BHINNEKA TUNGGAL IKA, WUJUD NASIONALISME INDONESIA SEBAGAI BENTUK UNITY IN DIVERSITY DI MATA DUNIA

Bhinneka Tunggal Ika, Wujud Nasionalisme Indonesia sebagai
Bentuk Unity in Diversity di Mata Dunia
Andi Sitti Rohadatul Aisy
Universitas Hasanuddin
“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada
pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata
timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak
boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu.
Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy
atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan
manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu
sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya,
maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada
segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno,
1964). Demikian nasionalis dituturkan oleh tokoh Founding Father bangsa, Ir
Soekarno.
Nasionalisme diartikan sebagai ajaran untuk mencintai bangsa dan negara,
serta kesadaran bangsa untuk mengabadikan identitas, integritas, dan kekuatan
bangsa berupa semangat kebangsaan (Kirbiantoro, 2006), nasionalisme dapat
disebut sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan
sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk

sekelompok manusia. Dalam sebuah hubungan internasional, terjadi interaksi
internasional yang dilakukan oleh banyak aktor dari bermacam bangsa dan negara,
perbedaan bangsa dan negara tersebutlah yang melahirkan nasionalisme bagi
masing-masing aktor, yang mana nasionalisme tersebut menjadi hal penting yang
harus dipertahankan oleh para aktor sebab dianggap sebagai identitas yang
membedakan aktor satu dengan yang lain, aktor yang tidak mampu menjaga
nasionalismenya dengan baik, tidak akan mampu bertahan lama dalam interaksi
internasionalnya.
Di Indonesia, wujud dari nasionalisme adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia yang berasal dari

1

buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular pada jaman Keprabonan
Majapahit (abad 14) yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin
Sutasoma. Dalam kitab itu tertulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan
Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Pupuh
139: 5), dengan terjemahan, “Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa
itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali

perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha
dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun
hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal
ika tan Hana Dharma Mangrwa)”. Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna
yang lalu diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada lambang Negara Republik
Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila dan Pancasila yang dituangkan dalam
sila ketiga, yakni “Persatuan Indonesia” yang merupakan landasan hukum dalam
hal integrasi bangsa dan negara, sehingga Bhinneka Tunggal Ika dapat dikatakan
sebagai “mantra sakti” dan spirit survivalitas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Persoalannya adalah bagaimana mengaktualisasikan Bhinneka Tunggal
Ika sebagai kekuatan nyata dalam konsep unity in diversity di mata dunia?
Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada 17 Agustus 1954 mengingatkan pentingnya memahami
kemajemukan budaya yang menjadi ciri bangsa Indonesia. “Ingat kita ini bukan
dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama. Bhinneka Tunggal
Ika, berbeda tapi satu, demikianlah tertulis di lambang negara kita, dan tekanan
kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita
ini bhinna, kita ini berbeda-beda …” (Kompas, 4 Maret 2001: 31, dalam
Rahardjo). Dalam konteks membangun masa depan Indonesia, implementasi

kebijakan yang diderivasi dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika adalah bagaimana
menjadikan ragam kekayaan tradisi dan adat-istiadat bangsa-bangsa di Indonesia
sebagai sebuah jalinan serat-serat budaya Indonesia yang kukuh dan kuat. Jika
diandaikan secara fisik, pertumbuhan pada setiap tahap akan terjadi transformasi
dalam bentuk baru, dalam transformasi fisik itu harus ditujukan untuk

2

menumbuhkan pohon yang tegak dan kuat, tercabutnya akar-akar sebatang pohon
akan berdampak pada robohnya pohon sehingga pohon tidak lagi dapat disebut
pohon, melainkan hanya onggokan kayu (Sultan Hamengku Buwono X, :102).
Walaupun Indonesia menurut Van Volenholen (dalam Holleman, 1981) terdiri
dari 19 hukum adat, tetapi pada dasarnya Indonesia terdiri dari ratusan suku
bangsa yang bermukim di wilayah yang tersebar dalam ratusan pulau yang ada di
Inonesia.
Mengenai kekayaan tradisi dan kebudayaan, strategi kebudayaan
mengandung dua aspek penting bgaikan dua sisi mata uang (Garin Nugroho,
2004), yang pertama, menunjukkan strategi pengelolaan cara bangsa itu bereaksi,
berperilaku, bertindak, dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa, dan
yang kedua, strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi

dasar dalam proses membangsa itu, seperti nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan,
profesionalisme, etika, kerja keras, toleransi, cinta tanah air, dan lain sebagainya.
Strategi kebudayaan mensyaratkan kemampuan menghidupkan filosofi Bhinneka
Tunggal Ika ke dalam berbagai aspek; dalam bidang hukum, filosofi Bhinneka
Tunggal Ika melahirkan sistem hukum yang berkeadilan, dalam manajemen
negara, dijabarkan bagaimana program kerja agar secara sosiologis hidup dan
bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dan dalam hubungan antar
warga negara, filosofi itu tercermin pada hidupnya nilai-nilai kewarganegaraan
dalam kebijaksanaan praktis setiap warga negara. Strategi kebudayaan itu
bertujuan agar seluruh kekayaan kultural etnis di nusantara ini dapat terjalin
dalam serat-serat kebudayaan, yang membentuk batang tubuh kebudayaan
Indonesia yang kokoh dan kukuh.
Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama dan sebagainya, Indonesia termasuk
salah satu negara yang paling majemuk di dunia, kekayaan budaya ini merupakan
daya tarik tersendiri dan potensi yang besar untuk pariwisata serta bahan kajian
bagi banyak ilmuwan untuk memperluas pengetahuan dan wawasan. Hal yang
utama ialah adanya kesadaran dan rasa bangga akan kebudayaan yang kita miliki
serta bagaimana dapat memperkuat budaya nasional, sehingga kesatuan kesadaran
atau nation bahwa kebudayaan yang berkembang adalah aset berharga sebuah
negara,


sehingga

pada

akhirnya

dapat

3

memperkuat

integrasi

bangsa.

Keanekaragaman budaya dan adat-istiadat juga tercermin dari kanekaragaman
seni dan kuliner bangsa Indonesia, setiap daerah tentu memiliki kuliner khas
tersendiri, yang jika ditelisik, lahir dari format sosial dan kebudayaan masingmasing. Semua itu adalah menjadi gambarn riil mengenai ke-bhinneka-an

Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai wujud nasionalisme juga dipandang sebagai
hal yang menakjubkan di kancah internasional. Terlansir pada laman Media
Online Berita Satu dan Detik News, Presiden Hongaria, Janos Ader mengagumi
budaya dan etnis Indonesia yang beranekaragam. "Kami tahu di Indonesia ada
Bhinneka Tunggal Ika dan kami kagumi itu," kata Ader pada jamuan makan
malam dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 6 Maret 2013.
Ader, yang sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri sebelum terpilih
sebagai presiden pada Mei 2012, menunjukkan rasa salutnya bahwa walaupun
Indonesia beraneka ragam dalam suku, ras, agama, dan golongan, Indonesia tetap
hidup rukun dan warganya bisa hidup berdampingan secara damai.
Pengakuan demikian juga datang dari Presiden Italia, Sergio Mattarela
pada kunjungannya yang pertama kali di Indonesia November 2015 lalu. Dalam
sambutannya, ia memuji semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dinilainya jadi
contoh sangat baik bagi dunia. "Saya juga telah memberikan penghargaan
setinggi-tingginya atas kehidupan yang sangat harmonis, yang ada di Indonesia,
sebagai contoh dari kehidupan yang sangat harmonis antar umat beragama yang
berbeda-beda yang ada di Indonesia. Sesuai dengan motto nasional, atau
semboyan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika merupakan contoh yang sangat baik,
yang diberikan oleh Indonesia kepada dunia," tutur Mattarela. Selain itu,

semboyan nasional Indonesia Bhinneka Tunggal Ika dipilih menjadi tema
penyelenggaraan

Konferensi

Internasional

United

Nations

Alliance

of

Civilizations (UNAOC) 2014 yang diselenggarakan di Bali. Konferensi ini
ditujukan untuk ajang berbagi pengalaman dalam membicarakan pluralisme.
Beberapa pandangan dunia telah membuktikan bahwa betapa luar biasanya
Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah wujud nasionalisme di Indonesia.
Oleh karena itu, tugas semua elemen bangsa ini adalah mengejawantahkan

Bhinneka Tunggal Ika menjadi ideologi yang hidup, tidak hanya sebatas slogan

4

pemanis bibir, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam kebijakan publik, dan dalam
kehidupan di ruang publik. Identitas bangsa Indonesia yang dikenal dunia sebagai
bangsa yang ramah-tamah, toleran, kaya akan tradisi dari suku-suku bangsa yang
Bhinneka perlu terus dikembangkan untuk kebudayaan dan perdamaian seluruh
umat manusia. Spirit Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu harus dimaknai
dalam saling mendorong pada kemajuan, kemakmuran, dan kesejahtraan antar
sesama putra dan putri bangsa terlepas apa pun latar belakang etnis, suku, agama,
dan budaya. Pada akhirnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi
senjata yang ampuh untuk mewujudkan unity in diversity tak hanya di bumi
pertiwi Indonesia, tapi juga di seluruh belahan dunia.

5

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal :

Holleman, J.F. 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Kirbiantoro. 2006. Pergulatan Ideologi Partai Politik Indonesia. Jakarta: PT Citra
Mandala Pratama.
Nugroho, G. 2004. And The Moon Dances: The Films of Garin. Jakarta: Bentang.
Rahardjo, T. “Memahami Sifat Multikultur Masyarakat Indonesia (Perspektif
komunikasi Antar Budaya)”. Seminar Dies Natalis UNDIP. FISIP UNDIP.
Semarang. 7 Oktober 2004.
Soekarno. 1964. Di bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah
Bendera Revolusi.
Tantular, M . 2009. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti
dan Hastho Bramantyo.
X, Sultan Hamengku Buwono. 2007. Merajut Kembali KEINDONESIAAN KITA.
Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Media Online:
Dorimulu, P. 2013. Presiden Ader Kagumi Bhinneka Tunggal Ika. Berita Satu
(Online) diakses melalui http://www.beritasatu.com/eropa/100752-presidenader-kagumi-bhineka-tunggal-ika.html pada 01 Maret, pukul 13:00 WITA.
Nugroho, B.P. 2015. Presiden Italia: Bhinneka Tunggal Ika Contoh Sangat Baik
dari


RI

untuk

Dunia.

DetikNews

(Online)

diakses

melalui

http://news.detik.com/berita/3066310/presiden-italia-bhinneka-tunggal-ikacontoh-sangat-baik-dari-ri-untuk-dunia pada 02 Maret 2016, pukul 01: 38
WITA.

6

Tuwo, A.G. 2014. Bhinneka Tunggal Ika Jadi Tema Konferensi Internasional.

OkeZone

News

(Online)

diakses

melalui

http://news.okezone.com/read/2014/06/06/411/995081/bhinneka-tunggalika-jadi-tema-konferensi-internasional pada 01 Maret 2016, pukul 09:00
WITA.

7