Latar Belakang Permasalahan PENEGAKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL MELALUI MEKANISME INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) MENURUT STATUTA ROMA 1998 - Repositori Universitas Andalas

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya, dalam suatu peperangan seringkali terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter. Sengketa bersenjata yang terjadi bukan hanya menimbulkan korban di kedua belah pihak yang bertikai saja, tetapi penduduk sipil atau non combatan yang dilindungi pun menjadi korban, sehingga penduduk sipil harus membayar harga suatu peperangan. 1 Untuk itu diperlukan adanya suatu mekanisme penegakan hukum humaniter internasional agar kejahatan perang semaksimal mungkin tidak terjadi dan dapat diatasi. Suatu perangkat hukum baru dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan. Upaya hukum yang dilakukan diantaranya adalah melalui mekanisme penegakan hukum humaniter internasional berdasarkan proses peradilan nasional. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan konvensi jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang, yang menegaskan bahwa setiap pihak peserta agung diwajibkan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional dengan menggunakan mekanisme 1 ICRC, Penghormatan terhadap Hukum Humaniter Internasional : Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No.1 tahun 1999, ICRC, 1999, hal. 3 peradilan nasional dan menggunakan instrument hukum nasional pihak-pihak yang bersangkutan. 2 Apabila upaya melalui mekanisme pengadilan nasional tidak dilaksanakan, maka upaya selanjutnya ditempuh melalui mekanisme peradilan internasional. 3 Mekanisme internasional yang ditempuh diantaranya adalah pembentukan dua mahkamah yang mengadili penjahat- penjahat perang dunia kedua, yaitu Mahkamah Militer Tribunal Nuremberg International Military Tribunal Nuremberg tahun 1945 yang dibentuk untuk menuntut dan mengadili penjahat-penjahat perang Nazi Jerman dan Mahkamah Militer Tribunal Internasional Tokyo International Military Tribunal for Far East tahun 1946 untuk menuntut dan mengadili penjahat-penjahat perang Jepang. Pada tahun 1993 dibentuk Mahkamah Tribunal untuk Negara bekas Yugoslavia International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia atau ICTY untuk menuntut dan mengadili penjahat-penjahat perang yang melakukan pembersihan etnis di Negara bekas Yugoslavia. Pada tahun 1994 dibentuk Mahkamah Tribunal Rwanda International Criminal Tribunal for Rwanda atau ICTR untuk menuntut dan mengadili penjahat-penjahat perang bersaudara antar suku tutsi dan hutu di Rwanda. Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, Mahkamah Yugoslavia, dan Mahkamah Rwanda merupakan mahkamah yang bersifat ad hoc atau sementara yang berlaku untuk tempat dan waktu tertentu saja. Pembentukan mahkamah ad hoc tersebut disebabkan belum adanya suatu mekanisme pengadilan pidana internasional yang permanen pada masa itu. Selain itu terdapat adanya kelemahan dalam mahkamah ad hoc tersebut. Sekjen PBB Koffi Anan membenarkan kelemahan tersebut dengan mengemukakan bahwa meskipun telah dibentuk 2 Pasal 49 Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang 3 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter, penerbit Armico, Bandung, 1985, hal. 172-175 Mahkamah di Den Haag dan Arusha, pendakwaan-pendakwaan terhadap penjahat perang masih belum adil. Tetapi dengan adanya pengadilan yang permanen maka kejahatan-kejahatan yang serius terhadap kemanusiaan seperti genosida, kejahatan perang, dan lain-lain yang menyangkut masalah internasional secara keseluruhan, dapat dihukum. Dengan demikian pendirian Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dinilai urgen bagi penuntutan kejahatan internasional di masa yang akan datang. 4 Berdasarkan fakta tersebut, melalui pertemuan pada tanggal 22 juli 1994, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan penyelenggaraan konferensi internasional tentang pembentukan mahkamah pidana internasional permanen United Nations Diplomatik Conference of Ponipotentiaris on the Establishment of an International Criminal Court. Pada akhirnya konferensi diselenggarakan pada 15 juli - 17 juli 1998 di Roma yang menghasilkan sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court. Statuta ini dikenal sebagai Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Pidana Internasional berdiri secara resmi pada tahun 2002 setelah syarat 60 enam puluh negara meratifikasi Statuta Roma 1998 terpenuhi. Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional juga memberi keuntungan teknis ekonomis bahwa suatu lembaga yang bersifat permanen dapat bergerak lebih cepat dibandingkan lembaga khusus yang didirikan setelah suatu kejahatan serius selesai dilakukan atau telah terjadi. 5 Pendirian suatu lembaga peradilan internasional yang permanen juga jauh lebih efisien daripada mendirikan berbagai lembaga pengadilan ad hoc yang bersifat kasuistis-insidential, terutama 4 Devi Sondakh, Mahkamah Kejahatan Perang, Makalah Pada Penataran Hukum Humaniter Internasional, Bukittinggi, 2001, hal. 38-39 5 Erik Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, Penerbit Tatanusa, Jakarta, 2006, hal. 10 sekali berkaitan dengan hal biaya dan tenaga kerja. 6 Hal ini mengingat bahwa setelah ICTY dan ICTR, telah mulai pula dipersiapkan pembentukan pengadilan yang sejenis untuk kasus Kamboja dan Sierra Leone oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa guna mengadili para penjahat perang dan hak asasi manusia, dan tentu tidak menutup kemungkinan bagi terbentuknya pengadilan-pengadilan sejenis untuk mengadili kasus-kasus lainnya. Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan permanen yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. 7 Mahkamah hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma 1998. 8 Selain itu karena Mahkamah Pidana Internasional diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan formal. 9 Lebih jauh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mempunyai peranan penting dalam operasional Mahkamah Pidana Internasional atas dasar kewenangannya untuk memprakarsai suatu penyelidikan. 10 Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengakhiri impunitas bagi pelaku- pelaku kejahatan internasional khususnya kejahatan perang atau kejahatan humaniter dan kemudian memberi pencegahan terjadinya tindak-tindak kejahatan tersebut serta menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya keadilan internasional. Pendirian mahkamah juga bertujuan untuk mendukung pencapaian tujuan dan prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 6 Ibid, hal. 11 7 Pasal 3 ayat 1 Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional 8 Pasal 24 Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional 9 Pasal 2 Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional 10 Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, Penerbit ELSAM, 2005, hal. 1 Selain itu ada beberapa tujuan lain pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang diantaranya termasuk: 11 1. Meningkatkan keadilan distributif, 2. Memfasilitasi aksi dari korban, 3. Pencatatan Sejarah, 4. Pemaksaan penataan nilai-nilai internasional, 5. Memperkuat resistensi individu, 6. Pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang, 7. Mencegah penindasan berkelanjutan atas hak asasi manusia. Statuta Roma 1998 menegaskan dan menetapkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional merupakan suatu lembaga permanen dan memiliki kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang atau individu-individu yang melakukan kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional most serious crimes of the international concern sebagaimana diatur dalam Statuta. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh dibiarkan tidak dihukum dan bahwa penuntutan terhadap mereka yang melakukan kejahatan serius tersebut secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memajukan kerjasama internasional. 12 Mekanisme Penegakan Hukum humaniter Internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional mengisyaratkan adanya kewenangan untuk mengadili individu yang telah melakukan kejahatan humaniter tanpa membedakan kapasitas jabatan seperti jabatan kepala negara atau pemerintahan, anggota pemerintahan atau parlemen, dan suatu dewan perwakilan atau pejabat pemerintah. 11 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 162 12 Alinea Ke-4 Mukadimah Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional dibentuk menurut Statuta Roma 1998 sebagai pelengkap dari yurisdiksi pengadilan pidana nasional. Istilah pelengkap berdasarkan statuta ini menyatakan bahwa mahkamah bisa berperan aktif menjalankan perannya apabila dalam suatu kasus sistem pengadilan negara yang bersangkutan tidak mampu unable dan atau tidak mau unwilling melakukan proses penyidikan dan penuntutan terhadap mereka yang bertanggungjawab dalam suatu kejahatan internasional. Prinsip pelengkap mahkamah merupakan suatu mekanisme pendekatan seimbang yang dimaksudkan guna memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada negara-negara untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan hukum internasional. Dalam hal ini mahkamah bertindak sebagai suatu sistem mekanisme pelengkap dan penyeimbang yang berdaya guna bagi yurisdiksi nasional negara-negara, khususnya dalam rangka penegakan hukum humaniter internasional. 13 Para peserta konferensi juga menentukan kejahatan apa saja yang dimasukkan dalam yurisdiksi Mahkamah, dan bagaimana menetapkan batasan-batasannya. Pasal 5 Statuta Roma 1998 menentukan bahwa Mahkamah Pidana Internasional mempunyai yurisdiksi atas tindak kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan bahwa Mahkamah akam mempunyai yurisdiksi atas kejahatan agresi, setelah Mahkamah menegaskan batasan-batasan tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika Mahkamah menjalankan yurisdiksinya. Pembentukan International Criminal Court ICC merupakan momentum yang sangat bersejarah dalam perkembangan hukum internasional yang berdampak terhadap perkembangan hukum pidana nasional baik terhadap hukum substantif maupun hukum proseduralnya. Dampak 13 Erik Hasiholan Gultom, Op. cit, hal. 14 terhadap hukum substantif tiap negara adalah diakuinya tindak pidana baru dalam sistem hukum pidana setiap negara, yang juga merupakan yurisdiksi International Criminal Court ICC. 14 Sehubungan dengan masalah diatas, maka penulis ingin membahas dan meneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul : “PENEGAKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL MELALUI MEKANISME INTERNATIONAL CRIMINAL COURT ICC MENURUT STATUTA ROMA 1998 ”.

B. Perumusan Masalah