Hubungan Skor The International Society For Thrombosis and Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) pada Pasien Eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan
Tesis Magister
HUBUNGAN SKOR THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) TERHADAP
ANGKA KEJADIAN DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) PADA PASIEN EKLAMSIA DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN
OLEH :
M. ARIEF SIREGAR
PEMBIMBING :
1. Dr. dr. Sarma N. Lumbanraja, SpOG (K) 2. dr. Dudy Adiansyah, M.ked (OG), SpOG
PEMBANDING :
1. dr. Henry Salim Siregar, SpOG (K) 2. dr. Risman F. Kaban, M.ked (OG), SpOG 3. dr. Iman Helmi Effendi, M.ked (OG), SpOG (K)
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
(2)
PENELITIAN INI DIBAWAH BIMBINGAN TIM 5
Pembimbing :
Dr. dr. Sarma N Lumbanraja, SpOG.K
dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked (OG), SpOG
Penyanggah :
dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K
dr. Risman F Kaban, M.Ked (OG), SpOG
dr. Iman Helmi Effendi, M.Ked (OG), SpOG.K
Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat
menyelesaikan Program Pendidikan Magister
(3)
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur Saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa Saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan Saya kiranya Tesis ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
“Hubungan Skor The International Society For Thrombosis And Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation) Pada Pasien Eklamsia Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan”
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah Saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H (CTM&H), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH), yang telah memberikan kesempatan kepada Saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister di Fakultas Kedokteran USU Medan
2. Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K); Sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi
(4)
FK-Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr. Henry Salim Siregar, SpOG (K); Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG (K); Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG (K); Prof. Dr. Djafar Siddik, SpOG (K); Prof. Dr. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K); Prof. Dr. Hamonangan Hutapea, SpOG (K); Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K); Prof. Dr. T. M. Hanafiah, SpOG (K); Prof. Dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K); Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K); Prof. Dr. Daulat H. Sibuea, SpOG (K); yang telah bersama-sama berkenan menerima Saya untuk mengikuti pendidikan magister di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
3. Khususnya kepada Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K); yang telah memberi Saya kesempatan untuk dapat menempuh Program Pendidikan Magister di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU. Saya ucapkan Terimakasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT membalas kebaikan beliau.
4. Ketua Divisi Fetomaternal Obstetri dan Ginekologi, dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG), SpOG(K), dan Sekretaris Divisi Fetomaternal Obstetri dan Ginekologi, dr. Johny Marpaung, M.Ked(OG), SpOG, yang telah mengizinkan Saya untuk melakukan penelitian tentang :
“Hubungan Skor The International Society For Thrombosis And Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation) Pada Pasien Eklamsia Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan”
5. Dr. dr. Sarma N Lumbanraja, SpOG(K) dan dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked(OG), SpOG selaku pembimbing tesis Saya, bersama dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K); dr. Risman F Kaban, SpOG; dan dr. Iman Helmi Effendi,
(5)
M.Ked(OG), SpOG(K), selaku pembanding dan nara sumber yang penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memriksa, dan melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai. 6. Prof. dr. Budi R Hadibroto, SpOG(K) selaku Bapak Angkat Saya selama
menjalani masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat yang bermanfaat kepada Saya selama dalam pendidikan.
7. Kepada dr. Edy Ardiansyah, M.Ked (OG), SpOG selaku pembimbing minirefarat Magister Saya yang berjudul: “Prolaps Puncak Vagina Paska Histerektomi”.
8. Seluruh Staf Pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik Saya sejak awal hingga akhir pendidikan. Semoga Allah SWT membalas budi baik Guru-guru Saya tersebut.
9. Kepada keluarga yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing saya dalam sejak awal pendidikan.
10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada Saya selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
11. Kepada dr. Surya Dharma sebagai pembimbing statistik yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam membantu dalam penyelesaian tesis magister ini.
12. Kepada senior-senior Saya, dr. Teuku Rahmat Iqbal, SpOG; dr. T.M. Rizki, SpOG; dr. Mulda, SpOG,; dr. Sim Romi, SpOG; dr. Tomy, SpOG; dr. Simon P. Saing, SpOG; dr. Sukhbir Singh, SpOG, dr. Ferry Simatupang, SpOG; dr.
(6)
Dwi Faradina, Mked(OG), SpOG; dr. Hj. Dessy Hasibuan, SpOG; dr. Rony P. Bangun, SpOG; dr. Alim Sahid, SpOG; dr. Ilham Sejahtera L., SpOG; dr. Nur Aflah, SpOG; dr. Yusmardi, SpOG; dr. Gorga W. Udjung, SpOG; dr. Siti S. Sylvia, SpOG; dr. Anggia Melanie L., SpOG; dr.Maya Hasmita, SpOG; dr. David Luther, SKM, Mked(OG), SpOG; dr. Riza H. Nasution, SpOG; dr. Lili Kuswani, SpOG;dr. M. Ikhwan, SpOG; dr. Edward Muldjadi, SpOG; dr. Ari Abdurrahman Lubis, SpOG; dr. Zilliyadein R., SpOG; dr. Benny J., SpOG; dr. M. Rizki Yaznil, Mked(OG), SpOG; dr. Yuri Andriansyah, SpOG; dr. T. Jeffrey A., SpOG; dr. Made S. Kumara, SpOG; dr. Sri Jauharah L., SpOG; dr. M. Jusuf Rahmatsyah, Mked(OG), SpOG; dr. Boy P. Siregar, SpOG; dr. Hedy Tan, dr. Glugno Joshimin F,dr. Firman A, SpOG; dr. Aidil A., SpOG; dr. Rizka H., SpOG; dr. Hatsari, SpOG; dr. Andri P. Aswar, SpOG; dr. Alfian, SpOG; dr. Errol, SpOG; dr. T. Johan A., Mked(OG) , SpOG; dr. Tigor P. H., Mked(OG), SpOG; dr. Elvira M.S., Mked(OG), SpOG; dr. Hendry A.S., Mked(OG), SpOG; dr. Heika NS, Mked(OG), SpOG; dr. Riske E.P.; dr. Ali Akbar, Mked(OG), SpOG; dr. Arjuna S, Mked(OG), SpOG; dr. Janwar S, Mked(OG), SpOG; dr. Irwansyah P, Mked(OG), SpOG; dr.UlfahW.K., Mked(OG), SpOG; dr. Ismail Usman, Mked(OG), SpOG; dan dr. Aries M. dr.Hendri Ginting, Mked(OG) SpOG; dr. Robby P; dr. Meity Elvina, Mked(OG) SpOG; dr.M. Yusuf, Mked(OG), SpOG; dr. Dany Aryani, Mked(OG), SpOG; dr. Fatin, Mked(OG), SpOG Saya berterima kasih atas segala bimbingan, bantuan dan dukungannya yang telah diberikan selama ini.
13. Kepada sahabat-sahabat saya se-angkatan: dr.Pantas S Siburian; dr. Morel Sembiring; dr. Eka Handayani; dr.Sri Damayana Hrp; dr. Liza Marosa; dr. M
(7)
Rizki P Y; dr. Ferdiansyah P Hrp; dr. Yudha S; dr. Henry Gun, terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama pendidikan hingga saat ini. 14. Rekan-rekan PPDS yang sangat baik: dr. Hiro Hidaya Nst, dr. Ray Barus, dr.
M. Rizal S, dr. Ika Sulaika, dr. Hotbin, dr. Julita, dr. Edward, dr. Edy R, dr. Erwin Hrp, dr. A.Rohim, dr. Kiko M, dr. Anindita, dr. Wahyu Wibowo, dr. Novrial, dr. Reni, dr. Johan Ricardo, dr. Juhriyani M, dr. Yufi, dr. Arvitamuriany, dr. S. Djaganata, dr. Wahyu Utomo, dr. Trisna, dr. Indra, dr. Sugeng, dr. Eva M, dr. Andrian, dr. Heikal, dr. Putra, dr. Irsyat, dr. Ahmad Syafiq, dr. Dalmi, dr. Yusrizal, dr. Irfan H, dr. Azano S Sitepu, dr. Luthfi A, dr. Citra Lestari, dr. Annisa F Hsb, dr. Henry S, dr. Marissa, dr. Dahler, dr. Irvan Arifianto, dr. Zulkarnaen T, dr. T.Ebta M, dr. Dyah Nurvita, dr. Devi, dr. Isnayu, dr. Syauki, almh. dr. Kartika, khususnya kepada dr. Iman Syahputra, dr. Hamima, dr. Tony Simarmata, dan dr. Qisthi Aufa Lbs. Terima kasih atas kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah diberikan selama ini. Kepada teman-teman PPDS lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, saya ucapkan terima kasih.
15. Kepada almh. Ibu Hj. Asnawati Hsb, Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah, Mimi, Fina, Anggi, dan seluruh Pegawai di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
16. Dokter muda, Bidan, Paramedis, karyawan/karyawati, serta para pasien di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik yang dari padanya Saya banyak memperoleh pengetahuan baru, terima kasih atas kerja sama dan saling pengertian yang diberikan kepada Saya sehingga dapat sampai pada akhir program pendidikan ini.
(8)
Tiada kata yang dapat Saya ucapkan selain rasa syukur kepada Allah SWT dan sembah sujud serta terima kasih yang tidak terhingga Saya sampaikan kepada kedua orangtua Saya yang sangat Saya cintai, Ayahanda dr. Anwar Siregar, SpOG dan ibunda Hj. Nazliah Nasution yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik Saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari sejak kecil hingga kini, memberi contoh yang baik dalam menjalani hidup serta memberikan motivasi dan semangat kepada Saya selama mengikuti pendidikan ini. Kepada ketiga saudara kandung Saya, Kakanda: Masita Sari Siregar, SE.Ak ; M. Andri Siregar, ST; Maulida Sari Siregar, Amd; terima kasih atas bantuan, dorongan semangat dan doa kepada Saya selama menjalani pendidikan
Kepada Istri tercinta, dr. Marlina, dan buah hati kami, M. Arkan Rifki Siregar, yang merupakan inspirasi dan pendorong motivasi Saya dalam menyelesaikan pendidikan saya selama ini. Semoga ilmu yang Saya peroleh dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Akhirnnya kepada seluruh keluarga handai taulan yang tidak dapat Saya sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Medan, Juli 2013
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
ABSTRAK...xiv
ABSTRACT ... xv
BAB I. Pendahuluan ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Tujuan Umum ... 3
1.3.3. Tujuan Khusus ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II. Tinjauan Pustaka ... 5
2.1. Eklamsia ... 5
2.1.1. Patofisiologi ... 5
2.1.2. Diagnosis ... 5
2.1.3. Onset Terjadinya Eklamsia ... 6
2.1.4. Patologi Serebral pada Eklamsia ... 7
2.1.5. Keluaran Maternal dan Perinatal ... 8
2.2. Disseminated intravascular coagulation( DIC ) ... 9
2.2.1. Definisi ... 9
2.2.2. Insidensi ... 10
2.2.3. Patogenesis DIC ... 10
2.2.3.1. Terjadinya keadaan Hipertrombinemia ... 11
2.2.3.2. Aktivasi Antikoagulan Physiologic ... 11
2.2.3.3. Pengaruh Fibrinolisis pada kejadian DIC ... 12
2.2.3.4. Aktivasi dan pelepasan Inflammatory Cytokines dalam pathogenesis DIC ... 13 2.2.4. DIC yang terkait dengan kejadian preklamsia, eklamsia, dan
(10)
2.2.5. DIC yang terkait dengan kejadian emboli air ketuban ... 15
2.2.6. DIC yang terkait dengan kejadian Abrupsio plasenta ... 16
2.2.7. Menegakkan Diagnosa DIC ... 18
2.2.7.1. Pemeriksaan Fisik ... 19
2.2.7.2. Diagnosa laboratorium ... 19
2.2.7.3. Pemeriksaan untuk koagulasi ... 21
2.2.8. Perubahan koagulasi, antikoagulasi, dan protein fibrinolitik ... 21
2.2.9. Kaskade Koagulasi dan Fibrinolisis ... 22
2.2.10. Tatalaksana ... 24
2.2.10.1. Pemberian Obat – obatan ... 26
2.2.10.2. Tatalaksana Perdarahan pada DIC ... 30
2.2.10.3. Terapi Potensial yang lain pada DIC ... 33
2.3. Kerangka Teori ... 34
2.4.. Kerangka Konsep...35
BAB III. Metode Penelitian ... 36
3.1. Rancangan Penelitian ... 36
3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 36
3.1.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36
3.1.3. Kriteria Penerimaan dan Penolakan Sampel ... 37
3.1.4. Prosedur Kerja ... 37
3.1.5. Variabel Penelitian ... 37
3.1.6. Analisis dan Interpretasi ... 38
3.1.7. Batasan Operasional ... 38
BAB IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 40
4.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 40
4.2. Frekuensi DIC Pada Pasien Eklamsia ... 41
4.3. Frekuensi Mortalitas Maternal Pada Pasien Eklamsia Berdasarkan Nilai Skor DIC ... 42
4.4. Frekuensi Mortalitas Maternal Berdasarkan Kejadian DIC Pada Pasien Eklamsia ... 43
4.5. Hubungan Skor DIC Berdasarkan Skoring Sistem DIC Terhadap Angka Kejadian DIC pada Penderita Eklamsia ... 44
(11)
BAB V. Kesimpulan dan Saran ... 46
5.1. Kesimpulan ... 46
5.2. Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 48
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses terjadinya DIC ... 10 Gambar 2. Mekanisme terjadinya perdarahan pada DIC ... 12
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Terapi Pengganti untuk pasien dengan gejala DIC ... 28 Tabel 2. Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 40
Tabel 3.Frekuensi DIC Pada Pasien Eklamsia ... 41
Tabel 4. Frekuensi Mortalitas Maternal Pada Pasien Eklamsia Berdasarkan Nilai Skor DIC ... 42 Tabel 5.Frekuensi Mortalitas Maternal Berdasarkan Kejadian DIC Pada Pasien Eklamsia. ...43 Tabel 6. Hubungan Skor DIC Berdasarkan Skoring Sistem DIC Terhadap Angka Kejadian DIC Pada Penderita Eklamsia ... 44
(14)
HUBUNGAN SKOR THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)
TERHADAP ANGKA KEJADIAN DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) PADA PASIEN EKLAMSIA DI
RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN Siregar MA
Departemen Obstetri dan Ginekologi ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia, Juni 2013
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Kehamilan normal berhubungan dengan perubahan komponen hemostasis, yang akan meningkatkan resiko terjadinya DIC. Resiko terjadinya DIC meningkat pada pasien eklamsia dan merupakan salah satu penyebab mortalitas maternal yang harus diantisipasi . Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.
METODE: Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian analitik observasional dengan desain studi retrospektif, untuk melihat penerapan skoring DIC terhadap angka kejadian DIC pada pasien eklamsia. Populasi sampel meliputi ibu hamil dengan diagnosa eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Cara pengambilan sampel adalah secara retrospektif dengan membuka Rekam Medis pasien yang didiagnosa dengan eklamsia dan memenuhi kriteria inklusi.
HASIL: Pada pasien eklamsia dengan skor DIC < 5, sebanyak 41 pasien (91,1%), tidak ada yang didiagnosa dengan DIC secara klinis. Sedangkan pada pasien eklamsia dengan skor DIC ≥ 5, sebanyak 4 pasien (8,8%), 2 orang didiagnosa dengan DIC secara klinis (4,4%).(p value = 0,006)
KESIMPULAN: Terdapat hubungan yang signifikan antara skor DIC dan diagnosa klinis DIC. (p value = 0,006)
(15)
ASSOCIATION BETWEEN THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) SCORING AND THE INCIDENCE OF DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR
COAGULATION) IN ECLAMPSIA PATIENTS AT HAJI ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN
Siregar MA
Department of Obstetric And Gynecology ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.
Medical Faculty Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia, July 2013
ABSTRACT
BACKGROUND: Normal pregnancy is associated with changes in hemostatic component, which increases the risk of DIC. Risk of DIC also increases in eclamptic patient and is one of the cause of maternal mortality which must be anticipated. Scoring system from The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) gives objective assesment for DIC.
METHOD: This study is an observational analysis with retrospective study design, to observe the application of DIC scoring on the incidence of DIC in patients with eclampsia. Sample population includes pregnant women with eclampsia in H. Adam Malik Medan General Hospital and met the inclusion criteria. Sampling was performed retrospectively by examining Medical Records of the patients diagnosed with eclampsia and met the inclusion criteria
RESULT: In eclampsia patient with DIC score <5, as many as 41 patients (91,1%), none have been clinically diagnosed with DIC. Whereas, in eclampsia patients with DIC score ≥5, as many as 4 patients (8,8%), 2 was clinically diagnosed with DIC (4,4%).(p value = 0,006)
CONCLUSION: There is a significant correlation between DIC score and clinical diagnosis of DIC. (p value = 0,006)
(16)
HUBUNGAN SKOR THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)
TERHADAP ANGKA KEJADIAN DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) PADA PASIEN EKLAMSIA DI
RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN Siregar MA
Departemen Obstetri dan Ginekologi ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia, Juni 2013
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Kehamilan normal berhubungan dengan perubahan komponen hemostasis, yang akan meningkatkan resiko terjadinya DIC. Resiko terjadinya DIC meningkat pada pasien eklamsia dan merupakan salah satu penyebab mortalitas maternal yang harus diantisipasi . Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.
METODE: Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian analitik observasional dengan desain studi retrospektif, untuk melihat penerapan skoring DIC terhadap angka kejadian DIC pada pasien eklamsia. Populasi sampel meliputi ibu hamil dengan diagnosa eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Cara pengambilan sampel adalah secara retrospektif dengan membuka Rekam Medis pasien yang didiagnosa dengan eklamsia dan memenuhi kriteria inklusi.
HASIL: Pada pasien eklamsia dengan skor DIC < 5, sebanyak 41 pasien (91,1%), tidak ada yang didiagnosa dengan DIC secara klinis. Sedangkan pada pasien eklamsia dengan skor DIC ≥ 5, sebanyak 4 pasien (8,8%), 2 orang didiagnosa dengan DIC secara klinis (4,4%).(p value = 0,006)
KESIMPULAN: Terdapat hubungan yang signifikan antara skor DIC dan diagnosa klinis DIC. (p value = 0,006)
(17)
ASSOCIATION BETWEEN THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) SCORING AND THE INCIDENCE OF DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR
COAGULATION) IN ECLAMPSIA PATIENTS AT HAJI ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN
Siregar MA
Department of Obstetric And Gynecology ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.
Medical Faculty Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia, July 2013
ABSTRACT
BACKGROUND: Normal pregnancy is associated with changes in hemostatic component, which increases the risk of DIC. Risk of DIC also increases in eclamptic patient and is one of the cause of maternal mortality which must be anticipated. Scoring system from The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) gives objective assesment for DIC.
METHOD: This study is an observational analysis with retrospective study design, to observe the application of DIC scoring on the incidence of DIC in patients with eclampsia. Sample population includes pregnant women with eclampsia in H. Adam Malik Medan General Hospital and met the inclusion criteria. Sampling was performed retrospectively by examining Medical Records of the patients diagnosed with eclampsia and met the inclusion criteria
RESULT: In eclampsia patient with DIC score <5, as many as 41 patients (91,1%), none have been clinically diagnosed with DIC. Whereas, in eclampsia patients with DIC score ≥5, as many as 4 patients (8,8%), 2 was clinically diagnosed with DIC (4,4%).(p value = 0,006)
CONCLUSION: There is a significant correlation between DIC score and clinical diagnosis of DIC. (p value = 0,006)
(18)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan fisiologis selama kehamilan akan mempengaruhi koagulasi dan sistem fibrinolitik. Banyak faktor pembekuan yang meningkat dan faktor anti pembekuan menurun menyebabkan terpacunya koagulasi dan menurunnya fibrinolisis. Koagulapati yang telah terjadi sebelumnya akan mempengaruhi kehamilan dan koagulopati alami juga akan berubah karena kehamilan. Perubahan status koagulasi akan berpengaruh pada cara pelahiran maupun teknik anastesi terutama pada penderita gangguan hipokoagulopati.1
Kehamilan juga dihubungkan dengan perubahan besar dari metode hemostasis seperti meningkatnya sebagian besar faktor pembekuan, menurunnya antikoagulan alami dan menurunnya aktifitas fibrinolitik. Perubahan ini akan semakin jelas pada saat persalinan.2
Kehamilan normal berhubungan dengan komponen hemostasis, yang akan meningkatkan resiko perdarahan , trombosis, dan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). 3
Menurut Morikawa dkk (2006), selama kehamilan normal, koagulasi dan fibrinolisis secara bersamaan meningkat dan tetap stabil untuk menjaga proses hemostasis. Hal ini bahkan terjadi lebih luas pada kehamilan kembar. Waktu pembekuan darah secara keseluruhan, tidak berbeda secara signifikan pada wanita hamil normal. 4
Pada kasus obstetri, DIC cenderung terjadi pada keadaan berikut ini: emboli air ketuban, solusio plasenta, preklampsia, eklampsia, Hemolysis, elevated liver
(19)
enzymes, and low platelet count (HELLP) sindrom, sindrom kematian janin dalam kandungan yang berlangsung lama (retained fetus syndrome), sisa konsepsi yang tertinggal,dan abortus. 5
Jika seorang wanita mengalami eklamsia, kemungkinan wanita tersebut untuk mengalami trombositopenia secara khusus adalah 18%, dan kemungkinan untuk mengalami DIC sekitar 11%, dan untuk mengalami HELLP sindrom adalah sekitar 15%. Wanita dengan preeklamsia-eklamsia yang mengalami gangguan koagulasi (trombositopenia, HELLP, atau DIC) , memiliki angka kematian sekitar 16% sampai 50%, angka kematian bayi mencapai 40% bahkan lebih.6,7
Sekitar 16% preeklamsia dan eklamsia akan mengalami solusio plasenta, yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya DIC dan kematian ibu dan janin. Pada kasus eklamsia DIC terjadi terbatas pada mikrosirkulasi ginjal dan plasenta, walaupun begitu setidaknya 10%-15% wanita akan berkembang menjadi sistemik dan luas.5,6
Hal yang terpenting dalam menegakkan diagnosis DIC adalah sistem skoring yang berdasarkan pengujian yang dapat dilakukan dengan cepat serta siap untuk digunakan. Sistem skoring ini akan memungkinkan penegakan diagnosa lebih baik dan menjadi standar referensi untuk keperluan diagnostik maupun terapeutik. Untuk overt DIC, disarankan untuk menggunakan skor kumulatif 5 atau lebih dari Prothrombin Time (PT) yang memanjang, kadar fibrinogen dan trombosit yang berkurang, serta meningkatnya marker-marker yang terkait fibrin.7
Bakhtiari et al (2004) menemukan sensitivitas sebesar 91% dan spesifisitas sebesar 97% dengan skor DIC menurut International Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH).8 Sehubungan dengan relevansi terapeutik, analisa retrospektif dari dua penelitian tentang sepsis, menggunakan data yang tidak disertai kadar
(20)
fibrinogen, mendapatkan hasil yang menggarisbawahi kekuatan prognostik skor DIC menurut ISTH.9,10
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis ingin mengetahui hubungan antara nilai skor DIC menurut International Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH) dengan angka kejadian DIC pada pasien eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan. Data yang didapat nantinya diharapkan dapat mendukung sistem skoring DIC menurut ISTH untuk dapat digunakan secara rutin sebagai alat diagnostik DIC, terutama pada pasien-pasien eklamsia.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan antara skor DIC menurut International Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH) dengan angka kejadian DIC pada pasien eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk melihat hubungan skor DIC berdasarkan skoring sistem DIC terhadap angka kejadian DIC pada penderita eklamsia.
1.3.2. Tujuan Khusus
- Mengetahui karakteristik pasien penderita eklamsia berdasarkan o Kelompok umur
o Paritas o Gravida
(21)
o Tingkat pendidikan o Usia Kehamilan
- Mengetahui frekuensi terjadinya DIC pada pasien-pasien eklamsia. - Mengetahui frekuensi mortalitas maternal pada pasien eklamsia
berdasarkan nilai skor DIC.
- Mengetahui perbandingan nilai skor DIC pada pasien eklamsia dengan DIC dan tanpa DIC.
- Frekuensi mortalitas maternal berdasarkan kejadian DIC pada pasien eklamsia.
1.4. Manfaat Penelitian
Data yang didapat nantinya diharapkan dapat mendukung sistem skoring DIC menurut ISTH untuk dapat digunakan secara rutin sebagai alat diagnostik DIC, terutama pada pasien-pasien eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan. Sehingga dapat mendukung tujuan untuk menurunkan angka mortalitas maternal di Indonesia pada umumnya dan di RSUP H. Adam Malik Medan pada khususnya.
(22)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Eklamsia
Eklamsia didefinisikan sebagai terjadinya kejang dan / atau koma yang tidak dapat dijelaskan selama kehamilan atau setelah melahirkan pada pasien dengan tanda dan gejala preeklamsia. Di dunia Barat, kejadian eklamsia dilaporkan berkisar 1 dalam 3.448 kehamilan. 1-3 insiden yang dilaporkan biasanya lebih tinggi di pusat-pusat rujukan tersier, pada kehamilan multifetal, dan pada populasi tanpa prenatal care.12,13,14
2.1.1. Patofisiologi
Patogenesis kejang pada eklamsia terus menjadi subyek penyelidikan dan spekulasi yang ekstensif. Beberapa teori dan mekanisme telah diimplikasikan sebagai faktor etiologi yang mungkin, namun tidak satupun yang terbukti secara meyakinkan. Beberapa mekanisme etiologi yang terlibat dalam patogenesis kejang pada eklamsia telah menyertakan vasokonstriksi serebral atau vasospasme ensefalopati hipertensi, edema serebral atau infark, pendarahan otak, dan ensefalopati metabolik. Namun, tidak jelas apakah temuan ini adalah penyebab atau efek dari kejang.14
2.1.2. Diagnosis
Diagnosis eklamsia dapat dipastikan dengan adanya hipertensi, proteinuria, dan kejang. Hipertensi dianggap sebagai ciri khas untuk diagnosis eklamsia. Hipertensi dapat menjadi berat (setidaknya 160 mm Hg sistolik dan / atau setidaknya
(23)
110 mm Hg diastolik) di 20-54% dari kasus atau ringan (tekanan darah sistolik antara 140 dan 160 mm Hg atau tekanan darah diastolik antara 90 dan 110 mm Hg) pada 30-60% dari kasus. Selain itu, hipertensi berat lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami eklamsia antepartum (58%) dan mereka yang mengalami eklamsia pada 32 minggu kehamilan atau sebelumnya (71%) .14
Diagnosis eklamsia biasanya dikaitkan dengan proteinuria (setidaknya +1 pada dipstick) . Beberapa gejala klinis berpotensi membantu dalam penegakan diagnosis eklamsia. Gejala-gejala ini dapat terjadi sebelum atau setelah onset kejang, termasuk diantaranya sakit kepala oksipital atau frontal terus-menerus, penglihatan kabur, fotofobia, nyeri epigastrium dan / atau kuadran kanan atas, dan perubahan status mental. Pasien akan memiliki setidaknya satu dari gejala ini pada 59-75% dari kasus. Sakit kepala dilaporkan oleh 50-75% pasien, sedangkan perubahan visual dilaporkan 19-32% dari pasien.14,15,16,17
2.1.3. Onset Terjadinya Eklamsia
Kejang eklamsia dapat terjadi antepartum, intrapartum, atau postpartum. Frekuensi kejang antepartum yang dilaporkan dari penelitian terbaru berkisar dari 38% menjadi 53%. Frekuensi eklamsia postpartum berkisar dari 11% menjadi 44% . Meskipun kebanyakan kasus eklamsia postpartum terjadi dalam 48 jam pertama, beberapa kasus dapat terjadi setelah 48 jam postpartum dan terdapat satu kasus yang dilaporkan pada 23 hari postpartum. Evaluasi neurologis luas diperlukan untuk menyingkirkan adanya patologi serebral lain. Evaluasi ini harus mencakup pemeriksaan neurologis, pencitraan otak, pengujian serebrovaskular, pungsi lumbal, dan tes darah. Hampir semua kasus (91%) eklamsia berkembang pada atau setelah 28 minggu. Kasus-kasus lainnya terjadi di antara minggu ke 21 dan 27 kehamilan
(24)
(7,5%) atau 20 minggu kehamilan (1,5%). Mereka juga harus memiliki evaluasi medis dan neurologis luas untuk menyingkirkan patologi lain seperti tumor otak, ensefalitis, meningitis, pendarahan otak atau tromboangitis otak, trombotik trombositopenia purpura, atau penyakit metabolik.14,17,18
Eklamsia postpartum lambat didefinisikan sebagai eklamsia yang terjadi pada lebih dari 48 jam, tapi kurang dari 4 minggu, setelah persalinan. Pasien akan memiliki tanda dan gejala yang konsisten dengan preeklamsia dengan disertai kejang. Beberapa wanita akan menunjukkan gambaran klinis preeklamsia selama persalinan atau segera setelah melahirkan (56%), sedangkan yang lain akan menunjukkan temuan klinis untuk pertama kalinya lebih dari 48 jam setelah melahirkan (44%). Maka, wanita yang mengalami kejang berhubungan dengan hipertensi dan/atau proteinuria atau dengan nyeri kepala atau pandangan kabur pada 48 jam setelah persalinan harus dipertimbangkan menderita eklamsia dan diberikan pengobatan yang sesuai.14,17,18
2.1.4. Patologi Serebral Pada Eklamsia
Penyebab eklamsia tidak diketahui, dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang patogenesis dari manifestasi serebralnya. Diagnosis eklamsia tidak tergantung pada temuan atau diagnosis neurologis klinis tunggal. Tanda-tanda neurologis fokal seperti hemiparesis atau penurunan kesadaran jarang terjadi seperti yang dilaporkan dari penelitian di negara-negara berkembang. Walaupun pasien eklamsia biasanya menunjukkan manifestasi berbagai kelainan neurologis, termasuk kebutaan kortikal, defisit motor fokal, dan koma. Sebagian besar dari mereka tidak menunjukkan defisit neurologis permanen. Kelainan
(25)
neurologis yang dijumpai biasanya hanya sementara hipoksia, iskemia, atau edema.19
Secara umum, EEG (electroencephalography) dijumpai abnormal dalam mayoritas pasien eklamsia, tetapi kelainan ini tidak patognomonis untuk eklamsia. Atas dasar temuan pencitraan otak, perhatian telah diarahkan untuk hipertensi ensefalopati sebagai model untuk kelainan sistem saraf pusat pada eklamsia. Ada kegagalan autoregulasi aliran darah serebral normal pada pasien dengan hipertensi ensefalopati dan pada pasien dengan eklamsia. Dua teori telah diusulkan untuk menjelaskan kelainan otak : dilatasi paksa dan vasospasme. Teori dilatasi paksa menunjukkan bahwa lesi pada eklamsia disebabkan oleh hilangnya autoregulasi serebrovaskular. Pada peningkatan tekanan arteri, vasokonstriksi serebral yang normal pada awalnya terjadi. Namun, ketika batas atas autoregulasi tercapai, vasodilatasi serebral mulai terjadi, memungkinkan hiperperfusi lokal dengan edema interstitial atau vasogenik. Menurut teori vasospasme, overregulasi otak terjadi sebagai respons terhadap hipertensi berat akut dengan iskemia yang dihasilkan, edema sitotoksik, dan infark. Singkatnya, sebagian besar wanita dengan eklamsia akan memiliki bukti edema vasogenik pada pencitraan otak. Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi ensefalopati memainkan peran sentral dalam patogenesis kejang pada eklamsia.14
2.1.5. Keluaran Maternal dan Perinatal
Meskipun eklamsia dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian ibu di negara maju (0-1.8%), tingkat mortalitas adalah setinggi 14% di negara berkembang. Angka kematian ibu yang tinggi yang dilaporkan dari negara-negara berkembang didapati terutama pada pasien yang mengalami kejang di luar rumah
(26)
sakit dan mereka yang tidak memeriksakan dirinya selama kehamilan. Selain itu, tingkat kematian yang tinggi dapat dikaitkan dengan kurangnya sumber daya dan fasilitas perawatan intensif yang dibutuhkan untuk mengelola komplikasi eklamsia.14
Risiko terbesar kematian ditemukan di antara wanita dengan kehamilan pada atau sebelum 28 minggu usia kehamilan. Kehamilan yang diperberat oleh eklamsia juga terkait dengan peningkatan angka morbiditas maternal, seperti solusio plasenta (7-10%), DIC (7-11%), edema paru (3-5%), gagal ginjal akut (5-9%), aspirasi pneumonia (2-3%), dan cardiopulmonary arrest (2-5%). Sindrom gangguan pernapasan dewasa dan perdarahan intraserebral adalah komplikasi yang jarang ditemui. Risiko DIC (8%), hemolisis, peningkatan enzim hati, HELLP syndrome (10-15%), dan hematoma hati (1%) adalah serupa pada pasien eklamsia dan preeklamsia berat. Penting untuk dicatat bahwa komplikasi maternal secara signifikan lebih tinggi di antara perempuan yang mengalami eklamsia antepartum, khususnya di antara mereka yang mengalami eklamsia jauh dari aterm.12,14,19
2.2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 2.2.1. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindroma klinis yang ditandai dengan aktivasi sitemik dari kaskade koagulasi secara terus menerus yang mengarah pada pembentukan trombus intravaskular (berdampak pada suplai darah ke berbagai organ) dan menurunnya trombosit dan faktor koagulasi (menyebabkan perdarahan).20
Kitchens (2009) menyatakan bahwa DIC merupakan karakteristik yang terjadi akibat aktivasi sistemik pembekuan intravaskular. DIC merupakan hasil fisiologis dari keadaan overstimulasi sistem pembekuan yang patologis.21
(27)
2.2.2. Insidensi
Pada kasus kasus obstetri, seperti abrupsi plasenta dan emboli air ketuban, DIC terjadi pada lebih dari 50% kasus. Pada keadaan preeklamsi berat DIC terjadi
pada 7% pasien.20
2.2.3. Patogenesis DIC
Patogenesis DIC sangat kompleks dan terpusat pada pembentukan trombin secara in vivo. Komponen yang ikut berperan termasuk meningkatnya ekspresi dari tissue factor, fungsi suboptimal sistem alami antikoagulan, disregulasi fibrinolisis dan
peningkatan kemampuan anionic phospholipid.22,23
(28)
2.2.3.1. Terjadinya keadaan Hipertrombinemia
Hal ini menunjukkan bahwa tissue factor (TF) pathway, lebih berperan dari
pada contact factor pathway, dalam terciptanya suatu keadaan hipertrombinemia
pada DIC, hal ini terlihat dalam suatu model eksperimental human endotoxemia. Dalam keadaan endotoxin-induced DIC, peningkatan mediator tumor necrosis factor (TNF) dan pelepasan interleukin (IL)-6 tidak menunjukkan perubahan apapun pada contact system. Secara kontras, blokade TF/factor VIIa pathway memakai antibodi monoclonal TF yang secara langsung menghambat pembentukan trombin dan mencegah munculnya onset DIC. Aktivasi TF pathway bisa disebabkan oleh
kerusakan jaringan, yang terjadi akibat trauma berat, septikemia atau kanker.22
Trauma yang berat, merangsang pelepasan fospolipid jaringan, hal ini akan mengaktivasi kaskade pembekuan. Sekali dikeluarkan, kompleks TF dan faktor VII, akan diaktivasi oleh faktor Xa membentuk kompleks TF/VIIa. Kompleks TF/VIIa mengaktifkan faktor IX dan X, menyebabkan pembentukan trombin. Trombin memiliki peranan penting untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Trombin lalu mengaktifkan faktor V menjadi Va dan faktor VIII menjadi VIIIa, yang secara cepat
memacu pembentukan trombin.22
2.2.3.2. Aktivasi Antikoagulan Physiologic
Secara normal, kadar trombin diatur oleh anticoagulants antithrombin alami, protein C, dan TF pathway inhibitor (TFPI). Antitrombin dan protein C cenderung menurun dalam keadaan DIC. Kadar Antitrombin bisa menjadi lebih rendah akibat pemakaian untuk mengurangi trombin. Sebagai tambahan, interaksi pelepasan elastase dengan pelepasan neutrofil dalam keadaan septikemia, dan anoksia hepar yang terjadi mengakibatkan penurunan kadar antitrombin. Kadar C, salah satu
(29)
inhibitor penting lainnya, juga dapat menurun hal ini berhubungan dengan kebocoran kapiler, berkurangnya sintesis akibat rusaknya hepar, dan/ atau pengurangan jumlah trombomodulin di permukaan pembuluh darah (down-regulation). Hal ini terjadi
karena pelepasan TNF-α dan pro-inflammatory cytokines lainnya.23
2.2.3.3. Pengaruh Fibrinolisis pada kejadian DIC
Suatu penelitian eksperimental terhadap DIC yang disebabkan sepsis menunjukkan peningkatan aktivitas fibrinolitik akibat pelepasan tissue plasminogen activator (TPA) dari sel endotel. Hiperfibrinolisis yang terjadi diikuti oleh pelepasan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) secara cepat, hal ini akan menekan fibrinolisis, yang memiliki peran penting dalam patogenesis DIC. Mutasi dari fungsional gen PAI-1 (4G/5G polymorphism) juga terjadi pada DIC. Mutasi ini
(30)
2.2.3.4. Aktivasi dan Pelepasan Inflammatory Cytokines dalam patogenesis DIC
Hal ini membuktikan bahwa aktivasi sistem pembekuan yang secara tidak langsung memicu kaskade inflamasi, karenanya hal ini secara bergantian memicu sintesis pro-inflammatory cytokines sel endothelial. Cytokines dan mediator inflamasi lainnya akan mengawali proses koagulasi. Inflammatory cytokine thrombin dan serine protease lainnya berikatan dengan protease-activated receptors pada permukaan sel, hal ini akan merangsang terjadinya inflamasi dan pembekuan. Activated protein C (APC) telah diakui sebagai mediator respon anti inflamasi.
Respon ini didapatkan dengan penghambatan produksi TNF, IL-1β, IL-6, and IL-8
oleh endotoksin yang terbentuk. Karenanya, berkurangnya kadar protein C dapat memicu bahkan menimbulkan suatu pro-inflammatory state, yang menimbulkan
reaksi koagulasi.23
Kebanyakan pasien DIC terdiagnosa lalu diterapi pada fase trombotik, dan telah terjadi perdarahan (hipokoagulabilitas) pada kasus DIC akut maupun kronis. Perdarahan hebat pada pasien DIC selalu terjadi setelah prosedur pencabutan gigi, operasi panggul, aneurisma aorta, leukemia , dan penyakit lainnya. Perdarahan akut
yang hebat bisa terjadi pada pasien usia tua yang menderita DIC kronis.23
DIC, bisa juga digambarkan sebagai dua fase fenomena trombohemoragik, keadaan trombosis terkadang memicu perdarahan. Kondisi klinis yang mendasari keadaan DIC dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas akibat aktivasi kaskade koagulasi dengan penurunan antikoagulasi alami, pembentukan pro-inflammatory cytokines, dan abnormalitas fibrinolytic pathway. Status hiperkoagulasi, jika berlanjut, dapat menurunkan faktor pembekuan dan jumlah trombosit karena
(31)
penggunaan, dan terkadang memicu terjadinya gangguan perdarahan (consumptive coagulopathy).23
DIC akut hanya terjadi jika mekanisme kompensasi hemostasis yang normal terjadi berlebihan. Aktivasi trombosit secara langsung pada keadaan septikemi dan viremia. Aktivasi trombosit terjadi karena kerusakan endotel pembuluh darah diikuti dengan pembentukan trombin melalui kaskade koagulasi. Kombinasi dari defisiensi faktor koagulasi, trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit, dan terhambatnya aksi dari peningkatan FDPs (Fibrin Degragation Products), menimbulkan
kecenderungan untuk terjadinya perdarahan yang luas dan terus menerus.20
DIC kronik atau yang sudah berkompensasi merupakan hasil dari stimulasi yang lemah atau pun berkurang. Pada beberapa pasien, penghancuran dan
timbulnya faktor koagulasi dan jumlah trombosit masih seimbang. 20
2.2.4. DIC yang terkait dengan kejadian preklamsia, eklamsia, dan HELLP sindrom 6,20
Preklamsia, eklamsia, dan HELLP sindrom sepertinya merupakan keadaan progresif dari proses patofisiologi yang sama. Sayangnya, patofisiologinya sendiri juga belum jelas. Hal ini semakin tidak jelas untuk proses kerusakan endotel yang dapat mengaktivasi protein prokoagulan dan trombosit atau mungkin saja kerusakan ini diawali oleh gangguan prokoagulan dan trombosit yang pada akhirnya akan menghancurkan endotel; hal terakhir ini adalah keadaan yang lebih sering terjadi. Jika seorang wanita mengalami eklamsia, kemungkinan wanita tersebut untuk mengalami trombositopenia secara khusus adalah 18%, dan kemungkinan untuk mengalami DIC sekitar 11%, dan untuk mengalami HELLP sindrom adalah sekitar 15%. Wanita dengan preeklamsia-eklamsia yang mengalami gangguan koagulasi
(32)
(trombositopenia, HELLP, atau DIC) , memiliki angka kematian sekitar 16% sampai 50%, angka kematian bayi mencapai 40% bahkan lebih.6
Sekitar 16% preeklamsia dan eklamsia akan mengalami solusio plasenta, yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya DIC dan kematian ibu dan janin. Pada kasus eklamsia DIC terjadi terbatas pada mikrosirkulasi ginjal dan plasenta, walaupun begitu setidaknya 10%-15% wanita akan berkembang menjadi sistemik dan luas.6
2.2.5. DIC yang terkait dengan kejadian Emboli Air Ketuban
Air ketuban mengandung struktur dengan aktivitas menyerupai tromboplastin dalam jumlah tinggi, aktivitas prokoagulan ini meningkat seiring usia kehamilan. Air ketuban juga memiliki aktifitas antifibrinolitik yang relatif kuat, seperti penghambatan sistem fibrinolitik, aktifitas antifibrinolitik dari air ketuban ini juga meningkat seiring kehamilan. Penghambatan fibrinolitik merupakan faktor predisposisi pasien DIC untuk megalami fenomena trombotik yang luas karena penghambatan atau penghentian respon fibrinolitik sekunder yang terjadi pada pasien DIC. Respon fibrinolitik sekunder yang terjadi pada pasien DIC bertanggung jawab untuk proses perdarahan akibat penghancuran plasmin oleh beberapa faktor pembekuan yang juga menjaga sirkulasi tetap bebas dari bekuan darah (trombi).
Tidak diketahui apakah air ketuban memiliki efek langsung terhadap pembuluh darah, atau efek ini terjadi akibat aktivasi dari prokoagulan dan trombosit. Endothelin-1, vasokonstriktor dan bronkokonstriktor, tampaknya dilepaskan secara sistemik dari skuamous sel pembuluh darah janin dan mungkin menambah
(33)
Aktivitas prokoagulan yang terkait dengan rasio lecithin/sphingomyelin (L/S) air ketuban selama kehamilan. Air ketuban secara invitro akan meningkatkan prothrombin time, aktivasi thromboplastin time parsial, the Russell's viper venom time, dan menurunnya kadar faktor VII dalam plasma. Karenanya, fungsi air ketuban sebagai total tromboplastin dan sebagai suatu pengganti aktivasi Tissue Factor. Air ketuban mengaktivasi sistem prokoagulan secara langsung dengan aktivasi faktor X, dengan ion kalsium dan faktor Xa. Faktor Xa adalah salah satu substansi trombogenik yang telah diketahui. Faktor Xa, berperan dalam munculnya faktor V dan sebagai penambahan fosfolipid (termasuk di permukaan air ketuban dan trombosit), secara cepat akan mempengaruhi perubahan protrombin menjadi trombin. Sekali trombin terbentuk, fibrinogen akan diubah menjadi fibrin. Pasien yang mengalami emboli air ketuban akan mengalami pembentukan platelet-fibrin mikrotrombi yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan pulmoner. Sindroma DIC
dihubungkan dengan trombosis mikrosirkuler, tromboembolisme, dan perdarahan.6,24
2.2.6. DIC yang terkait dengan kejadian Solusio Plasenta
Pada solusio plasenta yang terjadi adalah enzim plasenta atau enzim jaringan, termasuk prokoagulan dan struktur yang menyerupai tromboplastin, mungkin masuk ke dalam uterus lalu beredar ke aliran darah ibu, dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mempercepat proses kelahiran dapat menekan berkembangnya proses DIC, dan jarang sekali membutuhkan terapi lainnya.3,6
(34)
Kematian Janin Dalam Kandungan yang berlangsung lama (Retained fetus syndrome)
Pada kasus sindroma kematian janin dalam kandungan yang lebih dari 5 minggu, kejadian DIC mendekati 50%. Kondisi awal biasanya DIC ringan yang terkompensasi, yang lalu akan berkembang menjadi thrombohemorrhagic yang luas. Pada keadaan ini jaringan nekrotik dari janin termasuk enzim yang terbentuk dari jaringan nekrotik janin, masuk kedalam uterus lalu masuk ke sirkulasi ibu lalu secara berlawanan mengaktivasi prokoagulan dan sistem fibrinolitik dan memicu DIC yang hebat.6
Pada beberapa wanita, sindroma DIC muncul setelah persalinan. Patofisiologinya belum diketahui secara pasti tetapi diduga dari tidak baiknya vaskularisasi plasenta terjadinya iskemi plasenta akan menyebabkan pelepasan thromboxanes, angiotension, procoagulant prostaglandins, endothelin-1 and tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) kedalam sirkulasi sistemik. Munculnya DIC mengawali terjadinya mikro dan makrotrombi, yang akan mempengaruhi sirkulasi plasenta, ovarium, ginjal, hepar, dan serebral. Trombus yang terbentuk akan menyebabkan kerusakan endotel, microangiopathic hemolytic anemia, dan berbagai derajat kegagalan organ yang terkena trombus. Kegagalan end-organ termasuk hati, ginjal, dan paru, edema atau infark serebri. Ruptur hepar merupakan hal yang bisa terjadi sewaktu-waktu bahkan dalam keadaan HELLP sindrom.6
Seperti yang telah dibahas dalam penatalaksanaan preklamsia, pemeriksaan laboratorium awal untuk DIC sangat disarankan. Terapi biasanya dengan mempercepat pelahiran, kontrol tekanan darah dan kontrol DIC, banyak yang menunjukkan manfaat penggunaan steroid, plasma exchange atau plasmapheresis ,
(35)
yang terbukti baik pada beberapa kasus. Kematian ibu biasanya terjadi akibat DIC yang tidak terkontrol.6
Abortus
Beberapa pasien yang di abortus, dengan pemakaian larutan saline, mengalami DIC. Pada beberapa kasus bahkan menjadi DIC yang hebat dan pada
kasus DIC ini terkompensasi sampai proses aborsi selesai.3,6
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dalam menegakkan diagnosa dan untuk mengevaluasi pasien DIC, untuk melihat perubahan fungsi hemostasis dan untuk menilai kondisi pasien secara keseluruhan. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah skreening fungsi hemostasis, seperti prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) atau jumlah trombosit, hasilnya akan menunjukkan derajat penggunaan dan aktivasi faktor koagulasi. Sebagai tambahan, pembentukan
fibrin secara tidak langsung terpicu sebagai hasil penghancuran faktor koagulasi.11
2.2.7. Menegakkan Diagnosa DIC
Diagnosa utama : tidak ada pemeriksaan tunggal untuk penegakan diagnosa
DIC. DIC adalah hasil dari kombinasi keadaan berikut ini :
• Riwayat gangguan perdarahan, biasanya merupakan hasil sekunder untuk beberapa kasus.
• Bukti klinis dari perdarahan yang dengan gambaran purpura ptechie dan mimisan pada pemeriksaan fisik.
• Gambaran laboratorium yang klasik berupa trombositopenia (<100 x109/L),
pemanjangan PT (thrombin time), APTT (activated partial thromboplastin time),
(36)
2.2.7.1. Pemeriksaan Fisik
Dapat dilihat adanya perdarahan pada kulit seperti ptechie, ekimosis, dari bekas suntikan atau tempat infus, atau pada mukosa, sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini bisa juga masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat, atau mata. Pasien dengan DIC kronik
umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa.25
Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral, dan gangren. Trombosis vena dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa iskemia korteks ginjal, hipo1ksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus dilaporkan terdapat pada
22-57% pasien dengan DIC.25
2.2.7.2. Diagnosa laboratorium
Pada DIC akut sangat penting untuk mengetahui gambaran hasil laboratorium yang abnormal secara cepat dan akurat, sehingga kita dapat memberikan terapi yang tepat. Keadaan hemostasis abnormal yang paling penting adalah pemanjangan thrombin time, hipofibrinogenemia, dan trombositopenia. Kadar fibrinogen di bawah
100 x109/L, dan pemanjangan thrombin time melebihi dua kali nilai kontrol sudah
dapat menegakkan diagnosa, terutama bila dijumpai perdarahan secara nyata.2,27
- Pemeriksaan Laboratorium
(A) Pemeriksaan darah rutin : hasil hapusan darah yang menunjukkan adanya schistocytosis pada 50% kasus. Bukti intravaskular hemolisis lainnya juga dijumpai,
(37)
seperti peningkatan kadar serum lactic acid dehydrogenase (LDH) dan berkurangnya kadar heptoglobin. Trombositopenia merupakan tanda awal yang
selalu dijumpai pada DIC akut jumlah trombosit berkisar antara 50 sampai 1009/L
trombositopenia yang terjadi mungkin hebat.27
(B) gangguan koagulasi. Activated partial thromboplastin time (APTT), Prothrombin
time (PT), Thrombin time (TT) memanjang pada sebagian besar pasien DIC akut. Pada awal gangguan dan DIC kronis, nilai APTT kemungkinan normal atau bahkan lebih singkat dibanding nilai normalnya. Kadar fibrinogen dalam plasma dan kadar faktor V dan XIII biasanya tampak menurun; fibrinogen dan faktor V biasanya akan berubah secara bersamaan. Pada sebagian besar pasien terutama yang mengalami solusio plasenta, kadar protrombin biasanya akan tetap normal, tetapi gambaran hipoprotrombinemia akan terlihat pada keadaan sepsis. Pada pasien DIC kronis,
defisiensi protrombin jarang dijumpai, tetapi faktor X akan menurun jumlahnya.27
(C) Pemeriksan fibrinolisis: Aktivitas fibrinolitik menyebabkan peningkatan kadar
kompleks fibrin dan kadar FDPs dalam sirkulasi. Kadar di atas 100 μg/ml biasanya
dijumpai pada keadaan DIC akut (nilai normal <10 μg/ml). Immunological assays
untuk pemeriksaan antibodi monoklonal terhadap D-dimer lebih spesifik dibanding dengan pemeriksaan umum lainnya. Hasil false positive bisa dijumpai pada FDPs. Pemeriksaan FDPs tidak bisa untuk mendiagnosa DIC, karena kadarnya meningkat pada 85-100% pasien. Pemeriksaan kadar D-dimer lebih spesifik dalam mendiagnosa DIC, terutama untuk membedakan antara koagulopati akibat penyakit
(38)
Bed side tests : Bed side tests yang dilakukan untuk mengevaluasi gangguan pembekuan darah, dapat memberikan banyak informasi yang membantu dalam menghadapi masalah yang terjadi. Bed side tests yang mungkin dilakukan adalah: i. Bleeding time ii. Clotting time, iii. Clot observation (Weiber) test. iv. Serial clot lysis test v. blood film. Test penyaring : hitung jumlah trombosit (menurun), Bleeding time
(meningkat), Prothrombin time (meningkat), APTT (bisa jadi menigkat), Thrombin
time (meningkat), morfologi sel darah merah (schistocytes & microspherocytes).27
2.2.7.3. Pemeriksaan untuk koagulasi:1
Pemeriksaan Nilai Normal Alat Ukur
Waktu Perdarahan 3-10 menit Jumlah trombosit,
integritas vaskular
Hitung Trombosit 150.000-400.000 /mm3
Waktu Protrombin 12-14 detik Faktor I,II,V,VII,X
Partial Tromboplastin time 25-35 detik Faktor I,II,V,VIII,IX,X,XI,XII
Thrombin time (TT) 12-20 detik Faktor I,II
Fibrinogen 200-400 mg/dl
Fibrin degradation products (FDP)
<4 mcg/ml
(39)
2.2.9. Kaskade Koagulasi dan Fibrinolisis 7
Hal yang terpenting dalam menegakkan diagnosis DIC adalah sistem skoring yang berdasarkan pengujian yang dapat dilakukan dengan cepat serta siap untuk digunakan. Sistem skoring ini akan memungkinkan penegakan diagnosa lebih baik dan menjadi standar referensi untuk keperluan diagnostik maupun terapeutik. Untuk overt DIC, disarankan untuk menggunakan skor kumulatif 5 atau lebih dari
(40)
Prothrombin Time (PT) yang memanjang, kadar fibrinogen dan trombosit yang berkurang, serta meningkatnya marker-marker yang terkait fibrin. 7
Bakhtiari et al (2004) menemukan sensitivitas sebesar 91% dan spesifisitas sebesar 97% dengan skor DIC menurut International Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH).8 Sehubungan dengan relevansi terapeutik, analisa retrospektif dari dua penelitian tentang sepsis, menggunakan data yang tidak disertai kadar fibrinogen, mendapatkan hasil yang menggarisbawahi kekuatan prognostik skor DIC menurut ISTH.9,10
Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.12,27
Penilaian resiko
- Jika YA : Lanjutkan
: Apakah pasien memiliki penyakit penyerta yang berhubungan
dengan overt DIC ?
- Jika TIDAK : jangan gunakan algoritma ini
Lakukan tes koagulasi global (PT, jumlah trombosit, fibrinogen, marker yang terkait fibrin)
• Jumlah trombosit (>100 · 109/l = 0, <100 · 109/l = 1, <50 · 109/l = 2) Beri skor hasil tes
• Peningkatan marker fibrin (contoh : D-dimer, produk degradasi fibrin) (tanpa peningkatan = 0, peningkatan moderat = 2, peningkatan bermakna = 3)
Kriteria peningkatan D-Dimer :
- Tanpa peningkatan (<0,5 µg/ml)
24,25
- Peningkatan moderat (0,5-8,2 µg/ml)
- Peningkatan bermakna (>8,2 µg/ml)
• PT yang memanjang (<3 detik = 0, 3 - 6 detik = 1, >6 detik = 2) • Kadar fibrinogen (≥1 g/l = 0, <1 g/l = 1)
Hitung jumlah skor
≥ 5 sesuai dengan overt DIC: Ulangi skoring setiap hari
:
(41)
2.2.10. Tatalaksana
DIC merupakan hasil akhir dari penyakit yang mendasari. Penggantian faktor koagulasi yang berkurang dan penggantian trombosit sangat mempengaruhi keadaan pasien DIC, tetapi penyembuhan sindroma ini tergantung pada terapi penyakit primernya. Kondisi DIC, walaupun terselubung, dapat menyebabkan perdarahan yang mematikan, dan membutuhkan penatalaksanaan gawat darurat.20,23
Hal ini mencakup :
I. Deteksi dan eliminasi kasus primernya : ini merupakan dasar dari penatalaksanaan DIC. Menemukan penyebab utama dan berusaha untuk
memperbaiki keadaan tersebut dengan segera.20
II. Tindakan suportif : tindakan untuk mengontrol gejala terberat, seperti perdarahan
atau trombosis.20
III. Regimen Pengganti dan Profilaktik :
Pencegahan berulangnya DIC kronis. Penatalaksanaan sangat bervariasi tergantung pada keadaan klinisnya. Pada pasien dengan komplikasi obstetri seperti solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, atau sepsis akut akibat bakteri, penyakit dasarnya cukup mudah untuk diatasi, melahirkan bayi dan
plasenta atau pemberian antibiotik yang tepat dapat menurunkan sindroma DIC.20
DIC derajat ringan dan sedang mungkin tidak akan menyebabkan perdarahan, umumnya cukup di observasi tanpa pengobatan lebih lanjut. Kondisi ini tidak akan hilang sampai faktor pencetusnya dihilangkan, pasien DIC cenderung
(42)
Terapi suportif diberikan untuk mengatasi keadaan shock, asidosis, dan iskemi jaringan. Bantuan untuk kardiopulmoner, seperti inotropik, pemakaian darah, ventilasi yang baik, harus didapatkan pasien di kamar persalinan. Perfusi jaringan dan fungsi pernafasan harus dijaga dengan pemberian cairan intravena dan
pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksia.23
Suntikan antibiotik diberikan sesegera mungkin jika dicurigai ada infeksi bakteri. Pemantauan janin, pencatatan balans cairan ibu, dan pemeriksaan parameter koagulasi secara serial sangat diperlukan. Pasien terkadang membutuhkan komponen darah untuk menggantikan faktor koagulasi yang berkurang, trombosit dan inhibitor trombin alami dan plasmin dengan tujuan
mengurangi perdarahan, sementara penyebab utama sedang diperbaiki.20,23
Pasien dengan keadaan kritis mungkin mengalami koagulopati, karena defisiensi vitamin K. Pemberian 10 mg vitamin K dilakukan dalam dua hari sebelum koagulopati menyebabkan DIC. Pasien DIC juga bisa mengalami defisiensi vitamin K karena peningkatan penggunaan, pemberian vitamin K untuk semua pasien yang diduga DIC akan memenuhi kebutuhan terhadap vitamin K. Beberapa dokter juga akan memberikan asam folat untuk mencegah terjadinya defisiensi folat yang akut
yang akan mempengaruhi pembentukan trombosit.20,23
Kelahiran pervaginam jika mungkin dilakukan tanpa tindakan episiotomi, hal ini lebih baik dibandingkan persalinan secara seksio sesarea. Terjadinya koagulopati beberapa jam setelah persalinan menunjukkan keadaan sepsis, gangguan hati, sisa
hasil konsepsi, atau gangguan koagulasi kongenital.20,23
Pasien yang awalnya mengalami DIC ringan dan tanpa gejala mungkin akan mulai berdarah setelah tindakan pembedahan. Contohnya pasien dengan DIC ringan tanpa perdarahan klinis, tercatat setelah mengalami abortus menggunakan
(43)
salin atau prostaglandin. Terapi profilaksis menggunakan heparin akan mencegah berkambangnya sindroma DIC ringan dan pada beberapa pasien dengan kematian janin dalam kandungan yang membutuhkan tindakan pengeluaran janin secara operasi. Kebanyakan pasien dengan DIC derajat ringan dapat di tangani dengan
pemberian plasma dan trombosit tanpa pemberian heparin.20,23
2.2.10.1. Pemberian Obat - obatan
Untuk DIC yang terjadi pada kehamilan tujuan pertama adalah mengenali komplikasi obstetrinya. Jika hal ini telah diatasi, maka DIC bisa dicegah. Terapi
tambahan yang khusus diberikan jika dijumpai gangguan pembekuan.6,20
Terapi harus berdasarkan etiologi dan ditujukan untuk mengatasi penyakit utama. Terapi juga harus disesuaikan dengan usia, penyakit, keparahan, dan lokasi
dari perdarahan/trombosis.20
Terapi DIC akut mencakup antikoagulan, komponen darah dan antifibrinolitiks. Parameter haemostasis dan koagulasi harus dinilai secara berkesinambungan selama penatalaksanaan. Dasar terapi tergantung pada kondisi
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap haemostasis.23
(A) Komponen darah : komponen darah digunakan untuk mengatasi parameter hemostatik yang abnormal. Produk ini hanya diberikan setelah terapi awal dan pemberian antikoagulan.
i) Packed red blood cells (washed) : lebih disukai dari pada whole blood karena volume nya lebih sedikit, komplikasi imun yang kecil dan cara penyimpanan yang mudah. Satu unit PRC akan meningkatkan haemoglobin sekitar 1g/dl atau meningkatkan hematokrit sekitar 3%.
(44)
ii) Platelet Konsentrat : Pasien DIC, yang mengalami perdarahan dengan
jumlah trombosit kurang dari 50x109/ L, harus mendapatkan transfusi trombosit.
Pasien DIC mungkin membutuhkan jumlah trombosit yang lebih tinggi untuk mendapatkan proses haemostasis yang adekuat, pasien dengan keadaan trombositopenia tanpa gangguan fungsi trombosit (keadaan trombositopenia sendiri
juga membutuhkan transfusi trombosit jika jumlah trombosit kurang dari 20x109/L).
Secara umum trombosit diberikan jika jumlah trombosit kurang dari 50x109/l, dengan perdarahan aktif. Dan trombosit diberikan jika terjadi perdarahan hebat setelah transfusi menggunakan darah yang telah disimpan lama. Batasan yang lebih rendah (<30x109/l) dipakai jika tidak ada perdarahan aktif. Tidak ada pernyataan tentang pemberian faktor pembekuan seperti plasma jika tidak terdapat perdarahan.30
iii) Fresh Frozen Plasma (FFP): FFP mengandung semua faktor koagulasi dan inhibitornya, ATIII dan protein-C. 4 sampai 5 units FFP diberikan dengan tetesan
cepat. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) (10-20ml/kg) cukup bermanfaat pada
keadaan perdarahan aktif dan dijumpai pemanjangan PT dan aPTT, jika pemberian FFP tidak mungkin dilakukan akibat adanya kelebihan cairan, pemberian Prothrombin Complex Concentrate (PCC) (25–30 U/kg)) dapat dipertimbangkan.21
iv) Cryoprecipitate: mengandung faktor VIIIc, vWF, fibrinogen, fibronectin dan sejumlah faktor XIII. Cryoprecipitate diberikan untuk meningkatkan kadar fibrinogen plasma mendekati 100-150 mg/dl. Sebagai panduan, 3 g fibrinogen diharapkan menigkatkan kadar dalam plasma mendekati 100 mg/dl.
(45)
Penggantian fibrinogen harus disertai dengan cryoprecipitate. Setiap unit cryoprecipitate mengandung sekitar 200 mg fibrinogen.
Tabel 1. Terapi Pengganti untuk pasien dengan gejala DIC.20
B) Antikoagulan
DIC harus ditatalaksana berdasarkan penyakit yang mendasarinya, yang mungkin saja membutuhkan tindakan operasi maupun tidak, terapi antibiotik, pemberian produk darah, terapi cairan, dan evakuasi uterus. Terapi suportif antikoagulan diberikan untuk mengatasi gangguan koagulasi. Terapi yang diberikan adalah heparin (bekerja sebagai anti trombin dan menghambat aktivasi Faktor X), atau low molecular weight heparin (LMWH), danaparoid sodium, synthetic protease inhibitor, antitrombin, human recombinant activated protein C, recombinant activated factor VIIa, recombinant human soluble thrombomodulin, dan recombinant tissue factor pathway inhibitor.5,21,23
(46)
Antikoagulan digunakan untuk menterapi keadaan trombosis intravaskular jika perdarahan terus berlanjut atau pembekuan 4-6 jam setelah permulaan dari suportif terapi.22
i) Heparin: Heparin telah digunakan untuk terapi DIC pada kasus kematian janin dalam kandungan, akibat aktivasi proses pembekuan. Walaupun efektifitas terapi ini belum terbukti, tetapi dijumpai hasil yang bermanfaat. Ada beberapa laporan tentang perbaikan hasil laboratorium yang sebelumnya terganggu, setelah pemberian heparin. Tetapi hasilnya secara klinis tidak dapat dipastikan. Heparin tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami perdarahan atau yang memiliki rsiko tinggi untuk mengalami perdarahan.
Penggunaan heparin dalam terapi perdarahan masih kontroversial. Walaupun cukup logis untuk menekan pembentukan trombin dan mencegah penggunaan protein pembekuan, hal ini harus diberikan pada pasien yang mengalami trombosis
atau terus mengalami perdarahan setelah pemberian plasma dan trombosit.23
Indikasi pemberian heparin dan dosisnya tidak memiliki ketentuan. Tidak ada bukti bahwa pemberian heparin akan menurunkan angka kematian dan kesakitan pada DIC akut. Heparin mungkin tidak efektif karena tetap diperlukan antitrombin-III untuk aktifitas antikoagulan, anti trombin-III biasanya menurun pada keadaan DIC. Keadaan DIC yang terkait dengan kehamilan heparin terbukti bermanfaat. Pada kematian janin dalam kandungan dengan sistem vaskuler yang utuh, heparin diberikan untuk menghentikan proses koagulasi dan trombositopenia selama
beberapa hari sampai proses pelahiran yang aman memungkinkan.21
ii) Low molecular weight-heparin: komponen ini banyak dipakai dalam kehamilan karena regimen pemberian yang disukai dan tidak butuh pengawasan
(47)
ketat dan resiko rendah terhadap perdarahan, trombositopenia dan osteoporosis.
Antitrombin III dan Protein-C juga komponen yang menjanjikan.23
iii) Antitrombin: adalah salah satu konsentrat faktor antikoagulasi, yang digunakan sebagai terapi tunggal pada satu kasus DIC obstetri dengan kadar antitrombin kurang dari 70%. Pada suatu randomized controlled trial, konsentrat antitrombin atau plasebo diberikan kepada pasien preeklamsi berat (1500 U/hari selama 7 hari) disertai pemberian unfractionated heparin. Perbaikan skor biofisikal profil dan parameter koagulasi jelas terlihat pada kelompok yang diberikan antitrombin, dan tidak dijumpai efek samping. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan kebenaran hal ini.20
Penggunaan konsentrat antitrombin cukup logis dalam penatalaksanaan DIC karena secara efektif dapat menghambat trombin. Efikasi antitrombin masih diragukan dalam penatalaksanaan DIC. Beberapa percobaan terhadap manusia menunjukkan manfaat, tetapi suatu multicenter randomized trial yang besar tidak menunjukkan penurunan kematian pasien sepsis yang diberikan konsentrat antitrombin. Kienast dan kawan kawan, telah melaporkan pemberian anti trombin dosis tinggi tanpa heparin dapat menurunkan kematian pada pasien DIC akibat
sespsis. Penelitian ini masih butuh penelitian lebih lanjut untuk pembuktian.23
2.2.10.2. Tatalaksana Perdarahan pada DIC
Pasien DIC dengan kadar trombosit dan faktor pembekuan yang rendah dan menunjukkan perdarahan harus mendapatkan terapi tambahan. Terapi tambahan yang bisa diberikan adalah pemberian FFP, cryoprecipitate, dan trombosit (bila diperlukan). Para klinisi dianjurkan untuk berhati- hati dalam memakai FFP untuk
(48)
pasien DIC, karena pemberian FFP dapat menyebabkan secara berlebihan dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif. Status pulmoner pasien yang
mendapatkan FFP harus benar benar di awasi.23
Protein C pada DIC
Activated Protein C (APC) menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, hal ini akan menurunkan pembentukan trombin. APC juga bekerja sama dengan Plasminogen Activator Inhibitor (PAI), menstimulasi fibrinolisis. Protein C lebih sedikit dalam kondisi DIC, penambahan antikoagulasi alami ini dianggap bermanfaat. Percobaan tahap III untuk konsentrat APC pada pasien sepsis dihentikan lebih dini karena efikasinya dalam menurunkan angka kematian. Kematian yang terjadi dari seluruh kasus setelah 28 hari adalah 24,7% dalam grup APC dibandingkan 30.8% pada
kontrol (penurunan resiko relatif 19.4%). 23
Recombinant human APC disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) dan the European Community untuk penatalaksanaan pasien sepsis berat. Penelitian pada tahun 2002 membandingkan efikasi APC dibandingkan heparin pada 132 pasien DIC, didapatkan bahwa APC dosis rendah lebih efektif dibandingkan heparin dalam mengatasi perdarahan akibat DIC, tetapi terdapat
sedikit perbedaan dalam disfungsi organ yang terjadi pada kasus DIC.23
Tissue Factor Pathway Inhibitor (TPFI)
TF (Tissue Factor) mengaktifkan faktor VII dan IX secara bersamaan mengaktivasinya dan memulai pembekuan. TFPI memiliki kemampuan berikatan dengan TF dan faktor VIIa dan Xa. Sebagai hasilnya, TFPI menghambat pembentukan trombin dari protrombin, dan mungkin berguna pada penatalaksanaan
(49)
trombosis pada kasus DIC. Penelitian random tahap II terhadap rekombinan TFPI (rTFPI; tifacogin [Chiron]) dibandingkan plasebo menunjukkan kecenderungan penurunan kompleks trombin-antitrombin dan kadar IL-6. Penelitian random tahap III dari efikasi rTFPI dibandingkan plasebo pada pasien sepsis menunjukkan rTFPI meningkat seiring dengan resiko perdarahan. Penurunan angka kematian terkait dengan nilai international normalized ratio (INR) adalah semakin rendah INR maka semakin rendah juga angka kematiannya, dan tidak ada perbedaan untuk pasien
dengan kadar INR yang tinggi.23
(C) Antifibrinolitik agents: penggunaan antifibrinolitik hanya diberikan setelah semua jenis terapi telah dicoba dan tampak tidak berhasil. Secara teori, epsilon-aminocaproic acid (EACA) dan agen antifibrinolitik (Tranexamic acid) menghilangkan pembentukan antagonis terbesar dari fibrin intravaskular, dan pada kasus DIC yang benar-benar tercatat, penggunaan antifibrinolitik justru menimbulkan komplikasi
tromboemboli yang hebat bahkan mematikan.21
Agen antifibrinolitik, seperti, tranexamic acid dan epsilon aminocaproic acid,
jarang dipakai sebagai penatalaksanaan DIC. Pengecualiannya terlihat pada kasus dengan perdarahan dimana kadar fibrinolisis meningkat (contoh, beberapa kasus dari kanker prostat, acute promyelocytic leukemias). Jika diperlukan, antifibrinolisis diberikan untuk mengontrol perdarahan, dan dijumpai fibrinolisis yang hebat, pemberian antifibrinolitik harus dikombinasi dengan heparin. Penggunaan antifibrinolitik harus berhati-- hati karena antifibrinolitik juga bisa memicu kematian
(50)
2.2.10.3. Terapi Potensial yang lain pada DIC Thrombomodulin
Wada dkk menunjukan hasil penelitian farmakologik terhadap trombomodulin plasma pasien DIC. Pada penelitian ini, 0,3–30 U/mL of trombomodulin secara signifikan menghambat pembentukan trombin dan menstimulasi produksi APC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa thrombomodulin layak diteliti lebih jauh untuk
kasus DIC. 23
Activated Factor VII pada DIC
Sallah dan tim nya, melaporkan pemberian rekombinan faktor VIIa pada pasien DIC dengan perdarahan yang terjadi pada pasien kanker. Pada penelitian ini, 15 dari 18 pasien berhanti berdarah dan menunjukkan perbaikan parameter koagulasi. Keberhasilan pemberian rekombinant faktor VIIa juga dilaporkan pada pasien dengan perdarahan post operatif abdomen dan pada DIC akibat keadaan sepsis. Pemberian faktor VIIa tidak dianjurkan pada DIC, penelitan ini juga masih
harus dilanjutkan.23
Gabexate Mesylate
Gabexate mexylate merupakan inhibitor sintetis serine protease seperti trombin, ini memiliki aktivitas antikoagulan dengan tidak adany antitrombin. Pada penelitian sebelumnya gabexate mesylate digunakan pada 15 pasien DIC dibandingkan 8 pasien yang mendapatkan heparin, terbukti bahwa gabexate mesylate lebih efektif dibandingkan heparin pada pasien dengan kadar antitrombin yang rendah. Penelitian setelahnya menunjukkan hasil yang hampir sama.
(51)
Hirudin
Penelitian awal tentang pemakaian hirudin untuk pasien DIC menunjukkan bahwa ini merupakan trombin inhibitor yang kuat dan mungkin berguna dalam penatalaksanaan pasien DIC, tetapi belum ada investigasi terorganisir untuk
pemakaian hirudin di Amerika Serikat.23
2.3 Kerangka Teori
Eklamsia
• Nilai Trombosit • Nilai D-Dimer • Protrombin Time • Nilai Fibrinogen
Skoring DIC
< 5 ≥ 5
(52)
2.4. Kerangka Konsep
Hasil Laboratorium : • Nilai Trombosit • Nilai D-Dimer • Protrombin Time • Nilai Fibrinogen
Skoring DIC
(53)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian analitik observasional dengan desain studi retrospektif, untuk melihat penerapan skoring DIC terhadap angka kejadian DIC pada pasien eklamsia.
3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bagian Rekam Medik RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli 2013 dengan sampel yang diambil dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2012.
3.1.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi sampel meliputi ibu dengan diagnosa eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria penerimaan. Cara pengambilan sampel adalah secara retrospektif yaitu dengan membuka Rekam Medis pasien yang telah didiagnosa dengan eklamsia dan memenuhi kriteria penerimaan.
Penghitungan sampel :
n = (Zα)2 P(1-P) d2
n = Jumlah sampel Zα = 1,96 (α = 0,05) P = Proporsi populasi
Berdasarkan kepustakaan insiden DIC pada kasus eklamsia adalah 11% d= 10% = 0,1
(54)
Skoring DIC pada eklamsia DIC 1. Kriteria inklusi
a. Penderita eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan.
b. Memiliki data laboratorium yang lengkap untuk pemeriksaan skoring DIC yang meliputi : hitung trombosit, kadar d-dimer, protrombin time, dan kadar fibrinogen. c. Diketahui kondisi akhirnya saat pulang dari rumah sakit.
2. Kriteria ekslusi
a. Data rekam medis ataupun data laboratorium yang tidak lengkap
3.1.4. Prosedur Kerja
a. Semua rekam medis pasien dengan diagnosa eklamsia dikumpulkan
b. Diperiksa apakah data yang diperlukan untuk melakukan skoring lengkap yang meliputi : hitung trombosit, kadar d-dimer, protrombin time, dan kadar fibrinogen. c. Dilakukan penilaian skoring DIC dan pencatatan kondisi terakhir ibu saat pulang.
3.1.5. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan adalah :
(55)
3.1.6. Analisis dan Interpretasi
Data penelitian dikumpulkan dalam suatu formulir penelitian yang telah disiapkan kemudian dilakukan entry data secara komputerisasi. Data dianalisis dengan cara
1. Deskriptif dengan menampilkan diagram distribusi frekuensi
2. Analitik dengan chi-square test untuk data kategori dengan nilai kemaknaan p<0,05.
3.1.7. Batasan Operasional
No. Skala Ukur Hasil Ukur
1. Eklamsia
terjadinya kejang dan / atau koma yang tidak dapat dijelaskan selama
kehamilan atau setelah melahirkan pada pasien dengan tanda dan gejala preeklamsia (hipertensi dengan
proteinuria).
- Skala Nominal
Hipertensi +
Proteinuria + Kejang - Hipertensi
kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan darah diastolik ≥ 15 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg atau tekanan sistolik ≥ 140 mmHg
- Proteinuria
keadaan terdapatnya 300 mg atau lebih protein di dalam urin selama 24 jam atau ≥ 100 mg/dL pada sekurang-kurangnya dua contoh urin yang diambil dengan selang waktu 6 jam - Kejang terjadinya
bangkitan kejang tanpa adanya gangguan neurologi 2. Hasil Laboratorium
parameter yang diambil dari hasil
pemeriksaan darah yang meliputi jumlah trombosit, nilai D-dimer, nilai protrombin
Skala Nominal (Numerik)
Nilai Normal : - Trombosit
(150-450x103/mm3) - D-dimer
(56)
- Protrombin time (12,8 detik) - Fibrinogen
(150-400 mg/dl) 3. Keadaan akhir pasien
keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit.
Skala Nominal (Kategorik)
- Sehat - Meninggal 4. Skoring DIC (ISTH)7,18
Parameter yang digunakan untuk menegakkan diagnosa DIC dari hasil laboratorium.
- Trombosit (>100.103/mm3 = 0 ;
<100. 103/mm3 = 1 ; <50. 103/mm3 = 2) - D-dimer (tanpa peningkatan (<500
ng/ml) = 0 ; peningkatan moderat (500-8200 ng/ml) = 2 ; peningkatan bermakna (>8200 ng/ml) = 3)24,25 - Protrombin time yang memanjang
(<3 detik = 0 ; 3-6 detik = 1 ; >6 detik = 2)
- Fibrinogen (≥100 mg/dl = 0 ; <100 mg/dl = 1)23,24
Skala Nominal (Numerik)
≥ 5 DIC
< 5 non – DIC
5. Penegakan Diagnosa DIC
Penegakan diagnosa DIC ditetapkan setelah dilakukan konsul ke bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan
Skala Nominal (Kategorik)
- DIC
(57)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Tabel 2. Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Karakteristik Jumlah Persentase
Umur
- <20 - 20-35
- >35
4 28 13 8,9 62,2 28,9 Gravida
- Primigravida - Multigravida
- Grandemultigravida
25 17 3 55,6 37,8 6,7 Pendidikan - SD - SMP - SMA - S1
8 10 25 2 17,8 22,2 55,6 4,4 Usia Gestasi
- <37 minggu - ≥37 minggu
24 21
53,3 46,7
Dari penelitian ini yang mengambil sampel dari rekam medis seluruh pasien eklamsia RSUP H. Adam Malik Medan bulan Januari 2008 hingga Desember 2012 yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan 45 pasien.
Dari tabel 1 di atas diperoleh hasil bahwa karakteristik umur dari pasien penderita eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan adalah pada pasien penderita eklamsia dengan usia di bawah 20 tahun sebanyak 4 pasien (8,9%), usia 20-35 tahun sebanyak 28 pasien (62,2%), dan usia di atas 35 tahun sebanyak 13 pasien (28,9%).
(58)
Hasil ini berbeda dengan hasil yang didapat oleh Halimi S et al (2010), Douglous dan Redman (1994), Shaheen dan Obaid (2002), serta Duckitt (2005) yang menyatakan bahwa mayoritas penderita eklamsia adalah usia remaja (14-19
tahun).32,33,34,35
Karakteristik gravida dari pasien penderita eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan adalah pada pasien penderita eklamsia dengan primigravida sebanyak 25 pasien (55,6%), multigravida sebanyak 17 pasien (37,8%), dan grandemultigravida sebanyak 3 pasien (6,7%).
Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapat oleh Halimi S et al (2010), Duckitt (2005), serta Shaheen dan Obaid (2002) yang menyatakan bahwa pasien eklamsia
terbanyak adalah primigravida.33,34,35
Karakteristik tingkat pendidikan dari pasien penderita eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan adalah pada pasien penderita eklamsia dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 8 pasien (17,8%), SMP sebanyak 10 pasien (22,2%), SMA sebanyak 25 pasien (55,6%), dan S1 sebanyak 2 pasien (4,4%).
Karakteristik usia kehamilan dari pasien penderita eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan adalah pada pasien penderita eklamsia dengan usia kehamilan di bawah 37 minggu sebanyak 24 pasien (53,3%) dan di atas atau sama dengan 37 minggu sebanyak 21 pasien (46,7%).
4.2. Frekuensi DIC Pada Pasien Eklamsia Tabel 3. Frekuensi DIC Pada Pasien Eklamsia
Eklamsia Jumlah Persentase
DIC 2 4,4
(59)
Dari tabel 2 frekuensi DIC pada pasien eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan diperoleh hasil bahwa pasien eklamsia yang disertai DIC sebanyak 2 orang (4,4%) dan pasien eklamsia yang tidak disertai DIC sebanyak 43 pasien (95,6%).
4.3. Frekuensi Mortalitas Maternal Pada Pasien Eklamsia Berdasarkan Nilai Skor DIC.
Tabel 4. Frekuensi Mortalitas Maternal Pada Pasien Eklamsia Berdasarkan Nilai Skor DIC.
Mortalitas Maternal
P value Meninggal Sehat
SKOR DIC <5 1 40
0,172
≥5 1 3
Uji chi square
Dari tabel 3 frekuensi mortalitas maternal pada pasien eklamsia berdasarkan nilai skor DIC diperoleh hasil bahwa pada pasien eklamsia dengan nilai skor DIC di bawah 5 didapati 41 pasien (91,1%) dengan 1 pasien (2,2%) meninggal dan 40 pasien (88,9%) sehat. Sedangkan pada pasien eklamsia dengan nilai skor DIC lebih besar atau sama dengan 5 didapati 3 pasien (8,9%) dengan 1 pasien (2,2%) meninggal dan 3 pasien (6,7%) sehat.
Diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor DIC dengan mortalitas maternal pada pasien eklamsia. (p value 0,172, analisa chi square fisher exact test)
(60)
4.4. Frekuensi Mortalitas Maternal Berdasarkan Kejadian DIC Pada Pasien Eklamsia.
Tabel 5. Frekuensi Mortalitas Maternal Berdasarkan Kejadian DIC Pada Pasien Eklamsia.
Mortalitas Maternal
p-value Meninggal Sehat
DIC tidak 1 42
0,088
Ya 1 1
Uji chi square
Dari tabel 4 frekuensi mortalitas maternal berdasarkan kejadian DIC pada pasien eklamsia diperoleh hasil bahwa pada pasien eklamsia yang tidak disertai DIC didapati 43 pasien (95,5%) dengan 1 pasien (2,2%) meninggal dan 42 pasien (42%) sehat. Sedangkan pada pasien eklamsia yang disertai DIC didapati 2 pasien (4,4%) dengan 1 pasien (2,2%) meninggal dan 1 pasien (2,2%) sehat.
Diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi mortalitas maternal dengan kejadian DIC pada pasien eklamsia. (p value 0,088, analisa chi square fisher exact test)
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan karakteristik pasien eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan didapat umur penderita paling banyak berasal dari kelompok umur 20-35 tahun, berdasarkan gravida paling banyak adalah primigravida, berdasarkan tingkat pendidikan paling banyak dengan tingkat pendidikan SMA, berdasarkan usia kehamilan paling banyak dengan usia kehamilan di bawah 37 minggu.
2. Frekuensi DIC pada pasien eklamsia Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan didapati sebanyak 4,4%..
3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor DIC dengan mortalitas maternal pada pasien eklamsia.
4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi mortalitas maternal dengan kejadian DIC pada pasien eklamsia.
5. Terdapat hubungan yang signifikan antara skor DIC dan diagnosa klinis DIC pada pasien eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
6. 5.2. Saran
1. Skor DIC berdasarkan Skoring Sistem DIC memiliki hubungan yang signifikan dengan diagnosa klinis DIC dan dapat digunakan sebagai alat diagnostik rutin di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan untuk menegakkan diagnosis DIC
(2)
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, dalam upaya menurunkan angka mortalitas maternal di Indonesia.
3. Untuk dapat digunakan sebagai alat diagnostik rutin untuk mendiagnosa DIC, diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam dengan jumlah sampel lebih besar, serta menyingkirkan kelainan-kelainan yang menyerupai DIC.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sharma R, Bewlay A. Coagulation disorder In Pregnancy. World anasthesia tutorial of the week. 2010; p. 1-12.
2. Thornton P, Douglas J. Coagulation in pregnancy. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology. 2010;: p. 339-352.
3. Sultana S, Begum A, Khan MA. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION. dhaka med coll. 2011 April; 20: p. 68-74
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Maternal physiology. In Williams Obstetrics.: The mc Graw Hill Companion; 2010 5. Marti-Carvajal AJ, Comunian-Carrasco G, Pena-Marti GE. Haematological
interventions for treating disseminated intravascular coagulation during pregnancy and postpartum. The Cochrane Collaboration. 2011;: p. 1-15.
6. Bick RL, Syndromes Of Disseminated Intravascular Coagulation In Obstetrics, Pregnancy, And Gynecology. Objective criteria for diagnosis and management.2000
7. Toh CH, Hoots WK, on behalf of the SSC on Disseminated Intravascular Coagulation of the ISTH. The scoring system of the Scientific and Standardisation Committee on Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis and Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost 2007; 5: 604–6.
8. Bakhtiari K,Meijers J, de JongeE, Levi M. Prospective validation of the International Society of Thrombosis and Haemostasis scoring system for
(4)
9. Dhainaut JF, Yan SB, Joyce DE, Pettila V, Basson B, Brandt JT, SundinDP, LeviM. Treatment effects of drotrecogin alfa (activated) in patients with severe sepsis with or without overt disseminated intravascular coagulation. J Thromb Haemost 2004; 2: 1924–33.
10. Kienast J, Juers M, Wiedermann CJ, Hoffman JN, Ostermann H, Strauss R, Keinecke HO, Warren BL, Opal SM, KyberSept Investigators. Treatment effects of high-dose antithrombin without concomitant heparin in patients with severe sepsis with or without disseminated intravascular coagulation. J Thromb Haemost 2006; 4: 90–7.
11. DeCherney AH et al. Critical Care Obstetrics, chapter 60. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. McGraw-Hill Companies. 2007. 12. Douglas KA, Redman CW. Eclampsia in the United Kingdom. BMJ 1994;309:1395– 400.
13. Makhseed M, Musini VM. Eclampsia in Kuwait. 1981–1993. Aust N Z J Obstet Gynaecol 1996;36:258–63.
14. Mattar F, Sibai BM. Eclampsia. VIII. Risk factors for maternal morbidity. Am J Obstet Gynecol 2000;182:307–12.
15. Katz VL, Farmer R, Kuller J. Preeclampsia into eclampsia:toward a new paradigm. Am J Obstet Gynecol 2000;182:1389–96.
16. Chames MC, Livingston JC, Invester TS, Barton JR, Sibai BM. Late postpartum eclampsia: a preventable disease? Am J Obstet Gynecol 2002;186:1174 –7. 17. Lubarsky SL, Barton JR, Friedman SA, Nasreddine S, Ramaddan MK, Sibai BM.
(5)
18. Dahmus MA, Barton JR, Sibai BM. Cerebral imaging in eclampsia: magnetic resonance imaging versus computed tomography. Am J Obstet Gynecol 1992;167:935– 41.
19. Saftlas AF, Olson DR, Franks AC, Atrash HK, Polaras R.Epidemiology of preeclampsia and eclampsia in the United States, 1979–1986.AmJ Obstet Gynecol 1990;163:460 –5.
20. Thachill J, Toh CH. Disseminated intravascular coagulation in obstetric disorders and its acute haematological management. Blood Reveiw. 2009; 23: p. 167-176.
21. Guidelines for the diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation. British journal of hematology, 145: p. 24-33: black well Ltd 2009.
22. Saba HI, Morelli GA, the pathogenesis and management of disseminated intravascular coagulation. Clinical Advances in Hematology & Oncology 2006; p. 919-926
23. Sarig G, Klil-dori AJ, Chap-marshak D, Brenner B, Drugan A, activation of coagulation in amniotic fluid during normal human pregnancy. Thrombosis research, 2011
24. Levi M, Dissemintad Intravascular Coagulation, Concise Defenitive Review, Critical care med, 2007; p. 2191-2195
25. LaBelle CA, Kitchens CS. Disseminated Intravascular Coagulation: Treat the cause, not the lab values. Cleveland Clinic J Med. 2005;72:377-397.
26. Kor-anantakul O,Lekhakula A, Overt Disseminated Intravascular Coagulation in Obstetric Patients, J.Med Assoc Thai, 2007; p. 857-864
(6)
28. Gando S, Saitoh D, Ogura H, MayumiT, Koseki K,et.al, natural history of disseminated intravascular coagulation diagnosed based on the newly established diagnostic criteria for critically ill patient: results of a multi center prospective survey. Critical care med 2008, p.145-150
29. Becker JU, Brenner B, Disseminated intravascular in emergency medicine, BMJ.2011
30. Dalainas I, pathogenesis diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation: a literatur review, european review for medical and pharmacological sciences 2008,p: 19-31
31. Sayin M, Varol FG, Sayin NS, evaluation of natural coagulation inhibitor levels in various hypertensive states of pregnancy, european journal of obstetry and gynaecology and reproductive biology, 2005 p: 183-187
32. Halimi S, Halimi S M A. Eclampsia and its association with external factors. J Ayub Med Coll Abbottabad 2010;22(3).
33. Duckitt K. Risk factors for pre-eclampsia at antenatal booking: systematic review of controlled studies BMJ 2005;330:565.
34. Shaheen B, Obaid HM. Eclampsia,a Major Cause of Maternal and Perinatal Mortality: a prospective analysis at a tertiary care hospital of Peshawar.Journal of Pakistan Medical Association. 2003.
35. Douglous KA, Redman CWG. Eclampsia in the United Kingdom. BMJ 1994: 309:1395–400.
36. Kausar TB et al. Disseminated Intravascular Coagulation in High Risk Obstetric Patients. Ann. Pak. Inst. Med. Sci. 2012;200-204.