Praktik pemberian dispensasi nikah (studi penetapan pengadilan agama Tigarakasa Kabupaten Tangerang tahun 2013)

PRAKTIK PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH
(Studi Penetapan Pengadilan Agama Tigarakasa

Kabupaten Tangerang Tahun 2013)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :
Yulianti
1110044100074

K O N S E N T R AS I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H / 2014 M

ABSTRAK

Yulianti. NIM 1110044100074. PRAKTEK PEMBERIAN DISPENSASI
NIKAH (Studi Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa 2013). Program Studi
Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. isi:
x + 77 halaman + 55 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pemberian dispensasi nikah di
Pengadilan Agama Tigaraksa. Permohonan dispensasi nikah diajukan dalam
rangka menjaga kehormatan dan martabat keluarga dari segala perilaku yang
dilarang dan menyimpang dari nilai-nilai agama dan hukum yang berlaku. Demi
menghindari kemudharatan yang lebih besar, pernikahan di bawah umur
seringkali menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kalangan
remaja, yang disebabkan hamil di luar nikah. Padahal, sesuai dengan UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan
“calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun”. Serta adanya faktor-faktor yang menjadi alasan
pemohon dalam mengajukan sebuah permohonan dispensasi nikah dan untuk
mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan dispensaasi nikah apakah
lebih mengarah kepada timbulnya kemaslahatan dalam kehidupan rumah
tangganya atau sebaliknya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif,
jenis data yang dipergunakan adalah data primer berupa putusan-putusan
Pengadilan Agama Tigaraksa dan data sekunder. Mengenai data penelitian

penulis memperoleh data dari wawancara dan studi kepustakaan. Dan teknik
penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menjadi alasan pemohon
mengajukan permohonan dispensasi nikah, yaitu karena faktor pendidikan, faktor
psikologis, faktor hamil sebelum menikah dan karena faktor ekonomi. Faktorfaktor yang menjadi alasan pemohon mengajukan permohonan dispensasi nikah
ke Pengadilan Agama Tigaraksa adalah menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
memutuskan sebuah penetapan dispensasi nikah bahwa hakim melihat atas dasar
menolak kemafsadatan adalah lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Kata Kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka

: Pemberian Dispensasi Nikah
: Dr. Isnawati Rais, MA
: Tahun 1976 s.d. Tahun 2014

v

KATA PENGANTAR


   
Puji Syukur Penulis panjatkan Kehadirat Allah subhanahu wata'ala atas segala
limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya , sehingga Penulis mendapatkan kekuatan
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Praktik Pemberian Dispensasi Nikah
(Studi Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun
2013)”.
Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan guna meraih
gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Program Studi
Konsentrasi Peradilan Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Banyak pihak yang berperan besar dalam memberikan bantuan sampai
selesainya skripsi ini, untuk itu ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Kamarusdiana, S. Ag, MH, dan Ibu Sri Hidayati. M. Ag, selaku Ketua
dan sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Maskufa , MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


vi

4. Ibu Dr. Isnawati Rais, MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
waktu, tenaga, bimbingan serta do‟a dalam menyusun skripsi ini.
5. Bapak Drs. Muhyar,S.H.,M.H, selaku Hakim

ketua, serta segenap staff dan

karyawan Pengadilan Agama Tigaraksa yang telah membantu memberikan data,
referensi dalam penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen di Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang dengan tulus telah
menyalurkan ilmunya kepada penulis selama kuliah dikampus tercinta ini,
semoga apa yang telah menjadi diajarkan menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia
dan akhirat.
7. Segenap pengelola Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum dan Perpustakaan
Utama (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka.
8. Teristimewa buat ayahanda Suhendra dan ibunda Asmawati yang selalu
memberikan kasih sayang, perhatian, nasehat dengan penuh keikhlasan dalam

menghadapi penulis karena mereka menjadi sumber inspirasi bagi penulis.
Semoga Allah SWT selalu memberi rahmat dan kesehatan serta membalas atas
kebaikan mereka berdua. Serta terimakasih kakakku tersayang Jaenal, Romdon
dan yang tersayang Ahmad Muhajir, S.Pd., SD, yang tidak pernah berhenti selalu
memberikan support agar tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan studi ini.
9. Sahabat seperjuangan penulis yaitu Kostan Kerta Mukti Inayah Maily, Khoirun
nisa, Sainah, Azizah Mufti, Rena soraya, Rifki Abdurahman, Neneng
Khosyatillah, Zaki Ahla, Fajrul AB, dan teman kostan Bunda, Izatunnisa dan
vii

Intan Purwatih dan semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman seperjuangan
sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.
10. Teman KKN Gemeter 2013 Bogest, Falwan, Amir, Deni, Maul, Daud, Reza,
Fadli, Rahmat, Cu‟ul, Vida, Rika, Dita, Ulfiyii, Eka, Arini, yang banyak
memberikan masukan, motivasi dan support dalam banyak hal termasuk canda
tawa yang menghibur.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT.
Akhirnya semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat

balasan dari Allah SWT. Amin yarabbal alamin.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 07 Januari 2015

Penulis

viii

DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN .....................................................................................iv
ABSTRAK ...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR .............................................................................................vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 8
D. Review Penelitian Terdahulu .................................................................... 9
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 13

BAB II DISPENSASI NIKAH DAN BATASAN USIA PERNIKAHAN ............ 15
A. Pengertian dan Landasan Hukum Dispensasi Nikah ............................... 15
B. Batasan Usia Minimum Pernikahan ......................................................... 18
C. Faktor Pendorong Pernikahan di Bawah Umur ........................................ 29

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA DAN
MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG .................................. 35
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa ......................................... 35
B. Visi, Misi Dan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa ........... 36
C. Tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa ............................................. 38
D. Tipologi Masyarakat Kabupaten Tangerang ............................................ 40

ix


BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN DAN PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH DI
PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA TAHUN 2013 ....................... 44
A. Faktor dan Dampak Pernikahan di Bawah Umur ................................... 44
B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pemberian
Dispensasi Nikah Tahun 2013 di Pengadilan Agama Tigaraksa ............. 47
1. Deskripsi Putusan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa
Tahun 2013.......................................................................................... 47
2. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama
Tigaraksa ............................................................................................ 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 71
A. Kesimpulan .............................................................................................. 71
B. Saran ......................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................
1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ..............................
2. Surat Permohonan Data/Wawancara.....................................................................
3. Surat Keterangan Melakukan Penelitian (Hasil Data/Wawancara) .....................

4. Hasil Data Wawancara Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa .............................
5. Salinan Putusan Penetapan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa ..

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia. Ia bahkan menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia normal. Tanpa
perkawinan, kehidupan seseorang akan menjadi tidak sempurna dan lebih dari itu,
menyalahi fitrahnya.1
Perkawinan merupakan bagian dari aturan-aturan yang disyari‟atkan oleh
Islam yang secara umum mempunyai tujuan yang sama yaitu memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.2 Perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”3 Perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan

1

Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Untuk Kawin (Jakarta : Kencana Mas Publishing House,
2006), h. 3.
2

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 25.

3

Direktorat jendral pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum
(Jakarta; Departeman Agama RI, 2001), h. 117.

1

2


kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundangundangan yang berlaku.
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. 4
Oleh karena itu pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua belah pihak
agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Dengan demikian perlu
adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak secara mental maupun material.
Tujuan mendirikan rumah tangga yang bahagia dan harmonis sering tidak seperti
yang diharapkan, atau bisa dikatakan kandas ditengah jalan. Kegagalan ini
biasanya disebabkan oleh pemangku tanggung jawab belum cukup dewasa, baik
secara fisik maupun mental.5
Adapun salah satu bentuk permasalahan yang sering muncul dalam
pelaksanaan

perkawinan

adalah

tentang

penentuan

batas

umur

untuk

melangsungkan perkawinan. Penentuan batas umur melangsungkan perkawinan
sangatlah penting sekali. Karena suatu perkawinan di samping menghendaki
kematangan biologis juga psikologis. Maka dalam penjelasan umum Undangundang perkawinan dinyatakan, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat

4

5

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor; Kencana, 2003), h. 22.

Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Untuk Kawin (Jakarta; Kencana Mas Publishing House,
2006), h. 10.

3

keturunan baik dan sehat. Selain itu pembatasan umur ini penting pula artinya
untuk mencegah praktek kawin yang terlampau muda seperti banyak terjadi di
desa-desa yang mempunyai akibat negatif.6
Pernikahan berubah menjadi haram apabila dilakukan oleh orang-orang
yang berusia relatif muda (belum cukup umur), belum mampu menafkahi dan
mengurus rumah tangga. Apabila kawin dalam usia yang belum cukup umur, ia
akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang dalam
keadaan ini, ia tidak berdosa kalau berumah tangga, tetapi perbuatannya untuk
menikah dapat dikatakan perbuatan tercela.7
Oleh karena itu perlu adanya pendewasaan usia kawin dalam arti
mengusahakan penundaan kawin sampai seseorang cukup dewasa agar mencapai
kematangan fisik, psikis, ekonomis dan mental adalah suatu ikhtiar manusia yang
patut dihargai dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini telah terbukti bahwa
kawin diusia muda banyak membawa penderitaan dan tidak sedikit yang
mengalami perceraian, sebaliknya kawin dalam usia cukup dewasa banyak
membawa manfaat dan kemaslahatan, baik bagi keluarga yang bersangkutan
maupun bagi masyarakat dan negara untuk menunjang berhasilnya program

6

7

K. Wantjik Saleh, hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta; Balai Aksara, 1987),

h. 26.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), Cet. Ke-2, h. 4-5.

4

kependudukan dan keluarga berencana dalam rangka memperlambat laju
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi.8
Jika belum mencapai umur untuk melangsungkan perkawinan diperlukan
suatu dispensasi nikah dari pengadilan melalui permohonan dari orang tua atau
wali yang bersangkutan. Pengadilan merupakan salah satu badan hukum yang
berwenang dalam memberikan izin nikah bagi mereka yang masih belum
mencapai umur yang telah ditetapkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yang termuat dalam pasal 7 ayat (1) “ Perkawinan
hanya diijinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun.” Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal
15 ayat (1): “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun”. 9
Masalah pembatasan umur ini penting sekali artinya karena bermaksud
untuk mencegah terjadinya praktek kawin yang terlalu muda atau perkawinan
anak-anak, dimana hal ini dikarenakan oleh kurangnya informasi, pergaulan bebas
dan kurangnya penyuluhan yang diterima oleh suatu masyarakat. Sehingga hal ini
8

9

Fokusmedia, (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan TentangPerkawinan), h. 4.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Perundang-undangan
Dalam Lingkungan Peradilan Agama, h.133

5

menyebabkan terjadinya perkawinan yang masih di bawah usia minimum
perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, pasal 1
dijelaskan bahwa definisi anak adalah yang usianya di bawah 18 tahun. Pasal 26
ayat (1) poin (c) yaitu tentang orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.10
Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam
pelaksanaannnya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Banyak sekali terjadi
perkawinan pada anak masih dibawah umur, semantara umur mereka belum
mencapai standar yang ditentukan Undang-undang. Sebenarnya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) adalah untuk mendorong agar orang
melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah.
Hal ini seperti kebanyakan yang terjadi di Kabupaten Tangerang bahwa
masyarakatnya masih ada yang telah melakukan perkawinan diusia muda.
Kenyataan tersebut dapat terlihat dalam fenomena dispensasi perkawinan yang
terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa. Sesuai dengan data yang diperoleh tahun
2013 terdapat 5 penetapan yang diputus. Nampak jelas dari kenyataan tersebut
bahwa kasus dispensasi kawin yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa,
apabila masalah dispensasi perkawinan diamati secara individual, dianalisis pada

10

Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta: Kementrian
Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI, 2003) h. 13.

6

level individu calon pasangan, maka akan ditemukan beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya dispensasi kawin anak dibawah umur.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat

Kabupaten

Tangerang melakukan dispensasi perkawinan. Sebagian besar dikarenakan
kemerosotan moral (banyaknya pergaulan bebas) dimasyarakat Kabupaten
Tangerang, atau dikarenakan faktor ekonomi dalam keluarga yang memaksa
mereka untuk kawin diusia muda, atau karena faktor pendidikan.
Sehubungan dengan hal tersebut yang dikarenakan oleh suatu keadaan
yang memaksa, maka

pemerintah telah membuat

peraturan mengenai

penyimpangan terhadap batas usia perkawinan yang telah ditentukan yaitu yang
berbentuk Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (2) menjelaskan
bahwa: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat menerima
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun pihak wanita.”11
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi kawin
terhadap anak dibawah umur (belum mencapai batas usia minimum) berlaku sejak
disahkannya Undang-undang Perkawinan dalam Peraturan Menteri Agama No. 3
Tahun 1975. Adapun ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang
maupun peraturan pelaksanaannya tidak memberi alasan-alasan terperinci dalam
mengabulkan dispensasi kawin anak dibawah umur hanya didasarkan atas

11

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Perundang-undangan
Dalam Lingkungan Peradilan Agama, h.133

7

penilaian hakim. Karena dengan tidak disebutkan suatu alasan yang penting itu,
maka dengan mudah saja setiap orang mendapatkan dispenasi kawin tersebut.
Penyusun merasa tertarik melakukan penelitian ini untuk lebih mengetahui
tentang apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan
dispensasi kawin di bawah umur di Pengadilan Agama Tigaraksa karena pada
daerah Kabupaten Tangerang berada pada daerah yang masyarakatnya masih
kurang pengetahuan tentang aturan hukum yang berlaku dan diteliti pula adakah
indikasi yang menunjukan bahwa perkawinan dibawah umur (19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita) dengan pemberian dispensasi nikah, lebih mengarah
kepada timbulnya kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga mereka atau
sebaliknya, sehingga penulis menyajikan dalam bentuk judul :
“PRAKTIK PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH (Studi Penetapan
Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun 2013)”.

B. Pembatasan dan Perumusam Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarahnya pembahasan ini, maka penulis membatasi
penelitian ini. Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Tigaraksa.
Penelitian terfokus pada praktek Pengadilan Agama Tigaraksa tentang
dispensasi nikah pada tahun 2013.

8

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1): Perkawinan hanya diijinkan jika
pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Jika belum mencapai umur untuk melangsungkan pernikahan
diperlukan suatu dispensasi

nikah dari

Pengadilan

Agama.

Tetapi

kenyataannya masih ada masyarakat yang melakukan perkawinan dengan
usia laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan perempuan belum mencapai
usia 16 tahun, tanpa melakukan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama.
Dari persoalan di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
“Apa saja dasar pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam memutuskan perkara tentang dispensasi nikah pada tahun 2013?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang muncul dalam penulisan ini,
maka tujuan penelitian ini bertujuan untuk :
“Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim di Pengadilan Agama
Tigaraksa dalam memutuskan perkara dispensasi nikah tahun 2013”.

9

2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas cakrawala
berpikir kita tentang hukum Islam khususnya dalam permasalahan yang
berkaitan dengan masalah perkawinan.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi kalangan
remaja untuk menambah ilmu pengetahuan dan khazanah ilmiah mengenai
permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan di usia dini.

D. Review Terdahulu
Dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya
dengan dispensasi kawin. Masih ada peneliti sebelumnya yang telah melakukan
penelitian tentang permasalahan dispensasi

perkawinan

dibawah

umur,

diantaranya :
Pertama, Nurul Khadijah (103044228121) / 2009 M/1430 H. dengan judul
Pemahaman masyarakat kec. Bogor Barat Kota Bogor tentang Dispensasi Nikah.
Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana pemahanan masyarakat Bogor Barat
tentang Dispensasi nikah. Bahkan skripsi yang penulis buat itu tentang praktik
pemberian Dispensasi Nikah hakim dalam memberikan pertimbangannya untuk
mengabulkan permohonan dispensasi nikah.
Kedua, Mauly Shofia Chaerani (107044201826) / 2012 M/1433 H. Yang
Alasan

dispensasi

perkawinan

(Analisis

penetapan

perkara

Nomor:

10

16/Pdt.P/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi ini
mengungkapkan atau menjelaskan mengenai analisis penetapan perkara No:
16/Pdt.P/2008/PA.JT, tentang diperbolehkannyapernikahan di bawah umur.
Skripsi yang penulis bahas terfokus kepada praktik pemberian dispensasi nikah di
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Tujuan dariUndang-undang No. 1 Tahun 1974
pada Pasal 7 ayat (2) dan lebih mengarah kepada pertimbangan hakim untuk
kemaslahatan rumah tangga mereka.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan penggabungan dari penelitian normative dan
penelitian empiris. Penelitian normative dilakukan dengan cara mempelajari data
sekunder berupa buku-buku dan perUndang-undangan yang berkait dengan
masalah yang dibahas. Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan
menganalisa penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa dari beberapa penetapan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan masalah disini adalah pendekatan kualitatif yuridis normativ
yaitu metode ini dilakukan dan ditunjukkan pada praktik pelaksanaan hukum
terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis serta praktiknya dan
dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia.

11

3. Sumber Data
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu :
a. Data Primer
Sumber Data primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Sumber data primer yang digunakan adalah berupa berkas-berkas surat
permohonan dispensasi nikah, hasil Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa
tentang dispensasi nikah tahun 2013 terdapat 5 penetapan yang diputus yaitu:
Penetapan

No.

0352/Pdt.P/2013/PA.Tgrs,

172/Pdt.P/2013/PA.Tgrs,

0455/Pdt.P/2013/PA.Tgrs,

173/Pdt.P/2013/PA.Tgrs

dan

0375/Pdt.P/2013/PA.Tgrs. Kemudian data yang diperoleh langsung melalui
wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari Al-Qur‟an,
hadits, buku-buku ilmiah, artikel, Undang-undang serta peraturan-peraturan
lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa:
a. Studi Dokumenter
Mencari dan melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan
tema yang diangkat oleh penulis, dari Pengadilan Agama Tigaraksa.

12

b. Wawancara (Interview)
Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. 12 Wawancara ini
dilakukan langsung dengan hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu
dengan Bapak Drs. Muhyar, S.H., M.H terhadap pertimbangan dan
mekanisme dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi nikah
5. Pengolahan Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan
diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu
usaha menggolongkan data berdasarkan kategori tertentu.
6. Teknik Analisis Data
Bahan yang telah diperolah lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa sehingga agar menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Data-data yang ada dianalisis untuk dijadikan dasar pijakan dalam
menyelesaikan dan pemberi jawaban atas persoalan yang diteliti, yakni sebab
timbulnya adanya dispensasi pernikahan dibawah umur yang diperbolehkan di
Pengadilan Agama Tigaraksa.13

12

Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004) h. 135.
13

Burhan Bungi, Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke Arah Ragam
Varian Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h.36.

13

Metode Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.14

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah bab perbab, dimana antara bab satu dengan bab yang lainnya itu memiliki
keterkaitan, sistematika yang penulis maksud adalah sebagai berikut:
Bab satu dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah. Dalam hal ini penulis mengemukakan tentang pernikahan dan
tujuan dari perUndang-undangan. Setelah itu, dikemukakan pembatasan dan
perumusan masalah. Kemudian dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat
penelitian, review terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang dispensasi nikah di bawah umur yang di
dalamnya akan diuraikan tentang pengertian dan landasan hukum dispensasi
nikah, batasan usia minimum pernikahan, faktor pendorong pernikahan dibawah
umur.
Bab tiga membahas tentang profil Pengadilan Agama Tigaraksa dan Profil
masyarakat Kab. Tangerang yang di dalamnya memuat sejarah singkat
Pengadilan Agama Tigaraksa, visi misi dan struktur organisasi Pengadilan Agama

Tim Penulis Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
(Jakarta: Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Jakarta, 2012).
14

14

Tigaraksa, tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa serta dikemukakan juga
tipologi Kabupaten Tangerang.
Bab empat mengemukakan tentang hasil penelitian penulis yaitu analisis
terhadap Penetapan dan pertimbangan hakim dalam pemberian dispensasi nikah,
yang terdiri dari faktor dan dampak pernikahan dibawah umur, serta analisis
terhadap pertimbangan hukum hakim dalam pemberian dispensasi nikah.
Bab lima disajikan penutup berupa kesimpulan dari data dan kajian yang
telah diolah dan dianalisis menjadi pokok permasalahan. Selain itu, kesimpulan
juga disertai saran-saran yang berhubungan dengan dispensasi nikah. penulis juga
melampirkan daftar pustaka dan lain-lain.

BAB II
DISPENSASI NIKAH DAN BATASAN USIA PERNIKAHAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum Dispensasi Nikah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian
dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu
kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya
dilarang oleh pembuat Undang-Undang.1 Sedangkan menurut C.S.T Kansil dan
Christine S.T Kansil, Dispensasi adalah suatu penetapan yang bersifat deklaratoir,
yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku
bagi kasus sebagai diajukan oleh seorang pemohon.2
Peraturan tentang pelaksanaan pernikahan telah di atur dalam undangundang nomor 1 tahun 1974. Termasuk diatur tentang syarat-syarat perkawinan ,
salah satu syaratnya adalah ditentukannya batasan usia untuk melangsungkan
pernikahan, yaitu bagi laki-laki sudah berumur 19 tahun dan 16 tahun bagi
perempuan. Jika salah satu dari calon mempelai tidak memenuhi syarat dalam hal
usia, maka harus mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Sesuai
dengan tugas dan wewenang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan
1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi Ke-4, h. 335.
2

C.S.T Kansil, dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu ( Jakarta: PT. Surya
Multi Afika, 2001), Cet. Ke-2, h. 52

15

16

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:3
a. Perkawinan
b. Warisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi Syari‟ah
Yang dimaksud dengan “Bidang Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari‟ah, antara lain, dispensasi nikah dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang batas usia minimal atau seseorang
belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan jika tidak terpenuhi maka
seseorang tidak dapat melangsungkan pernikahan.

3

Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama UU RI No. 3 Tahun 2006 (Jakarta: PT.
Sinar Afika, 2006), Cet. Ke-1, h. 18

17

Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
“ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita”.
Yang dimaksud dengan Pengadilan disini adalah Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan
kompetensi Peradilan Agama.
Adapun ketentuan landasan dispensasi nikah bagi calon mempelai yang
belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita adalah
pasal 7 ayat (1) sampai (3) undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 7 ayat (1) dinyatakan: “Bahwa perkawinan hanya diizinkan bila
pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.
Kemudian dalam ayat (2), “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Dan ayat 3 adalah “Ketentuanketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6
ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6
ayat (6)”.4

4

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan
Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 82-83

18

Kompilasi Hukum Islam juga menetapkan batasan usia untuk menikah
yang belum mencapai usia minimum perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1) dan (2) mengatur calon mempelai yang ingin
menikah tetapi belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan, dalam pasal tersebut disebutkan dalam ayat (1) “Bahwa untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Kemudian ayat
(2) juga menyatakan “bahwa bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3),
(4) dan (5) UU No.1 Tahun1974”.5

B. Batasan Usia Minimum Pernikahan
Sebelum Perkawinan dilakukan, tentunya persyaratan untuk dapat
melangsungkan perkawinan harus dipenuhi. Misalnya tentang ketentuan batas
usia minimum untuk menikah sangatlah penting. Calon suami atau isteri harus
berusia minimal 19 tahun, karena kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil
akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama dan

5

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan
Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 5-6.

19

budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan sekedar bersifat
biologis, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial.6
1. Batasan Usia minimum Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan merupakan hubungan sesama manusia oleh agama di atur
dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Syariat Islam mengajarkan bahwa salah satu
syarat utama keabsahan suatu perkawinan adalah apabila yang bersangkutan
(calon suami isteri) telah akil baligh. Akil baligh inilah yang dijadikan patokan
sebagai umur minimal bagi calon suami-isteri yang layak untuk kawin. Ajaran
Islam tidak pernah memberikan batasan yang definitive pada usia berapa seorang
dianggap dewasa.7 Tidak adanya ketentuan agama tentang batasan usia minimal
menikah dianggap sebagai sebuah rahmat, sehingga dalam penentuan untuk
menikah membuka kesempatan timbulnya masalah ijtihadiyyah. Dalam arti diberi
kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas untuk menikah.
Dalam soal usia nikah, Islam memberi ancar-ancar dengan kemampuan
(Istitho’ah), yaitu kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi
nafkah lahir bathin kepada isteri dan anak-anak maupun kemampaun dalam
mengendalikan gejolak emosi yang menguasai diri. Jika kemampuan telah ada,
ajaran agama mempersilahkan seseorang untuk menikah, namun jika belum
mampu dianjurkan untuk berpuasa terlebih dahulu. Selain itu, sebelum
6

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta:
Grahacipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 33
7

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta, LKSI, 2001), Cet. Ke-1. h. 86

20

melangsungkan perkawinan calon mempelai patut memiliki kemampuan dan
kesediaan untuk merawat diri sendiri.8
Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama, disebutkan bahwa pria dapat
melangsungkan perkawinannya kalau telah “mimpi” dan wanita juga telah
menstruasi. Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita
telah dewasa atau akil baligh. Bila mimpi dan menstruasi datang tergantung pada
kondisi (alam) dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada
umumnya pada usia 13 (tiga belas) atau 14 (empat belas) tahun. Kini keluarga
dalam

masyarakat

kontemporer

menentukan

batas

umur

untuk

dapat

melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi Negara masing-masing.9
Menurut para ulama, masalah usia dalam perkawinan sangat erat
hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena
perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan
dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah
tangga diminta kemampuannya secara utuh. Kemampuan yang dihubungkan
dengan hukum sebagai terjemahan dari kata ahliyah dalam bahasa arab yang
berarti kesanggupan, kecakapan atau kewenangan yang ada.10

8

Abd al-Rahim Umar, Islam dan Kb, terj. Muhammad Hasyim, (Jakarta: Lentera Basritama,
1997), Cet. Ke-1, h. 68
9

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), Cet. Ke-2, h.96.
10

h. 156.

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2,

21

Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda. Kedatangan
tanda-tanda tersebut diatas tidak dalam usia yang sama antara pria dan wanita ada
kemungkinan tidak sama pula. Tergantung kematangan fisik masing-masing, ada
yang lebih cepat ada yang sedikit lambat dari yang lainnya. Berdasarkan uraian
itu maka kedewasaan ditentukan dari mimpi dan rusyd. Akan tetapi umur mimpi
dan rusyd terkadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah
bermimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan
dalam perbutan sehari-hari.11
Karena itu pada dasarnya kedewasaan dapat di tentukan dengan umur dan
dapat pula dengan tanda-tanda. Tanda-tanda kedewasaan seseorang dapat dilihat,
misalnya pada laki-laki terjadi perubahan suara yang besar, tumbuh bulu ketiak,
tumbuh zakun dan lain sebagainya. Dan bagi wanita yaitu telah mengalami
menstruasi, tumbuh bulu ketiak, perubahan pada payudaranya dan lain sebagainya
ini adalah tanda-tanda kedewasaan yang wajar dan alamiah, yang akan dialami
oleh setiap orang dan biasanya bagi laki-laki ketika menginjak umur 15 tahun dan
wanita sekitar 9 tahun.12
Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka
perkawinan di bawah umur adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut

11

Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer (buku dua); Kedewasaan Untuk
Menikah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3, h. 83.
Menikah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3, h. 83.

22

mayoritas ahli fiqh, dan di bawah usia 17 tahun atau 18 tahun menurut Abu
Hanifah.13
Adapun Hukum melakukan Pernikahan di bawah umur, menurut
pandangan Jumhur Fuqoha menyatakan mengesahkan perkawinan di bawah
umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, kriteria baligh dan berakal
bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya, beberapa argument yang
dikemukakan antara lain adalah sebagai berikut:14

    
   s 
      

                
 

Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (QS. At-Thalaq (65): 4)

Imam Alaudin Al-kasani Abu Bakar Bin Mas‟ud, Badai’ al shanai, (Kairo: Dar al-hadits,
1426H/2005M), Juz III, h. 457.
13

14

Muhammad Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 68.

23

Ayat ini menjelaskan masa iddah (masa menunggu) untuk perempuanperempuan yang sudah menopause dan untuk perempuan yang belum haid. Masa
Iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Dengan demikian
secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan
bisa dilaksanakan pada perempuan usia belia atau remaja, karena Iddah hanya
bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah menikah dan bercerai.15
Para ulama mazhab pada umumnya dahulu membolehkan seorang bapak
sebagai wali mujbir menikahkan anaknya baik itu laki-laki atau perempuan yang
masih di bawah umur seperti:
1. Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan „Aisyah yang masih belia. Dalam
hadits disebutkan: “sesungguhnya Nabi menikahi (Aisyah) pada saat usia 6
tahun dan menggaulinya pada saat usia 9 tahun dan hidup bersama selama 9
tahun.” Riwayat Al-Khamsah. Imam Muslim menambahkan “pada saat Nabi
meninggal usia Aisyah saat itu adalah 18 tahun.”16
2. Diantara para sahabat Nabi SAW, ada yang menikahkan putra-puytrinya atau
keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar menikahkan anak
perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia. 17

15

Muhammad Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 69.
Manshur „Ali Nasif, Al-Taj Al-Jami’ Al Ushul Fi Ahadits Al-Rasul, (Beirut: Dar-al-Kutub
al-„Arabiyah), Jilid II, h. 259.
16

17

Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad, Al-Mughiri, (Beirut:
Dar-al Fikr, 1405H), Juz IV, h. 487.

24

2. Batasan Usia Minimum Perkawinan Menurut Hukum Positif
Batasan usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin.
Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara
atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah dibawah umur,
batasan usia nikah dibawah umur dalam hukum positif, yaitu sebagai berikut:
1. Batasan usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, terdapat dalam BAB II syarat-syarat perkawinan pasal 6 ayat (2),
yaitu: “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan
pada pasal 7 ayat (1), yaitu: “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapaiusia 16 (enam belas) tahun”. Dan pada ayat (2), yaitu: “Dalam hal
penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria
atau pihak wanita. Dan pada ayat (3), yaitu: “Ketentuan-ketentuan mengenal
keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat(3) dan(4)
Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut
ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat
(6)”. 18

18

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan
Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 82-83

25

2. Batasan usia nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 15 ayat (1),
yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun”. Dan pada ayat (2), yaitu: “Bagi calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6
ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.1 Tahun1974.” 19
3. Sedangkan batasan usia nikah menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHper), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: “Laki-laki yang
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang
belum mencapai 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan
mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah
berkuasa menghapus larangan ini dengan memberi “Dispensasi”.20

19

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan
Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 5-6.
20

Penghimpun Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan
Perdata (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 226.

26

3. Perbandingan Negara Batasan Usia Minimun Pernikahan
a. Negara Turki
Dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak
menikah adalah 18 tahun bagi laki-laki 17 tahun bagi perempuan. Dalam
kasus tertentu pengadilan dapat mengijikan pernikahan pada usia 15 tahun
bagi laki-laki dan 14 tahunbagi perempuan setelah mendapat ijin dari orang
tua atau wali. Undang-undang yang mengatur umur nikah ini sudah
diamandemen pada tahun 1938. Saat ini (tahun 1972) dalam kasus-kasus
tertentu, pengadilan masih boleh mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun
bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Dalam Fiqh Hanafi wacana
tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut umur, hanya
secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan dalah berakal dan
baligh,

sebagaimana

juga

keduanya

menjadi

syarat

umum

bagi

operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh
hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan
syarat keabsahan pernikahan.21
b. Negara Iran
Usia minimum boleh melaksanakan pernikahan bagi pria adalah 18
tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita. Bagi seseorang yang menikahkan
anaknya yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara antara 6

M. Atho‟ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 43.
21

27

bulan hingga 2 tahun. Jika seseorang anak perempuan dikawinkan di bawah
usia 13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat di penjara selama 2 hingga
3 tahun. Di samping itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat
dikenai denda 2-20 riyal.
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut bebeda
dengan pandangan hukum mazhab Ja‟fari. Menurut mazhab Ja‟fari, seseorang
telah dipandang dewasa (karenanya dapat melangsugkan perkawinan) jika
telah berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja‟fari juga
memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih
dibawah umur. dengan demikian, ancaman hukuman bagi wali yang
mengawinkan anak di bawah umur merupakan pembaharuan hukum keluarga
di Iran yang bersifat administratif.22
c. Negara Yaman Selatan
Sebagaimana hukum keluarga di negara-negara yang lain, Yaman
Selatan juga ditetapkan adanya batasan usia minimum pernikahan, yakni 18
tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, batasan ini
terkait dengan keabsahan akad nikah, hamnya disebutkan bahwa itu
merupakan sesuatu yang perlu untuk diperhatikan.
Masih terkait dengan usia calon pengantin, juga ditetapkan bahwa
perbedaan usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari umur 20
tahun, kecuali bila calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam
22

Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2003, h. 59.

28

pandangan Fuqaha Klasik, tidak ada larangan seperti ini, yang sering
dijadikan rujukan adalah perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang beda usia
keduanya sangat jauh pada saat pernikahan.23
d. Negara Tunisia
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah
berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 Undangundang 1956, yang mana sebelum diubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi
perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki
maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan pernikahan,
bagi perempuan yang masih berusia 17 tahun harus mendapaat izin dari walinya. Jika
sang wali tidak memberikan izin, maka perkara tersebut dapat diputuskan oleh
pengadilan. Akan tetapi, pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu bahwa
untuk dapat melangsungkan pernikahan, seorang laki-laki harus sudah mencapai usia
20 tahun dan perempuan telah mencapai umur 17 tahun. Sehingga bagi mereka yang
belum sampai batasan usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari Pengadilan. Izin
tidak dapat diberikan jika tidak ada alasan-alasan yang kuat dan keinginan yang jelas
dari masing-masing pihak.24

e. Negara Maroko
Batas minimum usia di Negara Maroko bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan
bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan
dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.
Pembatasan demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-Qur‟an, al-Hadits
23
24

Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2003, h.73.
Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2003, h. 87

29

maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh
merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali
mempelai. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun
perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara madzhab Syafi‟i dan Hambali
menetukan umur 15 tahun, dan hanya madzhab Hanafi yang membedakan batas umur
baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan perempuan 17 tahun.
Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batas minimal adalah laki-laki
15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa pada umur itu ada laki-laki
yang sudah mengeluarkan sperma dan ada perempuan yang sudah haid sehingga bisa
hamil.25

C. Faktor Pendorong Perkawinan di Bawah Umur
1. Faktor Pendidikan
Pada dasarnya orang tua harus tahu dan paham bahwa pendidikan
merupakan upaya untuk memberikan bimbingan, tuntunan dan pembinaan pada
generasi bangsa dengan karakter sesuai cita-cita bangsa dan Negara. Tetapi
Rendahnya tingkat pendidikan maupun tingkat pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anaknya yang
masih dibawah umur. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk
perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

25

Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2003, h. 109.

30

Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan pemahaman secara
matang kepada individu untuk memilih atau memutuskan suatu hal. Individu