Relationship between the development of ectomycorrhizae and the population of microorganisms in the rhizosphere and the effect on the growth of Eucalyptus pellita and E. urophylla

I. PENDAI-IULUAN

Pembangunan kehutanan adalah suatu keharusan bagi bangsa Indonesia, karena hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang diketahui
dapat memberikan dana yang besar bagi pembangunan nasional.
Sesuai dengan perkembangan dan penyediaan bahan baku maka
usaha penanaman jenis pohon khususnya untuk Hutan Tanaman Industri

(HTI) merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi bahan baku
industri dan sekaligus memanfaatkan lahan kosong yang tidak produktif.
Dengan demikian maka tekanan terhadap hutan alam diharapkan akan
dapat berkurang, karena bahan baku untuk industri perkayuan sebagian
b e a r dapat dipasok oleh produksi HTI.
Karena kecepatan pertum buhannya, banyak jenis Eucalyptus mem berikan hasil yang menguntungkan, dan rotasi penebangannya pendek Di
samping itu jenis Eucalyptus dapat tumbuh pada tanah kritis, baik di daerah yang beriklim kering maupun basah.
Jenis Eucalyptus dapat ditanam rapat, dengan riap tiap pohon yang
cukup besar sehingga riap tiap hektar juga lebih besar dibandingkan dengan riap per hektar jenis pohon lainnya. Kayunya tergolong kuat dan
awet dengan memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk berbagai keperluan. Di
Australia kayu Eucalyptus banyak digunakan untuk bantalan re1 kereta api,
bahan bangunan kapal, kayu papan dan pulp.

Hasil-hasil lainnya bergantung pada masing-masing jenis Eucalyptus

antara lain minyak dan tanin. Kedua bahan ini penting untuk keperluan
industri.
Di antara berbagai jenis Eucalyptus, E. pellita dan E. uraphylla mulai
banyak digunakan dalam pembangunan HTI. Kedua jenis tersebut menunjukkan perbedaan dalam ketahanan terhadap hama dan penyakit sebagai
beriku t :

1. E. pellita yang berasal dari Australia ini, pertumbuhannya cepat dan
umumnya pertumbuhannya tidak menunjukkan gejala sakit.

2. E. uraphylla adalah jenis yang didatangkan dari daerah Nusa Tenggara
Timur. Jenis ini pertumbuhannya cepat, tetapi pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa jenis tanaman ini rentan terhadap hama dan penyakit, khususnya penyakit busuk akar dan bercak daun. Sebagai contoh, di areal

PT

Inti Indorayon Sumatera Utara, dan di areal PT

Sumalindo Kalimantan Timur telah ditemukan cukup banyak pohon
jenis E. uraphylla ini yang terserang busuk akar, yang disebabkan oleh
fungi Phytopthora sp. Di antara hutan sekitar pohon yang sehat tersebut

terlihat berkembang tubuh buah Sclerodema columnare.

Diduga pada

pohon E. uraphylla yang sehat tersebut mungkin terjadi asosiasi antara

E. urophylla dan S. columnare.
Mikoriza adalah suatu struktur asosiasi antara fungi dan akar tanaman yang dalam ekosistem dapat membantu penyerapan unsur hara
dari dalam tanah.

Fungi ektomikoriza berguna bagi pertumbuhan tanaman, terutama
tanaman hutan yang berada pada lahan-lahan kritis. Menurut De La Cruz,
(1990) dan George dkk, (1991) mikoriza dapat menguntungkan bagi tanaman karena :

a. Membantu penyerapan unsur hara,
b. Meningkatkan ketahanan terhadap kondisi kering,
c. Menahan infeksi oleh patogen akar,
d. Menghasilkan zat tumbuh tanaman,
e. Merangsang aktivitas jasad renik tanah yang menguntungkan bagi


tanaman,
f. Memperbaiki struktur dan agregasi tanah, dan
g. Membantu siklus mineral.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit Dipterocarpaceae yang
diinokulasi dengan fungi mikoriza menyerap unsur hara lebih banyak
dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi (Santoso, 1988).

Akibat pe-

ningkatan laju penyerapan unsur hara, pertumbuhan bibit lebih cepat dari
pertumbuhan yang tidak diinokulasi.

Dengan demikian untuk meng-

ambil unsur hara secara efisien dan efektif diperlukan bantuan mikoriza.
Menurut Hadi dkk. (1976) suatu jenis fungi mikoriza dapat membentuk mikoriza pada berbagai jenis pohon, dan sebaliknya suatu jenis pohon

Fungi ektomikoriza berguna bagi pertumbuhan tanaman, terutama
tanaman hutan yang berada pada lahan-lahan kritis. Menurut De La Cruz,
(1990) dan George dkk, (1991) mikoriza dapat menguntungkan bagi tanaman karena :

a. Membantu penyerapan unsur hara,
b. Meningkatkan ketahanan terhadap kondisi kering,
c. Menahan infeksi oleh patogen akar,
d. Menghasilkan zat tumbuh tanaman,

e. Merangsang aktivitas jasad renik tanah yang menguntungkan bagi
tanaman,
f. Memperbaiki struktur dan agregasi tanah, dan

g. Membantu siklus mineral.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit Dipterocarpaceae yang
diinokulasi dengan fungi mikoriza menyerap unsur hara lebih banyak
dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi (Santoso, 1988).

Akibat pe-

ningkatan laju penyerapan unsur hara, pertumbuhan bibit lebih cepat dari
pertumbuhan yang tidak diinokulasi.

Dengan demikian untuk meng-


ambil unsur hara secara efisien dan efektif diperlukan bantuan mikoriza.
Menurut Hadi dkk. (1976) suatu jenis fungi mikoriza dapat membentuk mikoriza pada berbagai jenis pohon, dan sebaliknya suatu jenis pohon

Pada umumnya diketahui bahwa asosiasi yang paling menguntungkan bagi pertumbuhan bibit suatu jenis pohon dapat dicapai apabila
mikoriza terbentuk dengan menginokulasi secara sengaja jenis atau species
fungi mikoriza tertentu yang sesuai pada waktu tingkat semai. Akan tetapi
belum diketahui apakah asosiasi satu jenis pohon dan suatu jenis tertentu
fungi pada tingkat semai tersebut dapat terjaga sesudah bibit ditanam di
areal hutan selama beberapa tahun sampai masa tebang (Hadi & Nuhamara, 1994).
Pertanyaan tersebut timbul mengingat daya upaya manusia untuk
dapat menginokulasi bibit suatu jenis tanaman tertentu dengan jenis fungi
mikoriza tertentu yang dianggap paling sesuai. Di 'lain pihak diketahui
juga bahwa di lapangan cukup banyak jenis fungi yang dapat membentuk
mikoriza pada jenis tanaman tertentu, khususnya bila lahan yang ditanami
adalah bekas lahan hutan.
Inokulasi bibit jenis tanaman tertentu dengan jenis fungi mikoriza
yang dianggap paling sesuai tersebut adalah berdasarkan anggapan bahwa
pada bibit yang telah diinokulasi dengan jenis fungi mikoriza tertentu
tersebut tidak akan terbentuk lagi mikoriza oleh jenis fungi lain yang

terdapat dalam tanah hutan. Di lain pihak di lahan bekas hutan, atau dalam
hutan tempat bibit ditanam diketahui terdapat beberapa jenis fungi yang
dapat membentuk mikoriza secara suksesi, mungkin pada

bagian akar

yang sama atau pada bagian-bagian yang berbeda pada perakaran suatu
tanaman. Mungkin pula fungi mikoriza yang diinokulasikan mendominasi
perakaran dan menahan pembentukan mikoriza oleh jenis fungi lain yang

ada dalam tanah.

Di samping itu diduga pembentukan mikoriza di

perakaran dapat dipengaruhi oleh jasad renik yang ada dalam tanah, dan
sebaliknya perkembangan jasad renik yang ada dalam tanah dapat dipengaruhi oleh perkembangan mikoriza.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan ektomikoriza pada perakaran E. pellifa dan E. urophylla yang diinokulasi dengan S c l e r m a columnme, Lacmriu laccafaatau Russula cyanoxantha,
baik secara sendiri ataupun secara bersama, bila bibit ditanam pada tanah
hutan. Juga ingin diketahui bagaimana pengaruh mikoriza yang terbentuk terhadap perkembangan jasad renik dalam rizosfer yang berkaitan de-


ngan eksudat ektomikoriza yang dikeluarkan.
Hipotesis
Hipotesis yang mendasari penelitian ini adalah:
1. Jika bibit Eucalyptus diinokulasi dengan fungi mikoriza yang dianggap
unggul pada perakaran bibit Eucalyptus di persemaian,

selanjutnya

ditanam di lapangan akan terjadi suksesi fungi mikoriza pada perakarannya.
2.

Terdapat hubungan antara jenis fungi mikoriza yang diinokulasikan
pada perakaran bibit Eucnlyp)us dengan macam eksudat yang dikeluar-

kannya akan mempengaruhi perkembangan jasad renik yang ada di
rizosfer.

11. TINJAUAN PUSTAKA


Mikoriza adalah struktur yang terbentuk karena adanya asosiasi
antara fungi dengan akar tumbuhan

tingkat tinggi (Tjitrosomo, 1983).

Mikoriza berasal dari kata Yunani yang berarti fungi akar.

Kata ini per-

tamakali digunakan oleh A.B. Frank di tahun 1885 untuk menunjukkan
suatu susunan organ antara fungi dan akar pada Cupuliferae. Struktur yang
serupa juga dijumpai pada banyak Angiospermae dan Konifer (Harley,
1972, Richard, 1972).
Hawksworth dkk (1983) dan Wilcox (1983) membedakan mikoriza
menjadi : Ektomikoriza, Endomikoriza, Ektendomikoriza, Pseudomikoriza, dan mikoriza Vesikular Arbuskular.

Ektomikoriza mempunyai simbi-

on pada lapisan luar akar dan membentuk jala Hartig, dan secara umum
dijumpai pada pohon-pohon di hutan seperti Pinus sp., Qllercus sp. dan

lain-lain. Jenis simbion fungi termasuk antara lain Boktus sp., Cortinarius
sp., Russula sp. dan S c l e r h a sp.

Pada endomikoriza yang umumnya

dijumpai pada akar Orchidaceae dan Ericaceae, simbion fungi hidup secara
intraselular dan berkembang dalam sel-sel korteks akar inangnya. Pada
ektendomikoriza yang hampir menyerupai ektomikoriza dalam pembentukan jala Hartig dan selubung fungi, hifa fungi juga memasuki sel-sel
korteks secara intraselular seperti yang terjadi pada endomikoriza. Ektendomikoriza didapat pada Ericales dan sejumlah jenis tanaman pertanian, di
antaranya yang tergolong Graminae, Palmae, Leguminosae dan Compositae. Pada Pseudomikoriza atau mikoriza semu, simbion fungi bersifat

sebagai parasit apabila keadaan tanahnya buruk. Pada mikoriza Vesikular

Arbuskular hifa fungi masuk kedalam sel-sel korteks akar, membentuk
Vesikel dan mungkin melingkar atau bercabang-cabang halus.
Wilcox (1983) menyatakan bahwa sebagian besar suku pohon hutan
seperti Pinaceae, Betulaceae, Fagaceae, Dipterocarpaceae dan Myrtaceae
berasosiasi dengan fungi ektomikoriza.
Hifa fungi ektomikoriza berkembang di antara sel-sel akar membentuk sistem interseluler kompleks sehingga penampang melintang terlihat
seperti berbentuk jala yang disebut jala Hartig.


Penetrasi interseluler

hanya sedikit atau sama sekali tidak terjadi (Harley & Smith, 1983).
Selubung merupakan struktur terluar ektomikoriza yang terdiri atas
jalinan hifa yang menyelubungi permukaan akar sehingga kontak langsung akar tanaman dengan rizosfer akan terhindar. Selubung dapat terdiri
hanya atas selapis hifa atau dua lapisan jalinan hifa yang bersifat sebagai
pseudoparenkim.

Selubung lapisan luar biasanya lebih padat dan lebih

kompak daripada lapisan dalam (Harley & Smith, 1983).

Selubung ter-

bentuk oleh hifa, rizomorf, dan mungkin oleh struktur mirip sistidium.
Wama permukaan selubung dan struktur jala Hartig, serta ciriciri tersebut
biasa digunakan untuk klasifikasi ektomikoriza (Zak, 1973; Haug &
Oberwinkler, 1987).
Foster dan Marks (1967) memperlihatkan bahwa dinding sel hifa

selubung tertutup oleh lapisan amorf yang terbagi menjadi dua lapisan
yang tipis. Pada fungi mikoriza dari kelas Basidiomycetes hifa selubung
membentuk septa dolipore (Hawker, 1965).

Hifa pada lapisan selubung

fungi biasanya tidak mengandung sitoplasma dan kadang-kadang sebagian mengempes, sedang sel hifa pada lapisan selubung yang lebih dalam
lebih bundar dan lebih terisi sitoplasma.

Cadangan karbohidratnya ter-

utama dalam bentuk glikogen. Sel-sel selubung bagian luar tidak- berisi
butiran glikogen, sedang bagian yang lebih dalam berisi glikogen. Jalinan
hifa selubung bagian yang lebih dalam lebih padat dibanding dengan
jalinan hifa bagian yang lebih luar.
Menurut Clowes (1951) warna protoplasma lapisan selubung yang
lebih dalam terlihat lebih tajam, kurang bervakuola, memiliki organelorganel yang berkembang sempurna, dan berisi butiran-butiran glikogen
dan polifosfat. Pada bagian yang lebih luar, sel-selnya memiliki vakuola
berukuran besar dan sitoplasmanya terbatas pada bagian pinggiran sel.
Strullu (1974, diacu oleh Harley & Smith, 1983) mengemukakan bahwa
lapisan selubung terluar sering mengandung butiran-butiran tanah.
Berbagai jenis struktur hifa, baik yang berupa benang-benang kompleks
yang berbentuk hifa sederhana yang tumbuh ke dalam tanah, sistidia dan
hifa lainnya yang terdapat pada permukaan selubung, berperan penting
dalam absorpsi hara dan berguna untuk klasifikasi ektomikoriza.
Keberadaan jala Hartig yang berkembang sempurna merupakan sifat
pembeda bagi ektomikoriza.

Asosiasi pembentukan jala Hartig bersifat

simbiotik, karena daerah tersebut merupakan tempat terjadinya kontak
yang erat antara fungi mikoriza dan inangnya inangnya

serta tempat

terjadinya pertukaran nutrisi antara kedua simbion (Marks & Foster,
1973).

Struktur jala Hartig lazimnya dipelajari dalam bentuk irisan.

fungi biasanya tidak mengandung sitoplasma dan kadang-kadang sebagian mengempes, sedang sel hifa pada lapisan selubung yang lebih dalam
lebih bundar dan lebih terisi sitoplasma.

Cadangan karbohidratnya ter-

utama dalam bentuk glikogen. Sel-sel selubung bagian luar tidak- berisi
butiran glikogen, sedang bagian yang lebih dalam berisi glikogen. Jalinan
hifa selubung bagian yang lebih dalam lebih padat dibanding dengan
jalinan hifa bagian yang lebih luar.
Menurut Clowes (1951) warna protoplasma lapisan selubung yang
lebih dalam terlihat lebih tajam, kurang bervakuola, memiliki organelorganel yang berkembang sempuma, dan berisi butiran-butiran glikogen
dan polifosfat Pada bagian yang lebih luar, sel-selnya memiliki vakuola
berukuran besar dan sitoplasmanya terbatas pada bagian pinggiran sel.
Strullu (1974, diacu oleh Harley & Smith, 1983) mengemukakan bahwa
lapisan selubung terluar sering mengandung butiran-butiran tanah.
Berbagai jenis struktur hifa, baik yang berupa benang-benang kompleks
yang berbentuk hifa sederhana yang tumbuh ke dalam tanah, sistidia dan
hifa lainnya yang terdapat pada permukaan selubung, berperan penting
dalam absorpsi hara dan berguna untuk klasifikasi ektomikoriza.
Keberadaan jala Hartig yang berkembang sempurna merupakan sifat
pembeda bagi ektomikoriza.

Asosiasi pembentukan jala Hartig bersifat

simbiotik, karena daerah tersebut merupakan tempat terjadinya kontak
yang erat antara fungi mikoriza dan inangnya inangnya

serta tempat

terjadinya pertukaran nutrisi antara kedua simbion (Marks & Foster,
1973).

Struktur jala Hartig lazimnya dipelajari dalam bentuk irisan.

Karena ternyata sayatan yang dibuat pada bagian ektomikoriza yang
berbeda memberikan hasil penampang yang berbeda, maka data tentang
ciri-ciri sayatan ektomikoriza perlu dikemukakan dari bagian ektomikoriza yang mana sayatan jala Hartig diambil (Kottke & Oberwinkler, 1986).

Jala Hartig tersusun oleh hifa dalam suatu sistem percabangan
labirintik yang kompleks. Struktur tersebut tumbuh pada ruang antar sel
korteks ke arah pusat akar hingga sebatas endodermis atau jaringan lain di
dekat pusat akar yang sudah mengalami diferensiasi (Nylund & Unestam,
1982). Jala Hartig ke arah ujung akar, yang lazim berkembang hingga ke
meristem (Kottke & Oberwinkler, 1986).

Meskipun demikian telah

dilaporkan bahwa jala Hartig pada Larix decidun yang dibentuk oleh Suillus
gran'llei dapat berkembang sampai sangat dekat dengan meristem, bahkan
inisiasi dapat terjadi di antara sel-sel meristematik (Kottke & Oberwinkler,
1986).
Jala Hartig fungi secara spesifik membungkus semua sel-sel korteks
tanpa menutup plasmodesmata sehingga hubungan sederhana antar sel-sel
korteks tetap berlangsung (Nylund, 1980).

22 Sistem Perakaran Tanaman Dan Ektomikoriza
Perakaran pohon suku Pinaceae, Salicaceae, Myrtaceae dan Dipterocarpaceae secara umum terdiri atas akar panjang dan akar pendek ("short
root").

Akar panjang yang terdiri atas akar lateral, akar cabang dan ujung

akarnya yang berwarna putih mengalami perpanjangan secara cepat
sehingga

sistem

perakaran dapat berkembang berkembang di dalam

tanah.

Ujung akar panjang tertutup oleh tudung akar dan di belakang

tudung akar terdapat suatu meristem apikal. Bulu akar muncul dari sel-sel
epidermis, sedang akar pendek muncul dari pusat akar dengan jarak yang
-

bervariasi.

Akar panjang merupakan struktur permanen yang diameter-

nya bertambah oleh pertumbuhan sekunder.

Sebaliknya, akar pendek

tumbuh sangat lambat dan tidak mengalami pertumbuhan sekunder, dengan demikian umurnyapun menjadi pendek. Akar pendek memiliki meristem apikal tetapi tidak memiliki tudung akar yang sesungguhnya. Jika
kondisi lingkungan menguntungkan,

sebagian besar akar pendek akan

terinfeksi oleh fungi simbion dan berubah menjadi mikoriza segera sesudah akar pendek bersangkutan muncul. Ujung akar panjang jarang yang
bermikoriza, ha1 ini diduga karena pertumbuhan memanjangnya yang
berlangsung cepat (Zak, 1964). Ektomikoriza terbentuk hanya pada daerah
di antara ujung akar dan bagian akar yang korteksnya hampir mati dan
tidak terbentuk pada sel-sel yang hampir mati atau pada daerah akar yang
telah bergabus (Marks & Foster, 1973).

23. Stimdasi Pertumbuhan Fungi Ektomikoriza Oleh Akar
Perkembangan bungkus hifa pada permukaan akar merupakan tahap
esensial bagi pembentukan ektomikoriza.

Yang dimaksud dengan bung-

kus hifa dalam ha1 ini bukanlah selubung fungi, melainkan hifa dengan
percabangan jarang yang bebas dan tidak menempel erat pada permukaan
akar.

Nylund dan Unestam (1982) melalui penelitian yang dilakukan secara in vitro mengemukakan bahwa pertumbuhan fungi ektomikoriza Piluder-

ma croceum dirangsang oleh akar bibit Picea abies hingga pada jarak beberapa milimeter dari permukaan akar.

Bila fungi mencapai permukaan

akar, ia akan tumbuh cepat di sepanjang permukaan akar dan .akan segera
terbentuk pembungkus hifa yang berkembang menjadi lapisan lebih tebal.
Dikemukakan juga bahwa perangsangan tersebut bersifat selektif, karena
tidak terjadi terhadap beberapa parasit dan saprofit dalam tanah, yaitu

Heterobasidium annosum, Trichoderma uiride, Mycelium radicis,

Penicillium sp.

dan Mortierella sp.

2.4. Roses Infeksi Fungi Ektomikoriza

Awal tejadinya infeksi fungi mikoriza diduga karena adanya persentuhan antara akar bermikoriza dengan akar lain di dekatnya yang tidak
bermikoriza, atau karena bibit tumbuh pada tanah yang mengandung fungi
mikoriza. Infeksi primer terjadi pada bibit oleh hifa fungi di dalam tanah.
Pada saat daun pertama rnuncul, hifa berkembang pada akar, tetapi penetrasi interselular belum w a d i .

Hifa tumbuh makin meluas bersamaan

dengan perkembangan akar. Penetrasi interseluler terjadi yang kemudian
diikuti oleh pembentukan jala Harlig. Infeksi sekunder terjadi oleh hifa
fungi pada akar yang terinfeksi di dekat akar-akar lainnya yang belum bermikoriza.

Infeksi sekunder tersebut terus terjadi bersamaan dengan per-

tumbuhan pohon (Marks & Foster, 1973; Harley & Smith, 1983).

Inoku-

lum dapat berupa hifa atau spora fungi (Mam & Ross, 1970). Penetrasi

Pisolithus tinctorius ke dalam jaringan akar Pinus taeda diteliti secara in
vifro oleh Warrington, Black, dan Coons (1981).

Dalam penelitian ter-

sebut digunakan akar lateral yang telah mulai membentuk akar pendek
pada bibit Pinus sp.
Dalam penelitian tersebut potongan biakan P. tinctorius .pads media
Melin dan Nokrans yang dimodifikasi ditempatkan di dekat akar pendek
atau ujung akar lateral yang sedang tumbuh. Contoh mikoriza diambil
setelah terjadi kontak hifa dengan akar, yang lazimnya terjadi empat hari
setelah inokulasi. Empat hari setelah inokulasi P. tinctwius menginfeksi
akar Pinus taeda.
Nylund dan Unestam (1982) melalui percobaan secara in vifro melaporkan bahwa hifa tunggal yang muncul dari selubung fungi Pilodemra
croceurn masuk ke dalam akar bibit Picea abies melalui beberapa lubang

sekresi pada permukaan akar pendek, tetapi tidak melalui permukaan
meristem apikal dan zone diferensiasi.

Penetrasi terjadi hanya pada kor-

teks yang telah tua tanpa disertai pembentukan apresoria atau struktur lain
yang serupa. Selama proses infeksi tidak teramati adanya perubahan morfologi sel maupun jaringan akar inang dan sel-sel korteks inang tetap
hidup.

Sesudah penetrasi di antara sel-sel pada permukaan akar, hifa

berkembang masuk melalui lamela tengah sel-sel korteks.

Hifa yang me-

lakukan penetrasi ditemukan pada lamela tengah di antara dua sel yang
berhadapan maupun dalam ruang antarsel yang telah terisi zat pektik.
Proses yang terjadi seluruhnya bersifat enzimatik.

Setelah melakukan penetrasi hingga mencapai lapisan sel kedua atau
ketiga, hifa tunggal yang ada mengalami percabangan di dalam jaringan
tanpa disertai pembentukan septa reguler dan membentuk suatu jalinan
hifa berupa struktur labirintik yang tidak beraturan.

Dari struktur labi-

rintik tersebut jalinan hifa tumbuh ke arah dalam hingga batas sel-sel
endodermis atau sel-se1 lain di dekat pusat akar yang tidak terdiferensiasi
dan mengisi ruang antar sel-sel korkks membentuk jala Hartig. Ke arah
permukaan akar, pada awalnya hifa membentuk selapis dan akhirnya
beberapa lapis jalinan hifa yang menyelubungi akar hingga terbentuk
selubung fungi.

2.5. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Ektomikoriza

25.1. Tanah
Akar pohon, ektomikoriza, dan miselium fungi umumnya dijumpai
pada pada horizon paling atas khususnya pada lapisan humus. Secara
ringkas diketahui bahwa ektomikoriza hanya akan berkembang dengan
baik apabila, bahan organik yang dibutuhkan oleh fungi mikoriza tersedia
cukup di dalam tanah.

Oleh karena itu kebanyakan fungi mikoriza ber-

kembang dengan bebas di lapisan humus.

Aerasi yang baik di dalam ta-

nah dibutuhkan fungi mikoriza dan perkembangannya dihambat di dalam tanah yang tergenang air. Karena itu perkembangannya dalam tanah
yang berpasir lebih baik daripada dalam tanah liat atau tanah gambut
Fungi mikoriza dapat berkembang dengan baik pada tanah yang persediaan unsur haranya terbatas tetapi tidak terlalu ekstrim (Russell,1961).

Kebanyakan jasad renik perkembangamya terdapat di lapisan atas
pada hampir semua tipe tanah.

Hasil pemeriksaan menurut kedalaman

profil tanah menggambarkan distribusi jasad renik pada berbagai lapisan
tanah. Jelaslah bahwa dalam lapisan tanah yang makin dalam populasi
jasad renik makin berkurang.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa kedalaman tanah adalah suatu variabel
ekologi yang berpengaruh terhadap kehidupan jasad renik (Alexander,

1977).

Tabel 1. Distribusi populasi jasad renik pada berbagai kedalaman tanah
(Alexander, 1977)
Kedalaman
tanah (cm)

Jumlah jasad renik / g tanah x 10 3
Bakteri
aerobik

0-8

7800

Actino-

Fungi

'

Bakteri
anaerobik

mycetes

1950

2080

119

25

Ganggang

20 - 25

1800

379

245

50

5

35 -40

472

98

49

14

O,5

65 - 75

10

1

5

6

O,l

135 - 145

1

014

-

3

-

:

Makin dalam, tanah makin padat, dan akibatnya aerasi tanah makin
jelek. Pada umumnya akar-akar pendek dan akar-akar cabang berkembang
pada pada kedalaman tanah antara 10 - 20 cm. Perakaran yang terinfeksi
oleh fungi ektomikoriza berada pada kedalarnan tidak lebih dari 20 cm
(Santoso, 1987).

Akar-akar serabut pohon dan miselium fungi mikoriza

umumnya dijumpai pada horizon tanah paling atas khususnya pada lapisan
humus.
Daera h rizosfer digambarkan oleh Garret (1960, diacu Zak, 1964)
sebagai bagian perlindungan terluar tanaman terhadap serangan patogen
akar. Perlindungan tersebut dapat diakibatkan oleh kegiatan,jasad renik
yang terdapat pada rizosfer. Jasad renik di dalam anggota rizosfer dapat
membentuk antibiotik penghalang.

Aktivitas metabolit populasi jasad

renik rizosfer secara keseluruhan juga dapat menghindarkan akar dari
serangan patogen yang potensial. Rizosfer dapat pula berperan sebagai
suatu filter biologis yang menyingkirkan dan menetralkan racun (Zak,
1964).

Menurut Marschner (1991) jasad renik di daerah rizosfer dapat dibagi
ke dalam dua kelompok yaitu jasad renik saprofitik dan fungi pembentuk
ektomikoriza.
1). Jasad renik saprofitik

Kepadatan populasi jasad renik saprofitik khususnya bakteri sangat
tinggi di daerah rizosfer akar tanaman daripada di luar rizosfer, karena
akar bertindak sebagai sumber karbon. Jasad renik di rizosfer mungkin
mempengaruhi unsur hara tanaman baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Jasad renik saprofitik dapat meningkatkan mobilisasi unsur

hara untuk tanaman.

Sebagai contoh adalah reduksi Mn, mineralisasi N

organik dan nitrifikasi, atau produksi
(Marschner, 1991).

chelator seperti bahan fenolik

2). Fungi pembentuk ektomikoriza
Akar yang terinfeksi fungi ektomikoriza dapat merubah aktivitasnya, baik dalam pertumbuhan akar maupun dalam kandungan eksudat
melalui miselium fungi yang berada di bagian luar selubung dan selanjutnya dalam ha1 penyerapan unsur hara dan air.

Dari pemyakan di atas

menurut Marschner, (1991) terdapat tiga kemungkinan proses yaitu :
a. Hifa mikoriza menambah luas permukaan akar sehingga penyerapan
unsur hara dari dalam tanah meningkat.
b. Hifa mikoriza menyediakan hara seperti Fosfor dan Nitrogen yang
merupakan faktor pembatas pertumbuhan pada tanaman yang tidak
bermikoriza.
c. Mikoriza meningkatkan pertumbuhan tanaman,

jika miselium fungi

ektomikoriza dapat membantu fungsi akar dalam menyerap unsur hara
dan air.
Rambelli (1973) secara luas telah mengulas

penelitian-penelitian

mengenai perbedaan populasi jasad renik di daerah rizosfer akar yang bermikoriza dan dalam rizosfer tanpa mikoriza.

Tribunskaya (1955, diacu

Rambelli, 1973) misalnya telah mendapatkan populasi jasad mnik dalam
rizosfer akar berrnikoriza sepuluh kali lipat dibanding dengan dalam rizosfer akar tanpa mikoriza. Jasad renik dalam rizosfer ini biasanya juga lebih
banyak dibandingkan dengan tanah di luar rizosfer.
Rizosfer

ektomikoriza disebut juga

" Rizosfer

ektomikoriza "

karena selubung simbion fungi langsung berhubungan dengan rizosfer.

Dengan demikian dapat juga disebut "ektomikorizosfef.

Timonin (1964,

diacu Marks & Rozlowski, 1973) yang mem pelajari rizosfer bibit Pinus
m t a r t a yang sehat dan rizosfer bibit yang sakit, memperlihatkan adanya
perbedaan dalam jasad renik yang ada di dalam rizosfer tersebut. Hasil
isolasinya menunjukkan bahwa dalam rizosfer bibit yang sakit terdapat
Aspergillus sp., Phom sp., Pyfhium sp., Rhiwctotzia sp. dan Alfemaria sp..
Sedang pada rizosfer bibit yang sehat, Rambelli (1962, diacu Marks &
Kazlowski, 973), menemukan Penicillium implicatum, P. sclerotiorurn, P.
cyclopium, P. decumbens, P. fillutanum, Aspgillus fimllUSpes,Tieghemella
spinosa

dan

Trichodma

camaldulensis dan

hingi

dalam ektomikorizosfer Eucalyptus

tidak dalam rizosfer

E.

camalduhsis

yang tidak

bermikoriza.
Disimpulkan oleh Tribunskaya (1958, diacu Rambelli, 1975) bahwa
jenis fungi simbion berperan penting dalam populasi jasad renik dalam
rizosfer akar yang bermikoriza.

Neal, Bollen dan Zak (1964) meneliti

populasi jasad renik di daerah rizosfer tiga jenis mikoriza yang
morfologinya berbeda, dan dalam rizosfer akar yang telah mengalami
penggabusan.

Mereka menduga bahwa pengaruh fungi mikoriza yang

spesifik terhadap rizosfer dapat berakibat terhadap derajat infeksi patogen
akar.

Dalam ha1 ini mikoriza merupakan penghalang yang efektif

terhadap serangan patogen di rizosfer.
25.2 Soksesi fungi mikoriza
Pertumbuhan tubuh buah fungi ektomikoriza selama dua tahun di
berbagai umur hutan tanaman Pinus patula dari Tamil Naidu telah dilapor-

kan oleh Raman (1989, diacu Hadi & Nuhamara, 1994). Dari pengamatannya didapatkan bahwa fungi Scler&ma

pallidiceps dan S. subluteus

cifrinum, Suillus

brhpes,

S.

tumbuh di areal P. patula yang berumur 3

tahun. Kemudian fungi Thelephora tmestris tumbuh di areal P. patula yang
berumur 4 tahun, sedang fungi Lmcmia
berumur 5 dan 6 tahun.

laccata muncul di areal P. patula yang

Untuk areal P. patula yang berumur 7 tahun sam-

pai 10 tahun yang muncul adalah jenis fungi Tricholoma sq'unctum dan

Russula parazuera Pada areal P. patula yang berumur lebih dari 10 tahun
tidak terdapat jenis fungi lain yang muncul kecuali Lycoperdon perlatum
dan Amanita muscmia serta beberapa jenis fungi saprofit.
Chu Chon (1979, diacu Last dkk, 1987) melaporkan pula hasil
penelitiannya di New Zealand mengenai hubungan suksesi mikoriza pada

Pinus radiata dan Eucalyptus sp. Di pesemaian P. radiata banyak muncul
tubuh buah Hebeloma crustulinijbrme, L. laccata dan dua jenis Rhizopogm sp.
Setelah bibit P. radiata ditanam di lapangan sekitar umur 3 tahun
yang muncul adalah tubuh buah L. laccata dan Rhizupogm sp., sedang H.

crustulinifbrme tidak terdapat di areal P. radiata. Selanjutnya fungi L. laccuta
dan Rhizopogm sp. digantikan oleh jenis lnocybe sp. dan Suillus sp. Tetapi
ketika pohon P. radiata telah berumur lebih dari 10 tahun yang muncul
di areal adalah fungi A. muscaria dan S. verrucosum. Rangkaian yang serupa ditemukan pada 5 jenis tanaman Eucalyptus sp..

Waktu bibit E d y p -

tus sp. di pesemaian yang muncul adalah fungi Hydnangium carreuin,
Scleroderma sp. dan L. laccata.

Setelah bibit ditanam di lapangan yang

muncul di lantai hutan adalah tubuh buah fungi H. crustulinifbrme dan

Rhizapogon sp.

Kemudian fungi yang didapatkan adalah Hymenogaster sp.

dan Hysterangium sp. dan keadaan yang terakhir adalah dijumpainya

Cortinarius sp., lnocybe sp., Lycoperdon sp. dan Tridzoloma sp.
Last dkk (1987) menyatakan bahwa fungi mikoriza di tempat yang
baru dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur dan sedikit persaingan dengan jasad renik lainnya. Jenis fungi mikoriza lokal di tempat
tersebut akan lebih mampu berkembang pada tanah yang kurang haranya
dan mungkin dapat bersaing dengan jasad renik lainnya.
Malajczuk dkk. (1982, diacu Janos, 1989) menyatakan bahwa suksesi
yang tejadi pada Eucalyptus sp. dan P. radiata di Australia mempunyai
kisaran jenis fungi yang luas, tetapi fungi berganti-ganti menurut waktu.
25.3. Eksudat akar

Jumlah bahan organik akar yang dilepas di rizosfer dapat mendekati
40% dari total bahan kering yang dihasilkan tanaman (Lynch dan Whipes,

1990, diacu Marschner,l991). Senyawa yang dikeluarkan oleh perakaran
pohon meliputi asam amino, gula, asam organik, vitamin-vitamin, nukleotid dan banyak lagi senyawa-senyawa lain yang tidak teridentifikasi
(Rao, 1994). Bermacam-macam bentuk tekanan seperti rintangan secara
mekanik, kekurangan oksigen dan kekurangan unsur hara (seperti P, K, Zn
dan Fe) kemungkinan berhubungan dengan meningkatnya karbon dalam
daun (Marschner, 1991). Eksudat mengandung asam amino, karbohidrat
dan sebagainya.

Sebagai contohnya adalah triptofan salah satu macam

asam amino yang mungkin berguna sebagai sumber bahan untuk
memproduksi auksin oleh fungi ektomikoriza termasuk
(Marschner, 1991).

P. findmius

Bahan yang lain adalah metionina yang dapat merupa-

kan sumber untuk memproduksi etilena yang dihasilkan

fungi tanah

seperti Auemonium f i l c i ! (Marschner, 1991). Secara tidak langsung
penambahan unsur hara dalam tanah dapat meningkatkan konsentrasi
fitohormon di dalam rizosfer dan kemungkinan dapat mempengaruhi
perubahan morfologi dan fisiologi akar. Juga beberapa flavonoid di dalam
eksudat akar, seperti juga luteolin dan biochanin, yang ditemukan oleh
Marschner (1991) diduga berperan sebagai tanda untuk adanya simbiosis
akar dengan Rhiwbiurn sp. dan berperan juga sebagai faktor yang dapat
menstimulasi pertumbuhan hifa fungi mikoriza.
Kraigher d kk. (1991) dan Duchesne (1993, diacu Latifah,l995), menyatakan diproduksinya senyawa dari kelompok sitokinin dan kelompok gibbeberelin oleh fungi ektomikoriza, akan menambah peran kehidupan jasad
renik rizosfer.

Senyawa Isopentinilpirofosfat merupakan bahan sintesis

dari senyawa kelompok sitokinin dan gibberelin.

Senyawa tersebut

berasal dari jalur asam mevolonat, yang diduga dapat disintesis dan dilepaskan oleh fungi ektomikoriza.
Beberapa hasil penelitian (Krupa, 197l, diacu Hadi dkk, 1976) menunjukkan bahwa akar yang bermikoriza dapat memproduksi jauh lebih
banyak bahan atsiri yang bersifat fungistatik dibandingkan dengan akar
yang tidak bermikoniza. Bahan atsiri dapat menahan kehidupan patogen di
rizosfer (Hadi dkk, 1976).
Ohara dan Hamada (1960, diacu Hadi dklc, 1976) berpendapat bahwa
populasi jasad renik dalam rizosfer itu erat hubungannya dengan sifat
antagonistik simbion fungi dalam ektomikorizosfer.

Mereka menemukan

jenis bakteri khususnya yang aerobik dan Actinomycetes sangat dihambat

perkembangannya di sekitar miselium Tricholoma matsutake yang tumbuh
aktif di dalam tanah hutan.

25.L Pertukaran nutrisi pada ektomikoriza

Bibit bermikoriza tumbuh lebih baik daripada tanaman tidak
bermikoriza; ha1 ini jelas terlihat bila tanaman ditumbuhkan pada kondisi
kekurangan fosfor (Lamb & Richards, 1974; Gagnon, Langlois & Fortin,
1988: Santoso, 1988).
Peningkatan aktivitas pengambilan unsur hara pada akar bermikoriza dapat tejadi melalui benang-benang hifa yang berkembang keluar dari

permukaan ektomikoriza, yang menjadikan akar lebih mampu mencapai
bagian-bagian tanah yang tidak dapat dicapai oleh akar tak bermikoriza
(Thomas dkk. 1982).
Selain mekanisme di atas, telah dilaporkan bahwa fungi ektomikoriza mampu mengekstrak senyawa berunsur

hara secara langsung

dari bahan organik, dan mengubahnya menjadi senyawa organik di dalam jaringan mikoriza selama proses metabolismenya, serta selanjutnya
mengirirnkan senyawa organik tersebut ke tanaman inang (De La Cruz,
1981).
Di dalam ha1 pengambilan unsur hara fosfor, dilaporkan bahwa
fungi ektomikoriza mampu mengubah fosfat organik tak larut menjadi
tersedia bagi tanaman dan aktivitas ini terkonsentrasi pada selubung fungi
yang terjadi melalui peningkatan aktivitas fosfatase (Antibus dkk. 1981).
France dan Reid (1984, diacu oleh Kottke & Oberwinkler, 1986) mengajukan

perkembangannya di sekitar miselium Tricholomu matsutake yang tumbuh
aktif di dalam tanah hutan.

25.L Pertukaran nutrisi pada ektomikoriza

Bibit bermikoriza tumbuh lebih baik daripada tanaman tidak
bermikoriza; ha1 ini jelas terlihat bila tanaman ditumbuhkan pada kondisi
kekurangan fosfor (Lamb & Richards, 1974; Gagnon, Langlois & Fortin,
1988: Santoso, 1988).
Peningkatan aktivitas pengambilan unsur hara pada akar bermikoriza dapat terjadi melalui benang-benang hifa yang berkembang keluar dari
permukaan ektomikoriza, yang menjadikan akar lebih mampu mencapai
bagian-bagian tanah yang tidak dapat dicapai oleh akar tak bermikoriza
(Thomas dkk. 1982).
Selain mekanisme di atas, telah dilaporkan bahwa fungi ektomikoriza mampu mengekstrak senyawa berunsur

hara secara langsung

dari bahan organik, dan mengubahnya menjadi senyawa organik di dalam jaringan mikoriza selama proses metabolismenya, serta selanjutnya
mengirimkan senyawa organik tersebut ke tanaman inang (De La Cruz,
1981).
Di dalam ha1 pengambilan unsur hara fosfor, dilaporkan bahwa
fungi ektomikoriza mampu mengubah fosfat organik tak larut menjadi
tersedia bagi tanaman dan aktivitas ini terkonsentrasi pada selubung fungi
yang w a d i melalui peningkatan aktivitas fosfatase (Antibus dkk. 1981).
France dan Reid (1984, diacu oleh Kottke & Oberwinkler, 1986) mengajukan

model interaksi antara karbon dan nitrogen dalam ektomikoriza.
Amonium atau nitrat yang diambil fungi mikoriza disatukan kedalam
kerangka karbon untuk membentuk amida glutamin yang selanjutnya
ditransfer ke tanaman inang.
Telah dilaporkan bahwa karbohidrat ditransfer dari inang ke fungi
simbion. Sebaliknya hara seperti P, N, dan K diserap oleh hifa dan ditransferfer ke tanaman (Melin & NiIsson; 1950; Harley & Welson, 1959; Bowen,
1973).
Konsentrasi unsur hara yang lebih tinggi pada tanaman bermikoriza
dibandingkan dengan pada tanaman tak bermikoriza, menunjukkan bahwa
pada ektomikoriza tejadi pemindahan unsur-unsur hara tersebut dari
fungi simbion ke tanaman. Akumulasi unsur-unsur N, P, K, Ca, Mg, Fe,
Mn, Cu, Zn dan A1 oleh bibit beberapa jenis Dipterocarpaceae yang bermikoriza telah dilaporkan oleh Santoso (1988).

Macfael (1994) menya-

takan juga bahwa fungi mikoriza menyeleksi penyerapan sejumlah unsur
yang di dalamnya N, P, K, A1 dan Fe.

111. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium dan Rumah Kaca Kelompok
Peneliti Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam, Bogor, serta di Laboratorium Kimia Balai Penelitian
Tanaman Pangan Cimanggu Bogor.
Penelitian berlangsung dari bulan September 1994 sampai Agustus
1995.
3.2 Penyediaan Tanah Dan Benih

Pada penelitian ini digunakan tanah yang diambil darl Kebun Percobaan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam,
Darrnaga Bogor. Benih E. pellita diperoleh dari P.T. INHUTANI III dan E.

urophylla diperoleh dari Bagian benih Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
Tanah yang digunakan dalam penelitian diambil dengan mencangkul dari bawah tegakan Dipterocarpaceae.

Demikian pula untuk tanah

alang-alang dan tanah semak belukar yang dibakar diperlakukan seperti
yang diperlakukan pada tanah yang diambil dari bawah tegakan Dipterocarpaceae.
Tanah yang diam bil dari bawah tegakan Dipterocarpaceae, tanah
alang-alang dan tanah dari semak belukar yang dibakar masing-masing
sebanyak 15 karung ukuran 100 kg.

Tanah-tanah tersebut dibersihkan dari

batu dan akar pohon serta selanjutnya dihaluskan.

Kemudian tanah yang

telah dibersihkan tadi disaring dengan kawat saring ukuran 0,5 cm hingga
memenuhi kebutuhan untuk percobaan.

33. Penempatan Tanah Dalam Kantong Plasm

Tanah yang diambil dari bawah tegakan Dipterocarpaceae, tanah
dari padang alang-alang, tanah dari semak belukar yang dibakar dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik dengan ukuran 10 x 10 cm. Untuk
kontrol tanah diambil dari bawah tegakan Dipterocarpaceae sekitar pesemaian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
yang difumigasi dengan Vapam, kemudian dimasukkan ke dalam tiap
kantong plastik sebanyak 0,25 kg.

Jadi jumlah seluruh kantong plastik

berisi tanah yang digunakan untuk percobaan ini adalah :
a. Tanah yang diambil dari bawah tegakan Dipterocarpaceae sebanyak
720 kantong plastik.
b. Tanah yang diambil dari padang alang-alang sebanyak 720 kantong
plastik.
c. Tanah yang diambil dari semak belukar yang dibakar sebanyak 720
kantong plastik.

d. Tanah Dipterocarpaceae yang difumigasi dengan Vapam sebanyak 720
kantong plastik.
3.4. Penyediaan Inokulam Fungi Mikoriza

Fungi mikoriza yang dipakai dalam penelitian adalah S. columnare,

L. laccata dan R. cyatl~mantha(Gambar 1). Tubuh buah ketiga jenis fungi
mikoriza tersebut diambil dari Kebun Percobaan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan d m Konservasi Alam Cikarawang, Darmaga, Bogor.

Gambar 1. Tubuh buah fungi mikoriza yang diinokulasikan pada
E. urophylla dan E. pellita. A. L. laccata,
B. R. cyanoxantha , C . S. columnare

Inokulum diperoleh dari tubuh buah yang telah dipotong kecil-kecil
menjadi serpihan dengan ukuran kira-kira 0,5 cm x 0,s cm. Untuk masingmasing inokulum diperlukan 80 tubuh buah S. columnare, 160 tubuh buah

R. cyanoxantha dan 160 tubuh buah L. laccata Adapun untuk inokulum
gabungan ketiga jenis fungi diperlukan 40 tubuh buah S. columnare, 80
tubuh buah L. luccczta dan 80 tubuh buah R. cyanoxantha.

3.5. Inokulasi Fungi Mikoriza Pada Semai Eucalyptus

Untuk mempelajari perkembangan mikoriza dan perkembangan
jasad renik dalam ektomikorizosfer dan kandungan eksudat akar dilakukan
inokulasi S. columnare, L. laccatq R. cyanoxantha atau gabungan ketiga jenis
fungi mikoriza pada kecambah E. urophylla dan E. pellita sepuluh hari
setelah benih disebar (Gambar 2). Sebagai kontrol digunakan semai yang
tidak diinokulasi.

Inokulasi dilakukan dengan menyebarkan secara

merata 50 g serpihan tubuh buah fungi mikoriza pada media yang terdiri
atas campuran tanah dan pasir yang telah diotoklaf pada suhu 121 " C
selama 30 menit dengan perbandingan volume 1 : 1 di dalam bak semai
yang berukuran 40 cm x 30 cm. Sebanyak 25 g benih masing-masing jenis
Eucalyptus disebar pada satu bak sernai.

Gambar 2. Kecambah E. urophylla dan E. pellifa 10 hari
setelah penaburan benih.

3.6. Penanaman Bibit E. pellita Dan E. urophylla Yang Sudah Te*
infeksi Fungi Mikoriza Ke Medium Tumbuh
3.6.1. Penanaman bibit E. pellita dan E. urophylla pada media tambuh
untuk penentuan perkembangan jasad renik dalam ektomikoriza

Setelah perakaran terinfeksi fungi mikoriza (1 bulan setelah inokulasi), bibit dipindahkan ke dalam kantong plastik yang berisi tanah dari
bawah tegakan Dipterocarpaceae, alang-alang, semak belukar yang dibakar
atau tanah yang telah difumigasi dengan cairan Vapam. Tiap unit percobaan terdiri atas 45 bibit dan jumlah k e s e l u r u h a ~ y auntuk keperluan penelitian perkembangan ektomikoriza dan jasad renik dalam mikorizosfer
adalah 1800 bibit.

3.6.2 Penanaman bibit E. pellita dan E. Urophylla pada media tumbuh
untuk penentuan kandungan asam amino dalam eksudat ektomikoriza dan karbohidrat dalam ekstrak ektomikoriza

Bibit

E. pellita dan E. uraphylla 75 hari setelah terinfeksi fungi

mikoriza S. columnare, R. cyanoxantha, L. laccata atau gabungan ketiga jenis
fungi, ditanam pada bak-bak yang berisi pasir yang telah difumigasi
masing-masing sebanyak 5 kg. Sebelumnya, pasir dalam bak-bak tersebut
disiram dengan larutan H2W4teknis, kemudian dicuci dengan air.
Setelah kering, pasir diotoklaf pada suhu 121 " C selama 30 menit. Untuk
keperluan ini disediakan 30 buah bak tanaman dengan rincian perlakuan :
a. 6 bak tanaman yang masing-masing berisi bibit
urophylla yang sudah diinokulasi S. columnare

E. pellita atau E.

b. 6 bak tanaman yang masing-masing berisi bibit E. pellita
urophylla yang sudah diinokulasi R. cyanoxanthn

atau E.

c. 6 bak tanaman yang berisi bibit E. pellita atau E. uruphylla yang sudah
diinokulasi L. laccata
d. 6 bak tanaman yang masing-masing berisi bibit E. pellita atau E.
urophylla yang sudah diinokulasi gabungan ketiga jenis fungi (S.
columnare, R. cyanoxantha dan L. lacuta)
e. 6 bak tanaman yang masing-masing bak berisi bibit E. pellita atau E.
urophylla yang tidak diinokulasi (Kontrol)

Pada tiap bak tanaman tersebut di atas ditanam 15 bibit E. pellita
atau E. uruphyllla. Jadi dalam 30 bak tanam ditanam 75 bibit E. pellita atau

75 E. urophylla.

Setelah kedua jenis bibit Eucalyptus ditanam dalam bak

tanam media tumbuh diberi larutan Hoagland selama 1 minggu dengan
komposisi :

1. Unsur makro ( mg/l ).

-

244,20 g

Ca (No312 4 H20

- K NO3

61,61 g

- Mg SO47 H 2 0

120,54 g

-

NbH2m4

13,80 g

-

Fe2 ( G b o 6 ) 3

-

Air Suling untuk membuat larutan 1 1.

7t40 g

2. Unsur mikro ( g/l.)

- H3 B 0 3
- M n C12 4 H 2 0
-

Zn SO4

37,lO g

Semua unsur mikro ini di-

78,80 g

larutkan dalam 1liter air,

8,05 g

kemudian dari larutan ini

-

Cu !Q5 H 2 0

- H2 Mo Oq 4 H 2 0

12,45 g
4,68 g

diambil 1 ml untuk penyediaan larutan
Hoagland.

Larutan Hoagland dimasukkan ke dalam jerigen plastik yang pada
bagian dasarnya dibuat 15 lubang yang masing-masing

.dihubungkan

dengan selang (0 0,5 cm), sehingga larutan Hoagland dapat disalurkan
melalui selang ke media tumbuh bibit E. pellita atau E. urophylla. Kelebihan
larutan yang telah melalui medium pasir tempat bibit Eucalyphrs tumbuh
disalurkan melalui penghubung (selang

0 1 cm)

yang kemudian

ditampung kembali di dalam penampung plastik yang tertutup (Gambar 3).
Lama pemberian larutan Hoagland 1 hari sebanyak 2 1.

Larutan yang

tertampung tersebut langsung dianalisis kandungan asam amino dan
karbohidratnya (monosakaridanya).

3.7. Penentuan Populasi JasadRenik

Tujuan penentuan populasi jasad renik pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui perkembangan jasad renik khususnya bakteri dan fungi yang
terdapat dalam tanah bawah tegakan Dipterocarpaceae, tanah padang
alang-alang, tanah semak belukar yang dibakar atau tanah

difumigasi

yang ditanami E. pellifa atau E. urophylla sehubungan dengan suksesi fungi
ektomikoriza yang mungkin terjadi pada rizosfer bibit E. urophylla tersebut.
Penentuan populasi berbagai jenis jasad renik dilakukan 75,150 dan 225 hari
setelah bibit diinokulasi dengan fungi mikoriza S. columnare, R. cyanoxan-

tha, L. Zacmta,

atau gabungan ketiga

jenis fungi tersebut atau kontrol.

Adapun media tumbuh bibit Eucalyphrs adalah tanah yang diambil dari ba-

Gambar 3. Peralatan untuk pengambilan eksudat akar. a. Jerigen
berisi larutan Hoagland b. Selang plastik untuk menyalurkan larutan Hoagland c. Pasir media tumbuh
bibit d. Tempat penampungan sisa larutan Hoagland
yang mengandung eksudat ektomikotiza

wah tegakan Dipterocarpaceae, alang-alang, semak belukar yang dibakar
atau tanah yang telah difumigasi dengan larutan Vapam.

3.7.1.

Penentuan populasi berbagai jenis fungi dalam media tumbuh
E. pellita d m E. urophylla

Adapun populasi berbagai jenis fungi yang berkembang dalam
media tumbuh yang telah memperoleh berbagai macam perlakuan
ditentukan tiga kali, yaitu pada umur bibit 75, 150, dan 225 hari setelah
semai diinokulasi fungi mikoriza.

Rincian perlakuan

terhadap media

tumbuh disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perlakuan yang diberikan kepada media tumbuh E. pellita dan
E. llrophylln
Beberapa Media Tumbuh 1)
Jenis fungi

S. columnare
R. cyanoxantha
L. laccata
Gabungan ketiga
jenis fungi
Kontrol (tanpa fungi)

Alang-alang

Fumigasi

Bakar

Dipt..

ScB
RcB
LlB
CB

ScD
RcD
LID
CD

ScA
RcA
LlA
CA

ScF

KB

KD

KA

KF

1) ScB = S. columnare Bakar
RcB = R. cyanoxantha Bakar
LIB = L. laccata Bakar
CB = Gabungan ketiga jenis fungi
Bakar
KB = Kontrol Bakar
ScA = S. columnare Alang-alang

RcF

LIF
CF

ScD = S. columnme Dipterocarpaceae
RcD = R.cyanoxantha Dipterocarpaceae
LID = L. faccata Dipterocarpaceae
CD = Gabungan ketiga jenis fungi
Dipterocarpaceae
KD = Kontrol Dipterocarpaceae
ScF = S. columnme fumigasi

RcA = R. cyanoxantha Alang-alang
LlA = L. lacata Alang-alang
CA = Gabungan ketiga jenis fungi
Alang-alang
KA = Kontrol Alang-alang

RcF = R. cyanoxantha htmigasi
L1F = L. laccata fumigasi
CF = Gabungan ketiga jenis fungi
fumigasi
KF = Kontrol fumigasi

Dari tanah yang ditanami E. pellifu atau E. urophylla yang telah
diinokulasi salah satu atau gabungan ketiga jenis fungi mikoAza, masingmasing diambil 10 g contoh. Tiap contoh tanah tersebut dimasukkan ke
dalam 90 ml larutan fisiologi yang ditempatkan dalam bejana Erlenmeyer
ukuran 250 ml. Larutan fisiologi disiapkan dengan melarutkan 8,5 g NaCl
dalam 1 liter air suling.

Penentuan populasi berbagai jenis fungi adalah

dengan cara " teknik pengenceran " dengan menggunakan media Martin
Agar (Anas, 1989).
Dari suspensi tiap contoh tanah dalam bejana Erlenmeyer diambil 1
ml untuk ditambahkan pada 9 ml larutan fisiologi yang telah disediakan
dalam tabung reaksi. Secara bertahap suspensi tanah tersebut diencerkan
dengan larutan fisiologi sampai 10 6 kali (Gambar 4). Selanjutnya suspensi
tanah tersebut dituangkan beberapa ml pada media Martin agar dalam
cawan petri dengan komposisi (Anas, 1989):
1. KH2PO4

1

2 MgW4 7 H 2 0

Of05 g

g

3. Pepton
5 g
4. Dekstrose
lo g
5. Agar
2O g
6. Air Suling untuk membuat 1 1
7. Streptomisin 300 mg/100 ml air diambil 1ml untuk 100 ml media
Martin Agar.

3.7.2 Penentuan populasi bakteri tanah

Prosedur kerja dalam penentuan populasi bakteri tanah sama dengan prosedur yang digunakan untuk penentuan populasi fungi, yaitu
sistem untuk bakteri pengencerannya sampai 10 8 kali dan media yang
digunakan untuk penentuan populasi bakteri adalah Agar Nutrien 1,O X .

3.8. Perkembangan Ektomikoriza Pada Perakaran E. pellita Dan
E. urophylla
3.8.1. Studi makroskopik dan studi mikroskopik

Pengamatan perkembangan ektomikoriza dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui perkembangan mikoriza pada perakaran bibit E. pellita
dan E. uruphylla yang diinokulasi dengan salah satu atau gabungan tiga
jenis fungi mikoriza dan ditanam pada tanah yang berasal dari bawah
tegakan Dipterocarpaceae, pada tanah padang alang-alang, pada

tanah

yang berasal dari semak belukar yang dibakar atau pada tanah yang
difumigasi dengan Vapam.
Perkembangan ektomikoriza pada akar bibit E. pellita
urophylla diamati

dan E.

ciri-ciri struktur makroskopik dan mikroskopiknya.

Adapun ciri-ciri makroskopik

yang diamati adalah bagian permukaan

mikoriza pada perakaran kedua jenis Eucalyptus dan bentuk percabangan
mikoriza yang terbentuk.

Adapun ciriciri mikroskopik yang diamati

adalah ketebalan dan struktur selubung fungi serta kedalaman penetrasi
jala Hartig.

3.8.2. Tingkat perkembangiro mikoriza
Tingkat perkembangan mikoriza pada bibit dibedakan ke dalam
lima kelas berdasarkan persentase berat akar yang bermikoriza terhadap

seluruh berat akar bibit Tiap kelas pertkembangan mikoriza suatu bibit
diberi skor sebagai berikut :
Skor

Kelas Perkembangan

1

21 -

2

41- 60%

3

61

-

4

81

- 100 %

0

0

Catatan :

20 %

40 %

80 %

-

kurang dari 0,s satuan dibulatkan kebawah

-

lebih atau sama dengan 0,5 satuan dibulatkan keatas.

Untuk tiap satuan percobaan indeks perkembangan mikoriza ditentukan dengan menggunakan rumus (1) (Pawirosoemardjo, 1984 diacu oleh
Santoso, 1988) :

dengan pengertian :
In

= Indeks perkembangan mikoriza

nl

= Jumlah bibit dengan perkembangan mikoriza Skor XI

XI

=

N

= Jumlah seluruh bibit dalam tiap satuan percobaan

Skor perkembangan mikoriza bibit yang bersangkutan

Penentuan Indeks perkembangan mikoriza dilakukan 225 hari setelah bibit
diinokulasi.

3.9.

Penentuan Kandungan A i m Amino Dan Monosakarida Dalam
Eksudat Yang Dikeluarkan Oleh Akar Dan Monosakarida Dalam
Ekstrak Ektomikoriza E. pellita Dan E. urophylla ~ a n g
Diinokdasi
Dengan Fungi Ektomikoriza

Penentuan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya
hubungan antara jenis fungi ektomikoriza yang diinokulasikan dengan
jenis asam amino dan monosakarida yang terkandung dalam eksudat ektomikoriza.
Alat yang digunakan untuk penentuan jenis asam amino dan monosakarida yang terkandung dalam eksudat ektomikoriza pada perakaran

Eucalyptus adalah HPLC (High Performence Liquid Chromatogrqphy)
dengan Integrator model Hitachi D-2500 Chroma to - Integrator.
Untuk keperluan penentuan jenis asam amino dan monosakarida
tersebut, diambil eksudat yang keluar dari medium yang ditanami bibit

Eucczlyptus, baik yang diinokulasi salah satu atau gabungan ketiga jenis
fungi mikoriza maupun kontrol.

3.9.1. Penentuan kandungan asam amino dalam eksudat ektomikoriza

Eucalyptus
Untuk menentukan jenis asam amino yang terdapat dalam eksudat
kedua jenis

Eucalyptus, diambil contoh sebanyak 200 ml filtrat yang

kemudian dihidrolisis dengan HCL 6 N dalam wad