System model development of indonesian illegal logging eradication policy and law a study in Riau Province Rain Forest

(1)

MODEL PENGEMBANGAN

SISTEM KEBIJAKAN DAN HUKUM PEMBERANTASAN

PEMBALAKAN LIAR ATAU ILLEGAL LOGGING

(STUDI KASUS DI PROVINSI RIAU)

MARISSA GRACE HAQUE FAWZI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

Untuk yang selalu ada di hati: Papa (alm) H. Allen Haque dan Mama (alm) Hj. R Ay. Mieke Soeharijah Dato’ (alm) H. Fawzi Abdulrani dan Ibu (alm) Setia Nurul Muliawati Moe’min Suamiku H. Ahmad Zulfikar Fawzi (Ikang Fawzi) Kedua Mutiara Hatiku Isabella Muliawati (Bella) dan Marsha Chikita (Kiki)


(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan di dalam disertasi ini yang berjudul: ”Model Pengembangan Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging untuk Pengendalian Bencana Ekologis (Studi Kasus Hutan Provinsi Riau)” adalah gagasan, karya, serta penelitian saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Serta disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data serta informasi yang digunakan dalam disertasi ini, telah dinyatakan dengan jelas serta dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

Marissa Grace Haque Fawzi P062050514


(4)

ABSTRACT

MARISSA GRACE HAQUE FAWZI. ”System Model Development of Indonesian Illegal Logging Eradication Policy and Law: a Study in Riau Province Rain Forest.” Under the direction of RINEKSO SOEKMADI, HASIM, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, and DAUD SILALAHI.

A high rate and massive illegal logging cases from the past until to date, and the low rate of law compliance in the sense of Indonesia law and policy implementation, awoke some issues that encourage Indonesia and Indonesian jurists to build a better system. Conducting the research from 2005-2007, and thoroughly observing its development until 2011, from as many as 23 Statutory Laws start from the umbrella of the Basic Law or UUD 45 (Undang Undang Dasar 1945), follow with Laws or UU (Undang Undang), Policies or Kebijakan as Government Regulation or PP (Peraturan Pemerintah), Presidential Decree or KEPPRES (Keputusan Presiden), and Presidential Instruction or INPRES (Instruksi Presiden), strive the researcher to scrutinize them prudently.

The Content Analysis research conduction uses 10 criteria, as follow: (1) Hierarchy; (2) Indonesian Law System; (3) Regulation Number; (4) Article; (5) Main Topic; (6) Indicator; (7) Explicit; (8) Implicit; (9) Simila- understanding; (10) Multi-understanding. And 4 indicators, as follow: (1) Sustainable Development; (2) Illegal Logging (including Timber Theft); (3) Environmental Degradation; and (4) Sanction. Study of the 23 Indonesian law and policies or regulations, be divided based on its substances in 3 groups, as follow: (1) Natural Resources and Environment (SDALH), (2) Spatial Planning and Administration (TRA) dan (3) Culture and Behavior (BP). Produce statutory law associated with SDALH as much as 14 statutory laws (64%), TRA as much as 2 statutory laws (9%) and BP as much as 6 statutory laws (27%). The study of comprehensive statutory regulation results that the post reformation era with four times UUD 45 amendment, shows that all laws and regulations related with policy and law that stand to sustainable development especially sustainable forest management, up to 2011 tend to diminishing even hardly impartial. The research conduction aims to build a model system, which might contribute to the 2012 national acceleration anti-illegal logging movement in Indonesia region.

Key words: Sustainable Development, Illegal Logging, Model System, Basic Law or UUD 45 (Undang Undang Dasar 1945), Laws or UU (Undang Undang), Policies or

Kebijakan as Government Regulation or PP (Peraturan Pemerintah), Presidential Decree or KEPPRES (Keputusan Presiden), Presidential Instruction or INPRES (Instruksi Presiden)


(5)

RINGKASAN

MARISSA GRACE HAQUE FAWZI. ”Pengembangan Model Sitem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging: Studi Kasus di Provinsi Riau.” Di bawah bimbingan RINEKSO SOEKMADI, HASIM, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, dan DAUD SILALAHI.

Maraknya pembalakan liar atau illegal logging terjadi sejak dulu hingga kini, diakibatkan oleh rendahnya rasa kepatuhan terhadap implementasi hukum dari seluruh peraturan perundangundangan yang ada, membangkitkan kesadaran bagi para pemerhati dan penegak hukum Indonesia untuk mencari serta membangun sebuah sistem yang lebih baik. Penelitian dilakukan dari tahun 2005-2007, serta meneruskan penelitian terdahulu secara terus-menerus secara hati-hati hingga tahun 2011, terhadap 23 peraturan perundangundangan mulai dari payung hukum yaitu UUD 45 (Undang Undang Dasar 1945),UU (Undang Undang), Kebijakan, hingga PP (Peraturan Pemerintah), KEPPRES (Keputusan Presiden), dan INPRES (Instruksi Presiden). Analisis Konten yang dilakukan dengan memakai 10 kriteria, yaitu: (1) Hierarki; (2) Sistem Hukum Indonesia; (3) Nomor Peraturan; (4) Pasal; (5) Topik Utama; (6) Indikator; (7) Eksplisit; (8) Implisit; (9) Pemahaman Sama; (10) Multi Tafsir. Dan 4 indikator, yaitu: (1) sustainable development; (2) Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu); (3) Kerusakan Lingkungan; dan (4) Sanksi. Kajian dari seseluruhan 23 peraturan perundangundangan dibagi lagi berdasarkan kelompok substansinya dalam 3 kelompok: (1) Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (SDALH), (2) Tata Ruang dan Administrasi (TRA) dan (3) Budaya dan Perilaku (BP). Menghasilkan peraturan perundangundangan yang terkait dengan SDALH adalah sebanyak 14 buah (64%), TRA sebanyak 2 buah (9%) dan BP sebanyak 6 buah (27%). Hasil kajian menyeluruh terhadap Peraturan perundang-undangan yang dikaji maka hasil Analisis Konten untuk semua peraturan perundangundangan yang diteliti menunjukkan bahwa pasca reformasi dan empat kali amandemen UUD 45, terlihat bahwa seluruh peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan yang berpihak kepada pembangunan berkelanjutan atau sustainable development khususnya sustainable forest management hingga tahun 2011 semakin berkurang bahkan nyaris tidak berpihak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi model sistem pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging terhadap percepatannya di tahun 2012 ini untuk seluruh wilayah Indonesia.

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan laju degradasi hutan akibat pembalakan liar atau illegal loggingyang relatif tinggi. Selama dua puluh tahun terakhir kerusakan hutannya mencapai 3,7 juta ha dari 8.598.757 ha penutupan lahan yang sebelumnya berupa hutan tropis. Kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 390.000 ha, kawasan suaka alam dan pelestarian alam (KSPA) daratan seluas 410.908 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.960.128 ha, dan hutan produksi tetap (HP) seluas 1.873.632 ha. Saat ini kondisi hutan alam di Provinsi Riau sudah sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan dimana luasan hutan alam yang tersisa sekitar 1 juta ha (Bappedalda Riau, 2005).


(6)

Tim Illegal Logging Mabes Polri dan Departemen Kehutanan sebelum awal tahun 2007 telah menyeret 14 buah anak perusahaan perkayuan milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper

(RAPP) dan PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Ke 14 perusahaan ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pembalakan liar atau illegal logging di Provinsi Riau. Proses pemberkasan perkara telah dilakukan selama hampir dua tahun sejak tahun 2005. Namun, berdasarkan keterangan tim ahli dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan, pada akhirbulan Desember 2008 dianggap kurang cukup bukti atas perbuatan melawan hukumnya atau onrechtmatigheids beleid-nya.

Merujuk pada kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa implementasi sistem kebijakan perlindungan hutan belum efektif dan seluruh kebijakan peraturan per-Undang-Undang-an terkait perlindungan hutan dari seluruh pemangku kepentingan atau stake holders para pembuat keputusan di Indonesia belum terintegrasi dalam sebuah kesatuan sistem yang holistic dan terintegrasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu kajian yang komprehensif tentang sistem hukum dan kebijakan dalam melindungi hutan dari pembalakan liar atau illegal logging di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau yang berdampak terhadap aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.

Cara pemecahan masalah yang dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan pelaku dan mengintegrasikan keseluruhan kebutuhan pelaku dalam suatu sistem dan operasi. Ciri pendekatan sistem adalah mencari semua faktor yang penting untuk memperoleh solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno, 1999).

Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem yang dimulai dari identifikasi peratutan perundang-undang an yang terkait dengan pembalakan liar. Model akan disusun berdasarkan hasil identifikasi akan dilakukan analisis konten terhadap isi dari peraturan perundang-undangan tersebut. Analisis konten akan didasarkan pada empat indikator yaitu Sustainable development, Kerusakan Lingkungan, Pembalakan Liar dan Sanksi. Dalam melaksanakan analisis konten, substansi peraturan dan per-Undang-Undang-an akan dilihat berdasarkan 4 indikator yang telah disebutkan di atas. Analisis didasarkan pada kata kunci ataupun kesamaan arti(persepsi) terhadap definisi indikator terkait. Apabila substansi berisikan kata kunci dari indicator yang diacu, maka peraturan tersebut dapat dikategorikan mengandung indicator tersebut (eksplisit) dan dikelompokkan pada pemahaman sama. Hal ini berarti setiap orang yang membaca substansi peraturan tersebut dan mengaitkan dengan indikator yang ditetapkan akan memiliki pemahaman yang sama. Apabila substansi mengandung perngertian terkait dengan indikator namun tidak secara jelas (eksplisit) sehingga belum tentu penafsiran seseorang akan sama. Hal demikian dikategorikan pada kelompok implisit dan pemahaman multi tafsir.

Berdasarkan hasil analisis konten akan dilakukan analisis kesenjangan dengan mengelompokkan kembali hasil analisi konten dalam kategori yang sesuai sebagai berikut :

Peraturan dan per-Undang-Undangan terkait indikator belum ada

Peraturan dan perundangundangan terkait indikator sudah ada, namun masih bersifat implisit sehingga bersifat multi tafsir

Peraturan dan perundangundangan terkait indikator sudah ada, dan tertulis secara eksplisit sehingga dikategorikan pada pemahaman yang sama


(7)

Berdasarkan kelompok yang disebut di atas, maka dapat dicari usulan solusi terhadap kategori hasil analisis tersebut. Kasus riil yang terjadi di Propinsi Riau akan dicoba diaplikasikan pada model ini untuk tujuan uji coba validasi model. Berdasarkan hasil uji coba akan diusulkansaran kebijakan yang perlu dilakukan dalam rangka memperbaiki sistem hukum dan kebijakan peratuan perundangundangan yang terkait dengan pembalakan liar.

Peraturan perundangundangan terkait pemberantasan pembalakan liar dapat diidentifikasi sebanyak dua puluh tiga (23) buah yang terdiri dari: UUD 1945 Pasal 33, UU (UndangUndang) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; UU (UndangUndang) No. UU 31 Tahun 1999 tentang TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi); UU (UndangUndang) No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (Hak Azazi Manusia); UU (UndangUndang) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU (UndangUndang) No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi); UU (UndangUndang) No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU (UndangUndang) No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; UU (UndangUndang) No. 19 Tahun 2004 sebagai Pengganti PERPPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU (UndangUndang) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;UU (UndangUndang) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU (UndangUndang) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;UU (UndangUndang) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP (Peraturan Pemerintah)No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; PP (Peraturan Pemerintah) Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 tentangPerubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan; PP (Peraturan Pemerintah) No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN; PP (Peraturan Pemerintah) No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Batubara; INPRES (Instruksi Presiden) No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi; INPRES (Instruksi Presiden) No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya Diseluruh Wilayah Indonesia. PERPPU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 KEPPRES No 41 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dan INPRES No. 9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasn Korupsi.

Berdasarkan hasil analisis konten terlihat bahwa sebagian besar peraturan per-Undang-Undang-an mengandung indikator sustainable development. Hasil analisis menyatakan bahwa indikator ini sudah dituliskan secara eksplisit dalam peraturan perundangundangan yang dikaji. Pernyataan eksplisit dari indikator ini memberikan pemahaman yang sama bagi orang yang membaca peraturan perundangundangan tersebut. Namun demikian masih ditemukan pula bahwa indikator ini bersifat implisit. Hal ini mengakibatkan persepsi pemahaman multi tafsir bagi orang yang membacanya. Pemahaman multi tafsir memiliki kelemahan apabila akan diacu sebagai peraturan di level yang lebih rendah. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa pada UUD 1945 hanya terdapat 9 pasal yang mengandung indikator sustainable development yangmasih bersifat implisit dan berarti dapat diartikan sebagai multi tafsir bagi orang yang membacanya.

Berdasarkan hasil analisis konten juga baik secara hierarki maupun kelompok, maka dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangundangan yang terkait dengan penelitian ini masih sedikit yang mencantumkan indikator yang telah ditentukan secara eksplisit sehingga dapat


(8)

dipahami secara sama oleh orang yang membacanya. Hal ini berarti bahwa kebijakan dan sistem hukum pemberantasan pembalakan liar masih belum lengkap dan belum terintegrasi sehingga penerapan tentunya belum efektif.

Model Sistem Kebijakan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar disusun sesuai dengan pengelompokan hasil analisis konten. Penyusunan model didasarkan pada analisis kesenjangan dari hasil analisis konten yang telah dilakukan sebelumnya. Seperti telah diterangkan sebelumnya bahwa sistem kebijakan dan hukum pemberantasan pembalakan liar (23 peraturan perundangundangan) hanya mencantumkan 4 indikator yang telah ditentukan secara implisit dan bersifat multi tafsir. Oleh karena itu, dalam penyusunan model dapat dibuat beberapa bagian sesuai dengan kesenjangan yang ditemukan dalam analisis konten.


(9)

ix

@Hak Cipta Milik IPB (Institut Pertanian Bogor), Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang

1.

Dilarang untuk mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini

tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik, atau tinjuan masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB yang

sewajarnya

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dari karya tulis ilmiah ini dalam bentuk apapun

juga tanpa seizin dari IPB.


(10)

MODEL PENGEMBANGAN

SISTEM KEBIJAKAN DAN HUKUM PEMBERANTASAN

PEMBALAKAN LIAR ATAU ILLEGAL LOGGING

(STUDI KASUS DI PROVINSI RIAU)

Oleh:

MARISSA GRACE HAQUE FAWZI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(11)

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2011. Waktu ujian pada: Pk 09.00-12.00 Penguji Luar Komisi:

1. Prof.Dr.Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr 2. Dr.Eng. Taufik Djatna, S.TP, MSi

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2012. Waktu ujian pada: Pk 10.00-12.00 Penguji Luar Komisi:

1. Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS 2. Dr. Hadi Daryanto, DEA


(12)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging: Studi Kasus di Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : Marissa Grace Haque Fawzi NRP : P062050514

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Rinekso Soekmadi, MScF Dr.drh. Hasim, DEA Ketua Anggota

Dr.Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Prof.Dr.Daud Silalahi, SH Anggota Anggota

Mengetahui:

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Pascasarjana IPB Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(13)

PRAKATA

Pembalakan liar atau illegal logging marak terjadi di Indonesia. Khusus di Provinsi Riau, upaya pemberantasan pembalakan liar atau lllegal logging ini telah dilakukan sejak lama, namun belum dapat memberikan dampak jera terhadap para pelakunya karena instrumen hukum positif yang tersedia di Indonesia sampai dengan hari ini belum mampu secara maksimal menjerat mereka. Sehingga hingga kini pembalakan liar atau lllegal logging

masih marak terjadi secara hampir merata diseluruh Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis sistem hukum (kumpulan peranturan perundangundanganan) yang tersedia di Indonesia terkait dengan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging; serta (2) mengembangkan sistem kebijakan dan hukum pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging yang efisien, efektif, transparan, serta berkelanjutan didukung partisipasi aktif seluruh stakeholder terkait bidang kehutanan.

Dengan terselesaikannya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada Prof.Dr. Herry Suhardiyanto, MSc selaku Rektor IPB, Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Pasca Sarjana IPB, Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, selaku Ketua Program Studi PSL IPB, Dr.Ir. Rinekso Soekmadi, MScF selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta kepada Dr.drh. Hasim, DEA, Dr.Ir. Hatrisari Hardjomidjojo, DEA, dan Prof.Dr. Daud Silalahi,SH dimana masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan masukan serta arahan dalam penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai dengan dapat diselesaikannya penulisan disertasi ini.

Khusus kepada tiga mutiara cinta penulis Drs. Ahmad Zulfikar Fawzi (Ikang Fawzi) serta kedua anakku Isabella Muliawati (Bella) dan Marsha Chikita (Kiki), terimakasih banyak untuk cinta, pengertian, dorongan semangat yang tak kunjung putus sampai detik terakhir.

Kepada (alm) Papa H. Allen Haque dan (alm) Mamaku R.Ay Mieke Soeharijah yang penulis yakini bibit spirit belajar dan kesukaan atas membaca serta mengoleksi buku, mengkliping berita, serta ‘memulung’ ilmu yang tak pernah berhenti, menurun, tumbuh dan berkembang pada diri penulis semenjak kecil sampai seumur sekarang.


(14)

Juga kepada Dato’ Fawzi Abdulrani the singing ambassador ayah mertua penulis dan ibu mertua penulis (alm) Ibu Setia Nurul Muliawati binti Mu’min yang selalu mendoakan kelancaran studi dan riset di IPB selama ini.

Tak lupa juga kepada yang setia Sekretaris penulis R.A. Menik Kodrat, Pak Didin, Dede, dan Jojo tiga supirku yang secara bergantian menemani dalam perjalanan dari Bintaro ke Bogor, serta Bambang Jaim anak asuh penulis yang selalu mendampingi siang dan malam, serta dalam suka dan duka.

Kepada Bapak Jamal Gozi dan Bapak Riksa dari PT. Sarung Cap Gajah Duduk yang pertamakali tergerak hatinya untuk memberikan sponsor riset awal ke Provinsi Riau diawal tahun 2007.

Khusus kepada konsorsium NGO Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) dan Walhi Riau alhamdulillah saya berhasil mengumpulkan banyak data primer dan sekunder. Saya merasa sangat tersanjung ketika Mas Santo sebagai Ketua Jikalahari serta seluruh jajaran tim diantaranya Mas Kaka (Khairiansyah), Mbak Ayu dan Mas Joni Mundung dari Walhi Riau dengan sangat bersahabat menerima saya dan tim untuk bergabung kedalam tim besarnya.

Wakil Gubernur Provinsi Riau asal PPP, Bapak H. Wan Abubakar yang sempat menjadi Gubernur Riau definitif selama tiga bulan dimasa transisi tahun 2008 lalu. Termasuk kepada yang saya sayangi adinda Rozi alias Oji dan Faisal Umar dari harian Tribun Pekanbaru atau Persda atau grup harian Kompas di Pekanbaru, Riau.

Serta pengahargaan sangat tinggi kepada para polisi teladan Indonesia beserta seluruh jajaran Mapolda Riau, mantan Kapolda Riau saat itu yang sekarang menjadi Gubernur Akpol (Akademi Polisi) di Semarang Bapak Irjen Pol Drs.Sutjiptadi,MM dan istrinya Ibu Ririek Sutjiptadi. Juga Sekretaris Bidang Kepaniteraan MA RI (Mahkamah Agung Republik Indonesia) Bapak H.R.M Anton Suyatno,SH,MH dan mbak Ayu Verliani,SH.

Yang saya kasihi Bunda Emilia Contessa dan Pak Usamah suaminya, fungsionaris PPP, Ustad Ahmad Jaro salah seorang Mursyid Tasawuf saya dan asistennya Ketua Yayasan Hasbunallah Mas Tri beserta seluruh keluarga besar Yayasan Hasbunallah dari Kota Tanjung, Kalsel. Juga keluarga besar PPP di Kalimantan Selatan, Bapak Gubernur Rudi Arifin dan Ketua DPRD Kalsel Bapak Saiful Tamliha.


(15)

Yang terhormat Duta Besar RI di Belanda Bapak Fanny Habibie yang secara sangat

surprise dengan segala kerendahan hati terketuk hati terdalamnya turut membiayai penelitian ini.

Yang juga sangat penting dalam langkah menuju akhir penelitian ini adalah Ketua Wali Amanah civitas academica IPB Prof.Dr. Didiek Rachbini yang memberikan kepercayaan serta dukungan tinggi penuh semangat, khususnya pada ujung proses penyempurnaan penulisan disertasi ini,

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang dengan keikhlasan tinggi, namun tak mungkin lagi disebut namanya satu persatu yang telah membantu penyelesaian studi Doktoral di IPB ini. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dengan ribuan kali lipat pahala kepada anda semua.

Bogor, Januari 2012 MARISSA GRACE HAQUE FAWZI


(16)

(17)

MODEL PENGEMBANGAN

SISTEM KEBIJAKAN DAN HUKUM PEMBERANTASAN

PEMBALAKAN LIAR ATAU ILLEGAL LOGGING

(STUDI KASUS DI PROVINSI RIAU)

Oleh:

MARISSA GRACE HAQUE FAWZI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(18)

RIWAYAT HIDUP

arissa Grace Haque Fawzi, lahir di Balikpapan, pada tanggal 15 Oktober 1962. Mengikuti Ayahnya yang merupakan karyawan PT. Pertamina, mulai bersekolah pada pendidikan TK dan SD Nasional di Palembang, Sumatra Selatan. Mengikuti kepindahan orangtuanya ke Jakarta, pada SD Tebet Timur Pagi III, SMP Negeri 73 Tebet, lalu dilanjutkan di SMA Negeri 8, Bukitduri, Jaksel sebagai sekolah menengah atas terbaik atau unggulan negeri se-Indonesia. Lulus program sarjana atau SH (S1) dari Universitas Trisakti (Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat) Jakarta dengan jurusan Hukum Perdata. Lulus program Magister in Humaniora atau MHum (S2) dari Universitas Katolik Atmajaya, di Fakultas Linguistik Terapan Bahasa Inggris jurusan

Psicho-linguistics dengan keahlian utama Pengajaran Bahasa Inggris untuk Anak-anak Tuna-rungu. Lulus program Magister in Business Administratration atau MBA (S2) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Fakultas Ekonomika Bisnis, dengan spesialisasi pada Manajemen Stratejik-pemasaran.

Berbagai prestasi dan profesi telah diraih sejak tahun 1981. Mulai dari Pemenang Piala Citra sebagai Aktris Pembantu Wanita Terbaik pada FFI 1985 di Bandung dalam fil berjudul “Tinggal Landas Buat Kekasih” arahan Sutradara Sophan Sophiaan (alm) dimana penulis bertemu dengan suaminya saat ini Ikang Fawzi sebagai sesama aktor dan aktris pendukung, dan Best Actress pada FFAP (Asia Pacific Film Festival) ke 62 di Taipei, Taiwan dalam Film berjudul “Matahari Matahari” arahan sutradar Arifin. C. Noor (alm). Diluar itu penulis juga terlibat sebagai pemain drama TV, model iklan, spoke person berbagai produk iklan, dan berbagai posisi profesional secara luas dalam bidang pendidikan kesejahteraan perempuan terkait ekonomi kecil dan mikro (UKM dan UMKM), kesehatan, serta pendidikan anak usia dini (PAUD). Pada tahun 2004 menjadai Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dan pada tahun 2006 menjadi kandidat Wakil Gubernur Banten.

Memiliki usaha dibidang rumah produksi PT. SAI Films (Saya Anak Indonesia) yang membuat film layar lebar, film dokumenter, iklan TV, iklan penyuluhan, dan lain sebagainya. Penulispun masih sempat sangat aktif berorganisasi di: (1) MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) sebagai Ketua Bidang Komunikasi dan Diseminasi Informasi; (2) KAHMI (Korps Alumni Mahasiswa Islam Indonesia sebagai Wakil Ketua Bidang Kesenian; (3) ASAHI (Asosiasi Auditor Hukum Indonesia) sebagai Ketua Bidang Komunikasi dari FH-UGM.

Menikah dengan Ikang Fawzi (Ahmad Zulfikar Fawzi), lulus dari FISIP UI jurusan Administrasi Niaga (S1), dan lulus dari program Magister in Business Administratration atau MBA (S2) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Fakultas Ekonomika Bisnis, dengan, dengan spesialisasi pada Manajemen Stratejik Property-taiment. Memiliki dua anak putri, yang pertama bernama Isabella Fawzi (Bella) lulus dari Fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Inggris UI (Universitas Indonesia) dan kini meneruskan pada FISIP UI jurusan Komunikasi, serta putri kedua bernama Marsha Chikita Fawzi (Kiki) lulus dari MMU (Malaysian Multimedia University), Malaysia pada

Creative Multimedia Faculty jurusan Film Animation dengan spesialisasi pada bidang

Film Animation, merupakan salah seorang film animator serial TV produksi Malaysia Lez Copaque berjudul Upin dan Ipin.

Penulis melanjutkan pendidikan pada Program Doktor di PSL-IPB (Pusat Studi Lingkungan-Institut Pertanian Bogor) sejak 2006 sampai dengan akhir 2008 dan masih kuliah di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM Jurusan Business Law pada 2010-2012, dengan spesialisasi pada Hukum Paten dan Kekayaan Intelektual Indonesia, serta di PKSTTI UI (Pusat Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia) dengan jurusan Perbankan Syariah.


(19)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL (1)……….……... i

LEMBAR PERNYATAAN ……….. iii

ABSTRACT ……….…………...…… iv

RINGKASAN ……… v

HAK CIPTA ……….. xi

LEMBAR JUDUL (2)……….……... xii

JADWAL UJIAN TERTUTUP DAN TERBUKA ………... xiii

LEMBAR PENGESAHAN……… xiv

KATA PENGANTAR ………..……….… xv

RIWAYAT HIDUP ……… xxi

DAFTAR ISI ……….……….... xxii

DAFTAR TABEL ……….……….…… xv

DAFTAR GAMBAR ………..….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ……….……….………..……. xvii

INTISARI .……….………..…... xviii

BAB I PENDAHULUAN ……….………... 1

1.1Latar Belakang ……….... 1

1.1.1 Kondisi HutanPembalakan Liar atau Illegal Logging...………. 2

1.1.2 Pembalakan Liar atau Illegal Logging Terkait Bencana Ekologis....……… 3

1.1.3 Efektivitas dan Implementasi Kebijakan terkait dengan Bencana Ekologis…...……....…….……. 4

1.2Rumusan Permasalahan …..………....……....……. 7

1.3Tujuan Penelitian ……….…... 9

1.4Batasan Masalah .………...…... 9

1.5Manfaat Penelitian …..……….………....…………. 9

1.6Kerangka Pikir Konseptual ……….. 10

1.7Kebaruan Penelitian…..……….………....……...…. 12

1.8Sistematika Penulisan …..……….………....………. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………..……….……… 14

2.1 Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development..………...…… 14

2.2 Hutan dan Pengelolaan Hutan...……..….….…..…. 16

2.2.1 Manfaat Hutan...……..…….…..…… 16

2.2.2 Pengelolaan Sumberdaya Hutan ………. 17

2.2.2.1 Kebijakan Zaman Kolonial Belanda...…… 17

2.2.2.2 Kebijakan Zaman Penjajahan Jepang...… 19

2.2.2.3 Kebijakan Orde Lama ………...… 20

2.2.2.4 Kebijakan Orde Baru ………...… 21

2.2.2.5 Kebijakan Tahun 1985-1990 ………...… 23

2.2.2.6 Kebijakan Tahun 1990-an ………...… 26

2.2.3 Nilai Ekonomi Hutan ………..………. 27

2.3Kebijakan dan Sistem Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging…. 30


(20)

2.4Demokrasi-Peran Negara dalam Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging... 35

BAB III METODE PENELITIAN………...…….………. 38

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………...………. 38

3.2 Metodologi ……….……….……... 38

3.3 Sumber Data ………...………..…….. 41

3.4 Tahapan Penelitian………...……….. 41

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DI PROVINSI RIAU……….……… 44

4.1 Kondisi Geologi, Topografi, dan Iklim...……….…….…. 44

4.2 Tata Ruang Penggunaan Lahan………..……. 46

4.2.1 Lahan Kritis ………..……….. 47

4.2.2 Pembalakan Liar atau Illegal Logging ……… 49

4.3 Flora dan Fauna...………...………. 51

4.4 Rencaa Ruang Tata Wilayah Provinsi Riau ……..……….………. 56

4.5 Ekonomi Wilayah ………...………... 60

4.6 Kependudukan dan Sosial ..………...………... 61

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ………...………..….. 65

5.1 Identifikasi Seluruh Peraturan Peundangan yang Terkait dengan Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging……….………..….. 66

5.2 Analisis Konten Seluruh Peraturan Perundangan yang Terkait dengan Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging .………..…..….. 68

5.3 Model Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging………...…… 98

5.4 Fakta di Lapangan dari Implementasi Seluruh Peraturan Perundangan yang Terkait dengan Pemberantasan Pembalakan Liar Illegal Logging …...……… 101

5.5 Fakta lapangan Kondisi Kerusakan Lingkungan Hutan Tropis Akibat Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging di Propinsi Riau (2007-2009)…...……..…... 106

5.6 Uji Coba Verifikasi dan validasi Model dengan fakta lapangan diProvinsi Riau……….…… 109

5.7 Peran Negara dalam Penanganan Hukum atas Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging di Provinsi Riau……… 112

5.8 Usulan Kebijakan Hasil Uji Coba Model……….………. 115

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……….………. 119

6.1 Kesimpulan ……….….……….. 119

6.2 Rekomendasi ………...…...……… 120

DAFTAR PUSTAKA (BIBLIOGRAPHY) ………...……….………. 121


(21)

(22)

(23)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Estimasi Nilai Ekosistem Hutan………….……….………... 29 Tabel 2.2 Klasifikasi KEPPRES (Keputusan Presiden RI) Berdasarkan Wewenang Administrasi

Negara Dimasa Mantan Presiden Soeharto (1987-1998) ……….……… 36 Tabel 3.1 Analisis Konten atau Analisis Isi terhadap Substansi Peraturan Perundangundangan RI ………..………….………..………..……… 40 Tabel 3.2 Analisis Konten terhadap Substansi Peraturan Perundangundangan ………. 42 Tabel 4.1 Luas Wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau ……….……….…………..………. 45 Tabel 4.2 Luas Hutan di Provinsi Riau Tahun 2006 ……….………..………. 46 Tabel 4.3 Luas Area Hutan Bakau di Provinsi Riau ……….………..……… 47 Tabel 4.4 Lahan Kritis di Provinsi Riau ………….………..…………...………. 48 Tabel 4.5 Draft Revisi RTRWP Tahun 2001-2015 untuk Arahan Pemanfaatan Ruang

di Provinsi Riau……….……….. 60 Tabel 4.6 Volume Ekspor dari Provinsi Riau Tahun 1995-2000………….……….……….. 61 Tabel 4.7 Jumlah Penduduk dan Presentase Keluarga Miskin per Kabupaten dan Kota

di Provinsi Riau ………..…….……… 64 Tabel 5.1 Pembagian Kelompok Peraturan Perundangundangan Sesuai dengan Substansinya….. 67 Tabel 5.2 Hasil Analisi Konten Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya ………..……..………. 70 Tabel 5.3 Hasil Analisis Konten untuk Semua Peraturan Perundangundangan yang

Diteliti……….………..……… 82 Tabel 5.4 Hasil Analisis Konten untuk Peraturan Perundangundangan Kelompok

SDALH……….….………..…………...………. 95 Tabel 5.5 Hasil Analisis Konten untuk Peraturan Perundangundangan Kelompok

TRA……….….………..…………...…. 96 Tabel 5.6 Hasil Analisis Konten untuk Peraturan Perundangundangan Kelompok

BP……….….………..…………...………….…. 97 Tabel 5.7 Ringkasan Putusan Kasus Pidana Pembalakan Liar atau Illlegal Logging di Provinsi Riau……….….………..…………...……… 110


(24)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian……….……….……..……….……….... 11 Gambar 2.1 Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1995)…….………….…... 14 Gambar 2.2 Kehilangan Dataran Rendah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Priode

Tahun 1985-1997………..……….……….…... 27 Gambar 2.3 Ekosistem Regional dan Sistem Sosial……….……….………….………... 31 Gambar 2.4 Proses Perkembangan Kejahatan Pembalakan Liar atau Illegal Logging

di Indonesia….……….……….….. 34 Gambar 2.5 Hirarkhi Asas dalam Hukum Positif di Indonesia…..……….………..….….... 35 Gambar 3.1 Peta Wilayah Administratif atau Wilayah Penelitian di Provinsi Riau………. 38 Gambar 3.2 Pendekatan Sistem (Hartrisari, 2007)………...……….…... 39 Gambar 3.3 Diagram input………...……….…... 40 Gambar 4.1 Luas Lahan Kritis di Provinsi Riau Tahun 2006……….……….…... 48 Gambar 4.2 Perubahan Lahan Tutupan Hutan di Provinsi Riau selama Tahun 1990-2006….…... 56 Gambar 4.3 Catatan atas Hutan yang Tersisa di Provinsi Riau Tahun 2005…….………... 57 Gambar 4.4 Rencana Rata Ruang Tata Wilayah di Provinsi Riau Tahun 2005…….………... 58 Gambar 5.1 Hirarki Peraturan Perundangundangan Hukum Positif Indonesia…….………... 65 Gambar 5.2 Proporsi Peraturan Perundangundangan Sesuai dengan Kelompok Substansi………. 68 Gambar 5.3 Struktur Model Ideal Kebijakan dan Sistem Hukum Pemberantasa Pembalakan Liar

atau Illegal Logging……….…….………... 99 Gambar 5.4 Proses Perkembangan Kejahatan Pembalakan Liar atau Illegal Logging

di Indonesia…….……….……... 102 Gambar 5.5 Kelompok Sindikat Pembalakan Liar atau Illegal Logging ……….………... 103 Gambar 5.6 Diagram Input Output……….……….………... 109 Gambar 5.7 Model Hubungan antara Kinerja, Insentif, dan Sanki Administratif.…….………... 117


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UUD 1945….……….……….. 132 Lampiran 2 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Hayati danEkosistemnya……….. 140 Lampiran 3 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. UU 31 Tahun 1999 tentang (Tindak Pidana Korupsi)………...………..….. 151 Lampiran 4 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 39 Tahun 1999

tentang HAM (Hak Azazi Manusia) ……….……….….………. 162 Lampiran 5 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan……….……….………...……….. 174 Lampiran 6 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang TIPIKOR

(Tindak Pidana Korupsi) ……….……….….………. 197 Lampiran 7 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. No. 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi ….……….……….….………. 209 Lampiran 8 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 22 Tahun 2001………...………..225 Lampiran 9 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 19 Tahun 2004 sebagai

Pengganti PERPPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ...………..….246 Lampiran 10 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Otonomi Daerah ...………...…….……….247 Lampiran 11 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang ……….………….……….……….….……….292 Lampiran 12 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara ……….……….………….….……….311 Lampiran 13 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ……….….……….350 Lampiran 14 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi PP No. 45 tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan………..….….…….379 Lampiran 15 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi PP Republik Indonesia

No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 Tahun 2007

tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan……….….…….392 Lampiran 16 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi PP No. 26 tahun 2008 tentang

RTRWN………..…………...…….404 Lampiran 17 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi PP No. PP No. 23 Tahun 2010

tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Batubara……...…….433 Lampiran 18 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi INPRES No. 5 Tahun 2004 tentang

Percepatan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi……….…………..…..453


(26)

Lampiran 19 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi INPRES No. No. 4 Tahun 2005

tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Sseluruh Wilayah Indonesia…………..…...456 Lampiran 20 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi PERPPU No 1 Tahun 2004 tentang

Perubahan Undang Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999…………..…...458 Lampiran 21 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi KEPPRES No 41 Tahun 2004

tentang Perubahan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999………….….………. 459 Lampiran 22 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi………... 460 Lampiran 23 Hasil Analisis Konten atau Analisis Isi INPRES No. 9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahn dan Pemberantasan Korupsi. ………….……….………. 476


(27)

(28)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sumberdaya hutan dengan potensi manfaatnya yang bersifat tangible dan

intangible dapat memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan dan kehidupan

masyarakat, misalnya dalam menyediakan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Nilai manfaat hutan tidak hanya didasarkan pada nilai manfaat ekonomi, tetapi juga atas nilai manfaat sosial dan perlindungan ekosistem. Astana et al.

(2002) menyatakan, bahwa peran ekonomi kehutanan ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan dalam peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah serta peningkatan pertumbuhan ekonomi. Devisa negara dari produk hasil hutan selama periode 1991-2001 berkisar US$ 3,46-5,43 miliar dengan laju peningkatan sebesar 5-10 persen per tahun yang dihitung berdasarkan nilai ekspornya (Santoso, 2008). Lebih lanjut Santoso (2008) menyebutkan bahwa nilai devisa produk hasil hutan pada periode tahun 1990-1997 mencapai 30 persen dari nilai ekspor industri nasional, sedangkan pada tahun 1998-2002 nilai devisa hutan sebesar 12 persen dari total produk industri. Selain nilai ekonomi tersebut, sumberdaya hutan juga memberikan kontribusi dalam menyediakan jasa lingkungan yang nilai keberadaan dan fungsinya potensial dalam menyangga kehidupan masyarakat misalnya jasa lingkungan air, penyerapan karbon, dan rekreasi alam.

Praktik pembalakan liar atau illegal logging terjadi karena adanya mekanisme ekonomi pasar yaitu pemenuhan supply dan demand. Kebutuhan kayu terutama untuk kebutuhan bahan baku industri (perkayuan) yang jauh lebih besar dari ketersediaan kayu yang dapat dipasok dari praktik pemanenan kayu legal telah mendorong praktik pembalakan liar atau illegal logging. Industri kehutanan yang seharusnya mendapatkan pasokan bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman industri seringkali terpaksa mengupayakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam karena jumlah bahan baku tidak cukup dalam memenuhi kapasitas terpasangnya. Selain itu harga kayu dari praktik pembalakan liar atau illegal logging lebih murah daripada kayu yang dikeluarkan secara legal. Walhi Riau (2008) menyatakan bahwa pasokan kayu dari hutan tanaman industri dan hutan rakyat dapat menambah jumlah pasokan kayu yang legal untuk pencapaian titik keseimbangan pasar bahan baku kayu.


(29)

2

1.1.1 Kondisi hutan dan pembalakan liar atau illegal logging

Hutan Indonesia merupakan bagian penting dari paru-paru kehidupan dunia, sehingga kelestarian hutan Indonesia tidak hanya menjadi kepentingan bangsa Indonesia semata namun juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia (Poernama, 2006). Luas kawasan hutan di 33 provinsi di Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan pada tahun 2007 mencapai 112,3 juta ha. Luas kawasan hutan di provinsi Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah masih mengacu kepada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) mencapai 24,76 juta ha yang terdiri dari 15,30 juta ha kawasan hutan di Kalimantan Tengah dan 9,46 juta ha kawasan hutan di Riau dan Kepulauan Riau (Badan Planologi Nasional, 2007). Hutan di tiga wilayah tersebut saat ini berada dalam kondisi kritis. Said (2008) mengemukakan, bahwa luas kawasan hutan yang terdegradasi di Indonesia mencapai 59,62 juta ha yang disebabkan oleh aktifitas pembalakan liar atau illegal logging, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit dan karet ataupun juga kebakaran hutan. Laju degradasi hutan di Indonesia pada periode 1982-1990 mencapai 0,9 juta ha/tahun, periode 1990-1997 mencapai 1,8 juta ha/tahun, periode 1997-2000 mencapai 2,83 juta/tahun, serta periode 2000-2006 mencapai 1,08 juta ha/tahun.

Akibat degradasi lahan dan deforestasi, hutan primer yang masih tersisa di Indonesia diperkirakan hanya tinggal 28 persen dari luas hutan yang ada. Skephi (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, penutupan lahan berhutan di Jawa tinggal 19 persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera 25 persen, di bawah angka 30 persen, yakni luas hutan minimal di suatu pulau yang disyaratkan oleh Undang Undang. Hutan tersisa yang masih berada di atas nilai 30 persen adalah Papua (71 persen) dan Sulawesi (43 persen).

Berdasarkan TGHK 1986 (SK Menhut No. 173/Kpts-II/1996) luas hutan Provinsi Riau adalah 9.456.160 ha yang terdiri atas: hutan lindung (397.150 ha), hutan suaka alam, hutan wisata (451.000 ha), hutan produksi terbatas (1.971.000 ha), hutan produksi tetap (1.866.132 ha), dan hutan produksi konversi (4.770.085 ha). Dalam periode tahun 1992–1998 dari 848.150 ha hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata mengalami kerusakan serius hingga mencapai 229.000 ha atau 27 persen, sedang sisanya tinggal sekitar 619.149,5 ha saja. Pada periode 1998-2002, dari seluas 619.149,5 ha, kerusakan hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata mencapai


(30)

53 persen (328.149,2 ha) sehingga hanya tersisa tinggal 291.000,3 ha. Total luas hutan rusak di dalam HPH adalah seluas 2.201.700 ha. Hutan Lindung Bukit Suligi mengalami kerusakan sekitar 500 ha, Hutan Lindung Bukit Betabuh mengalami kerusakan sekitar 67 persen dari 25.000 ha. Sisa tegakan hutan yang dapat menahan banjir hanya tersisa 5.333 ha. Dari total luasan hutan Lindung Rokan Hulu sebesar 5.000 ha, 2.000 ha diantaranya telah punah. Hutan lindung Mahato yang awalnya memiliki luasan 27.500 ha hanya tersisa 10.000 ha (Walhi Riau, 2008). Akibat pembukaan hamparan lahan gambut menjadi hutan tanaman industri dan pembakaran lahan di atasnya, maka hamparan gambut di Provinsi Riau luasnya hampir mencapai setengah dari luas keseluruhan kawasan Riau. Dari hamparan gambut tersebut, sekitar 814 ribu ha lahan dimiliki oleh dua perusahaan besar industri pulp and paper beserta ratusan anak perusahaan sebagai mitra produksi. Sekitar 200 ribu ha lainnya yang diperuntukkan bagi usaha perkebunan (Walhi Riau, 2007).

Berbagai kerusakan tersebut disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan hasil hutan yang tidak diikuti dengan rehabilitasi dan konservasi lahan. Kegiatan ini telah berlangsung relatif lama sehingga menimbulkan kerusakan yang parah. Faktor lain adalah praktek pembalakan liar atau illegal logging. Kedua faktor tersebut memberikan dampak kerusakan yang besar karena melibatkan banyak pihak serta banyak kepentingan. Akumulasi dari kedua penyebab tersebut berpotensi menimbulkan bencana ekologis bukan hanya merugikan masyarakat di sekitar hutan, namun akan merugikan masyarakat global, baik generasi saat ini maupun generasi mendatang (Walhi Riau, 2007).

1.1.2 Pembalakan Liar atau Illegal Logging Terkait Bencana Ekologis

Semakin berkurangnya tutupan hutan mengakibatkan sebagian besar kawasan wilayah Republik Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis atau ecological disaster antara lain kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Walhi (2008) menyatakan bahwa selama kurun waktu 2006-2007 telah terjadi 840 buah kejadian bencana alam yang telah menelan korban meninggal sejumlah 7.303 jiwa dan 1.140 orang dinyatakan hilang. Sedikitnya tiga juta orang menjadi pengungsi dan 750 ribu unit rumah rusak terendam banjir. Selain itu, keanekaragaman kekayaan flora dan fauna Indonesia (bio diversity) juga semakin berkurang setiap tahunnya.


(31)

4

Data FWI/GFW (2001) menunjukkan bahwa hutan di Provinsi Riau yang terdegradasi mencapai 2.671.417 dan yang sudah gundul mencapai 1.705.401 ha. Proses deforestasi dan degradasi hutan alam di Provinsi Riau berlangsung relatif cepat. Selama kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Provinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 juta ha. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78 persen (6.415.655 ha) dari luas daratan Provinsi Riau 8.225.199 ha (8.265.556,15 ha setelah dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2.743.198 ha (33 persen dari luas daratan Riau). Dalam kurun waktu tersebut Provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan hutan alamnya seluas 160.000 ha/tahun (Walhi, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa selama 24 tahun kawasan hutan Provinsi Riau mengalami degradasi sebesar 57 persen. Diperkirakan tingkat kerusakan sesudah tahun 2004 dan 2005 seluas 200.000 ha. Hal ini mengandung arti bahwa luas kawasan hutan Riau tahun 2015 diperkirakan hanya tinggal 476.233 ha (FKPMR, 2007).

Faktor penyebab kerusakan terbesar hutan alam di Provinsi Riau adalah pembangunan perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini telah mencapai 2,7 juta ha, dengan target pertambahan luas 8,02 persen pertahun serta pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku bubur kertas (pulp) dan kertas untuk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) dan PT. IKPP (Indah Kiat

Pulp and Paper). Provinsi Riau merupakan pusat percepatan pembangunan hutan

tanaman industri (HTI) secara nasional. Lebih dari 50 persen program percepatan HTI berlokasi di provinsi tersebut adalah dengan luasan 1,6 juta ha. Dari luas hutan produksi di Riau yang mencapai 4,1 juta ha, hampir 40 persennya merupakan areal HTI.

1.1.3 Efektivitas dan Implementasi Kebijakan terkait dengan Bencana Ekologis

Hampir 70 persen dari deforestasi merupakan areal hutan produksi yang secara hukum dapat dikonversi untuk kepentingan budi daya non-kehutanan. Data di Kementrian Kehutanan menunjukkan luas areal hutan produksi yang dapat dikonversi di wilayah Riau dalam kondisi masih berhutan mencapai angka 982.620 ha (FKPMR, 2007). Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, sumberdaya hutan menjadi alternatif sumber pendapatan daerah karena dengan kondisi tersebut, berarti daerah dapat mengeksploitasi sumberdaya hutan sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan


(32)

pendapatan daerah. Berbagai perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah didorong oleh adanya keinginan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya hutan yang ada di daerahnya. Adanya kebijakan perizinan di daerah yang tidak sesuai dengan peraturan pengelolaan hutan di atasnya mencerminkan adanya tumpang tindih antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ataupun tarik ulur kewenangan yang disebabkan oleh adanya inkonsistensi atau insinkronisasi peraturan antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah dengan adanya perbedaan kepentingan yang berdampak pada perbedaan orientasi kebijakan antara pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga akan menghambat proses penegakan hukum terhadap kejahatan pembalakan liar atau illegal logging.

Berdasarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Polda Riau (2005) telah melakukan operasi pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging di wilayah Provinsi Riau. Upaya penegakan hukum tersebut di awal tahun 2007 menimbulkan polemik yang berujung anti-klimaks dengan dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) pada 23 Desember 2008 oleh Kepolisian Daerah Riau dibawah kepemimpinan Kapolda yang berbeda. Kasus SP-3 terhadap 13 dari 14 kasus kejahatan pembalakan liar atau illegal logging tersebut sebenarnya tidak pernah sampai pada posisi P-21. P-21 adalah kode atau tanda atas telah lengkapnya seluruh alat bukti atau novum terhadap kejahatan tindak pidana oleh pihak Kepolisian sebagai Alat Negara Penegak Hukum atau pembantu Kepala Negara yang juga sekaligus Kepala Pemerintahan cq Presiden Republik Indonesia, untuk dilanjutkan kepada jenjang penuntutan lebih tinggi yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan sebagai Pengacara Negara.

Tim Illegal Logging Mabes Polri dan Departemen Kehutanan sebelum awal

tahun 2007 telah menyeret 14 buah anak perusahaan perkayuan milik PT. Riau Andalan

Pulp and Paper (RAPP) dan PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Tujuh perusahaan

dari kelompok PT. RAPP terdiri dari : PT. Madukoro dan PT. Nusa Prima Manunggal (NPM) di Kabupaten Pelalawan, PT. Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI), PT. Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT. Mitra Kembang Selaras (MKS) di Kabupaten Indragiri Hulu, PT. Merbau Pelalawan Lestari (MPL) dan PT. Nusa Prima Manunggal (NPM), sedangkan tujuh perusahaan dari kelompok PT. IKPP, yaitu: PT. Arara Abadi, PT. Bina Duta Laksana (BDL) PT. Rimba Mandau Lestari (RML), PT. Inhil Hutan


(33)

6

Pratama (IHP), PT. Satria Perkasa Agung (SPA), PT.Wana Rokan Bonay Perkasa (WRBK), dan PT. Ruas Utama Jaya (RUJ). Ke 14 perusahaan ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pembalakan liar atau illegal logging di Provinsi Riau. Proses pemberkasan perkara telah dilakukan selama hampir dua tahun sejak tahun 2005. Namun, berdasarkan keterangan tim ahli dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan (Dephut sekarang Kemenhut), pada akhir Desember 2008 dianggap kurang cukup bukti atas perbuatan melawan hukumnya atau

onrechtmatigheids beleid-nya. Hal ini memberikan alasan kuat dari pihak Polri di

Pusat(dalam hal ini Mabes Polri), untuk mengeluarkan SP-3 atas 13 dari keseluruhan 14 berkas perkara yang belum dinyatakan P-21 atas kasus atau delik pidana pembalakan liar atau illegal logging di Provinsi Riau, yang sebelumnya telah dengan serius ditangani Polda Riau tahun 2005. Pertimbangan dikeluarkannya SP-3 atas dugaan delik pidana pembalakan liar atau illegal loging di Provinsi Riau tersebut diatas, didasarkan atas pertimbangan dua kelompok ahli, yaitu dari pihak: (1) Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan (2) Departemen Kehutanan (Dephut sekarang Kemenhut). Kedua kelompok ahli menyatakan bahwa di Provinsi Riau selama ini tidak terdapat kerusakan lingkungan serta menyatakan juga bahwa sejumlah 13 dari 14 perusahaan yang sebelumnya telah menjadi tersangka tersebut telah mendapatkan izin resmi yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun Polda Riau dan Mabes Polri pada tahun 2008 menyatakan hal sebaliknya.

Mengacu kepada dua kelompok saksi yang dilibatkan yang berasal dari KLH dan Dephut (sekarang Kemenhut), sejumlah 13 dari 14 perusahaan yang sebelumnya telah menjadi tersangka tersebut, telah resmi dinyatakan mendapat izin yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus PT RUJ (Ruas Utama Jaya) yang merupakan anak perusahaan, dalam berkas perkara Polda Riau saat itu, PT. IKPP tetap dinyatakan tidak memiliki izin dan memenuhi unsur pembalakan liar atau illegal logging. Delik pidana yang dilakukan PT. RUJ (Ruas Utama Jaya) adalah membangun kanal (parit) di dalam hutan lindung. Uraian di atas mengindikasikan bahwa telah terjadi inkonsistensi dan insinkronisasi antara produk dan pelaksana kebijakan perlindungan hutan dengan pengusahaan hutan di Indonesia terkait delik pidana pembalakan liar atau illegal

logging di Provinsi Riau. Merujuk pada kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa

implementasi sistem kebijakan perlindungan hutan belum efektif dan seluruh kebijakan peraturan perundangundangan terkait perlindungan hutan dari seluruh pemangku


(34)

kepentingan atau stake holders para pembuat keputusan di Indonesia belum terintegrasi dalam sebuah kesatuan sistem yang holistik dan terintegrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu kajian yang komprehensif tentang sistem hukum dan kebijakan dalam melindungi hutan dari pembalakan liar atau illegal logging di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau yang berdampak terhadap aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.

1.2Rumusan Permasalahan

Penegakan hukum terhadap praktek pembalakan liar atau illegal logging atau tindak pidana terhadap kehutanan hingga kini belum menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Belum maksimalnya upaya memberantas praktek pembalakan liar atau illegal logging oleh instansi penegak hukum, diduga karena telah terjadi perbedaan penafsiran dalam proses penegakannya selama ini. Fakta di lapangan di wilayah Propinsi Riau menunjukkan, bahwa ketika operasi pemberantasan pembalakan liar atau

illegal logging dilakukan oleh Polda Riau pada tahun 2005 lalu, kegiatan penebangan

kayu secara ilegal juga secara paralel juga terus berjalan secara berkelanjutan hingga saat penelitian ini selesai dilaksanakan (Walhi Riau, 2007).

Di samping kegiatan pembalakan liar atau illegal logging yang merupakan salah satu pemicu utama degradasi hutan di Indonesia, alih fungsi menjadi perkebunan sawit dan kebakaran hutan juga turut memperparah kondisi lingkungan hidupnya. Dampak negatif yang terjadi bukan hanya terhadap elemen ekologis saja, namun juga berpengaruh terhadap elemen lainnya: bio-fisik lingkungan, ekonomi atau pendapatan negara, pembangunan berkelanjutan, perdagangan, sosial serta politik.

Dari aspek bio-fisik Lingkungan, kegiatan pembalakan liar atau illegal logging

meningkatkan keterbukaan lahan hutan, merusak habitat sehingga kehidupan spesies tumbuhan dan satwa terancam, mengurangi kemampuan lahan untuk mengabsorbsi emisi karbondioksida yang berkaitan dengan dampak dari perubahan iklim. Pengurangan penutupan lahan hutan berdampak terhadap terjadinya bencana banjir, kekeringan, dan longsor. Dari aspek ekonomi atau pendapatan negara, praktek pembalakan liar atau illegal logging diperkirakan dapat mengurangi pendapatan masyarakat di sekitar hutan, pendapatan daerah dari sektor kehutanan, dan pada


(35)

8

akhirnya merugikan negara. Pada tahun 2003, negara kehilangan pendapatan dari sektor kehutanan hampir US$1 milyar (Poernama, 2006). Hasil studi Bank Dunia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa kerugian akibat kegiatan pembalakan liar atau illegal

logging di Kamboja dengan nilai US$ 0,5-1 milyar dengan perkiraan 4 juta m3

setidaknya 10 kali dari volume penebangan kayu legal. Untuk aspek pembangunan berkelanjutan, kegiatan pembalakan liar atau illegal logging membuat generasi mendatang diperkirakan akan menanggung resiko kerusakan lingkungan yang lebih berat daripada generasi saat ini. Kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik, berkurang akibat ekosistem hutan yang memberikan produk dan jasa lingkungan menurun. Dari aspek perdagangan, harga kayu yang diperoleh dari

illegal logging lebih murah daripada produk legal, sehingga mendistorsi pasar global dan merusak insentif bagi pengelolaan hutan berkelanjutan. Tacconi et al. (2004) menunjukkan bahwa biaya eksploitasi kayu illegal adalah US$ 32/m3, jauh lebih murah daripada biaya eksploitasi HPH yang legal sebesar US$ 85/m3. Untuk aspek sosial, kegiatan pembalakan liar atau illegal logging membuat jurang kesenjangan sosial semakin besar. Kondisi masyarakat sekitar hutan yang relatif miskin membuat mereka terlibat dalam praktik pembalakan liar atau illegal logging.

Sebenarnya, praktik pembalakan liar atau illegal loging yang dilakukan masyarakat miskin di sekitar hutan berbeda dengan yang dilakukan para pengusaha kayu yang melakukannya secara by design. Masyarakat miskin melakukannya semata-mata hanya untuk mempertahankan hidupnya, Mereka ini disebut illegal logger by need, yang kontradiktif dengan para pemodal padat yang menjadi illegal logger by

greed. Namun dalam kenyataannya, para pelaku delik pidana pembalakan liar atau

illegal logging yang tertangkap tangan serta langsung dapat dihukum adalah mereka

yang termasuk dalam kategori illegal logger by need yaitu mereka yang miskin. Aspek terakhir adalah aspek politik, di mana di beberapa negara pendapatan dari pembalakan liar atau illegal logging digunakan untuk membiayai konflik nasional dan regional. Aktifitas pembangunan dengan orientasi ekonomi yang memaksimumkan keuntungan finansial menjadi pendorong utama terjadinya kegiatan pembalakan liar atau illegal

logging di Indonesia.

Selama ini diduga terjadi kesenjangan atau gap antara seluruh peraturan per-Undang-Undang-an dengan implementasi pemberantasan pembalakan liar atau illegal


(36)

logging di seluruh wilayah Indonesia secara umum dan di Propinsi Riau secara khusus. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian atau research question

yang muncul adalah:

Bagaimana Model Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan

Liar yang efektif serta efisien sebagai solusi bagi percepatan pemberantasan

pembalakan liar atau illegal logging yang dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Republik Indonesia?

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk menyusun sebuah Model Kebijakan dan Sistem Hukum pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging yang dapat digunakan dalam implementasi pengelolaan hutan dan pemberantasan pembalakan liar. Model diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan atau sustainable development di seluruh wilayah Indonesia.

1.4. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi dengan rentang masa penelitian hanya dari tahun 2005 hingga 2007, dengan studi kasus di Propinsi Riau. Identifikasi peraturan perundangundangan hanya dibatasi pada level nasional dengan asumsi bahwa apabila sistem hukum yang berlaku secara nasional sudah baik, maka level di bawahnya akan mengacu pada sistem tersebut sehingga juga akan diimplementasikan dengan baik. Identifikasi peraturan perundangundangan yang diteliti mulai dari Undang-Undang dasar 1945, sebagai payung hukum dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pengelolaan dan tata ruang serta budaya dan perilaku manusia.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian berupa Model Sistem Kebijakan dan Hukum diharapkan dapat dipakai sebagai alat bagi pengambil keputusan di bidang penegakan hukum khususnya upaya pemberantasan pembalakan liar di Indonesia.


(37)

10

1.6Kerangka Pikir Konseptual

Kompleksitas permasalahan pembalakan liar atau illegal logging serta pemberantasannya berdampak signifikan terhadap ekologis, sosial, ekonomi dan politik sehingga membutuhkan kajian komprehensif yang menyangkut sistem hukum, kebijakan yang harusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Kegagalan penegakan hukum dan tumpang-tindihnya seluruh kebijakan yang ada di Indonesia terkait perlindungan hutan, memicu aktivitas pembalakan liar atau illegal logging menjadi berkelanjutan di Indonesia.

Kebijakan pemerintah yang menyangkut otonomi daerah juga mendorong semakin kuatnya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di daerah dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan asli daerah. Sedikitnya 10 juta ha hutan lindung dan konservasi di Indonesia telah dialihfungsikan tanpa melalui prosedur resmi oleh pemerintah daerah selama 10 tahun masa reformasi ini.

Dampak dari terjadinya ketimpangan antara pasokan dan permintaan kayu juga mendorong terjadinya praktik pembalakan liar atau illegal logging. Poernama (2006) menyatakan, bahwa kapasitas terpasang industri kehutanan sampai tahun 2006 mencapai 64 juta m3 dan hanya 40-60 persen yang dapat berproduksi dari kapasitas terpasang. Kerusakan hutan di Indonesia pada masa mendatang diprediksi akan semakin jadi tak terkendali.

Sumber kuasa korporasi diduga memainkan peranan penting atas kegagalan penegakan hukum pembalakan liar atau illegal logging di Indonesia. Tiga hal yang menjadi sumber kuasa korporasi, yaitu: (1) ukuran ekonomi; (2) kekuatan

diplomasi-lobby; serta (3) prilaku korupsi elit politik dan birokrasi nasional dan lokal. Kuasa korporasi yang didukung oleh kekuatan lobi politik tercermin dalam sejumlah nama-nama besar dalam daftar pimpinan korporasi. Beberapa oknum tokoh tersebut memiliki ‘kemewahan’ jalur diplomasi dengan pimpinan pusat nasional. Sebagai wilayah tempat dilangsungkannya aktivitas eksploitasi, diduga sering terjadi tekanan-tekanan politik demi tercapainya tujuan pada keputusan bisnis yang memenangkan korporasi mereka.

Transparancy International (2005) melaporkan bahwa lembaga-lembaga terkorup di

Indonesia diidentifikasi bersumber pada partai politik, parlemen, Polri dan sistem peradilan Indonesia.


(38)

Penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar atau illegal logging menjadi komitmen pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya Inpres 4 Tahun 2005 yaitu instruksi tentang “Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.” Namun di dalam pelaksanaan penegakan hukum dalam pemberantasan pembalakan liar atau illegal

logging yang hanya merujuk kepada INPRES tidak mampu untuk mengikat para

stakeholder penegak hukum dan pemberi kebijakan. Terbukti hingga kini, masih kerap

terjadi para aktor intelektual pembalakan liar atau illegal logging yang berperkara di pengadilan pada akhirnya divonis bebas dari hukuman.

Dalam rangka mempelajari sistem hukum dan kebijakan pemberantasan pembalakan liar, semua peraturan perundangundangan yang terkait dengan pembalakan liar perlu diidentifikasi dan dianalisis terlebih dahulu. Berdasarkan analisis substansi dari peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemberantasan pembalakan liar, perlu dianalisis pula kinerja dari implementasi sistem peraturan per-Undang-Undang-an yang berlaku saat ini. Pengelompokan dari kategori hasil evaluasi dan penyusunan model sistem hukum dan kebijakan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging

diharapkan dapat memberikan usulan bagi pengambil keputusan dalam rangka memperbaiki sistem hukum dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan secara keseluruhan. Analisis konten dan analisis kesenjangan dari substansi peraturan perundangundangan yang terkait pembalakan liar atau illegal logging digunakan sebagai perundangundangan terkait pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau akan diujicobakan pada model yang disusun dalam rangka mendapatkan simulasi hasil implementasi model sistem hukum dan kebijakan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging. Gambar1.1. menyajikan kerangka pikir penelitian.

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Identifikasi Peraturan perundangan Analisis Konten MODEL Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan liar Analisis kesenjangan Data Riau Fakta Riau Usulan perbaikan kebijakan dan sistem hukum pemberantasan pembalakan liar Identifikasi Peraturan perundangan Analisis Konten MODEL Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan liar Analisis kesenjangan Data Riau Fakta Riau Usulan perbaikan kebijakan dan sistem hukum pemberantasan


(39)

12

1.7Kebaruan Penelitian atau Novelty

Kebaruan atau novelty dari penelitian ini adalah: (1) pendekatan atau approach

dari aspek sistem kebijakan dan hukum pemberantasan pembalakan liar atau illegal

logging di Indonesia khususnya di Propinsi Riau; dan (2) bahwa faktor percepatan

pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging bergantung kepada Hak Diskresioner pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan Indonesia sesuai dengan asas

Forum Previlegiatum.

1.8 Sistematika Penulisan

Disertasi dibagi menjadi enam bagian sebagai berikut :

Pendahuluan menjelaskan latar belakang pemilihan judul penelitian, kondisi pembalakan liar atau illegal logging di Indonesia dan Provinsi Riau, sistem hukum dan kebijakan yang terkait dengan pembalakan liar atau illegal logging, efektivitas dan implementasi kebijakan terkait dengan pemberantasan pembalakan liar atau illegal

logging. Rumusan permasalahan, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat

penelitian, kerangka pikir, kebaruan dan sistematika penulisan juga dituliskan pada bagian ini.

Tinjauan Literatur, membahas mengenai kerangka teoritis dan pengertian yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian, seperti konsep: Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development; hutan dan pengelolaannya, definisi dan manfaat serta nilai ekonomi, kebijakan dan sistem hukum pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging.

Metode Penelitian, menjelaskan lokasi dan waktu penelitian dan metode yang digunakan yaitu pendekatan sistem. Dalam membangun model akan digunakan analisis konten dan kesenjangan. Model akan divalidasi dengan data kasus implementasi peraturan perundang-undangan terkait pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau.

Profil Wilayah Penelitian: Propinsi Riau, akan menjelaskan tentang keadaan Propinsi Riau, serta kondisi perkembangan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging


(40)

yang terjadi termasuk kondisi geologi, topografi, dan iklim. Tata ruang penggunaan lahan, flora dan fauna, kondisi kependudukan dan sosial serta ekonomi wilayah di Propinsi Riau.

Pembahasan akan berisi hasil identifikasi seluruh peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging, hasil analisis konten terhadap substansi peraturan perundangundangan yang terkait pembalakan liar atau

illegal logging yang dilanjutkan dengan hasil analisis kesenjangan dalam penyusunan

model sebagai alat bantu solusi permasalahan. Uji coba model dilakukan dengan fakta lapangan di Propinsi Riau. Pada akhir bagian ini akan diulas usulan solusi sistem hukum dan kebijakan dalam pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging di Indonesia.

Kesimpulan dan Saran merupakan jawaban dari tujuan penelitian serta usulan yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan pelaksanaan penelitian ini.


(41)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial disebut dengan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development , telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation Conference On The Human

Environment (UNCHE) di Stockholm pada tahun 1972. WCED (1987) menyatakan bahwa

pembangunan berkelanjutan atau sustainable development didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Komisi Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan atau sustainable development bukanlah suatu kondisi yang kaku berkaitan dengan keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan di mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Gambar 2.1 di bawah ini menjelaskan operasionalisasi paradigma pembangunan berkelanjutan atau sustainable development ini sesuai dengan penjabaran World Bank

terhadap konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development yang berbentuk kerangka segitiga.

!

!

"

!

#

Gambar 2.1. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993)


(42)

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin, 2004). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuat pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan. CIFOR mengembangkan SFM (sustainable forest management) dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, serta kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan, FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan atau sustainable development bersifat sinergi dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup sesuai dengan rujukan UU No. 23 Tahun 1997. Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan.Untuk Indonesia, upaya-upaya pengelolaan lingkungan perlu dilakukan secara kuratif dan preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif perlu lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui beberapa proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003).


(43)

16

2.2 Hutan dan Pengelolaan Hutan

Kata hutan dimaknai dengan sebuah wilayah yang penuh pohon-pohonan yang tumbuh tak beraturan atau suatu areal tertentu yang ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang (Sukardi, 2005). Menurut Salim( 2003) hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya yang tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal). Menurut UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 butir 2 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Khakim, 2004).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat dua kepentingan yang terkandung dalam hakekat hutan, yaitu: (1) hutan yang berisi sumberdaya alam hayati adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya dan dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan nasional (penjelasan umum UU No. 41 Tahun 1999); (2) hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam persekutuan alam dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hutan juga mempunyai fungsi-fungsi pokok lainnya yaitu fungsi ekologis, ekonomis dan sosial sehingga fungsi hutan itu perlu dilindungi (Sukardi, 2005).

2.2.1 Manfaat Hutan

Hutan adalah the Mother of Land, karenanya jika hutan tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan. Lebih jelasnya bagi sebuah negara berdaulat, hutan merupakan kekayaan yang memberi manfaat multiguna antara lain sebagaisumber pendapatan, perlindungan tata air, produsen jasa lingkungan. Hutan wajib dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang (Santoso, 2008).

Hutan memiliki tiga fungsi pokok yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan, yaitu: (1) fungsi ekologis; hutan sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain untuk mengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, menjadi penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, (2) fungsi ekonomis, yaitu hutan sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan


(44)

berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturism; (3) fungsi sosial, yaitu hutan sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.2.2. Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan politik atas kebijakan pengelolaan hutan sejak masa kolonial Belanda hingga masa Orde Baru. Kebijakan pengelolaan dan penguasaan hutan Indonesia, dimulai khususnya di pulau Jawa berupa budidaya hutan jati. Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda beberapa kebijakan yang berlaku pada masa itu berlaku pula pada masa Orde Baru tanpa mengalami perubahan yang signifikan dan hanya meneruskan kebijakan-kebijakan serta pengelolaan atau

management atau manajemen hutan yang telah disusun dan ditetapkan oleh pemerintah

kolonial Belanda di masa lalu.

2.2.2.1 Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jaman Kolonial Belanda

Pengelolaan sumberdaya hutan saat itu memang diawali dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan jati (Tectona grandis), dengan konsentrasi hanya di pulau Jawa dan Madura. Pengelolaan hutan jati dilakukan dengan tujuan sebagai pasokan bahan baku bagi beberapa industri kapal kayu milik pengusaha Belanda dan Cina yang tersebar di sepanjang pantai utara di pulau Jawa, mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik hingga Pasuruan. Kapal-kapal Belanda dan Cina tersebut dibuat dari kayu jati yang bahan bakunya didapat dari hasil eksploitasi hutan jati dari pulau Jawa yang mengakibatkan terjadinya degradasi wilayah hutan dan sekitarnya. Degradasi hutan di pulau Jawa cepat atau lambat berdampak pada kelangsungan hidup usaha-dagang industri kapal kayu. Kolonial Hindia Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk merehabilitasi kawasan hutan melalui kegiatan reforestasi. Pada tahun 1808 Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan), sebagai langkah awal kegiatan reforestasi yang memiliki tugas membatasi pemberian izin atau morotarium

atas usaha penebangan kayu jati dan memberikan sanksi pidana bagi penebang yang tidak memperoleh izin penebangan kayu di kawasan hutan. Tahun 1849, Pemerintah Kolonial


(1)

Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 78 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 79 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 80 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 81 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 82 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan


(2)

Sanksi 83 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 84 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 85 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 86 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 87 Sust Dev Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu) Kerusakan Lingkungan Sanksi 88 Sust Dev Pembalakan Liar


(3)

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan Lingkungan

Sanksi

89

Sust Dev Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan Lingkungan

Sanksi

90

Sust Dev

Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan Lingkungan

Sanksi

91

Sust Dev Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan Lingkungan

Sanksi

92 Sust Dev

Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan Lingkungan

Sanksi


(4)

Pembalakan Liar (Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

94 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

95 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

96 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

97 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)


(5)

Kerusakan Lingkungan

Sanksi

98 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

99 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

100 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

101 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan


(6)

102 Sust Dev

Pembalakan Liar

(Termasuk Pencurian Kayu)

Kerusakan

Lingkungan

Sanksi

Sumber: Diolah oleh Peneliti