Dekonstruksi Realitas Sosial Kesatuan Akuntansi dengan Pendekatan Filsafat Jawa Tuna Satak Bathi Sanak

Kode/Rumpun Ilmu: 562/Akuntansi

LAPORAN AKHIR
HIBAH DISERTASI DOKTOR

Dekonstruksi Realitas Sosial Kesatuan Akuntansi dengan Pendekatan Filsafat
Jawa Tuna Satak Bathi Sanak

Oleh:
Zulfikar, SE., M.Si.
06-0112-7202
dibiayai oleh:
Koordinasi Perguruan Tinggi Wilayah VI, Kemendikbud RI,
sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah
Penelitian Nomor: 008/K6/KL/SP/2013,
Tanggal 16 Mei 2013

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
DESEMBER 2013

RINGKASAN

Kesatuan akuntansi di samping sebagai abstraksi dari lingkungan bisnis modern
menciptakan realitas konflik perbuatan hukum dan ekonomi dan konflik antara
manajemen dan pemilik. Menurut sudut pandang kesatuan akuntansi, konflik-jawab
perusahaan bukan pe ilik. ko disi terse ut erpote si di a faatka oleh pe ilik
sebagai alat untuk memaksimalkan kesejahteraannya. Dengan dalih perbuatan
hukum, pemilik dapat beralibi untuk menghindar dari konflik yang dihadapi
perusahaan. Sudut pandang lain menyatakan bahwa manajemen harus
bertanggungjawab atas ekuitas pemilik. Pemilik
berupaya memaksimalkan
kesejahteraannya melalui kontrol terhadap ekuitasnya. Sementara manajemen juga
memiliki kesempatan untuk meningkatkan utilitasnya melalui kendali perusahaan
yang diamanatkan kepadanya. Kondisi ini mengandung konflik antara keinginan
pemilik dan manajemen, atau biasa disebut konflik keagenan.
Penelitian ini mencoba untuk membaca kembali realitas sosial kesatuan
akuntansi merefleksikannya dengan nilai kearifan filsafat Jawa tuna satak bathi
sanak. Filsafat tuna satak bathi sanak mengandung makna intrinsik dan ekstrinsik
yang mencita-citakan kehidupan yang harmoni dan tatatentrem. Senada dengan hal
tersebut, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk merumuskan konsep
kesatuan akuntansi yang berbasis pada filsafat tuna satak bathi sanak
Dalam penelitian ini metoda yang digunakan untuk membumikan konsep

harmoni dan tatatentrem ke dalam realitas sosial kesatuan akuntansi adalah model
berpikir Jawa. Model ini akan digunakan untuk mengoperasionalisasikan filsafat tuna
satak bathi sanak melalui mitologi wayang yang tokoh sentralnya adalah lakon
Semar. Dalam mitologi wayang, lakon Semar hadir dalam rangka mendekonstruksi
logosentrisme kerajawian dan tradisi Jawa. Menurut lakon Semar kerajawian dan
tradisi Jawa dapat disatukan menjadi sebuah cita-cita ideal tertinggi—manunggaling
kawula-Gusti. Dengan sintesis Semar, penelitian ini akan merumuskan konsep
harmoni dalam kesatuan akuntansi yang merujuk pada menyatunya raja dengan
Gusti dan merumuskan konsep tatatentrem ke dalam konsep kesatuan akuntansi
yang merujuk pada menyatunya rakyat, raja, dan Gusti.
Hasil penelitian ini sengaja dibingkai dengan menggunakan peribahasa Jawa:
tinggal glanggang colong playu . Arti a e i ggalka arena diam-diam melarikan
diri. Tujuannya untuk melihat praktik yang dilakukan oleh pemilik atau pemegang
saham di balik konsep kesatuan usaha. Hasil penelitian ini berdasarkan uraian
pandangan idealis akuntan (akuntan pendidik, akuntan publik dan akuntan
a aje e terhadap perilaku u i ta ga pe ilik u tuk e ghidari pro le
bisnis yang tidak menguntungkan. Berdasarkan analisis terhadap pandangan idealis
ditemukan pemahaman bahwa konsep kesatuan usaha yang didukung secara
administrasi (sebagai praktik yang sehat) dan yuridis (UU No. 40/2007) tidak sematamata memberi peluang bagi pemilik untuk beritikad tidak baik.


Pemilik atau pemegang saham adalah pihak yang memberikan amanah kepada
manajemen untuk mengelola bisnis perusahaan. Tanggung jawab perusahaan ada di
pihak manajemen. Berdasarkan konsep itu manajemen bertanggung jawab
sepenuhnya atas problematika yang dihadapi perusahaan. Hasil analisis penelitian
ini mengisyaratkan bahwa konsep kesatuan usaha tidak cukup hanya didukung
secara legitimasi melalui sistem administrasi dan yuridis. Konsep kesatuan usaha
juga perlu didukung oleh etika/moral bisnis baik manajemen maupun pemilik atau
pemegang saham.
Aset yang dimiliki perusahaan dalam konteks tinggal glanggang colong playu
selalu identik dengan pemenuhan modal kerja. Perusahaan akan senantiasa
membesarkan nilai aset tersebut agar dapat menghasilkan keuntungan materi yang
besar pula. Dari sudut pandang pemegang saham atau pemilik cara yang
dilakukannya adalah dengan berinvestasi yang sebesar-besarnya bagi aset yang
berfungsi sebagai modal kerja. Kemudian mendorong kepada manajemen untuk
mengoptimalkan upayanya yang tidak lain adalah maksimalisasi keuntungan.
Sedangkan dalam konteks moral pemegang saham atau pemilik harus sadar
bahwa aset-aset yang mereka tanamkan di perusahaan memerlukan perlindungan.
Mereka harus menyadari bahwa baik langsung maupun tidak langsung masyarakat
dan lingkungan tempat di mana perusahaan melakukan kegiatan bisnis sangat
ramah menerima kehadiran perusahaan. Dengan demikian terdapat opportunity

cost a g harus dikeluarka u tuk e ia ai kos lokasi di a a perusahaa
melakukan kegiatan bisnis selalu berhadapan dengan lingkungan yang di dalamnya
terdapat masyarakat yang melindungi aset perusahaan baik langsung maupun tidak
langsung.

DAFTAR ISI
halaman

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
RINGKASAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................
B. Permasalahan.........................................................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
A. Studi Akuntansi dan Budaya Lokal.......................................................

B. Studi Akuntansi dan Budaya Jawa.......................................................
C. Roadmap Penelitian.............................................................................
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN......................................................
A. Tujuan..................................................................................................
B. Manfaat Penelitian..............................................................................
BAB IV METODA PENELITIAN..............................................................................
A. Reabilitas dan Rasionalitas Penelitian dengan Pendekatan Kualitatif
B. Setting Penelitian................................................................................
C. Proses Pengumpulan Data .................................................................
D. Analisis Data.......................................................................................
BAB V
HASIL YANG DICAPAI..............................................................................
A. Pengantar...........................................................................................
B. Kesatuan Usaha dan Penalaran Logis................................................
C. Definisi Operasional Kesatuan Akuntansi..........................................
D. Implikasi kesatuan Usaha menurut Akuntan.....................................
E. Upaya Mengedepankan Moral Bisnis: Harapan Informan................
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

i
ii

iii
1
1
11
13
13
17
19
20
20
20
22
22
25
25

27
30
30
31
37
40
46
53
53
54

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut sudut pandang kesatuan akuntansi, badan usaha dipersonifikasikan seperti
layaknya manusia yang mampu bertindak atas namanya sendiri baik dalam hukum,
ekonomi maupun bertanggungjawab kepada pemilik. Personifikasi seperti layaknya
manusia berarti akan terdapat dua bentuk perilaku, yaitu perilaku yang mengarah
pada perbuatan taat hukum atau perilaku yang mengarah pada perbuatan

pelanggaran hukum. Dikatakan sebagai perbuatan taat hukum biasanya karena
perbuatan tersebut dilakukan sesuai dengan norma-norma, adat-istiadat, atau
peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu wilayah tertentu. Perbuatan taat
hukum adalah merupakan cita-cita ideal bagi setiap manusia karena akan
bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Senada dengan hal tersebut,
cita-cita ideal sebuah perusahaan adalah mengarah-kan individu-individu yang
terlibat di dalamnya untuk berperilaku taat hukum demi kepentingan bersama yang
pada akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan yang dapat didistribusikan secara
adil kepada semua pihak yang memilik kepentingan.
Sebaliknya perilaku yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum bisa
terjadi pada siapa saja. Dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum karena
perbuatan tersebut dianggap melanggar norma-norma, adat-istiadat, atau
peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu wilayah tertentu. Jika berdasarkan
fakta hukum benar-benar terjadi pelanggaran terhadap norma-norma, adat-istiadat,
atau peraturan-peraturan setempat, diperlukan upaya penegak hukum untuk
membuat efek jera pelakunya dengan cara memberi ganjaran yang sesuai dengan
perbuatannya. Menurut sudut pandang hukum yang berlaku secara umum

menyatakan bahwa setiap pelanggaran hukum yang dilakukan individu atau
kelompok berdasarkan fakta hukum tidak dapat dibebankan kepada pihak individu

atau kelompok lain. Senada dengan hal tersebut pelanggaran hukum yang dilakukan
perusahaan berdasarkan fakta hukum, akan diberi ganjaran yang setimpal untuk
menimbulkan efek jera di mana hukuman tersebut tidak bisa dibebankan kepada
pihak lain (pemilik, investor).
Dalam menjalankan aktivitas bisnisnya perusahaan tidak akan luput dari
potensi menghadapi konflik hukum tersebut. Konflik hukum dapat berpotensi terjadi
pada lingkup internal (misalnya: pelanggaran terhadap hak-hak buruh, penggelapan
uang

perusahaan)

maupun

eksternal

(misalnya:

pencemaran

lingkungan,


pengemplangan pajak). Konflik hukum yang dihadapi perusahaan biasanya
disebabkan dua hal, yaitu: terjadi karena disebabkan oleh kelalaian manajemen atau
kesengajaan yang dilakukan oleh pihak manajemen.
Konflik hukum yang dihadapi perusahaan baik internal maupun eksternal, baik
dise a ka kare a kelalaia

aupu kese gajaa

erpote si di a faatka

oleh

pemilik. Dengan dalih perbuatan hukum, pemilik dapat beralibi untuk menghindari
konflik hukum yang dihadapi oleh perusahaan. Berdasarkan alibi perbuatan hukum
perusahaa
menerus

terse ut


e

menjadikan

uat pe ilik ke al sehi gga isa leluasa da terusperusahaan

sebagai

alat

untuk

memaksimalkan

kesejahteraan-nya dengan cara apa pun. Bahkan bisa jadi tujuan didirikannya
sebuah perusahaan adalah sebagai alat untuk mengeksploitasi sumber daya pihak
lain melalui perusahaan yang dimiliki tersebut.
Dengan tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi perilaku negatif kepada
setiap pemilik korporasi, kritik terhadap akuntansi modern yang mengadopsi konsep
entity theory akan membentuk realitas sebagaimana karakter yang dimiliki oleh
entity theory (Potter 2005 dan Miller 1994). Yaitu karakter yang mudah dijadikan
sebagai alat bagi pemilik untuk mengeksploitasi kekayaan. Artinya, sama saja

akuntansi modern melalui konsep accounting entity-nya menciptakan realitas
imperialisme atau kapitalis dalam berbagai bentuk (Hauriasi dan Davey 2009; Chew
dan Greer 1997; Gibson 2000).
Terkait dengan hal tersebut, salah satu ciri umum dari sistem akuntansi di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia, adalah bahwa sistem mereka
hanya ekstensi yang secara historis berasal dari negara-negara imperialis/kapitalis
Barat, khususnya Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Biasanya sistem ini telah
diperkenalkan baik melalui pengaruh kolonial dan/atau kekuatan investor (Hove,
1986; Perera, 1985). Selain itu, praktek akuntansi dan tradisi-tradisi yang digunakan
tanpa mempertimbangkan secara serius pada keadaan yang nyata dan kebutuhan
negara-negara penerima (Hauriasi dan Davey, 2009). Sementara itu, bukti bahwa
adopsi entity theory juga membuat permusuhan dengan budaya dan adat istiadat
setempat dijelaskan dalam beberapa penelitian sebagaimana yang dirangkum dalam
paragraf berikut ini.
Hauriasi dan Davey (2009, 250) merangkum studi-studi tentang akuntansi dan
budaya pada beberapa dekade terakhir, bahwa telah nampak peningkatan
penelitian yang dilakukan untuk menilai kesesuaian sistem akuntansi Barat yang
diimpor ke negara berkembang (lihat juga misalnya Askary, 2006; Briston, 1978;
Brown dan Tower, 2002; Chand, 2005; Hove, 1986; Perera, 1989b; Samuels dan
Oliga, 1982; Wallace, 1990; Wickramasinghe dan Hopper, 2005). Studi-studi yang
telah dilakukan meragukan kemampuan sistem tersebut (praktik akuntansi Barat)
untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang, sehingga konsekuensinya
bagi negara-negara berkembang terpanggil untuk mengidentifikasi kebutuhan
mereka sendiri, dan berdasarkan keadaan lokal, untuk mengembangkan sistem baru
atau memodifikasi yang ada. Mengingat sejarah dominasi imperialisme Barat dan
kolonialisme, sulit tanpa mengapresiasi dampak akuntansi dan sistem akuntansi
terhadap nilai-nilai budaya dan adat masyarakat.

Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk praktik akuntansi
yang jarang terfikirkan oleh pakar akuntansi adalah faktor budaya lokal dan agama.
Budaya lokal dan agama suatu wilayah akan memberikan style praktik akuntansi
yang sedang berjalan. Gagasan-gagasan yang muncul di balik praktik akuntansi yang
dipengaruhi oleh budaya lokal suatu wilayah jelas akan berbeda dengan praktik
akuntansi yang dipengaruhi budaya lokal wilayah lain. Praktik akuntansi yang
berjalan karena pengaruh budaya Jawa misalnya, jelas akan memunculkan gagasangagasan di balik praktik akuntansi tersebut dengan sifat alamiah Jawa. Demikian
halnya pengaruh agama terhadap praktik akuntansi akan memunculkan gagasangagasan di balik praktik akuntansi yang bersifat agamis.
Budaya menurut Kuntowijoyo (2006, 3) adalah hasil karya cipta (pengolahan,
pengerahan dan pegarahan terhadap alam) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran,
kemauan, intuisi, imajinasi, dan fakultas-fakultas ruhaniayah lainnya) dan raganya
yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan (ruhaniah) dan penghidupan
(lahiriah) manusia sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan
dari interen diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan
(spiritual dan material) manusia, baik individu maupun masyarakat ataupun individu
dan masyarakat. Soedarjono (2007) membedakan wujud budaya sebagai hasil akal,
pikir budi manusia menjadi tiga, yaitu: (1) sebagai suatu yang kompleks ide-ide,
gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya; (2) sebagai suatu yang kompleks
aktivitas kelakuan berpola manusia. (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia
yang bersifat fisik, seperti bangunan, peralatan, dan sebagainya.
Sebagai bagian dari dunia, orang Jawa dikenal memiliki kemampuan asimilasi
dan adaptasi budaya yang luar biasa. Persinggungan antar-budaya dan agama di
seluruh dunia mau tak mau ikut menggoreskan lukisan di wajah budaya dan agama
orang Jawa. Akibatnya, terjadilah pengelompokkan aliran, keyakinan, dan pemikiran
tentang sejumlah ide dasar spiritualisme. Penelitian Geerzt (1960) yang akhirnya

disanggah banyak ahli, tampaknya juga mencoba memahami pemilahan pola
pemikiran dan budaya spiritual masyarakat Jawa menjadi abangan1, santri2, dan
priyayi3. Kuntowijoyo (1987) menyimpulkan bahwa pada akhirnya semua agama
yang berkembang di tanah Jawa pada dasarnya selalu berciri Jawanisme.
Budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan mudah diidentifikasi
berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai pengeJawantahan nilai-nilai
budaya yang didukung oleh masyarakat. Nilai-nilai kearifan Jawa juga merupakan
bentuk akuntabilitas dari segala aktivitas sehari-hari yang di dalamnya juga termasuk
aktivitas ekonomi. Akuntabilitas yang berdasarkan nilai-nilai kearifan tersebut
tercipta karena rasa kekeluargaan dan gotong royong (Prabowo 2003, 24).
Masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan
kondisi masyarakatnya. Prabowo (2003, 24) membagi budaya secara garis besar
menjadi dua, yaitu: budaya lahir dan budaya batin. Budaya lahir terkait dengan
kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hal itu,
budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan mudah diidentifikasi
berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai pengeJawantahan nilai-nilai
budaya yang didukung oleh masyarakat. Sebaliknya budaya batin terkait dengan
persoalan-persoalan yang bersifat supranatural atau hal-hal yang tidak dapat
dijangkau berdasarkan penghitungan empiris atau objektif, tetapi menduduki posisi
yang penting dalam sistem kehidupan masyarakat Jawa. Budaya batin yang dalam
klasifikasi menurut Koentjaraningrat (1982, 2) dapat dimasukkan pada sistem religi
atau keagamaan Jawa tersimbolisasikan pada ungkapan manunggaling kawulaGusti.

1

Abangan merujuk kepada orang atau kelompok orang yang menganut tradisi Jawa campuran HinduBudha dan animisme serta mistik Islam (Geerzt 1960)
2
Santri merujuk kepada orang atau kelompok orang yang menganut secara ketat ajaran Islam (Geerzt
1960)
3
Priyayi merujuk orang yang menjadi pegawai pemerintah, yang merupakan elite Jawa (Geerzt 1960)

Sikap keagamaan masyarakat Jawa sangat kental dengan keyakinan tentang
asal mula kehidupan yang disebut sebagai sa gka

asal atau kelahira

da paran

tujua hidup . Pe gakua ora g Ja a terhadap Tuha Sa g Pe ipta dapat dilihat
pada ungkapan-ungkapan yang mengacu pada ketergantungan manusia terhadap
Tuhan. Sejumlah ungkapan yang bernada keagamaan tersebut antara lain adalah
manungsa sadrema nglakoni, sumendhe ing pepesthening pangeran, pasrah lan
sumarah ing pangeran, wis ginaris ing pangeran (Endraswara 2006, 43).
Budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh sikap mental orang-orang Jawa sebagai
pandangan hidupnya. Pandangan hidup orang Jawa akan menjadi acuan dalam
bertindak dalam kehidupan. Jong (1976) dalam Endraswara (2006: 43) mengemukakan bahwa unsur sentral kebudayaan Jawa adalah sikap rila (rela), nrima
(menerima), dan sabar. Hal ini akan mendasari segala gerak dan langkah orang Jawa
dalam segala hal. Rila disebut juga eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik,
kemampuan dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib
dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tapi mengucapkan matur nuwun
(terima kasih). Sabar, menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu yang
bergolak.
Sementara menurut Sumodiningrat (2003, 8) para ahli kebudayaan baik dari
luar maupun yang ada di dalam negeri memiliki kesamaan dalam memandang
konsep inti (central concept) nilai-nilai moral budaya Jawa yang diidealkan (lihat
Mulder; Gertz 1981; Anderson 1965; FM Suseno 2001; Koentjaraningrat 1994,
Hamengku Buwana 2008). Kesamaan pandangan tersebut bisa ditarik sebagai
central concept budaya Jawa pada umumnya, yaitu: pertama budaya Jawa
mendasarkan diri pada harmonisasi. Menurut Jatman (2005, 139) biasanya
disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti-konflik karena di dalamnya mempunyai
tujuan ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmonis baik antara jagad cilik
(jiwa, pikiran, hati nurani) maupun jagad gedhe (komunitas, masyarakat). Kedua,

budaya Jawa dalam konteks modern lebih sesuai dengan paradigma struktural
fungsional yang berasumsi bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempatnya
masing-masing dan ia harus berperilaku atau bekerja sesuai dengan tempat
keberadaanya. Ketiga, budaya Jawa menghargai hal-hal atau nilai-nilai yang bersifat
transendental. Maksudnya sesuatu yang berhubungan dengan transenden, yang
bukan dunia materi tetapi metafisis.
Di samping sikap mental, orang Jawa juga memiliki etos4 kerja yang kuat dan
disiplin tinggi (Raillon 2001: 223-224). Etos kerja ini mulai diajarkan pertama kalinya
oleh para orang tua kepada anaknya ketika mereka sudah berumur akil baligh. Nilainilai yang ditanamkan orang tua kepada anaknya tersebut adalah terkait dengan
kewajiban dalam mencari penghidupan (pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari).
Mereka akan terus mendorong anaknya dengan memberikan nilai-nilai yang arif dan
memberikan sebuah perumpamaan-perumpamaan sebagai tuladha (contoh). Katakata arif yang sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya agar mau bekerja,
misalnya ana dina ana upa, artinya ada hari pasti ada rizqi; aja sangga uang ja ga
erpa gku ta ga ; obah-mamah, lebih lengkapnya dalam sebuah nasehat sing
sapa gelem obah bakal mamah, artinya siapa yang mau berusaha (bekerja) pasti
akan makan (Prabowo, 2003: 23). Nasehat tersebut memiliki arti yang sangat dalam.
Obah yang berarti bergerak, menunjukkan bahwa kita harus bekerja untuk
mendapatkan mamah (makan) yang berarti rizki.
Dalam pergaulan bisnis orang Jawa secara turun temurun menjunjung tinggi filosofi
tuna satak bathi sanak (Prabowo, 2003: 23). Unen-unen (ungkapan) tersebut biasa

4

Etos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai-nilai yang mendasari seseorang atau sekelompok orang
(Bartens 2005: 225-226). Etos menunjukkan kepada kepada suasana khas yang meliputi kerja atau
profesi dan perlu ditekankan bahwa kata suasana harus dipahami dalam arti baik secara moral. MagnisSuseno (1992: 120) menjelaskan kesamaan antara sikap moral dengan etos, namun tidak identik. Sikap
moral menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai suatu standar yang harus diikuti, sementara
etos menegaskan sikap yang sudah mantap dan atau sudah menjadi kebiasaan, suatu hal yang nyatanyata mempengaruhi, dan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang mendekati atau
melakukan sesuatu.

dijumpai dalam komunikasi para bakul (pedagang) dan pembeli di pasar-pasar
tradisional Jawa. Bahkan kalimat ini tidak hanya diungkapkan secara tekstual melalui
wicara, melainkan dalam pergaulan bisnis yang lebih luas dipraktekkan sebagai etos
bisnis (Suratno dan Astiyanto 2009: 269). Seperti diungkapkan Suratno dan
Astiyanto (2009, 270) bahwa mengingat kondisi sekarang ini maka ajaran ini masih
relevan diaktualisasikan. Tujuannya adalah agar hidup tidak ngaya (terlalu bernafsu),
melainkan samadya (sederhana).
Secara etimologi, ungkapan tersebut terbentuk dari empat kata, yaitu tuna
(rugi), satak (uang), bathi (laba atau untung), dan sanak (saudara). Secara utuh
dapat diartikan, rugi uang (asalkan) untung saudara. Ungkapan ini konon muncul
pertama kali pada saat Kanjeng Syaikh Siti Jenar menjual hasil pertaniannya kepada
muridnya (Mandaru sebagaimana dikutip Pitoyo 2008, 149). Menjelang ajal
kematiannya Syaikh Siti Jenar membagi-bagikan kekayaannya demi membela rakyat
miskin pada waktu itu. Hal ini sebagai perwujudan filsafat yang dia diajarkanmanunggaling kawulo-Gusti.
Ajaran ini menyiratkan bahwa keuntungan (laba) yang selama ini
direferensikan oleh masyarakat modern pada umumnya dalam bentuk materi (baca:
uang), namun tidak mutlak bagi orang Jawa. Jika pada umumnya para kapitalis
menyimbolkan bertambahnya kekayaan (aset) akan ekuivalen meningkatnya
ekuitas, sebaliknya kekayaan bagi orang Jawa disimbolkan dengan bertambahnya
saudara.
Esensi dari ajaran ini adalah pada dua kata terakhir yaitu bathi sanak. Untung
persaudaraan —bukan materi—itulah intinya. Karena tidak hanya berorientasi pada
materi maka tidak ada pihak yang dituduh se agai pusat kepe ti ga . Se ua pihak
berada dalam kedudukan yang sama yaitu menciptakan kondisi yang harmoni bagi
semua kepentingan (Pitoyo 2008, 140). Masing-masing pihak bersedia mengikatkan
diri manunggal bersaudara.

Tuna satak bathi sanak merupakan landasan filosofi bagi pedagang Jawa yang
prilakunya merujuk pada tiga central concept, yaitu konsep harmoni, struktural
fungsional, dan transenden (Pitoyo 2008, 142). Harmoni dalam pengertian tuna
satak bathi sanak mengandung pengertian bahwa bagi pedagang lebih baik
kehilangan uang atau merugi sementara untuk menghindari konflik yang lebih besar
de ga pela gga

a Surat o da Asti a to

,

. Sikap

e galah terse ut

bagi pedagang dilandasi oleh konsep struktural fungsional, yaitu sebagai pedagang
harus memiliki karakter empan papan artinya mampu menempatkan diri sesuai
dengan posisinya, yaitu sebagai pelayan, yang tujuannya adalah memuaskan
pelanggan (Suratno dan Astiyanto 2009, 269). Semua perilaku luhur dalam
berdagang, bagi orang Jawa senantiasa merupakan urip mung sadrema nglakoni,
artinya hidup hanya sekedar menjalankan apa yang sudah ditakdirkan oleh Gusti
(Suratno dan Astiyanto 2009, 269). Jadi jangan pernah melakukan hal-hal yang dapat
merugikan orang lain dengan menipu timbangan, harga maupun kualitas barang. Hal
ini menunjukkan konsep transenden mempengaruhi perilaku bisnis orang Jawa.
Untuk mencapai pada tataran harmoni terdapat karakter orang Jawa dalam
berinteraksi antara manusia dengan manusia yang saling menguntungkan. Karakter
tersebut adalah prinsip-prinsip yang senantiasa dipegang teguh oleh orang Jawa,
yaitu: 1) prinsip eling kepada Gusti, artinya selalu mengingat TuhanNya dalam setiap
gerak dan langkahnya, 2) Prinsip kejujuran, dan 3) prinsip gemi lan nastiti, artinya
pandai berhemat dan cermat dalam pengeluaran pengelolaan usaha sehingga
efisien (Pitoyo 2008, 146)
Pada tataran praksis etos berbisnis orang Jawa sangat memegang prinsipprinsip leluhurnya. Misal, ketika memulai untuk melakukan aktivitas bisnis para
orang tua mengingatkan Gusti ora sare Tuha tidak tidur. U gkapa i i

e iliki

makna bahwa kita harus memulai aktivitas dengan memohon apa yang kita
inginkan. Di samping itu ungkapan tersebut memiliki nuansa persuasif agar

seseorang selalu berhati-hati sebelum berbuat (Suratno dan Astiyanto, 2009: 93).
Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia harus memikirkan apakah tindakan yang
dilakukannya berpengaruh baik atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Cita-cita yang diidealkan tuna satak bathi sanak tidaklah cukup berhenti pada
kondisi harmoni saja. Dalam arti bukan sekedar perpaduan antara jagad kecil (mikro
kosmos) dan jagad besar (makro kosmos) tetapi juga keserasian di dalam lingkungan
hidup batiniah sehingga secara keseluruhan dalam bahasa Jawa di sebut
tatatentrem (Jawa: ketenangan lahir batin). Bagi orang Jawa kemampuan
menciptakan kondisi yang anti-konflik belumlah cukup kecuali diiringi dengan
mewujudkan urip tulung tinulung, artinya hidup harus saling tolong menolong
(Suratno dan Astiyanto, 2009: 278). Ajaran budaya Jawa tersebut sesuai dengan
kodrat manusia yang tidak mampu hidup seorang diri, tapi membutuh-kan
pertolongan orang lain. Intinya, tatatentrem menurut pandangan tuna satak bathi
sanak adalah di samping menghindari konflik dengan pelanggan juga bersedia
dengan ikhlas mendistribusikan kesejahteraan kepada pihak lain yang secara
langsung tidak memberikan kontribusi apa pun (Suratno dan Astiyanto, 2009: 93).
Karena dalam jangka panjang mereka akan menjadi pihak yang senantiasa
mendukung usaha bisnis yang kita jalankan sehingga tercipta ketenangan lahir batin.
Konsep tatatentrem sebagaimana dijelaskan mengacu pada pemenuhan hak
(kepentingan) pihak yang tidak secara langsung terkait dengan bisnis. Artinya, tidak
hanya fokus kepada pihak yang hanya mendatangkan keuntungan saja melainkan
juga siapa pun yang berada di lingkungan aktivitas bisnis. Penelitian Daryono (2007)
tentang etos bisnis Jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegaran IV menyebutkan
bahwa acuan teoritis etos bisnis tersebut Jawa mengacu pada the stakehoders
benefit, artinya manfaat bagi stakeholders yang teori manajemennya disebut
sebagai stakeholder-approach. Dalam teori manajemen tersebut kegiatan bisnis
memiliki nilai instrinsik sendiri (misalnya, memproduksi sesuatu yang berguna bagi

masyarakat), maka aktivitas itu tidak baru menjadi bernilai karena membawa untung
(Daryono 2007, 182). Maksudnya, keuntungan (laba) hanya sekedar sebagai salah
satu acuan dasar bagi motivasi melaksanakan bisnisnya.
Pembahasan tentang konsep harmoni dan tatatentrem mengantarkan kepada
sebuah simpulan bahwa konsep tersebut menggambarkan nilai-nilai intrinsik, yaitu
nilai-nilai yang ada di dalam diri yang mendorong untuk berbuat baik dan benar.
Yang pada akhirnya tergambar oleh individu atau kelompok lain dalam memandang
nilai-nilai yang melekat pada diri, atau nilai-nilai ekstrinsik. Jadi nilai-nilai intrinsik
dan ekstrinsik sebagaimana yang diuraikan sebelumnya dapat di rangkum sebagai
berikut:
Tabel 1.
Nilai-nilai Ekstrinsik dan Intrinsik filosofi tuna satak bathi sanak
Konsep

Nilai-nilai Ekstrinsik

Nilai-nilai Intrinsik

Harmoni

Jujur dalam kwalitas dan
timbangan; Produk halal;
Peduli terhadap lingkungan
Melibatkan masyarakat di
lingkunganya sehingga ikut
merasakan kesejahteraan.

Eling dengan Gusti; antikonflik; keinginan hidup
untuk melayani
Tulung tinulung; gotong
royong, hidup bersama

Tatatentrem

B. Permasalahan
Berdasarkan beberapa penjelasan latar belakang di atas, rekonseptualisasi realitas
sosial perlu dilakukan dalam setting alamiah untuk mendapatkan konsep kesatuan
usaha yang betul-betul merupakan abstraksi lingkungan di mana akuntansi
dipraktik-kan. Hal ini sangat penting dilakukan karena konsep kesatuan usaha akan
men-derivasi konsep-konsep dasar akuntansi lain yang koheren.
Penelitian ini dilakukan pada setting alamiah untuk membaca realitas sosial
konsep accounting entity. Pembacaan realitas sosial lebih difokuskan pada konsep

accounting entity yang membentuk realitas konflik hukum dan ekonomi dan
tanggungjawab

manajemen.

Pembacaan

dilakukan

pada

lingkungan

yang

menjunjung tinggi nilai kearifan lokal, yaitu filsafat Jawa: tuna satak bathi sanak.
Sebagaimana dijelaskan bahwa cita-cita ideal dari landasan filosofi bisnis orang Jawa
tersebut adalah tercapainya suatu kondisi harmoni (anti-konflik) atau kondisi yang
melampauinya, yaitu tatatentrem (ketenangan lahir batin). Cita-cita ideal harmoni
dan

tatatentrem

akan

digunakan

sebagai

pendekatan

untuk melakukan

rekonseptualisasi accounting entity terutama pada realitas personifikasi perbuatan
hukum dan ekonomi dan tanggungjawab manajemen. Berpijak pada pemahaman
tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan berikut:
”Bagai a a ru usa ko sep dasar kesatua aku ta si ya g berbasis pada filsafat
Jawa tuna satak bathi sanak?”
Dengan demikian, penelitian ini akan berfokus pada membaca kembali konsep
accounting entity yang menciptakan realitas sosial (socially constructing) perbuatan
hukum dan ekonomi dan tanggungjawab manajemen. Hasil dari membaca tersebut
kemudian direfleksikan dengan nilai-nilai kearifan filsafat Jawa tuna satak bathi
sanak yang memiliki cita-cita ideal harmoni dan tatatentrem. Hasilnya akan berupa
penemuan rumusan konsep kesatuan akuntansi yang sesuai dengan nilai-nilai
kearifan filsafat Jawa. Temuan tersebut tidak dimaksudkan sebagai generalisasi atas
konsep dasar kesatuan akuntansi. Hal ini karena setiap wilayah memiliki realitas
sosial yang unik, sehingga praktik akuntansi yang dijalankan juga sebenarnya
memilik keunikan yang berbeda dengan wilayah lain

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Studi Akuntansi dan Budaya Lokal
Hauriasi dan Davey (2009, 250) merangkum studi-studi tentang akuntansi dan
budaya pada beberapa dekade terakhir, bahwa telah nampak peningkatan
penelitian yang dilakukan untuk menilai kesesuaian sistem akuntansi Barat yang
diimpor ke negara berkembang (lihat juga misalnya Askary, 2006; Briston, 1978;
Brown dan Tower, 2002; Chand, 2005; Hove, 1986; Perera, 1989b; Samuels dan
Oliga, 1982; Wallace, 1990; Wickramasinghe dan Hopper, 2005). Studi-studi yang
telah dilakukan meragukan kemampuan sistem tersebut (praktik akuntansi Barat)
untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang, sehingga konsekuensinya
bagi negara-negara berkembang terpanggil untuk mengidentifikasi kebutuhan
mereka sendiri, dan berdasarkan keadaan lokal, untuk mengembangkan sistem baru
atau memodifikasi yang ada. Mengingat sejarah dominasi imperialisme Barat dan
kolonialisme, sulit tanpa mengapresiasi dampak akuntansi dan sistem akuntansi
terhadap nilai-nilai budaya dan adat masyarakat.
Peran yang telah dimainkan dalam kolonialisasi akuntansi dan dampaknya
terhadap

masyarakat

adat/budaya

(indigenous

culture)

semakin

banyak

diperdebatkan (Gibson, 2000; Neu, 2000). Sebagian besar penelitian terbaru
menyoroti ketegangan yang melekat antara nilai-nilai akuntansi Barat dan inti nilainilai adat lokal. Sering kali, nilai-nilai adat lokal misalnya mengenai pekerjaan,
tanah, dan kekerabatan yang fundamental bertentangan dengan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang dikenakan oleh akuntansi dan sistem akuntansi (Greer dan
Patel, 2000). Sistem akuntansi Barat yang dominan dan praktiknya cenderung
meningkatkan nilai properti dan ekonomi keluarga dan sosial di atas nilai-nilai adat.

Bukti bahwa integrasi ekonomi global dan nilai-nilai ekonomi yang sempit telah
mengancam core value suatu budaya ditunjukkan dalam penelitian Hauriasi dan
Davey (2009). Penelitian Hauriasi dan Davey dilakukan terhadap 25 partisipan yang
terdiri dari manajer keuangan senior di sektor pemerintah dan sektor swasta,
akuntan akademisi, akuntan professional, pemuka agama, dan komunitas pemimpin
adat pada Kepulauan Solomon yaitu sebuah negeri yang masih menjunjung tinggi
nilai-nilai kebersamaan, keterikatan dan tanggungjawab kekerabatan yang terwujud
dalam perspektif adat pada pekerjaan dan tempat tinggal. Interview terhadap
partisipan pertama dilakukan pada tahun 1997 dan terakhir 2007.
Partisipan diminta pandangannya tentang hubungan nilai-nilai adat terhadap
tiga tema penting yaitu perilaku, aktivitas ekonomi dan akuntansi. Di samping itu
juga pandangan tentang hubungan adopsi sistem Barat terhadap tiga tema penting
tersebut. Hasil penelitian Hauriasi dan Davey (2009) menunjukkan pandangan yang
saling berlawanan antara nilai-nilai adat dan adopsi sistem Barat. Nila-nilai budaya
Solomon menjunjung tinggi akuntabilitas yang transparan, kepemimpinan yang
konsultatif, dan hubungan kekerabatan serta mencatat tanggungjawab sosialnya.
Sebaliknya mereka menghindari beberapa hal, yaitu: orientasi keuntungan/
kekayaan, kompetisi antar anggota kelompok, pemisahan entitas atas pemilik, dan
pembatasan waktu. Selengkapnya hasil penelitian mereka sebagaimana ditunjukkan
pada tabel berikut:
Tabel 2.
Perbedaan Karakteristik Masyarakat Solomon
dalam Konteks Adopsi Ekonomi Barat dan Budaya Lokal
Theme
Behavioral
themes

Sub-theme
Forms of
accountability

Traditional society
Close knit community
ensures greater
transparency, personal
accountability from

Contemporary society
Leaders often remote
from subjects, less
transparent, often
discharge

leaders

accountability through
institutions

Command and
control

Leaders operate
through consultation
and consensus

Individuals and
institutions given
formal powers to
command and control
subjects

Human
relationships

Kinship relations are
paramount and cement
societies

Kinship relations still
important but under
strain from demands of
capitalistic activities

Profit making and
wealth
Accumulation
unimportant, if not
discouraged

Profit making for
business is preferred
but not at the expense
of family relationships

Separation of
business entity
from ownership

No separation exists in
traditional worldview

Accounting is
promoted along this
principle but limited
application

Competition

Takes place between
members of outgroups, discouraged
between and among
family groups

Implicit competition
among related groups
and individuals. Open
competition only
between
unrelated groups

Forms of
accounting

Mostly oral
transmission. Use of
physical objects to
record social
obligations

Use western
accounting
systems mainly to meet
statutory obligations

Time
consciousness

Work done at personal
convenience. Time is
unimportant

Value of time is being
recognized, but
minimal adaptation to
its demands

Personal
performance
measurement

Being part of group
more important than
personal contribution

Recognized in modern
organizations but
limited application

Business/economic Profit
themes
maximization
and wealth
accumulation

Accounting
themes

Sumber: Hauriasi dan Davey (2009, 251)
Jauh sebelum hasil penelitian Hauriasi dan Davey (2009) tersebut dipublikasi,
Chew dan Greer (1997) sudah menemukan realitas bentuk penindasan dan alienasi
terhadap masyarakat Aborigin Australia dan Torres oleh imperialisme Barat. Dalam
papernya Chew dan Greer menguji peran akuntansi dalam penindasan dan alienasi
secara terus-menerus terhadap orang-orang Aborigin Australia dan Torres. Tulisan
Chew dan Greer juga dimaksudkan untuk memperbaiki ketidakseimbangan dengan
menguji masalah yang timbul dari paksaan Barat terhadap bentuk akuntabilitas
dalam konteks Australia Aborigin dan masyarakat Torres Strait Islander (ATSI). Hal ini
ter-motivasi oleh pernyataan Yirra yang disajikan kepada Menteri dalam negeri
Aborigin oleh Kimberley Land Council. Dalam pernyataan Yirra, Kimberley Land
Council mendorong pembentukan otoritas Regional Kimberley sama dengan Torres
Strait Islander Authority

yang akan mengambil alih beberapa fungsi saat ini

dilakukan Aborigin dan Torres Strait Islander Commission (ATSIC) karena ATSIC
dalam bentuk sekarang tidak lagi relevan dengan kebutuhan orang Kimberley.
Munculnya ketegangan antara pihak yang mengadopsi sistem akuntabilitas
Barat dengan masyarakat adat Aborigin disebabkan oleh beberapa masalah (Chew
dan Greer, 1997), yaitu: pertama masalah struktur, organisasi modern cenderung
mengandalkan ex-post control seperti halnya akuntansi, karena pendelegasian
wewenang untuk pengambilan keputusan kepada manajer tingkat bawah,
sementara komunitas Aborigin bergantung pada ex-ante control dimana pengambil
keputusan ada di tingkat akar rumput. Yang kedua adalah masalah ideologi di mana
wacana dominasi memiliki potensi untuk membuat atau mengubah kesadaran diri
mereka yang terlibat dalam proses akuntabilitas. Sistem akuntabilitas dalam konteks
Aborigin harus mempertimbangkan budaya Aborigin dan menghindari potensi
kolonisasi sistem akuntansi.

Melanjutkan apa yang sudah dilakukan

oleh Chew dan Greer (1997),

penelitian Gibson (2000) mempertegas bahwa bahasa dan terminologi akuntansi
telah dan terus-menerus menjadi sebuah senjata yang efektif untuk membuat
ketidakberdayaan

(disempowerment)

dan

pencabutan

hak

(dispossession)

masyarakat Aborigin Australia. Dua senjata yang digunakan untuk membuat
masyarakat Aborigin tidak berdaya adalah economic tool berupa akuntansi dan
retorika akuntabilitas (Gibson, 2000).

Salah satu bentuk yang membuat

disempowerment masyarakat Aborigin adalah konsep tentang kepemilikan tanah,
yaitu sebagai berikut:
. . . was used, cared for and held in trust for future generations. It was
also shared with others: to control land is not to enjoy it exclusively but
rather to exercise the right, which is at the same time an obligation, to
allocate rights in its resource to others.

Kontras dengan gagasan akuntansi modern tentang aset ini terutama jelas
dalam masalah kendali atas aset tersebut. Persyaratan definisi untuk pengendalian
dalam hubungannya dengan aset secara khusus dinyatakan sebagai hak untuk
menge-cualikan orang lain dari manfaat (SAC 4, 1995). Keinginan masyarakat
tradisional (dan kewajiban) untuk berbagi memainkan peran besar dalam mencegah
dis-empowerment Aborigin, seperti, dalam hubungan mereka dengan pemukim
Eropa, mereka tidak menyadari sebuah paradigma ekonomi yang mengakui milik
pribadi menggantikan hak-hak kepentingan masyarakat bahkan kepentingan
generasi masa depan karena bagi mereka tanah tidak dapat dialihkan menjadi milik
pribadi
B. Studi Akuntansi dan Budaya Jawa
Zulfikar (2008) menyimpulkan bahwa nilai-nilai kearifan budaya Jawa dalam falsafah
hidup dan etos kerja paling tidak tercermin pada peribahasa sapa sing gelem obah
bakal mamah. Peribahasa tersebut mengandung arti bahwa siapa yang mau

bergerak (bekerja) pasti bisa makan (Prabowo, 2003: 23). Maknanya bahwa kita
harus bekerja untuk bisa menghasilkan apa yang bisa dimakan. Perilaku obah
(bekerja) bagi sebagian besar orang Jawa adalah merupakan suatu yang harus
dipraktikan di manapun tempatnya mereka berada dan dengan seluruh kemampuan
(capital) yang dimilikinya (Zulfikar, 2008). Konsekwensi positif dari perilaku obah
adalah akan memunculkan mamah (makan). Mamah sebenarnya merupakan bagian
dari rizqi yang Tuhan berikan. Obah merupakan aktivitas yang harus dilakukan oleh
setiap individu. Bagi orang Jawa setiap aktivitas obah akan mengeluarkan sejumlah
uang atau dengan sebutan udhu (ada arus kas yang keluar) sebagai upaya untuk
menghasilkan pendapatan (ada arus kas yang masuk)(Zulfikar, 2008).
Sementara dalam praktik bisnis orang Jawa dikenal peribahasa tuna satak
bathi sanak. Peribahasa tersebut bermakna biarpun rugi uang (satak) tidak
mengapa, asalkan untung saudara (sanak). Ungkapan yang sering dijumpai dalam
pergaulan bisnis para bakul (pedagang) tersebut menunjukkan bahwa kebahagia-an
orang berdagang tidak selalu diukur dengan keuntungan berupa uang, melainkan
keuntungan bisa dalam bentuk lain, misalnya keuntungan karena menambah
persaudaraan (Zulfikar, 2008). Ukuran kekayaan seseorang tidak selalu ditentukan
oleh banyaknya harta yang dimiliki. Orang Jawa merupakan sosok yang dapat
menerima kondisi atau nasib yang menimpa dirinya dengan dilandasi rasa percaya
pada kemurahan Tuhan YME, sehingga segala sesuatu diterima dengan jiwa narima
ing pandhum (Marbangun, 1995:65).
Penelitian Daryono (2007) tentang etos bisnis Jawa dalam pemikiran Sri
Mangkunegaran IV menyebutkan bahwa acuan teoritis etos bisnis tersebut Jawa
mengacu pada the stakehoders benefit, artinya manfaat bagi stakeholders yang teori
manajemennya disebut sebagai stakeholder-approach. Dalam teori manajemen
tersebut kegiatan bisnis memiliki nilai instrinsik sendiri (misalnya, memproduksi
sesuatu yang berguna bagi masyarakat), maka aktivitas itu tidak baru menjadi
bernilai karena membawa untung (Daryono 2007, 182). Maksudnya, keuntungan

(laba) hanya sekedar sebagai salah satu acuan dasar bagi motivasi melaksanakan
bisnisnya.

C. Roadmap Penelitian

Legal Fiction
(Philip, 1997;
Conard, 1993;
Dejnozka,
2007)

DISEMPOWERMENT
Hauriasi & Davey (2009);
DISPOSESSION Gibson
(2000); ALIENATION
Chew & Greer (1997)

Rumusan Masalah: Bagai a a
rumusan konsep dasar kesatuan
akuntansi yang berbasis pada
filsafat Jawa tuna satak bathi
sanak?

TEORI ENTITAS

KESATUAN
AKUNTANSI

KESATUAN
AKUNTANSI BERBASIS
HARMONI & TATATENTREM

Prinsipal-agen
(Jensen dan
Meckling
1976;
Mathew dan
Perera 1993)

Falsafah hidup dan
etos kerja orang
Jawa (Zulfikar, 2008);
Etos Dagang Orang
Jawa (Daryono,
2007)

Tujuan Penelitian:
menemukan rumusan konsep
kesatuan akuntansi yang
berbasis pada filsafat tuna
satak bathi sanak.

B. SARAN
Hasil penelitian ini merupakan upaya untuk mengangkat kearifan lokal khususnya
budaya Jawa. Nilai-nilai yang ada di budaya Jawa tentu saja memiliki karakteristik
yang unik diantara budaya-budaya lain yang ada di Indonesia. Keunikan itulah yang
seharusnya menjadi kebanggaan orang Jawa dalam menghadapi daya saing bisnis.
Hasil penelitian ini masih tahap awal bagi penelitian berikutnya yang melihat praktik
akuntansi. Hal ini karena terdapat beberapa keterbatasan baik dari sisi teori maupun
konseptualisasi praksis. Diharapkan penelitian berikutnya mengamati dan
menjelaskan sisi-sisi praksis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. 1965. Myhology and Tolerance in the Javaness, Ithaca, New York:
Conell Unversity
Askary, S. 2006, Accounting professionalism – a cultural perspective of developing
countries. Managerial Auditing Journal, Vol. 21 No. 1, pp. 102-11.
Briston, R.I. 1978. The evolution of accounting in developing countries. International
Journal of Accounting Research, Fall, pp. 105-20.
Brown, A.M. and Tower, G. 2002. Traditional and western accounting disclosure models
for Pacific Islands countries entities. Pacific Accounting Review, Vol. 14 No. 1, pp.
43-65.
Budiman. 1993. Lubang Hitam Kebudayaan. Jogyakarta: Pustaka Kanisius
Bungin, Burhan H.M. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Burchell, S., C. Clubb, A. G. Hopwood, J. Hughes and J. Nahapiet, 1980. The Roles of
A ou ti g i Orga izatio s a d So iet , Accounting, Organizations and Society,
Vol. 5, No. 1,
Burrell, G., and G. Morgan. 1979. Sociology paradigms and organizational analysis:
elements of sociology of corporate life, London: Heineman Educational Books, Ltd.
Chew, A. and Greer, S. (1997), Contrasting world views on accounting: accountability
and Aboriginal culture. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 10 No.
3, pp. 276-98.
Cha d, P.
. Rele a e of I ter atio al A ounting Standards to a developing
country –Fiji: an archival-e piri al i estigatio , paper prese ted at the Asia
Pacific Interdisciplinary Research in Accounting (APIRA) Conference, Adelaide, 1517 July.
Churchill, S. D., Lowery, J. E., McNally, O., and Rao, A. (1998). The question of reliability
in interpretive psychological research. In R. Valle (Ed.), Inquiry in psychology (pp.
63-85). New York: Plenum.
Colaizzi, MK. 1978 . The Nature of the Firm, Economica, (4), pp. 386-405.
Conard, Alfred F., Knauss, Robert L., and Siegel, Stanley. 1993, Enterprise Organization:
Cases, Statutes and Analysis on Employment, Agency, Partnerships, Associations,
and Corporations. 4th ed. Mineola NY: The Foundation Press.
------. 1976, Corporations in Perspective. Mineola, N.Y.: The Foundation Press.
Daryono., 2007. Etos Bisnis Orang Jawa: Pengalaman Mangkunegaran IV. Jogyakarta:
Pustaka Pelajar edisi pertama
Dejnozka, Jan, 2007. Corporate Entity, Book Manuscript
De zi , N. K.,
. I terpreti e I tera tio i Morga , G ed.), Beyond method:
strategic for social research, Beverly Hills, CA, Sage Publication
Endraswara, Suwardi, 2006. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Geertz, Clifford. 1963. The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil
Politics in the New States. New York: The Free Press of Glencoe
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press
Gibson, K. 2000. Accounting as a tool for Aboriginal dispossession: then and now.
Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 13 No. 3, pp. 289-306.
Greer, S. and Patel, C. 2000. The issue of Australian indigenous world views and
accounting. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 13 No. 3, pp. 30729.
Hamengku, Buwana X Sri Sultan, 2008. Sekapur Sirih: Kearifan Lingkungan dalam
Perspektif Budaya Jawa, dalam Anshariy dan Sudarsono, 2008. Jakarta: Obor
Indonesia
Hart, O. D., and J. Moore, 1990. Property Rights and the Nature of the Firm, Journal of
Political Economy, 98(6), 1119-1158.
Hauriasi, A and Davey, H. 2009. Accounting and culture: the case of Solomon Islands.
Pacific Accounting Review, Vol. 21 No. 3, pp. 228 – 259.
Haviland, W.A. 1993. Antropologi. Edisi pertama, Jakarta: Penerbit Erlangga,.
Heal , P.M. a d Wahle , J.M.:
A re ie of the reati e a ou ti g literature a d
its i pli atio s for sta dard setti g , A ou ti g Horizo s, Vol. , No. , pp.
83.
Hove, M.R. 1986, A ou ti g pra ti es i de elopi g ou tries: olo ialis s lega of
inappropriate technologies, International Journal of Accounting, Vol. 22 No. 1, pp.
81-100.
Hopwood, A. G. 2000. Understanding Financial Accounting Practice, Accounting,
Organizations and Society, Vol. 25, No. 8.
Horriga , J.O.
110.

The ethi s of the e fi a e , Journal of Business Ethics, 6, pp.97-

Jarvis, Robin, J. Curran, J. Kitching and G.Lightfoot. 1995 Eth o-Accou ti g i S all
Firms: Some Preliminary Considerations, Occasional Paper Series. Kingston
Business School, Kingston University.

Jatman, Darmanto, 2005. Marketing Jawa terletak pada Pengendalian Rasa,
www.suaramerdeka.com
Jensen, M C. and W H. Meckling. 1976. Theory of the firm managerial behavior, agency
cost and capital structure. Journl of Finance and Economics 3: 305 - 360
Jong. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Jawa Orang Jawa dalam Endraswara, Suwardi. 2006.
Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala
Kamin, J.Y. and Ro e , J.,
The s oothi g of i o e u ers: so e e piri al
evidence on systematic differences among management-controlled and ownero trolled fir s , Accounting, Organizations and Society, Vol. 3, No. 2, pp.141-57.
Krishna, Anand dan Setiawan, B. 2001. Ilmu Medis dan Meditasi: Conscious Mind,
Subconscious Mind, Superconscious Mind & No-Mind, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Mertokusumo, Sudikno. 1981. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Kuntowijoyo. 1987. Tema Islam dalam Pertunjukkan Rakyat Jawa; Kajian Aspek Sosial
Keagamaan dan Kesenian. Jakarta: Depdikbud-Javanologi.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Laksono, P.M.2009. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan:
Alih Ubah Model Berfikir Jawa. Jogyakarta: KEPEL PRESS
Lash, Scott. 2004. Sosiologi PostModern. Yogyakarta: Kanisius
Ludigdo, Unti. 2006. Kerangka metodologi dalam memahami praktik etika di kantor
akuntan publik. Proceeding: The 2nd Postgraduate Consortium on Accounting
Brawijaya University Malang.
Mandaru, M.Z. 2008. Babad Syaikh Siti Jenar Singgasana Keabadian. Jogyakarta: Diva
Press.
Manen,Van. 1990 Audit automation as control within audit firms. Accounting, Auditing
& Accountability Journal. Volume 14 Issue 1. page 109 – 130

Marbangun, Hardjowirogo. 1995. Manusia Jawa. Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Mathews, MR and MHB Parera. 1993. Accounting Theori and Developoment.
Melbourne: Thomas Nelson Australia
McSweeney, B., 1994. Management by Accounting, in A. G. Hopwood and P. Miller
(eds), Accounting as a Social and Institutional Practice, Cambridge University
Press.
McWilliam, A. and D. Siegel, 2001. Corporate Social Responsibility: A theory of the firm
perspective, Academic of`Management Review, 26(1), 117-27
Meadows, Donella. 2009. Industrial Ecology as System Thinking and Practice,
www.thinking.net
Miller, P. 1994. Accounting as Social and Institutional Pra ti e: A I trodu tio , i A. G.
Hopwood and P. Miller (eds), Accounting as a Social and Institutional Practice,
Cambridge University Press.
.Moertono, Soemarsaid. 1981. S