Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove Sebagai Bahan Baku Arang Oleh Masyarakat Di Batu Ampar, Kalimantan Barat

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN MANGROVE
SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT
DI BATU AMPAR, KALIMANTAN BARAT

RITABULAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Kebijakan
Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh Masyarakat di Batu
Ampar, Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Ritabulan
NIM P062110121

RINGKASAN
RITABULAN. Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku
Arang oleh Masyarakat di Batu Ampar, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh
SAMBAS BASUNI, NYOTO SANTOSO dan M. BISMARK.
Pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang adalah salah satu mata
pencaharian masyarakat di Kecamatan Batu Ampar. Namun pemanfaatan ini
tergolong ilegal karena hutan yang dimanfaatkan berstatus hutan lindung dan
diindikasi telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove di
Kecamatan Batu Ampar. Keberadaan hutan produksi di sekitar Kecamatan Batu
Ampar beserta skema-skema pemanfaatan hasil hutan kayu bagi masyarakat yang
telah disediakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum juga menjadi solusi
bagi permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi dan
menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan hasil hutan kayu

oleh masyarakat melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan
Hutan Kemasyarakatan (HKm); mengidentifikasi dan menganalisis hambatan
implementasi kebijakan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat melalui
kemitraan kehutanan; mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab
masyarakat masih melakukan illegal access dalam pengambilan kayu untuk bahan
baku arang; mengidentifikasi dan memetakan stakeholders dalam pemanfaatan
mangrove sebagai bahan baku arang; dan mengidentifikasi dan menganalisis rule
in use dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di
Kecamatan Batu Ampar.
Penelitian ini dilaksanakan pada 3 desa di di Kecamatan Batu Ampar, yaitu
Desa Batu Ampar, Desa Nipah Panjang dan Desa Teluk Nibung. Kabupaten Kubu
Raya, Provinsi Kalimantan Barat, mulai November 2014 sampai Desember 2015.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam
(in depth interview), telaah dokumen dan kajian literatur. Analisis data
menggunakan analisis deskriptif, analisis deskriptif kualitatif, analisis
stakeholders, dan analisis deskriptif dengan pendekatan konsep Teori Akses dan
Rule in Use. Sintesis data menggunakan pendekatan metode analisis perumusan
masalah dan Teori Rasional-Komprehensif.
Penelitian menemukan hasil bahwa kegagalan implementasi HTR, Hutan
Desa dan HKm disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat pengrajin

terhadap isi peraturan, rendahnya kualitas SDM masyarakat pengrajin, dan tidak
adanya sanksi tegas bagi pelaku pemanfaat hasil hutan tanpa ijin. Untuk Hutan
Desa dan HKm juga disebabkan karena belum adanya pelaksanaan tugas dan
fungsi dari aparat pemerintah sebagai pihak pelaksana kebijakan. Sementara
kegagalan Kemitraan Kehutanan terutama disebabkan oleh isi peraturan belum
mengatur kemitraan dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu. Penyebab
lainnya adalah kurangnya pengetahuan pengrajin arang terhadap peraturan;
rendahnya kualitas SDM pengrajin arang; dan minimnya pengetahuan dan skill
pengrajin dalam memproduksi arang berkualitas.
Faktor penyebab masyarakat masih melakukan illegal access terhadap
kawasan hutan lindung adalah kehadiran para penampung (cukong), baik
penampung-pemodal yang berperan dalam menyediakan modal bagi pengrajin,
maupun penampung-pembeli yang berperan menyediakan pasar. Pada aspek

stakeholders, pihak-pihak yang berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan
pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat yaitu: (1)
stakeholders subject (masyarakat pengguna sumberdaya, pemerintah desa,
pemerintah kecamatan dan perusahaan swasta); dan (2) key players (Dinas
Kehutanan Propinsi; BPPHP; BP DAS; Dinas Perkebunan Kehutanan dan
Pertambangan; BPKH; BAPPEDA; LSM; polisi kehutanan; perguruan tinggi dan

KKMD).
Aturan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat,
terdiri dari: (1) aturan pada kelembagaan formal, yaitu: aturan yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan dan turunannya yang mengatur pemanfaatan
hasil hutan kayu (UU 41/1999, PP 38/2007, Permenhut P.55/Menhut-II/2011,
Permenhut P.89/Menhut-II/2014, Permenhut P.88/Menhut-II/2014, dan
SE.5/MenLHK/2015); dan (2) aturan yang digunakan (rule in use) pada
kelembagaan lokal. Masing-masing aturan pada rule in form dan rule in use tidak
bersesuaian satu sama lain (incompatibility). Hal ini disebabkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Kubu Raya sebagai pihak pelaksana dinilai belum mampu
merealisasikan program HTR, HD atau HKm pada kawasan hutan produksi yang
telah disediakan. Penyebab lainnya adalah rumitnya aturan dalam mengurus ijin
pemanfaatan HHK melalui skema tersebut bagi masyarakat.
Model kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh
masyarakat secara berkelanjutan merekomendasikan alternatif kebijakan
peningkatan sistem kerja key player. Kebijakan ini dinilai sebagai alternatif
kebijakan terbaik yang dapat dijalankan saat ini untuk menyelesaikan
permasalahan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat
di Kecamatan Batu Ampar.
Kata kunci: arang bakau, hutan mangrove, implmentasi kebijakan, rasionalkomprehensif


SUMMARY
RITABULAN. Policy Model of Mangrove Utilization as Raw Material for
Charcoal in Batu Ampar, West Kalimantan. Supervised by SAMBAS BASUNI,
NYOTO SANTOSO and M. BISMARK.
Utilization of mangrove as raw material for charcoal is one of the people
livelihoods in Batu Ampar Sub District. On the other hand, this utilization is still
categorized illegal action because the source of its raw material are exploited
from protected forest (Hutan Lindung/HL). It indicates that people livelihoods
causing the quality and quantity of mangrove forest in Batu Ampar Sub District
decrease. In fact, the existence of production forests around Batu Ampar Sub
District and the schemes of forest product utilization for community provided by
the government were not a solution for these problems.
This study aimed to analyze the obstacles of policy implementation on
forest product utilization for community through the Community Plantation Forest
(HutanTanaman Rakyat/HTR), Village Forest (Hutan Desa/HD) and Community
Forest (Hutan Kemasyarakatan/HKm); to analyze the obstacles of policy
implementation on forest product utilization for community through a forestry
partnership (Kemitraan Kehutanan/KK); to analyze the factors that cause people
still do illegal access in timber harvesting for charcoal raw materials; to identify

and make stakeholders mapping in mangrove charcoal utilization as a raw
material; to analyze the rule in use in the utilization of mangrove as raw materials
for charcoal by the community; and to construct a policy model of mangrove
forest utilization as raw material for charcoal by community in the Batu Ampar
Sub District.
The research was conducted in three villages, namely Batu Ampar, Nipah
Panjang and Teluk Nibung, Batu Ampar Sub District, Kubu Raya District, West
Kalimantan Province, from November 2014 to Desember 2015. The data were
collected through field observation, in-depth interview, the document and the
literature review. Data analysis used descriptive analysis, qualitative descriptive
analysis, stakeholders analysis, and descriptive analysis with the concept of access
theory and rule in use application. Data synthesis used approaches of problem
formulation analytical methods and Theory of Rational-Comprehensive.
The result showed that the obstacles to policy implementation in HTR,
Forest Village and HKm are caused by a lack of community knowledge about the
content of the regulations, low quality human resources of charcoal craftsman, and
the absence of strict sanctions for the perpetrators who exploited of product forest
for mangrove charcoal without permission. In Village Forest and Community
Forest, the obstacles occur as well because of the task and responsibilities of
government officials have not been implemented. While the fail in Forestry

Partnership mainly is because of the content of regulations have not set up a
partnership in the form of forest product utilization. Other reasons are the lack of
craftsman knowledge about the regulation; low quality of human resources of
charcoal craftsmen; and the lack of knowledge and skill of charcoal craftsmen in
producing good quality charcoal.

Illegal access to protected forest by community in mangrove utilization as
raw material for charcoal caused by middlemen (cukong) who have roles in
providing capitals and markets. In the stakeholders aspect, the parties who play an
important role in the policy implementation of mangrove utilization as a raw
material for charcoal by community, namely: (1) subject stakeholders (resource
user community, the village government, the sub district government and private
companies); and (2) key players (the Provincial Forestry Agency; BPPHP; BP
DAS; the Plantation, Forestry and Mines Agency; BPKH; BAPPEDA; NGOs; the
forestry police; universities and KKMD).
The rules in mangrove utilization as raw material for charcoal by
community, consisting of: (1) the rules in formal institutions (rule in form),
namely: the rules in the legislation and its derivatives about the utilization of
timber forest products (UU 41/1999, PP 38/2007, Permenhut P.55/MenhutII/2011, Permenhut P.89/Menhut-II/2014, Permenhut P.88/Menhut-II/2014, and
SE.5/MenLHK/2015); and (2) the rules which are used in local institutional (rule

in use). Each rule in rule in form and rule in use are incompatibility each other.
This is caused by the Government of Kubu Raya District is not able yet to realize
the program HTR in production forest provided by the government. Another
reason is the complexity of the permit regulations in utilization of timber forest
product by the community.
Policy model of sustainable mangrove utilization as raw material for
charcoal by community recommends the alternative policy namely increasing of
key players work system. This is considered as the best policy alternative at this
time to resolve the problem of the mangrove utilization as raw material for
charcoal by the community in the Batu Ampar Sub District.
Keywords:

mangrove charcoal, mangrove forest, policy implementation,
rational comprehensive

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN MANGROVE
SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT
DI BATU AMPAR, KALIMANTAN BARAT

RITABULAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian:
Tertutup

: 1. Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS
(Guru Besar Institut Pertanian Bogor)
2. Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS
(Guru Besar Institut Pertanian Bogor)

Promosi

: 1. Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS
(Guru Besar Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Ir. Syaiful Ramadhan, MMAgr
Prof
(Pejabat Fungsional Perencana Utama pada
Kementerian
Lingkungan
Hidup

dan
Kehutanan Republik Indonesia) Dr Ir Cecep
Kusmana
MS
Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS

Judul Disertasi : Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku
Arang oleh Masyarakat di Batu Ampar, Kalimantan Barat
Nama
: Ritabulan
NIM
: P062110121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni MS
Ketua

Dr Ir Nyoto Santoso MS
Anggota

Prof (R) Dr Ir H M Bismark MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup : 27 Juni 2016
Tanggal Ujian Promosi: 1 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November
2014 ini ialah kebijakan pemanfaatan hutan mangrove, dengan judul Model
Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh masyarakat di
Batu Ampar, Kalimantan Barat.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Sambas Basuni MS, Bapak Dr Ir Nyoto Santoso MS dan
Bapak Prof Dr M Bismark MS selaku pembimbing; yang telah penuh
kesabaran membimbing dan memberi motivasi kepada penulis dalam
melaksanakan penelitian ini;
2. Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS selaku Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan penguji luar pada ujian
tertutup yang telah banyak memberi saran;
3. Bapak Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS selaku penguji luar pada ujian
tertutup dan sidang promosi yang telah banyak memberi saran;
4. Bapak Dr Ir Syaiful Ramadhan MMAgr selaku penguji luar pada sidang
promosi yang juga telah banyak memberi saran;
5. Bapak Tommy AS SH beserta staf Dinas Perkebunan, Kehutanan dan
Pertambangan Kabupaten Kubu Raya dan Bapak Ir Fairuz Mulia yang telah
membantu selama pengumpulan data;
6. Orang tua beserta seluruh keluarga dan sahabat tercinta, atas segala doa dan
kasih sayangnya;
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas semua doa
dan bantuan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 1 Agustus 2016

Ritabulan

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

i

DAFTAR ISI

ii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

v

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................
Perumusan Masalah ...............................................................................
Tujuan Penelitian ...................................................................................
Manfaat Penelitian .................................................................................
Kerangka Pemikiran ...............................................................................
Penelitian Terdahulu
Kebaruan (Novelty) Penelitian ...............................................................

1
3
5
5
5
8
9

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove .....................................................................................
Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove ...............................................
Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Arang Bakau ...............................
Pembangunan Berkelanjutan ..................................................................
Analisis Kebijakan .................................................................................
Kelembagaan ..........................................................................................
Analisis Stakeholder ...............................................................................
Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ........................................

11
11
13
14
17
20
22
24

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................
Rancangan Penelitian .............................................................................
Bahan dan Alat .......................................................................................
Jenis Data ................................................................................................
Metode Pengumpulan Data ....................................................................
Analisis Data ..........................................................................................
Sintesis Data ...........................................................................................

27
28
28
28
29
30
33

DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Kawasan Hutan Mangrove Batu Ampar ..................................
Kondisi Fisik ..........................................................................................
Komponen Biologi
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
Pemegang IUPHHK di Wilayah Kecamatan Batu Ampar
Tahapan Pembuatan Arang Bakau oleh Masyarakat

37
39
41
43
46
48

5

HAMBATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMANFAATAN
MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH
MASYARAKAT
Pendahuluan ............................................................................................
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

53
54
55
72

PENYEBAB ILLEGAL ACCESS DALAM PEMANFAATAN
MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH
MASYARAKAT
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

75
75
76
79

7 STAKEHOLDERS DALAM PEMANFAATAN MANGROVE
SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT
Pendahuluan ............................................................................................
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

81
82
82
88

8 RULE IN USE DALAM PEMANFAATAN MANGROVE SEBAGAI
BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT
Pendahuluan ............................................................................................
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

89
99
90
101

6

9

REKAYASA
MODEL
KEBIJAKAN
PEMANFAATAN
MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH
MASYARAKAT
Pendahuluan ............................................................................................
Metode Penelitian ....................................................................................
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

103
103
105
115

10 PEMBAHASAN UMUM

117

11 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

123
125

DAFTAR PUSTAKA

127

LAMPIRAN

137

RIWAYAT HIDUP

159

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

26

27

Perangkat hak berdasarkan strata hak kepemilikan ..............................
Informan kunci yang diwawancarai
Luas kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya berdasarkan
hasil perhitungan data digital Sistem Informasi Geografis Tahun 2006
Luas desa-desa di wilayah penelitian
Jenis vegetasi mangrove di sekitar lokasi penelitian
Luas dan potensi hutan mangrove di sekitar lokasi penelitian
Potensi Rhizophora apiculata di kawasan hutan produksi
Kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya
Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin per desa di lokasi
penelitian
Jumlah rumah tangga dan rata-rata penduduk rumah tangga per desa
di lokasi penelitian
Sarana dan prasarana pendidikan di lokasi penelitian
Fasilitas pendidikan pada desa-desa di lokasi penelitian
Jenis penggunaan lahan di Kecamatan Batu Ampar
Produk arang yang dihasilkan oleh pengrajin di Batu Ampar
Jumlah dapur arang di Desa Batu Ampar
Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap terhadap peraturan
pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HTR
Tingkat pemahaman pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan
hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HTR
Pelaksanaan tugas dan fungsi instansi terkait pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk arang melalui skema HTR
Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap peraturan
pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema Hutan Desa
Tingkat pemahaman pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan
hasil hutan kayu untuk arang melalui skema Hutan Desa
Pelaksanaan tugas dan fungsi terkait pemanfaatan hasil hutan kayu
untuk arang melalui skema Hutan Desa
Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap peraturan
pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HKm
Tingkat pemahaman pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan
hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HKm
Pelaksanaan tugas dan fungsi terkait pemanfaatan hasil hutan kayu
untuk arang melalui skema HKm
Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap peraturan
pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema Kemitraan
Kehutanan
Tingkat pemahaman perusahaan dan pengrajin arang terhadap
peraturan pemanfaatan hasil hutan kayu melalui skema Kemitraan
Kehutanan
Pelaksanaan tugas dan fungsi terkait pemanfaatan hasil hutan kayu
untuk arang melalui skema Kemitraan Kehutanan

21
29
39
40
41
42
43
43
44
44
44
45
45
50
51
57
57
59
61
62
63
65
65
66

69

70
71

28 Perilaku dan kinerja stakeholders dalam pemanfaatan hutan mangrove
sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar
29 Aturan dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh
masyarakat di Kecamatan Batu Ampar
30 Estimasi kebutuhan bahan baku untuk pproduksi arang bakau
31 Sebaran hutan mangrove yang dialokasikan pada Skenario 2
32 Sebaran hutan mangrove yang dialokasikan pada Skenario 3
33 Perumusan masalah
34 Perumusan tujuan, alternatif, dampak dan ramalan masa depan
kebijakan
35 Penilaian alternatif kebijakan

85
90
105
108
109
111
113
114

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Kerangka penelitian .............................................................................
7
Konsep pembangunan berkelanjutan ....................................................
16
18
Bentuk-bentuk analisis kebijakan .........................................................
Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan tahap-tahap pembuatan
kebijakan ...............................................................................................
20
Contoh matriks klasifikasi stakeholders kunci dalam pengelolaan hutan 24
Lokasi penelitian ....................................................................................
27
32
Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders ..................................
33
Tahapan perumusan masalah kebijakan
Prioritas perumusan masalah dalam analisis kebijakan
34
Sebaran mangrove di Kabupaten Kubu Raya
38
Proporsi sebaran mangrove berdasarkan fungsi kawasan di
Kecamatan Batu Ampar
39
Penutupan lahan di Kecamatan Batu Ampar
41
Areal konsesi PT. Kandelia Alam dan PT. BIOS
47
Pembuatan dapur arang. (a) tahap awal (b) tahap pengeringan
48
(a) Pengambilan kayu mangroveuntuk bahan baku arang (b) batang
kayu mangrove setelah dipotong-potong
49
(a) Pengisian bahan baku ke dapur arang (b) bahan bakar solar
dikemas dan siap dijual ke pengrajin arang
49
Pengemasan. (a) pemotongan arang sesuai ukuran pemesanan
(b) arang yang sudah dikemas
50
Tata niaga arang bakau di Kecamatan Batu Ampar
51
Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pemanfaatan
hutan mangrove sebagai bahan baku arang di Kecamatan Batu Ampar
83
Lokasi hutan mangrove yang dialokasikan untuk Skenario 2
107
Lokasi hutan mangrove yang dialokasikan untuk Skenario 3
109
Model kebijakan pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku
arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar
120

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3

4
5
6
7

8
9
10

11

Sebaran hutan di Kecamatan Batu Ampar berdasarkan SK
733/Menhut-II/2014
Skema pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK dan IPK
berdasarkan
Permenhut
P.55/Menhut-II/2011;
Permenhut
P.89/Menhut-II/2014;
Permenhut
P.88/Menhut-II/2014;
dan
Permenhut P.20/Menhut-II/2013
Perbandingan keempat skema pemanfaatan hasil hutan kayu melalui
IUPHHK dan IPK berdasarkan Permenhut P.55/Menhut-II/2011;
Permenhut P.89/Menhut-II/2014; Permenhut P.88/Menhut-II/2014;
dan Permenhut P.20/Menhut-II/2013
Matriks analisis peraturan pemanfaatan hutan mangrove sebagai
bahan baku arang oleh Masyarakat di Kecamatan Batu Ampar
Alur mekanisme pengajuan pencadangan areal HTR berdasarkan
Permenhut P.55/Menhut-II/2011 jo P.31/Menhut-II/2013
Stakeholders dan tugas pokoknya dalam pengelolan hutan mangrove
sebagai bahan baku arang di Kecamatan Batu Ampar
Kriteria alternatif kebijakan mengatasi illegal access dalam
pemanfaatan mangrove untuk arang oleh masyarakat di Kecamatan
Batu Ampar
Skenario IUPHHK-HTR berdasarkan Bentuk Pemegang Ijin
(Permenhut P.55/Menhut-II/2011)
Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders
Areal pencadangan HTR-mangrove di Kecamatan Batu
Ampar
yang
diusulkan
berdasarkan
Surat
Nomor
522/0829/Bunhuttam/2013
Daftar pemilik dapur arang di Desa Batu Ampar

137

138

139
141
146
147

150
151
152

154
155

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove adalah ekosistem pesisir pantai yang memiliki berbagai
fungsi, baik langsung maupun tidak langsung. Mangrove menyediakan kayu
untuk konstruksi, kayu bakar dan arang, tambak, pulp dan tanin (Hamilton dan
Snedaker 1984). Pemanfaatan secara komersil meliputi produksi arang dan lahan
yang lebih luas untuk areal konsesi pengambilan kayu (Spalding et al. 1997).
Mangrove juga menyediakan perlindungan dan berfungsi sebagai habitat yang
baik bagi proses perkembangbiakan dan area pembesaran beberapa jenis
organisme (Sasekumar dan Wilkinson 1994). Fungsi lainnya adalah mengurangi
dampak abrasi dan banjir rob, menyumbang nutrisi dan memperlambat aliran
permukaan (Lugo dan Snedaker 1974).
Luas total ekosistem mangrove di dunia adalah sekitar 181.000 km2
(Spalding et al. 1997). Sekitar 23% diantaranya tersebar di Indonesia.
Berdasarkan data tahun 2009, luas hutan mangrove di Indonesia adalah
3.244.018.46 ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara Timur serta Papua (Bakosurtanal 2009). Di Provinsi Kalimantan
Barat, sebaran hutan mangrove terluas berada di Kabupaten Kubu Raya dengan
±99.532.90 ha, tersebar di 4 kecamatan, yaitu: Kecamatan Batu Ampar,
Kecamatan Kubu, Kecamatan Teluk Pakedai, dan Kecamatan Sungai Kakap.
Hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya terdiri atas ±54 412 ha hutan lindung
(HL), ±1.118.5 ha hutan produksi (HP), ±26.335 ha hutan produksi terbatas
(HPT), ±5.260.5 ha hutan produksi konversi (HPK) dan ±12.406 ha areal
penggunaan lain (APL) (Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan
Kabupaten Kubu Raya 2012).
Salah satu bentuk pemanfaatan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya
adalah pemanfaatan kayu mangrove sebagai bahan baku arang. Bentuk
pemanfaatan ini telah lama dilakukan, baik oleh perusahaan swasta maupun oleh
masyarakat. Selain Kabupaten Kubu Raya, pemanfaatan mangrove sebagai bahan
baku arang di Indonesia juga dapat dijumpai di 4 wilayah kabupaten/kota lainnya,
yaitu Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kota Batam, dan Kabupaten
Bengkalis. Produksi arang di masing-masing tempat ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pasar lokal dan ekspor (Santoso 2013). Arang kayu yang
dihasilkan dari jenis kayu mangrove memiliki kualitas yang sangat bagus
sehingga cukup banyak diminati di luar negeri khususnya Jepang dan Taiwan.
Harga arang bakau yang tinggi, dapat mencapai US$ 1 000/10 ton (Inoue et al.
1999), menyebabkan produksi arang bakau memiliki prospek yang bagus untuk
menambah devisa.
Pemanfaatan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya pada skala
perusahaan dimulai pada tahun 1969 dengan diberikannya ijin kepada PT.
Kalimantan Sari berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1969
tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada PT. Kalimantan Sari
seluas 229 000 hektar. Masa perijinan PT. Kalimantan Sari berakhir pada tahun
1989. Pada tahun 1994, pengelolaan hutan mangrove dilanjutkan oleh PT.
Inhutani II dalam bentuk ijin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dengan

2
sistem Tebang Tanam Jalur (HPHTI TTJ). Ijin ini berakhir pada tahun 2002
dengan dicabutnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang pemberian
HPHTI. PT. (Persero) Inhutani II (eks HPH PT. Kalimantan sari) yang berlokasi
di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Ketapang. Pemanfaatan hutan mangrove
di Kabupaten Kubu Raya kemudian dilanjutkan oleh PT. Kandelia Alam yang
memperoleh IUPHHK pada areal seluas ±18 130 ha berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No. 249/Menhut-II/2008 tanggal 24 Juni 2008 (PT. Kandelia Alam
2012).
Perusahaan lain yang memperoleh ijin usaha hutan mangrove di Kecamatan
Batu Ampar adalah PT. Bina Ovivipari Semesta (PT. BIOS) dengan Surat
Keputusan Bupati Pontianak No. 122 tanggal 2 Juli 2001. PT BIOS memperoleh
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) melalui SK No.
68/Menhut-II/2006 tanggal 27 Maret 2006 tentang Pembaharuan IUPHHK PT.
BIOS seluas 10.000 ha di Provinsi Kalimantan Barat. Areal IUPHHK pada Hutan
Alam (IUPHHK-HA) PT. BIOS merupakan areal bekas tebangan perusahaan
PT. Pelita Rimba Alam dan PT. Bumi Indonesia Jaya (Wiarta 2012).
Masyarakat Batu Ampar telah memanfaatkan hutan mangrove sejak sekitar
tahun 1906. Kegiatan pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat ini
memperoleh legalitas dari Dewan Pemerintah Daerah Pontianak dalam bentuk Ijin
Pemilikan Dapur Arang dan Pengelolaan Hutan sejak tahun 1949. Lokasi hutan
yang diberikan ijin tersebut berada di sekitar Batu Ampar (Sungai Limau sampai
Sukamaju dan Pulau Panjang) (LPP Mangrove 2002).
Pada perkembangannya, fungsi hutan mangrove tempat pengambilan kayu
bakau sebagai bahan baku arang tersebut diubah menjadi hutan lindung
berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) melalui Keputusan Menteri
Pertanian No.757/Kpts/UM/10/1982, diperkuat dengan Peraturan Daerah No.1
Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan
Barat tahun 1995 dan paduserasi RTRWP dengan TGHK pada tahun 1999. Hutan
lindung ini termasuk Pulau Panjang yang menjadi sumber bahan baku arang
masyarakat. Berdasarkan perubahan fungsi kawasan hutan tersebut, seluruh
kegiatan terkait proses produksi arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar
tergolong illegal karena bahan baku yang digunakan berasal dari kawasan hutan
yang berstatus hutan lindung (LPP Mangrove 2002). Lebih daripada itu, bahkan
setelah diterbitkannya SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/KptsII/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi
Kalimantan Barat seluas 9 178 760 ha, aktivitas pengambilan kayu mangrove di
hutan lindung masih terus berlangsung sampai sekarang, bahkan semakin intensif
dan meluas. Hal ini dapat dilihat dari data jumlah dapur arang yang juga semakin
bertambah, dari 90 unit pada tahun 2000 (LPP Mangrove 2000) menjadi 264 unit
pada tahun 2012 (Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten
Kubu Raya 2012). Sejalan dengan potensi tegakan mangrove pada kawasan hutan
lindung yang semakin berkurang, masyarakat pengrajin arang pun pada akhirnya
melakukan pengambilan kayu mangrove di areal kerja PT. Kandelia Alam.
Departemen Kehutanan melalui LPP Mangrove pernah merealisasikan
proyek pengembangan pengelolaan hutan produksi oleh masyarakat di Batu
Ampar. LPP Mangrove melakukan kajian studi kelayakan pengelolaan hutan
mangrove oleh masyarakat sejak tahun 1997 dan melakukan fasilitasi dari tahun
1999 hingga 2008. Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya dengan

3
membentuk Koperasi Panter yang terkait langsung dengan pengelolaan hutan
mangrove untuk bahan baku arang secara berkelanjutan dengan areal mangrove
yang diuji coba seluas 6 000 ha. Koperasi yang beranggotakan para produsen
arang dan nelayan ini bertujuan untuk meningkatkan saluran pasar dan harga serta
memberi legalitas bagi areal penebangan mangrove dan aktivitas produksi arang
bakau. Selama beroperasi, koperasi ini berhasil memutus ketergantungan para
pengrajin arang terhadap cukong arang di Kecamatan Batu Ampar. Namun
kondisi ini tidak berlangsung lama terutama setelah kepemimpinan koperasi
berganti ke pengurus yang baru. Beberapa faktor lain, seperti status kawasan,
kredit macet, lemahnya aturan internal koperasi, hingga faktor politik,
menyebabkan koperasi ini tidak cukup kuat untuk bertahan. Koperasi Panter
mengalami kehilangan banyak anggota dan stagnan hingga sekarang.
Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat
diindikasi telah menyebabkan kerusakan hutan mangrove dan berkurangnya
potensi bahan baku arang bakau di Kecamatan Batu Ampar. Kondisi ini
menunjukkan bahwa pengelolaan hutan mangrove di wilayah ini belum
mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Kelestarian sumberdaya hutan,
meliputi hutan mangrove dan kayunya, merupakan prinsip dalam pengelolaan
hutan lestari yang menjadi target pembangunan kehutanan berkelanjutan (Natural
Resources Development Centre 2013).
PP 6 Tahun 2007 beserta beberapa aturan turunannya terkait kebijakan
pemanfaatan hasil hutan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) hingga saat ini ternyata belum juga mengakomodir kepentingan
masyarakat pengrajin arang di Kecamatan Batu Ampar. Hal ini melatarbelakangi
pentingnya penelitian ini dilakukan untuk menemukan dan merumuskan kembali
masalah kebijakan serta menentukan alternatif model kebijakan yang terbaik bagi
pemerintah dan masyarakat pengrajin arang di Kecamatan Batu Ampar.

Perumusan Masalah
Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di
Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, menghadapi permasalahan
karena tergolong illegal. Selain status hutan yang dimanfaatkan yaitu hutan
lindung, kegiatan ini juga diindikasi telah mengakibatkan terjadinya penurunan
sumberdaya hutan mangrove, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.
Berkurangnya potensi mangrove pada areal bekas pengambilan bahan baku arang
menyebabkan aktivitas masyarakat ini kemudian meluas hingga ke areal
perusahaan PT. Kandelia Alam yang beroperasi pada sebagian wilayah hutan
produksi di Kecamatan Batu Ampar. Berbeda dengan PT. Kandelia Alam, areal
konsesi PT Bios masih aman dari eksploitasi oleh masyarakat karena lokasinya
yang jauh dari permukiman dan membutuhkan transportasi air yang tergolong
mahal.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, diantaranya
mengatur pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat pada hutan produksi yang
dapat diterapkan, baik di hutan alam maupun di hutan tanaman. Ijin pemanfaatan

4
hutan produksi oleh masyarakat dapat diberikan dalam bentuk IUPHHK pada
Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK pada HTR) (PP 6/2007 Pasal 67 ayat (5)).
Selanjutnya PP 6/2007 pasal 84 juga mengatur pemanfaatan hutan mangrove oleh
masyarakat melalui tiga skema pemberdayaan masyarakat, yaitu Hutan Desa (HD),
Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Kemitraan. Pada kawasan hutan lindung,
pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu (PP
6/2007 Pasal 23). Pemungutan hasil hutan bukan kayu di hutan lindung antara lain
berupa pemanfaatan rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang burung walet,
yang hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan (PP 6/2007 Pasal 26
ayat 1 dan 3).
Konsep akses menurut Ribot and Peluso (2003) adalah “kemampuan untuk
memperoleh manfaat dari sesuatu”, merupakan pengembangan dari definisi klasik
tentang kepemilikan sebagai hak terhadap manfaat dari sesuatu. Berdasarkan
definisi ini, akses lebih berhubungan dengan “bundle of powers” dibanding
“bundle of rights”. Mengacu pada teori ini, untuk pemenuhan kebutuhan bahan
baku arang bakau, masyarakat pengrajin arang di Batu Ampar saat ini melakukan
illegal access terhadap hutan mangrove, baik di kawasan hutan produksi maupun
di kawasan hutan lindung.
Kebijakan Pemerintah melalui PP 6/2007 telah membuka peluang
pemanfataan hasil hutan kayu pada hutan produksi mangrove oleh masyarakat di
Kecamatan Batu Ampar melalui skema HTR, HD, HKm, atau Kemitraan antara
masyarakat dengan perusahaan. Namun kenyataannya, masyarakat di kecamatan
ini sulit memperoleh ijin pemanfataan atas keempat alternatif skema pemanfaatan
tersebut. Proses produksi arang secara illegal terus berlangsung dan sulit
dihentikan. Kondisi ini mengindikasikan gagalnya suatu produk kebijakan
Pemerintah pada tataran implementasinya di lapangan. Dengan kata lain, kondisi
ini juga dapat dikatakan sebagai model kebijakan pemanfaatan hutan mangrove
saat ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa penyebab atau hambatan bagi masyarakat sehingga belum/tidak
memanfaatkan peluang pemanfaatan hasil hutan kayu dalam bentuk HTR,
Hutan Desa dan HKm.
2. Apa penyebab atau hambatan implementasi kebijakan sehingga tidak terjadi
kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat.
3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat masih tetap melakukan
illegal access, baik di hutan lindung maupun di hutan konsesi, terkait
pengambilan kayu mangrove untuk bahan baku arang.
4. Siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan pemanfaatan hutan mangrove
untuk bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.
5. Aturan apa yang berlaku (rule in use) di kalangan masyarakat pengrajin arang
bakau dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh
masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah seperti tersebut di atas, tujuan umum
penelitian ini adalah untuk membuat rekayasa model kebijakan pengelolaan
pemanfaatan hutan mangrove berkelanjutan sebagai bahan baku arang oleh
masyarakat di Kecamatan Batu Ampar. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menganalisis hambatan implementasi pemanfaatan mangrove sebagai bahan
baku arang oleh masyarakat melalui HTR, Hutan Desa, dan HKm.
2. Menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan mangrove
sebagai bahan baku arang oleh masyarakat melalui kemitraan kehutanan.
3. Menganalisis faktor-faktor penyebab masyarakat masih melakukan illegal
access dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh
masyarakat .
4. Mengidentifikasi dan memetakan stakeholders dalam pemanfaatan mangrove
sebagai bahan baku arang oleh masyarakat.
5. Menganalisis rule in use masyarakat pengrajin arang bakau dalam
pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di
Kecamatan Batu Ampar.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil
kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, dalam merevisi kebijakan khususnya
yang menyangkut masalah kelembagaan pemanfaatan mangrove sebagai bahan
baku arang oleh masyarakat. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi bahan rujukan bagi peneliti berikutnya, terutama mereka yang fokus pada
kajian kebijakan atau kelembagaan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove
oleh masyarakat serta topik-topik penelitian lainnya yang relevan.

Kerangka Pemikiran
Konsep pembangunan berkelanjutan yang diintegrasikan ke dalam
pengelolaan hutan mangrove memberi pemahaman bahwa upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara ekonomi tidak boleh mengabaikan aspek
kelestarian sosial serta kelestarian sumberdaya hutannya. Demikian pula
pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber bahan baku arang di Kecamatan
Batu Ampar. Berdasarkan data Bappeda (2011), sebagian hutan mangrove di
kawasan hutan lindung saat ini berada dalam kondisi rusak. Kondisi ini terutama
disebabkan oleh aktivitas penebangan kayu mangrove sebagai bahan baku arang
oleh masyarakat. Di sisi lain, potensi hutan mangrove dalam kawasan hutan
produksi masih relatif baik. Sebagian dari hutan produksi ini merupakan wilayah
konsesi yang dikelola oleh perusahaan PT. Kandelia Alam sebagai sumber bahan
baku chip ekspor. Sisanya merupakan hutan produksi mangrove milik negara yang
belum dibebani hak pemanfaatannya.
Rusaknya hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar akibat
pengambilan kayu mangrove untuk pemenuhan kebutuhan arang bakau terus
terjadi dan telah berlangsung turun temurun sejak tahun 1906. Kebijakan

6
penunjukan kawasan hutan dan perairan melalui SK Menhut 259/Kpts-II/2000
pada kenyataannya tidak mampu melindungi hutan lindung mangrove dari
kerusakan terutama akibat aktivitas produksi arang bakau.
Keluarnya kebijakan Pemerintah melalui PP 6/2007 jo PP 3/2008 dan
peraturan turunannya telah membuka peluang pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove oleh masyarakat di hutan produksi. Terdapat 4 skema pemanfaatan
hasil hutan di kawasan hutan produksi yang disediakan oleh pemerintah untuk
masyarakat yaitu HTR, HD, HKm, dan Kemitraan Kehutanan antara masyarakat
dengan perusahaan. Namun keempat skema ini belum dimanfaatkan oleh
masyarakat pengrajin arang bakau di Kecamatan Batu Ampar. Hal ini
mengindikasikan adanya kegagalan implementasi kebijakan di tingkat lapangan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini diduga
terkait dengan masalah kebijakan. Kebijakan yang telah disediakan oleh
Pemerintah belum menjadi solusi bagi praktek illegal pemanfaatan mangrove
sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Batu Ampar. Masyarakat di wilayah
kecamatan ini masih tetap melakukan illegal access berupa pengambilan kayu
mangrove di kawasan hutan lindung. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis kebijakan dan pengembangan
kelembagaan formal terkait aturan-aturan yang berlaku (rule in use) di kalangan
masyarakat pengrajin arang saat ini serta berbagai faktor yang mempengaruhi
keputusan masyarakat dalam melakukan aktivitas tersebut.
Kajian penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab atau
hambatan bagi masyarakat dalam memanfaatkan peluang pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove untuk bahan baku arang melalui skema HTR, HD,
HKm, maupun kemitraan. Identifikasi dan analisis juga dilakukan untuk
menemukan faktor-faktor penyebab illegal access dan rule in use yang digunakan
oleh pengrajin arang di Kecamatan Batu Ampar. Semua kajian ini terkait dengan
aspek kelembagaan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove oleh masyarakat di
Kecamatan Batu Ampar. Hubungan antar aktor serta hubungan antara aktor
dengan sumberdaya alam dikaji secara mendalam. Keduanya dianalisis
berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dalam
pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat.
Keseluruhan temuan, berupa hasil identifikasi dan analisis pada berbagai
aspek di atas, selanjutnya disintesis untuk membuat rekayasa model kebijakan
dengan pendekatan Teori Rasional-Komprehensif. Pendekatan ini dimulai dengan
analisis perumusan masalah kebijakan berdasarkan tinjauan 3 aspek terhadap
keseluruhan temuan. Ketiga aspek tersebut meliputi: (1) isi kebijakan, (2)
pengawal aturan, dan (3) respon masyarakat terhadap kebijakan yang ada saat ini.
Hasil rumusan masalah kebijakan ini menjadi dasar dalam rekayasa model
kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di
Kecamatan Batu Ampar (Gambar 1).

7
TEORI
PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN HUTAN
MANGROVE DI KEC. BATU
AMPAR

Pemanfaatan hutan lindung
mangrove sebagai bahan baku
arang terus berlangsung sampai
saat ini

FAKTA:
Hutan rusak

KEBIJAKAN:
- SK Menhutbun 259/KptsII/2000
- Pemanfaatan pada Hutan
Produksi:
o PP 06/2007 jo PP
3/2008
o Permenhut P.55/2011
jo P.31/2013 (HTR)
o Permenhut P.89/2014
(HD)
o Permenhut P.88/2014
(HKm)
o Permenhut P.39/2013
(Kemitraan Kehutanan)

INDIKASI KEGAGALAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN:

Masyarakat belum/tidak
memanfaatkan peluang PP
6/2007: HTR, Hutan Desa,
HKm, Kemitraan.

Stakeholders

- Penyebab illegal

access?
- Rule in use

Analisis
stakeholders

Penyebab/hambatan
HTR, Hutan Desa,
HKm?

Penyebab/hambatan
Kemitraan antara
masyarakat dengan
perusahaan?

Teori Akses;
Identifikasi aturan
FAKTOR-FAKTOR ILLEGAL
ACCESS DAN RULE IN USE

TINGKAT KEPENTINGAN DAN
PENGARUH STAKEHOLDERS

Analisis faktor
penghambat
FAKTOR PENGHAMBAT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Analisis dan Sintesis Data
-

Isi kebijakan
Pengawal aturan
Respon Masyarakat

Rasional
Komprehensif
Perumusan Masalah
Kebijakan

PEST Analysis

Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai
Bahan Baku Arang oleh Masyarakat

Gambar 1 Kerangka pemikiran

8
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji berbagai aspek kelembagaan
pengelolaan hutan mangrove, di antaranya diuraikan sebagai berikut.
1. Hasan (2004) mengkaji peran partisipasi kelembagaan partisipatif dan nonpartisipatif dalam pelestarian ekosistem hutan mangrove, keterkaitan antar
lembaga partisipatif, dan kondisi sosial, ekonomi dan pengetahuan masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan mangrove. Pengembangan
kelembagaan partisipatif melalui konsep co-management dalam melestarikan
ekosistem mangrove diarahkan terutama pada peningkatan partisipasi dan
persepsi masyarakat, penguatan fungsi dan peranan lembaga formal dan
informal, serta struktur organisasi.
2. Suhaeri (2005) mengkaji peran peraturan yang berpengaruh terhadap
kerusakan hutan mangrove, peran kepastian hak kepemilikan dalam
mengendalikan kerusakan hutan mangrove, serta merumuskan model
penentuan skala ekonomi lahan garapan pada pemanfaatan hutan mangrove.
Hasilnya menemukan bahwa institusi yang dapat mengendalikan kerusakan
hutan mangrove adalah kontrak yang sistematika penciptaan hingga
penghapusannya memberikan kepastian hak dan telah memperhitungkan biaya
lingkungan serta pilihan masyarakat di dalam proses pengalokasian
manfaatnya. Hak kepemilikan yang diterapkan dalam pengelolaan hutan
mangrove tidak memberi kepastian hak penguasaan lahan garapan sehingga
tidak mampu mengendalikan kerusakan, bahkan memberikan insentif
terciptanya kebebasan akses. Alokasi lahan garapan yang melebihi skala
ekonomi manfaat optimal akan mengurangi kesejahteraan masyarakat lainnya,
sehingga merupakan kebijakan yang kurang berkeadilan serta tidak sesuai
dengan asas konsep pemilikan sumberdaya alam milik negara.
3. Penelitian Parawansa (2007) tentang kebijakan dan strategi pengelolaan hutan
mangrove berkelanjutan di Teluk Jakarta. Permasalahan pengelolaan hutan
mangrove di Muara Angke, Muara Gembong dan Teluk Naga meliputi
degradasi hutan mangrove, permasalahan sosial ekonomi, konflik pemanfaatan
dan alih fungsi lahan. Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan degan
pendekatan Participatory rural appraisal (PRA) dengan melibatkan
masyarakat di tiga lokasi penelitian. Melalui wawancara mendalam dan
penjaringan aspirasi, informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan
keterlibatan, kepentingan, pengetahuan dan kebutuhan terhadap hutan
mangrove. Penentuan kebijakan dilakukan dengan AHP secara partisipatif.
Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP ini dilakukan secara rasional
persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur
(intangible) ke dalam aturan yang biasa sehingga dapat dibandingkan.
Hasilnya menunjukkan bahwa aktor yang paling berperan dalam penentuan
kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah pemerintah
dan pemerintah daerah. Kebijakan pemberdayaan masyarakat menjadi
prioritas terpenting sebagai alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove
di Teluk Jakarta, diikuti penerapan teknologi, pengelolaan terpadu, penguatan
kelembagaan dan penegakan hukum.

9
4. Penelitian Pattimahu (2010) tentang keberlanjutan pengelolaan hutan
mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Penelitian ini menilai ketiga
dimensi keberlanjutan menggunakan analisis Rap-Mforest. Hasilnya
menunjukkan status pengelolaan ekosistem hutan mangrove kawasan ini
kurang berkelanjutan. Perbaikan terhadap 7 indikator, yaitu: (1) perubahan
keragaman habitat, (2) struktur relung komunitas, (3) hasil inventarisasi
pemanfaatan mangrove, (4) zonasi pemanfaatan lahan mangrove, (5)
keterlibatan stakeholders, (6) kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat
dan (7) akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove, perlu dilakukan
untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan
mangrove. Analisis prioritas kebijakan menggunakan AHP menghasilkan
kebijakan konservasi sebagai prioritas utama dalam pengelolaan hutan
mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Barat, Maluku.
5. Gumilar (2012) mengkaji persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pelestarian ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Indramayu. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai
persepsi bahwa mangrove tidak memiliki manfaat penting bagi kegiatan
tambak; penegakan hukum lingkungan dinilai masih sangat kurang memadai;
dan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan cenderung
mengalami penurunan.
6. Schaduw (2012) mengkaji pola pengelolaan ekosistem mangrove yang
mengakomodir seluruh kepentingan dan permasalahan yang ada di PPK
Taman Nasional Bunaken dalam bentuk pengelolaan kolaboratif yang
melibatkan seluruh stakeholders sebagai pengelola dengan memperbaiki
fungsi kontrol terhadap semua kegiatan pengelolaan yang ada. Penelitian ini
merumuskan pengelolaan ekosistem terpadu dan berkelanjutan dengan
menggunakan pendekatan analisis stakeholders yang bertujuan untuk
menyelesaikan konflik antar stakeholders kawasan ini. Pendekatan
penyelesaian masalah menggunakan Multi Criteria Decision Making Analysis
(MCDMA).
Beberapa penelitian yang dikemukakan di atas mengkaji upaya
pengendalian, pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove secara lestari dan
berkelanjutan. Secara umum konteks pengendalian, pelestarian dan pengelolaan
secara berkelanjutan masih berkaitan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian
ini. Namun secara spesifik, telaah terhadap isi kajian dalam beberapa penelitian
tersebut menunjukkan bahwa data, metode penelitian serta kesimpulan yang
dihasilkan belum dapat menjawab permasalahan pemanfaatan mangrove sebagai
bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

Kebaruan (Novelty) Penelitian
Upaya penyelesaian permasalahan dalam pemanfaatan hutan mangrove
sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar sampai saat
ini masih sulit menemukan solusi. Model kebijakan yang ada saat ini diduga
belum merupakan solusi kebijakan yang tepat sehingga perlu dikaji kembali untuk
menemukan masalah kebijakan yang akan digunakan untuk merumuskan model
kebijakan yang baru.

10
Penelitian ini telah menemukan m