Latar Belakang Masalah Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim Pengadilan Agama Tuungagung Tahun 2010) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung Bab I Oke

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan atau pernikahan dalam istilah ilmu fiqh klasik berarti suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafadz inkah atau tazwij. Akan tetapi menurut penulis definisi tersebut sangat kaku dan sempit, sebab nikah hanya sebagai perjanjian legalisasi hubungan seksual antara pria dan wanita saja. Seolah-olah hakikat pernikahan hanya pelampiasan nafsu dan syahwat saja. Dalam kaitannya untuk menghilangkan pandangan masyarakat tentang arti nikah, sekaligus menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang mempunyai kedudukan mulia, para ulama’ muta’akhirin berupaya menjelaskan dan meluaskan arti nikah, dengan memberikan gambaran yang komprehensif dengan definisinya adalah “Nikah ialah suatu akad yang menyebabkan kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dan perempuan dan saling tolong- menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya.” 1 Pengertian yang dikemukakan para ulama’ mutaakhirin selaras dengan pengertian yang diinginkan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang termuat pada pasal 1, yang berbunyi sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan 1 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, CV. Pustaka Setia, 2000, hal. 13 1 lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 2 Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar menikah, seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32:                     Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. 3 Menurut hemat penulis, bahwa pernikahan adalah lembaga yang diperlukan dan suatu keharusan, menikah berarti memenuhi sunnah nabi SAW yang dianggap penting. Dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki dwifungsi, dan hanya dengan pernikahanlah tujuan-tujuan itu bisa tercapai. Pertama, memenuhi hasrat pasangan baik yang bersifat fisikal dan spiritual. Firman Allah SWT dalam AlQur’an surat Ar-Ruum ayat 21, yang berbunyi:                       2 UU Perkawinan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, Cet. I, 2007, hal. 2 3 Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas, 1998, hal. 549 Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 4 Yang kedua, prokreasi atau keturunan, firman Allah SWT dalam AlQur’an surat an-Nahl ayat 72, yang berbunyi:                         Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu- cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ? 5 Oleh karena itu, pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua belah pihak agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Dengan demikian perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak, baik mental maupun material. Untuk menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan pencapaian esensi dari suatu perkawinan, negara Indonesia dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Salah satu diantaranya adalah ketentuan dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria 4 Ibid, hal. 644 5 Ibid, hal. 412 sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun”. 6 Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam pelaksanaannya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Sebenarnya untuk mendorong agar orang melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah, UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 6 ayat 2 telah mengaturnya dengan berbunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua”. 7 Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21 tahun tidak perlu ada izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Yang perlu memakai izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang telah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan bagi wanita yang telah mencapai umur 16 enam belas tahun. Dibawah umur tersebut berarti belum boleh melakukan perkawinan sekalipun diizinkan orang tua. 8 Dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974, sebagaimana dijelaskan dengan bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak, agar pemuda-pemudi yang akan menjadi suami-istri benar-benar telah masak jiwa raganya dalam membentuk keluargarumah tangga yang bahagia dan kekal. Begitu pula dimaksudkan untuk dapat mencegah terjadinya perceraian muda dan agar dapat membenihkan keturunan yang baik dan sehat, serta tidak 6 UU Perkawinan Kompilasi …, hal. 5 7 UU Perkawinan Kompilasi …, hal. 4 8 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, Cet. I, 1990, hal. 51 berakibat laju kelahiran yang lebih tinggi sehingga mempercepat pertambahan penduduk. 9 Menurut hukum adat, kedewasaan seseorang diukur dengan tanda- tanda bangun tubuh, apabila anak wanita sudah haidh datang bulan, buah dada sudah menonjol, berarti ia sudah sudah dewasa. Bagi anak pria ukurannya hanya dilihat dari perubahan suara, bangun tubuh, sudah menegeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks. Jadi, bukan diukur dengan umur karena orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak- anaknya, karena kebanyakan buta huruf. 10 Sedangkan menurut hukum Islam, seperti halnya hukum adat tidak terdapat kaidah-kaidah yang sifatnya menentukan batas umur perkawinan. Jadi berdasarkan hukum Islam pada dasarnya semua tingkatan umur dapat melakukan ikatan perkawinan. 11 Sesuai dengan penjelasan diatas, andai kata terjadi hal-hal yang tidak terduga. Misalnya mereka yang belum mencapai umur 19 sembilan belas tahun bagi pria dan belum mencapai umur 16 enam belas tahun bagi wanita, karena pergaulan bebas, sehingga wanita hamil sebelum perkawinan. Apakah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masih dapat memberikan kemungkinan untuk menyimpang dari batas umur tersebut? 9 Ibid., hal. 51 10 Ibid., hal. 54 11 Ibid., hal. 54

B. Rumusan Masalah