Pandangan Kritis Eksistensi Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Atas Sertipikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus Di Kota Medan)

(1)

TESIS

Oleh

HERMANTO MARBUN

107011036/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HERMANTO MARBUN

107011036/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : HERMANTO MARBUN Nomor Pokok : 107011036

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum)(Notaris. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : HERMANTO MARBUN

Nim : 107011036

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH ATAS

SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH

(STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :HERMANTO MARBUN Nim :107011036


(6)

mamerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sistem publikasi dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dipakai oleh UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah sistem publikasi negatif. Dalam kenyataannya masih menimbulkan keraguan akan pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah. Karena pemilik hak atas tanah masih rentan terhadap gangguan akan gugatan terhadap kepemilikannya dari pihak lain setiap saat. Meskipun PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah masih menggunakan sistem publikasi yang sama dengan PP Nomor 10 Tahun 1961, tetapi aspek kepastian hukum dan perlindungan hukumnya tampak nyata tertuang dalam Pasal 32 ayat (2). Ketentuan pasal ini menegaskan kakuatan sertipikat sebagai alat bukti yang kuat dengan batasan waktu salama 5 tahun yang diperoleh dengan itikad baik. Kepastian ini menghindari rasa was-was pemegang sertipikat tanah atas gugatan pihak lain tersebut. Keberadaan peraturan ini perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. Karena secara empiris masih timbul adanya pro dan kontra dalam penerapannya.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan secara pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Fungsi dan peranan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertipikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Namun kekuatan hukum sertipikat hak sebagai tanda alat bukti hak atas tanah, pembuktiannya tidak bersifat mutlak karena masih dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

Pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan sertipikat tanah jika kemudian bermasalah di Kota Medan, tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, administratif dan ganti rugi. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sah serta keberadaan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini harus diterapkan dan dilaksanakan oleh pihak yang berwenang agar terciptanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi pemilik sertipikat hak atas tanah. Jika ternyata ada kesalahan dalam penerbitan sertipikat tanah, harus melalui mekanisme hukum untuk memperbaiki akibat hukumnya. Dalam kejadian ini tentu ada pihak yang dirugikan harus diberikn kompensasi kerugian. Dasar untuk mengajukan ganti rugi adalah Pasal 1365 KUH Perdata. Dan Badan Pertanahan


(7)

(8)

in the development which needs support by legal certainty in the field of land. The publication system in performing land registration as it is stipulated in UUPA (Land Act) in conjunction with PP No. 10/1961 has a negative publication system. In reality, it still causes doubt about giving legal certainty for the holder of land certificate because he is vulnerable of being claimed any time about the ownership by other people. Although PP No. 24/1997 on Land Registration still uses publication system which is the same as PP no. 10/1961, the aspect of its legal certainty and legal protection are clearly stipulated in Article 32, paragraph (2). The provision of this article confirms the validity of a certificate as strong evidence within five year period obtained with good will. This legal certainty makes the holder of the land certificate firm against other people’s claim. This regulation needs to be implemented consistently because empirically there are still pros and cons in its implementation.

The research used descriptive analytic method with judicial normative approach. The data were obtained by gathering primary and secondary data. The primary data were gathered by performing interviews, and the secondary data were obtained from legal provisions and from literature materials. They were analyzed qualitatively.

The function and the role of land registration are for assuring legal certainty and right certainty on land ownership. In order to obtain legal certainty and right certainty, people should register their land in order to get land certificates as it functions as strong evidence of land ownership. However, the legal power of the certificate of land ownership is not always absolute evidence since other evidence may cancel it.

It is the responsibility of the management of the Land Office if later there is a problem with land certificates they have issued in Medan. They can be taken civil action, administration, and in the form of indemnity. The result of the research showed that a certificate is evidence and valid and the existence of Article 32, paragraph (2) of PP No. 24/1997 should be applied and implemented by the authority in order to have legal certainty and right certainty on the land for the owners of the land certificates. If there is any problem with land certificates, the legal consequence should be corrected through legal mechanism. The person who is injured should be given the compensation, based on Article 1365 of the Civil Code. The National Land Board is only responsible as the witness and can only participate in helping solve the problem. The National Land Board should be responsible for the certificates formally and materially since the land certificates are issued by the National Land Board.


(9)

Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayatNya serta kasihNya yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian tesis ini, dengan judul “PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH ATAS SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH (STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)”.

Pada kesempatan ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sedalam-dalamnya, kepada yang sangat terhormat dan terpelajar, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum serta Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, S.H, MKn selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat, bimbingan serta pengarahan kepada saya dalam penulisan tesis ini. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Dosen Penguji Ujian Tesis Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN, MHum., dan Ibu Chairani Bustami, S.H, SpN, MKn. Dan juga semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada


(10)

Magister Kenotariatan (MKn) dan Ibu Dr. Keizerina Devi A., SH., CN., MHum. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) berserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing.

5. Ibu Rotua Novi Yanti, Kepala Sub Seksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Medan.

6. Ibu Sri Puspita Dewi, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara di Kantor Pertanahan Kota Medan.

7. Ibu Elfiani S.H, MKn Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang penulis sayangi :

1. Ayahanda Syarifuddin Marbun (Alm) dan Ibunda Hetdi Br Rumahorbo yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, juga buat


(11)

saudara-Marbun, Keluarga besar Opung si Nova Pasaribu dan Keluarga Hobby Rudianto Nahampun S.Pi.

2. Istri yang tercinta Limei Pasaribu, S.H, MKn terima kasih atas kesabaran, perhatian, dukungan, bantuan dan motivasinya selama penulisan tesis ini.

3. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2012 Hormat saya,


(12)

Nama : Hermanto Marbun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Tempat/tanggal Lahir : P. Bandar, 05 November 1982

Alamat : Jl. Setia No. 40E, Kel.Tanjung Rejo, Kec.Medan Sunggal – Medan

II. KELUARGA:

Ayah : Syarifuddin Marbun (Alm)

Ibu : Hetdi Br. Rumahorbo

Adik : 1. Fredy Marbun

2. Candra Marbun, Amd. 3. Marlin Marbun, S.Farm.

4. Desma Wati Marbun, Amd.Keb. 5. Roy Marten Marbun

6. Tahan Rony Erwanto Marbun 7. Samuel Dapot Marbun

III. PENDIDIKAN :

SDN 48 SUNGAI RUMBAI – SUMBAR TAHUN 1988 - 1994

SLTP SWASTA SANTO YUSUP – BANDUNG TAHUN 1994 – 1997 SMU SANTA MARIA 3 CIMAHI – BANDUNG TAHUN 1997 – 2000 S1 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA

PADANG – SUMBAR TAHUN 2001 – 2006

S2 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


(13)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan ... 21

2. Sumber Data ... 23

3. Analisa Data... 24

BAB II EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TERHADAP PEMILIK SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN ... 25

A. Eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ... 25


(14)

C. Keberlakuan Sertpikat Hak Atas Tanah ... 50

BAB III FUNGSI DAN PERANAN PENDAFTARAN TANAH DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH ... 66

A. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah ... 66

B. Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap Pemegang Sertipikat ... 94

C. Fungsi Sertipikat Terhadap Pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah ... 104

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN KANTOR PERTANAHAN YANG MENERBITKAN SERTIPIKAT JIKA KEMUDIAN BERMASALAH DI KOTA MEDAN ...109

A. Pertanggungjawaban Kantor Pertanahan Dalam Penerbitan Sertipikat ... 109

B. Upaya Pencegahan Sengketa Sertipikat oleh Pejabat Kantor Pertanahan... 118

C. Sanksi (Hukuman) Bagi Para Pihak Penerbitan Sertipikat Yang Bermasalah ... 127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...132

A. Kesimpulan ... 132

B. Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135 LAMPIRAN


(15)

Asas nulla-poena : Asas legalitas

Bedrog : Perbuatan curang

Contradictoir delimitation : Upaya mengurangi sengketa mengenai (tanda) batas-batas tanah

Deelneming : Penyertaan/turut serta

Doodrgel : Norma hukum yang mati

Efisiensi : Ketepatgunaan/ ketangkasan

Eksepsi : Bantahan

Feasible : Suatu permohonan dapat dinilai menurut hukum layak

Indefeasible title : Pendaftaran menciptakan suatu

In kracht van gewijsde : Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Landrente : Pajak bumi

Lex dura, set tamen scripta : Undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah Bunyinya

Materiel wederrechtelijkheid : Asas ajaran melawan hukum materil

Nemo plus juris : Seseorang tidak diperbolehkan mengalihkan suatu hak melebihi hak yang dimilikinya.

Novum : Bukti baru

Onrecht matigedaad : Perbuatan melawan hukum Overshrijvings Ordonnantie : Ordonansi balik nama


(16)

Rechtsverwerking : Orang yang melepaskan haknya dengan alasan tidak memamfaatkan dan memperoleh dengan itikad baik

Registration of deeds : Sistem pendaftaran akta Registration of titles : Sistem pendaftaran hak

Schuld : Memenuhi unsur kesalahan

Simultan : Serentak

Sivis Pacem Para Bellum : Yang berarti hendak damai siapkan perang

Title search : Judul Pencarian

The register is everything : Untuk memutuskan adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya

Uniform : Seragam/ sama

Verjaring : Daluwarsa/lewatnya waktu

Verponding : Sebidang tanah

Vis Probandi : Suatu keunggulan bagi akta otentik dibanding dengan alat bukti lain ialah dari segi kekuatan pembuktiannya bahwa akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna

Volledige Bewijs Kracht : Kekuatan pembuktian yang memberikan kepastian hukum yang cukup, kecuali terbukti sebaliknya


(17)

GPS : Global Positioning System

HGU : Hak Guna Usaha

HPL : Hak Pengelolaan

Jo : Juncto

Kab : Kabupaten

Ka. BPN : Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

LN : Lembaran Negara

MDN : Medan

PERMENAG : Peraturan Menteri Negara Agraria PP : Peraturan Pemerintah

PPT : Pejabat Pendaftar Tanah PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

Psl : Pasal

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara RI : Republik Indonesia

SDM : Sumber Daya Manusia SHM : Sertipikat Hak Milik

SKPH : Surat Keterangan Pemberian Hak

UU : Undang-Undang


(18)

mamerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sistem publikasi dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dipakai oleh UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah sistem publikasi negatif. Dalam kenyataannya masih menimbulkan keraguan akan pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah. Karena pemilik hak atas tanah masih rentan terhadap gangguan akan gugatan terhadap kepemilikannya dari pihak lain setiap saat. Meskipun PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah masih menggunakan sistem publikasi yang sama dengan PP Nomor 10 Tahun 1961, tetapi aspek kepastian hukum dan perlindungan hukumnya tampak nyata tertuang dalam Pasal 32 ayat (2). Ketentuan pasal ini menegaskan kakuatan sertipikat sebagai alat bukti yang kuat dengan batasan waktu salama 5 tahun yang diperoleh dengan itikad baik. Kepastian ini menghindari rasa was-was pemegang sertipikat tanah atas gugatan pihak lain tersebut. Keberadaan peraturan ini perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. Karena secara empiris masih timbul adanya pro dan kontra dalam penerapannya.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan secara pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Fungsi dan peranan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertipikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Namun kekuatan hukum sertipikat hak sebagai tanda alat bukti hak atas tanah, pembuktiannya tidak bersifat mutlak karena masih dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

Pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan sertipikat tanah jika kemudian bermasalah di Kota Medan, tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, administratif dan ganti rugi. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sah serta keberadaan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini harus diterapkan dan dilaksanakan oleh pihak yang berwenang agar terciptanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi pemilik sertipikat hak atas tanah. Jika ternyata ada kesalahan dalam penerbitan sertipikat tanah, harus melalui mekanisme hukum untuk memperbaiki akibat hukumnya. Dalam kejadian ini tentu ada pihak yang dirugikan harus diberikn kompensasi kerugian. Dasar untuk mengajukan ganti rugi adalah Pasal 1365 KUH Perdata. Dan Badan Pertanahan


(19)

(20)

in the development which needs support by legal certainty in the field of land. The publication system in performing land registration as it is stipulated in UUPA (Land Act) in conjunction with PP No. 10/1961 has a negative publication system. In reality, it still causes doubt about giving legal certainty for the holder of land certificate because he is vulnerable of being claimed any time about the ownership by other people. Although PP No. 24/1997 on Land Registration still uses publication system which is the same as PP no. 10/1961, the aspect of its legal certainty and legal protection are clearly stipulated in Article 32, paragraph (2). The provision of this article confirms the validity of a certificate as strong evidence within five year period obtained with good will. This legal certainty makes the holder of the land certificate firm against other people’s claim. This regulation needs to be implemented consistently because empirically there are still pros and cons in its implementation.

The research used descriptive analytic method with judicial normative approach. The data were obtained by gathering primary and secondary data. The primary data were gathered by performing interviews, and the secondary data were obtained from legal provisions and from literature materials. They were analyzed qualitatively.

The function and the role of land registration are for assuring legal certainty and right certainty on land ownership. In order to obtain legal certainty and right certainty, people should register their land in order to get land certificates as it functions as strong evidence of land ownership. However, the legal power of the certificate of land ownership is not always absolute evidence since other evidence may cancel it.

It is the responsibility of the management of the Land Office if later there is a problem with land certificates they have issued in Medan. They can be taken civil action, administration, and in the form of indemnity. The result of the research showed that a certificate is evidence and valid and the existence of Article 32, paragraph (2) of PP No. 24/1997 should be applied and implemented by the authority in order to have legal certainty and right certainty on the land for the owners of the land certificates. If there is any problem with land certificates, the legal consequence should be corrected through legal mechanism. The person who is injured should be given the compensation, based on Article 1365 of the Civil Code. The National Land Board is only responsible as the witness and can only participate in helping solve the problem. The National Land Board should be responsible for the certificates formally and materially since the land certificates are issued by the National Land Board.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan saja berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan rumah, tempat berusaha atau tempat dimana jasad mereka dikubur, tetapi juga merupakan sumber kekuasaan dan jaminan hidup bagi suatu bangsa. Seperti diketahui Indonesia merupakan Negara agraris dimana tanah sangat menentukan bagi kelangsungan hidup rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3 berbunyi:

“Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah Republik indonesia menurut UUPA yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui penyerahan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.1

Indonesia telah mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah yang uniform yang berlaku secara nasional, hal ini sebagai konsekwensi berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, yang kemudian di sempurnakan kembali dengan PP No. 24 Tahun 1997, Lembaran Negara Tahun 1997 No. 59, Tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku aktif 8 Oktober 1997 (Pasal 66), yang merupakan perintah dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1960.


(22)

Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) :

(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Proses pendaftaran tanah, dilakukan melalui tiga tahap kegiatan, yaitu kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, pengumpulan dan pengolahan data yuridis dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Dalam kegiatan pengumpulan dan pengolahan data yuridis, yaitu dengan meneliti alat-alat bukti kepemilikan tanah. Untuk hak-hak lama yang diperoleh dari konversi hak-hak yang ada pada waktu berlakunya UUPA dan/atau hak tersebut belum didaftarkan menurut PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftarkan haknya.

Hasil dari proses pendaftaran tanah, kepada pemegang hak atas tanah yang didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut sertipikat. Sertipikat menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah berupa satu lembar


(23)

dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan dari suatu bidang tanah yang didaftar.

Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditur dapat dengan mudah untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan. Bagi pemerintah dapat membantu dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahannya.

Pada awalnya pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini dianggap belum maksimal karena ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan dana dan tenaga sehingga penguasaan tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh alat pembuktian yang memadai. Selain itu PP ini belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan hasil yang memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah yang diperoleh setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat Pembuat Akta Tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga seringkali tanahnya tidak didaftarkan. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini dikeluarkanlah peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih menyempurnakan peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.


(24)

Kepastian hukum data kepemilikan tanah akan dicapai apabila telah dilakukan Pendaftaran Tanah, karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Baik kepastian mengenai subjeknya (yaitu apa haknya, siapa pemiliknya, ada/tidak beban diatasnya) dan kepastian mengenai objeknya yaitu letaknya, batas-batasnya dan luasnya, serta ada/tidak bangunan/tanaman diatasnya.2

PP Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sehingga banyak terdapat tambahan, hal ini terlihat dari jumlah pasal yang lebih banyak dan isi PP tersebut yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan tanah. Salah satunya terdapat dalam Pasal 32 yang mengatur bahwa :

(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Ayat (1) pasal ini mengandung makna bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar. Sedangkan ayat (2) pasal ini lebih menegaskan lagi jaminan kepastian dan


(25)

perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah, dimana mengandung beberapa syarat, diantaranya :

a. sertipikat tanah diperoleh dengan itikad baik;

b. pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya selama jangka waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah tersebut; c. sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya keberatan

dari pihak ketiga maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi;

Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut sebenarnya bukan merupakan suatu ketentuan baru, karena konsep dari pasal ini merupakan konsep yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa tanah pada hukum adat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997. Konsep yang digunakan dalam pasal ini adalah “rechtsverwerking” yang sudah diterapakan sebelum PP Nomor 24 Tahun 1997 berlaku bahkan jauh sebelum UUPA ada.

Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja terdapat permasalahan dalam hal kepemilikan sebidang tanah, misalnya saja terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu masih ada pihak luar yang menuntut hak atas tanah tersebut. Permasalahan ini sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Masalah hak atas tanah di Indonesia bukanlah masalah sederhana untuk diselesaikan, karena masalah hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai


(26)

permasalahan yang rumit dan komplek. Hal ini disebabkan sumber daya tanah tidak mungkin lagi bertambah sementara manusia yang membutuhkan tanah semakin bertambah, masalah tanah berkaitan erat dengan sosial budaya, aspek ekonomi, aspek hukum, aspek politik bahkan aspek pertanahan dan keamanan Negara.3

Indonesia, sebagian besar penghidupan masyarakatnya masih mengandalkan ekonomi mereka di sektor pertanahan. Banyak sekali usaha yang berkaitan dengan pertanahan. Kondisi tata kota yang berubah-ubah di Indonesia menyebabkan banyaknya masalah pertanahan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia.

Sehubungan dengan itu maka pencatatan yang sistimatis dari tanah dan hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting, baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanaan dan pengembangan penggunaan tanah itu sendiri, serta bagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, sehingga konflik di bidang pertanahan dapat diminimalkan. Pencatatan yang sistimatis ini kemudian dikenal dengan lembaga Pendaftaran Tanah.

Awalnya pendaftaran tanah bukan sebagai hal yang penting asasnya dilakukan, sebab yang diprioritaskan adalah fungsi haknya yakni bagaimana supaya dapat memberikan manfaat bagi seluruh anggota keluarga kawasan yang hidup di atas tanah tersebut. Hanya saja, karena perkembangan kehidupan manusia yang satu sama lain tidak mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah

3Djamester A. Simarmata,Hukum Pertanahan dan Prinsip Ekonomi,Jurnal Hukum Bisnis,


(27)

barang tentu tanah milik bersama akan menjadi sasaran yang dikeluarkan bahagiannya dari kepemilikan bersama tersebut.

Erman Rajagukguk dalam penelitian disertasinya menemukan bahwa ada beberapa desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah mencoba mempertahankan sifat pemilikan bersama atas tanah untuk mencegah penjualannya kepada orang luar desa dan untuk mencegah kenaikan harga dengan cara membatasi penjualan hanya boleh dilakukan antar sesama penduduk dari desa yang sama, namun dalam kenyataannya usaha ini tidak efektif, sering pihak penjual memberikan surat kuasa yang tidak dapat menghindar dari hukum.4

Akhirnya milik bersama yang sifatnya publiekrechelijke-pun, semakin terindividualisasikan menjadi hak milik privat. Di tengah-tengah terindividualisasinya hak-hak yang pada awalnya hak bersama, lembaga pendaftaran tanah kepemilikan hak atas tanah tersebut. Sebaliknya dengan pendaftaran tanah ini dapat mengamankan hak-hak atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat dan badan hukum. Sehingga pemiliknya dapat terlindungi secara yuridis dan teknis untuk digunakan dialihkan dan atau diikatkan sebagai jaminan hutang oleh pemiliknya.5

Sampai dengan saat ini Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang seharusnya dapat menjadi jalan keluar bagi permasalahan di atas masih mendapatkan banyak pro dan kontra. Mengingat keberadaan pasal ini tidak sesuai dengan sistem publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia, dimana sertipikat bukanlah merupakan alat bukti yang mutlak melainkan sertipikat merupakan alat

4Erman Rajagukguk,Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup, Cet.

1, Jakarta, Chandra Pratama, 1995, hal. 87.

5

M. Yamin Lubis, Problematika Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal.4.


(28)

bukti yang kuat. Berdasarkan uraian di atas bahwa tertarik untuk meneliti dan membahas sejauh mana implementasi dan keberadaan dari Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini terhadap permasalahan-permasalahan pendaftaran tanah dan pendapat berbagai pihak dengan adanya penerapan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini dalam menyelesaikan permasalahan pendaftaran tanah.

Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya, dan fungsinya itu tidak dapat digantikan dengan benda lain. sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu.

Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman kepada pemiliknya. Bagi pemerintah, adanya sertipikat hak atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung.

Adanya sertipikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data tentang tanah yang bersangkutan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah ditemukan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misalnya pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi dan bangunan.6


(29)

Menurut A.P. Parlindungan pembuktian hak-hak atas tanah di Indonesia sangatlah komplek sekali karena tidak ada tradisi ataupun peraturan yang menyebutkan keharusan pendaftaran tanah tersebut.7 Oleh karenanya menurut Sudargo Gautama kepada pemegang hak-hak atas tanah yang bersangkutan harus diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah, dengan demikian akan memberikan kepastian hukum, jika tidak diadakan kewajiban ini maka pendaftaran tanah itu sendiri tidak akan memberikan arti sama sekali, yang hanya mengakibatkan kerugian yang tidak kecil jika dilihat dari sudut tenaga, alat-alat dan ongkos-ongkos yang dikeluarkan.8

Menurut Pitlo dalam ajaran umum Hukum Perdata tentang pendaftaran, maka saat dilakukannya pendaftaran tanah maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan benda (dalam hal ini tanah) diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itu pulalah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dengan maksud ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.9

Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah memperoleh data tentang sebidang tanah jika diperlukan.

7

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Mandar maju, 1993, hal.127

8Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Alumni, 1990, hal.49 9

Lihat Pitlo, (Het System Van Het Nederlands Privaatrecht, 1968, hal. 136) dalam Abdurrahman ,


(30)

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Bahwa yang menjadi objek pendaftaran tanah, sebagaimana ditentukan Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah:

1) a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

b. Tanah hak pengelolaan. c. Tanah wakaf.

d. Hak milik atas satuan rumah susun. e. Hak tanggungan.

f. Tanah Negara

2). Dalam hal tanah Negara, sebagai objek pendaftaran adalah tanah sebagaimana dimaskud pada Pasal 9 ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara melakukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.10

Semua hak-hak atas tanah yang tercantum pada ayat (1) tersebut diatas, dengan membuktikan tanah tersebut di Kantor Pertanahan, akan diterbitkan sertipikat hak atas tanahnya yang merupakan salinan dari buku tanah. Sedangkan tanah Negara tidak diterbitkan sertipikat. Sertipikat yang diterbitkan tersebut diserahkan kepada yang berhak sebagai alat bukti haknya.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, kepada para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu dinyatakan selama belum dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar.11

Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanh. Hal ini lebih

10Chadidjah Dalimunthe,Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,USU

Medan, 2005, hal. 173


(31)

diperkuat lagi dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 1997. Ketentuan Pasal 32 tersebut adalah dalam rangka memberikam jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.

Sesuai dengan sistem negatif yang telah dianut dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia, maka berarti sertipikat tanah yang diterbitkan bukanlah merupakan alat bukti yang tidak bisa diganggu gugat, justru berarti bahwa sertipikat itu bisa dicabut dan dibatalkan. Oleh karena itu tidak benar bila ada anggapan bahwa dengan memegang sertipikat tanah berarti pemegang sertipikat tersebut adalah mutlak pemilik tanah dan ia pasti akan menang suatu perkara karena sertipikat tanah adalah alat bukti satu-satunya yang tidak tergoyahkan.

Menurut Penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA.12 Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaiknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan


(32)

gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain suatu badan hukum yang mendapatkan persetujuannya.

Dalam realitas kehidupan ditengah-tengah masyarakat terdapat fakta bahwa masih bayak persoalan/ sengketa tanah yang berawal dari belum terciptanya kepastian hukum bidang tanah seperti masih adanya sengketa/perkara dibidang pertanahan sebagai akibat baik karena belum terdaftarnya hak atas tanah maupun setelah terdaftarnya hak atas tanah, dalam arti setelah tanah itu bersertpikat.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan?

2. Bagaimana fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah?

3. Bagaimana pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat jika kemudian bermasalah di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitiaan

1. Untuk mengetahui eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.


(33)

2. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat jika kemudian bermasalah di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum agraria, dalam hal pendaftaran tanah khususnya mengenai kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan penulis mengenai perkembangan terbaru hukum pertanahan nasional terutama mengenai kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia, Badan Pertanahan Nasional dan lebih khusus lagi bagi pemerintah Kota Medan, Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan pendaftaran tanah untuk menghasilkan sertipikat hak atas tanah. c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat pemegang sertipikat

hak atas tanah sebagai tanda bukti yang kuat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.


(34)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari perpustakaan pada saat dilaksanakan penelitian, ternyata belum ada dilakukan penelitian tentang PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH ATAS SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH (STUDI KASUS DI KOTA MEDAN), kalaupun ada lokasinya berbeda maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Penelitian tentang pendaftaran tanah ini pernah juga dilakukan oleh beberapa peneliti, tetapi disamping lokasi, objek dan cakupan penelitiannya berbeda:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Anggasan Siboro, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara, dengan judul Kebijakan Pemberian Hak Pengelolaan Atas Tanah Dalam Perspektif Otonomi Daerah (Studi Pemko Medan), penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai bagaimana pemberian Hak Pengelolaan atas tanah di lingkungan Pemko Medan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Efrina Nofiyanti Kadayu, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah yang Berasal dari Tanah Negara di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, Penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari tanah Negara di Kecamatan Labuhan Kabupaten Deli Serdang.


(35)

3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Santi Octavia, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Dikaitkan dengan Penggunaan Blanko Akta Pertanahan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai Blanko akta pertanahan yang digunakan oleh PPAT memenuhi syarat otensitas dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksud adalah suatu proses tata usaha dan tata cara untuk mencapai kepastian hukum yang sah tentang hak atas tanah16 yang

13J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Jilid I, FE

UI, Jakarta, 1996, hal. 203

14Ibid,

hal. 6

15M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 16A. P. Parlindungan,Op. Cit.,hal. 115


(36)

merupakan kegiatan tata usaha Negara di bidang pertanahan sebagai bagian dari tertib administrasi tata usaha Negara. Pendaftaran tanah untuk saat ini dipusatkan pada bagian Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan Bagian Pengukuran, serta Bagian Pemberian Hak yang dikelola oleh instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN)17

Pasal 19 ayat (1) UUPA di atas dapat dikategorikan sebagai payung hukum dari kegiatan Pendaftaran Tanah.18 Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu merupakan norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan peraturan yang lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit dari pada ketentuan yang lebih tinggi yaitu UUPA itu sendiri.19 Peraturan tersebut antara lain PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kenyataannya beberapa yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah tersebut yang terhimpun dalam suatu sistem hukum pertanahan banyak terjadi ketumpang tindihan antara peraturan tersebut satu sama lain baik sinkronisasinya secara vertikal maupun horinzontal sehingga menimbulkan keragu-raguan akan kepastian hukum tersebut, padahal dalam suatu undang-undang ataupun peraturan, kepastian hukum meliputi dual hal yakni pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar Undang-undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan

17Pasal 14 Perpres RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, disebut

sebagai Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.

18

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi,Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 12.


(37)

prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodrgel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.20

Menurut Muhammad Yamin “memperbaiki kepastian hukum, memang bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak terjadi sengketa”21artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolak ukurnya, dengan demikian perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan yang dapat memberikan suatu kepastian hukum.

Pada sistem hukum di Indonesia berlaku sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kolompok, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, misalnya Keputusan Menteri Agraria bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yakni Keputusan Presiden bidang pertanahan yang mengacu kepada norma yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kemudian norma yang lebih tinggi berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, demikian seterusnya sampai pada suatu norma

20

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal. 118

21Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa


(38)

yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (groundnorm) di Indonesia adalah Pancasila.22

Menurut Boedi Harsono mendefinisikan Pendaftaran Tanah yakni suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan ketarangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.23

Pendaftaran tanah bukan sekedar administrasi tanah, tetapi pendaftaran adalah memberikan hak atas tanah, artinya dengan terdaftarnya tanah seseorang, jika sekalipun Negara membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, Negara tidak dapat lagi dengan serta merta mencabut hak atas tanah seseorang.24 Jadi pendaftaran tanah mempunyai arti yang penting berkenaan dengan hak keperdataan seseorang, bukan hanya sekedar suatu perbuatan administrasi belaka.25

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah melalui penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah serta menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap dengan memperhatikan kepentingan rakyat, bangsa dan Negara.

22Lihat Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen dalam buku Maria Farida Indrati Soeprapto,

Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya,Cet. 11, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 25

23

Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia (Hukum Tanah Nasional), Jilid I Djambatan, Revisi 2003, hal. 72

24M. Yamin Lubis,Op. Cit.,hal. 5 25Abdurrahman,Op.Cit,hal. 90


(39)

2. Konsepsi

Dalam kerangka Konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.26 Guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini, yang dimaksud dengan : 1. Kepastian hukum adalah kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang

tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut dan kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang terebut.

2. Hak Atas Tanah yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya.

3. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengolahan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

4. Sertipikat Hak Atas Tanah adalah sebagai alat pembuktian yang kuat sepanjang data fisik dan data yuridis di dalamnya sesuai data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah.

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.7


(40)

5. Pendaftaran Tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 ayat (1) adalah : “ Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” 6. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan.

7. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. 8. Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintahan non departeman yang

menangani urusan pertanahan di Indonesia.

9. Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan adanya bangunan atau bagian diatasnya.


(41)

10. Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

11. Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya.

12. Adjudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

13. Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian yang mutlak dan mengikat, apa yang disebut dalam akta tersebut merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya dapat dibuktikan.

14. Sengketa Atas Tanah merupakan selisih atau pertengkaran yang disebabkan oleh perebutan atas kepemilikan sebidang tanah,27 yang memerlukan tindakan untuk perdamaian terhadap perselisihan tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norma atau Das Sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti


(42)

fakta atau Das Sein. 28 Penelitian ini bersifat Diskritif Analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepastian hukum sertipikat hak atas tanah kaitannya dengan ketentuan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode “yuridis normatif”. Metode yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan.29 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan.30 Metode pendekatan yuridis normatif yang digunakan adalah metodein concretoyaitu apakah hukumnya sesuai untuk diterapkanin concretoguna menyelesaikan suatu perkara tertentu.31 Metode pendekatan di atas digunakan dalam mengadakan penelahaan berbagai hal yang berhubungan dengan penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dikaji dan diteliti berdasarkan peraturan-peraturan, literatur kepustakaan, teori-teori hukum, putusan-putusan Pengadilan.

28Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Ed. 2 Cet 2, Yogjakarta,

Liberty, 2001, hal. 29

29 Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1988), hal 11

30Ibid. 31Ibid.


(43)

2. Sumber Data

Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan bahan hukum dari zaman penjajahan hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah, dan hasil penelitian di bidang hukum.32

Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa : 1. UUD 1945

2. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti KUH Perdata.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Penjelasannya.

5. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.

6. Putusan-putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan.

32


(44)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain : Tulisan atau pendapat para pakar hukum terutama di bidang hukum pertanahan.

c. Bahan hukum tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain :

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia 2. Ensiklopedia Indonesia

3. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah pertanahan 4. Kamus hukum

5. Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

3. Analisa Data

Untuk mengelola data yang diperoleh dari studi dan wawancara, maka dalam hasil penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika hukum dengan cara deduktif. Dari data yang dianalisis tadi diharapkan dapat memperoleh permasalahan yang ditetapkan.


(45)

BAB II

EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TERHADAP PEMILIK SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DI

KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

A. Eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada ketentuan menimbang pada poin b dibunyikan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaranya oleh UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan, pelaksanaan pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah, meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan pendaftaran tanah.

Meski terdapat beberapa peraturan yang berlaku dengan Hak atas Tanah. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Hak atas Tanah :

a. UU Nomor 3/Prp/1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB);

b. UU Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya;

c. PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan HPL atas tanah;

d. PP Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya;


(46)

e. Peraturan PMA/KaBPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres Nomor 55 Tahun 1993;

f. Peraturan PMA/KaBPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara;

g. Peraturan PMA/KaBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara pemberian dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak pengelolaan.

Di Indonesia baru pertama kali mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dalam sejarahnya, seiring dengan diberlakukannya PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Dengan berlakunya peraturan tersebut, telah berlangsung Era Baru dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah di Indonesia, atas hal ini diperkuat dengan diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1986, dimana didalam Pasal 2 ketentuan tersebut menegaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : 1. merumuskan kebijakan dan perencanaan penguasaan dan penggunaan tanah; 2. merumuskan kebijakan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan

prinsip-prinsip dalam UUPA;

3. melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan;

4. melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib administrasi di bidang pertanahan;


(47)

5. melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan;

6. lain-lainnya yang ditetapkan oleh Presiden.

Berdasarkan pada angka 3 (tiga) tersebut di atas, jelas bahwa Badan Pertanahan juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan. Dengan demikian berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniformuntuk seluruh Indonesia, untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada UUPA ataupun sesuatu yang diatur oleh suatu ketentuan undang-undang yang berada di luar UUPA.

Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut, bertujuan untuk kepastian hak seseorang, pengelakan suatu sengketa perbatasan (karena ada surat ukurnya teliti dan cermat) dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. Namun dalam konteks yang lebih luas lagi pendaftaran tanah itu selain memberikan informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan tanah/bangunannya.

Kalau dilihat dari Pasal 19 UUPA, memberikan arahan tujuan dari Pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :


(48)

(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pedaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(2). Pendaftaran tanah tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut; c) pemberian surat tanda bukti-bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.

(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria;

(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembiayaan-pembiayaan tersebut.

Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, Pendaftaran Tanah di Indonesia berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c tersebut di atas, jelas bahwa surat tanda bukti hak atas tanah adalah sebagai tanda bukti yang kuat. Dengan demikian pendaftaran tanah di Indonesia mempergunakan Sistem Torrens, hanya saja tidak jelas dari negara mana ditiru. Kalau Sistem Torrens Positif yang berlaku di Australia sertipikat itu tidak dapat dibatalkan dan sah keberadaannya dan apa yang tertuang dalam sertipikat itu adalah yang benar serta kalau ada orang yang membuktikan maka dia tidak dapat membatalkan sertipikat itu, namun nantinya akan mendapat ganti


(49)

kerugian dari Pemerintah bagi pihak yang mengklaim tersebut. Sedangkan Indonesia menganut Sistem Torrens Negatif, sertipikat dianggap sebagai alat bukti yang kuat kecuali seseorang dapat membuktikan kebenarannya maka sertipikat tersebut dapat dibatalkan.

Hal seperti ini sering kali terjadi, sengketa tanah diajukan bahkan tidak jarang membatalkan suatu sertipikat yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah dan bahkan juga sering kali merugikan pihak pemilik sertipikat yang dibatalkan tersebut pada hal tidak jarang mereka adalah pemilik yang beritikad baik.

Setelah berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menggantikan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada prinsipnya pendaftaran tanah fungsinya sama sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, namun ada sedikit perbedaan pengaturan yaitu pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada pokoknya dinyatakan dengan tegas “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.33

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, atas gugatan yang diajukan terhadap sertipikat tanah setelah lewat 5 (lima) tahun apabila diajukan lewat waktu/daluwarsa. PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jelas terhadap proses penerbitan suatu sertipikat hak atas tanah pasti diumumkan ke khalayak ramai, dimana salah satu tujuan dari pengumuman tersebut adalah untuk pihak-pihak yang merasa haknya dirugikan untuk mengajukan keberatan, namun terhadap hak-hak


(50)

tersebut tidak pernah digunakan oleh Penggugat, maka berdasarkan pada Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seseorang yang menggugat keabsahan suatu sertipikat hak atas tanah diberikan kesempatan selama 5 (lima) tahun untuk menegakkan haknya apabila merasa dirugikan untuk keberatan atau membatalkan sertipikat dimaksud.

Dengan adanya penegasan dalam pasal 36 tersebut, maka sebenarnya dalam Pendaftaran Tanah kita sertipikat sebagai suatu alat bukti yang kuat dan terhadap sistem yang dianut menjadi 2 (dua) sistem karena didalam Pasal 32 memberikan pembatasan untuk dapat digugatnya suatu sertipikat yaitu setelah berlakunya sertipikat selama 5 (lima) tahun maka sertipikat itu tidak dapat digugat. Sistem Tersebut adalah:34

1. Torrens Negatif

Sebelum masa 5 (lima) tahun, sertipikat itu dapat dibatalkan selama bisa dibuktikan kepemilikan.

2. Torens Positif.

Setelah berlaku 5 (lima) tahun sertipikat tersebut tidak dapat dibatalkan.

Dua sistem tersebut yang diamanatkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, yang tujuannya tidak lain diberikan untuk menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961 guna lebih memberi kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah, namun sampai saat ini keberadaan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak pernah


(51)

dilaksanakan mengingat kondisi pendaftaran tanah dan keadaan di Indonesia, masih menganut seperti yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun 1961.

Harusnya dengan diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun 1997 selama 15 Tahun sudah sepatutnya diberlakukan secara mutlak artinya, sertipikat tanah yang sudah berlaku lebih dari 5 (lima) tahun tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian sudah tidak dapat di ganggu gugat karena telah diberikan waktu yang cukup lama. Dan kalau sudah lebih dari 5 (lima) tahun sertipikat diterbitkan, sedangkan yang menggugat mempunyai bukti-bukti yang kuat tentang kepemilikinnya.

Terhadap gugatan itu tidak membatalkan sertipikat, namun sertipikat itu tetap berlaku dan terhadap yang menggugat diberikan ganti kerugian oleh Pemerintah karena mempunyai alas hak yang kuat karena dapat dibuktikan keabsahan dari penguasaan hak atas tanahnya.35

Dalam hal ganti rugi tersebut tentunya, sebagai yang melakukan pembayaran ganti rugi adalah Badan Pertanahan Nasional dengan menggunakan sistem penganggaran yang ada di dalam negara, dan didalam pelaksanaaannya tentu perlu dengan pengawasan yang melekat. Dan apabila didalam penerbitan sertipikat sebelumnnya bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya atau memanfaatkan keadaan tertentu untuk keuntungan pribadi atau orang lain atau badan usaha lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(52)

Boedi Harsono Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif tetapi dilain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai alat buktinya yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.36

Menurut Abdul Rahim mengatakan setuju adanya penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 dan beliau juga berpendapat bahwa hakim tidak menerapkan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 disebabkan karena :37

a. Secara materi diatur secara undang-undang pada hal kalau dilihat dalam PP hakim tidak terikat;

b. Oleh karena PP hakim tidak tahu tentang masalah itu;

c. Karena tidak mau sama sekali menerapkan dengan prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak perkara putusan dengan keyakinan hakim.

Menurut Maria S. W. Sumardjono, tujuan dari penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari Konsep “rechtsverwerking” ini dalam pendaftaran tanah adalah untuk memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni.38

1) Bagi pemegang sertipikat, jika telah lewat waktu lima tahun tidak ada gugatan/keberatan, maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa sebagai pemegang hak atas tanah tersebut;

36Boedi Harsono,Op.Cit,hal 480

37Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis,Kepala Seksi Penetapan Hak Atas Tanah

Perorangan Pada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara,Tanggal 23 Maret 2010

38

Maria SW Sumarjono, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Tanah, makalah,(Yogyakarta: dalam Seminar Kebijaksanaan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-Pajak Terkait, 1997 ) hal.1


(53)

2) Pemegang hak atas tanah, ia wajib menguasai secara fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya disertipikatkan atas nama orang lain.

Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat. Inilah yang disebutrechtsverwerking.39

Dengan berbagai alasan, ada saja orang-orang tertentu yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan dan kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hak seseorang tersebut untuk menuntut kembali tanahnya menjadi hilang.40 Dengan kata lain, orang tersebut telah menelantarkan tanahnya dan pencatatan nama orang lain dalam sertipikat dipandang definitip setelah jangka waktu 5 (lima) tahun.

Herman Soesangobeng berpendapat bahwa rechtsverwerking bukan merupakan suatu lembaga adat sehingga tidak dapat digunakan sebagai upaya mengatasi kelemahan sistem negatif.Rechtsverwerkingjuga bukan merupakan suatu

39 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Medan,

Mandar Maju, 2010, hal. 147


(54)

lembaga hukum untuk memperoleh hak terlebih lagi menyatakan orang kehilangan hak atas tanahnya, guna menuntut kembali haknya atas tanah yang sudah didaftar atas nama orang lain. Penerapan dari konseprechtsverwerkingmengandung resiko bahaya ancaman sengketa tanah karena rasa keadilan masyarakat yang terluka. Ancaman ini memang belum tampak tetapi akan meledak setelah berlangsung beberapa lama dilaksanakannya konsep rechtsverwerking dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia.41 Hal ini berkaitan jika ditemukan suatu bukti baru (novum) mengenai data fisik dan data yuridis dalam proses pembuatan sertipikat, yang terkait juga dengan kualitas sumber daya manusia dari aparat terkait. Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 hanya untuk mencegah upaya orang yang hanya sekedar ingin mengganggu ketenangan pemilik tanah terdaftar dalam menguasai tanahnya.

Penerapanrechtsverwerkingyang merupakan konsep dari Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah tidak tepat dan ada segi-segi negatifnya, yaitu akan banyaknya hak-hak orang yang diambil orang lain tanpa ada kuasa yang punya untuk menuntut kembali haknya itu.42 Hal ini banyak terjadi di daerah lain. Berkaitan dengan tanah terlantar yaitu tanah yang sudah dikuasai dan dikerjakan kemudian tidak diusahakan lagi untuk jangka waktu tertentu, seperti sawah lima tahun, tanah tegalan untuk tiga tahun dan kemudian tanah itu kembali kepada hak ulayat dan penguasa hak ulayatlah yang memperuntukkan hak itu kembali kepada orang lain,

41Herman Soesangobeng,Komentar dan Kritik atas Pelaksanaan Lembaga Rechtsverwerking

Dalam Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, Makalah, (Jakarta, 2002), hal.5.

42AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal


(55)

tidak dapat begitu saja seseorang menduduki tanah orang lain, sedangkan pemiliknya terpaksa mengungsi karena suatu sebab. AP. Parlindungan berpendapat bahwa penerapan Pasal 32 ayat (2) dapat merugikan para pemilik tanah yang sebenarnya kerena mereka tidak berhak menuntut kembali haknya. Istilah rechtsverwerking masih belum terdapat persamaan persepsi.43

Boedi Harsono mengartikan rechtsverwerking sebagai kehilangan hak.44 Menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia yang digunakan dalam konteks Bahasa Indonesia saat ini rechtsverwerking adalah pelepasan hak.45 Rechtsverwerking sebagai lepasnya hak yang sudah dipunyainya.46Para hakim dalam putusan mengenai rechtsverwerking seperti telah ditulis pada bab sebelumnya pada umumnya mengartikan sebagai pelepasan hak. Pelepasan hak mengandung makna bahwa subjek pemegang hak sendirilah yang melepaskan haknya karena ia mempunyai suatu hak tetapi ia tidak mempergunakan haknya. Sedangkan kehilangan hak bermakna hak hilang karena pengaruh waktu, pemilik hak tidak melepaskan hak dengan sendirinya (ia masih mempermasalahkan haknya).Rechtsverwerkingmerupakan suatu pelepasan hak, baik pelepasan hak yang sebenarnya maupun pelepasan hak secara “diam-diam” karena pemilik semula meninggalkan dan tidak menguasai tanahnya dalam jangka waktu tertentu atau pemilik tidak mempergunakan hak yang sebenarnya ia miliki.

43Ibid 44

Boedi Harsono,Op.Cit.,hal 67

45

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal 343


(56)

Dengan menelusuri beberapa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tentang kasus yang timbul berkaitan dengan tanah di Indonesia, ternyata sistem pendaftaran tanah di Indonesia mengarah pada pengakuan sistem stelsel/sistem negatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa putusan pengadilan sebagai berikut:

1. Putusan PTUN MEDAN Nomor 64/G/2011/PTUN-MDN Tahun 2011 2. Putusan PTUN MEDAN Nomor 41/G/2011/PTUN-MDN Tahun 2011 3. Putusan PTUN MEDAN Nomor 94/G/2011/PTUN-MDN Tahun 2012

Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 rechtsverwerking adalah lembaga hukum adat yang digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah.

Sebagai ketentuan yang berasal dari hukum adat, tentunya ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud kelihatannya telah diadopsi oleh UUPA (Pasal 27, 34, dan 40) dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena diterlantarkan. Ketentuan ini tentunya merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat (bukan menciptakan hukum baru), yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA terutama mengenai penelantaran tanah.

Konseprechtsverwerkingdalam hukum adat bukan merupakan suatu lembaga hukum sebagaimana dalam hukum Belanda (BW) juga tidak sama dengan konsep verjaring pada hukum Belanda (BW). Lembaga hukum pada BW adalah tentang


(57)

‘memperoleh hak kepemilikan atas tanah’.47 Cara ini diatur dalam Pasal 584 BW. Pasal 584 BW merupakan salah satu cara dalam memperoleh hak milik karena daluwarsa (verjaring), sehingga cara ini dapat dikategorikan sebagai ‘lembaga hukum’ dan merupakan ‘alasan hukum’ bagi perolehan hak atas tanah. Sedangkan rechtsverwerking hanya merupakan konsep yang dibahas dalam pandangannya denganverjaring, namun ia bukan merupakan suatu lembaga hukum.

Pada negara-negara yang menggunakan sistem publikasi negatif umumnya dikenal lembaga acquisitieve verjaring (memperoleh hak milik dengan lampaunya waktu) yaitu apabila penerima hak yang beritikad baik bertindak tegas selaku pemilik dan yang bersangkutan menguasai tanah secara nyata dan terbuka selama sekian tahun, tanpa ada pihak lain yang menggugat, maka oleh hukum ia ditetapkan sebagai pemiliknya, yang hak kepemilikannya sudah tidak dapat diganggu gugat lagi, dan juga tidak oleh pihak yang membuktikan sebagai pemilik hak yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa: “untuk memperoleh hak milik atas sesuatu diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, di muka umum dan secara tegas sebagai pemilik”.

Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa:

“ siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun.


(1)

tanahnya sehingga mereka memiliki sertipikat terhadap hak atas tanahnya sekaligus menimbulkan kesadaran masyarakat akan pentingya mendaftarkan tanah yang dimilikinya.

2. Hendaknya Badan Pertanahan Nasional (BPN)/ Kantor Pertanahan harus lebih berperan aktif dalam menyelesaikan sengketa tanah yang telah bersertipikat dengan pro aktif mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dengan lebih kepada mencari solusi untuk menekan pengaruh faktor yang menjadi pemicu dan kendala hukum pertanahan agar dapat terkurangi. Dan hendaknya lebih cermat dan teliti dalam penerbitan sertipikat.

3. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab dalam mengelola pertanahan salah satun ya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah yang benar-benar menyelenggarakan dan mempertanggungjawabkan dalam pencabutan atau membatalkan sertipikat yang bermasalah, dan juga bertanggung jawab dalam pelayanan publik, pidana, perdata maupun pelayanan administratif sehingga hasilnya dapat memberikan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Bagi para pihak yang menerbitkan sertipikat yang bermasalah dapat diberikan sanksi pidana, perdata maupun sanksi administratif. Dilihat dari hukum pidananya dapat diberi hukuman kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah (Rp 10.000,00).


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abdurrahman, 1984, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-Undangan Agraria Indonesia,Cetakan I, Jakarta, Akademika Pressindo

Afandi, Ali, 1997, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta : Rineka Cipta

Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran tanah,Tanpa tahun Chandra. S, 2005, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Penerbit Grasindo,

Jakarta

Chomzah, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher

Dalimunthe, Chadidjah, 2005, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,USU Medan

Effendi, Bachtiar, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,Cetakan I, Bandung, Alumni

Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,Cetakan Pertama, Surabaya, Arkola

Gautama, Sudargo, 1990, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni

Hari Sasangka dan Lily Rosita, 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Surabaya : Sinar Wijaya)

Hanityo Soemitro, Ronny, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia

Haar, Ter diterjemahkan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto,1994, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,Jakarta: PT.Pradnya Paramita

Hermit, Herman, 2004,Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda,Bandung: Mandar Maju


(3)

Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta

Hutagalung, Arie S, 2005, “Perlindungan Pemilikan Tanah Dari Sengketa Menurut Hukum Tanah Nasional” dalam Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia

Irawan Soerodjo, 2003Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah,(Yogyakarta : Arloka) Kamelo, Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan,

Bandung, Alumni

Kalo, Syafruddin, 2 September 2006, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pandaftaran Hak-Hak Atas Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum Diucapkan Dihadapan RApat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU

Lubis, Solly M, 1994,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung

Lubis,Yamin. M, 2006, Problematika Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan

Martiman Prodjohamidjojo, 1997, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara,(Jakarta : Pradnya Paramita)

Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta

_____________________, 2001,Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Ed. 2 Cet 2, Yogjakarta, Liberty

Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty

Noor, Aslan, 2006, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Bandung:Mandar Maju

Parlindungan, A.P., 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Mandar maju


(4)

____________, 1990, Landreform di Indonesia : Suatu Perbandingan, Bandung: Mandar Maju

____________, 1994,Konversi Hak – Hak Atas Tanah,Bandung: Mandar Maju ____________, 1994,Pendaftaran Tanah Di Indonesia,Bandung: Mandar Maju ____________, 1998,Komentar Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, Bandung : CV. Mandar Maju, 1998

Pitlo, (Het System Van Het Nederlands Privaatrecht, 1968, ) dalam Abdurrahman , 1980, Beberapa Aspek Hukum Agraria Seri Hukum Agraria V, Bandung, Alumni

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, (Jakarta : Pradnya Paramita, Lihat juga A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,(Jakarta : Intermasa, 1978)

Rajagukguk, Erman, 1995,Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup,Cet. 1, Jakarta, Chandra Pratama

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, 2001,Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti

Ruchiyat, Eddy, 1989,Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA,Cetakan II, Bandung, Armiko

Sasangka, Hari, dan Lily Rosita, 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Surabaya : Sinar Wijaya

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta

_______________________________, 1986,Pengantar Penelitian Hukum,Cet.3. UI Press, Jakarta

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2003,Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya,Cet. 11, Kanisius, Yogyakarta

Simarmata, Djamester A,1997, Hukum Pertanahan dan Prinsip Ekonomi, Jurnal Hukum Bisnis,Volume 1


(5)

Soeprapto, R, 1986,UUPA Dalam Praktek, Jakarta, Mitra Sari

Soerodjo, Irawan, 2003,Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah,Yogyakarta, Arloka, ______________, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola,

Surabaya

Soesangobeng, Herman, 2002, Komentar dan Kritik atas Pelaksanaan Lembaga Rechtsverwerking Dalam Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, Makalah, Jakarta

Sudarsono, 1995,Pengantar Ilmu Hukum,Rineka Cipta, Jakarta Sudiyat, Iman, 1982,Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty

Suhadi dan Rofi Wahanisa, 2008, Buku Ajar Pendaftaran Tanah, Semarang : Universitas Negeri Semarang

Sumardjono, Maria S.W, 2001,Kebijakan Tanah: Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan 1, Jakarta Kompas

Sunggono, Bambang, 1991, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Sunindhia dan Widiyanti, 1988, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran),Jakarta : Bina Aksara

Supriadi, 2007, Hukum Agraria,Jakarta : Sinar Grafika

Sutedi, Adrian, 2011,Sertifikat Hak Atas Tanah,Cetakan I, Jakarta, Sinar Grafika SW Sumarjono, Maria, 1997, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam

Pendaftaran Tanah, makalah,(Yogyakarta: dalam Seminar Kebijaksanaan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-Pajak Terkait)

Termorshuizen, Marjanne, 2002, KamusHukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan

Wahid, Muchtar, 2008,Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah,Repulika Penerbit, Jakarta

Waluyo, Bambang, 1996, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika


(6)

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, Cetakan Pertama Jakarta : Pradnya Paramita

Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Jilid I, FE UI, Jakarta

Yamin, Muhammad, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press

Internet :

- http://zakaaditya.blogspot.com/2011/11/revitalisasi-fungsi-sertifikat-hak.html

- http://www.scribd.com/doc/51632324/sertifikat-hak-atas-tanah- sebagai-tanda-bukti-kepemilikan-tanah

Undang- Undang dan Peraturan – peraturan : - Undang- undang Dasar 1945

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

- Undang- undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah - Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung; - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum;

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juncto Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.


Dokumen yang terkait

Kendala Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pertama Kali (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Medan)

6 92 132

Perlindungan Hukum Yang Diberikan Oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Kepada Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Medan)

0 42 159

KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HU

0 5 15

PENDAHULUAN KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN.

0 8 20

TINJAUAN PUSTAKA KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN.

1 5 42

PENUTUP KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN.

0 6 25

Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

0 0 15

peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 ttg pendaftaran tanah

0 0 41

SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI SEMPURNA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

0 1 12

ANALISIS HUKUM TERHADAP SURAT KETERANGAN HAK ATAS TANAH YANG DIKELUARKAN KECAMATAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

0 2 14