hortikultura) Kabupaten Karo; (3) pada bagian hilir DAS adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan sungai di Sub DAS Wampu Hilir, Sub DAS Bingei Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008).

Erosi Dan Sedimentasi Pada Suatu DAS

Erosi adalah proses terkikisnya dan terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami yang berupa air (air hujan). Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi disebut sedimen. Sedangkan sedimentasi (pengendapan) adalah proses terangkutnya/terbawanya sedimen oleh suatu limpasan/aliran air yang diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti seperti pada saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut (Arsyad, 2000).

Erosi dan sedimentasi merupakan proses penting dalam pembentukan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) serta memiliki konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landscape suatu DAS dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi (Linsley, dkk, 1996).

Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi normal dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi


(27)

alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses geologi meliputi terjadinya pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami. Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi perhatian konservasi tanah. Dalam pembahasan selanjutnya, istilah erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat yang disebabkan oleh air (Rahim, 2003; Arsyad, 2000).

Adapun faktor-faktor alam yang mempengaruhi erosi adalah erodibilitas tanah, karakteristik landscape dan iklim. Akibat dari adanya pengaruh manusia dalam proses peningkatan laju erosi seperti pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan/atau pengelolaan lahan yang tidak didasari tindakan konservasi tanah dan air menyebabkan perlunya dilakukan suatu prediksi laju erosi tanah sehingga bisa dilakukan suatu manajemen lahan. Manajemen lahan berfungsi untuk memaksimalkan produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumber daya lahan (As-syakur, 2008).

Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang hampir tidak mungkin

untuk dikelola, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki dengan meningkatkan/menjadikan kemantapan agregat tanah yang ideal melalui penambahan bahan amelioran seperti bahan organik. Kemiringan dan panjang


(28)

lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah merupakan faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan laju dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004; Arsyad, 2006).

Untuk mempertahankan kelestarian sumber daya tanah, secara teoritis proses penghanyutan tanah (erosi) harus seimbang dengan pembentukan tanah. Suatu kedalaman tertentu harus dipelihara agar terdapat cukup air yang tersimpan dan unsur hara serta tempat berjangkarnya tanaman. Oleh karena itu perlu ditetapkan berapa erosi dari sebidang tanah yang masih dapat dibiarkan (permissible erossion) di bawah suatu sistem pengelolaan tertentu. Dalam penetapan batas erosi yang masih dapat dibiarkan adalah perlu diingat bahwa tidaklah mungkin menurunkan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah yang

diusahakan untuk pertanian, terutama pada tanah-tanah yang berlereng (Alibasyah, 1996).

Menurut Asdak (2004), dalam sistem hidrologi karakteristik daerah aliran sungai terkait dengan unsur-unsur seperti iklim, jenis tanah, tata guna lahan dan topografi. Di antara faktor-faktor tersebut, faktor tata guna lahan, panjang dan kemiringan lereng dapat direkayasa manusia. Hal ini tercermin dalam rumus USLE (Universal Soil Loss Equation) oleh Wischmier dan Smith (1978) .

Prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (Arsyad, 2000) yang diberi nama

Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai berikut:


(29)

dimana:

A = banyaknya tanah tererosi (ton/ha/thn)

R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan tingkat erosi hujan tahunan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30).

K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per tingkat erosi hujan (R) untuk

suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22,1 m (72,6 kaki) terletak pada lereng 9 %, tanpa tanaman.

L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22,1 m (72,6 kaki) di bawah keadaan yang identik.

S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik.

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang identik tanpa tanaman.

P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik.


(30)

Saifuddin Sarief (1980) dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Masalah Pengawetan Tanah dan Air”, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan pengikisan dan penghanyutan tanah menggunakan metode pengukuran besarnya tanah yang terkikis dan aliran permukaan (run-off) untuk satu kali kejadian hujan. Metode ini disebut “Pengukuran Erosi Petak Kecil”, metode ini ditujukan untuk mendapatkan data-data sebagai berikut :

1. Besarnya erosi

2. Pengaruh faktor tanaman

3. Pemakaian bahan pemantap tanah (soil conditioner) 4. Pemakaian mulsa penutup tanah, dan

5. Pengelolaan tanah

Dengan berpegangan pada pendapat Konhke dan Bertrand (1959) bahwa petak kecil yang biasanya berbentuk persegi panjang dipergunakan untuk mendapatkan besarnya pengikisan dan penghanyutan yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu (Kartasapoetra, 1990).

Faktor Yang Mempengaruhi Erosi

1. Faktor Iklim

Di daerah beriklim basah, faktor iklim yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan (Sinukaban, 1986). Air yang jatuh menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebahagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi).


(31)

Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu millimeter. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu seperti per hari, per bulan, per tahun atau per musim.

2. Faktor tanah

Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan.

Menurut Arsyad (2000), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah.

Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut dalam, erosi dapat diabaikan. Tanah-tanah bertekstur pasir halus juga mempengaruhi kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, butir halus akan mudah terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat


(32)

dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.

Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butiran sekunder atau agregat. Terdapat dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi. Pertama adalah sifat-sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi dan yang kedua adalah adanya bahan pengikat bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat yang mantap.

Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran permukaan, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah.

Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan.

Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah permeabilitas lapisan tersebut. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang


(33)

peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah.

Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut Hudson (1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tidak tererosi, sedangkan menurut Arsyad (2000), kepekaan tanah didefinisikan sebagai erosi per satuan tingkat erosi hujan untuk suatu tanah dalam keadaan standar. Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi dalam ton tiap Ha tiap tahun tingkat erosi hujan, dari tanah yang terletak pada keadaan baku (standar). Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada vegetasi sama sekali terletak pada lereng 9 % dengan bentuk lereng yang seragam dengan panjang lereng 72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah yang ditandai dengan huruf K, dinyatakan dalam persamaan berikut:

K= A/R, ... . (2) dengan arti lambang huruf K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/ha/tahun), dan R adalah EI30 tahunan.

3. Faktor Topografi

Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor panjang lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku, yaitu panjang lereng 22 m dan kemiringan lereng 9 % dengan persamaan berikut :

LS = L

(

0,00138

)

S2 +0,00965S+0,0138 ... . (3) dengan arti lambang huruf L adalah lereng dalam meter, S adalah persen kemiringan lereng dalam keadaan baku.


(34)

Lereng yang lebih curam, selain memerlukan tenaga dan biaya yang lebih besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu, lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi mempunyai bentuk yang tidak seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah sehingga makin besar kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian atas. Sebaliknya, lereng yang panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek. Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam (Arsyad, 1989).

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100 % sama dengan kecuraman 45º. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air. Dengan makin curamnya lereng, jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan dua kali lebih curam, banyaknya erosi 2 sampai 2,5 kali lebih besar (Sinukaban, 1986).

Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng


(35)

berkurang demikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian, lebih banyak air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah tanah-tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier and Smith, 1978).

4. Faktor Vegetasi

Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, (d) pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air berkurang (Arsyad, 2000).

Pola pertanaman dan jenis tanaman yang dibudidayakan sangat berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan karena berpengaruh terhadap penutupan tanah dan produksi bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap tanah. Menurut FAO (1965) dikut ip oleh Sinukaban (1986) pergiliran tanaman terutama dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah lainnya, merupakan cara konservasi tanah yang sangat penting. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada tanah untuk mengimbangi periode pengrusakan tanah akibat penanaman tanaman budidaya secara terus-menerus. Keuntungan dari


(36)

pergiliran tanaman adalah mengurangi erosi karena kemampuannya yang tinggi dalam memberikan perlindungan oleh tanaman, memperbaiki struktur tanah karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang tinggi.

5. Faktor Manusia atau Tindakan Konservasi

Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa usaha-usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari.

Kegiatan pengendalian erosi meliputi : (1) pengembangan model (metode) prediksi erosi, dan (2) penelitian untuk mengkaji untuk mencari dan/atau mengkaji teknik pengendalian erosi. Metode (model) prediksi yang paling banyak dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia adalah USLE (Universal Soil Loss

Equation). Dalam rangka pengembangan model tersebut Puslitbangtanak telah

melakukan beberapa penelitian untuk mendapatkan nilai faktor-faktor R (erosivitas hujan), K (erodibilitas tanah), C (vegetasi dan pengelolaan tanaman) dan P (konservasi tanah). Hasil penelitian ini sering digunakan untuk menginventarisasi tingkat bahaya erosi dan perencanaan penggunaan lahan serta pemilihan alternatif teknik konservasi tanah (Dariah, dkk , 2005).

Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis yang dibuat untuk memperpendek lereng dan atau memperkecil kemiringan, dan merupakan suatu metode pengendalian erosi dengan membangun semacam


(37)

saluran lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian selalu dikombinasikan dengan teras. Fungsi teras adalah mengurangi panjang lereng, karena itu mengurangi sheet dan riil, mencegah terbentuknya

gully, dan menahan aliran permukaan di daerah kurang hujan. Berdasarkan

fungsinya, teras dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu : teras intersepsi (interseption

terrace), dan teras diversi (diversion terrace). Pada teras intersepsi, aliran

permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng, sedangkan pada teras diversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga tersebar ke saluran lahan dan tidak terkonsentrasi ke suatu tempat. Menurut bentuknya teras dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku, teras kebun dan teras individu (Hardjoamidjojo dan Sukandi, 2008).

Tingkat Bahaya Erosi

Batas toleransi erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah. Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad (2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari tingkat bahaya erosi dari lahan tersebut.


(38)

Tanaman Hortikultura

Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan, dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).

Hortikultura berasal dari kata hortus (= garden atau kebun) dan colere (= to cultivate atau budidaya). Secara harfiah istilah hortikultura diartikan sebagai usaha membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias (Janick, 1972 ; Edmond et al., 1975). Sehingga hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari budidaya buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Sedangkan dalam GBHN 1993-1998 selain buah-buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan.

Pemanfaatan lahan kering pada lahan pertanian umumnya ditentukan atas dasar kemiringan dan ketinggian lahan di atas permukaan laut. Lahan berkemiringan 0-15% kiranya cocok untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura secara intensif, lahan kemiringan 15-25 % ditempuh pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang dikombinasikan secara baik dengan tanaman kehutanan dan perkebunan, lahan berkemiringan >25 % kiranya hanya cocok untuk kehutanan dan perkebunan (Sukartiko, 1988). Selanjutnya dari segi


(39)

ketinggian lahan permukaan laut disebutkan bahwa lahan di bawah 1000 m, macam-macam tanaman menjadi lebih bervariasi antara tanaman semusim dan tanaman tahunan, di atas ketinggian 1000 m di atas permukaan laut, tanaman pertanian yang cocok untuk dikelola terbatas pada jenis sayuran dan tanaman industri seperti tembakau dan tanaman obat-obatan serta hutan lindung.

Usaha tani lahan kering tanaman pangan dan hortikultura pada dataran tinggi sering dilakukan pada lahan-lahan dengan bentuk wilayah berbukit-bergunung dengan lereng di atas >15 %. Penerapan usaha konservasi tanah dan air yang murah yang dapat diterapkan masyarakat perlu dilakukan untuk menekan laju erosi yang mengangkut lapisan atas tanah dan mengakibatkan merosotnya produktivitas tanah (Mulyani, dkk, 2003).

Secara rampat lahan yang baik untuk pengembangan lahan hortikultura ialah berelief datar atau sedikit landai. Lahan yang terlalu miring tidak terlalu cocok karena biasanya miskin hara (kecuali yang tanahnya terbentuk dari endapan abu volkan) dan memerlukan penterasan untuk pengendalian erosi. Tanah yang baik untuk pengembangan hortikultura ialah tanah alluvial asal jangan terlalu berpasir atau berbatu dan bebas banjir. Pemilihan tapak penanaman yang baik berkenaan dengan suhu dan curah hujan (Terra, 1948).

Tanaman hortikultura merupakan tanaman yang biasanya ditanami beberapa kali dalam setahun, misalnya sayur-sayuran, sehingga frekuensi penanamannya lebih sering dilakukan. Lahan akan lebih mudah tererosi akibat seringnya lahan ditanami. Oleh sebab itu dibutuhkan konservasi tanah agar lahan tetap produktif. Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam kegiatan usaha tani, khususnya usaha tani tanaman semusim. Pengolahan tanah utamanya


(40)

ditujukan untuk menyiapkan atau menciptakan media tanam yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman dapat berproduksi secara optimum. Namun demikian, pengolahan tanah secara berlebih dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, di antaranya terjadinya penghancuran struktur tanah. Olah tanah konservasi merupakan suatu metode pengolahan tanah dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari pengolahan tanah dapat ditekan sekecil mungkin (Dariah, 2007).

Secara teknis konservasi, adanya variasi antara tanaman pertanian (pangan, hortikultura) dengan rumput diantara tegakan tanaman tahunan, akan meningkatkan penutupan lahan secara sempurna. Variasi tanaman tahunan dan tanaman pertanian ini akan mengurangi pengaruh pukulan butir hujan secara langsung ke permukaan tanah (terhindar dari rusaknya struktur tanah), melindungi daya transportasi aliran permukaan, menahan sedimen, meningkatkan pasokan air ke dalam tanah dan mengurangi evaporasi sehingga meningkatkan ketersediaan air tanah, dan meningkatkan cadangan air di musim kemarau (Atmojo, 2008)


(41)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di kawasan hulu DAS Wampu, yaitu Sub DAS Lau Biang yang meliputi 10 (sepuluh) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta di Kabupaten Simalungun, serta wilayah Kecamatan Merek, Tiga Panah, Barus Jahe, Kabanjahe, Munthe, Payung, Tiganderket dan Kuta Buluh di Kabupaten Karo.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya : lahan budidaya tanaman hortikultura, contoh tanah/sedimen, contoh air larian, peta administrasi, peta jenis tanah, peta, peta kelas lereng, peta penutupan dan penggunaan lahan, data curah hujan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah : GPS (Global Positioning System), altimeter, klinometer, bor tanah, ring sampel tanah, meteran, waterpass, pisau pandu, kantong plastik dan karet gelang, kertas label, drum penampung atau kolektor air larian dan sedimentasi, lembar plastik penahan/dinding petak kecil, kawat, patok kayu, paku, martil, dan alat pertukangan lainnya, perangkat penangkar mini curah hujan, timbangan, alat tulis, perangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat sistem informasi geografis (SIG), kamera digital.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan metode deskriptif eksploratif yang dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya erosi di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS


(42)

Lau Biang) melalui penghitungan dan pengukuran besarnya erosi dan erosi yang masih dapat ditoleransikan pada penggunaan lahan tanaman hortikultura. Pengukuran erosi dan pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara purposive

sampling terutama dalam menetapkan lokasi lahan budidaya tanaman hortikultura.

1. Pengamatan Lapangan

Penetapan besarnya erosi dilakukan dengan dua cara yaitu (1) Pengukuran secara langsung menggunakan metoda petak kecil (kolektor air larian dan sedimentasi), dan (2) Penghitungan (prediksi) menggunakan persamaan USLE.

2. Laju Erosi yang Dapat Ditoleransikan (T)

Untuk menghitung nilai laju erosi yang masih dapat ditoleransikan dipergunakan rumus sebagai berikut:

xBd RL EqD

T = ... (4)

Dimana :

T = Laju erosi dapat ditoleransi (mm/(ha.thn))

EqD = Faktor kedalaman tanah x kedalaman efektif tanah (mm) RL (W) = Resource life (300 dan 400 tahun)

Bd = Bulk density (kerapatan massa) (gr/cm³)

Nilai faktor kedalaman tanah (Eq) dipengaruhi oleh jenis tanah seperti disajikan pada Tabel 5.


(43)

Tabel 5. Nilai faktor kedalaman tanah pada berbagai jenis tanah

USDA Sub Order dan Kode Faktor Kedalaman Tanah

Aqualfs (AQ) 0.9

Udalfs (AD) 0.9

Ustalfs (AU) 0.9

Aquents (EQ) 0.9

Arents (ER) 1.0

Fluvents (EV) 1.0

Orthents (EO) 1.0

Psamments (ES) 1.0

Andepts (IN) 1.0

Aquepts (IQ) 0.95

Tropepts (IT) 1.0

Alballs (MW) 0.75

Aqualls (MQ) 0.9

Rendolls (MR) 0.9

Udolls (MD) 1.0

Ustolls (MU) 1.0

Aquox (OQ) 0.9

Humox (OH) 1.0

Orthox (OO) 0.9

Ustox (OU) 0.9

Aquods (SQ) 0.9

Ferrods (SI) 0.95

Hummods (SH) 1.0

Arthods (SO) 0.95

Aquults (UQ) 0.8

Humults (UH) 1.0

Udults (UD) 0.8

Ustults (UU) 0.8

Uderts (VD) 1.0

Ustearts (VU) 1.0

Sumber : Rahim (2003)

3. Pengukuran Erosi dengan Metode Petak kecil

Metode petak kecil yang akan dibuat merupakan petak standar berukuran 22 m dengan lebar 2 m. Petakan lahan tersebut dibatasi menggunakan lembar plastik yang ditanamkan sedemikian rupa sehingga setengah lebar plastik tersebut (sekitar 10 cm) tertanam di dalam tanah, sedangkan sisanya 10 cm menjadi dinding penahan air larian dan sedimen. Untuk menampung air larian dan tanah


(44)

yang tererosi, di ujung bawah petak dipasang tangki penampungan, berupa drum yang diberi tutup di bagian atasnya agar air hujan langsung tidak masuk ke dalam drum tersebut (hanya air larian dari petak yang dibatasi tersebut yang masuk ke dalam drum penampung).

Gambar 2. Penampang petak kecil dan kolektor pada sebidang lahan pertanian semusim.

Metode petak kecil digunakan sebagai faktor pembanding dengan prediksi USLE dengan catatan jenis tanah dan tanamannya sama sehingga dapat diketahui perbandingan laju erosi yang terjadi.


(45)

4. Prediksi Erosi dengan Metode USLE

Penetapan erosi aktual pada setiap lahan yang dipilih untuk dijadikan sampel penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan (prediksi) USLE menggunakan persamaan sebagai berikut :

P C S L K R

A= . . . . .

dimana :

A = Besarnya erosi yang diperkirakan (ton/(ha.thn)) R = Faktor erosivitas hujan (cm/thn)

K = Faktor erodibilitas tanah L = Panjang lereng (m) S = Kemiringan lereng (%)

C = Faktor pengolahan tanah dan tanaman penutup tanah P = Faktor teknik konservasi tanah

Masing-masing faktor tersebut akan ditentukan nilainya dengan mempergunakan rumus, seperti dibawah ini :

4.1 Faktor Erosivitas Hujan (R)

Faktor erosivitas hujan (R) berdasarkan data curah hujan di setiap stasiun selama 15 tahun dihitung dengan menggunakan persamaan Bols (1978) sebagai berikut :


(46)

=

= 12

1 30)

(

i

i EI

R ... (5) dimana :

30

EI = 6,119 (CH)1,21 .(HH)-0.47 . (P.Max) 0.53 ... (6) CH = rata-rata curah hujan bulanan (cm)

HH = jumlah hari hujan per bulan

P.Max = curah hujan maksimum selama 24 jam pada bulan bersangkutan (cm)

4.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah dihitung dengan persamaan Wischmeier dan Smith (1978) :

100 K = 2,713 M1.14 (10)-4(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) ... ..(7) dimana :

K = Faktor erodibilitas tanah

M = Ukuran partikel yaitu (% debu + % pasir sangat halus) (100 - % liat) ... ..(8)

Bila data tekstur yang tersedia hanya fraksi pasir, debu dan liat, maka persen pasir sangat halus dapat diduga 20% dari % pasir (Sinulingga, 1990 dalam Girsang, 1998)

a = % bahan organik tanah (% C x 1,724) b = Kode struktur tanah (Tabel 6)


(47)

Tabel 6. Kode struktur tanah

Kelas Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Kode

Granular sangat halus 1

Granular halus 2

Granular sedang sampai kasar 3

Gumpal, lempeng, pejal 4

Sumber : Arsyad (1989)

Tabel 7. Kode permeabilitas profil tanah

Kelas Kecepatan Permeabilitas Tanah Kode

Sangat lambat (< 0,5 cm/jam) 6

Lambat (0,5 – 2,0 cm/jam) 5

Lambat sampai sedang (2,0 – 6,3 cm/jam) 4

Sedang (6,3 – 12,7 cm/jam) 3

Sedang sampai cepat (12,7 – 25,4 cm/jam) 2

Cepat ( > 25,4 cm/jam) 1

Sumber : Arsyad (1989) 4.3 Faktor Topografi (LS)

Faktor topografi dihitung dengan persamaan (3) berikut :

(

0,00138

)

2 +0,00965 +0,0138

= L S S

LS

dimana :

L = panjang lereng (m) S = kemiringan lereng (%)

4.4 Faktor Pengelolaan Tanaman dan Tanaman Penutup Tanah (C) dan Faktor Konservasi Tanah (P)

Faktor pengelolaan tanah dan tanaman penutup tanah (C) serta faktor teknik konservasi tanah (P) diprediksi berdasarkan hasil pengamatan lapangan dengan

mengacu pustaka hasil penelitian tentang nilai C dan nilai P pada kondisi yang identik. Di samping itu juga akan ditentukan besarnya laju erosi yang masih dapat ditoleransi dan tingkat bahaya erosi. Nilai faktor C dan nilai faktor P


(48)

Tabel 8. Nilai faktor (C) untuk berbagai tipe pengelolaan tanaman

No. Jenis Tanaman Nilai Faktor C

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Padi sawah Gandum Jagung Gerst Padi-padian Singkong Kentang Buncis Kacang Tanah Sayuran Pisang Teh Kopi Cokelat Tebu Bit gula Karet Kelapa Sawit Kapas Rumput Padang rumput/ilalang Hutan/tanah hutan

0,1 – 0,2 0,1 – 0,2 (tabur musim dingin)

0,2 – 0,4 (tabur musim semi)

0,2 0,1 – 0,2 0,4 – 0,9 0,2 – 0,8 0,2 – 0,3 0,2 – 0,4 0,2 – 0,8

0,1 – 0,3 0,1 – 0,3 0,1 – 0,3 0,3 – 0,6 0,2 – 0,3

0,2 0,1 – 0,7 0,3 – 0,7 0,004 – 0,01

0,01 – 1,10 0,001 – 0,002

Sumber : Suripin (2004)

Tabel 9. Nilai faktor (P) untuk berbagai tindakan konservasi tanah

No. Tindakan Khusus Konservasi Tanah Nilai P

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Tanpa tindakan pengendalian erosi Teras bangku

Konstruksi baik Konstruksi sedang Konstruksi kurang baik Teras tradisional Strip tanaman Rumput bahia Clotararia Dengan kontur Teras tradisional

Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur Kemiringan 0-8 %

Kemiringan 8-20 % Kemiringan > 20 % Penggunaan sistem kontur

Penggunaan sistem strip(2-4 m lebar) Penggunaan mulsa jerami(6 ton/ha)

Penggunaan pemantap tanah(60 gr/1/m2 (CURASOL) Padang rumput (sementara)

Strip cropping dengan clotataria(lebar 1 m, jarak antar strip 4,5 m) Penggunaan sistem strip(lebar 2 m-4 m)

Penggunaan mulsa jerami(4-6 ton/ha)

Penggunaan mulsa kadang-kadang(4-6 ton/ha)

1,00 0,04 0,15 0,35 0,40 0,40 0,64 0,20 0.40 0,50 0,75 0,90 0,10-0,020 0,10-0,30 0,01 0,20-0,50 0,10-0,50 0,64 0,20 0,06-0,20 0,20-0,40


(49)

5. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Tingkat bahaya erosi (TBE) ditentukan dengan membandingkan erosi aktual (A) dengan erosi yang dapat ditoleransikan (T) di daerah itu dengan rumus:

TBE = A/T ... (9) Kriteria tingkat bahaya erosi menurut Hammer (1981) disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kriteria tingkat bahaya erosi

Nilai Kriteria/Rating TBE

< 1.0 1.10 – 4.02 4.01 – 10.0

>10.01

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sumber : Hammer (1981)

Parameter Penelitian

Untuk penghitungan erosi menggunakan persamaan USLE, parameter yang akan diamati diantaranya :

1. Jenis tanah

2. Kedalaman efektif tanah 3. Permeabilitas tanah 4. Kadar C-organik tanah 5. Tekstur tanah

6. Struktur tanah 7. Kemiringan lereng


(50)

Pengukuran erosi secara langsung menggunakan metode petak kecil dilakukan pada tipe/jenis penggunaan lahan budidaya tanaman hortikultura dengan satu unit alat pengukuran (petak kecil). Parameter yang akan diamati dalam pengukuran erosi menggunakan metode petak kecil ini antara lain:

1. Jumlah curah hujan per kejadian hujan 2. Volume air larian pada drum kolektor

3. Berat sedimentasi tanah di dalam drum kolektor

Prosedur penelitian

Adapun prosedur penelitian adalah :

1. Ditentukan laju erosi yang dapat ditoleransikan ( T ). 2. Dihitung erosi dengan menggunakan metode petak kecil.

a. Ditentukan lokasi penempatan alat petak kecil. b. Diukur curah hujan per kejadian hujan.

c. Dilakukan pengukuran setiap setelah kejadian hujan. d. Pengukuran air limpasan dan sedimen

- Diaduk seluruh air limpasan dan sedimen yang tertampung dalam drum penampung.

- Dihitung volume air limpasan dan sedimen yang telah diaduk rata. - Diambil sampel larutan (air limpasan dan sedimen yang diaduk) e. Pengukuran besar tanah yang tererosi

- Disaring sampel larutan (air limpasan dan sedimen yang diaduk) - Ditimbang sedimen yang tersaring setelah diovenkan.


(51)

3. Dihitung erosi menggunakan prediksi metode USLE.

a. Ditentukan titik pengambilan sampel tanah, diambil sampel tanah. b. Dihitung laju permeabilitas tanah.

c. Dianalisis sifat fisika tanah (tekstur, struktur). d. Dianalisis kandungan C-Organik tanah e. Dihitung besar erosi dan tingkat bahaya erosi. 4. Ditentukan tingkat bahaya erosi (TBE).


(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu

Kawasan Sub DAS Lau Biang merupakan kawasan hulu DAS Wampu

yang terletak pada posisi 02054,24’-03014,78’ Lintang Utara dan 98038,49’- 98016,17’ Bujur Timur dengan luas 95.552,095 Ha. Sub DAS Lau

Biang terletak di 19 kecamatan yang terdiri dari Kabupaten Simalungun (2 kecamatan), Kabupaten Karo (16 kecamatan), serta Kabupaten Langkat (1 kecamatan). Berbatasan dengan Kabupaten Langkat (Kecamatan Salapian dan Sei Bingei) dan Kabupaten Deli Serdang (Kecamatan Kutalimbaru dan Sibolangit) di sebelah utara, Kabupaten Deli Serdang (Kecamatan STM Hulu dan Gunung Meriah) di sebelah timur, Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba di sebelah selatan dan Kabupaten Karo (Kecamatan Merek, Munthe, Tiga Binanga dan Kuta Buluh) di sebelah barat.

Sub DAS Lau Biang termasuk daerah yang topografinya digolongkan dalam kondisi agak curam hingga curam. Hal ini sebenarnya tidak memungkinkan untuk diolah menjadi lahan pertanian tanpa menerapkan pola konservasi tanah (P) khususnya untuk budidaya tanaman hortikultura yang pada umumnya pada lahan yang landai dengan kemiringan yang tidak curam. Luas pertanian lahan kering pada Sub DAS Lau Biang seluas 80169,822 Ha sekitar 85,06 % dari luas total Sub DAS Lau Biang, dengan mayoritas tanaman budidaya jeruk dimana kondisi lahan dan iklim di daerah Sub DAS Lau Biang sesuai dengan pertumbuhan tanaman budidaya jeruk.


(53)

Pengukuran Erosi Tanah di Lahan Tanaman Hortikultura (Jeruk) di Sub DAS Lau Biang

1. Erosi Ditoleransikan (T) pada Lahan Tanaman Hortikultura (Jeruk)

Erosi yang dapat ditoleransikan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut : Tabel 11. Tabel nilai erosi yang ditoleransikan (T) pada lahan tanaman jeruk

No Kecamatan Desa

Kedalaman Efektif Tanah (mm) *) Faktor Kedalaman Tanah W (thn) Bd

(gr/cm3) T

**) Ton/(ha.thn)

***) mm/thn

1 Merek Merek 1050 1 400 1,060 27,825 2,63

2 Merek Merek 1090 1 400 1,060 28,885 2,73

3 Merek Dokhan 1060 1 400 1,040 27,560 2,65

4 Merek Dokhan 1050 1 400 1,060 27,825 2,63

5 Dolok Silau Cingkes 1070 1 400 1,020 27,285 2,68

6 Dolok Silau Cingkes 1040 1 400 1,060 27,560 2,60

7 Silimakuta Naga Timbul 1090 1 400 1,020 27,795 2,73

8 Silimakuta Naga Timbul 1050 1 400 1,030 27,038 2,63

9 Tiga Panah Regaji 1020 1 400 1,060 27,030 2,55

10 Tiga Panah Regaji 1030 1 400 1,050 27,038 2,58

11 Barus Jahe Semangat 1070 1 400 1,070 28,623 2,68

12 Barus Jahe Semangat 1050 1 400 1,040 27,300 2,63

13 Kabanjahe Sukaramai 1060 1 400 1,060 28,090 2,65

14 Kabanjahe Sukaramai 1090 1 400 1,020 27,795 2,73

15 Munthe Singgamanik 1040 1 400 1,060 27,560 2,60

16 Munthe Singgamanik 1070 1 400 1,050 28,088 2,68

17 Payung Payung 1020 1 400 1,060 27,030 2,55

18 Payung Payung 1070 1 400 1,070 28,623 2,68

19 Kuta Buluh

Bintang

Meriah 1040 1 400 1,040 27,040 2,60

20 Kuta Buluh

Bintang

Meriah 1070 1 400 1,060 28,355 2,68

21 Tiganderket Tiganderket 1060 1 400 1,050 27,825 2,65

22 Tiganderket Tiganderket 1080 1 400 1,060 28,620 2,70

Ket :*) diukur di lapangan

**) Dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah FP USU ***) dihitung menggunakan persamaan Hammer, 1981.

Pada lahan tanaman jeruk nilai erosi yang dapat ditoleransikan (T) yang

terbesar yakni 28,885 ton/(ha.thn) atau setara dengan kehilangan tanah sebesar 2,73 mm/thn di Merek dan yang terkecil yakni 27,030 ton/(ha.thn) atau setara


(54)

ditoleransikan (T) rata-rata yakni 27,763 ton/(ha.thn) atau setara dengan kehilangan tanah sebesar 2,64 mm/thn. Besar nilai erosi ditoleransikan yang diperoleh dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan batasan erosi ditoleransikan yang ditentukan untuk tanah-tanah di Indonesia. Hardjowigeno

dalam Arsyad (1989) mengemukakan besarnya nilai T maksimum untuk

tanah-tanah di Indonesia adalah 2,5 mm/thn yaitu untuk tanah-tanah-tanah-tanah dalam dengan lapisan bawah (sub soil) yang permeabel dengan substratum yang tidak terkonsolidasi (telah mengalami pelapukan). Tanah-tanah yang kedalamannnya kurang atau sifat-sifat lapisan bawah yang lebih kedap air atau terletak di atas substratum yang belum melapuk, nilai T harus lebih kecil dari 2,5 mm/thn.

Nilai erosi yang dapat ditoleransikan (T) bergantung pada kedalaman efektif tanah, jenis tanah yakni Sub ordo tanah untuk penentuan faktor kedalamannya serta nilai bulk density. Erosi ditoleransikan dipergunakan untuk mengukur sejauh mana erosi tanah yang dapat ditoleransikan/dibiarkan pada suatu lahan agar dapat dilakukan penyesuaian pengelolaan lahan dan teknik konservasi yang tepat dalam pemanfaatan lahan.

2. Erosi pada Lahan Tanaman Hortikultura (Jeruk) Sub DAS Lau Biang

a.Pengukuran Erosi Tanah dengan Metode Petak kecil

Dengan pengambilan data erosi tanah setiap kejadian hujan selama 4 bulan (April-Juli 2009) maka diperoleh besar erosi yang terjadi pada lahan tanaman jeruk sebesar 688,37 gr dari luas 44 m2, dengan jumlah kejadian hujan yang mengakibatkan erosi selama bulan April hingga bulan Juli sebanyak 6 kali. Banyaknya tanah yang tererosi dapat dilihat pada Tabel 12 berikut :


(55)

Tabel 12. Data petak kecil pada lahan tanaman jeruk

No Bln Tgl Curah Hujan

Air dalam

Tong (ltr)

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Sedimen Rata-rata (gr) Total sedimen (gr) Total Sedimen

(gr) x 3

I II I II I II

1 April 5 26

2 6 191 2,14 2,3 5,15 2,10 4,15 2,00 3,65 4,32 46,19 138,57

3 7 9

4 8 80

5 10 164 0,68 2 3,65 2,40 5,65 2,25 4,90 4,73 16,09 48,28

6 14 13

7 15 85 0,721 2 3,65 1,90 3,15 2,10 4,15 3,65 13,16 39,47

8 19 21

9 29 485 2,543 2,5 6,15 2,40 5,65 2,45 5,90 5,90 75,02 225,06

10 30 385 3,12 2,1 4,15 2,05 3,90 1,98 3,55 3,87 60,32 180,96

11 Mei 3 21

12 25 23

13 26 20

14 Juni 13 12

15 19 38

16 25 210

17 27 201 0,824 2,3 5,15 1,98 3,55 2,25 4,90 4,53 18,68 56,03

18 Juli 7 31

19 8 53

20 10 58

229,46 688,37 Ket : I = filter + sedimen

II = sedimen (gr)

Sedimen total = 688,37 gr Sedimen dalam 1 hari

= sedimen total/jumlah hari hujan = 688,367 gr/6 hari

= 114,728 gr/hari

Nilai prediksi erosi dengan metode petak kecil pada lahan tanaman jeruk = 114,728 gr/hari


(56)

Sedimen untuk luasan 22 x 2 m

= sedimen dalam 1 hari x rata-rata jumlah hari hujan bulanan (Lampiran 7)

= (114,728 gr/hari) x (778,5 hari/thn) = 89.315,65 gr/thn.44 m²

Sedimen untuk luasan hektar

= (10.000 m²/44 m²) x Sedimen untuk luasan 22 x 2 m = (10.000 m²/44 m²) x 89315,65 gr/thn.44 m²

= 20.299.012 gr/ha.thn = 20,299 ton/(ha.thn)

= 1, 91 mm/thn dengan bulk density 1,060 gr/cm³

Untuk metode petak kecil pada lahan tanaman jeruk diperoleh nilai erosi sebesar 20,299 ton/(ha.thn) atau 1, 91 mm/thn dengan asumsi bahwa besarnya nilai erosi rata-rata per bulan dari pengukuran selama 4 bulan penelitian dapat digunakan untuk menghitung erosi selama 12 bulan (1 tahun). Nilai erosi metode petak kecil sebesar 1,91 mm/thn nilainya lebih kecil dibandingkan nilai erosi yang ditoleransikan (T) sebesar 2,64 mm/thn. Nilai erosi metode petak kecil ini masih berada di bawah batas toleransi yang diperkenankan yaitu 2 mm/thn atau setara 5.588.580 ton/thn atau 34 ton/(ha.thn) (massa jenis 1,7 gr/cm³) sesuai dengan pernyataan Saptarini, dkk, (2007).

Pengukuran dengan metode petak kecil pada lahan jeruk dilaksanakan di Kecamatan Merek desa Dokhan dengan latar belakang pemilihan lokasi adalah lahan budidaya tanaman jeruk tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan untuk


(57)

pengukuran erosi tanah menggunakan metode petak kecil, baik dari kemiringannya, panjang lerengnya dan kondisi tanaman jeruknya.

Nilai erosi petak kecil 20,299 ton/(ha.thn) bila dibandingkan dengan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (T) dengan rata-rata 27,763 ton/(ha.thn) maka

diperoleh nilai tingkat bahaya erosi yang dikategorikan rendah yakni (< 1). Besar erosi yang diperoleh dalam pengukuran erosi dengan metode petak

kecil adalah dari besar sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan tanpa memilah faktor-faktor yang mempengaruhi erosi. Erosi yang diperoleh pada metode ini adalah dengan melakukan pengukuran secara langsung di lapangan tanpa menggunakan ketetapan-ketetapan aritmetik seperti digunakan dalam metode USLE. Sehingga erosi tanah yang diperoleh dengan metode petak kecil adalah erosi nyata yang terjadi di lahan tanaman jeruk.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui keakuratan pengukuran erosi metode petak kecil tergantung pada pemilihan lokasi penempatan petak kecil, pemasangan semua komponen petak kecil dan pengukuran volume air limpasan yang tertampung dalam drum penampung. Namun demikian, untuk mendapatkan nilai erosi yang lebih mendekati keadaan sebenarnya perlu dilakukan penelitian selama 1 tahun atau adanya kesinambungan data pengukuran selama 12 bulan untuk kedua musim yakni musim kemarau dan musim hujan serta penggunaan petak kecil yang lebih banyak agar dapat mewakili seluruh lahan tanaman hortikultura (jeruk) pada Sub DAS Lau Biang.

b. Prediksi Erosi dengan Metode USLE

Nilai erosi lahan tanaman jeruk di 22 titik sampel dapat dilihat pada Lampiran 11. Nilai erosi tertinggi pada lahan tanaman jeruk di Sub DAS Lau


(58)

Biang terdapat di daerah Tiganderket sebesar 731,838 ton/(ha.thn) dan yang terendah di daerah Kabanjahe sebesar 86,367 ton/(ha.thn) dengan nilai erosi rata-rata 361,794 ton/(ha.thn). Erosi tanah yang mungkin terjadi dengan prediksi USLE jika dibandingkan dengan besar erosi ditoleransikan, maka diperoleh tingkat bahaya erosi sangat tinggi (>10,01).

Besarnya nilai erosi yang terjadi dengan menggunakan metode USLE disebabkan oleh penggunaan nilai-nilai tetapan faktor yang mempengaruhi erosi tanah itu sendiri yaitu nilai-nilai faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya erosi tanah dalam prediksi USLE yang telah ditetapkan sebelumnya. Penggunaan koefisien tetapan-tetapan tersebut mengakibatkan erosi tanah yang terjadi dengan mengunakan prediksi USLE sangat tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh data curah hujan diperlukan kurang lengkap sehingga mengakibatkan faktor

erosivitas tinggi (2065,17 cm/thn), nilai erosivitas yang tinggi diperoleh dari data

curah hujan tahunan yang tinggi yakni sebesar 3137,8 mm/thn.

Erosi tanah yang terjadi dengan menggunakan prediksi USLE jika dibandingkan dengan erosi tanah dengan metode petak kecil, maka diperoleh perbedaan yang sangat signifikan. Dimana diperoleh nilai erosi tanah dengan menggunakan prediksi USLE paling tinggi sekitar 731,838 ton/(ha.thn). Sedangkan dengan menggunakan metode petak kecil hanya 20,299 ton/(ha.thn). Dengan melihat perbedaan besar erosi yang terjadi di lahan tanaman jeruk dengan menggunakan kedua metode dapat disimpulkan bahwa metode yang paling tepat untuk menghitung laju erosi adalah metode petak kecil. Juga dapat dilihat dari perbandingan antara kedua metode dengan besar laju erosi yang ditoleransikan,


(59)

diperoleh besar erosi yang mendekati besar erosi ditoleransikan adalah besar erosi yang diperoleh dengan metode petak kecil.

Perbedaan besar erosi tanah yang diperoleh dengan kedua metode (petak kecil dan prediksi USLE) disebabkan oleh adanya perbedaan penggunaan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah dalam pengukuran. Pada metode petak kecil besar erosi tanah yang diperoleh adalah langsung dari pengukuran sedimen yang terhanyut/terkikis oleh aliran permukaan saat terjadi hujan, tanpa memilah faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah. Sedangkan perhitungan laju erosi tanah dengan metode prediksi USLE semua faktor yang mempengaruhi erosi (erosivitas hujan, erodibilitas tanah, topografi, tanaman, dan teknik konservasi) diuraikan secara terpisah. Nilai-nilai faktor yang mempengaruhi prediksi erosi dengan metode USLE telah ditentukan sebelumnya, dengan kata lain mungkin faktor-faktor tersebut tidak sesuai dengan lahan yang sedang diukur laju erosinya.

Misalnya untuk faktor topografi, kemiringan dan panjang lereng diukur di lapangan. Kesalahan dalam pengukuran dapat berpengaruh terhadap penyimpangan nilai erosi yang diperoleh. Demikian juga untuk nilai C dan P yang didapat merupakan nilai yang besarnya telah tertentu berdasarkan Tabel yang telah ada sebelumnya sehingga nilai dari kedua faktor ini merupakan koefisien yang didapat melalui penelitian sebelumnya yang telah menjadi tetapan. Untuk itu perlu penetapan nilai C dan P yang sesuai dengan di lapangan. Karena nilai-nilai faktor pada prediksi metode USLE telah tertentu terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara metode petak kecil dengan metode prediksi USLE. Namun, prediksi USLE perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah secara terurai. Sehingga setiap faktor yang


(1)

Lampiran 2. Flowchart pengukuran laju erosi metode petak kecil

Mulai

Dipersiapkan/ dipasang alat

Diukur curah hujan

Diperiksa kolektor dalam

catchment

Diukur volume air limpasan

Selesai Kolektor

terisi?

Dibersihkan kolektor dan catchment Penentuan jenis tanaman budidaya

Diukur kemiringan lahan

Diukur panjang lereng

Ada hujan

Ya Tidak

Diambil sampel

Ya

Tidak

Dihitung jumlah tanah tererosi


(2)

Cory Meiliany Br. Surbakti : Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Penggunaan Lahan Hortikultura Di Sub Das Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu), 2010.

Lampiran 3. Nilai erodibilitas (K) pada lahan tanaman jeruk

No. Kecamatan Desa Debu

(%)

Liat (%)

Pasir (%) Tekstur

Tanah (M) % Bahan Organik C-organik (a) Kode Struktur (b) Permeabilitas (cm/jam) Kode Permeabilitas (c) Erodibilitas Pasir Biasa Pasir Sangat Halus

1 Merek Merek 35,600 13,300 40,500 10,600 4005,540 0,350 0,006 4 174,706 1 0,434

2 Merek Merek 36,510 15,550 39,950 7,990 3758,025 0,320 0,006 4 283,200 1 0,405

3 Merek Dokhan 50,580 12,700 30,600 6,120 4949,910 0,360 0,006 4 261,600 1 0,548

4 Merek Dokhan 49,600 12,900 31,250 6,250 4864,535 0,390 0,007 4 174,706 1 0,538

5 Dolok Silau Cingkes 45,860 14,000 33,450 6,690 4519,300 0,400 0,007 4 231,111 1 0,496

6 Dolok Silau Cingkes 46,360 14,100 32,950 6,590 4548,405 0,380 0,007 4 220,714 1 0,499

7 Silimakuta Naga Timbul 50,990 13,850 29,300 5,860 4897,628 0,410 0,007 4 187,273 1 0,542

8 Silimakuta Naga Timbul 48,770 14,150 30,900 6,180 4717,458 0,420 0,007 4 218,571 1 0,520

9 Tiga Panah Regaji 21,200 26,200 45,400 7,200 2095,920 0,320 0,006 4 211,034 1 0,215

10 Tiga Panah Regaji 22,290 26,350 42,800 8,560 2272,103 0,340 0,006 4 204,000 1 0,235

11 Barus Jahe Semangat 19,000 27,000 45,000 9,000 2044,000 0,320 0,006 4 206,000 1 0,210

12 Barus Jahe Semangat 20,530 26,850 43,850 8,770 2143,295 0,360 0,006 4 202,000 1 0,220

13 Kabanjahe Sukaramai 17,100 34,100 42,800 6,000 1522,290 0,340 0,006 4 213,103 1 0,154

14 Kabanjahe Sukaramai 16,410 33,250 41,950 8,390 1655,400 0,380 0,007 4 242,308 1 0,168

15 Munthe Singgamanik 18,980 32,000 40,850 8,170 1846,200 0,400 0,007 4 204,000 1 0,188

16 Munthe Singgamanik 18,900 31,900 41,000 8,200 1845,510 0,400 0,007 4 195,000 1 0,188

17 Payung Payung 33,600 22,700 39,300 4,400 2937,400 0,370 0,006 4 255,000 1 0,309

18 Payung Payung 30,860 23,100 38,370 7,674 2963,265 0,380 0,007 4 211,034 1 0,312

19 Kuta Buluh

Bintang

Meriah 31,100 23,480 37,850 7,570 2959,028 0,410 0,007 4 199,355 1 0,312

20 Kuta Buluh

Bintang

Meriah 32,990 23,450 36,300 7,260 3081,138 0,400 0,007 4 215,172 1 0,326

21 Tiganderket Tiganderket 31,590 21,850 38,800 7,760 3075,203 0,380 0,007 4 187,500 1 0,325


(3)

Lampiran 4. Tabel nilai erosi (A) pada lahan tanaman jeruk

No. Kecamatan Desa

Erosivitas (R) (cm/thn)

Erodibilitas (K)

Topografi (LS)

Tanaman (C)

Konservasi (P)

Erosi (A) ton/(ha.thn)

1 Merek Merek 2065,170 0,434 4,386 0,300 0,400 471,861

2 Merek Merek 2065,170 0,405 4,313 0,300 0,400 432,595

3 Merek Dokhan 2065,170 0,548 3,721 0,300 0,200 252,889

4 Merek Dokhan 2065,170 0,538 4,523 0,300 0,200 301,512

5 Dolok Silau Cingkes 2065,170 0,496 3,969 0,300 0,400 487,690

6 Dolok Silau Cingkes 2065,170 0,499 4,313 0,300 0,400 533,816

7 Silimakuta Naga Timbul 2065,170 0,542 3,721 0,300 0,200 249,912

8 Silimakuta Naga Timbul 2065,170 0,520 3,742 0,300 0,200 241,116

9 Tiga Panah Regaji 2065,170 0,215 4,523 0,300 0,900 542,980

10 Tiga Panah Regaji 2065,170 0,235 4,183 0,300 0,900 547,116

11 Barus Jahe Semangat 2065,170 0,210 3,969 0,300 0,400 206,187

12 Barus Jahe Semangat 2065,170 0,220 4,183 0,300 0,400 228,506

13 Kabanjahe Sukaramai 2065,170 0,154 4,523 0,300 0,200 86,367

14 Kabanjahe Sukaramai 2065,170 0,168 4,183 0,300 0,200 87,091

15 Munthe Singgamanik 2065,170 0,188 3,969 0,300 0,900 416,691

16 Munthe Singgamanik 2065,170 0,188 4,313 0,300 0,900 452,686

17 Payung Payung 2065,170 0,309 4,386 0,300 0,400 336,175

18 Payung Payung 2065,170 0,312 3,845 0,300 0,400 297,492

19 Kuta Buluh

Bintang

Meriah 2065,170 0,312 4,183 0,300 0,200 161,557

20 Kuta Buluh

Bintang

Meriah 2065,170 0,326 4,313 0,300 0,200 174,081

21 Tiganderket Tiganderket 2065,170 0,325 3,969 0,300 0,900 719,303


(4)

Cory Meiliany Br. Surbakti : Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Penggunaan Lahan Hortikultura Di Sub Das Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu), 2010.

Lampiran 5. Data hasil analisis tanah pada lahan tanaman jeruk

No Kecamatan Desa Debu (%) Liat

(%)

Pasir (%) Bahan

Organik (%)

Bd (gr/cm³) Pasir Biasa

Pasir Sangat

Halus

1 Merek Merek 35,600 13,300 40,500 10,600 0,350 1,060

2 Merek 36,510 15,550 39,950 7,990 0,320 1,060

3 Dokan 50,580 12,700 30,600 6,120 0,360 1,040

4 Dokan 49,600 12,900 31,250 6,250 0,390 1,060

5 Dolok Silau Cingkes 45,860 14,000 33,450 6,690 0,400 1,020

6 Cingkes 46,360 14,100 32,950 6,590 0,380 1,060

7 Silimakuta Naga Timbul 50,990 13,850 29,300 5,860 0,410 1,020

8 Naga Timbul 48,770 14,150 30,900 6,180 0,420 1,030

9 Tiga Panah Regaji 21,200 26,200 45,400 7,200 0,320 1,060

10 Regaji 22,290 26,350 42,800 8,560 0,340 1,050

11 Barus Jahe Semangat 19,000 27,000 45,000 9,000 0,320 1,070

12 Semangat 20,530 26,850 43,850 8,770 0,360 1,040

13 Kabanjahe Suka Rame 17,100 34,100 42,800 6,000 0,340 1,060

14 Suka Rame 16,410 33,250 41,950 8,390 0,380 1,020

15 Munthe Singgamanik 18,980 32,000 40,850 8,170 0,400 1,060

16 Singgamanik 18,900 31,900 41,000 8,200 0,400 1,050

17 Payung Payung 33,600 22,700 39,300 4,400 0,370 1,060

18 Payung 30,860 23,100 38,370 7,674 0,380 1,070

19 Kuta Buluh Bintang Meriah 31,100 23,480 37,850 7,570 0,410 1,040

20 Bintang Meriah 32,990 23,450 36,300 7,260 0,400 1,060

21 Tiganderket Tiganderket 31,590 21,850 38,800 7,760 0,380 1,050


(5)

Lampiran 6. Gambar petak kecil di lapangan


(6)

Cory Meiliany Br. Surbakti : Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Penggunaan Lahan Hortikultura Di Sub Das Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu), 2010.