48
57595.81 1480611.8
4701516.41
2306658.7
108355.77
500000 1000000
1500000 2000000
2500000 3000000
3500000 4000000
4500000 5000000
TIDAK KRITIS POTENSIAL
KRITIS AGAK KRITIS
KRITIS SANGAT KRITIS
Tingkat Kekritisan Lahan L
u a
s H
a
Gambar 4. 1 Luas lahan kritis di Provinsi Riau pada tahun 2006
Sumber : Ditjen RLPS, 2006
Luas lahan kritis dalam kawasan hutan berdasarkan tata guna hutan di Provinsi Riau pada tahun 2006 tercatat seluas 1,50 juta ha dengan lokasi terluas terdapat di Kabupaten
Bengkalis diikuti Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hilir Tabel 4.4. Perubahan yang terjadi mengakibatkan biodiversity lost dan mempengaruhi aspek komunitas kehidupan
biologis dan hidroorologis secara holistik dan harmonis. Infrastruktur jalan raya beraspal yang dibangun dalam hutan alam juga memberikan sumbangan besar terhadap hilangnya
tajuk saat penebangan. Tabel 4.4. Lahan kritis di Provinsi Riau
No Kabupaten
Luas ha 1
Bengkalis 285.936,70
19,09
2 Kampar
244.696,27 16,33
3 Rokan Hilir
208.073,59 13,89
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2008
49
Dalam sebuah penelitian diungkapkan bahwa 40-50 persen kematian dan kerusakan pohon setelah penebangan terkait dengan jalur pengangkutan Jhons et al. 1996, Webb 1997,
White 1994. Di petak yang ditebang secara konvensional dalam penelitian CIFOR di Malinau,
perbandingan pohon yang mati akibat penyaradan berjumlah dua kali lipat daripada pohon mati akibat penumbangan Sist et al. 2003. Menurut Meijaard 2006 selain berdampak
terhadap habitat, satwa liar juga dipengaruhi oleh jalan, jalur tebang, dan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain. Berkurangnya konektivitas hutan, penurunan luas habitat,
dan peningkatan aksesbilitas yang lebih jauh meningkatkan tekanan perburuan, serta menghambat regenerasi hutan Pinard et al. 2000.
Lahan kritis yang makin meluas di Provinsi Riau menunjukkan bahwa wilayah tersebut juga rentan terhadap terjadinya bencana ekologis yang diakibatkan oleh degradasi ekosistem
hutan. Dampak degradasi hutan terhadap meluasnya lahan kritis di provinsi tersebut menjadi signifikan karena tidak terdapat lagi vegetasi pohon yang sebenarnya mempunyai fungsi
sebagai penyeimbang tata air kawasan Hal tersebut menyebabkan pada saat musim hujan tidak terjadi banjir bandang dan di saat musim kemarau tidak terjadi kekeringan yang
kemudian menimbulkan kebakaran hutan luas dengan asap dan debu yang mencapai wilayah yang dekat dengan provinsi Riau bahkan sampai ke negara tetangga Malaysisa dan
SingapuraHal tersebut tentunya menyebabkan ketidaknyamanan dan bahkan dapat mengganggu hubungan bilateral dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.
4.2.2 Pembalakan Liar atau Illegal Logging
Peningkatan laju aktifitas pembalakan liaratau illegal logging dan ekspansi usaha perkebunan sawit di Provinsi Riau menyebabkan meluasnya lahan kritis di provinsi tersebut,
dan termasuk salah satunya menyebabkan kebakaran hutan yang menimbulkan asapkabut yang meluas hingga negeri tetangga. Pembalakan liaratau illegal logging dan deforestasi
tersebut berdampak negatif terhadap kondisi ekologis seperti 1 punahnya keanekaragaman hayati atau biodiversity lost; 2 banjir; 3 erosi tanah; 4 tanah longsor; 5 kekeringan; 6
dan kerusakan DAS daerah aliran sungai. Dampak pembalakan liar atau illegal logging terhadap kondisi ekologi secara garis
besar dapat dikelompokkan atas rusaknya fungsi ekosistem dan hilangnya keanekaragaman
50
hayati plasma nutfah baik flora maupun fauna. Rusaknya fungsi ekosistem tersebut menyebabkan terganggunya habitat flora fauna, perubahan iklim, terganggunya sistem
hidrologis, dan tidak berfungsinya jasa lingkungan lainnya. Habitat flora dan fauna akan rusak sebagai akibat dari berkurangnya kawasan hutan secara keseluruhan, hilangnya
kawasan hutan atau terfragmentasinya hutan akibat pembalakan liar atau illegal logging yang dilakukan secara sporadis.
Dalam jangka pendek pembalakan liar atau illegal logging dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat lokal, membantu kehidupan sehari-hari dan mengurangi
kemiskinan, namun dalam jangka panjang mereka sebenarnya lebih tepat dikatakan telah menjadi korban dari aktivitas pembalakan liar atau illegal logging tersebut. Bagi masyarakat
awam yang tidak terbiasa memegang uang cash dalam jumlah banyak, memang secara psikologi mampu mengubah perilakunya tanpa terkendali kedalam gaya hidup hedonis.
Pembalakan liar atau illegal logging adalah sumber uang tunai yang relatif besar dan mudah didapat bagi para pelakunya. Beberapa studi terkait masalah ini menunjukkan bahwa
dampak dari pembalakan liar atau illegal logging juga menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup di masyarakat sekitarnya. Sistem kerja pembalakan liar atau illegal logging
memungkinkan masyarakat lokal meninggalkan nilai-nilai religius yaitu Islam yang selama ini mereka anut, mengubah kehidupan rumah tangga dalam konteks hubungan emosional
suami-istri dan anak-anaknya, kecenderungan meningkatnya praktek prostitusi, judi, serta konsumsi minuman keras dari budaya masyarakat pekerja pembalakan liar atau illegal
logging yang berasal dari luar wilayah Provinsi Riau. Walau beresiko tinggi mengalami
kecelakaan kerja, buruh pembalakan liar atau illegal logging tidak dilindungi oleh asuransi tenaga kerja. Resiko kematian mereka sangat tinggi, karena faktor gangguan hewan buas di
dalam hutan sampai dengan berbagai ancaman kecelakaan kerja lainnya. Pembalakan liar atau illegal logging juga menjadi pencetus kecemburuan sosialsumber konflik diantara
pembalak pendatang dengan masyarakat lokal di Propinsi Riau Hiller et al. 2002. Sebenarnya, apabila pembukaan hutan dilakukan secara terencana dan terkendali, akan
memberikan dampak positif terhadap peningkatan debit aliran air, misalnya dalam hasil riset Rahim 1990 dalam Ramdan 2006 menunjukkan bahwa penebangan hutan di Malaysia sekitar
33 persen yang dilakukan secara selektif dari luas tegakan hutan telah meningkatkan 40 persen debit aliran air.
51
Tingginya curah hujan dan faktor hidroorologis dimana tanah hutan yang telah terbuka tidak sanggup lagi menampung debit air yang terlalu tinggi menyebabkan sering terjadinya
banjir bandang secara merata hampir diseluruh wilayah Provinsi Riau belakangan ini. Hal ini mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat setempat termasuk juga seluruh proses
pembangunan yang berjalan. Asdak 2003 dalam Ramdan 2006 menyebutkan bahwa areal hutan yang ditebang juga akan menurunkan evapotranspirasi dan meningkatkan limpasan air
berupa stream flow dan mengakibat perubahan 10 persen vegetasi dari daerah tangkapan air yang menyebabkan perubahan debit aliran air antara 25-60 mmtahun.
Pembalakan liar atau illegal logging juga berdampak buruk pada kaum perempuan di daerah tersebut. Bagi para perempuan yang bekerja sebagai pengumpul makanan dari hutan,
pengambil air bersih, dan penggarap kebun, aktivitas pembalakan liar atau illegal logging akan berakibat negatif bagi mereka karena hilangnya pohon-pohonan penghasil buah serta
bahan makanan lainnya. Karenanya, para ibu atau perempuan harus berjalan lebih jauh lagi untuk mendapatkan kebutuhan bahan makanan sehari-hari bagi keluarga mereka. Demikian
juga dalam hal persediaan air bersih, para ibuperempuan tersebut harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi untuk mendapatkannya.
Di sisi lain dari morfologi tanah, erosi dari perubahan hidroorologi tanah hutan yang terbuka akibat dari pembalakan liar atau illegal logging. Kerusakan fungsi alami hutan akan
menghilangkan jasa lingkungan hutan dalam bentuk pemelihara kesuburan tanah, pencegahan erosi dan tanah longsor, penyerap karbon, dan penyedia oksigen bagi kehidupan makhluk
hidup. Pembalakan liar atau illegal logging juga menyebabkan berkurangnya keanekaragaman
hayati flora dan fauna, yang dapat dikelompokkan menurut level spesies atau populasi dan level komunitas serta memperluas lahan kritis di Provinsi Riau. Perubahan hidroorologi
tanah hutan yang terbuka akibat dari pembalakan liar atau illegal logging merupakan dampak yang termasuk sulit untuk direhabilitasi.
4.3 Flora dan Fauna
Provinsi Riau kaya akan jenis-jenis flora dan fauna, yang sebagian besar terdapat dalam kawasan hutan, terutama kawasan konservasi dan pelestarian alam seperti Taman Nasional
Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Kedua kawasan pelestarian alam ini
52
mewakili jenis flora dan fauna dataran rendah dan dataran tinggi. Ekosistem hutan di Provinsi Riau merupakan habitat bagi sejumlah satwa yang dilindungi. Neraca Sumberdaya Hutan
Provinsi Riau tahun 2004 Dishut Riau, 2004 menunjukkan bahwa terdapat 13 jenis satwa yang dilindungi di Provinsi Riau, yaitu: gajah Elepan maximus sebanyak 187 ekor, harimau
Sumatera Panthera tigris sumatrensis sebanyak 800 ekor, harimau dahan Neofelis nebulosa
sebanyak 50-70 ekor, beruang madu Helactor malayanus sebanyak 110-120 ekor, burung enggang Burceros rhinoceros sebanyak 50-60 ekor, kuntul putih Egretta
intermedia sebanyak 40-50 ekor, rusa Cervus spp sebanyak 120-120 ekor, lutung
Presbytis cristata sebanyak 90-110 ekor, raja udang Halcyon capensis sebanyak 150-180 ekor, siamang Symphalangus syndactylus sebanyak 60-70 ekor, elang Laut leucogaster
sebanyak 30-50 ekor, buaya Crocodylus porosus sebanyak 9.855 ekor, dan ikan arwana Scheleropages formusus sebanyak 100.094 ekor.
Degradasi hutan berarti rusaknya ruang tinggal atau habitat bagi satwa tersebut. Dishut Riau 2004 juga menyebutkan bahwa penurunan jumlah populasi harimau sumatera yang
mati akibat perubahan drastis ekosistem hutan dan kegiatan perburuan dalam tahun 2004 mencapai 600-700 ekor. Keterbatasan ruang gerak satwa menyebabkan satwa liar, seperti
harimau dan gajah merusak wilayah permukiman dan kebun penduduk. Kerusakan akibat masuknya satwa liar tersebut ke pemukiman penduduk menimbulkan konflik antara
masyarakat dengan kepentingan pelestarian satwa. Masyarakat tidak segan untuk memburu dan membunuh satwa liar tersebut. Dampak ekologi pembalakan liar atau illegal logging di
Provinsi Riau semakin meluas karena juga termasuk terjadinya perambahan sampai di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berbatasan
dengan Provinsi Jambi secara administratif namun menjadi satu dengan Provinsi Riau secara kesatuan ekologis atau satu biosphere. Wilayah ini sesungguhnya merupakan benteng
terakhir keanekaragaman hayati atau biodiversity di Provinsi Riau. Kedua taman nasional tersebut juga merupakan hulu dari DAS daerah aliran sungai terpenting bagi wilayah
Provinsi Riau. Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh terdapat satwa terancam punah yang bernilai konservasi tinggi yaitu: gajah sumatera Elephas maximus, harimau Sumatera
Panthera tigris sumatrae , tapir Tapirus Indicus, macan dahan Neofelis nebulosa, owa
Hylobates agilis, beruang madu Helarctos malayanus, buaya sinyulong Tomistoma schlegelii
dan sero ambrang Aonyx cinerea. Taman Nasional Tesso Nilo merupakan perwakilan ekosistem transisi dataran rendah dan tinggi dengan potensi keanekaragaman
hayati yang tinggi, di antaranya terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan
53
57 suku dalam setiap hektarnya. Berbagai jenis flora yang dilindungi dan terancam punah terdapat juga di taman nasional ini, seperti kayu bata Irvingia malayana, kempas
Koompasia malaccensis, jelutung Dyera costulata, kayu kulim Scorodocorpus borneensis
, tembesu Fagraea fragrans, gaharu Aquilaria malaccensis, ramin Gonystylus bancanus
, keranji Dialium spp, meranti Shorea spp, keruing Dipterocarpus spp, dan beberapa jenis durian Durio spp Departemen Kehutanan 2004. Di samping tumbuhan
tersebut diatas, di taman nasional ini juga terdapat tidak kurang 82 jenis tumbuhan obat. Patalo
pasak bumi Eurycoma longifolia salah satu tumbuhan obat yang populer sebagai obat kuat. Tumbuhan pasak bumi ini juga biasa digunakan untuk obat malaria Departemen
Kehutanan 2004. Jenis tumbuhan obat lainnya diantanya, kunyik bolai Zingiber purpureum
, jarangau Acorus calamus, lengkuas putih Alpina galanga, aka bulu Argyreia capitata
, sundik langit Amorphopalus sp, dan akar kayu kuning Lepionurus sylvestris yang merupakan obat penyakit kuning Departemen Kehutanan 2004.
Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh mewakili tipe ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah lowland tropical rain forest karena memiliki iklim yang sangat basah, tanah
kering, dan ketinggian dibawah 1000 m dpl, menempati suatu perbukitan yang cukup curam ditengah-tengah dataran rendah di bagian timur Sumatera Departemen Kehutanan 2004.
Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki keanekaragam jenis yang tergolong tinggi. Hingga saat ini telah terindentifikasi 176 jenis tumbuhan dan 82 jenis dari tumbuhan tersebut
sangat menarik secara taksonomi dan beberapa diantaranya tergolong endemik dan diduga langka. Beberapa diantaranya, yaitu cendawan muka rimau Rafflesia hasseltii, salo
Johannestejsmania altifrons, mapau Pinanga multiflorai, jernang Daemonorops draco, rotan Calamus ciliaris, C.exilis, pinang bancung nenga gajah, akar mendera Phanera
kochiana , meranti Shorea peltata, keduduk rimba Baccaurea racemosa, pasak bumi
Eurycoma longifolia, dan kayu gaharu Aquilaria malacensis. Cendawan muka rimau merupakan tumbuhan khas dan endemik Taman Nasional Bukit Tigapuluh Departemen
Kehutanan, 2004.Jenis flora lainya antara lain jelutung Dyera costulata, getah merah Palaquium spp, pulai Alstonia scolaris, kempas Koompassia excelsa, rumbai Shorea
spp, medang Litsea sp, Dehaasia sp, kulit sapat Parashorea sp., bayur Pterospermum javanicum
, kayu kelat Eugenia sp, dan kasai Pometia pinnata Departemen Kehutanan, 2004. Jenis-jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk obat-obatan masyarakat asli taman
nasional, antara lain akar kunyit, akar kelobosan Rourea sp, kayu manau Canarium litorale
, kemenyan Stryrax benzoin, cabai tempala Piper canium, lase putih, pasak bumi
54
Eurycoma longifolia, kulim Scorodocarpus borneensis, lumpang Sterculia oblongata, dan palem batang isi Arenga sp. Departemen Kehutanan, 2004.
Selain jenis-jenis flora seperti yang disebutkan diatas, Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh juga memiliki keanekaragaman jenis fauna yang terdiri dari
berbagai jenis burung, mamalia, primata, ikan, reptilia dan amfibia serta serangga hidup dalam kawasan taman nasional tersebut. Taman Nasional Tesso Nilo memiliki kekayaan
fauna yang terdiri dari 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia, 18 jenis amfibia dan berbagai jenis serangga. Dari bangsa mamalia antara lain
terdapat harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, macan dahan Neofelis nebulosa, beruang madu Helarcos malayanus, rusa Cervus unicolor, kijang Muntiacus muntjak,
kancil Tragulus Javanicus, babi hutan Sus spp., tapir Tapirus indicus, dan bajing Callosciurus spp, Primata; antara lain owa Hylobatesagilis, lutung simpai Presbytis
femoralis , dan beruk Macaca nemestrina, bangsa burung antara lain Beo Sumatera
Gracula religiosa, burung kipas Rhipidura albicollis, elang ular Spilornischeela, alap- alap capung Microchierax fringillarius, kuau Argusianus argus, burung udang pungung
merah Ceyx rufidorsa, julang jambul hitam Aceros corrugatus, kangkareng hitam Anorrhinus malayanus, rangkok badak Buceros rhinoceros, ayam hutan Gallus gallus,
dan betet ekor panjang Psittacula longicauda, bangsa reptilia antara lain ular kawat atau ular hitam Ramphotyphlops braminus, ular kopi Elaphe flavolineata, ular picung air
Xenochrophis trianguligerus, ular cabe kecil Maticora intestinalis, ular sendok, ular kobra Ophiphagus hannah, sanca sawah Python reticulatus, ular gendangphyton darah
Sumatera Python curtus, dan buaya sinyulong Tomistoma schlegeleii, bangsa amphibia antara lain katak serasah berbintik Leptobrachiumhendricksoni, kodok buduk sungai Bufo
asper , kodok buduk B. melanostictus, katak lekat Kalophrynus pleurostigma, percil bintil
Microhyla heymonsi, katak sawah Fejervarya cancrivora, katak kangkung Limnpnectes malesianus
, katak batu L. macrodon, bancet rawa Sumatera Occodozyga sumatrana, kongkang kolam Rana chalconota, kongkang gading R. erythraea, kongkang kasar R.
glandulosa , kongkan racun R. hosii, kongkang jangkrik R. nicobariensis, dan kongkang
sungai totol R. signata Departemen Kehutanan, 2004. Jenis ikan yang paling melimpah adalah ikan pantau Rasbora bankanensis. Jenis ikan
baung Hemibagrus nemurus merupakan ikan konsumsi yang terkenal di daerah Riau. Ikan julung-julung Hemirhampodon, dan ikan segitiga Rabora heteromorpha merupakan ikan
hias Departemen Kehutanan, 2004.
55
Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh tercatat 59 jenis mamalia, 198 jenis burung termasuk elang jawa, 18 jenis kelelawar dan berbagai jenis kupu-kupu. Mamalia; satwa
primata antara lain ungko tangan putih Hylobates lar, ungko tangan hitam Hylobates Agilis
, siamang Symphalangus syndactylus, beruk Macaca nemestrina, monyet ekor panjang Macaca fascicularis, lutung Presbytis cristata, simpai Presbytis malalophos,
dan kukang Nycticebus coucang Departemen Kehutanan, 2004. Jenis lainnya antara lain harimau Sumatera Panthera tigris sumatrensis, macan dahan
Neofelis nebulosa, kucing congkok Felis bengalensis, kucing batu Felis marmorata, musang Paradoxurus hermaphroditus, musang pandan Viverra tangalunga, tuntung tobu
Hemigalus derbyanus, binturong Artictis binturong, rusa sambar Cervus unicolor, kijang Muntiacus muntjak, napu Tragulus napu, kambing hutan Carpricornis sumatrensis, dan
kancil Tragulus javanicus, dan kelelawar pemakan buah Balionycteris maculata, Megaerops wetmorei,
dan Murina cyclotis Departemen Kehutanan, 2004. Bangsa burung yang terdapat di daerah tersebut antara lain burung kuaw Argusianus
argus , ayam hutan Gallus gallus, elang bido Spilornis cheela, punai kecil Treron olax,
walik jambu Ptilinopus jambu, julang Rhyticeros corrogatus, murai batu Copsychus malabaricus
, pelatuk api Dryocopus javensis, dan beo Gracula religiosa. Sedangkan jenis burung yang tergolong langka, yaitu itik liar Sumatera Cairina scutulata, bangau
Ciconia stormi, peniol Lophura erythropthalma, cabak wono Batrachostomus auritius, dan rangkong Rhinoplax vigil Departemen Kehutanan, 2004.
Bangsa reptilia yang terdapat di daerah tersebut antara lain buaya muara Crocodylus porossus
, senyulong Tomistoma schlegelii, ular piton Phyton reticulata, ular tedung Ophiophagus hannah, kura-kura Notochelys platynota, bulus Chitra indica, dan moru
Bungaurus candidus. Sementara untuk ikan, sedikitnya tercatat 97 jenis dan jenis-jenis yang dilindungi antara lain Notopterus notopterus, N. chiliata dan ikan arwana
Schlerophages formosus Departemen Kehutanan, 2004.
4.4 Rencana Tata Ruang Tata Wilayah Propinsi Riau
Propinsi Riau dan Propinsi Kalteng atau Kalimantan Tengah, merupakan 2 dua wilayah administratif dalam koridor NKRI yang hingga kini belum memiliki RTRWP atau
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Propinsinya. Beberapa dugaan yang dialamatkan
56
kepada kepemimpinan wilayah propinsi tersebut berdasarkan temuan serta catatan yang dilakukan oleh para peneliti serta beberapa LSM yang tergabung dalam konsorsium LSM
bernama JIKALAHARI atau Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Propinsi Riau. Gambar 4.2. menunjukkan perubahan kerusakan lahan tutupan hutan tropis di Propinsi
Riau selama tahun 1990 – 2006.
Gambar 4.2. Perubahan signifikan Kerusakan Lahan Tutupan Hutan Tropis di Propinsi Riau 1990 – 2006 pada periode Kapolda Riau 2005-2007
Sumber Departemen Kehutanan RI 2007
Dampak positif diterbitkannya INPRES No. 4 Tahun 2005 dapat dirasakan masyarakat setempat secara langsung. Sedikitnya telah dinyatakan sejumlah 14 perusahaan yang
terindikasi sebagai TSK tersangka dari operasi pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging
di Propinsi Riau pada masa tugasnya. Namun harapan masyarakat di Propinsi Riau dan Nasional tidak menjadi kenyataan karena 13 dari 14 perusahaan yang terindikasi sebagai
TSK tersangka dari operasi pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau dihentikan dan dinyatakan SP-3 Surat Perintah Pemberhentian Perkara. Dengan
adanya hal tersebut SP-3 maka pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau kembali terjadi. Tindakan delik pidana pembalakan liar atau illegal logging yang dilakukan di
Propinsi Riau, dianggap sebagai sebuah kewajaran.
57
Gambar 4.3. Catatan atas Hutan yang Tersisa di Propinsi Riau 2005
Sumber: JIKALAHARI atau Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau 2005
Hutan Riau yang tersisa pada tahun 2005 ke atas, masih diusahakan untuk diselamatkan. Upaya memberlakukan Aturan Tata Ruang dan Tata Wilayah terus didesak
kepada Pemerintah Daerah Propinsi Riau. Dari 33 Propinsi di Indonesia, hanya Kalimantan Tengah dan Riau yang Kebijakan Tata ruang dan Tata Wilayahnya hingga tahun 2011
penelitian ini selesai dilaksanakan belum disahkan. Pengaturan Mengenai Keruangan Wilayah Daratan Riau termuat dalam Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 173 Tahun 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK dan Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi RTRWP Daerah Tingkat I Riau 1994-2009 yang memuat tentang arahan pemanfaatan ruang sebagai Acuan dan Alat koordinasi antar sector dalam membuatan
kebijakan Pembangunan Provinsi Riau hingga saat ini. Dalam TGHK dan RTRWP Riau tersebut luas daratan Riau adalah seluas 9.456.160 ha saat dihitung masih termasuk Provinsi
58
Kepri atau Kepulauan Riau. TGHK memuat pembagian pemanfaatan Ruang berdasarkan
Fungsi Hutan menjadi lima klasifikasi, yaitu: 1 Hutan Lindung; 2 Hutan Suaka Alam dan Wisata; 3Hutan Produksi Terbatas; 4 Hutan Produksi Tetap; dan 5 Hutan Produksi
Konversi. RTRWP membagi arahan pemanfaatan Ruang menjadi dua klasifikasi, yaitu: 1 Kawasan Lindung; dan 2 Kawasan Budidaya.
Gambar 4.4. Rencana Tata Ruang Tata Wilayah di Propinsi Riau 2005
Sumber: http:rencanatataruangriau.blogspot.com
diunduh pada 1 September 2011
Kawasan Lindung meliputi Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Perlindungan Setempat, dan Kawasan yang memberikan Perlindungan
Kawasan Bawahnya. Dan Kawasan Budidaya meliputi Kawasan Hutan Produksi,
Perkebunan, Industri, Pariwisata, Pertanian, Pemukiman dan lain-lain, dan kawasan Prioritas.
Dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Penyusunan RTRWP dilakukan dengan mengacu pada RTRWN Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Kota juga harus mengacu pada
59
RTRWP. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi pembangunan antara Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau Kota. RTRWN disusun untuk jangka 25 Tahun,
RTRWP untuk Jangka 15 Tahun, dan RTRWK untuk jangka waktu 10 Tahun. Revisi atau
Peninjauan Kembali dapat dilakukan setiap lima tahun.
Tata Ruang juga berfungsi untuk memberikan kepastian bagi perlindungan atau pelestrian terhadap kawasan, ekosistem, dan habitat yang memiliki nilai ekologis tinggi.
Maknanyapun kemudian akan jadi lebih luas apabila dilihat dari Perspektif Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik. BAPPEDA Riau sejak tahun 2001 telah menghasilkan Draft Revisi
RTRWP Propinsi Riau untuk tahun 2001–2015, sebagai penyempurnaan atas RTRWP Riau tahun 1994 Perda No. 10 Tahun 1994. Hal ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah
yang telah mengalokasikan arahan peruntukan Hutan Alam untuk Kawasan Budidaya. Degradasi Hutan Alam juga terjadi pada Kawasan Lindung, dan ini terjadi karena lemahnya
fungsi Pengawasan dan penegakan hukum atau law enforcementdi bidang Kehutanan.
Substansi Arahan Pemanfaatan dalam RTRWP Hasil Revisi tersebut menurut analisis JIKALAHARI 2005 dikatakan akan berimplikasi terhadap keberadaan Tutupan
Hutan Alam di Riau yang kondisinya saat ini kritis.Hutan Alam Riau sudah memasuki fase kritis dengan Laju degradasi Hutan Alam Riau saat ini mencapai 100.000 Ha per tahun.
JIKALAHARI mencacat bahwa Hutan Alam tersisa maksimal seluas 3.210.563,139 Ha lagi. Dalam draft revisi RTRWP pada Tabel 4.5 di bawah ini disajikan arahan pemanfaatan ruang
daratan Propinsi Riau untuk periode tahun 2001–2015.
60
Tabel 4.5 Draft Revisi RTRWP 2001–2015untuk Arahan Pemanfaatan Ruang
Daratan Propinsi Riau
No Arahan Pemanfaatan Kawasan
Luas Ha
1 Kawasan Hutan Pelestarian Alam
350,490.345 3.9
2 Kawasan Hutan Produksi Tetap
2,614,156.628 29.1
3 Kawasan Hutan Suaka Alam
511,792.781 5.7
4 Kawasan PerkebunanTanaman Tahunan
3,114,511.569 34.67
5 Kawasan Perlindungan Setempat
100,360.511 1.12
6 Kawasan Permukiman Dan Lain-lain
480,716.025 5.35
7 Kawasan Pertanian
1,141,915.645 12.71
8 Kawasan Peruntukan Industri
1,969.148 0.02
9 Kawasan yang Memberikan Perlindungan
Kawasan Bawahannya 667,200.169
7.43
Total 8,983,112.506
100
Sumber: Pemerintah Daerah Propinsi Riau 2005
4.4 Ekonomi Wilayah
Berdasarkan nilai kekayaan alam Provinsi Riau ekspor Provinsi Riau pada tahun 2006 tercatat sebesar US 8.694,70 juta. Perkembangan ekspor Provinsi Riau dari tahun 1995
sampai dengan tahun 1997 relatif baik yaitu tahun 1995 US 7.360,46 juta, naik menjadi US 8.661,64 juta pada tahun 1996, selanjutnya pada tahun 1997 menjadi sebesar US 9.236,5
juta. Pada tahun 1998 mengalami penurunan dibanding dengan tahun 1997, dan nilai ekspor tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 mengalami kenaikan masing-masing sebesar US
7.165,3 juta, US 8. 820,7 juta dan US 11.012,2 juta. Bila dilihat dari angka PDRB Provinsi Riau, maka telah terjadi peningkatan dari Rp79.055,37 miliar,- pada tahun 2005 menjadi
Rp94.815,60 miliar,- pada tahun 2006.
61
Tabel 4.6 Volume Ekspor Propinsi Riau Tahun 1995-2000
Tahun 1995
1996 1997
1998 1999
2000 Volume
juta,US 7.360,
46 8.661,
64 9.236,
50 7.165,
30 8.820,
70 11.012,
20
Sumber: BPS, 2002
Salah satu sumber alam Riau yang berperan dalam menunjang ekspor negara kita adalah minyak bumi dan hasil tambang lainnya. Ekspor Provinsi Riau tahun 2006 tercatat
sebesar US 8.694,70 juta. Perkembangan ekspor Provinsi Riau dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1997 relatif baik yaitu tahun 1995 US 7.360,46 juta, naik menjadi US
8.661,64 juta pada tahun 1996, selanjutnya pada tahun 1997 menjadi sebesar US 9.236,5 juta. Pada tahun 1998 ekspor mengalami penurunan dibanding dengan tahun 1997. Nilai
ekspor tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 mengalami kenaikan masing-masing sebesar US 7.165,3 juta, US 8. 820,7 juta dan US 11.012,2 juta.Pada tahun 2006, ekspor minyak
mengalami peningkatan nilai dibanding dengan tahun 2005 sebesar 19,21persen. Nilai ekspor tahun 2001 sebesar US 8.977 juta. Sementara itu nilai ekspor Provinsi Riau terbesar dimuat
pada Pelabuhan Dumai yaitu sebesar US 6.582,19 juta atau 75,16 persen, Pelabuhan Buatan sebesar US 798,42 juta atau 9,18 persen dan Perawang sebesar US 702,47 juta atau 8,08
persen
4.5 Kependudukan dan Sosial
Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil sensus penduduk 2000 sebesar 4.755.176 jiwa. Kepadatan penduduk di Provinsi Riau tahun 2000 sebesar 50,29 jiwa per km
2
. Berdasarkan hasil Susenas 2006, jumlah penduduk Provinsi Riau sebesar 4.764.205 jiwa,
terpadat keempat diseluruh Pulau Sumatra. Kabupaten. Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 754.448 jiwa, sedangkan
kabupatenkota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Dumai sebesar 230.191 jiwa. Wilayah Provinsi Riau merupakan daerah dengan penduduk yang heterogenitasnya
tinggi. Selain masyarakat asli Melayu Riau, juga terdapat berbagai suku bangsa lainnya semisal Minangkabau, Batak, Jawa, Cina, Arab dan India. Pada tahun 2003 tercatat migrasi
penduduk ke wilayah ini sebanyak 240.729 orang 5,45 persen. Hal ini berakibat langsung pada laju pertumbuhan penduduk meningkat sebesar 3,65 persen pada tahun 2000-2004.
Walaupun migrasi tinggi, namun karena budaya dasar masyarakat Melayu Riau yang hangat,
62
dan terbuka maka solidaritas diantara warga terjalin dengan baik melalui kesamaan agama Islam dan kekompakan para tokoh masyarakat lokal disana. Pernyataan Visi Riau sebagai
“Pusat Kebudayaan Melayu” diterjemahkan oleh masyarakat di wilayah ini sebagai ‘Riau sebagai sebuah wilayah yang nyaris penduduknya semua beragama Islam.’ Faktor inilah
menurut sosiolog Lawang 2005 merupakan faktor kunci pengikat utama social capital masyarakat Melayu Riau di Provinsi Riau. Kesamaan pandangan para tokoh masyarakat di
Provinsi Riau merupakan kunci pemersatu berikutnya. Kesamaan pandang ini membentuk tiga pilar adat budaya Riau yaitu; 1 tokoh adat atau lembaga adat; 2 tokoh agama atau
MUI; 3 tokoh cendekiawan. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2006 mencatat bahwa di Provinsi Riau
komposisi antara angkatan kerja dan bukan angkatan kerja untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas tidak jauh berbeda di semua kabupatenkota. Persamaan ini terlihat pada nilai
persentaese angkatan kerja yang tidak jauh berbeda dengan persentaese bukan angkatan kerja yang berkisar sekitar 50 persen. Kabupaten dengan persentase angkatan kerja terbesar adalah
Kabupaten Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi, masing-masing sebesar 61,01 persen dan 58,97 persen. Nilai persentase angkatan kerja terkecil adalah Kabupaten Rokan Hilir dan
Kota Dumai, masing-masing sebesar 51,02 persen dan 52,81 persen. Dari total angkatan kerja yang bekerja, sebagian besar terserap pada sektor pertanian 52,93 persen, diikuti oleh sektor
perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 13,98 persen dan 10,40 persen.
Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata dan murah. Adanya tujuan tersebut
diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang baik, yang pada gilirannya memperoleh kehidupan yang sehat dan produktif. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan
Rakyat 2004 BPS, 2005, angka harapan hidup penduduk Provinsi Riau rata-rata adalah 68,1 tahun. Angka ini di pulau Sumatra termasuk tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata
nasional 66,2 tahun, bahkan jauh lebih baik daripada rata-rata masyarakat penduduk di Pulau Jawa seperti misalnya di Jawa Timur 66 tahun , di Jawa Barat 64,5 tahun dan Banten
62,4 tahun. Sekitar tahun 1980-an dinyatakan bahwa Riau adalah provinsi terkaya karena
sumberdaya alam dan lingkungannya, sehingga terjadi eksploitasi secara besar-besaran bagi pemasukan ekonomi pemerintah pusat dan pemenuhan biaya pembangunan di Indonesia.
63
Menurut Mubyarto 2002 dalam Jabbar 2008 mengatakan bahwa kekayaan alam Riau dibawa keluar Riau, sementara kondisi Riau dibandingkan provinsi lain tidak banyak
berubah. Lama usia sekolah rata-rata penduduk Riau adalah 8,2 tahun. Angka ini masih lebih
baik dibandingkan angka rata-rata penduduk secara nasional di Indonesia yang hanya 7,2 tahun saja. Walau persentase penduduk miskin Provinsi Riau berada pada urutan ke empat di
seluruh Sumatra, namun untuk angka lama sekolah masyarakat di Provinsi Riau menempati ranking
ke 3 setelah Provinsi Sumatra Utara dan Aceh. Secara umum, kesejahteraan masyarakat Provinsi Riau termasuk baik. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2006
mencatat bahwa di Provinsi Riau komposisi antara angkatan kerja dan bukan angkatan kerja untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas tidak jauh berbeda di semua kabupaten dan kota.
Persamaan ini terlihat pada nilai persentase angkatan kerja yang tidak jauh berbeda dengan persentase bukan angkatan kerja yang berkisar sekitar 50 persen.
Kabupaten dengan persentase angkatan kerja terbesar adalah Kabupaten Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi, masing-masing sebesar 61,01 persendan 58,97 persen. Nilai persentase
angkatan kerja terkecil adalah Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, masing-masing sebesar 51,02 persen dan 52,81 persen. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata
sebagian besarnya terserap di sektor pertanian 52,93 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 13,98 persen dan 10,40
persen. Ketika terjadi kenaikan harga minyak ditahun 2006 ketika ekspor minyak mengalami
peningkatan nilai dibanding dengan tahun 2005 sebesar 19,21 persen nilai ekspor tahun 2001 sebesar US 8.977 juta. Sementara itu nilai ekspor Provinsi Riau terbesar terdapat pada
Pelabuhan Dumai yaitu sebesar US 6.582,19 juta atau 75,16 persen, Pelabuhan Buatan sebesar US 798,42 juta atau 9,18persen dan Perawang sebesar US 702,47 juta atau 8,08
persen. Walaupun Provinsi Riau kaya akan sumberdaya alam, namun penduduk miskin di
Provinsi Riau di setiap kabupaten dan kota jumlahnya cukup banyak, seperti yang tertera pada Tabel 4.7 sebagai berikut:
64
Tabel 4.7 Jumlah Penduduk dan Persentase Keluarga Miskin per Kabupaten dan Kota di Propinsi Riau
KabupatenKota Jumlah Penduduk
Penduduk Miskin Kuantan Singingi
249.606 27,45
Indragiri Hulu 295.291
31,44 Indragiri Hilir
647.512 31,95
Pelalawan 253.308
18,39 Siak
302.182 21,91
Kampar 555.146
23,01 Rokan Hulu
346.848 20,84
Bengkalis 708.363
22,02 Rokan Hilir
421.310 21,76
Pekanbaru 754.448
10,91 Dumai
230.191 17,95
Provinsi Riau 4.764.205
122,19 Sumber: BPS Provinsi Riau, 2007
65
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Identifikasi
Seluruh Peraturan
Perundangan yang
Terkait dengan
Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging
Hierarki peraturan perundang-undangan terkait sistem kebijakan dan hukum dalam pemberantasan pembalakan liar atau illegal loggingdapat dilihat pada Gambar 5.1. Hierarki
tertinggi adalah Undang-Undang dasar 1945, kemudian Undang-Undang atau PERPPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan daerah.
Gambar 5.1 Hirarki Peraturan Perundangan Hukum Positif di Indonesia
Peraturan perundangundangan terkait pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging
dapat diidentifikasi sebanyak dua puluh tiga 23 buah yang terdiri dari
1 UUD 1945 Pasal 33 setelah amandemen ke 4 terkait dengan masalah
SDALH dan tambahan dua kata baru didalam Pasal 33 Ayat 4 UUD 45 pasca amandemen 1999-2002, yaitu kata: demokrasi dan ekonomi;
2 UU UndangUndangNo. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Hayati dan Ekosistemnya;
66
3 UU UndangUndangNo. UU 31 Tahun 1999 tentang TIPIKOR Tindak
Pidana Korupsi; 4
UU UndangUndangNo. 39 Tahun 1999 tentang HAMHak Azazi Manusia;
5 UU UndangUndangNo. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
6 UU UndangUndangNo. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No
31 Tahun 1999 tentang TIPIKOR Tindak Pidana Korupsi; 7
UU UndangUndangNo. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 8
UU UndangUndang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; 9
UU UndangUndangNo. 19 Tahun 2004 sebagai Pengganti PERPPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; 10
UU UndangUndangNo. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 11
UU UndangUndang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 12
UU UndangUndang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
13 UU UndangUndangNo. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; 14
PP Peraturan PemerintahNo. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 15
PP Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 tentangPerubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan; 16
PP Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN; 17
PP Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Batubara;
18 INPRESInstruksi Presiden No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi; 19
INPRESInstruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya
Diseluruh Wilayah Indonesia. 20
PERPPU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999
21 KEPPRES No 41 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Kehutanan No. 41
Tahun 1999
67
22 UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
korupsi 23
INPRES No. 9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahn dan Pemberantasn Korupsi.
Hierarki pengelompokan dari 23 peraturan peraturan perundangundangan yang ditetili terkait dengan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging terdiri dari: 1 1 buah
Undang Undang Dasar; 2 14 buah UU atau Undang Undang; 3 4 buah PP atau Peraturan Pemerintah; dan 4 4 buah INPRES atau Instruksi Presiden.
Peraturan perundang-undangan pada penelitian ini dapat juga dikelompokkan sesuai dengan substansinya. Upaya pengelompokan ini dimaksudkan sebagai panduan agar
mempermudah analisis sesuai dengan sunstansi peraturan perundangundangan yang dikaji. UUD 1945 merupakan payung hukum bagi peraturan dan perundangundangan lainnya
sehingga tidak dimasukkan dalam pembagian kelompok. Berdasarkan kelompok substansi, peraturan dan perundangundangan yang dikaji dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu
kelompok peraturan dan perundangundangan tentang: 1 Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup SDALH, 2 Tata Ruang dan Administrasi TRA dan 3 Budaya dan
Perilaku BP. Tabel 5.1. menyajikan pembagian kelompok peraturan dan perundangundangan sesuai
dengan substansinya. Tabel 5.1 Pembagian kelompok pertauran dan perundangundangan sesuai dengan
Substansinya
Kelompok Jumlah
PeraturanPerundangundangan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan
Hidup SDALH
14
UU No. 5 Tahun 1990, UU no 41 tahun 1999, UU no 22 tahun 2001, UU no 7 tahun 2004, UU no 19 tahun 2004, UU no 4 tahun 2009,
UU no 32 tahun 2009, PP no 45 tahun 2004, PP no 3 tahun 2008, PP no 26 tahun 2008, PP no 23 tahun 2010, INPRES no 4 tahun 2005,
PERPPU no 1 tahun 2004, KEPPRES no 41 tahun 2004
Tata Ruang dan
Administrasi TRA
2 UU no 22 tahun 2001 dan UU no 26 tahun 2007
Budaya dan Perilaku
BP 6
UU no 31 tahun 1999, UU no. 39 tahun 1999, UU no 20 tahun 2001, INPRES No 5 tahun 2004, UU no 30 tahun 2002, INPRES no 9
tahun 2011
Proporsi peraturan perun pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Proporsi pera
Terlihat pada Gambar SDALH adalah sebanyak 14 bua
buah 27.
5.2 Analisis Konten Se Pemberantasan Pembal
Analisis ke 23 buah pera atau illegal logging diamati
ditentukan sebelumnya, yaitu liar dan sanksi. Analisis dilakuka
dari peraturan perundangunda dalam eksplisit dan implis
mengandung indikator atau m dikatakan implisit apabila dal
tersebut. Analisis dilakukan juga
tersebut. Apabila orang mena dikatakan substansi tersebut m
menafsirkan hal yang lain dari rundangundangan berdasarkan kelompok subst
peraturan
perundangundangan
sesuai dengan kelom 5.2,
bahwa peraturan perundangundangan ya 14 buah 64, TRA sebanyak 2 buah 9 da
Seluruh Peraturanperundangan yang balakan Liar atau Illegal Logging
peraturan dan perundangundangan pemberantasa konten atau substansinya berdasarkan 4 indi
itu sustainable development, kerusakan lingku lakukan dengan melihat keberadaan kata kunc
gundangan yang diteliti. Keberadaan kata kunci da plisit. Peraturan perundangundangan dikatak
u memang memuat kata kunci terkait indika dalam substansinya dapat ditafsirkan hal yang
ga terhadap persepsi penafsiran orang yang m enafsirkan hal yang sama dari substansi ters
but memiliki pemahaman yang sama., sedangkan ri substansi tersebut, maka dikatakan bersifat i
68
ubstansi dapat dilihat
lompok Substansi
yang terkait dengan dan BP sebanyak 6
g Terkait dengan
asan pembalakan liar indikator yang telah
kungan, pembalakan kunci terkait indikator
i dapat dikategorikan takan eksplisit jika
ndikator tersebut, dan ang terkait indikator
g membaca substansi ersebut, maka dapat
kan bila orang dapat t implisit.
69
Analisis konten dilakukan terhadap masing-masing peraturan perundangundangan yang diteliti 23 buah. Hasil analisis untuk masing-masing peraturan dapat dilihat pada
Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 23. Sebagai contoh, dilampirkan hasil analisis konten untuk Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan
Ekosistemnya Tabel 5.2. Berdasarkan
hasil analisis
konten untuk
masing-masing peraturan
perundangundangan dapat terlihat bahwa sebagian peraturan perundangundangan yang dikaji mengandung keempat indikator yang ditetapkan ataupun hanya sebagian indikator
dan bahkan tidak ditemukan satupun indikator pada peraturan perundangundangan yang dikaji tersebut.