The Potency of Banjar as Development Vehicle in Bali
GBHN mmgamanatkan bahwa pembangunan sebagai proses, diarahkan untuk
mensejahterakan *at
dan dil-
bersama oleh pemerintah dan masyarakat
(GBHN 1993-1998: 127). Jika pembmgunau adalah aktivitas sistem, maka potensi
dan pemberdayaan peluang ekonomi, sosial dan budaya dalam wadah-wadah pem-
bangunan sebagai subsistem harus menjadi milik masyarakat. Sebagai peluang dan
harapan progresif diatas tidak selalu muncul dengan sendirinya, ataupun kalau
bangkit acapkali kurang t e d dan tidak produktif sehingga menggali untuk menggerakkan potensinya menjadi penting dan mend&.
Banjar adalah unit organisasi sosial berdasar tradisi di Bali. Selain menjadi
bagian dari pembangunan dan bagian dari sistem budaya Bali, banjar juga berwujud
wadah dibawah desa. Memiliki wilayah jelas, ada balai-banjar, krame-banjar
(warga), prajum-banjar (pengurus) d m awig-awig banjar (aturan sendiri) yang
sejak semula aktif mengatur aktivitas warga khususnya bidang agama dan adat.
pul bersama) yang dipedomani oleh nilai kebersamaan dan rasa bakti yang tinggi
.
menjadikan setiap wargdYa terikat pada kesatuan wilayah, admmami, pa-,
(wadah musyawarah), pura dan poswara kuhl-banjar ( s u m kentongan-banjar).
Semangat bhakti diatas cenderung mendasari suasana komunikatif sehingga proses
adopsi dan difusi pesan pembangwm cepat menjadi mil& warganya.
Sebagai wadah koordinatif, dipercaya mampu menggerakkan prakarsa dan
inovatif menggalang aktivitas warga, berarti sebagian fenomena penyuluhan d m
..
gerakan membaogun cenderung terakomodir di banjar. Dem&.m juga halnya terhadap daya kolektif yang dipraktekkan sebagai loyal m e b a - h j a r (bermasyarakat)
2
itu, tidak jarang menjadi kontra produktif seperti yang diingatkan oleh Shore
(1980:25) bahwa, afinitas masyaralrat pada l
d instinaion memang efektif mendo-
mng proses diseminasi pesan pembangunan, namun tidak jarang dapat meniadalcan
kreativitas personal. Informasi lain yakni peran etnis lokal mengelola p e m u
perlu digali, karena selain telah terbukti mampu menghimpun daya rakyat juga
menjadi identitas pembangman Indonesia (Soedjahmoko, 1993:98). Berdasar kepentingan tersebut maka mencari wadah penyuluhan dan gerakan pembangunan yang
tepat perlu kajian mmdalam.
Banyak faktor unik dari wadah pembangunan (termasuk banjar) yang perlu
diselaraskan agar harmonis menggerakkan pembangunan. Dalam pada itu, jika
pesan-pesan pembangunan dapat diorganisir (Rogers, 1983:360), apakah melalui
wadah kelompok (Dabama dan BhaQagar, 1985:328) dan orgaaisaSi mid (Ndraha,
199058) atapun melalui sistem sosial (Loomis, 1960:7) cendemg lebih efisien
dibanding pendekatan perorangan. Penegasan itu sejalan dengan anjuran Margono
Slamet (1988:9) bahwa dalam mengemban-
SDM dapat memanfaatkan wadah-
wadah yang sudah ada. Wadah lokal begitu d i s bahkan hubungan akrab warganya memungkinkan dia dekat dengan kehidupan demokratis (Tjondronegoro,
1978:44). Wiadah dengan ciri diatas identik dengan bnnjar di Bali, yang oleh Koentjaraningrat (1984:249) digolongkan sebagai organisasi kemasyamkatan berdasar
tradisi, dan ketradisionalannya mas& dilematis. Ada dugaan bahwa azas kebersa-
maan dan rasa balrti yang tiaggi (MPLA, 1990:37); kuatnya ikatan tmki dan loyalitas bermasyarakat di banjar (Mabbett, 1989:39); (Surpha, 1993: 17); dan (Warren,
1995:9), diduga menjadi pendorong kebersamaan. Dilema lainnya yakni potensi
lokal mana yang mendukung atau menghambat aktivitas penyuluhan pembangman?,
dan tidakkah semangat unifikasi justru melernahkan kreativitas membangun?.
3
Mewadahi pembangunan, berarti pula memfasilitasi perubahan yang terus
berkembang. Sejak lahirnya UU Nomor 5 lhhun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dan
pada tahun yang sama terbit SK. Gubemur Kepala Daerah Tigkat I Bali Nomor
181Kesra.II/Cl 11911979 tentang pembentukan Majelis Pembina Lembaga Adat
(MPLA) dengan salah satu tugasnya mernbautu Gubemur dalam pembinaan bmrjar.
Kepeduliau terhadap peran banjar makh besar, tedmkti labimp PERDA T i t I
Bali Nomor 06 Tahun 1986 yang pada dasarnya mengatur kedudukan dan fimgsi
banjar di Bali. Dampak pengaturan tersebut mexijadikan barijar tidak lagi terbatas
mengurusi kegiatan agama dan adat, tetapi semakin akomodatif sebagai wadah
penyuluhan kesAatan,
KB, transmigrasi, pajak, pariwisata, kamanan dan lain-lain
dengan konskuensi: dapatkah banjar yang didasari semangat tradii yang kukuhmandiri itu selalu harmonis mengolah pesan-pesan progresif pembangunan itu?
Menjawab tuntutan itu, akhirnya pemerintah daerah Bali bersikap jelas yakni
mengembangkan banhr (Anon, 1991:28), seperti tertuaog dalam :
(1) Proyek Pembangunan Berkelanjutan di Bali (Bali Sustainable Development Project), dengan salah satu butir pengembangan itu adalah "memacu
pusat-pusat kegiatan" yang dilaksanakan oleh kelompok muda-mudi
banjar seperti gotong-royong, kesehatan hgkmgan, kesenian, dll. "
(2) Pembangunan Bali yang Berwawasan Budaya dengan salah satu butir
pengembangan itu ".. . (8) Dalam pelalrsanaan pembaugwm peranan
lembaga-lembaga adat (banjar) t e r W sangat penting. Agar eksistensi
lembaga tradisi ini tetap utuh, malca upaya pembinnrn kearah keterbukaan, selektif dan adaptatif perlu ditingkatkan . . . " Fungsi ekspresif
(religius, solidaritas, estetis) dan fungsi orientatif-progresif (ekonomi, dan
IPTEK)perlu di pacu untuk tumbuh secara berimbang."
Besarnya keinginan agar wibdah banjar semakh bammnis mewadahi aktivitas
pembangunan maka, mengetahui melalui analisis potensi banjar pada komunitas
pertanian, kota, seniman dan komunitas pariwisata diharapkan &pat mengelimenir
unsur-unsur potensial sekaligus menekan nilai kontra membangun. Dalam pa& itu
4
dapatkah banjar "audible" dan "visible" (Suleiman, 1985:46) atau "readily" dan
"easily" menginformasikan pesan pembangunan (Kelsey dan Hearne, 1%3:438);
mampukah banjar memfasilitasi proses komunikasi (Loomis, 1960:7). Dapatkah
banjar menghidupkan peran unsur fisik, doktrinlnilai, program, sumberdaya dan
kepemimpinan dalam menggerakkan aktivitas warga (Esman, 1986:24)? Berdayakah
banjar memperluas wawasan warga agar efektif memanhtkan peluang pembangunan (Schramm dalam Kunczik 1984: 123)?
Belajar dari informasi tersebut, dan tekad menjadikan banjar lebih siap
mewadahi pembangunan dewasa ini, masih dilematis. Dari atas, banjar menjadi
penexus pesan pembangunan pemerintah; apakah sebagai fasilitator, mediator, organisator dan dinamisator pembangunan. Dari bawah, sebagai inisiator yang ahif
menggerakkan aktivitas warga. Atas dasar itu bagaimana potensi unsur fisik, nilai,
sumberdaya, program dan kepexnimpinan Banjar serta intervensi penmintah mewadahi ddvitas penyuluhan dan gerakan membangun?
Masalah Penelitian
Kehidupan dalam banjar, banyak d a k nilai asli yang teqxlihara dan diper-
tahankan kearah rukun membangun dan pada sisi lain pembangunan menghendaki
perubahan produklif. Silang dua kepentingan tersebut perlu dijawab, setidaknya dari
aspekpenyul*pem~
:
(1) Bagaimana perkembangan bunjar sebagai wahana pembaqunan?
(2) Bagaimana potensi dan pertalian unsur intend banjar yakni fisik, nilai, SDM,
program clan kepemimpinan serta unsur eksternal bunjar yakni intervensi pemerintah dalam mendukung banjar sebagai wadah penguluhan dan gerakan pembangunan?
(3) Apakah ada perbedaan dukungan unsur-unsur banjar terhadap potensi banjar
sebagai wadah penyuluhan dan gerakan pembangumn pada komunitas pettanian,
kota, seniman dan pariwisata?
(4) Bagaimana hubungan potensi banjar dengan tingkat partisipasi dan produktivitas dalam meningkatkan kesejahteraan warganya?
Berkaitan dengan masalah-masalah yang diungkapkan, m a h penelitian ini
bertujuan untuk :
(1) Mengetahui perkembangan banjar sebagai wahana pembangunan.
(2) Mengetahui potensi fisik, nilai, program, SDM dan kepembpinan bunjar serta
campur tangan pemerhbh dalam mendukung banjar sebagai wadah penyuluban
dan gerakan pembangunan.
(3) Mengetahui pertalian hubungan unsur fisik, nilai, program, SDM, dan kepe-
mimpinan banjar serta intervensi pemerintah mendukung poteosi bmjar sebagai
wahana pembaagunan.
(4) Mengetahui potensi banjar sebagai wadah penyuluhan dan gerakan
an pada komunitas pertanian, ekonomi, seniman dan komunitas p a r i w .
1
(5) Membuktikan benar tidaknya potensial bmjar sebagai wadah penyuluhan dan
gerakan pemban,gunan mampu mendorong partisiii dan produktivitas dalam
menhgkatkan kesejahteraan warganya.
Pemahaman yang benar akan potensi banjar : secara akademis menjadi alat
membuktikan konsep penyuluhan, pembangunan, organisasi lokal bmtjur dan partisi-
6
pasi masyarakat. Secara praktis bermanfaat bagi pemilik, pengelola dan pengguna
untuk aktif mengkondisi banjar agar selalu siap mewadahi pembangunan. Khusus
"bagipenyuluhan pembangunan b e r p dalam hirl :
(1) Dengan diketahuinya perkembangan dan ragam potensi unsur pendukung
bunjar, merupakan m m h n baarti bagi penyulub pembmgtman dalam memilih
banjar yang tepat berdasar kesiapan, dukungan nilai, kemampuan SDM,ciri
kepemimpinan yang berbeda-beda pada komunitas banjar yang berlainan.
(2) Dengan diketahui potmi atau tidaknya hcznjar mewadahi penyuluhan dan gerak-
an pembangunan, dijadikan titik tolak dalam mendmng peningkataa partisipasi
warga banjar untuk aktif berdasar kemanpan dan kesmpam memanEdatkan
peluang membangun.
(3) Dengan mengetahui produktivitas warga yang mungkin berkaitan dengan tingkat
partisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, matra dijadikan dasar
pemberdayaan unsur dan daya banjar agar selalu progresif mewadahi aktivitas
pembanv-
Pengungkapau sejarah Bali dimahdkan sebagai penjelas pemahaman tentang
sosok banjar di Bali sebagai unit organisasi tdisional yang diked, d i i , d i i g a i
dan ditaati sebagai wahaua kehidupan sehari-hari dengan misi utama meningkatkan
kesejahteraan hidup melalui kebersamaan. Selain telah melembaga (institutionalized),
@sku berbanjar juga membudaya (intemakd) dalam jiwa warganya. Atas dasar
itu, perlu dirunut cikal-bakal perilaku kebersamaan dan kebaktian dengan harapan
dapat dikembangkan agar lebih fleks~hldan adaptif xmmbaai pempembangunan.
D i u t k a n , untuk pertama kali yakni tanggal 16 April 1849 Bali secara total
jatuh ketangan penjajahan Hindia Belanda. Kejatuhan itu ditandai oleh pebenteng pertahanan Jagaraga dari kerajaan Buleleng, kemudian terakhir ditaklukkannya kerajaan Klungkung (Astiti, 1994:63). Sejak tahun 1855 penguasa setempat
yang sebelumnya berada di tangan raja, kemudiau diganti oleh Regen (Regent) yang
diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda. Secara bergantian terjadi peperangan
melawan penjajah, clan pada tanggal 20 September 1906 terjadi peperangan dengau
,
kerajaan Badung yang dikenal dengan PupIctmr &rdung. Selang bebempa hari, yakni
pada tanggal 27 September 1906 dengan kerajaan Tabanan dan tanggal 20 April
1908 dengan kerajaan KIungkung dengan "Puputan KIungkung" .Dengan jatuhnya
kerajaan Klungkung itu, maka secara fisik Bali dikenddikan oleh pemerintahan
penjajah (Agung, 1987:24). Istilah puprcran yang berarti perang habis-habisan melalui kekuatan bersama, yang sampai saat ini tetap sernarak diperingati sebagai salah
satu cikal bakal semangat kebersamaan di banjar saat ini. Perkembangan selanjutnya, antara tahun 1308-1938 Bali berada pada masa dimana penguasa pribumi yang
8
disebut Regen berkedudukan sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda dan berdasar
Staatblad 1929 Nomor 226 Bali dibagi menjadi dua bagian wilayah dalam delapan
'Swapraja, yakni Bali utara dengan swapraja Buleleng dan Jemberana dibawah
pemerintahan Residen Bdi clan ILOmbok yang berkedudukan di Singaraja. Bali selatan terdiri dari swapraja Badung, Thbmm, Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karang-
asem dibawah pemerintahan seorang Asisten Residen berkeddukan di Denpasar.
Tahun 1938 pemerintahan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Kerajaan. Sejak saat itu, pemerintahan di masing-masing swapraja diatur menurut
adat-istiadat yang hanya berlaku setempat yang menjaladcan keadatan pada bidang
qama, peradilan dan kepolisian (Mirsha, 1986).
Bendasar aturan bersama Nomor 1
tertanggal30 September 1938 dan dalam masa pemerintah setempat itu d
i
i
I t z m Agzmg sebagai federasi delapan swapraja dengan susunan sebagai berikut:
(1) Residen Bali dan Lombok sebagai ketua merangkap mggota, (2) Raja-Raja dari
kalelapan swapraja sebagai anggota clan (3) Dua orang dari masing-masing swapraja
sebagai penasehat. Selain 142-
Agzmg yang dianggap cikal bakal musyarawah di
banjar, juga dibentuk unit Paruman Negara yang terdiri dari: Raja, Pendeta
(Bagawanta), Kontrolir clan WaLil-Wakil organisasi sosial politik masing-masing
swapraja.
,
Pola penjajahan berganti, antara tahun 1942-1945 Bali berada dibawah
pendudukan Jepang, dengan kekahhamya melawan tentara Sekutu pada tahun 1945,
Bangsa Indonesia termasuk Bali memasuki jaman kemerdekaan. Panunan Agung
sebagai wadah musyawarah kenegaraan dianggap tidak relevan lagi dan diiubarkan
pada tanggal 29 September 1950, lalu diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Sementara (DPRS), selanjumya pada tahun 1957 lahirlah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah sebagai pembaha-
9
ruan dari Undang-Undang Nornor 44 Bhun 1950. T w y a pada tanggal 14 Agustus 1958,melalui Undang-Undang Nomor 64 tehwukZuh Propid
Doti I Bali, yang
btuk pertama kalinya dengau Ibu Kota Singaraja. Pada tahun yang
U-g-Undang
sama, berdasar
Nomor 69 Tahun 1958 t e r b e n t W &hpan Docmlr Engkut ZI.
Pesatnya kemajuan pembangman, akhhya melalui Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 52/U36/136,
tertaqgal23 Juni 1960 Ibu Kota
Dati I Bali pindah dari Singaraja ke Denpasar. Undang-Undang Nomor 1 N u n
1957,dianggap tidak relevan lagi clan kemudian dicabut dan diganti dengan UndangUndang Nomor 18 lhhun 1%5, p d a saat ini sedang tejadi p u n c a k e gejolak
dimana cerminan pemerintahan d i m d oleh unsur--
NASAKOM sehingga
pemerintahan nasional menyebutnya Pemerintahan Orde Lama. Perganth sistem
pemerintahan setelah 'Mun 1966 itu disebnt Pemerintahm Orde h.
Dalam rangka penyeragaman pemerintahan di daerah, terbitlah UndangUndang RI Nomor 5 'Xhhun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
selanjutnya kurang lebih lima tahun kernudian Iahirlah Undang-Undang RI Nomor 5
Tahun 1979 yang secara khusus mengatur mrzerintahan Desa. Sejak saat itulah,
pemerhtahan tingkat desa yang berbak mengatur rumahtangga sendiri atau kelurahan
yang tidak berhalr unt& itu berada di'bawah camat OpaSal 1 UU No.5 'Mun 1979).
Sebagai organ pentbangunarr terendah dibawah desa atau keludan adalah Dusun
aau Lingkungan (Permendagri No. 5 Tabun 1981, tentang Pembentukan Dusun
dalam Desa dan Lingkungan dalam Kelurahan; Permendagri No. 7 Tahun 1983
tentang Pembentukan Rukun Tangga dan Rukun W g a ; dan Permendagri No. 11
Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat
DesaIKelurahan) yang khusus di Daerah Tingkat I Bali Dusun/Linghgan identik
dengan banjar binas dibawah desa dinas atau banjar adat dibawah desa adat ( P a d 1
10
PERDA Bali No. 06 Tahun 1986). Berdasar informasi diatas, maka jauh sebelum
pembinaan, penataan dan penyeragaman itu di masyaralrat dan pemerintahan Dati I
Bali hmya ada banjar sebagai kelompok masyaralrat diiwah desa adat maupun desa
dinas, berdasar itu pulalah hingga kini kebanyakan banjar yang hanya memiliki
satu/seorang Kklian 6anjar dan ada pula sudah terpisah antara A2li.n odat memim-
pin banjar adat dan Rklian dinas sebagai pemimpin tmnjar dinas.
Pengakuan akan keberadaan desa adat dan banjar adat sebagai organ pembangunan semakin kuat bahkan terkesan dipentingkan oleh p e m e ~ t a hterbukti
,
dengan PERDA Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 diaturlah dengan seksama
kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan
hukum adat.
Jauh sebelum itu, berdasar PERDA Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra,WC119/1979
maka aktivitas adat dibina secara resmi oleh Majelis Pembina Lembaga Adat
(MPLA) mulai dari tingkat propinsi, kabupaten sampai tingkat kccamatan dengan
tugas pokoknya menata, membii dan mengembaugkau organisasi kemasyarakam
termasuk banjar. Laporan MPLA (1995:2-7) menjelaskan bahwa ragam program
yang berhasil dilaksanakan, diantaranya : (1) Memberikan penyuluhan adat dan
agama terpadu, (2) Pembinaan banjar dan Sekehe Tern-Tenuu' (XU), (3) Pembi-
naan Lernbaga Perkreditan Desa (LPD), (4) Penyuratan Awig-Awig desa dan tmnjar
adat, (5) Melaksanakan clan mengukuti seminarIceramah/penataran dan penelitian,
(6) Penanganan pelaksanaan penyepian (Hari Nyepi) dan Upacara Agama besar
seperti Karya Agung Eku Dasa Ludra dan Eka Bhuana baru lalu, (7) Menyusun
buku "Butir-Butir Mutiara dalam Pembangunan Desa Adat di Bali dan puluhan buku
tentang banjar, dan (8) Mengikuti impeksi Gubemur ke daerahdaerah.
Mandat GBHN dan Pola Dasar Pembangunan Daerah Bali Wun 199411995-
199811999 menghendaki pertalian antara pemerintah dan
semakin erat. Dengan bekal semangat, sifat swadaya, ciri kebersamaan, budaya
tolerasi, rasa bakti berdasar ikatan kesatuau tradisi yang tinggi menjadilran pengelo*laanpemerintahan banjar semakh interaktif. Pola kepernimpinan &ian banjar
(pinpinan h j a r ) yang berorientasi hubungan baik &lam penyelesaian tugas bersa-
ma dalam suka dan duka, adanya aturan kelengkapan sarana fisik, sumberdaya
warga dan faktor pelancar lainnya memungkidm banjar itu efektif menggerakkan
pembangunan atau mewadahi penyuluhan pembangunan. Ragam program pembangunan seperti KB, Agama dan Adat, Kesehatan, Koperasi, Pendidikan, Kesenian,
Olah Raga, Lingkungan, Pariwisata, Pemerintahan, Generasi Muda, Sosial dan
Budaya menyadarkan masyarakat untuk semakin sinergis dan co-acting dalam
mengolah dan memberdayakan potensi masing-masing. DaIam kurun waktu m t u ,
berhasivgagalnya pembangman yang menggarnbarkan kemampmn bmy'ar menggerakkan partisipasi, interakasi dan koaksi warga didnu dengan berbagai cara, dimtaranya Lomba Desa. Secara khusus di Bali digelar Lomba Desa Adat, terakhir
berdasar Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Bali Nomor 515 Tahun 1995 tentang
Pedoman Pembinaan clan Penilaian Lomba Desa Adat yang pada dasarnya menilai
kemajuan Desa Adat clan banjar Adat dalam membedayakan potensi meialui proses
perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangumn. Lomba Desa ini
menjadi wahana yang tepat dalarn mewujudkan banjar sebagai community Cknter
atau mementum gerakan mernbangun berciri rukun, mandiri, peduli clan sejahtera.
Organisasi kemasyadatan sebagai unit sosial yang d ~ h t u dan
k dikembangkan oleh masyarakatnya adalah wadah sekelompok atau beberapa kelompok orang
guna melakukan proses kegiatan yang terorganisasikan secara sistematis. Tergambar
adanya aturan baik tertulis maupun tidak yang mengatur pembagian tugas, wewenang, tanggungjawab dan peranan atas anggota-auggoh masyarakatnya. Penetapan
norma hubungan antar peranan itu dibentuk pada sebuah struktw dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Desa, disamping desadesa adat di Bali, juga Desa di
Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun clan Marga di Palembang sebagai susunan asli
yang diakui keberadaannya di Wilayah Negara Republik Indonesia, merupakan
organisasi pemerintahan terendah (Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 lhhun 1979),
"Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk &gai
kesatuan masyamkit termasuk didalamnya kesatmn masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah dl'bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan nunah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. "
Pengelompokan sosial di Bali dibedakan dalam beberapa bentuk yakni :(1)
Pengelompokan sosial berdasar pemekmwn ReRembatan, sehingga namn;ll gnanya
sebutan "Tuggal Kawitan" sebagai ketunggaIan silsilah, (2) PengeIompokm berdasar kesatuan siwa artinya ketunggalan pendeta yang menjadi pemimpin upacara
keagamaan, (3) Pengelompokan atas dasar tujuan a n t u yang melahirkan seRehe,
(4) Pengelompokan atas dasar hiburan clan kesenia.., (5) Pengelompokan atas
kebaldiao di Pura, dan (6) Pengelompokan atas dpsar
p e r t a h yPnb mobgn-
nakan irigasi yang sama, disebut Subak.
dan Arsana dkk., (1994:25-26) bahwa organisasi masyarakat di Bali dikenal mulai
dari Desa (Desa Adat dan Desa Dinas), SuboR, banjar aim Sekehe. Berdasar keorganisasian itu, s
e
w orang yang tinggal menetap di wilayah Bali akan menjadi anggota
dari salah satu atau lebih organisasi tersebut. Desa dinas, yang anggotanya adalah
seluruh penduduk di Bali, dijabat oleh s e o r q Kepala Desa yang mengatur adminis-
trasi pemerintahan vertikal sampai ketingkat pusat dan merupakan lembaga ketatanegaraan terbawah yang berwenang langsung menaagani tata pemerintahan di wilayah
desanya. Desa adat merupakan lernbaga agama Hindu, anggotmya hanya penduduk
asli yang beragama Hindu dan dijabat oleh seorang Bendesa A&
(pimpii-an adat)
memiliki kewenangan laagsung untuk mengatur segala pelaksanaan adat (Sudharma,
1971:10-11). Bagi penduduk pendatang baik warga Hindu dan bukan Hindu,
umumnya menjadi anggota desa dan banjar dinas. Ciri inilah yang membedakan
anggota banjar adat dan banjar dinas. Dari beberapa infonmsi diatas, 6unjar paling
populer diantara organisasi lokal setempat katena selain strategis dan memiliki mgawig pengatur perilaku warga, juga kelengkapan sarana fisik dan kenyamanan
menggunalcan lnmjar memmgkhkan banjar itu solid mewahani pembangwm. Tidak
kurang dari ungkapan Rogers (1983: 171) bahwa &hrga Berencana W e m banjar
di Indonesia dikenal secara htemsional, seperti uraian berikut :
" . . .A similar grouporiented strategy for family planning is followed in the
"group planning of births" in the poeple's Republic of China and in the
banjar approach of Bali, an Indonesian province. "
Organisasi lainnya adalah SubaR, sebagai perkumpulan petani pemalrai air
yang m
e
-
suqlber air irigasi yang sama. Keanggotaaunya bisa dari bebera-
pa banjar dalam satu desa atau beberapa warga desa dalam satu Kecamatan. Kedua
organisasi diatas mesniliki historis identik seba@ pengelola aktivitas pembangmm
lokal atau secara geografis berada pada wilayah yang sama. Sedangkan Sekehe
adalan perkumpulan suka-duka diiwah organisasi bmjar, dapat bersbet p w n
tetapi pada umumnya kebanyakan temporer. Bidang aktivitas perkumpulan ini biasanya berdasar hobi atau kesenangan tertentu yang muncul atas dasar tuntutan dan
kebutuhan lingkungan setempat. Keanggotaaunya dapat berasal dari satu h j u r atau
beberapa banjar dalam satu desa.
Masyarakat Bali, selain terikat oleh kekerabatan atas dasar ketumm juga terikat wilayah yaitu Desa dan banjar. Banjar sebagai kesatuan hidup setempat
(Arsana dkk., 1994:26). Persekutuan hidup sosial (Purwita, 1984:SO) dan sebagai
organisasi sosial tradisional yang berfungsi mengatur kejasama antar anggota dalam
kegiatan keagamaan, pemerintahan, dan tugas adat lainnya ben:iri kekeluargaan,
gotong-royong clan kebersamaan (Astika, 1986:8). Tmninologi h j a r yang berarti
&re?, jajar atau baris (Mordiwarsito, 1981:log), sehingga semua rumah-rumah
penduduk di Bali berderet secara teratur dengan batas-batas yang j e h . Sebuah tulis-
Gobkg &m Desa I tahun 836 Saka atau 914
an berbahasa Bali Kuna &lam Pd
Masehi (Goris, 1954:61) mengatakan bahwa banjar sejak semula memiliki peanimpin, berhak mengatur dan mewajibkan masyarakatnya untuk mendukung aktivitas
kebanjaran, selengkapnya diibutkan :
" . . . sambas mas pi 1bras karu 1 banjar di indrapura," yang artinya untuk
tempat sembahyang (Pura) dikenakan mas satu piling dan beras satu batok
kelapa untuk lingkungan atau kelompok di Indapura. Pada bagian lain disebutkan " . ser tunggalan banjar di Indrapura," yang artinya seorang
pengawas untuk lbgkwyp atau kelornpok di hdmpura."
. .
Banjar secara struktural a& dibawah desa dan dipimpin oleh Rklian banjar
,
yang dilengkapi seorang se-
disebut &nyariArm. Dalam koodhashya h j a r
dibagi menjadi beberapa Temp& @@an wilayah) yang unrmnnya empat buah yang
mmgelilingi Balai banjar yakni Tempekan Utara, T i m , Selatan dm Barat dengan
Kelian Tempekan masing-masing. banjar memiliki juru arah disebut Kesinoman
banjar yang jumlahnya bervariasi sesuai kebutuhan banjar, selanjutnya dalam satu
tempekan terdapat Sekehe lengkap dengan Kelian Sekehe. Sifat keanggotan banjar
tidak tertutup atau tidak terbatas kepada yang lahir di banjar, namun orang-orang
lain di luar banjar dengan ketentuan setelah menikah menjadi anggota banjar.
15
Pemberhentian keanggotaan dilakukan karena meninggal dunia dan pindah banjar,
sedangkan pemecatan dari keanggotaan &pat terjadi karena :(1) Kesalahan terlalu
&xu, seperti menghina, mencaci maki banjar dan pimpinan banjar, (2) Tidak
mentaati kedudukan aturan di iimjar, (3) Mencuri harta kekayaan b r m t , (4) Tidak
menunaikan kewajiban banjar secara bertwut-mut; dan (5) Tidak atau membangkang untuk melunasi hutang-hutangnya (Arsana, 1990: 155).
Fisii banjar terdii dari
banjar, sebagai tempat musyawarah, b e ,
dan wadah aktivitas penyuluhan seperti KB, Agama dan Adat, Pajak, Kcsehatan,
Koperasi, Pariwisata, Kebersihan Lingkungan, Pemerintahan, Generasi Muda dan
lain-lain. Pura banjar sebagai tempat sembahyang bersama pada saat Piodalan
banjar dan KulkuI banjar sebagai sarana komunikasi dalam melakukan ahivitas
pembaqwm. Kekuatan banjar mengikat warganya, tidak saja itratan fisik sebagai
kesatuan tempat tinggal bersama tetapi juga ikatan.mora1-psilologis mekbmakan
pembangunan seperti diuraikan diatas. Secara khusus, menurut Arsrura (1990:87)
dikembanglcan tata kelakuan kesethkawanan, sikap mental dan tenggang rasa, bekerja keras, cermat, bersahaja, rasa pengabdian, kejujuran clan kewiraan.
Sekehe
Sekehe berada dibawah banjar. Terbentuknya diawali oleh rasa akmb antar
warga dari satu banjar atau antar banjar, selanjutnya berdasar kesgmaan pengetahuan dan kemampilan diituklah satu profesi kerja. Maeka tidak bertanggungjawab terhadap banjar seperti halnya pada Tempekan. Biasanya terbentuk sebagai
kelompok-kelompok kecil pada rumah-rumah warga berdekatan, mereka mengangkat
seorang Kelian &Rehe dan tidak menggunakan atau memiliki Edsilitas khusus &lam
berorganisasi atau koordinasi tugas. Komunikasi sosial adalah menjadi dasar untuk
16
bertukar pandangan. Penetapan tujuan kegiatan Sekehe diiembangkan sesuai kebutuhan dan tuntutan pembangunan setempat sehingga @at berubah-ubah mengikuti
trend mata pencaharian masyarakatnya. Secara umum Sekehe dapat diklasifikasi
menjadi lima kelompok (Astika dkk., 1987:44) yaitu : (1) Kelompok kehidupan
ekonomi : Sekehe manyi (panen padi), Sekehe memule (menanam Mi), Sekehe
numbeg (mencangkul), Sekehe jukung (nelayan), (2) Kelompok kehidupan sosial :
Sekehe patus (arisan), Sekehe sambang (ronda), dan Sekehe kmm&nmi (pemudapemudi); (3) Sekehe keagamaan :Sekehe maksan (pengemong Pura), dan Sekehe
kidunglmekekawin (pesantian); (4) Kelompok kesenian : Sekehe gong barnelan),
Sekehe Tari Barong, Sekehe Tari Kecak, Sekehe Angklung, Sekehe Arja, dan
Sekehe Drama; dan (3Kelompok lain-lain :Sekehe 'Esjen (sabmgan ayam), Sekehe
Tuak (minum tuak), dan Sekehe mepatung @esta).
Pada ragam komunitas, dijumpai ragam bentuk, besar dan finPhrn keaqgo.
taan. Umumnya bentuk bangunan sederhana yang terdiri dari bahan birmbu atau kayu
sumbangan warganya. Tidak jarang malah Ilnengguoakanatap pepohonan yang hidup
dan sengaja utuk tempat berteduh. Sebuah Sekehe berlokasi di banjar Pamesan
Sukawati (komunitas pariwisata) sangat unik, sebab warganya melingkupi tiga h@ar
dan memiliki hilitas televisi, papan pengumunan dan ragam poster pembangum.
Warganya, tidak hanya Kepala Keluarga namun didominir oleh remaja-remaja
sebagai bagian dari Sekehe Teruna/i antar bmrjar.
Berdasar uraian diatas, nampak Sekehe-Sekehe tersebut berperan meagorganisasikan kebutuhan anggotanya, dalam ha1 tertentu menjadi media komunikasi
informasl sebelum berlanjut sebagai keputusan musyawarah bmjar. Tidak jarang
pula inisiatif dan prakarsa masyarakat lahir dari interaksi mereka di dalam Sekehe,
atau dapat juga menjadi klik-klik kecil yang mengg-
aktivitas barjar.
.Wujud Organisasi Kemasyarakatan
di Bali
Berdasar pemikiran-pemikiran Bakke (1959:18), Bertrand (1 974:3). Siege1
d m Lane (1982:3376-377) dan dapat disimpulkan bahwa : organisasi kemasyarakatan analah suatu wadah ikatan sosial, bagian dari unit masyarakat luas yang diben-
tuk dan dikernbangkan oleh warganya atas dasar kepentingan bersama, untuk kemudim bersepakat menetapkan hubungan antar peran dalam melaksanakan proses kea
a
tnuntuk m q a i tujuan bersama. Ciri penting yakni daya ikat batin yang unik
antar anggota berkaitan laegsung dengan budaya dimana mereka berada (Beatty dan
Robbin, 1990:29). Pandangan serupa itu juga ditegaskan oleh Majelis Lembaga
Pembina adat (MPLA) Dati I Bali (1991:24-26), dimana aspek organisasi kemasyarakatan, mata peocaharian, tekonologi dan peralatan, kesenian dan aspek kesysastram Bali adalah bagian dari sistem budaya Bali. Wujud sub-organhsi kemasyarakatan itu adalah desa adat, banjar dan sekehe, yang dalarn menggerakkau aktivitas
pembangman di h j a r bersifat permanen sxbngkm s&k tempom.
Selain desa diatas, di Bali dikenal adanya desa adat yang bersifat khusus
untuk mengatur kegiatan adat dan diakui pem-
Republik Indonesia seperti desa
di Jawa, Nagari di Minangkabau dan Marga di Palernbang. Keberadaan desa adat
dan banjarnya dituangkan &lam Peraturan Daerah T
i I Bali Nomor 06 %bun
"Desaadat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat Hukum adat di
Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan hradisi dan tata
krama pergadan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu
dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengatur rumahtangganya sendiri."
Aktivitas bermasyarakat di Bali semisal desa adat dan banjar, umumnya
dimulai dari tujuan sebagai produk kesepakatan bersama, apakah tujuan itu murni
18
dari anggota masyarakat atau wujud inovasi pembangunan dari luar masyarakat.
lbjuan pembangunan yang jehs itu menjadi inspirasi dan sangat aspiratif mengelola
sumberdaya warga bonjar bahlran menjadi sarana komunikasi sosial yang efektif
mewujudkan ciri paras-pros satpanaya; selungkung-sebayantakeyaitu susah dan
senang selalu bersama. Kegiatan bersama atas dasar wig-awig malahirkan pola
kerja pembangunau yang sangat sistematis dan asosiatif menangkup setiap perbedam. Ciri asosiasi demikian itu cenderung mematikan semangat dan kreativitas
individu yang sebenamya positif bahkan pada kondisi perkembangan pembangunan
saat ini dapat menjadi sumber kegalauan berkepanjangan yakni di satu sisi sulit
keluar dari ikatan bmrjur, dan pada sisi lain potensi besar mengakses i n f o 4 luar
h j a r terbatas atau dianggap melanggar ketentuan bmrjar.
Desa adat yang rnembawahi bmrjar, mengahu aktivitas adat clan agama Hindu
di Bali, telah lama dijadilcan wahana menggerakkan pembangman melalui kekuatan
adat. Ciri kepatuhan yang selaras, serasi dan seimbang atas dasar Tri Hita Karana
rnelahirkan desiplin beragama (trepti parhyangan), berwilayah (trepti palemahan),
dan disiplin bermasyankat ((hrepti pawongan). N i Dasar Iainnya adalah Tri Kona
(Utpeti, Stiti dan Pralina), Tri Kaya Parisudha (Wkiika, Kayika dan Manacika), Tri
Mandala (Nista, M m a 'dan Utama Mandala) dalam mehkmmkan kewajl'ban Panca
Yadnya (Dewa Yadnya, Manusa, Rsi, Pitra, dan Butha Yadnya) berdasar pertimbangan Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama dan Moksa). Ciri khususnya
lainnya yang berkaitan dengan kewahanaan banjar yakni tertib wacana, sasana dan
busana sebagai pengamalan nilai Tat Fl(un h i yaitu setiap warga dapat mengembangkan semangat asah, asih dan asuh menuju banjar, banjir dan banjur. Menurut
Covarubias (1972:O); Bagus (1987:290); Swarsi dkk., (198856); clan Arsana dkk.,
(1994:25-26) selain banjar, di Bali dikenal organisasi lainnya seperti subak dan
19
sekehe. Berdasar keorganisasian itu, setiap orang yang tinggal menetap di wilayah
Bali akan menjadi anggota dari salah satu atau Iebih organisasi tersebut. Desa diuas,
beranggotakan seluruh penduduk yang tinggal di Bali, dengan seorang Kepala Desa
..
yang tugasnya mengatur admmdmi pemerintdm thgkat desa. Desa dinas, merupakan organ pemerintahan terbawah yang berwenang langsung menangani tata
pemerintahan di wilayah desanya, sedangkan Desa adat merupaka. lembaga adat
yang berfungsi mengatur adat dan aktivitas agama Hindu, anggotanya nrtalsh penduduk yang beragama Hindu, dipimpin seorang Bendesa adat (Swiharma,1971:10- 11).
Kenyataan tersebut berarti, warga asli (agama Hindu) selain menjadi warga desa
dioas juga warga desa adat.
Berdasar informasi yang dikemukakan, banjar memiliki wilayah fisik dan
melcanisme pemerhtah jelas, yalcni peran dan hubungau warga dikoodbsi teratur
oleh pengurus &lam mencapai tujuan bersarna. Dijiwai semangat dan budaya loyal
me-krame memberi suasana sambung-rasa antar warga, dan dengan unsur luar
banjar sangat harmonis. Integrasi peran fisik dan semangat diatas, memungkinkan
banjar potensi memberdayakan materi dan aspirasi warga yang dalam batas-batas
tertentu cenderung manjadi cikal bakal konplik ber-banjar. Dua fenomena sebagai
ciri dinamisnya h j a r ifu, memberi arah bagaimana peran aktif banjar mewadahi
penyuluhan dan geralcan membangunan. rasa bakti dan semangat getih a bumbung
(satu darah) diduga pula menjadi faktor pendorong kebersamaan dalam sulra maupun
duka. Ikatan fsik wilayah tidak sekedar batas, melainkan legal dan aseptabel menangkupi rasa aman atau digunakan sebagai spirit moral dalam memobilisasi sumberdaya banjar agar lebih produktif. Gerakan kolektif terkoreksi di banjar, cende-
rung menghargai cara-cara demo*
ngunan banjar.
dan sangat loyal mewujudkan tujuan pemba-
b e r j a Organisasi Kemasyaralcatan banidi Bali
Masyarakat Bali, selain terikat banjar sebagai tempat tinggal bersama, juga
wajib melakukan pemujaan (Pura), t;mah perranian (Subak), kasta, hubungan darab
dan perkawinan, Sekehe tertentu dan terikat pada kesatuan addnimmi (desa) terten-
tu. banjar sebagai kesatuan hidup setempat (Arsana dkk., 1994:26), juga merupakan
persekutuan hidup sosial (Purwita, 1984:50), dibawah desa adat seperti pasal 1
PERDA Tingkat I Bali Nomor 06 Wun 1986 yaitu :
"Banjar adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desa adat,
serta merupakan suatu ikatan tradisi yang sangat kuat dalam satu kesatuan
wilayah tertentu, dengan seorang atau lebih pimpinan yang &pat bertindak
kedalam dan keluar dalam rangka kepentingan warganya dan memiliki
kekayaan baik berupa material maupun bataial. "
Desa adat dengan banjar-banjamya, teguh dan unik menjalankan Dresta,
Sima dun Brta sebagai tertib bennasyarakat berdasar &sa, KaIa &n Patra yakni
pada tempat, waktu dan situasi tertentu (Agung, 1987:4-5). Sehgai organisasi tradi-
si, berfungsi mengatur aktivitas keagamaan, pemehtahan, dan adat lainnya berdasar
kekeluargaan, gotong-royong dan kebersamaan (Astika dkk., 1986:8). Warren
(1995: 169) meugungkapkan dimasa datang, bmjar tidak banya menonjol pada fhgsi
"death rituals and demands of membership" (ngaben) atau populer dari "family
planning-models, " (Model KB sistem banjar) namun penghargaan moral clan kuatnya
penerapan sangsi tradisi, memungkinkan dia menjadi pusat "economicactivities"
seperti "gentry of loan funds" (Patus=Arisan) yang terpercaya.
Aktivitas lernbaga berdasar tradisi menurut Beatty dan Robbii (1990:29-30)
sangat unik, karena misi inextricably linked yakni terikat-kuat kedalam dalam
memenuhi kebutuhan hidup bersama. Koentjaraningrat (1986: 12-13) menegaskan
organisasi sosial seperti banjar dan subak di Bali adalah puncak-puncak kebudayaan
nasional yang unik, tidak birokratis dan aktivitasnya berkaitan dengan hidup sehari-
21
hari. Semangat loyalitas, mudah membangkitkan kesadaraa dan rasa empati btrkelompok (Berlo, 1958:253). Sikap fanatis dari gerakan kolektif, dimulai dari adanya
pelopor yang mampu menangkap dan mengelola isu-isu seperti ketidaksesuaian
peran, keti-
sosial atau ketimpangan pemerataan hasil p e a h q m m yang
akhirnya menjadi keresahan dan gerakan massa (Hoffer, 1988: 107).
Didorong oleh adanya telman sosial seperti waj~%hadirpada setiap alttivitas
organisasi sosial, menyebabkan aktivitas mereka selalu utuh (Bretz, 1983: 121).
Inter-system linkage yang kental antar orang, pesan clan sarana dalam kelompok
sosial dapat menjamin kelancaran komunikasi sosial masyarakat (Havelock,
1969:2.9. Semangat belajar b e r m sebagai enforciiable of leaning (semua dapat
dipelajari) dalam wadah pendidikan masyarakat, menjadhu proses belajar-mengajar
berjalan aktif (Kochhar, 1981:30). Landis (1986:96-97) mengwaikan, efektifnya
pengelolaan aspirasi pada kelompok primer, simplisitas mencapai tujnan, dan
semangat berkarya membuat mereka cepat solid. Konsep diatas berbeda dengan
pandangan Combs dan Ahmed (1985:105) bahwa, masih ada lembaga pendidikan
tradisional sulit merombak kebiasaan lama, loemajuan dianggap kodrat bukan usaha,
dekat dengan budaya fhtal, pasrah dan tidak percaya diri. Ungkapan lain oleh
sa (1992: 48) bahwa teguhnya mrma kelompok, m e n j e kelompok itu masing
dari aktivitas pembangtman, sehingga Smuckler (1986:257) mensinyalir sebagai
sakral-budaya yakni sikap hidup yang lebih mementingka. hal-ha. mistik daripada
aktivitas rasional. Kesenjangan ini, tidak sedikit yang sengaja dipola bahkan dicipta-
kan untuk kemudian digunakan untuk rnemepdahadan status-quo mereka. h e r
(1978: 17) lebih tegas mengatakan bahwa the passing of traditional society dimana
bila pembangman malrin berkernbang, maka akan cendemg semakin memudamya
ciri masyarakat tradisional.
Lintas pandangan-pandangan diatas tentu masih hams dipelajari, temtama
bagaimana banjar mewahanai pembangunan?. Dilihat dari terminologinya, h j a r
berarti deret, jajar dan baris (Mardiwarsito, 1981: log), sehingga tata letak rumah
penduduk diwilayah bunjar (Bali umumnya) berderet-teratu dengan baas-batas yang
jelas dan tegas. Keteraturan itu, tidak semata bermakna fisik sehingga tidak ada
warga yang secara sembarangan dapat dan boleh mexmpti areal bmjar tanpa seijin
banjar, tetapi secara psikologis dapat menjadi commng spirits (semangat bersama)
yang mampu mengikat warga fuujar mengemhmgkan semangat irrter&g,
dan co-
acting serta counter-acting melaksanakan pembangunan. Kenyataan itu diperkuat
oleh Rogers (1983: 171) bahwa semangat dasar diatas, menjadi pembangunan Keluarga Bere-
di Bali yang disebut KB sistem tnmjar sukses dan dijadikan model
"A similar group-oriented strategy for family planning is followed in the
group planning of births in the poeple's Republic of China and in the h & z r
approach of Bali, an Indonesian province."
Ciri ketunggalan wilayah, memungkinkan banjar menjadi sumber inspirasi
dan sangat komunikatif mewadahi interkasi, toleransi, dan cepat menggerakkan
perubahan kearah tujuan bersama walaupun nirprogram. Kenyataan menunjukkan,
jarang banjar memiliki program kerja tertulis, ha1 ini diperkuat oleh pendapat
Agung dan Purwita (19845) d
i program banjar berpatokan pada nilai Catur
Dresta berupa empat ketentuan dasar yaitu (1) Sastra Dresta, ketentuan yang telah
tersurat dalam pustaka-pustaka suci; (2) Luku Dresta, berdasar keputusan pesamuan,
(3) Puma Dresta, pertimbangan historis-tradisional yang dipandang patut, dan (4)
&sa Dresta, ketentuan berdasar ketunggalan wilayah h j a r . Pelanggaran terhadap
pagar-bathin yang disebut tulah ditimpa RtauA (sengsara karena htukan) ini, menyebabkan setiap warga taat memelihara suasana rukun, peduli dan sejahtera.
Jika dipelajari dari usianya, aktivitas ber-banjar di Bali sudah sangat tua.
lblisan berbahasa Bali Kuna dalam "Prasasti Gobleg Pura desa I," tahun 836 Saka
atau 9 14 Masehi (Goris, 1954:6 1) menyuratkan bahwa pertalian-hidup mekramebanjar (bermasyarakat) dan rasa setangkup ber-banjar tidak hanya karena ikatan
wilayah hunian tetapi a& aturan, wadah bersama, pemimpin, dan pemerintahan
yang rnampu mengelola aktivitas bersama, seperti disebutkan :
" . . . sambas mas pi 1 bras karu 1banjar di indrapura, yang artinya untuk
tempat sembahyang (Pura) dikenakan mas satu piling dan beras satu batok
kelapa untuk lingkungan atau kelompok di Indapura. Pad? bagian lain disebutkan . . . ser tunggalan banjar di Indrapura, yang artinya seorang pengawas untuk lingkungan banjar di Indrapura."
Berdasar uraian itu, relatif sulit membentuk banjar baru karena tidak saja
syarat wilayah, warga dan lengkapnya pengurus bunjar tetapi arus anut pada konse
Tn'Hita Karana sebagai tiga cara mencapai kesejahteraan (Bagus dkk., 1977:6),
(Anon, 1981:47-48), (Gelebet, 1986:24-25), (Purwita dkk., 1987:9), (Agung,
1989:2-3), (Warren, 1995:32), dan (Astika dkk., 1995:46) yaitu (1) krahyangan,
berupa dimilikinya Kahyangan Tiga (Pura Puseh, desa dan Pura Dalem) sebagai
aktivitas sarana hubungan manusia dengan Man;(2) Palemahan, adanya wilayah
dengan batas-batas jelas; dan (3) Rwungan, yakni adanya warga yang mendukung
pelaksaoaan fungsi hidup bermasyankat. Selanjutnya MPLA (1991:73) rnemandang
banjar sebagai unit wilayah pembangman terkecil dibawah desa adat dalam mewu-
jlaakan trepti ring tata-agama; trepti ring tata pmongan lan trepti ring tatapdmmhan yang artinya tertii menjalankan kehidupan beragama, tertib bexmasyarakat dan
tertib wilayah. Sifat keanggotan banjar terbuka dan dan tidak terbatas pada orangorang asli yang lahir di banjar itu, dengan ketentuan: telah menikah, memiliki taoah
pekarangan sebagai tempat tinggal tetap dan mendapat persetujuan banjar. Ada
banjar yang menganut traclisi asli yakni anggota banjar ngarep (adat/utama) adalah
24
penduduk asli-mula, maka jumlah anggota banjar adat (Ngarep) selalu tetap, dan
jumlah anggota banjar pengele (dinas) otomatis meningkat sejalan dengan makin
banyaknya anggota keluarga menikah atau sebagai pendatang baru. Pemberhentian
keanggotaan banjar karena meninggal dunia dan pindah banjar, mblgkaa sedangkantan dari keanggotaan karena : (1) kesalahan terlalu besar, seperti menghina bmjar,
mencaci-maki banjar clan atau pimpinan bunjar, (2) ti& taat mg-ow1'g bmrjw, (3)
m e d barta kekayaan banjar, (4) tidak menunaikan kewajikn bunjar secara berturut-turut; clan (5) tidak atau membangkang melunasi hutang-hutangnya (Arsana
dkk., 1990:155).
Perangkat fkik banjar terdiri dari wilayah &rlai banjar, yakni tempat pannan (musyawarah banjar), wilayah Natah (areal tempat bekerja atau bermain), dan
wilayah Pum bunjar sebagai tempgt sembahyang bersama pada saat Piodalmr banjar
(upacara) serta wilayah Balai Kulkul banjar yakni lokasi kentongan sebagai alat
komunikasi antara warga dengan bmjar. Perangkat lunak bmjar yakni m
y
a
awigmg yakni aturan ter&ulisataupun tidak tertulis dan dijadikan pedoman menge-
lola aktivitas ber-banjar. Aktivitas demikian itu diputuskan melali forum yang discbut Aesangkepan banjar, yang menghasilkanparwam (k-
banjar) clan dijadi-
lrandasarme~pembangunan.Atasdasarkeputusanitu,bmjar~h
sangsi yang bervariasi mulai dari ntareng (didiamkan atau tidak diajak berbicara),
kesepekan (disisihlran sampai batas waktu tertentu), ket&g
(diusir dari wilayah
banjar) sampai suwud-ung banjar yaitu dipecat dari keangg0taa.ubanjar. Bentukbentuk sangsi diatas sebenamya sesuatu yang samasekali tidak diinginkan oleh warga
banjar.
Dari berbagai informasi menunjukkan, banjar sebagai organisasi sosial
berdasar tradisi, sangat mandiri mengelola aktivitas hidupnya. Tidak hanya pasif
25
sebagai tempat tinggal warga, tetapi aktif menggemkkm potensi nilai, sumberdaya,
program, dan otonomi pemerintahan melalui mekanisme k e p d m p i i sendiri. Ciri
kebersamaan dan rasa bakti di dan keluar h n j a r menjadikan proses komunikasi
pembangunan bukan sesuatu yang aneh, dan dengan aktivitas terorganisir. Rasa
akrab dalam suasana demokrais menjadikan banjar selalu interaktif menerima dan
mengolah inovasi pembangumm. Loyalitas sewadah metnun-
ragam inspirasi
clan aspirasi mudah disoshhsi, sampai tajamnya perbe&m relatif mungkin diasosiasikan ke tujuan bersama. Misi kesejahteraan atas dasar suka dan duka bersama,
semangat kolektivitas dan toleran terhadap kebutuhan bersama, didukung sarana
media, kuatnya sangsi moral dan penghargaan sosial dalam ber-banjar diduga dapat
mempercepat proses penyuluhan ataupun gerakan pembanguan di banjar. Semangat
kolektif dan rasa patuh diatas memungkinkan bmjar potensi sebagai wadah penyuluhan dan mengelola gerakan pembangunan menuju kesejahteraan warga bunjar.
Sekehe adalah kelompok-kelompok kecil di banjar. MereIra mengbimpun diri
karena memiliki kernampuan kerja (profesi) yang sama, dalam satu atau lebih mata
pencaharian yang did&
rasa akrab atau "pekanterzm," (teman dekat) b a a antar
warga dalam satu bunjar atau antar bmjar. !3ecam fformal tidak memiliki hubungan
struktural dengan banjar seperti halnya Tempelcan kepada 6unjar. Umumnya, terbentuk sebagai kelompok-kelompok kecil pada rumah yang paling dekatan dan
mereka memiliki seorang Kelian Sekehe. Mereka tidak melakukan pertemuan rutin
dan tidak memiliki tempat atau waktu khusus. Selayaknya seperti banjar, sambung
rasa terhadap inovasi pembangunan lebih mudah diakukan karena disamping tidak
perlu mengikuti tatakrama yang ketat seperti di bunjar, juga tujuan yang ingin dica-
26
pai hauya di akses seputar kebutuhan sehari-hari. Sifat p e n g o r g h i a n Sekehe ini
relatif mudah dan peran anggotanya siap berubah mengikuti perubahan lapangan
kej a , misalnya jika panen tiba mereka diupah sebagai Sekehe-Manyi (memetong
padi) dm jika musim tanam tiba mereka beralih menjadi Sekehe-Akmdkr (menanam
padi). Perubahan aktivitas ini menunjdckan bahwa k o o r d i i tugas tidak melembaga
dan ikatan warganya b e r s i t temporer. Keunik.an aktivitas keja sekzhe diatas adalah
hanya dengan komunikasi sederhana, misalnya ketilca sedang berpapasan atau kebetulan bertemu di sawah, di balai banjar atau di pasar dan tanpa rencana atau tanpa
gagasan dasar sebelumnya mereka mudah sepakat untuk bekerja bersama. Kesepa-
katan dua atau tiga orang ini menjadi cikal bakal merekrut anggota lainnya, dan
aktivitas keja selanjutnya lebih banyak mereka berlrumpvl langsung ditempat kerja
clan selanjutnya sekedar membuat ketetapan-ke&tapan yang dkpakati bersama. Rasa
saling mempercayai menjadi alat pengikat, dan cara-cara seperti itu tetap dilakukan
walau pada wujud kerja yang berlaioan.
Secara umum, prilaku membangun diri tidak jauh berbeda dengan ikatan
banjar, bahkan tidak dapat dibedakan mana prilaku sebagai warga banjar dan atau
mana sebagai Sekehe. Ragam aktivitas sekehe diklasitikasi menjadi bebempa kelompok yaitu : Kelompok kehidupan berciri ekonomi, Kelompok kehidupan berciri
sosial, Kelompok berciri keagamaan, Kelompok berciri kesenian, dan Kelompok
lain-lain. Berdasar informasi diatas, sekehe-sekehe yang telah lama a& merupakan
klik-klik kecil, dimana antar anggota sangat akrab. Keluar masuk anggota tidak
memerlukan persyaratan tertentu dan dalam aktivitas kerja ekonomi, keagamaan atau
sosial tertentu hanya didasari kesepakatan-kesepakatan yang dapat berubah-ubah
tergantung kebutuhan mereka. Tidak jarang bahwa aspirasi membangun atau prakarsa-prakarsa kecilnya menjadi cikap bakal gerakan m e m u di banjar.
Mandat GBHN (1993:14) bahwa p m h q p m nasional harus dapat membe-
rikan kesejahteraan lahit batin dengan mempedmbanglran nilai Iuhur budaya bangsa.
UNDP (1990:6) menunuskan pembangmau mauusia sebagai d b g i n g the daois-
es of people yakni perluasan pilihan bagi penduduk melalui kemampuan dm kesang-
gupan memanfaatkan poteosi pembaqpm. Pembangunan tidaklah statis, melainkan
dinamis dan perubahan berlanjut, Development is not a
concept, it it d m -
ow& changing (Bintom clan Mustopordidjjaja, 1984: 1). Jilca M t k a n dengan filosofi
kerja penyuluhan yakni bekerja dengan dan atau bersama orang pada sistem saidnya untuk memi-isyamhtkan inovasi pembangman, malra pembangunan adahh It is a
n e v e r 4 n g process (Dahama dan Bhatoae;ar, 1985:22). Sebagai proses penlbahan,
hasil pembangunan seharusnya mendomng m
p
ia
nlebih aktif tidak saja menikmati, tetapi reaktif dan kreatif melibatkan diri dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunm. Menggalang peningkatan proddctivitas dengan ciri pe&@atm kualitas hidup masyarakat, tidak oukup dengan k n e d h y a sumberdaya alam tetapi suasa-
na bathin mengelola pembaqman, dinamika bermasyarakat setempat dan pertalian
hubungan dengan pemerintah harus hamonis. Kenyataan-kenyataan inilah yang
?
ingin dipelajari dari wadah-wadah pembaoguoao berciri tradisi.
Proses pembangunan dimulai dari adanya tujuan dau kebntuhan, selanjutnya
tujuan yang selaras akan membangkitkan
kerja yang akhimya mewujudkan
kemandirian (Gary, 1973:9). Gaiha (1993: 168) mengatakan bahwa, pembangunan
mestinya didahului adanya penyuluhan, dengan harapan mqy help improve income
distribdon (tejadi peningkatan pendapatan). Keberhasilan pembangman merupakan
tangga-tangga untuk membuka peluang yang lebih luas dan efisien, sekaligus menggali dan membekali masyarakat meraih prestasi dimasa datang (Mosher, 1969:8).
28
Senada dengan pandangan Koentjaraningrat (1994:lS-16) bahwa
-811
pemba-
ngunan mendatang terletak pada bagaimana kita membudayakan orientasi masa
depan, rasa percaya diri, semangat kerjakeras dan berdisiplin tinggi. Khusus wtuk
pembangumn pedesaan, Fischer (1989: 136) menadaskan tidaklah tepat menerapkan
&ya dan pendekatan birokrat, dan disarankan meman!%atkan cara-am praktis seperti bagaimana dan dengan apa mereka memenuhi pangan keluarga. Menmt Cary
(1989: 159-160) bahwa, karena harmonisnya suasana pada humM g m p i n g (kelompok kemanusiaan) seperti komtmihi sosial, sederhananya pola-pols liel;uasaan dan
lcepemhpioan me
mensejahterakan *at
dan dil-
bersama oleh pemerintah dan masyarakat
(GBHN 1993-1998: 127). Jika pembmgunau adalah aktivitas sistem, maka potensi
dan pemberdayaan peluang ekonomi, sosial dan budaya dalam wadah-wadah pem-
bangunan sebagai subsistem harus menjadi milik masyarakat. Sebagai peluang dan
harapan progresif diatas tidak selalu muncul dengan sendirinya, ataupun kalau
bangkit acapkali kurang t e d dan tidak produktif sehingga menggali untuk menggerakkan potensinya menjadi penting dan mend&.
Banjar adalah unit organisasi sosial berdasar tradisi di Bali. Selain menjadi
bagian dari pembangunan dan bagian dari sistem budaya Bali, banjar juga berwujud
wadah dibawah desa. Memiliki wilayah jelas, ada balai-banjar, krame-banjar
(warga), prajum-banjar (pengurus) d m awig-awig banjar (aturan sendiri) yang
sejak semula aktif mengatur aktivitas warga khususnya bidang agama dan adat.
pul bersama) yang dipedomani oleh nilai kebersamaan dan rasa bakti yang tinggi
.
menjadikan setiap wargdYa terikat pada kesatuan wilayah, admmami, pa-,
(wadah musyawarah), pura dan poswara kuhl-banjar ( s u m kentongan-banjar).
Semangat bhakti diatas cenderung mendasari suasana komunikatif sehingga proses
adopsi dan difusi pesan pembangwm cepat menjadi mil& warganya.
Sebagai wadah koordinatif, dipercaya mampu menggerakkan prakarsa dan
inovatif menggalang aktivitas warga, berarti sebagian fenomena penyuluhan d m
..
gerakan membaogun cenderung terakomodir di banjar. Dem&.m juga halnya terhadap daya kolektif yang dipraktekkan sebagai loyal m e b a - h j a r (bermasyarakat)
2
itu, tidak jarang menjadi kontra produktif seperti yang diingatkan oleh Shore
(1980:25) bahwa, afinitas masyaralrat pada l
d instinaion memang efektif mendo-
mng proses diseminasi pesan pembangunan, namun tidak jarang dapat meniadalcan
kreativitas personal. Informasi lain yakni peran etnis lokal mengelola p e m u
perlu digali, karena selain telah terbukti mampu menghimpun daya rakyat juga
menjadi identitas pembangman Indonesia (Soedjahmoko, 1993:98). Berdasar kepentingan tersebut maka mencari wadah penyuluhan dan gerakan pembangunan yang
tepat perlu kajian mmdalam.
Banyak faktor unik dari wadah pembangunan (termasuk banjar) yang perlu
diselaraskan agar harmonis menggerakkan pembangunan. Dalam pada itu, jika
pesan-pesan pembangunan dapat diorganisir (Rogers, 1983:360), apakah melalui
wadah kelompok (Dabama dan BhaQagar, 1985:328) dan orgaaisaSi mid (Ndraha,
199058) atapun melalui sistem sosial (Loomis, 1960:7) cendemg lebih efisien
dibanding pendekatan perorangan. Penegasan itu sejalan dengan anjuran Margono
Slamet (1988:9) bahwa dalam mengemban-
SDM dapat memanfaatkan wadah-
wadah yang sudah ada. Wadah lokal begitu d i s bahkan hubungan akrab warganya memungkinkan dia dekat dengan kehidupan demokratis (Tjondronegoro,
1978:44). Wiadah dengan ciri diatas identik dengan bnnjar di Bali, yang oleh Koentjaraningrat (1984:249) digolongkan sebagai organisasi kemasyamkatan berdasar
tradisi, dan ketradisionalannya mas& dilematis. Ada dugaan bahwa azas kebersa-
maan dan rasa balrti yang tiaggi (MPLA, 1990:37); kuatnya ikatan tmki dan loyalitas bermasyarakat di banjar (Mabbett, 1989:39); (Surpha, 1993: 17); dan (Warren,
1995:9), diduga menjadi pendorong kebersamaan. Dilema lainnya yakni potensi
lokal mana yang mendukung atau menghambat aktivitas penyuluhan pembangman?,
dan tidakkah semangat unifikasi justru melernahkan kreativitas membangun?.
3
Mewadahi pembangunan, berarti pula memfasilitasi perubahan yang terus
berkembang. Sejak lahirnya UU Nomor 5 lhhun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dan
pada tahun yang sama terbit SK. Gubemur Kepala Daerah Tigkat I Bali Nomor
181Kesra.II/Cl 11911979 tentang pembentukan Majelis Pembina Lembaga Adat
(MPLA) dengan salah satu tugasnya mernbautu Gubemur dalam pembinaan bmrjar.
Kepeduliau terhadap peran banjar makh besar, tedmkti labimp PERDA T i t I
Bali Nomor 06 Tahun 1986 yang pada dasarnya mengatur kedudukan dan fimgsi
banjar di Bali. Dampak pengaturan tersebut mexijadikan barijar tidak lagi terbatas
mengurusi kegiatan agama dan adat, tetapi semakin akomodatif sebagai wadah
penyuluhan kesAatan,
KB, transmigrasi, pajak, pariwisata, kamanan dan lain-lain
dengan konskuensi: dapatkah banjar yang didasari semangat tradii yang kukuhmandiri itu selalu harmonis mengolah pesan-pesan progresif pembangunan itu?
Menjawab tuntutan itu, akhirnya pemerintah daerah Bali bersikap jelas yakni
mengembangkan banhr (Anon, 1991:28), seperti tertuaog dalam :
(1) Proyek Pembangunan Berkelanjutan di Bali (Bali Sustainable Development Project), dengan salah satu butir pengembangan itu adalah "memacu
pusat-pusat kegiatan" yang dilaksanakan oleh kelompok muda-mudi
banjar seperti gotong-royong, kesehatan hgkmgan, kesenian, dll. "
(2) Pembangunan Bali yang Berwawasan Budaya dengan salah satu butir
pengembangan itu ".. . (8) Dalam pelalrsanaan pembaugwm peranan
lembaga-lembaga adat (banjar) t e r W sangat penting. Agar eksistensi
lembaga tradisi ini tetap utuh, malca upaya pembinnrn kearah keterbukaan, selektif dan adaptatif perlu ditingkatkan . . . " Fungsi ekspresif
(religius, solidaritas, estetis) dan fungsi orientatif-progresif (ekonomi, dan
IPTEK)perlu di pacu untuk tumbuh secara berimbang."
Besarnya keinginan agar wibdah banjar semakh bammnis mewadahi aktivitas
pembangunan maka, mengetahui melalui analisis potensi banjar pada komunitas
pertanian, kota, seniman dan komunitas pariwisata diharapkan &pat mengelimenir
unsur-unsur potensial sekaligus menekan nilai kontra membangun. Dalam pa& itu
4
dapatkah banjar "audible" dan "visible" (Suleiman, 1985:46) atau "readily" dan
"easily" menginformasikan pesan pembangunan (Kelsey dan Hearne, 1%3:438);
mampukah banjar memfasilitasi proses komunikasi (Loomis, 1960:7). Dapatkah
banjar menghidupkan peran unsur fisik, doktrinlnilai, program, sumberdaya dan
kepemimpinan dalam menggerakkan aktivitas warga (Esman, 1986:24)? Berdayakah
banjar memperluas wawasan warga agar efektif memanhtkan peluang pembangunan (Schramm dalam Kunczik 1984: 123)?
Belajar dari informasi tersebut, dan tekad menjadikan banjar lebih siap
mewadahi pembangunan dewasa ini, masih dilematis. Dari atas, banjar menjadi
penexus pesan pembangunan pemerintah; apakah sebagai fasilitator, mediator, organisator dan dinamisator pembangunan. Dari bawah, sebagai inisiator yang ahif
menggerakkan aktivitas warga. Atas dasar itu bagaimana potensi unsur fisik, nilai,
sumberdaya, program dan kepexnimpinan Banjar serta intervensi penmintah mewadahi ddvitas penyuluhan dan gerakan membangun?
Masalah Penelitian
Kehidupan dalam banjar, banyak d a k nilai asli yang teqxlihara dan diper-
tahankan kearah rukun membangun dan pada sisi lain pembangunan menghendaki
perubahan produklif. Silang dua kepentingan tersebut perlu dijawab, setidaknya dari
aspekpenyul*pem~
:
(1) Bagaimana perkembangan bunjar sebagai wahana pembaqunan?
(2) Bagaimana potensi dan pertalian unsur intend banjar yakni fisik, nilai, SDM,
program clan kepemimpinan serta unsur eksternal bunjar yakni intervensi pemerintah dalam mendukung banjar sebagai wadah penguluhan dan gerakan pembangunan?
(3) Apakah ada perbedaan dukungan unsur-unsur banjar terhadap potensi banjar
sebagai wadah penyuluhan dan gerakan pembangumn pada komunitas pettanian,
kota, seniman dan pariwisata?
(4) Bagaimana hubungan potensi banjar dengan tingkat partisipasi dan produktivitas dalam meningkatkan kesejahteraan warganya?
Berkaitan dengan masalah-masalah yang diungkapkan, m a h penelitian ini
bertujuan untuk :
(1) Mengetahui perkembangan banjar sebagai wahana pembangunan.
(2) Mengetahui potensi fisik, nilai, program, SDM dan kepembpinan bunjar serta
campur tangan pemerhbh dalam mendukung banjar sebagai wadah penyuluban
dan gerakan pembangunan.
(3) Mengetahui pertalian hubungan unsur fisik, nilai, program, SDM, dan kepe-
mimpinan banjar serta intervensi pemerintah mendukung poteosi bmjar sebagai
wahana pembaagunan.
(4) Mengetahui potensi banjar sebagai wadah penyuluhan dan gerakan
an pada komunitas pertanian, ekonomi, seniman dan komunitas p a r i w .
1
(5) Membuktikan benar tidaknya potensial bmjar sebagai wadah penyuluhan dan
gerakan pemban,gunan mampu mendorong partisiii dan produktivitas dalam
menhgkatkan kesejahteraan warganya.
Pemahaman yang benar akan potensi banjar : secara akademis menjadi alat
membuktikan konsep penyuluhan, pembangunan, organisasi lokal bmtjur dan partisi-
6
pasi masyarakat. Secara praktis bermanfaat bagi pemilik, pengelola dan pengguna
untuk aktif mengkondisi banjar agar selalu siap mewadahi pembangunan. Khusus
"bagipenyuluhan pembangunan b e r p dalam hirl :
(1) Dengan diketahuinya perkembangan dan ragam potensi unsur pendukung
bunjar, merupakan m m h n baarti bagi penyulub pembmgtman dalam memilih
banjar yang tepat berdasar kesiapan, dukungan nilai, kemampuan SDM,ciri
kepemimpinan yang berbeda-beda pada komunitas banjar yang berlainan.
(2) Dengan diketahui potmi atau tidaknya hcznjar mewadahi penyuluhan dan gerak-
an pembangunan, dijadikan titik tolak dalam mendmng peningkataa partisipasi
warga banjar untuk aktif berdasar kemanpan dan kesmpam memanEdatkan
peluang membangun.
(3) Dengan mengetahui produktivitas warga yang mungkin berkaitan dengan tingkat
partisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, matra dijadikan dasar
pemberdayaan unsur dan daya banjar agar selalu progresif mewadahi aktivitas
pembanv-
Pengungkapau sejarah Bali dimahdkan sebagai penjelas pemahaman tentang
sosok banjar di Bali sebagai unit organisasi tdisional yang diked, d i i , d i i g a i
dan ditaati sebagai wahaua kehidupan sehari-hari dengan misi utama meningkatkan
kesejahteraan hidup melalui kebersamaan. Selain telah melembaga (institutionalized),
@sku berbanjar juga membudaya (intemakd) dalam jiwa warganya. Atas dasar
itu, perlu dirunut cikal-bakal perilaku kebersamaan dan kebaktian dengan harapan
dapat dikembangkan agar lebih fleks~hldan adaptif xmmbaai pempembangunan.
D i u t k a n , untuk pertama kali yakni tanggal 16 April 1849 Bali secara total
jatuh ketangan penjajahan Hindia Belanda. Kejatuhan itu ditandai oleh pebenteng pertahanan Jagaraga dari kerajaan Buleleng, kemudian terakhir ditaklukkannya kerajaan Klungkung (Astiti, 1994:63). Sejak tahun 1855 penguasa setempat
yang sebelumnya berada di tangan raja, kemudiau diganti oleh Regen (Regent) yang
diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda. Secara bergantian terjadi peperangan
melawan penjajah, clan pada tanggal 20 September 1906 terjadi peperangan dengau
,
kerajaan Badung yang dikenal dengan PupIctmr &rdung. Selang bebempa hari, yakni
pada tanggal 27 September 1906 dengan kerajaan Tabanan dan tanggal 20 April
1908 dengan kerajaan KIungkung dengan "Puputan KIungkung" .Dengan jatuhnya
kerajaan Klungkung itu, maka secara fisik Bali dikenddikan oleh pemerintahan
penjajah (Agung, 1987:24). Istilah puprcran yang berarti perang habis-habisan melalui kekuatan bersama, yang sampai saat ini tetap sernarak diperingati sebagai salah
satu cikal bakal semangat kebersamaan di banjar saat ini. Perkembangan selanjutnya, antara tahun 1308-1938 Bali berada pada masa dimana penguasa pribumi yang
8
disebut Regen berkedudukan sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda dan berdasar
Staatblad 1929 Nomor 226 Bali dibagi menjadi dua bagian wilayah dalam delapan
'Swapraja, yakni Bali utara dengan swapraja Buleleng dan Jemberana dibawah
pemerintahan Residen Bdi clan ILOmbok yang berkedudukan di Singaraja. Bali selatan terdiri dari swapraja Badung, Thbmm, Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karang-
asem dibawah pemerintahan seorang Asisten Residen berkeddukan di Denpasar.
Tahun 1938 pemerintahan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Kerajaan. Sejak saat itu, pemerintahan di masing-masing swapraja diatur menurut
adat-istiadat yang hanya berlaku setempat yang menjaladcan keadatan pada bidang
qama, peradilan dan kepolisian (Mirsha, 1986).
Bendasar aturan bersama Nomor 1
tertanggal30 September 1938 dan dalam masa pemerintah setempat itu d
i
i
I t z m Agzmg sebagai federasi delapan swapraja dengan susunan sebagai berikut:
(1) Residen Bali dan Lombok sebagai ketua merangkap mggota, (2) Raja-Raja dari
kalelapan swapraja sebagai anggota clan (3) Dua orang dari masing-masing swapraja
sebagai penasehat. Selain 142-
Agzmg yang dianggap cikal bakal musyarawah di
banjar, juga dibentuk unit Paruman Negara yang terdiri dari: Raja, Pendeta
(Bagawanta), Kontrolir clan WaLil-Wakil organisasi sosial politik masing-masing
swapraja.
,
Pola penjajahan berganti, antara tahun 1942-1945 Bali berada dibawah
pendudukan Jepang, dengan kekahhamya melawan tentara Sekutu pada tahun 1945,
Bangsa Indonesia termasuk Bali memasuki jaman kemerdekaan. Panunan Agung
sebagai wadah musyawarah kenegaraan dianggap tidak relevan lagi dan diiubarkan
pada tanggal 29 September 1950, lalu diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Sementara (DPRS), selanjumya pada tahun 1957 lahirlah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah sebagai pembaha-
9
ruan dari Undang-Undang Nornor 44 Bhun 1950. T w y a pada tanggal 14 Agustus 1958,melalui Undang-Undang Nomor 64 tehwukZuh Propid
Doti I Bali, yang
btuk pertama kalinya dengau Ibu Kota Singaraja. Pada tahun yang
U-g-Undang
sama, berdasar
Nomor 69 Tahun 1958 t e r b e n t W &hpan Docmlr Engkut ZI.
Pesatnya kemajuan pembangman, akhhya melalui Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 52/U36/136,
tertaqgal23 Juni 1960 Ibu Kota
Dati I Bali pindah dari Singaraja ke Denpasar. Undang-Undang Nomor 1 N u n
1957,dianggap tidak relevan lagi clan kemudian dicabut dan diganti dengan UndangUndang Nomor 18 lhhun 1%5, p d a saat ini sedang tejadi p u n c a k e gejolak
dimana cerminan pemerintahan d i m d oleh unsur--
NASAKOM sehingga
pemerintahan nasional menyebutnya Pemerintahan Orde Lama. Perganth sistem
pemerintahan setelah 'Mun 1966 itu disebnt Pemerintahm Orde h.
Dalam rangka penyeragaman pemerintahan di daerah, terbitlah UndangUndang RI Nomor 5 'Xhhun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
selanjutnya kurang lebih lima tahun kernudian Iahirlah Undang-Undang RI Nomor 5
Tahun 1979 yang secara khusus mengatur mrzerintahan Desa. Sejak saat itulah,
pemerhtahan tingkat desa yang berbak mengatur rumahtangga sendiri atau kelurahan
yang tidak berhalr unt& itu berada di'bawah camat OpaSal 1 UU No.5 'Mun 1979).
Sebagai organ pentbangunarr terendah dibawah desa atau keludan adalah Dusun
aau Lingkungan (Permendagri No. 5 Tabun 1981, tentang Pembentukan Dusun
dalam Desa dan Lingkungan dalam Kelurahan; Permendagri No. 7 Tahun 1983
tentang Pembentukan Rukun Tangga dan Rukun W g a ; dan Permendagri No. 11
Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat
DesaIKelurahan) yang khusus di Daerah Tingkat I Bali Dusun/Linghgan identik
dengan banjar binas dibawah desa dinas atau banjar adat dibawah desa adat ( P a d 1
10
PERDA Bali No. 06 Tahun 1986). Berdasar informasi diatas, maka jauh sebelum
pembinaan, penataan dan penyeragaman itu di masyaralrat dan pemerintahan Dati I
Bali hmya ada banjar sebagai kelompok masyaralrat diiwah desa adat maupun desa
dinas, berdasar itu pulalah hingga kini kebanyakan banjar yang hanya memiliki
satu/seorang Kklian 6anjar dan ada pula sudah terpisah antara A2li.n odat memim-
pin banjar adat dan Rklian dinas sebagai pemimpin tmnjar dinas.
Pengakuan akan keberadaan desa adat dan banjar adat sebagai organ pembangunan semakin kuat bahkan terkesan dipentingkan oleh p e m e ~ t a hterbukti
,
dengan PERDA Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 diaturlah dengan seksama
kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan
hukum adat.
Jauh sebelum itu, berdasar PERDA Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra,WC119/1979
maka aktivitas adat dibina secara resmi oleh Majelis Pembina Lembaga Adat
(MPLA) mulai dari tingkat propinsi, kabupaten sampai tingkat kccamatan dengan
tugas pokoknya menata, membii dan mengembaugkau organisasi kemasyarakam
termasuk banjar. Laporan MPLA (1995:2-7) menjelaskan bahwa ragam program
yang berhasil dilaksanakan, diantaranya : (1) Memberikan penyuluhan adat dan
agama terpadu, (2) Pembinaan banjar dan Sekehe Tern-Tenuu' (XU), (3) Pembi-
naan Lernbaga Perkreditan Desa (LPD), (4) Penyuratan Awig-Awig desa dan tmnjar
adat, (5) Melaksanakan clan mengukuti seminarIceramah/penataran dan penelitian,
(6) Penanganan pelaksanaan penyepian (Hari Nyepi) dan Upacara Agama besar
seperti Karya Agung Eku Dasa Ludra dan Eka Bhuana baru lalu, (7) Menyusun
buku "Butir-Butir Mutiara dalam Pembangunan Desa Adat di Bali dan puluhan buku
tentang banjar, dan (8) Mengikuti impeksi Gubemur ke daerahdaerah.
Mandat GBHN dan Pola Dasar Pembangunan Daerah Bali Wun 199411995-
199811999 menghendaki pertalian antara pemerintah dan
semakin erat. Dengan bekal semangat, sifat swadaya, ciri kebersamaan, budaya
tolerasi, rasa bakti berdasar ikatan kesatuau tradisi yang tinggi menjadilran pengelo*laanpemerintahan banjar semakh interaktif. Pola kepernimpinan &ian banjar
(pinpinan h j a r ) yang berorientasi hubungan baik &lam penyelesaian tugas bersa-
ma dalam suka dan duka, adanya aturan kelengkapan sarana fisik, sumberdaya
warga dan faktor pelancar lainnya memungkidm banjar itu efektif menggerakkan
pembangunan atau mewadahi penyuluhan pembangunan. Ragam program pembangunan seperti KB, Agama dan Adat, Kesehatan, Koperasi, Pendidikan, Kesenian,
Olah Raga, Lingkungan, Pariwisata, Pemerintahan, Generasi Muda, Sosial dan
Budaya menyadarkan masyarakat untuk semakin sinergis dan co-acting dalam
mengolah dan memberdayakan potensi masing-masing. DaIam kurun waktu m t u ,
berhasivgagalnya pembangman yang menggarnbarkan kemampmn bmy'ar menggerakkan partisipasi, interakasi dan koaksi warga didnu dengan berbagai cara, dimtaranya Lomba Desa. Secara khusus di Bali digelar Lomba Desa Adat, terakhir
berdasar Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Bali Nomor 515 Tahun 1995 tentang
Pedoman Pembinaan clan Penilaian Lomba Desa Adat yang pada dasarnya menilai
kemajuan Desa Adat clan banjar Adat dalam membedayakan potensi meialui proses
perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangumn. Lomba Desa ini
menjadi wahana yang tepat dalarn mewujudkan banjar sebagai community Cknter
atau mementum gerakan mernbangun berciri rukun, mandiri, peduli clan sejahtera.
Organisasi kemasyadatan sebagai unit sosial yang d ~ h t u dan
k dikembangkan oleh masyarakatnya adalah wadah sekelompok atau beberapa kelompok orang
guna melakukan proses kegiatan yang terorganisasikan secara sistematis. Tergambar
adanya aturan baik tertulis maupun tidak yang mengatur pembagian tugas, wewenang, tanggungjawab dan peranan atas anggota-auggoh masyarakatnya. Penetapan
norma hubungan antar peranan itu dibentuk pada sebuah struktw dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Desa, disamping desadesa adat di Bali, juga Desa di
Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun clan Marga di Palembang sebagai susunan asli
yang diakui keberadaannya di Wilayah Negara Republik Indonesia, merupakan
organisasi pemerintahan terendah (Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 lhhun 1979),
"Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk &gai
kesatuan masyamkit termasuk didalamnya kesatmn masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah dl'bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan nunah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. "
Pengelompokan sosial di Bali dibedakan dalam beberapa bentuk yakni :(1)
Pengelompokan sosial berdasar pemekmwn ReRembatan, sehingga namn;ll gnanya
sebutan "Tuggal Kawitan" sebagai ketunggaIan silsilah, (2) PengeIompokm berdasar kesatuan siwa artinya ketunggalan pendeta yang menjadi pemimpin upacara
keagamaan, (3) Pengelompokan atas dasar tujuan a n t u yang melahirkan seRehe,
(4) Pengelompokan atas dasar hiburan clan kesenia.., (5) Pengelompokan atas
kebaldiao di Pura, dan (6) Pengelompokan atas dpsar
p e r t a h yPnb mobgn-
nakan irigasi yang sama, disebut Subak.
dan Arsana dkk., (1994:25-26) bahwa organisasi masyarakat di Bali dikenal mulai
dari Desa (Desa Adat dan Desa Dinas), SuboR, banjar aim Sekehe. Berdasar keorganisasian itu, s
e
w orang yang tinggal menetap di wilayah Bali akan menjadi anggota
dari salah satu atau lebih organisasi tersebut. Desa dinas, yang anggotanya adalah
seluruh penduduk di Bali, dijabat oleh s e o r q Kepala Desa yang mengatur adminis-
trasi pemerintahan vertikal sampai ketingkat pusat dan merupakan lembaga ketatanegaraan terbawah yang berwenang langsung menaagani tata pemerintahan di wilayah
desanya. Desa adat merupakan lernbaga agama Hindu, anggotmya hanya penduduk
asli yang beragama Hindu dan dijabat oleh seorang Bendesa A&
(pimpii-an adat)
memiliki kewenangan laagsung untuk mengatur segala pelaksanaan adat (Sudharma,
1971:10-11). Bagi penduduk pendatang baik warga Hindu dan bukan Hindu,
umumnya menjadi anggota desa dan banjar dinas. Ciri inilah yang membedakan
anggota banjar adat dan banjar dinas. Dari beberapa infonmsi diatas, 6unjar paling
populer diantara organisasi lokal setempat katena selain strategis dan memiliki mgawig pengatur perilaku warga, juga kelengkapan sarana fisik dan kenyamanan
menggunalcan lnmjar memmgkhkan banjar itu solid mewahani pembangwm. Tidak
kurang dari ungkapan Rogers (1983: 171) bahwa &hrga Berencana W e m banjar
di Indonesia dikenal secara htemsional, seperti uraian berikut :
" . . .A similar grouporiented strategy for family planning is followed in the
"group planning of births" in the poeple's Republic of China and in the
banjar approach of Bali, an Indonesian province. "
Organisasi lainnya adalah SubaR, sebagai perkumpulan petani pemalrai air
yang m
e
-
suqlber air irigasi yang sama. Keanggotaaunya bisa dari bebera-
pa banjar dalam satu desa atau beberapa warga desa dalam satu Kecamatan. Kedua
organisasi diatas mesniliki historis identik seba@ pengelola aktivitas pembangmm
lokal atau secara geografis berada pada wilayah yang sama. Sedangkan Sekehe
adalan perkumpulan suka-duka diiwah organisasi bmjar, dapat bersbet p w n
tetapi pada umumnya kebanyakan temporer. Bidang aktivitas perkumpulan ini biasanya berdasar hobi atau kesenangan tertentu yang muncul atas dasar tuntutan dan
kebutuhan lingkungan setempat. Keanggotaaunya dapat berasal dari satu h j u r atau
beberapa banjar dalam satu desa.
Masyarakat Bali, selain terikat oleh kekerabatan atas dasar ketumm juga terikat wilayah yaitu Desa dan banjar. Banjar sebagai kesatuan hidup setempat
(Arsana dkk., 1994:26). Persekutuan hidup sosial (Purwita, 1984:SO) dan sebagai
organisasi sosial tradisional yang berfungsi mengatur kejasama antar anggota dalam
kegiatan keagamaan, pemerintahan, dan tugas adat lainnya ben:iri kekeluargaan,
gotong-royong clan kebersamaan (Astika, 1986:8). Tmninologi h j a r yang berarti
&re?, jajar atau baris (Mordiwarsito, 1981:log), sehingga semua rumah-rumah
penduduk di Bali berderet secara teratur dengan batas-batas yang j e h . Sebuah tulis-
Gobkg &m Desa I tahun 836 Saka atau 914
an berbahasa Bali Kuna &lam Pd
Masehi (Goris, 1954:61) mengatakan bahwa banjar sejak semula memiliki peanimpin, berhak mengatur dan mewajibkan masyarakatnya untuk mendukung aktivitas
kebanjaran, selengkapnya diibutkan :
" . . . sambas mas pi 1bras karu 1 banjar di indrapura," yang artinya untuk
tempat sembahyang (Pura) dikenakan mas satu piling dan beras satu batok
kelapa untuk lingkungan atau kelompok di Indapura. Pada bagian lain disebutkan " . ser tunggalan banjar di Indrapura," yang artinya seorang
pengawas untuk lbgkwyp atau kelornpok di hdmpura."
. .
Banjar secara struktural a& dibawah desa dan dipimpin oleh Rklian banjar
,
yang dilengkapi seorang se-
disebut &nyariArm. Dalam koodhashya h j a r
dibagi menjadi beberapa Temp& @@an wilayah) yang unrmnnya empat buah yang
mmgelilingi Balai banjar yakni Tempekan Utara, T i m , Selatan dm Barat dengan
Kelian Tempekan masing-masing. banjar memiliki juru arah disebut Kesinoman
banjar yang jumlahnya bervariasi sesuai kebutuhan banjar, selanjutnya dalam satu
tempekan terdapat Sekehe lengkap dengan Kelian Sekehe. Sifat keanggotan banjar
tidak tertutup atau tidak terbatas kepada yang lahir di banjar, namun orang-orang
lain di luar banjar dengan ketentuan setelah menikah menjadi anggota banjar.
15
Pemberhentian keanggotaan dilakukan karena meninggal dunia dan pindah banjar,
sedangkan pemecatan dari keanggotaan &pat terjadi karena :(1) Kesalahan terlalu
&xu, seperti menghina, mencaci maki banjar dan pimpinan banjar, (2) Tidak
mentaati kedudukan aturan di iimjar, (3) Mencuri harta kekayaan b r m t , (4) Tidak
menunaikan kewajiban banjar secara bertwut-mut; dan (5) Tidak atau membangkang untuk melunasi hutang-hutangnya (Arsana, 1990: 155).
Fisii banjar terdii dari
banjar, sebagai tempat musyawarah, b e ,
dan wadah aktivitas penyuluhan seperti KB, Agama dan Adat, Pajak, Kcsehatan,
Koperasi, Pariwisata, Kebersihan Lingkungan, Pemerintahan, Generasi Muda dan
lain-lain. Pura banjar sebagai tempat sembahyang bersama pada saat Piodalan
banjar dan KulkuI banjar sebagai sarana komunikasi dalam melakukan ahivitas
pembaqwm. Kekuatan banjar mengikat warganya, tidak saja itratan fisik sebagai
kesatuan tempat tinggal bersama tetapi juga ikatan.mora1-psilologis mekbmakan
pembangunan seperti diuraikan diatas. Secara khusus, menurut Arsrura (1990:87)
dikembanglcan tata kelakuan kesethkawanan, sikap mental dan tenggang rasa, bekerja keras, cermat, bersahaja, rasa pengabdian, kejujuran clan kewiraan.
Sekehe
Sekehe berada dibawah banjar. Terbentuknya diawali oleh rasa akmb antar
warga dari satu banjar atau antar banjar, selanjutnya berdasar kesgmaan pengetahuan dan kemampilan diituklah satu profesi kerja. Maeka tidak bertanggungjawab terhadap banjar seperti halnya pada Tempekan. Biasanya terbentuk sebagai
kelompok-kelompok kecil pada rumah-rumah warga berdekatan, mereka mengangkat
seorang Kelian &Rehe dan tidak menggunakan atau memiliki Edsilitas khusus &lam
berorganisasi atau koordinasi tugas. Komunikasi sosial adalah menjadi dasar untuk
16
bertukar pandangan. Penetapan tujuan kegiatan Sekehe diiembangkan sesuai kebutuhan dan tuntutan pembangunan setempat sehingga @at berubah-ubah mengikuti
trend mata pencaharian masyarakatnya. Secara umum Sekehe dapat diklasifikasi
menjadi lima kelompok (Astika dkk., 1987:44) yaitu : (1) Kelompok kehidupan
ekonomi : Sekehe manyi (panen padi), Sekehe memule (menanam Mi), Sekehe
numbeg (mencangkul), Sekehe jukung (nelayan), (2) Kelompok kehidupan sosial :
Sekehe patus (arisan), Sekehe sambang (ronda), dan Sekehe kmm&nmi (pemudapemudi); (3) Sekehe keagamaan :Sekehe maksan (pengemong Pura), dan Sekehe
kidunglmekekawin (pesantian); (4) Kelompok kesenian : Sekehe gong barnelan),
Sekehe Tari Barong, Sekehe Tari Kecak, Sekehe Angklung, Sekehe Arja, dan
Sekehe Drama; dan (3Kelompok lain-lain :Sekehe 'Esjen (sabmgan ayam), Sekehe
Tuak (minum tuak), dan Sekehe mepatung @esta).
Pada ragam komunitas, dijumpai ragam bentuk, besar dan finPhrn keaqgo.
taan. Umumnya bentuk bangunan sederhana yang terdiri dari bahan birmbu atau kayu
sumbangan warganya. Tidak jarang malah Ilnengguoakanatap pepohonan yang hidup
dan sengaja utuk tempat berteduh. Sebuah Sekehe berlokasi di banjar Pamesan
Sukawati (komunitas pariwisata) sangat unik, sebab warganya melingkupi tiga h@ar
dan memiliki hilitas televisi, papan pengumunan dan ragam poster pembangum.
Warganya, tidak hanya Kepala Keluarga namun didominir oleh remaja-remaja
sebagai bagian dari Sekehe Teruna/i antar bmrjar.
Berdasar uraian diatas, nampak Sekehe-Sekehe tersebut berperan meagorganisasikan kebutuhan anggotanya, dalam ha1 tertentu menjadi media komunikasi
informasl sebelum berlanjut sebagai keputusan musyawarah bmjar. Tidak jarang
pula inisiatif dan prakarsa masyarakat lahir dari interaksi mereka di dalam Sekehe,
atau dapat juga menjadi klik-klik kecil yang mengg-
aktivitas barjar.
.Wujud Organisasi Kemasyarakatan
di Bali
Berdasar pemikiran-pemikiran Bakke (1959:18), Bertrand (1 974:3). Siege1
d m Lane (1982:3376-377) dan dapat disimpulkan bahwa : organisasi kemasyarakatan analah suatu wadah ikatan sosial, bagian dari unit masyarakat luas yang diben-
tuk dan dikernbangkan oleh warganya atas dasar kepentingan bersama, untuk kemudim bersepakat menetapkan hubungan antar peran dalam melaksanakan proses kea
a
tnuntuk m q a i tujuan bersama. Ciri penting yakni daya ikat batin yang unik
antar anggota berkaitan laegsung dengan budaya dimana mereka berada (Beatty dan
Robbin, 1990:29). Pandangan serupa itu juga ditegaskan oleh Majelis Lembaga
Pembina adat (MPLA) Dati I Bali (1991:24-26), dimana aspek organisasi kemasyarakatan, mata peocaharian, tekonologi dan peralatan, kesenian dan aspek kesysastram Bali adalah bagian dari sistem budaya Bali. Wujud sub-organhsi kemasyarakatan itu adalah desa adat, banjar dan sekehe, yang dalarn menggerakkau aktivitas
pembangman di h j a r bersifat permanen sxbngkm s&k tempom.
Selain desa diatas, di Bali dikenal adanya desa adat yang bersifat khusus
untuk mengatur kegiatan adat dan diakui pem-
Republik Indonesia seperti desa
di Jawa, Nagari di Minangkabau dan Marga di Palernbang. Keberadaan desa adat
dan banjarnya dituangkan &lam Peraturan Daerah T
i I Bali Nomor 06 %bun
"Desaadat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat Hukum adat di
Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan hradisi dan tata
krama pergadan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu
dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengatur rumahtangganya sendiri."
Aktivitas bermasyarakat di Bali semisal desa adat dan banjar, umumnya
dimulai dari tujuan sebagai produk kesepakatan bersama, apakah tujuan itu murni
18
dari anggota masyarakat atau wujud inovasi pembangunan dari luar masyarakat.
lbjuan pembangunan yang jehs itu menjadi inspirasi dan sangat aspiratif mengelola
sumberdaya warga bonjar bahlran menjadi sarana komunikasi sosial yang efektif
mewujudkan ciri paras-pros satpanaya; selungkung-sebayantakeyaitu susah dan
senang selalu bersama. Kegiatan bersama atas dasar wig-awig malahirkan pola
kerja pembangunau yang sangat sistematis dan asosiatif menangkup setiap perbedam. Ciri asosiasi demikian itu cenderung mematikan semangat dan kreativitas
individu yang sebenamya positif bahkan pada kondisi perkembangan pembangunan
saat ini dapat menjadi sumber kegalauan berkepanjangan yakni di satu sisi sulit
keluar dari ikatan bmrjur, dan pada sisi lain potensi besar mengakses i n f o 4 luar
h j a r terbatas atau dianggap melanggar ketentuan bmrjar.
Desa adat yang rnembawahi bmrjar, mengahu aktivitas adat clan agama Hindu
di Bali, telah lama dijadilcan wahana menggerakkan pembangman melalui kekuatan
adat. Ciri kepatuhan yang selaras, serasi dan seimbang atas dasar Tri Hita Karana
rnelahirkan desiplin beragama (trepti parhyangan), berwilayah (trepti palemahan),
dan disiplin bermasyankat ((hrepti pawongan). N i Dasar Iainnya adalah Tri Kona
(Utpeti, Stiti dan Pralina), Tri Kaya Parisudha (Wkiika, Kayika dan Manacika), Tri
Mandala (Nista, M m a 'dan Utama Mandala) dalam mehkmmkan kewajl'ban Panca
Yadnya (Dewa Yadnya, Manusa, Rsi, Pitra, dan Butha Yadnya) berdasar pertimbangan Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama dan Moksa). Ciri khususnya
lainnya yang berkaitan dengan kewahanaan banjar yakni tertib wacana, sasana dan
busana sebagai pengamalan nilai Tat Fl(un h i yaitu setiap warga dapat mengembangkan semangat asah, asih dan asuh menuju banjar, banjir dan banjur. Menurut
Covarubias (1972:O); Bagus (1987:290); Swarsi dkk., (198856); clan Arsana dkk.,
(1994:25-26) selain banjar, di Bali dikenal organisasi lainnya seperti subak dan
19
sekehe. Berdasar keorganisasian itu, setiap orang yang tinggal menetap di wilayah
Bali akan menjadi anggota dari salah satu atau Iebih organisasi tersebut. Desa diuas,
beranggotakan seluruh penduduk yang tinggal di Bali, dengan seorang Kepala Desa
..
yang tugasnya mengatur admmdmi pemerintdm thgkat desa. Desa dinas, merupakan organ pemerintahan terbawah yang berwenang langsung menangani tata
pemerintahan di wilayah desanya, sedangkan Desa adat merupaka. lembaga adat
yang berfungsi mengatur adat dan aktivitas agama Hindu, anggotanya nrtalsh penduduk yang beragama Hindu, dipimpin seorang Bendesa adat (Swiharma,1971:10- 11).
Kenyataan tersebut berarti, warga asli (agama Hindu) selain menjadi warga desa
dioas juga warga desa adat.
Berdasar informasi yang dikemukakan, banjar memiliki wilayah fisik dan
melcanisme pemerhtah jelas, yalcni peran dan hubungau warga dikoodbsi teratur
oleh pengurus &lam mencapai tujuan bersarna. Dijiwai semangat dan budaya loyal
me-krame memberi suasana sambung-rasa antar warga, dan dengan unsur luar
banjar sangat harmonis. Integrasi peran fisik dan semangat diatas, memungkinkan
banjar potensi memberdayakan materi dan aspirasi warga yang dalam batas-batas
tertentu cenderung manjadi cikal bakal konplik ber-banjar. Dua fenomena sebagai
ciri dinamisnya h j a r ifu, memberi arah bagaimana peran aktif banjar mewadahi
penyuluhan dan geralcan membangunan. rasa bakti dan semangat getih a bumbung
(satu darah) diduga pula menjadi faktor pendorong kebersamaan dalam sulra maupun
duka. Ikatan fsik wilayah tidak sekedar batas, melainkan legal dan aseptabel menangkupi rasa aman atau digunakan sebagai spirit moral dalam memobilisasi sumberdaya banjar agar lebih produktif. Gerakan kolektif terkoreksi di banjar, cende-
rung menghargai cara-cara demo*
ngunan banjar.
dan sangat loyal mewujudkan tujuan pemba-
b e r j a Organisasi Kemasyaralcatan banidi Bali
Masyarakat Bali, selain terikat banjar sebagai tempat tinggal bersama, juga
wajib melakukan pemujaan (Pura), t;mah perranian (Subak), kasta, hubungan darab
dan perkawinan, Sekehe tertentu dan terikat pada kesatuan addnimmi (desa) terten-
tu. banjar sebagai kesatuan hidup setempat (Arsana dkk., 1994:26), juga merupakan
persekutuan hidup sosial (Purwita, 1984:50), dibawah desa adat seperti pasal 1
PERDA Tingkat I Bali Nomor 06 Wun 1986 yaitu :
"Banjar adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desa adat,
serta merupakan suatu ikatan tradisi yang sangat kuat dalam satu kesatuan
wilayah tertentu, dengan seorang atau lebih pimpinan yang &pat bertindak
kedalam dan keluar dalam rangka kepentingan warganya dan memiliki
kekayaan baik berupa material maupun bataial. "
Desa adat dengan banjar-banjamya, teguh dan unik menjalankan Dresta,
Sima dun Brta sebagai tertib bennasyarakat berdasar &sa, KaIa &n Patra yakni
pada tempat, waktu dan situasi tertentu (Agung, 1987:4-5). Sehgai organisasi tradi-
si, berfungsi mengatur aktivitas keagamaan, pemehtahan, dan adat lainnya berdasar
kekeluargaan, gotong-royong dan kebersamaan (Astika dkk., 1986:8). Warren
(1995: 169) meugungkapkan dimasa datang, bmjar tidak banya menonjol pada fhgsi
"death rituals and demands of membership" (ngaben) atau populer dari "family
planning-models, " (Model KB sistem banjar) namun penghargaan moral clan kuatnya
penerapan sangsi tradisi, memungkinkan dia menjadi pusat "economicactivities"
seperti "gentry of loan funds" (Patus=Arisan) yang terpercaya.
Aktivitas lernbaga berdasar tradisi menurut Beatty dan Robbii (1990:29-30)
sangat unik, karena misi inextricably linked yakni terikat-kuat kedalam dalam
memenuhi kebutuhan hidup bersama. Koentjaraningrat (1986: 12-13) menegaskan
organisasi sosial seperti banjar dan subak di Bali adalah puncak-puncak kebudayaan
nasional yang unik, tidak birokratis dan aktivitasnya berkaitan dengan hidup sehari-
21
hari. Semangat loyalitas, mudah membangkitkan kesadaraa dan rasa empati btrkelompok (Berlo, 1958:253). Sikap fanatis dari gerakan kolektif, dimulai dari adanya
pelopor yang mampu menangkap dan mengelola isu-isu seperti ketidaksesuaian
peran, keti-
sosial atau ketimpangan pemerataan hasil p e a h q m m yang
akhirnya menjadi keresahan dan gerakan massa (Hoffer, 1988: 107).
Didorong oleh adanya telman sosial seperti waj~%hadirpada setiap alttivitas
organisasi sosial, menyebabkan aktivitas mereka selalu utuh (Bretz, 1983: 121).
Inter-system linkage yang kental antar orang, pesan clan sarana dalam kelompok
sosial dapat menjamin kelancaran komunikasi sosial masyarakat (Havelock,
1969:2.9. Semangat belajar b e r m sebagai enforciiable of leaning (semua dapat
dipelajari) dalam wadah pendidikan masyarakat, menjadhu proses belajar-mengajar
berjalan aktif (Kochhar, 1981:30). Landis (1986:96-97) mengwaikan, efektifnya
pengelolaan aspirasi pada kelompok primer, simplisitas mencapai tujnan, dan
semangat berkarya membuat mereka cepat solid. Konsep diatas berbeda dengan
pandangan Combs dan Ahmed (1985:105) bahwa, masih ada lembaga pendidikan
tradisional sulit merombak kebiasaan lama, loemajuan dianggap kodrat bukan usaha,
dekat dengan budaya fhtal, pasrah dan tidak percaya diri. Ungkapan lain oleh
sa (1992: 48) bahwa teguhnya mrma kelompok, m e n j e kelompok itu masing
dari aktivitas pembangtman, sehingga Smuckler (1986:257) mensinyalir sebagai
sakral-budaya yakni sikap hidup yang lebih mementingka. hal-ha. mistik daripada
aktivitas rasional. Kesenjangan ini, tidak sedikit yang sengaja dipola bahkan dicipta-
kan untuk kemudian digunakan untuk rnemepdahadan status-quo mereka. h e r
(1978: 17) lebih tegas mengatakan bahwa the passing of traditional society dimana
bila pembangman malrin berkernbang, maka akan cendemg semakin memudamya
ciri masyarakat tradisional.
Lintas pandangan-pandangan diatas tentu masih hams dipelajari, temtama
bagaimana banjar mewahanai pembangunan?. Dilihat dari terminologinya, h j a r
berarti deret, jajar dan baris (Mardiwarsito, 1981: log), sehingga tata letak rumah
penduduk diwilayah bunjar (Bali umumnya) berderet-teratu dengan baas-batas yang
jelas dan tegas. Keteraturan itu, tidak semata bermakna fisik sehingga tidak ada
warga yang secara sembarangan dapat dan boleh mexmpti areal bmjar tanpa seijin
banjar, tetapi secara psikologis dapat menjadi commng spirits (semangat bersama)
yang mampu mengikat warga fuujar mengemhmgkan semangat irrter&g,
dan co-
acting serta counter-acting melaksanakan pembangunan. Kenyataan itu diperkuat
oleh Rogers (1983: 171) bahwa semangat dasar diatas, menjadi pembangunan Keluarga Bere-
di Bali yang disebut KB sistem tnmjar sukses dan dijadikan model
"A similar group-oriented strategy for family planning is followed in the
group planning of births in the poeple's Republic of China and in the h & z r
approach of Bali, an Indonesian province."
Ciri ketunggalan wilayah, memungkinkan banjar menjadi sumber inspirasi
dan sangat komunikatif mewadahi interkasi, toleransi, dan cepat menggerakkan
perubahan kearah tujuan bersama walaupun nirprogram. Kenyataan menunjukkan,
jarang banjar memiliki program kerja tertulis, ha1 ini diperkuat oleh pendapat
Agung dan Purwita (19845) d
i program banjar berpatokan pada nilai Catur
Dresta berupa empat ketentuan dasar yaitu (1) Sastra Dresta, ketentuan yang telah
tersurat dalam pustaka-pustaka suci; (2) Luku Dresta, berdasar keputusan pesamuan,
(3) Puma Dresta, pertimbangan historis-tradisional yang dipandang patut, dan (4)
&sa Dresta, ketentuan berdasar ketunggalan wilayah h j a r . Pelanggaran terhadap
pagar-bathin yang disebut tulah ditimpa RtauA (sengsara karena htukan) ini, menyebabkan setiap warga taat memelihara suasana rukun, peduli dan sejahtera.
Jika dipelajari dari usianya, aktivitas ber-banjar di Bali sudah sangat tua.
lblisan berbahasa Bali Kuna dalam "Prasasti Gobleg Pura desa I," tahun 836 Saka
atau 9 14 Masehi (Goris, 1954:6 1) menyuratkan bahwa pertalian-hidup mekramebanjar (bermasyarakat) dan rasa setangkup ber-banjar tidak hanya karena ikatan
wilayah hunian tetapi a& aturan, wadah bersama, pemimpin, dan pemerintahan
yang rnampu mengelola aktivitas bersama, seperti disebutkan :
" . . . sambas mas pi 1 bras karu 1banjar di indrapura, yang artinya untuk
tempat sembahyang (Pura) dikenakan mas satu piling dan beras satu batok
kelapa untuk lingkungan atau kelompok di Indapura. Pad? bagian lain disebutkan . . . ser tunggalan banjar di Indrapura, yang artinya seorang pengawas untuk lingkungan banjar di Indrapura."
Berdasar uraian itu, relatif sulit membentuk banjar baru karena tidak saja
syarat wilayah, warga dan lengkapnya pengurus bunjar tetapi arus anut pada konse
Tn'Hita Karana sebagai tiga cara mencapai kesejahteraan (Bagus dkk., 1977:6),
(Anon, 1981:47-48), (Gelebet, 1986:24-25), (Purwita dkk., 1987:9), (Agung,
1989:2-3), (Warren, 1995:32), dan (Astika dkk., 1995:46) yaitu (1) krahyangan,
berupa dimilikinya Kahyangan Tiga (Pura Puseh, desa dan Pura Dalem) sebagai
aktivitas sarana hubungan manusia dengan Man;(2) Palemahan, adanya wilayah
dengan batas-batas jelas; dan (3) Rwungan, yakni adanya warga yang mendukung
pelaksaoaan fungsi hidup bermasyankat. Selanjutnya MPLA (1991:73) rnemandang
banjar sebagai unit wilayah pembangman terkecil dibawah desa adat dalam mewu-
jlaakan trepti ring tata-agama; trepti ring tata pmongan lan trepti ring tatapdmmhan yang artinya tertii menjalankan kehidupan beragama, tertib bexmasyarakat dan
tertib wilayah. Sifat keanggotan banjar terbuka dan dan tidak terbatas pada orangorang asli yang lahir di banjar itu, dengan ketentuan: telah menikah, memiliki taoah
pekarangan sebagai tempat tinggal tetap dan mendapat persetujuan banjar. Ada
banjar yang menganut traclisi asli yakni anggota banjar ngarep (adat/utama) adalah
24
penduduk asli-mula, maka jumlah anggota banjar adat (Ngarep) selalu tetap, dan
jumlah anggota banjar pengele (dinas) otomatis meningkat sejalan dengan makin
banyaknya anggota keluarga menikah atau sebagai pendatang baru. Pemberhentian
keanggotaan banjar karena meninggal dunia dan pindah banjar, mblgkaa sedangkantan dari keanggotaan karena : (1) kesalahan terlalu besar, seperti menghina bmjar,
mencaci-maki banjar clan atau pimpinan bunjar, (2) ti& taat mg-ow1'g bmrjw, (3)
m e d barta kekayaan banjar, (4) tidak menunaikan kewajikn bunjar secara berturut-turut; clan (5) tidak atau membangkang melunasi hutang-hutangnya (Arsana
dkk., 1990:155).
Perangkat fkik banjar terdiri dari wilayah &rlai banjar, yakni tempat pannan (musyawarah banjar), wilayah Natah (areal tempat bekerja atau bermain), dan
wilayah Pum bunjar sebagai tempgt sembahyang bersama pada saat Piodalmr banjar
(upacara) serta wilayah Balai Kulkul banjar yakni lokasi kentongan sebagai alat
komunikasi antara warga dengan bmjar. Perangkat lunak bmjar yakni m
y
a
awigmg yakni aturan ter&ulisataupun tidak tertulis dan dijadikan pedoman menge-
lola aktivitas ber-banjar. Aktivitas demikian itu diputuskan melali forum yang discbut Aesangkepan banjar, yang menghasilkanparwam (k-
banjar) clan dijadi-
lrandasarme~pembangunan.Atasdasarkeputusanitu,bmjar~h
sangsi yang bervariasi mulai dari ntareng (didiamkan atau tidak diajak berbicara),
kesepekan (disisihlran sampai batas waktu tertentu), ket&g
(diusir dari wilayah
banjar) sampai suwud-ung banjar yaitu dipecat dari keangg0taa.ubanjar. Bentukbentuk sangsi diatas sebenamya sesuatu yang samasekali tidak diinginkan oleh warga
banjar.
Dari berbagai informasi menunjukkan, banjar sebagai organisasi sosial
berdasar tradisi, sangat mandiri mengelola aktivitas hidupnya. Tidak hanya pasif
25
sebagai tempat tinggal warga, tetapi aktif menggemkkm potensi nilai, sumberdaya,
program, dan otonomi pemerintahan melalui mekanisme k e p d m p i i sendiri. Ciri
kebersamaan dan rasa bakti di dan keluar h n j a r menjadikan proses komunikasi
pembangunan bukan sesuatu yang aneh, dan dengan aktivitas terorganisir. Rasa
akrab dalam suasana demokrais menjadikan banjar selalu interaktif menerima dan
mengolah inovasi pembangumm. Loyalitas sewadah metnun-
ragam inspirasi
clan aspirasi mudah disoshhsi, sampai tajamnya perbe&m relatif mungkin diasosiasikan ke tujuan bersama. Misi kesejahteraan atas dasar suka dan duka bersama,
semangat kolektivitas dan toleran terhadap kebutuhan bersama, didukung sarana
media, kuatnya sangsi moral dan penghargaan sosial dalam ber-banjar diduga dapat
mempercepat proses penyuluhan ataupun gerakan pembanguan di banjar. Semangat
kolektif dan rasa patuh diatas memungkinkan bmjar potensi sebagai wadah penyuluhan dan mengelola gerakan pembangunan menuju kesejahteraan warga bunjar.
Sekehe adalah kelompok-kelompok kecil di banjar. MereIra mengbimpun diri
karena memiliki kernampuan kerja (profesi) yang sama, dalam satu atau lebih mata
pencaharian yang did&
rasa akrab atau "pekanterzm," (teman dekat) b a a antar
warga dalam satu bunjar atau antar bmjar. !3ecam fformal tidak memiliki hubungan
struktural dengan banjar seperti halnya Tempelcan kepada 6unjar. Umumnya, terbentuk sebagai kelompok-kelompok kecil pada rumah yang paling dekatan dan
mereka memiliki seorang Kelian Sekehe. Mereka tidak melakukan pertemuan rutin
dan tidak memiliki tempat atau waktu khusus. Selayaknya seperti banjar, sambung
rasa terhadap inovasi pembangunan lebih mudah diakukan karena disamping tidak
perlu mengikuti tatakrama yang ketat seperti di bunjar, juga tujuan yang ingin dica-
26
pai hauya di akses seputar kebutuhan sehari-hari. Sifat p e n g o r g h i a n Sekehe ini
relatif mudah dan peran anggotanya siap berubah mengikuti perubahan lapangan
kej a , misalnya jika panen tiba mereka diupah sebagai Sekehe-Manyi (memetong
padi) dm jika musim tanam tiba mereka beralih menjadi Sekehe-Akmdkr (menanam
padi). Perubahan aktivitas ini menunjdckan bahwa k o o r d i i tugas tidak melembaga
dan ikatan warganya b e r s i t temporer. Keunik.an aktivitas keja sekzhe diatas adalah
hanya dengan komunikasi sederhana, misalnya ketilca sedang berpapasan atau kebetulan bertemu di sawah, di balai banjar atau di pasar dan tanpa rencana atau tanpa
gagasan dasar sebelumnya mereka mudah sepakat untuk bekerja bersama. Kesepa-
katan dua atau tiga orang ini menjadi cikal bakal merekrut anggota lainnya, dan
aktivitas keja selanjutnya lebih banyak mereka berlrumpvl langsung ditempat kerja
clan selanjutnya sekedar membuat ketetapan-ke&tapan yang dkpakati bersama. Rasa
saling mempercayai menjadi alat pengikat, dan cara-cara seperti itu tetap dilakukan
walau pada wujud kerja yang berlaioan.
Secara umum, prilaku membangun diri tidak jauh berbeda dengan ikatan
banjar, bahkan tidak dapat dibedakan mana prilaku sebagai warga banjar dan atau
mana sebagai Sekehe. Ragam aktivitas sekehe diklasitikasi menjadi bebempa kelompok yaitu : Kelompok kehidupan berciri ekonomi, Kelompok kehidupan berciri
sosial, Kelompok berciri keagamaan, Kelompok berciri kesenian, dan Kelompok
lain-lain. Berdasar informasi diatas, sekehe-sekehe yang telah lama a& merupakan
klik-klik kecil, dimana antar anggota sangat akrab. Keluar masuk anggota tidak
memerlukan persyaratan tertentu dan dalam aktivitas kerja ekonomi, keagamaan atau
sosial tertentu hanya didasari kesepakatan-kesepakatan yang dapat berubah-ubah
tergantung kebutuhan mereka. Tidak jarang bahwa aspirasi membangun atau prakarsa-prakarsa kecilnya menjadi cikap bakal gerakan m e m u di banjar.
Mandat GBHN (1993:14) bahwa p m h q p m nasional harus dapat membe-
rikan kesejahteraan lahit batin dengan mempedmbanglran nilai Iuhur budaya bangsa.
UNDP (1990:6) menunuskan pembangmau mauusia sebagai d b g i n g the daois-
es of people yakni perluasan pilihan bagi penduduk melalui kemampuan dm kesang-
gupan memanfaatkan poteosi pembaqpm. Pembangunan tidaklah statis, melainkan
dinamis dan perubahan berlanjut, Development is not a
concept, it it d m -
ow& changing (Bintom clan Mustopordidjjaja, 1984: 1). Jilca M t k a n dengan filosofi
kerja penyuluhan yakni bekerja dengan dan atau bersama orang pada sistem saidnya untuk memi-isyamhtkan inovasi pembangman, malra pembangunan adahh It is a
n e v e r 4 n g process (Dahama dan Bhatoae;ar, 1985:22). Sebagai proses penlbahan,
hasil pembangunan seharusnya mendomng m
p
ia
nlebih aktif tidak saja menikmati, tetapi reaktif dan kreatif melibatkan diri dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunm. Menggalang peningkatan proddctivitas dengan ciri pe&@atm kualitas hidup masyarakat, tidak oukup dengan k n e d h y a sumberdaya alam tetapi suasa-
na bathin mengelola pembaqman, dinamika bermasyarakat setempat dan pertalian
hubungan dengan pemerintah harus hamonis. Kenyataan-kenyataan inilah yang
?
ingin dipelajari dari wadah-wadah pembaoguoao berciri tradisi.
Proses pembangunan dimulai dari adanya tujuan dau kebntuhan, selanjutnya
tujuan yang selaras akan membangkitkan
kerja yang akhimya mewujudkan
kemandirian (Gary, 1973:9). Gaiha (1993: 168) mengatakan bahwa, pembangunan
mestinya didahului adanya penyuluhan, dengan harapan mqy help improve income
distribdon (tejadi peningkatan pendapatan). Keberhasilan pembangman merupakan
tangga-tangga untuk membuka peluang yang lebih luas dan efisien, sekaligus menggali dan membekali masyarakat meraih prestasi dimasa datang (Mosher, 1969:8).
28
Senada dengan pandangan Koentjaraningrat (1994:lS-16) bahwa
-811
pemba-
ngunan mendatang terletak pada bagaimana kita membudayakan orientasi masa
depan, rasa percaya diri, semangat kerjakeras dan berdisiplin tinggi. Khusus wtuk
pembangumn pedesaan, Fischer (1989: 136) menadaskan tidaklah tepat menerapkan
&ya dan pendekatan birokrat, dan disarankan meman!%atkan cara-am praktis seperti bagaimana dan dengan apa mereka memenuhi pangan keluarga. Menmt Cary
(1989: 159-160) bahwa, karena harmonisnya suasana pada humM g m p i n g (kelompok kemanusiaan) seperti komtmihi sosial, sederhananya pola-pols liel;uasaan dan
lcepemhpioan me