ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME

(1)

i

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME

BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PENYELENGGARAAN REKLAME

JURIDICAL ANALYSYS ROLE OF BANYUWANGI DISTRICT

GOVERNMENT IN ADVERTISEMENT ORDERING ACCORDING

TO REGULATION NUMBER 10 YEAR 2012 ABOUT

ADVERTISEMENT IMPLEMENTETATION

HENDRA WAHYU SANCOKO NIM : 090710101207

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2014


(2)

ii

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME

BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PENYELENGGARAAN REKLAME

JURIDICAL ANALYSYS ROLE OF BANYUWANGI DISTRICT

GOVERNMENT IN ADVERTISEMENT ORDERING ACCORDING

TO REGULATION NUMBER 10 YEAR 2012 ABOUT

ADVERTISEMENT IMPLEMENTETATION

HENDRA WAHYU SANCOKO NIM : 090710101207

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2014


(3)

iii

MOTTO

“Adakanlah koordinasi, adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum ; dan janganlah kepentingan sendiri itu

dimenangkan di atas kepentingan umum”*

(Disampaikan oleh Bung Karno dalam Pidato : Capailah Tata Tentram Kerta Rahardja Tahun 1951)

*

Buku Seri Pemikiran Bung Karno : Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, Jakarta, PT. Grassindo, 2001, hlm.3


(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. Orang tuaku, atas untaian do’a, curahan kasih sayang, segala perhatian dan dukungan yang telah diberikan dengan tulus ikhlas;

2. Seluruh Guru dan Dosenku sejak Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dan mengajarkan ilmu-ilmunya yang sangat bermanfaat dan berguna serta membimbing dengan penuh kesabaran.


(5)

v

PERSYARATAN GELAR

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME

BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PENYELENGGARAAN REKLAME

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Jember

HENDRA WAHYU SANCOKO NIM : 090710101207

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2014


(6)

vi

PERSETUJUAN

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 18 NOPEMBER 2014

Oleh :

Dosen Pembimbing Utama,

Prof. Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum NIP. 197105011993031001

Dosen Pembimbing Anggota :

IWAN RACHMAD S., S.H., M.H. NIP : 197004101998021001


(7)

vii

PENGESAHAN

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 10

TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME

Oleh :

HENDRA WAHYU SANCOKO NIM : 090710101207

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota,

Prof. Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum. IWAN RACHMAD S., S.H., M.H.

NIP : 197105011993031001 NIP : 197004101998021001

Mengesahkan,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember

Fakultas Hukum Dekan,

Prof. Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum NIP : 197105011993031001


(8)

viii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji pada : Hari : Kamis

Tanggal : 30 Bulan : Oktober Tahun : 2014

Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember,

PANITIA PENGUJI

Ketua, Sekretaris,

ANTIKOWATI, S.H., M.H. ROSITA INDRAYATI, S.H., M.H. NIP : 196112021988022001 NIP : 197805312005012001

ANGGOTA PANITIA PENGUJI :

1. IWAN RACHMAD S., S.H., M.H. : (………...) NIP : 197004101998021001

2. WARAH ATIKAH, S.H., M.Hum. : (………...) NIP : 197303252001122002


(9)

ix

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Hendra Wahyu Sancoko

NIM : 090710101207

Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa karya tulis dengan judul : Analisis Yuridis Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dalam Penataan Reklame Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Reklame ; adalah hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penulis bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta saya bersedia mendapatkan sanksi akademik apabila ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 9 November 2014 Yang menyatakan,

HENDRA WAHYU SANCOKO NIM : 090710101207


(10)

x

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala hormat puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan Pengasih Lagi Maha Penyayang yang senantiasa melimpahkan berkat dan kasih-Nya dan tidak pernah meninggalkanku, karena berkat dan kasih-Nya terus mengalir sepanjang hari serta membuat semua indah pada waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember serta mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember.

Penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan ini, antara lain :

1. Bapak Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember sekaligus selaku pembimbing skripsi yang dengan penuh perhatian, kesabaran, tulus dan ikhlas memberikan arahan, nasehat, serta bimbingan selama penulisan skripsi ini di tengah-tengah kesibukan beliau ;

2. Bapak Iwan Rachmad Soetijono, S.H., M.H,, sebagai pembantu pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan ;

3. Ketua Panitia Penguji skripsi ; 4. Sekretaris Panitia Penguji skripsi ;

5. Bapak Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H, Bapak Mardi Handono, S.H., M.H., Bapak Iwan Rachmad Soetijono, S.H., M.H, selaku Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Hukum Universitas Jember ;

6. Bapak dan Ibu dosen, civitas akademika, serta seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Jember atas segala ilmu dan pengetahuan untuk bekal hidupku ;

7. Orang tua, saudara-saudaraku, semua keluarga dan kerabat atas do’a, serta dukungan yang telah diberikan ;

8. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum angkatan tahun 2009, yang telah memberikan dukungan dan bantuan baik moril dan spirituil ;


(11)

xi

9. Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Sangat disadari bahwa pada skripsi ini, masih banyak ditemukan kekurangan dan kelemahan akibat keterbatasan kemampuan serta pengetahuan penulis. Oleh karena itu, perlu adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan, mudah-mudahan skripsi ini minimal dapat menambah khasanah referensi serta bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Jember, 9 November 2014 Penulis


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan dan seluruh potensi masyarakat. Agar proses pembangunan selanjutnya berjalan lancar perlu adanya hubungan yang selaras serasi dan seimbang antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara dinamis dan proposional dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab.

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.

Dana yang diperlukan untuk pemerintahan dan pembangunan nasional selain dari sumber alam yang terdapat dan digali dari bumi Indonesia, juga perlu uluran bahkan partisipasi sumbangan dana dari rakyatnya. Oleh karena itu agar terlihat peran serta dari masyarakat sebagai wajib pajak, maka Negara menempatkan pajak sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740).

Pajak merupakan salah satu bentuk pungutan negara, yang mengandung beberapa ciri sebagai berikut :


(13)

1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang–undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran–pengeluaran pemerintah yang apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan uantuk pembiayaan public investment.

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan lain yang non budgeter, yaitu sebagai alat kebijakan perekonomian nasional. 1)

Melihat dari ciri-ciri pajak di atas, tampaklah bahwa pajak sangat penting bagi pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam pembangunan jangka panjang ini, biaya pembangunan terus meningkat yang menuntut kemandirian pembiayaan pembangunan yang berasal dari dalam negeri. Salah satu bentuk perolehan pajak khususnya perolehan pajak daerah adalah dari perolehan pajak reklame. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan penataan reklame yang meliputi kebijakan perencanaan, pengaturan, pengawasan, pengendalian dan penertiban.

Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum. Dengan semakin pesatnya perkembangan perekonomian dewasa ini, maka setiap orang atau badan yang mempunyai suatu usaha, akan sangat membutuhkan keberadaan media reklame untuk memperkenalkan dan memujikan barang atau usahanya. Keberadaan media reklame sebagai salah satu alat promosi suatu produk perlu diatur penyelenggaraannya, agar tertata sesuai dengan tata ruang, estetika (keindahan), kepribadian dan budaya bangsa serta tidak bertentangan dengan norma keagamaan, kesopanan, ketertiban, keamanan, kesusilaan dan kesehatan. Pemanfaatan ruang untuk media reklame inilah yang

1)


(14)

pada akhirnya menimbulkan kewajiban bagi orang atau badan untuk membayar pajak kepada daerah dengan nama Pajak Reklame.

Kehadiran reklame selalu didekati dari 3 (tiga) bentuk kepentingan yaitu pertama ; reklame sebagai penyumbang pendapatan daerah (fungsi budgetair), kedua ; reklame sebagai elemen estetika perkotaan (fungsi regulerend) dan ketiga ; reklame sebagai komoditi bisnis bagi para pengusaha. 2) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame (NSR), besar kecilnya NSR dipengaruhi oleh lokasi Penempatan Reklame yang dibedakan berdasarkan tarif kelas jalan. Semakin strategis titik/letak pemasangan reklame maka tarif kelas jalannya semakin tinggi/mahal, dengan pertimbangan manfaat yang diperoleh si penyelenggara reklame semakin tinggi, khususnya terkait dengan jangkauan pangsa pasar dan sasaran konsumen yang dituju dari produk yang di promosikan tersebut.

Semakin baik pelayanan maupun penataan reklame di wilayah daerah, maka semakin optimal pula pendapatan asli daerah dari sektor pajak. Pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak ini diperkirakan akan terus meningkat melalui penyelenggaraan reklame yang berkeadilan, transparan dan berkualitas. Pengaturan penyelenggaraan reklame dalam Peraturan Daerah ini, lebih dititikberatkan pada penyelenggara, penataan, jenis dan naskah reklame, kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, nilai sewa serta pengelolaan titik-titik lokasi reklame yang pada akhirnya mengatur mengenai pembongkaran reklame. Dalam kajian ini penulis melakukan kajian hukum atas penyelenggaraan reklame di Kabupaten Banyuwangi. Dasar hukum pengaturan reklame tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Reklame.

Dengan adanya Peraturan Daerah tersebut, mengatur secara tegas hak dan kewajiban terhadap penyelenggaraan reklame di Kabupaten Banyuwangi, maka suasana kondusif dalam iklim usaha, ketentraman masyarakat dan ketertiban umum dapat terwujud. Namun demikian, banyak permasalahan yang muncul dari penyelenggaraan reklame, mulai dari pemasangan reklame yang tidak sesuai

2)


(15)

dengan prosedur, pelanggaran terhadap ketentuan tempat reklame dan lain sebagainya sampai pada papan reklame yang membahayakan misalnya roboh saat ada angin kencang. Atas dasar uraian latar belakang dan beberapa hal dan ketentuan tersebut di atas, penyusun tertarik untuk menyusun penulisan skripsi dengan judul : Analisis Yuridis Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dalam Penataan Reklame Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Reklame.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka penulis mencoba mengidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah hak dan kewajiban pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi dalam

penyelenggaraan reklame ?

2. Bagaimanakah peranan pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi dalam penataan reklame di wilayah Kabupaten Banyuwangi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Memahami dan mengetahui hak dan kewajiban pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi dalam penyelenggaraan reklame.

2. Memahami dan mengetahui peranan pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi dalam penataan reklame di wilayah Kabupaten Banyuwangi. 1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Melengkapi dan memenuhi tugas sebagai persyaratan pokok yang bersifat akademis guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember.

2. Mengembangkan ilmu dan pengetahuan hukum dari perkuliahan yang bersifat teoritis dengan praktik yang terjadi dalam masyarakat terkait peranan


(16)

pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi dalam penataan reklame di wilayah Kabupaten Banyuwangi.

3. Menambah pengalaman dan memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi kalangan umum, bagi para mahasiswa fakultas hukum dan almamater. 1.5 Metode Penelitian

Untuk menjamin suatu kebenaran ilmiah, maka dalam penelitian harus dipergunakan metodologi yang tepat karena hal tersebut sebagai pedoman dalam rangka mengadakan penelitian termasuk analisis terhadap data hasil penelitian. Metodologi merupakan cara kerja bagaimana menemukan atau memperoleh atau menjalankan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil yang kongkrit. Sehingga penggunaan metode penelitian hukum dalam penulisan skripsi ini dapat digunakan untuk menggali, mengolah, dan merumuskan bahan–bahan hukum yang diperoleh sehingga mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Metode yang tepat diharapkan dapat memberikan alur pemikiran secara berurutan dalam usaha mencapai pengkajian. Adapun metode yang digunakan sebagai berikut :

1.5.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah Yuridis Normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Tipe penelitian yuridis norma-normatif dilakukan dengan mengkaji berbagai macam aturan hukum yang bersifat formal seperti Undang-Undang, literatur-literatur yang bersifat konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan. 3)

1.5.2 Pendekatan Masalah

Di dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan yang dengan pendekatan tersebut, penulis mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang diangkat dalam permasalahan untuk kemudian dicari

3)

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm.194


(17)

jawabannya. Adapun dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan 2 (dua) macam pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi 4)

2. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

(Conceptual Approach) yaitu suatu metode pendekatan melalui pendekatan dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum.5)

1.5.3 Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan sarana dari suatu penulisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Bahan hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini, meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, yaitu :

1.5.3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan–bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan–catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang undangan dan putusan–putusan hakim. Adapun yang termasuk dalam bahan hukum primer dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ;

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

4)

Ibid, hlm.93 5)


(18)

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

6. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2032 7. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 10 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Reklame. 1.5.3.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah juga seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Keberadaan bahan-bahan hukum sekunder, secara formal tidak sebagai hukum positif.6) Adapun yang termasuk dalam bahan-bahan hukum sekunder ini adalah buku-buku teks, laporan penelitian hukum, jurnal hukum yang memuat tulisan-tulisan kritik para ahli dan para akademisi terhadap berbagai produk hukum perundang-undangan dan putusan pengadilan, notulen-notulen seminar hukum, memori-memori yang memuat opini hukum, monograp-monograp, buletin-buletin atau terbitan lain yang memuat debat-debat dan hasil dengar pendapat di parlemen, deklarasi-deklarasi, dan situs-situs internet.

1.5.3.3 Bahan Non Hukum

Sebagai penunjang dari sumber hukum primer dan sekunder, sumber bahan non hukum dapat berupa, internet, ataupun laporan-laporan penelitian non hukum dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penulisan skripsi.7)

1.5.4 Analisis Bahan Hukum

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif, yaitu suatu metode penelitian berdasarkan konsep atau teori yang bersifat umum

6)

Soerjono Soekanto, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.165

7)


(19)

diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain dengan sistematis berdasarkan kumpulan bahan hukum yang diperoleh, ditambahkan pendapat para sarjana yang mempunyai hubungan dengan bahan kajian sebagai bahan komparatif.

Langkah-langkah selanjutnya yang dipergunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum, yaitu :

a) Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan ; b) Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang

mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-hukum ;

c) Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan

d) Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum

e) Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.8)

8)


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah

2.1.1 Pengertian Otonomi Daerah

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa : Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik. Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan : Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan daerah-daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, Kabupaten, dan kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam salah satu isi penjelasan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 itu dikatakan bahwa : “Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locate rechtsgemeenschappen) atau daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.”

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Daerah menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pembicaraan mengenai otonomi daerah tidak dapat lepas dari hubungan penyelenggaraan pemerintahan, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


(21)

dalam konteks bentuk negara kesatuan. Sedangkan prinsip Otonomi Daerah di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam penjelasan umumnya adalah : Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan yang ditetapkan dalam undang-undang.9) Selanjutnya dalam Pasal 21 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwas, dalam menyelenggarakan otonomi daerah mempunyai hak :

a) Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

b) Memilih pimpinan daerah;

c) Mengelola aparatur daerah;

d) Mengelola kekayaan daerah;

e) Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f) Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

g) Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah

h) Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam perundang-undangan.

Selain hak, daerah mempunyai kewajiban yang diatur dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Terdapat 15 (lima belas) kewajiban yang dipunyai oleh daerah, yaitu :

a) Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b) Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

c) Mengembangkan kehidupan demokrasi;

d) Mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e) Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

f) Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g) Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

h) Mengembangkan sistem jaminan sosial;

i) Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j) Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k) Melestarikan lingkungan hidup;

l) Mengelola administrasi kependudukan;

m) Melestarikan nilai sosial budaya;

n) Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

9)


(22)

o) Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut dan taat pada peraturan perundang-undangan. Menurut Syaukani dan Afan Gafar :

Otonomi Daerah bukanlah merupakan hak dari masyarakat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah merupakan kewajiban daerah dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional. Jadi pada hakikatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tangung jawab.10)

Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, Siswanto Sunarno menyebutkan bahwa :

Ide otonomi daerah bermula dari akibat kesalahan di masa lalu, baik secara struktural maupun kultural, yang imbasnya sampai uga pada persoalan fundamental kenegaraan kita, misalnya muncul fenomena baru untuk memisahkan diri, meraih otonomi seluas-luasnya, atau memilih merdeka. Berbagai tuntutan dan harapan tersebut, entah yang bersifat alami ataupun bermuatan politis, luas ataupun terbatas, dilatari oleh berbagai persoalan yang amat kompleks. Muncul sejumlah protes dan pertanyaan kritis berkisar pada masalah ketidak adilan sosial, dominasi pusat, ketimpangan pembangunan, kesenjangan perekonomian antar daerah, pembagian penerimaan negara dan daerah yang tidak berimbang, juga masalah marginalissi potensi dan putra daerah.11)

Dari fenomena berkembangnya masalah tersebut, akhirnya muncul sebuah konklusi bahwa tatanan pemerintahan dan kenegaraan selalu sentralistik dan tidak menghidupkan desentralisasi dan otonomi daerah yang luas dan adil, dan

10)

Syaukani dan Afan Gafar, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm.36

11)

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm. 9


(23)

karenanya harus diubah dan diganti. Untuk menata pemecahan masalah tersebut telah lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berjiwakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Secara prinsipil terdapat 2 (dua) hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak dan wewenang untuk memanajemen daerah dan tanggung jawab untuk kegagalan dalam memanajemen daerah. Pada hakikatnya sebelum suatu daerah menyelenggarakan otonomi daerah, aspek terpenting dari hal tersebut adalah menyangkut adanya pelimpahan wewenang yang dikenal dengan peristilahan desentralisasi. Dengan kata lain desentralisasi merupakan pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pihak lainnya untuk dilaksanakan. Desentralisasi secara prinsipal di Indonesia dalam bentuk desentralisasi perundangan (regeling) dan pemerintahan (Bestuur). Desentralisasi tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, desentralisasi dari

sudut asal usul bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu „‟De‟‟ atau lepas dan

„‟Centrum‟‟ atau pusat. Menurut perkataannya desentralisasi itu berarti melepaskan dari pusat.12) Hal ini mencerminkan adanya kewenangan dari bagian atau bawahannya untuk melaksanakan sesuatu yang diserahkan dari pusat, dengan tetap adanya hubungan antara pusat dengan bagiannya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah menganut sistem desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Pengertian lebih lanjut mengenai pengertian desentralisasi disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa : Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan mengenai pengertian dekonsentrasi disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

12)

Eggy Sudjana, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (edisi revisi), Jakarta, Rinneka Cipta, 2005, hlm.18


(24)

menyebutkan : Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Pengertian dari tugas pembantuan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan : tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, hubungan desentralisasi dan otonomi sangat erat kaitannya. Pada dasarnya otonomi adalah tujuan dari desentralisasi daerah-daerah otonom, yakni daerah yang mandiri, tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan semakin tinggi derajat desentralisasi, semakin tinggi otonomi daerah. Dalam konteks negara kesatuan, otonomi daerah seharusnya diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, proses pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukan berarti menjadikan daerah lepas dari pengaturan dan pembinaan pemerintah pusat.

2.1.2 Hakikat Otonomi Daerah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama


(25)

antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.

Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. 13) Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam

13)

Muhammad Farahan dalam Rinekso Kartono, Panduan Pemilu Untuk Rakyat, LPKPS, Malang, 2005, hal.45


(26)

menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan.

Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Pembagian kewenangan bidang pemerintahan antara pusat, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota diatur dalam ketentuan Pasal 10 sampai


(27)

dengan Pasal 18 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan mengenai pembagian urusan pemerintahan. Kewenangan pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

Kewenangan propinsi terdiri dari 2 (dua) kategori, yaitu kewenangan sebagai daerah otonom dan sebagai wilayah administrasi. Kewenangan sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan kota. Sementara kewenangan sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah. 14)

Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia. Sementara kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan. Dalam Pasal 12 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa :

a) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentra lisasikan.

b) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Pada dasarnya terdapat keuntungan dan kelemahan penerapan sistem desentralisasi, beberapa keuntungannya antara lain :

a) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan

b) Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak, yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu instruksi dari pemerintah pusat.

c) Dalam mengurangi birokrasi dalam arti sempit yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.

14)

J. Kaloh, Otonomi Daerah dan Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hlm.246


(28)

d) Dalam sistem desentralissi, dapat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khusus desentralisasi teritorial dapat lebih menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusus daerah

e) Dengan adanya desentraliasasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboraturium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan. 15)

Dengan demikian, bahwa kebijakan otonomi daerah dapat menjadi sebuah sulusi, khususnya menyangkut tata pemerintahan yang lebih efektif dan profesional, tetapi juga menjadi problem ketika prasyarat lain tidak mengiringi terhadap kebijakan tersebut, seperti penegakan hukum, pengaturan soal teritorial, dan sebagainya. Desentralisasi yang nggak diimbangi oleh penegakan hukum, akan menyuburkan erilaku tindak korupsi di daerah. Desentralisasi yang tidak mengatur dalam pengertian teritorial akan melahirkan raja-raja kecil di daerah yang rawan dengan dis-integrasi, karena atas nama otonomi daerah, penguasa daerah tidak tunduk kepada pemerintah pusat ; begitu pula halnya dengan soal-soal yang berkaitan dengan masalah perimbangan kekuasaan antara daerah dan pusat.

Dengan adanya otonomi daerah memberikan suatu harapan bagi terciptanya dan terlaksananya keadilan, demoktratisasi dan transparansi kehidupan di sektor publik. Hal tersebut merupakan suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat sipil yang dicita-citakan. Kebijaksanaan otonomi daerah melalui Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah. Hal tersebut ditempuh dalam rangka mengembalikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula menciptakan cara berpemerintahan yang baik (good governance). Paradigma baru tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan luas kepada daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam

15)

Nur Feriyanto, Pemberdayaan Daerah Melalui Kerja Sama Antar Daerah, Kedaulatan Rakyat Press, 2001, hlm.18


(29)

pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuanya itu dilaksanakan secara demokratis, transparan, egaliter, yang berarti menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut program yang bersifat massal, uniform, dan sentralistis. Disamping itu, daerah menjadi titik sentral awal gagasan perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijaksanaan yang secara politik ditempuh dalam rangka memenuhi keutuhan “Negara dan Bangsa”, karena dengan otonomi daerah akan kembali memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantara segenap warga negara Indonesia, tak terkecuali dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa.

2.2 Pengertian Pajak, Peranan dan Bentuk-Bentuknya 2.2.1 Pengertian Pajak

Pajak menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dijelaskan bahwa Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

M.J.H Smeets mengemukakan pengertian pajak sebagai prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakan tanpa adanya kontrapretasi yang dapat ditujukan dalam hal individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 16)

Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa pajak adalah iuran dari rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor paktikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang Undang (yang sifatnya dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal yang langsung

16)

M.J.H Smeets dalam Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan ; Konsep, Teori, dan Isu,


(30)

dapat ditujukan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan dipergunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.17)

Lebih lanjut menurut R. Santoso Brotodiharjo menyebutkan bahwa : Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditujukan dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.18)

Menurut P. J. A. Adriani, pajak adalah :

Iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.19)

Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, menyebutkan bahwa :

Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.20)

Pajak merupakan suatu fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat dan negara. Hal tersebut tercermin dalam pengertian pajak itu sendiri yaitu :

Pembayaran (pengalihan) sebagian harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan berdasarkan undang Undang, namun pembayarannya tidak mendapatkan suatu balas jasa secara

17)

Rochmat Soemitro, Azas dan Dasar Perpajakan II, Bandung, Refika Aditama, 1998, hlm.9

18)

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia. Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2000, hlm.18

19)

Ibid, hlm.18 20)

Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R dalam Achmad Tjahyono,


(31)

langsung, untuk digunakan membiayai pengeluaran negara guna meningkatkan kualitas masyarakatnya.21)

Dari pengertian tersebut, terlihat adanya dua pihak yang saling berhadapan, yaitu masyarakat (di satu pihak) dengan pemerintah atau negara (di pihak lain). Bahwa melalui sarana pajak, maka sebagaian harta kekayaan masyarakat akan mengalit kepada negara berdasarkan sistem dan mekanisme ang telah ditetapkan, walaupun masyarakat tidak memperoleh balas jasa secara langsung dari negara dari pembayaran pajak tersebut. Pajak merupakan kewajiban dalam bernegara, yaitu sebagai sarana berpartisipasi dalam membentu pelaksanaan tugas kenegaraan yang ditangani oleh pemerintah.

Pajak merupakan iuran yang pungut oleh pemerintah kepada rakyat yang sifatnya dipaksakan, tanpa dipandang kaya ataupun miskin. Iuran pajak yang dapat dipungut oleh pemerintah ini akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara. Adapun pengertian pajak yang dikemukakan para ahli dari sudut pandang yang berbeda. Bebeerapa pendapat mengenai definisi pajak yang dikemukakan para ahli sebagai berikut :

Pengertian pajak menurut S.I Djadiningrat yang dikutip oleh Siti Resmi menyatakan bahwa :

Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadilan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, memurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum.22)

Dari pengertian tersebut bahwa pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum Negara.

Sedangkan menurut Sumarni Soehamidja yang dikutip oleh Wahluyo menyatakan bahwa :

21)

Liberty Pandiangan, Pemahaman Praktis Undang Undang Perpajakan Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.19

22)


(32)

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.23)

Dari pengertian tersebut, penulis dapat mengemukakan bahwa pajak adalah iuran kepada Negara yang wajib dibayar menurut peraturan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Dari kedua definisi diatas mengenai pengertian pajak, bahwa pajak adalah iuran kepada kas Negara yang diwajibkan kepada seseorang untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas Negara unntuk menyelenggarakan pemerintahan. 2.2.2 Peranan Pajak

Dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu primadona penerimaan negara yang paling potensial. Bahkan, saat ini sektor pajak memberikan kontribusi yang terbesar dalam APBN. Penerimaan dari sektor pajak ini merupakan penerimaan dalam negeri dan penerimaan sektor lainnya selanjutnya digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pajak bagi negara karena pajak merupakan sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah yang disebut sebagai fungsi budgeteir.

Seperti diuraikan di atas bahwa pajak merupakan kontribusi masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam membangun negaranya, yaitu membangun sarana dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat itu sendiri. Dengan kontribusi ini masyarakat berhak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Di pihak lain, tidak boleh dilupakan bahwa pajak memang merupakan bentuk tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara dalam menjalankankehidupan berbangsa

23)


(33)

dan bernegara. Di sinilah letak pentingnya pajak bagi masyarakat dalam kedudukannya sebagai Wajib Pajak

Ditinjau dari sistem keuangan negara, pajak mempunyai peranan dan sekaligus merupakan unsur penting sebagai pemasok dana bagi anggaran negara. Bahkan di beberapa negara (diantaranya Indonesia), perolehan dana dari pajak merupakan jumlah mayoritas atau dominan sebagai sumber penerimaan negara, dengan jenis, sistem dan sifat pengenaan yang mungkin berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya.

Melihat urgensi dari keberadaan pajak tersebut, masing-masing negara selalu berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajaknya, dengan berbagai jenis dan sistem pengenaan. Dalam perkembangan menunjukkan bahwa semakin besar pajak yang diterima suatu negara dapat memberikan indikasi makin tingginya tingkat kesadaran dan taraf hidup masyarakatnya. Untuk mengetahui apakah pengenaan dan perolehan pajak suatu negara sudah optimal, ada beberapa indikator yang dapat dipergunakan, yaitu tax ratio, coverage ratio, tax buoyancy, tax elasticity, dan cost of tax collections.24)

Tax Ratio adalah perbandingan antara besarnya realisasi penerimaan pajak dengan besarnya pendapatan nasional (dalam hal ini produk domestik bruto, PDB). Tax Ratio dapat dipergunakan untuk melihat seberapa besar tingkat pemungutan pajak (level of taxation) di suatu negara. Semakin tinggi tax ratio, maka akan semakin baik kinerja penerimaan pajak.

Coverage ratio adalah perbandingan antara realisasi penerimaan pajak (jumlah wajib pajak) dengan potensi yang ada. Dalam hal ini coverage ratio dapat dilihat dari tiga sisi yang disesuaikan dengan penggunaannya, yaitu :

a. Ditinjau dari penerimaan pajak, coverage ratio adalah perbandingan antara jumlah pajak yang diterima oleh pemerintah (telah direalisir) terhadap potensi pajak yang ada secara teoritis dan Undang Undang Perpajakan.

b. Ditinjau dari aspek wajib pajak, coverage ratio adalah sebagai jumlah wajib pajak terdaftar dibandingkan dengan jumlah pajak potensial menurut Undang Undang Perpajakan.

c. Ditinjau dari aspek objek pajak, coverage ratio adalah objek yang sudah terjaring dibandingkan dengan objek yang seharusnya dibebani pajak. 25)

24)

Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Eresco, Bandung, 1999, hal. 23 25)


(34)

Tax buoyancy adalah adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase perubahan pendapatan nasional. Sedangkan

tax elasticity adalah perbandingan perubahan persentase penerimaan pajak terhadap perubahanpersentase pendapatan nasional. Cost of tax collection atau biaya pemungutan pajak adalah biaya yang dikeluarkan negara dalam upaya untuk memungut pajak.

Untuk memperoleh pajak yang optimal, harus didukung oleh ketentuan pajak yang tepat, efektif dan efisien, serta dapat dilaksanakan. Dalam hubungan ini, pengaturan pengenaan (praktek) pajak di suatu negara tidaklah selalu sama dengan negara lainnya. Terjadinya perbedaan ini diakibatkan oleh perbedaan situasi dan kondisi masing-masing negara, demikian juga dengan tingkat kemajuan, taraf hidup, serta tingkat kesadaran masyarakatnya. Oleh karena itu, aturan mengenai pengenaan pajak antara Indonesia (sebagai negara berkembang) dengan Jepang, Amerika Serikat, atau negara negara Eropa lainnya (negara maju) mungkin akan berbeda.

Walaupun terdapat perbedaan pengaturan pengenaan pajak di masing-masing negara, namun pada hakikatnya terdapat persamaan terutama menyangkut hal-hal yang prinsipil dalam pemberlakuan peraturan dan pengenaan pajak. Dalam hubungan ini, terdapat sistem perpajakan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Yang menjadi landasan pengenaan pajak di setiap negara.

Pajak dalam suatu negara memiliki beberapa fungsi. Fungsi pajak menurut Mardiasmo terdapat dua fungsi yaitu :

1. Fungsi Penerimaan (budgetair) yaitu Pajak sebagai sumber dana penerimaan untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya ; contoh : Dana yang dikumpulkan dari hasil pajak digunakan pemerintah untuk membangun fasilitas- fasilitas umum.

2. Fungsi Mengatur (regulerend) yaitu Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Dalam hal ini contohnya antara lain : Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras ; Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif ; dan Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.


(35)

3. Fungsi Anggaran : Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien

4. Fungsi Redistribusi Pendapatan bahwa : Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat26)

Dalam melaksanakan fungsi pajak sebagaimana disebutkan di atas, dibutuhkan hukum pajak. Fungsi hukum pajak adalah untuk melegalkan sesuatu yang tadinya dianggap tidak legal (legal effectiveness). Demikian juga halnya dengan hukum pajak ; tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak, maka tindakan pemerintah meminta sejumlah uang kepada rakyat akan dianggap sebagai pemerasan. Namun setelah adanya Undang Undang Pajak, maka tindakan pemerintah meminta uang rakyat tersebut menjadi legal.

Hukum pajak yang disebut juga dengan hukum fiskal, merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.

2.2.3 Bentuk-Bentuk Pajak

Dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ”Pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang”. Lebih lanjut dijelaskan ; oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

26)


(36)

Mardiasmo mengelompokkan pajak kedalam tiga tinjauan yaitu menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutannya.

a) Menurut Golongannya ; menurut golongannya pajak dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

1. Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan

2. Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dapat dilimpahkan kepada orang atau pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai

b) Menurut Sifatnya ; menurut sifatnya pajak dibedakan menjadi dua bentuk, antara lain :

1. Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri dari wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan

2. Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikandiri dari wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

c) Menurut Lembaga Pemungutannya ; menurut lembaga pemungutannya, pajak dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2. Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak daerah terdiri atas : Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi) dan Pajak Daerah Tingkat II (Kotamadya/ Kabupaten)27)

Dari beberapa penggolongan jenis pajak tersebut di atas, secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Daerah di tingkat Propinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

1. Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun

27


(37)

Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :

a) Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok ; atau b) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu ; atau

c) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi ; atau

d) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status ; atau

e) Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan;


(38)

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1. Pajak Propinsi, terdiri dari beberapa bentuk pajak, antara lain : a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air ;

b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air ; c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor ;

d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari beberapa bentuk pajak, antara lain : a) Pajak Hotel ;

b) Pajak Restoran ; c) Pajak Hiburan ; d) Pajak Reklame ;

e) Pajak Penerangan Jalan ;

f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ; g) Pajak Parkir.


(39)

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan

2.3 Subjek, Objek dan Asas-Asas Pemungutan Pajak 2.3.1 Pengertian Subjek dan Objek Pajak

Subjek pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang Undang untuk dikenakan pajak. Pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap sebagai berikut :

1. Orang Pribadi : orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di indonesia atau di luar Indonesia

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak ; warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan subjek pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Masalah penunjukan warisan yang belum terbagi menjadi subjek pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan ;

3. Badan terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi,


(40)

koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya ;

4. Bentuk Usaha Tetap ; adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Selanjutnya objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terhutang. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat pembayar pajak sebagai Wajib Pajak merupakan pihak-pihak yang terkait langsung dalam sistem perpajakan. Jalinan kedua belah pihak ini harus harmonis di dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang optimal. Pemerintah mempunyai fungsi penting dalam sistem perpajakan, yaitu sebagai pemrakarsa terjalinnya hubungan antara masyarakat/Wajib Pajak dan pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak dalam pemungutan pajak.

Bentuk jalinan hubungan antara pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat/Wajib Pajak diatur dalam Undang-Undang Perpajakan agar tiap-tiap pihak mempunyai interpretasi yang sama mengenai sistem perpajakan yang sedang dijalankan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Ciri-ciri umum jalinan antara pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat/Wajib Pajak dalam sistem perpajakan menurut Judisseno adalah sebagai berikut :

a) Adanya peralihan kekayaan dari pihak masyarakat kepada kas negara b) Tidak ada jasa balik dari negara secara langsung

c) Digunakan untuk kepentingan umum d) Diatur dalam undang-undang.28)

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa disebutkan bahwa : Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

28)

Judisseno Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis, Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan


(41)

Dalam Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa disebutkan lebih lanjut bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

2.3.2 Asas-Asas Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak bagi rakyat dilandasi oleh beberapa azas yang penting, antara lain sebagai berikut :

1. Azas Yuridis

Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Oleh karena itu, mengenai pajak di negara hukum segala sesuatunya harus ditetapkan dengan Undang Undang, Dalam Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 hal ini ditetapkan dalam pasal 23 A amandeman ke-4 UUD 1945 bahwa segala pajak bagi negara ditetapkan dengan Undang Undang

Rasionya mengapa pengenaaan pajak harus berdasarkan Undang Undang ? karena pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor rakyat ke sektor pemerintah (untuk membiayai pengeluaran negara) untuk itu dapat ditunjuk kontraprestasi secara langsung terhadap individu ; padahal peralihan kekayaan dari satu sektor ke sektor yang lain tanpa adanya kontraprestasi hanya dapat terjadi apabila ada suatu hibah (wasiat)

2. Asas Ekonomis

Azas ekonoimis menyatakan bahwa pemungutan pajak yang dilakukan terhadap rakyat tidak boleh mengganggu perekonomian rakyat ; oleh karena


(42)

itu politik pemungutan pajak : harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan ; sebagai contoh : tidak boleh terjadi penagihan pajak terhadap kegiatan produksi dan perdagangan sangat besar sehingga rakyat takut untuk melakukan kegiatan produksi dan perdagangan tersebut.

3. Azas Finansial

Sesuai dengan fungsinya, maka biaya-biaya yang dipergunakan untuk memungut pajak harus sekecil-kecilnya ; Apalagi dalam bandingan dengan pendapatannya. Dalam prakteknya di Indonesia pernah terjadi suatu sistem intern untuk jawatan pajak bahwa tunggakan-tunggakan sebesar tidak lebih dari lima rupiah tidak perlu dipungut, hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa biaya-biaya ang dikeluarkan untuk menagih pajak yang tidak lebih dari lima rupiah itu dapat lebih besar daripada pajak yang dipungut, sehingga apabila dilakukan justru akan menambah beban pajak.

Asas pemungutan pajak merupakan norma-norma yang berlaku berkaitan dengan alasan pemungutan pajak itu dilakukan dan didasarkan pada kondisi subjek dan objek pajak. Menurut Slamet Munawwir Asas pemungutan pajak dapat dibagi 3 (tiga) antara lain sebagai berikut :

1. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak menegakkan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

2. Asas Sumber

Menurut asas ini negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

3. Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara, misalnya pajak bangsa asing di Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. 29)

2.4 Pengertian Reklame dan Penyelenggaraan Reklame 2.4.1 Pengertian Reklame

Reklame adalah media periklanan besar, yang biasa ditempatkan pada area yang sering dilalui, misalnya pada sisi persimpangan jalan raya yang padat.

29)


(43)

Reklame berasal dari kata re-clamare (dari bahasa Latin : Re=berulang, clamare=seruan). Reklame berisi iklan yang ditujukan untuk dilihat pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor yang melewatinya. Reklame umumnya berisi ilustrasi yang besar dan menarik, disertai dengan slogan. 30)

Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan/atau corak ragamnya untuk tujuan komersil dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, seseorang atau badan yang diselenggarakan/ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan/ atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan reklame adalah rangkaian kegiatan dan pengaturan yang meliputi perencanaan, jenis, perizinan, penyelenggara, pengendalian, pengawasan dan penertiban reklame dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang kota yang serasi.

2.4.2 Kewenangan Penyelenggaraan Reklame

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan

“wewenang” hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari

kewenangan. Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan.31) Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk

30)

Sumber Internet : http://id.wikipedia.org/wiki/Reklame diakses tanggal 2 September 2014 31)

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Pers, Cetakan ke-10, 2008, hlm.130


(44)

pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (Undang Undang Dasar) atau peraturan perundang-undangan.32) Kewenangan tersebut terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Contoh : kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Selain secara atribusi, wewenang juga dapat diperoleh melalui proses pelimpahan yaitu :

a) Delegasi b) Mandat

Diantara jenis-jenis pelimpahan wewenang ini, perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :

a) Delegasi adalah pelimpahan tanggung-jawab dan wewenang kepada anak buah atau rekan kerja.33) Delegasi memiliki dua unsur penting yaitu Tanggung-jawab adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dan Wewenang sebagai kekuasaan untuk menunaikan kewajibannya. seseorang yang menyerahkan tugas dan kewenangannya kepada seseorang lain dalam batas kepemimpinannya, yang dipercayainya mampu merampungkan atau menjaga tugas dan kewenangannya itu, secara hukum dan moral harus ikut bertanggung-jawab atas segala kejadian yang dilakukan oleh orang (dan pembantu-pembantunya) yang menerima delegasi itu, betapa kecil pun akibat kejadian tersebut terhadap organisasi. Karena itu setiap unsur pimpinan berkewajiban melakukan pengawasan pada bawahan langsungnya, dan bertanggung-jawab atas semua yang terjadi dalam kepemimpinannya. Misalnya pimpinan terendah dalam organisasi adalah bawahan dari pimpinan diatasnya, berurutan sampai ke pimpinan tertinggi, dan diberikan kepercayaan oleh atasan langsungnya. Dengan demikian, walaupun kesalahan atau kekeliruan atau pelanggaran terjadi dan dilakukan dalam batas tugas dan tanggung-jawab pimpinan yang terendah dalam organisasi, setiap pimpinan yang terlbat dalam pendelegasian tugas itu, secara hukum dan moral harus bertanggung-jawab. Harus dicamkan,

32)

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, eds. kesatu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.90

33)


(1)

& . =

6 8 - 0 )$ - + % 1 & $ '. 0 % & - # '-+ 0 &

$ '. 1 A 1 &+% " $ '" $ # 2 ) ' $ & % $ $ '. 1 - . " % 0 & !

6 8 0 . & - . " - & # '-+ 0 & $ '. &+% " $ '" $ % 0 . ' $ '.

.+ % ? - + - % ' ) ' $ & % '&+% 0 % 1 - 6 8 ' 0 .

$ " . .+ -+ ). & ) $ 2 % $. %+ &1 $ ' - & . '+

0 ' $ -+$ $ " $# ) ' $ ') &-$+'& $ '. % "

) ' $ - $& +- 2 % . ' $ - " $ "!

6*8 ) &-$+'& $ '. 1 % 1 - ' 2 % . ' $ - " $ " % - % '

% ) ' $ % 0 - % & # ' ' 0 % 0 1 . $ $ '. . % % ' '

1 & # & &+ % ' - -+ 0 $ -+$ 0 $+ % (+ % 1 $. '+!

6,8 - 3 $ 0 ) ' $ % -+$ . " . 2+- % $ -+$ 0 . $ "!

& . /

6 8 1 ) ' $ % 1 $' $& % 0 1 $ 0 2 '!

6 8 1 ) ' $ % 0 $ + ' ). " $ - " $ " + -+' ) ' $

+ $ '. 1 & " $+& 1 % . '+' ). " 0 1 . $ $ '. !

6*8 & $ 1 + 1 ) ' $ + -+' $ '. 0 $ & & $ E 6& 0+.+" 0 $& 8 % $ . & # !

6,8 & $ 1 + 1 ) ' $ + -+' $ '. - $ - & & & $ E 6& 0+.+" 0$ & 8 % $ . 1 ') &-$+'& !

6:8 & $ 1 + 1 ) ' $ + -+' $ '. & % - . & & $ E 6& 0+.+" 0 $& 8

% $ . 0 2 '!

678 - 3 $ % 0 .). + 1 ) ' $ % -+$ . " . 2+- % $ -+$

0 . $ "!

I

& . 9

. 2 ' - $- ' . &- $ % ' % " . '+ # . 1 " % $ "

+ $ '. 1 - . " % 0 & # 2 % . '+' 0 . " $ % 0 $ #

-& 3 $ $' . ). " 0 1 . $ $ '. !

I

& . *

$- $ '. % . '+' - $" % 0 & - 0 0 1 . $ $ '. 0 .

! - 0 A 4

! - . " $ '" $ & A 1 % - % ' % 0 $0 2 & &+ ' - -+ 1 $. '+4


(2)

%! - $% 0 - 0 $+ " 2 & +'+$ ' - - - ' .)' & % ') &-$+'& & " - % ' & &+ . % A 1 - . " % - - 0' 4

! - - ' .)' & 0 0 - - % ' & &+ % 1 - . " % - - 0' ). " '. 4

5! % ' - $ # - % '4

! % . " . 0 1 . $ $ '. - % ' +" ' - -+ & % '&+%

"+$+5 "+$+5 "+$+5 3 "+$+5 % % "+$+5 ' 0 1 . $ $ '. # 2

) ' $ $ '. & $- ' . ' 0 1 % . - & # '-+ * D , 2 4

I

& . *

6 8 # & - & 0 1 . $ $ '. % % $ " % . '+' ). " 0 . $ "!

6 8 0 . $ " % 0 - . 0 "' ' # 0 # & & % '&+%

0 % 1 - 6 8 ' 0 % 0 0 + - ' $2 - $' -!

6*8 - -+ . " . 2+- - - 3 $ 0 # & & % '&+% 0 %

1 - 6 8 % -+$ % $ -+$ 0 . $ "!

I

& . *

6 8 A 1 . $ '. % 3 +- % % 1 - ' - % ' $. '+ . 0 .

! 1 . $ '. . $ % . ' - -+ & . * "+$+5 %4

! . $ ' - -+ & % '&+% % . & . & . = & . 9 & .

& . & . & . * & . , & . : % & . 74

6 8 $" % 0 0 3 +- A & % '&+% 0 % 1 - 6 8 - % ' - .'

0 1 $ 0 2 ' $ -$ +& % 2 ) ' $4

6*8 .+ % . '+' 0 3 +- A 0 1 . $ $ '. & % '&+%

0 % 1 - 6 8 0 . $ " - + 2 - 1 $# - $. " % "+.+

$ -' &+$ - 0 $ - ?- +$ ' 0 % 0 1 . $ $ '. !

I B

& . **

6 8 $ & 0 . $ ' - -+ & . / $ -+$ $ " % ' ' 3

0 % '+$+ 0 . . 7 6 8 +. - + % % 0 . 1 '

0 : ! ! 6. 0+.+" 2+- $+0 "8!


(3)

IB

& . *,

6 8 2 - # $ 0 . - $- -+ % . '+ $ - " $ " % $ # #

'"+&+& & 1 % ' + -+' . '+' 0 1 % ' - % ' 0 % % %

0 $0 2 ' $ " & % '&+% % . % ( % +'+ 3 $ %

1 $. '+!

6 8 1 % ' & % '&+% 0 % 1 - 6 8 % . " 2 - # $ 0 .

- $- -+ % . '+ $ - " $ " 1 % ' - ). " 0 2 - 1 $#

& &+ % 0 $ -+$ 0 $+ % (+ % !

6*8 # 1 % ' & % '&+% 0 % 1 - 6 8 % . "

! $ 3 $ + 0+.' % . - ' - $ - + . 0)$ $'

% - % ' 0 % % % 0 $0 2 ' $ " $ ' - $ - + . 0)$

- $& +- 2 % . " . ' 0 % 2 . &4

! . - 3 $ % + 0+.' ' - $ )$ 0$ % - +

% - - ' $ 0 $ + - 1 % . '+' & "+ + % - % '

0 % 0 $0 2 ' $ "4

3! - ' - $ % " +'- % $ )$ 0$ % - + % & "+ +

% - % ' 0 % % % 0 $0 2 ' $ "4

%! $ '& +'+( +'+ 3 - - (3 - - % %)'+ (%)'+ . $'

% - % ' 0 % % % 0 $0 2 ' $ "4

! . '+' 0 . % " + -+' % 0 -' " +'- 0 +'+ 0 3

-% %)'+ (%)'+ . & $- . '+' 0 1 - - $" % 0 "

+'-- $& +-4

5! - -+ - ". % . $ ' 0 . '& -+ & 0 1 % ' - % '

0 % % % 0 $0 2 ' $ "4

! 1+$+" $" - % ? - + . $ & & )$ .' $+ - + - 0

-0 % & - 0 $ '& & % $. &+ % $ '& % - - & )$ % ? - +

%)'+ 1 % # & % '&+% 0 % "+$+5 4

"! )-$ - & & )$ 1 $' - % - % ' 0 % 0 $0 2 ' $ "4

! . )$ + -+' % % $ ' - $ 1 % % 0 $ '& & - $& '

- + & '& 4

2! " - ' 0 1 % ' 4

'! . '+' - % ' . 1 0 $.+ + -+' ' . 3 $ 0 1 % ' - % ' 0 % %

% 0 $0 2 ' $ " & &+ % 0 $ -+$ 0 $+ % (+ % !

6,8 1 % ' & % '&+% 0 % 1 - 6 8 $ - "+' % +. 1 0 1 % '

% 1 0 ' " & . 0 1 % ' 1 ' 0 % + -+- + . .+ 1 % '

2 - ). & $ 0+ . ' %) & & &+ % ' - -+ 0 $ -+$

0 $+ % (+ % 1 $. '+!

IB

& . *:

$ -+$ 0 . '& - & $ -+$ $ " % - - 0' 0 . . - 6& -+8 - "+ & 2 ' 0 $ -+$ % $ " % + % ' !


(4)

& . *7

A 0 1 . $ $ '. 1 % ' .+ $' & .+ 0 $ -+$ % $ " $. '+

% 1 - ' & " $. '+ & 0 % 2 ' # '-+ A - $& +- $ '" $!

IB

& . *=

$ -+$ $ " +. $. '+ 0 % - . % + % ' !

$ & - 0 )$ - "+ 1 $ - "' 0 + % $ -+$ $ "

% 0 0 - 1 % . $ $ " +0 - 1+# !

- - 0' % 1+#

% - . )> $

--%

! F

+ % ' % 1+#

% - . * < + $ *

--%

$&! ! !

- +%

! 9:7 / 9/, 9

* ,

&+ % &. 1

! ! '$ - $ & $ " +0 - 1+#

& &- % &-$ & $ - " +! !

0 . +'+

! ! ! + !


(5)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012

TENTANG

PENYELENGGARAAN REKLAME

I. PENJELASAN UMUM

Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum.

Dengan semakin pesatnya perkembangan perekonomian dewasa ini, maka setiap orang atau badan yang mempunyai suatu usaha, akan sangat membutuhkan keberadaan media reklame untuk memperkenalkan dan memujikan barang atau usahanya.

Keberadaan media reklame sebagai salah satu alat promosi suatu produk perlu diatur penyelenggaraannya, agar tertata sesuai dengan tata ruang, estetika (keindahan), kepribadian dan budaya bangsa serta tidak bertentangan dengan norma keagamaan, kesopanan, ketertiban, keamanan, kesusilaan dan kesehatan.

Pemanfaatan ruang untuk media reklame inilah yang pada akhirnya menimbulkan kewajiban bagi orang atau badan untuk membayar pajak kepada daerah dengan nama Pajak Reklame.

Semakin baik pelayanan maupun penataan reklame di wilayah daerah, maka semakin optimal pula pendapatan asli daerah dari sektor pajak. Pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak ini diperkirakan akan terus meningkat melalui penyelenggaraan reklame yang berkeadilan, transparan dan berkualitas.

Pengaturan penyelenggaraan reklame dalam Peraturan Daerah ini, lebih dititikberatkan pada penyelenggara, penataan, jenis dan naskah reklame, kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, nilai sewa serta pengelolaan titik-titik lokasi reklame yang pada akhirnya mengatur mengenai pembongkaran reklame.

Akhirnya dengan adanya Peraturan Daerah yang mengatur secara tegas hak dan kewajiban, penyidikan, sanksi dan ketentuan pidana terhadap penyelenggaraan reklame di Kabupaten Banyuwangi, maka suasana kondusif dalam iklim usaha, ketentraman masyarakat dan ketertiban umum dapat terwujud.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Angka 1 s/d angka 62 Cukup jelas.

Pasal 2 s/d Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4

Ayat (1) Cukup jelas


(6)

,

Ayat (2)

a. Klasifikasi Utama : Lingkungan Pelabuhan, Taman Sritanjung dan Diatas Gedung

b. Klasifikasi A : Simpang Lima, Simpang Empat, Simpang Tiga, Simpang Lingkar Jalan dan Jalan Protokol

c. Klasifikasi B : Kawasan Pasar, Kawasan Pertokoan, Kawasan Teminal dan Kawasan Gor

d. Klasifikasi C : Jalan Penghubung Protokol (Banyuwangi-Kalibaru, Banyuwangi-Wongsorejo)

e. Klasifikasi D : Jalan Ekonomi Ayat (3) s/d ayat (13)

Cukup jelas Pasal 5 s/d pasal 16

Cukup Jelas Pasal 17

Bagian Space reklame dilarang tanpa materi reklame, dengan maksud bahwa apabila kosong (sedang ditawarkan) diisi dengan himbauan yang bersifat sosial. Pasal 18 s/d pasal 24

Cukup jelas Pasal 25

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)

Bentuk Perforasi berupa legalisasi dalam bentuk stiker. Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 26 s/d pasal 37 Cukup jelas

JJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJJ


Dokumen yang terkait

Pandangan Kritis Eksistensi Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Atas Sertipikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus Di Kota Medan)

6 132 159

Pengaruh Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajb Pajak Yang Memiliki Predaran Bruto Tertentu Terhadap Penerimaan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

3 57 83

ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI

0 12 18

Analisis Potensi Penerimaan Pajak Reklame Sebagai Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

0 6 8

ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI (Studi Pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010)

0 5 18

IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK TENTANG PERIZINAN REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) NO 14 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME DI KOTA SEMARANG

1 32 30

Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro No 3 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Reklame

0 0 13

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME

0 1 14

PENGENAAN PAJAK REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 04 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME DIHUBUNGKN DENGAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANDUNG - repo unpas

0 0 35

PENGENAAN PAJAK REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 04 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME DIHUBUNGKN DENGAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANDUNG - repo unpas

0 0 23