Cocoa Cultivation Practices and Prospect of the utilization of Black Ant and Weaver Ant for the Control of Cocoa Pod Borer in Kabupaten Kolaka Southeast Sulawesi

(1)

PRAKTEK BUDIDAYA KAKAO DAN PROSPEK PEMANFAATAN SEMUT HITAM DAN SEMUT RANGRANG UNTUK PENGENDALIAN

HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO DI KABUPATEN KOLAKA, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

NURIADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ” Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Nuriadi NRP A351070031


(3)

ABSTRACT

NURIADI. Cocoa Cultivation Practices and Prospect of the utilization of Black Ant and Weaver Ant for the Control of Cocoa Pod Borer in Kabupaten Kolaka Southeast Sulawesi. Supervised by I WAYAN WINASA and SYAFRIDA MANUWOTO.

Sulawesi Tenggara is one of the center of cocoa plantation in Indonesia. One of the problems faced by farmers is the infestation of cocoa pod borer (CPB). Farmers usually use chemical insecticides to control the pest, although the results are not satisfactory. The aims of this research were to find a cultivation for controlling the CPB, and the effect of the black ants and weaver ant to the attack intensity and seed damage caused by the cocoa pod borer. This research was conducted in cocoa plantation in Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, from April to September 2009. The research included survey of cocoa cultivation practices and utilization of black ant and weaver ant to control the CPB. The results showed that farming practices have been done by farmers, such as pruning, harvesting oftenly, sanitation–but not maximum and not all farmer practice it. To control the pest, farmers rely on insecticides. Biological control using black ant and weaver ant was not used by farmers. Weaver ants could reduce the population of CPB’s eggs, pupae, and adult, the fruit damage and intensity of CPB infestation decreased in the presence of weaver ant.


(4)

NURIADI. Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao. Dibimbing oleh I WAYAN WINASA dan SYAFRIDA MANUWOTO.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra perkebunan kakao di Indonesia yang sampai tahun 2009 luasnya mencapai kurang lebih 200.125 ha dengan produksi 137.775 ton. Salah satu masalah yang dihadapi petani dalam peningkatan produksi kakao di Sulawesi Tenggara adalah adanya serangan hama penggerak buah kakao (PBK). Untuk mengendalikan hama PBK umumnya petani di Sulawesi Tenggara masih tergantung pada penggunaan pestisida kimia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan pengendalian hama PBK, pengaruh keberadaan semut hitam dan semut rangrang terhadap intensitas serangan dan kerusakan biji akibat serangan hama PBK

Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan untuk melihat keadaan umum pertanaman kakao. Penelitian dilakukan pada kebun kakao berukuran luas ± 1 ha. Umur tanaman, cara perawatan dan naungan relatif sama. Untuk menghindari terjadinya interaksi antar perlakuan maka dilakukan pengelompokkan antara perlakuan semut hitam, semut rangrang dan kontrol dengan menggunakan pembatas berupa jalan selebar 2 meter yang ditumbuhi tanaman pembatas. Dalam percobaan ini digunakan lima perlakuan termasuk kontrol. Perlakuan terdiri dari: P1 (daun kelapa kering diberi cairan gula pasir 500 ml) ; P2 (daun kelapa kering diberi cairan gula merah 500 ml) ; P3 (bambu diisi jeroan ayam 0.25 kg) ; P4 (bambu diisi jeroan sapi 0.25 kg) dan P5 (kontrol). Masing-masing perlakuan diulang lima kali.

Hasil survei menunjukkan beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Untuk mengendalikan hama pada tanaman kakao sebagian besar petani masih mengandalkan insektisida. Pengendalian dengan pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang belum banyak dilakukan oleh petani

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Telur PBK mulai ditemukan pada buah yang berukuran 2-3 cm (bulan Mei) dengan kerapatan yang masih rendah. Pada bulan Juni populasi telur meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Juli, yaitu saat buah berukuran panjang 10-12 cm, kemudian menurun kembali pada bulan Agustus, populasi telur sangat rendah pada bulan September saat buah sudah mengalami proses pematangan. Pada pengamatan pupa dan imago menunjukkan bahwa populasinya hampir merata selama pengamatan, yaitu mulai bulan April sampai September. Pupa dan imago yang terbentuk berasal dari buah-buah lain yang tidak diamati perkembangannya. Pupa ditemukan menempel pada serasah dan buah kakao, sementara imago ditemukan pada cabang-cabang horizontal dan batang kakao. Secara umum terlihat bahwa populasi telur pada perlakuan semut rangrang relatif lebih rendah dari kontrol khususnya pengamatan


(5)

pada bulan Juni, Juli dan Agustus, sedangkan populasi pupa dan imago relatif lebih rendah pada perlakuan semut rangrang pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Untuk perlakuan semut hitam, populasi telur, pupa dan imago tampak tidak jauh berbeda dengan kontrol.

Semut hitam yang diinfestasikan pada bulan April setelah tiga sampai empat bulan kemudian rata-rata hanya menjangkau 5-10 pohon. Berbeda dengan semut rangrang dalam waktu yang sama mampu menjangkau 30-37 pohon kakao di sekitar tempat pelepasan. Agregasi semut mulai ditemukan setelah dua bulan diinfestasikan pada bulan Juni, agregasi banyak ditemukan pada tempat di sekitar tempat pelepasan baik untuk semut hitam maupun semut rangrang. Agregasi semut hitam ditemukan pada celah-celah yang telah ada di lapangan, seperti pada rongga di dalam kayu lapuk, rongga pada batang, juga liang bekas sarang rayap atau kumbang. Agregasi semut rangrang di lapangan ditemukan pada daun kakao dengan merajut 3-4 daun yang letaknya paling tinggi dan memilih daun kakao yang rimbun.

Hasil pengamatan terhadap aktivitas semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa aktivitas semut rangrang lebih tinggi dibandingkan semut hitam dan menunjukkan perbedaan nyata. Namun perlakuan gula merah dan gula pasir untuk semut hitam tidak menunjukkan perbedaan. Demikian juga perlakuan jeroan sapi dan jeroan ayam untuk semut rangrang tidak menunjukkan perbedaan. Peningkatan aktivitas semut hitam dan semut rangrang mulai terjadi setelah dua bulan diinfestasikan. Hasil pengamatan intensitas buah terserang dan kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa perlakuan semut rangrang berbeda nyata dengan kontrol sementara perlakuan semut hitam tidak berbeda nyata dengan kontrol

Kata kunci: hama PBK, praktek budidaya, semut rangrang, semut hitam


(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyatakan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PRAKTEK BUDIDAYA KAKAO DAN PROSPEK

PEMANFAATAN SEMUT HITAM DAN SEMUT RANGRANG

UNTUK PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH

KAKAO DI KABUPATEN KOLAKA, PROVINSI SULAWESI

TENGGARA

NURIADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Judul Tesis : Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama : Nuriadi

NRP : A351070031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 27 September 2011 Tanggal Lulus: Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si.

Ketua

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Anggota

Koordinator Mayor Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(10)

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu, oleh karena penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk membimbing penulis.

2. Dirjen DIKTI, PT.INCO Tbk dan Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara yang telah memberikan bantuan finansial bagi penelitian ini.

3. Pak Sapari, atas kebaikan hatinya memberikan izin untuk melakukan penelitian di kebunnya.

4. Asdar, SP, Setsmy, SP, Dewi Tisnawaty, S.Si, Indah Nur Ilawal, SP yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan.

5. Rekan-rekan aktivis ACDI/VOCA dan AMARTA atas bantuannya dalam memberikan data dan informasi.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Mahmud Hamundu, MSc, Dr. Ir. Taane La Ola, MS dan Dr. Ir. I Gusti Ray Sadimantara, M.Sc selaku Rektor Unhlau, Dekan Faperta Unhalu dan Ketua Jurusan Agroteknologi yang telah memberikan izin dalam menempuh studi di IPB.

7. Ayah, Ibu, Istri dan Anak tercinta, atas segala doa dan dukungannya.

8. Sahabat Mahasiswa Entomologi angkatan 2007 dan 2008; Mbak Atin, Mbak Lindung, Mbak Lidya, Yus, Rahma, Mbak Ani, Pak Fardedi, Pak Bagus, Pak Hendrival, Pak Nur Pramayudi, Benyamin Dendang, S.P dan Pak Dendi Juliadi atas semua bantuannya dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan.

9. Warga Desa Lambandia serta semua pihak yang telah bekerja sama membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan dunia pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Saran dan kritik sangat diharapkan dalam rangka perbaikan tesis ini.

Bogor, September 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 8 Juni 1976 dari ayah Sapri (Alm.) dan ibu Hadya. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Mandonga Kendari pada tahun 1995 dan diterima di Universitas Haluoleo pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis berhasil memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1999. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, tahun 2007 melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Entomologi dengan sponsor dari BPPS Dirjen Dikti.


(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Karakteristik Buah kakao ... 6

Fenologi Buah Kakao ... 7

Bioekologi Hama Penggerek Buah Kakao ... 8

Gejala Serangan dan Kerusakan ... 9

Hama dan Musuh Alami Tanaman Kakao ... 10

Pengelolaan Hama Terpadu ... 11

Pengendalian Hayati ... 14

Biologi Semut Hitam (Dolichoderus sp.) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati ... 16

Biologi Semut Rangrang (Oechophylla smaradigna) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati ... 18

Nutrisi Predator ... 20

BAHAN DAN METODE ... 23

Tempat dan Waktu ... 23

Survei Praktek Budidaya Kakao dan Pengendalian PBK ... 23

Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang ... 23

Bahan dan Alat ... 23

Pencarian Semut ... 23

Penentuan Petak Perlakuan ... 24

Pengamatan ... 25

Analisis Data ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27


(13)

xii

Keadaan Pertanaman Kakao ... 27

Praktek Budidaya Kakao ... 27

Karakteristik Petani... 27

Budidaya Kakao ... 31

Hama PBK dan Pengendaliannya ... 38

Sikap Petani terhadap Penggunaan Insektisida dan Musuh Alami ... 41

Partisipasi Petani dalam Kegiatan SLPHT ... 42

Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang ... 44

Kerapatan Populasi Telur, Pupa dan Imago ... 44

Aktivitas Semut ... 48

Intensitas Buah Terserang ... 53

Intensitas Kerusakan Biji ... 57

Pembahasan ... 60

KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

Kesimpulan ... 63

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka... 28 2 Latar belakang pendidikan petani di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 29 3 Latar belakang pengalaman berusahatani petani di Desa Lambandia,

Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 30 4 Luas lahan garapan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,

Kabupaten Kolaka ... 31 5 Varietas kakao yang ditanam oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 32 6 Umur tanaman kakao petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,

Kabupaten Kolaka ... 31 7 Populasi tanaman per ha di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,

Kabupaten Kolaka ... 33 8 Pemangkasan tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka... 34 9 Frekuensi pemupukan dan jenis pupuk yang digunakan petani di Desa

Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 35 10 Pengendalian gulma oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka... 35 11 Frekuensi panen kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka... 36 12 Pengolahan buah setelah panen oleh petani di Desa Lambandia,

Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka. ... 36 13 Pengolahan biji kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka.. ... 37 14 Perlakuan terhadap buah dan plasenta oleh petani di Desa Lambandia,

Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka.. ... 37 15 Persepsi masyarakat terhadap jenis hama yang paling merugikan

akibat serangan hama di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,

Kabupaten Kolaka ... 38 16 Cara pengendalian hama oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan


(15)

xiv

17 Pengetahuan tentang letak telur hama PBK oleh petani di Desa

Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 39 18 Kehilangan produksi biji akibat hama PBK oleh petani di Desa

Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 39 19 Cara pengendalian hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 39 20 Sikap petani terhadap insektisida dan pengetahuan tentang


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penempatan perlakuan di lapangan ... 24

2 Perkembangan populasi telur PBK selama bulan April sampai September 2009 ... 44

3 Perkembangan populasi pupa PBK selama bulan April sampai September 2009 ... 45

4 Perkembangan populasi imago (ngengat) PBK selama bulan April sampai September 2009 ... 45

5 Telur, Pupa dan Imago hama PBK.... 47

6 Kemampuan menyebar semut hitam dan semut rangrang pada bulan April sampai September 2009 ... 47

7 Rataan jumlah agregasi semut hitam pada bulan April sampai September 2009 ... 48

8 Rataan jumlah agregasi semut rangrang pada bulan April sampai September 2009 ... 48

9 Tempat terbentuknya agregasi semut hitam. ... 49

10 Agregasi semut rangrang ... 50

11 Interaksi semut rangrang dan semut hitam dengan kutu putih ... 51

12 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas per 15 menit pada bulan April sampai September 2009 ... 52

13 Semut rangrang dan semut hitam yang melintas pada pohon kakao ... 53

14 Perbandingan Intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan kontrol ... 54

15 Perbandingan Intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan pakan yang berbeda ... 54

16 Perbandingan Intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam pakan gula pasir dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi ... 54

17 Perbandingan Intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam pakan gula merah dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi ... 55


(17)

xvi

19 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan kontrol ... 57 20 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam

dan semut rangrang dengan pakan yang berbeda ... 57 21 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada pada perlakuan semut

hitam pakan gula pasir dengan Semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi ... 58 22 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada pada perlakuan semut

hitam pakan gula pasir dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi ... 58 23 Biji kakao sehat dan biji kakao rusak ... 60


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuesioner survey praktek budidaya kakao dan pengendalian hama

PBK Di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. ... 71 2 Denah Penelitian ... 77 3 Perkembangan populasi telur, pupa dan imago PBK selama bulan

April sampai September 2009 ... 78 4 Kemampuan menyebar semut hitam dan semut rangrang pada bulan

April sampai September 2009 ... 79 5 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas

per 15 menit pada bulan April sampai September 2009 ... 79 6 Jumlah agregasi semut hitam dan semut rangrang ... 80 7 Persentase intensitas buah terserang dan intensitas kerusakan biji... 81


(19)

(20)

Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2009, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi ± 1.29 juta kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga pada sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar 624 juta dollar AS (Ditjen Perkebunan 2010).

Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2009 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 1 110 032 ha. Perkebunan kakao tersebut 87.3% dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6.0% dikelola perkebunan besar negara serta 6.7% perkebunan besar swasta (Ditjen Perkebunan 2010).

Kualitas Biji Kakao Kering (BKK) dari Indonesia yang sebagian besar merupakan kakao rakyat, masih dicirikan dengan karakter citarasa lemah, kadar kotoran tinggi dan banyak terkontaminasi serangga, jamur, mikotoksin dan tidak terfermentasi dengan baik. Keadaan tersebut di samping menjadikan kakao Indonesia berharga rendah, juga menyebabkan citra kakao Indonesia masih buruk di mata dunia. Pemotongan harga terhadap kakao Indonesia yang dikenakan oleh pemerintah Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2009 telah mencapai 250 dolar AS per ton. Kerugian negara karena masalah mutu kakao mencapai 5.3 trilyun rupiah per tahun. Kualitas biji kakao Indonesia yang kurang baik menyebabkan ekspor kakao ke Amerika Serikat, Eropa dan Cina lebih memilih jalur melalui Singapura (Askindo 2010). Hal ini tidak boleh terus berlangsung, sehingga berbagai perbaikan perlu dilakukan.


(21)

2

Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu sentra perkebunan kakao

di Indonesia, sampai tahun 2009 luas tanaman kakao mencapai kurang lebih 200 125 ha dengan produksi 134 775 ton. Salah satu masalah yang dihadapi petani

dalam peningkatan produksi kakao di Sulawesi Tenggara adalah adanya serangan hama penggerak buah kakao (PBK). Hama ini merupakan hama yang paling merusak, sulit ditanggulangi dan dapat mengakibatkan kehilangan hasil atau produksi biji sebesar 40-90% (Dishutbun Sultra 2010). Akibat meningkatnya serangan hama penggerek buah kakao dalam beberapa tahun terakhir, petani di Sultra menderita kerugian sekitar Rp 352 miliar dalam setahun. Perkiraan tersebut dihitung dari kekurangan produksi minimal 200 kg setiap hektarnya dikalikan dengan luas tanaman yang sudah menghasilkan dan harga kakao di tingkat petani. Luas lahan tanaman kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 200 125 hektar, dengan asumsi harga kakao terendah Rp 11 000.00 per kg.

Di Sulawesi Tenggara hama penggerak buah kakao tersebut mulai dilaporkan pada tahun 1995 menyerang pertanaman kakao seluas 34.5 ha di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Selanjutnya hama tersebut berkembang dengan cepat hingga tahun 2005 telah tersebar di seluruh areal pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara dengan intensitas kerusakan ringan sampai berat (Mariadi 2007).

Untuk mengendalikan hama PBK umumnya petani di Sulawesi Tenggara masih bergantung pada penggunaan pestisida kimia. Metode lain yang digunakan oleh petani adalah penyarungan buah, pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan. Pemanfaatan predator dan parasitoid belum banyak dilakukan oleh petani karena belum diketahui efektivitasnya. Di samping itu, pelatihan teknik pengembangbiakannya di lapangan masih jarang dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah.

Selain permasalahan tersebut, dalam era globalisasi dewasa ini terdapat tuntutan yaitu produk yang dihasilkan harus memenuhi standar kualitas tertentu dan proses produksinya ramah lingkungan. Fakta di lapangan menunjukkan


(22)

bahwa pengendalian hama di tingkat produsen saat ini masih dominan menggunakan pestisida kimia, sementara tuntutan konsumen mengarah kepada

persyaratan lingkungan menurut ketentuan Worl Trade Organization (ISO 14000)

dan Codex Alimentarius Commission : adanya ambang batas maksimum kandungan zat tambahan, logam berat, residu pestisida dan bahan pencemar lainnya (Askindo 2010). Hal tersebut menjadikan kakao asal Indonesia hanya digunakan sebagai bahan pencampur. Apabila kakao Indonesia ingin bersaing di pasar global maka persyaratan tersebut harus dipenuhi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing produk kakao Indonesia adalah melalui pengembangan dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilihat dari sisi perundang-undangan, PHT telah memperoleh dukungan yang kuat dari pemerintah melalui UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri Pertanian No.887/Kpts/OT/9/1997 tentang pedoman Pengendalian

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Secara global PHT atau Integrated Pest

Management (IPM) memperoleh pengakuan sebagai program pertanian

berkelanjutan antara lain dengan dimasukkannya PHT sebagai salah satu program dalam Agenda 21 Hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

Tujuan umum program PHT adalah pengembangan sistem pengelolaan hama terpadu dan berwawasan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan komponen pengendalian OPT yang akrab lingkungan seperti penggunaan agens hayati (predator, parasitoid dan patogen serangga) perlu memperoleh perhatian dan dukungan (Untung 1993). Pada kenyataannya, PHT merupakan metode dan proses pengambilan keputusan pada struktur ekosistem untuk meminimalkan kerusakan akibat hama dan menghadapi permasalahan hama yang tidak bisa dihindari (Pawar 2002).

Menurut van den Bosch et al. (1982), Pengendalian Hayati mencakup tiga

pengertian yaitu : (a) sebagai disiplin ilmu (b) sebagai metode pengendalian hama dan (3) sebagai fenomena alami. Sebagai bidang ilmu, pengendalian hayati merupakan bentuk terapan dari ilmu biologi khususnya entomologi. Pengendalian


(23)

4

hayati menitikberatkan kajian pada interaksi antara organisme dan musuh

alaminya. Organisme target berkedudukan sebagai mangsa (prey) atau inang

(host) sedangkan musuh alaminya bersifat sebagai predator. Penggunaan musuh alami untuk pengendalian serangga hama baik predator, parasitoid, patogen, agen antagonis dan kompetitor serangga hama merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dalam pengendalian hayati (Norris et al. 2003).

Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen pengendalian utama

di dalam PHT dengan memanfaatkan semut hitam (Dolichoderus thoracicus)

dan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) yang merupakan musuh alami

hama PBK. Penerapan PHT diharapkan dapat berkontribusi nyata dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kakao di Indonesia (ACDI VOCA 2005)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan bekerjasama dengan LSM ACDI VOCA pada sentra perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa dijumpai empat spesies semut yang terdapat pada tanaman

kakao yaitu Oecophylla smaragdina (semut rangrang), Dolichoderus sp (semut

hitam), Anoplolepis longipes, dan Iridomyrmex sp. Dari ke empat spesies hanya

Dolichoderus sp dan Oecophylla smaragdina yang memiliki potensi yang baik

dalam menekan serangan hama PBK (ACDI VOCA 2005). Di Sulawesi Tengah

(Pallolo Valley) keanekaragaman semut didominasi oleh Dolichoderus thoracicus

(46%), Oechophylla smaradigna (31%), Crematogaster sp (21%) dan Iridomyrex

sp (2%) (Meldy 2004).

Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi essensial dan nutrisi alternatif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa, serta reproduksi imago agar mampu mempertahankan populasinya (Dicson 2003). Nutrisi yang dibutuhkan serangga adalah asam amino, karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral dan air (Chapman 2000).

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang untuk pengendalian hama PBK dengan menggunakan beberapa


(24)

bahan sebagai sumber makanan untuk pengembangbiakan awal di lapangan. Penelitian dilakukan di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka yang merupakan sentra penghasil kakao terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan pengendalian hama PBK, pengaruh keberadaan semut hitam dan semut rangrang terhadap intensitas serangan dan kerusakan biji akibat serangan hama PBK.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menghasilkan informasi cara praktek budidaya kakao dan pengendalian hama PBK serta diperoleh teknologi yang dapat diimplementasikan petani untuk pengendalian hama PBK yang ramah lingkungan.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik buah kakao

Kakao berbunga sepanjang tahun dan bunganya tumbuh secara berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada batang, cabang atau ranting. Bunga kakao tergolong bunga sempurna, terdiri dari daun kelopak sebanyak 5 helai dan benang sari sebanyak 10 helai. Jumlahnya dapat mencapai 5.000–12.000 bunga per pohon per tahun, tetapi jumlah buah matang yang dihasilkan hanya berkisar satu persen. Dalam setiap buah terdapat 30-50 biji, tergantung pada jenis kakao. Variasi produksi buah antara pohon dipengaruhi

banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan

incompatible dari masing-masing klon, pengaruh layu buah muda, dan tingkat serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen (Sulistyowati 2003).

Kakao dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu tipe Criollo, Forastero dan Trinitario. Tipe Criollo memiliki karakter dengan ciri permukaan kulit buah kasar, alur dalam, kulit buah tebal dan lunak, tipe Forastero memiliki permukaan kulit buah kasar, alur dalam, kulit buah tipis dan keras sementara tipe Trinitario memiliki karakter permukaan kulit buah halus, alur dangkal, kulit buah tipis dan keras

Serangga dewasa PBK meletakkan telur pada permukaan buah kakao, biasanya diletakkan pada lekukan buah. Telur– telur tersebut diletakkan secara individu maupun berkelompok antara 50–300 butir. Buah kakao yang paling disukai untuk meletakkan telur adalah buah yang memiliki alur kulit yang dalam serta ukuran panjang buah kurang lebih 9 cm pada umur 60-75 hari. Saat ini petani banyak menanam kakao dari jenis Forastero yang memiliki kulit buah kasar dan alur dalam sehingga disenangi oleh hama PBK untuk meletakkan telur. (Wiryadiputra 1996).

Fenologi Buah Kakao

Pertumbuhan buah kakao dapat dibagi dalam dua fase. Fase pertama berlangsung sejak pembuahan sampai buah berumur 75 hari. Selama 40 hari


(26)

pertama pertumbuhan buah agak lambat dan mencapai puncaknya pada umur 75 hari. Pada umur tersebut panjang buah dapat mencapai sekitar 11 cm. Fase kedua ditandai dengan pertumbuhan pembesaran buah, berlangsung cepat sampai umur 120 hari, ukuran panjang buah mencapai 12-15 cm. Pada umur 143-170 hari buah telah mencapai ukuran maksimal dan mengalami proses pemasakan yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah dan terlepasnya biji dari kulit buah (Puslitkoka 2006).

Hama PBK aktif meletakkan telur pada buah kakao pada fase pertama yaitu buah umur 75 hari dan ukuran buah mencapai ± 11 cm. Peletakan telur dilakukan pada malam hari. Buah kakao yang paling disukai untuk tempat meletakkan telur adalah buah yang permukaannya memiliki alur dalam dan kasar. Dalam kaitannya dengan perkembangan hama PBK maka upaya pengendalian perlu diusahakan sedini mungkin pada saat buah berada pada fase pertama (Puslitkoka 2006).

Bioekologi Hama Penggerek Buah Kakao

Telur hama penggerek buah kakao berbentuk oval dan pipih dengan panjang 0.45-0.50 mm, lebar 0.25-0.30 mm, berwarna oranye. Telur diletakkan pada buah muda secara terpisah antara satu dengan yang lain. Lama stadium telur berkisar 2-7 hari (Sjafaruddin 1997).

Larva yang baru keluar dari telur langsung menggerek ke dalam buah dan memakan permukaan dalam kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta). Akibat serangan tersebut biji menjadi lengket satu sama lain dan tidak berkembang sempurna. Larva berganti kulit 4 kali dalam waktu 14–18 hari. Pada pertumbuhan penuh, panjang larva mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda. Larva dewasa menjelang berkepompong keluar dari dalam buah dengan cara menggerek kulit buah, membentuk lubang keluar dengan diameter ± 1 mm. Setelah larva keluar dari dalam buah, larva merayap pada permukaan buah atau menggantungkan diri dengan benang–benang sutra untuk mencari tempat berkepompong baik pada tanaman maupun di tanah (Soekandar 1993).


(27)

9 Pupa dapat ditemukan pada permukaan buah, batang, cabang atau pada permukaan tanah yang tertutupi oleh daun yang gugur. Kokon berbentuk oval berwarna kuning, berukuran (13–18) x (6–9) mm, sedangkan kepompong berwarna coklat dengan ukuran panjang 6–7 mm dan lebar 1–1.5 mm. Ukuran kepompong menjadi lebih panjang bila diukur bersama pembungkus tungkai dan antena, Stadium kepompong 6–8 hari, setelah itu berubah menjadi ngengat (Sjafaruddin 1997).

Serangga dewasa berwarna dasar coklat dengan warna putih bergaris zig– zag pada sayap depan dan spot kuning oranye menyerupai batik pada ujung sayapnya. Ukuran panjang tubuh ngengat pada saat istirahat 7 mm dengan rentang sayap mencapai 12 mm. Antena lebih panjang dari tubuhnya serta mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan meletakkan telur pada malam hari sejak pukul 18.00–07.00. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat – tempat yang gelap dan terlindung dari sinar matahari terutama pada cabang – cabang horizontal. Lama hidup ngengat betina berlangsung 7 hari dan siklus

hidup dari telur sampai ngengat berlangsung ± 1 bulan (Kartasapoetra 1993).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 73.43 % hama PBK menyukai cabang horizontal yang berdiameter antara 5.1-10 cm, dan selebihnya pada cabang vertikal dengan diameter 0-5 cm. Ngengat tidak mampu terbang jauh, hanya mencapai ± 153 m apabila dilakukan pemerangkapan dengan feromon seks (Sudarsianto 1995).

Gejala Serangan dan Kerusakan

Hama PBK umumnya menyerang buah kakao yang masih muda dengan panjang kurang lebih 10-12 cm pada umur 75 hari. Fase yang menimbulkan kerusakan adalah fase larva. Larva PBK memakan daging buah dan saluran yang menuju biji tetapi tidak menyerang biji. Gejala serangan baru tampak dari luar pada saat biji telah rusak.

Buah yang terserang memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pada jenis buah merah masak jingga, warna jingga tidak merata dan ada


(28)

2. Pada jenis buah hijau masak kuning, warna kuning tidak merata dan ada lubang-lubang kecil pada permukaan buah

3. Apabila buah terserang hama PBK digoyang tidak akan berbunyi seperti

halnya pada buah sehat yang masak.

4. Buah kakao yang terserang hama PBK pada saat dibelah akan tampak biji-biji

melekat satu sama lain, tidak berkembang dan ukurannya menjadi lebih kecil dan ringan.

Gejala serangan pada buah muda, permukaan buah yang terserang berupa bercak besar berwarna kuning. Jika buah–buah yang menunjukkan gejala tersebut dibelah, kulit buah dan tangkai biji tempat larva mengambil makanan terlihat berwarna coklat. Sedangkan daging buah yang biasanya berwarna putih pada serangan berat akan berwarna coklat kehitaman. Jika buah tersebut dibelah

terlihat jalur–jalur gerekan larva dan tampak buah berwarna kecoklatan

(Sulistyowati & Prawoto 1993).

Buah kakao yang terserang hama PBK dapat berkembang seolah-olah tidak terjadi serangan, buah yang terserang tidak ada perbedaan dengan buah kakao yang sehat. Gejala baru tampak dari luar setelah buah matang pada saat panen, buah kakao yang terserang berwarna agak jingga atau pucat keputihan, buah menjadi lebih berat dan bila diguncang tidak terdengar suara gesekan antara biji dengan dinding buah. Hal itu terjadi karena timbulnya lendir dan kotoran pada daging buah dan rusaknya biji-biji di dalam buah. Kerusakan daging buah akibat serangan PBK disebabkan oleh enzim heksokinase, malate dehidrogenase, fluorescent esterase and malic enzyme polymorphisms yang disekresikan oleh PBK (Wessel 1993).

Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kakao

Hama penting yang menyerang tanaman kakao adalah hama penggerek

buah kakao (Conopomorpha cramerella), pengisap buah kakao (Helopeltis sp,),

penggerek kulit batang kakao (Glenea sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp).

Di antara hama penting tersebut hama PBK merupakan hama yang tertinggi intensitas serangannya di Sulawesi Tenggara yaitu mencapai 70–84% bila


(29)

11 dibandingkan dengan hama penting lainnya (Dishutbun Sultra 2006). Hama lain

yang ditemukan pada tanaman kakao adalah ulat kilan (Hyposidra talaca),

kumbang (Apogonia sp.) danulat api (Darna trima) (Hindayana et al. 2002).

Produksi kakao di Sulawesi Tenggara mulai terancam dengan adanya serangan PBK. Hama ini merupakan hama yang cukup merugikan (Wardoyo 1982). Sifat penyebaran hama ini relatif cepat dan masih sulit dikendalikan (Sulistyowati & Santosa 1995 ; Sulistyowati & Yunianto 1996). Pada tahun 1995 tercatat bahwa hama PBK menyerang kurang lebih 424.8 ha kakao di Sulawesi Tenggara. Tetapi saat ini luas serangan telah mencapai lebih dari 200 125 ha, artinya hama PBK telah menyebar di seluruh areal kakao di Sulawesi Tenggara. Kerugian yang diakibatkan oleh hama ini ditaksir telah mencapai 19.639.04 ton per tahun setara dengan 216 miliar rupiah. Luas dan daerah sebaran ini terus meningkat bila pengendalian yang efektif dan efesien tidak dilakukan (Dishutbun 2010).

Menurut Soekadar (2007) musuh alami yang potensial digunakan sebagai musuh alami pada tanaman kakao selain semut hitam (Hymenoptera: Formicidae) adalah laba-laba (Araneae: Salticidae), semut angkrang/rangrang (Hymenoptera: Formicidae), Trichogramma (Hymenoptera: Trichogrammatidae), kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), cecopet (Dermaptera), lalat apung (Diptera : Syrphidae), tawon (Hymenoptera: Vespidae).

Pengelolaan Hama Terpadu

Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) bukan sesuatu yang baru karena jauh sebelum tahun 1959 baik di Amerika maupun di Indonesia praktek pengendalian hama sudah dicoba dengan menggunakan dasar pertimbangan ekologi dan ekonomi. Konsep PHT muncul akibat kesadaran manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan lingkungan hidup suatu ekosistem dan kehidupan manusia secara global. Kenyataan yang terjadi penggunaan pestisida oleh petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga diperlukan adanya cara pendekatan pengendalian hama yang baru sehingga dapat menekan penggunaan pestisida (Untung 1993).


(30)

Pengendalian hama terpadu merupakan suatu teknologi pengendalian hama yang memanfaatkan berbagai cabang ilmu dalam suatu ramuan yang serasi yang satu memperkuat yang lain. Masalah hama terjadi, selain akibat interaksi antara tanaman dengan hama itu sendiri juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisik dan biota sekitarnya, seperti iklim dan cuaca, tingkat kesuburan tanah, mutu benih, teknik–teknik agronomi, keragaman biota dan ulah manusia sendiri sebagai pengelola (Untung 1993).

Konsepsi PHT adalah memadukan semua metode pengendalian hama yang ada, termasuk di dalamnya pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati dan pengendalian kimiawi. Dengan cara ini ketergantungan petani terhadap pestisida yang menjadi cara pengendalian hama utama dapat dikurangi. Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan PHT dapat diartikan sebagai pengendalian hama yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa sehingga populasi hama dapat berada di bawah ambang ekonomi. Dengan keadaan populasi hama yang rendah, budidaya tanaman untuk meningkatkan produktivitas tidak akan terhambat oleh gangguan hama tanaman (Untung 1993).

PHT merupakan konsep pengelolaan hama yang berwawasan ekologi, dengan pendekatan yang menekankan bekerjanya agensia-agensia pengendalian alami seperti predator dan parasitoid, melalui mekanisme homeostatis mampu mempertahankan keseimbangan tersebut, sehingga populasi hama tidak akan mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani. Berhubung konsep PHT lebih menekankan pada penjagaan dan pemantapan keseimbangan ekosistem dengan mempertahankan populasi hama berada di bawah ambang ekonomi maka akan terbentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga terbentuk agroekosistem yang relatif stabil selalu diupayakan (Sosromarsono 1992).

Kendala dalam pengendalian hama PBK terkait dengan biologi serangga

yakni serangga dewasa C. cramerella meletakan telur pada permukaaan buah,

kemudian telur menetas dan setelah itu larva langsung masuk ke dalam buah. Menjelang menjadi pupa, larva membuat lubang dan kemudian menjadi pupa


(31)

13 pada permukaan buah, daun segar, cabang pada pohon daun-daun kering di atas tanah atau bahan yang dapat dijangkau oleh larva di sekitar tanaman terserang

(Pardede et al. 1994).

Perilaku hama PBK seperti ini merupakan salah satu kendala dalam usaha pengendaliannya. Pengendalian dengan menggunakan insektisida sintesis atau biopestisida sulit untuk mencapai target sasaran karena larva yang baru menetas langsung masuk ke dalam buah. Demikian pula pupa dibungkus oleh kokon yang dapat melindungi pupa kontak dengan pestisida. Di lapangan pestisida mudah diperoleh petani, sehingga berkembang ketergantungan petani pada pestisida. Selain itu penggunaan insektisida sintesis dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, resistensi dan resurgensi hama. Dengan demikian perlu dicari agens pengendali alternatif yang dapat mengendalikan dan menekan populasi hama PBK untuk mempertahankan produksi serta mudah diaplikasikan petani.

Komponen pengendalian hama PBK yang ada melalui pendekatan kultur teknis, mekanis, dan kimiawi. Komponen kultur teknis tersebut antara lain panen sering yang diikuti dengan pembenaman kulit buah, pangkasan memperpendek tajuk, sedangkan komponen mekanis yang dianjurkan adalah sarungisasi (Mursamdono & Wardojo 1984). Pemanfaatan agens hayati untuk pengendalian

PBK juga telah dilaporkan, antara lain dengan semut hitam (Dolichoderus

thoracicus), jamur entomopatogen Beauveria bassiana dan Paecilomyces fumosoroseus (Sulistyowati et al. 2002), dan nematoda entomopatogen Steinernema spp. (Wardoyo 2000). Pengendalian hama PBK secara kimiawi yang direkomendasikan adalah melalui penyemprotan insektisida sintetik piretroid. Di antara komponen pengendalian tersebut metode sarungisasi (penyarungan buah) terbukti efektif menekan populasi hama PBK akan tetapi dalam aplikasinya memerlukan biaya dan tenaga kerja yang tinggi. Demikian halnya dengan aplikasi insektisida kimiawi juga memerlukan biaya tinggi serta adanya risiko pencemaran

lingkungan dan tidak efektif (Sulistyowati et al. 2002).

Varietas tahan merupakan komponen penggendalian organisme penganggu yang telah terbukti efektif mengendalikan berbagai kasus serangan hama dan


(32)

penyakit tanaman. Pemanfaatan varietas tanaman tahan untuk pengendalian organisme pengganggu diamanatkan dalam UU No. 12 tahun 1992 melalui sistem pengendalian hama terpadu. Pengendalian Hama Terpadu dengan melibatkan komponen varietas tanaman tahan, agens hayati, dan manajemen lingkungan berdasarkan pertimbangan ekologis, ekonomis, dan sosiologis guna mendukung sistem budidaya yang ramah lingkungan.

Sehubungan dengan pengendalian hama PBK, tanaman tahan belum dapat digunakan sebagai komponen penggendalian karena hingga kini belum tersedia bahan tanam tahan PBK. Saat ini sedang diupayakan perakitan bahan tanam tahan PBK yang diharapkan akan menjadi komponen penting dalam sistem pengendalian hama terpadu (Bradley 2000).

Pengendalian Hayati

Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan hidup, semakin banyak pula aspek lingkungan yang dipertimbangkan sebelum melakukan berbagai pengambilan keputusan, termasuk sebelum melakukan tindakan pengendalian hama dalam usaha taninya. Berbagai cara pengendalian hama tanaman telah dikenal manusia, namun tidak semua cara tersebut bersifat ramah lingkungan. Salah satu cara pengendalian hama yang dianggap ramah lingkungan adalah pengendalian hayati. Pengendalian hayati sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun yang lalu dan sudah diimplementasikan dalam perlindungan tanaman sejak abad ke-17. Namun, di sekitar pertengahan Abad ke-20 popularitas pengendalian hayati memudar karena gencarnya promosi pengendalian secara kimiawi yang ternyata menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup. Baru pada akhir Abad ke-20, pada saat manusia semakin sadar terhadap kelestarian lingkungan, muncul kebutuhan untuk kembali kepada pengendalian hayati. Pengendalian hayati menekankan pada interaksi mangsa-predator dan inang-parasitoid, serta interaksi antara patogen dan inang-terutama serangga inang (Susilo 2007)

Pengendalian hayati merupakan salah satu metode pengendalian hama yang memiliki keunggulan, di antaranya adalah sifatnya yang ramah lingkungan.


(33)

15

Dalam konteks ini musuh alami adalah agens pengendali (control agents) yang

dapat berkembang biak di alam. Populasi musuh alami diharapkan dapat beraksi

secara terpaut kepadatan (density dependence) dengan populasi hama, artinya daya

kendali oleh musuh alami itu semakin tinggi pada populasi hama yang semakin padat. Dengan demikian pengendalian hayati diharapkan dapat mencegah peledakan populasi hama.

Pengendalian hayati dapat pula dipandang sebagai pengimplementasian fenomena alami. Pengendalian alami adalah pengaturan populasi oleh faktor-faktor alami sehingga dalam jangka waktu tertentu populasi organisme target berada pada batas keseimbangan. Faktor-faktor alami itu dapat diklasifikasikan ke dalam faktor abiotik (tidak hidup) dan faktor biotik (hidup). Yang termasuk faktor abiotik antara lain adalah cuaca dan iklim sedangkan di antara faktor biotik, yang terpenting adalah musuh alami (parasitoid, predator, patogen). Sebagai fenomena alami, pengendalian hayati adalah pengendalian organisme oleh parasitoid, predator, atau patogen yang terjadi secara alamiah (DeBach & Rosen 1991).

Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sebagai metode, pengendalian hayati biasanya diimplementasikan dalam bentuk introduksi, augmentasi, dan atau konservasi musuh alami. Pengendalian hayati juga dapat dipandang sebagai suatu bidang ilmu. Sebagai bidang ilmu yang menitikberatkan kajian pada interaksi antara hama dan musuh alaminya, pengendalian hayati mengembangkan metode-metode pengukuran aktivitas musuh alami dan metode-metode evaluasi dampak pengendalian hayati (Bellows & Fisher 1999)

Bila sudah berada di agroekosistem, maka musuh alami perlu dikonservasi dan diaugmentasi. Konservasi adalah upaya untuk mempertahankan keberadaan (survival) musuh alami di habitat sedangkan augmentasi dimaksudkan untuk meningkatkan populasi musuh alami sehingga kinerjanya sebagai agens hayati semakin tinggi. Konservasi umumnya dilakukan melalui manipulasi lingkungan sedangkan augmentasi biasanya dilakukan melalui pembiakan massal musuh alami. Walaupun mudah dibedakan secara teori, dalam prakteknya konservasi


(34)

(augservasi) (DeBach & Rosen 1991)

Dalam rangka augmentasi dan konservasi musuh alami, pengelolaan habitat dapat dilaksanakan antara lain dengan mengurangi aplikasi pestisida. Perlakuan pestisida dapat mengakibatkan kematian langsung musuh alami. Selain itu pestisida juga dapat berefek buruk secara tidak langsung terhadap musuh alami melalui perusakan kompleksitas sumberdaya musuh alami tersebut (Van den

Bosch et al 1982).

Hasil penelitian tentang peranan semut dalam mengendalikan serangan hama PBK yang dilakukan oleh LSM ACDI VOCA dari Amerika Serikat

bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin yang didanai oleh American Cocoa

Research Institute (ACRI) mendapatkan bahwa pada pertanaman kakao di Sulawesi, pengendalian hama PBK dapat dilakukan dengan menggunakan semut

hitam yang dikombinasikan dengan introduksi kutu putih (Cataenococcus

hispidus) (SUCCESS Sulawesi 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Meldy (2004) di Sulawesi Tengah mendapatkan bahwa serangga yang berperan sebagai musuh alami hama PBK,

yaitu Oecophylla smaragdina (semut rangrang), Dolichoderus thoracicus (semut

hitam), Anoplolepis longipes dan Iridomyrmex sp. Sementara Iridomyrmex

berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa semut itu membawa dan

menyebarkan spora-spora cendawan Phytophthora palmivora yang menyebabkan

penyakit busuk buah kakao dan penyakit kanker batang. Dalam pengendalian hama PBK maka semut yang berperan sebagai musuh alami dapat diaugmentasi sehingga keberadaannya di lapangan tetap terjaga dan dapat berfungsi sebagai musuh alami.

Biologi Semut Hitam (Dolichoderus, sp.) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati

Siklus hidup semut hitam terbagi dalam empat fase, yaitu fase telur, larva, pupa, dan dewasa. Lama perkembangan dari telur hingga dewasa rata-rata 30 – 40 hari (Bolton 1997).


(35)

17 semut pejantan. Setiap kasta memiliki bentuk tubuh dan tugas yang berbeda dari kasta lain. Semut pekerja bertugas antara lain mencari makan, membangun sarang, menjaga koloni dari musuh, serta menjaga larva dan semut ratu. Semua semut kasta pekerja berjenis kelamin betina dan biasanya tidak dapat menghasilkan keturunan. Reproduksi terjadi setelah semut jantan membuahi semut betina (Dejean 2000).

Populasi pekerja terus berkembang secara eksponensial dan luas sarang semakin bertambah. Seringkali populasi koloni terlalu padat sehingga para pekerja mencari lokasi baru di luar sarang untuk dijadikan sarang tambahan. Sarang tambahan ini disebut sarang satelit guna mewadahi populasi koloni yang tidak tertampung di sarang utama tempat semut ratu berada. Koloni semut dapat meninggalkan sarang sepenuhnya dan pindah ke lokasi lain, jika sarang yang lama tidak dapat lagi mendukung populasi koloni, saat sumber daya sekitar telah habis, terjadi perubahan lingkungan yang mengancam keselamatan koloni, atau jika muncul gangguan seperti kerusakan akibat serangan pemangsa, maka semut akan membuat sarang baru (Brown 2000).

Pada tanaman kakao, semut hitam mencari makan (foraging) di sekitar

pertanaman kakao dengan daya jelajah 10-15 m setiap hari/koloni. Sarang semut hitam terdapat pada rongga di dalam kayu lapuk, celah di bawah batuan atau kayu, di antara kulit batang pohon, di antara serasah, rongga di dalam ranting dan

liang bekas sarang rayap atau kumbang (Ho 1994). Sumber makanan dapat

diperoleh dari telur serangga lain yang terdapat di pohon kakao dan embun madu

yang dihasilkan oleh kutu putih C. hispidus (Hemiptera; Pseudococcidae).

Pemanfataan semut hitam sebagai agensia hayati di Malaysia telah dimulai sejak tahun 1996. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa seekor semut

hitam dapat memangsa telur C. cramerella sebanyak 5 butir / hari dan kasta

pekerja semut hitam di lapangan memiliki perilaku membawa telur hama PBK ke sarangnya untuk dijadikan sebagai sumber makanan (Ho & Khoo 1997). Keberadaan semut hitam yang berkeliaran pada tanaman kakao juga dapat mengganggu imago hama PBK yang beristirahat pada siang hari (Sulistyowati & Mufrihati 1999) dan mengganggunya pada saat meletakkan telur (Suparno 1990).


(36)

Di samping sebagai musuh alami hama PBK, semut hitam dapat berfungsi

sebagai pembawa Trichoderma sp. yang berperan sebagai agensia hayati terhadap

penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phythophthora palmivora (See

& Khoo 1996). Dengan demikian semut hitam berperan ganda selain sebagai predator juga sebagai pembawa agensia hayati. Potensi inilah yang menjadikan semut hitam dapat dijadikan sebagai agen pengendali hayati pada tanaman kakao.

Pemanfaatan semut hitam untuk mengendalikan hama Helopelthis antonii

pada tanaman kakao di Indonesia telah dilakukan pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1930-1940. Pada masa itu semut hitam telah dikomersilkan kepada

petani (Rauf 2007). Petani kakao di Kecamatan Labuhan Ratu Lampung Timur

telah memasang daun kelapa atau daun kakao kering yang diikatkan pada bagian batang. Kemudian, pada daun kering tersebut diletakkan sarang semut. Pada pohon kakao yang terdapat sarang semut serangan hama PBK lebih rendah dan petani dapat menghemat biaya pembelian bahan kimia sebesar Rp 500 ribu/ha dalam satu tahun (Radar Lampung 2004).

Pemanfaatan semut hitam telah dilakukan di Sulawesi Tengah dengan dukungan Balai Karantina Tumbuhan dan penyuluh setempat dengan melakukan sosialisasi kepada petani dalam pemanfaatan semut hitam untuk pengendalian hama PBK. Sosialisasi dilakukan karena sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah mengusahakan tanaman kakao (Badan Karantina Tumbuhan 2006).

Biologi Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati

Siklus hidup semut rangrang terbagi dalam empat fase yaitu telur, larva, pupa, semut dewasa. Telur berbentuk elips dengan ukuran 0.5 mm x 1 mm. Larva berwarna putih, tidak memiliki tungkai dan sayap. Ratu meletakkan telur dalam sarang, telur kemudian menetas menjadi larva. Selama perkembangannya, larva mengalami beberapa kali ganti kulit kemudian akan berkembang menjadi pupa

selanjutnya pupa akan menjadi semut dewasa (Holldobber & Wilson1999).

Semut rangrang hidup dalam kelompok sosial, pekerjaan dibagi sesuai dengan tipe individunya (kastanya). Dengan kerjasama dan organiasi yang baik


(37)

19 serta disiplin, mereka dapat melakukan banyak hal. Dalam satu koloni terdapat beberapa tipe individu yaitu: ratu semut, semut jantan, semut pekerja dan semut

prajurit (Van Mele & Cuc 2004). Sarang semut rangrang dibuat secara bersama.

Semut pekerja bertugas untuk menarik daun sementara semut lainnya merajut daun dari dalam dengan bantuan larva yang menghasilkan benang sutera. (Holldobler & Wilson 1999).

Jumlah semut dalam satu sarang bervariasi, rata-rata antara 4000 sampai 6000 individu, dan dalam satu koloni terdapat sekitar 500.000 semut dewasa. Sekumpulan semut yang hidup dalam satu kelompok dengan pola hidup sosial disebut koloni. Koloni semut merupakan keluarga besar dengan beberapa sarang dan individu yang saling mengenal dan bekerja sama secara erat pada suatu daerah tertentu. Banyaknya sarang yang ditemukan dalam satu koloni dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya ketersediaan makanan dan tingkat gangguan yang terjadi. Satu koloni dapat mencapai 100 sarang. Sarang-sarang tersebut dapat

tersebar pada lebih dari 15 pohon, atau pada luasan lebih dari 1000 m2

Semut rangrang mempunyai beberapa sifat dalam mencari makan/mangsa, antara lain: (a) pemberani, semut rangrang berani menyerang organisme lain yang mengganggu meskipun ukuran tubuhnya lebih besar dari mereka (b) agresif, semut rangrang dapat melintas untuk mencari makan sepanjang hari. (c) disiplin, apabila ada suatu aktifitas yang harus dilakukan secara berkelompok, maka semua akan berperan serta dalam aktifitas tersebut, dan tak seekor semut pun yang meninggalkan kelompoknya. (d) cerdas, kelompok semut rangrang membangun sistem komunikasi di antara mereka dengan mengeluarkan feromon. Dalam waktu singkat semua anggota kelompok dapat mengetahui apabila terjadi sesuatu dalam kelompoknya dan mereka akan langsung melakukan pembagian tugas apa

yang harus dilakukan (Van Mele & Cuc 2004).

(Van Mele 2000).

Manfaat semut rangrang telah dikenal di banyak negara seperti di China, Vietnam dan Malaysia, karena kemampuannya dalam mengganggu, menghalangi


(38)

atau memangsa berbagai jenis hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun dan imago serangga yang bersembunyi di daun. Di samping itu semut rangrang dapat mengendalikan sebagian besar hama pada tanaman jeruk, mete dan kakao dari

serangan hama kepik dan penggerek buah (Van Mele & Cuc 2004). Di Malaysia

penggunaan semut rangrang spesies Oecophylla longinoda dan Oecophylla

smaradigna (Hymenoptera : Formicidae) dilaporkan dapat memangsa jenis-jenis

hama Helopeltis theobromae (Hemiptera : Miridae), Amblypelta theobromae

(Hemiptera : Coreidae), Distantiella theobromae (Hemiptera : Miridae) dan

Panthorytes sp. (Coloeptera : Curculionidae ) (Way & Khoo 1992)

Nutrisi Predator

Secara umum predator memiliki mangsa yang berbeda dari segi taksa, ukuran dan kelas. Masing-masing predator memerlukan mangsa dengan nutrisi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangbiakannya. Perbedaan kualitas dan kuantitas mangsa mempengaruhi kebugaran predator. Mangsa yang berkualitas bagi predator adalah yang memiliki komposisi nutrisi dan unsur penting (energi, nutrisi, dan toksin) yang mirip satu sama lain sehingga dapat dijadikan sebagai kisaran mangsanya. Kesesuaian mangsa dapat dievaluasi dengan cara mempelajari pertumbuhan, perkembangan, daya tahan, dan fekunditas predator (Dicson 2003).

Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi essensial dan nutrisi altematif. Nutrisi essensial adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa dan reproduksi imago sedangkan nutrisi altematif adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang hanya dapat menyokong atau bertahan suatu organisme. Nutrisi yang dibutuhkan serangga menurut (Chapman 2000) yaitu:

1. Asam amino: tersedia dalam bentuk protein dan secara struktur membentuk

enzim, setiap serangga membutuhkan kadar protein yang berbeda. Enzim berfungsi sebagai media transport dan penyimpanan dan sebagai molekul


(39)

21 sklerotisasi.

2. Karbohidrat: tidak termasuk ke dalam kategori essensial untuk serangga pada

umumnya, lebih umum diperlukan sebagai sumber energi. Karbohidrat dapat disintesis dari asam amino.

3. Lipid: Penting untuk sumber energi dan pembentukan membran serta hormon

sintesis, pada serangga umumnya lemak disintesis dari protein dan

karbohidrat. Sebagai eontoh hormon ganti kulit, Ecdysone disintesis dari

sterol. Kolesterol penting untuk perkembangan dan menghasilkan fekunditas yang tinggi.

4. Vitamin : dibutuhkan untuk mendukung berjalannya fungsi tubuh, vitamin

juga dibutuhkan untuk membentuk jaringan tubuh. Sebagai contoh β-arotene

(provitamin A) berguna sebagai komponen pigmen penglihatan,α-tocopherol

(Vitamin E) penting untuk reproduksi, fertilitas dan perkembangan embrio.

5. Mineral : dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tetapi

dibutuhkan dalam jumlah sedikit.

6. Purines dan pyrimidines: DNA dan RNA adalah molekul yang membawa dan memediasi kode genetik.

7. Air: penting untuk serangga secara umum.

Semut hitam memakan sekresi gula kutu daun dan telur serangga lain. Sekresi gula berupa embun madu ini adalah sumber karbohidrat bagi semut. Antara semut dan kutu daun tersebut seringkali terbentuk simbiosis saling menguntungkan karena semut memberikan perlindungan, sementara kutu daun memberikan sekresi embun madu (Way & Khoo 1992).

Semut hitam dapat dipelihara pada pohon kakao dengan memakai daun kelapa dan gula merah dalam sepotong bambu. Metode ini juga dapat dipakai untuk memindahkan kelompok semut dari pohon ke pohon. Setelah semut

menempati bambu tersebut, bambu dipindahkan ke pohon baru (Hindayana et al.

2002).

Makanan semut sangat beragam, namun dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu protein dan gula. Tidak seperti semut lainnya, semut


(40)

rangrang lebih menyukai protein daripada gula. Protein dapat ditemukan pada daging, ikan, ayam dan serangga. Semut rangrang aktif mencari makanan dan membawanya ke dalam sarang untuk seluruh anggota sarang tersebut. Perilaku

mencari makan (foraging behaviour) semut rangrang dilakukan dengan

memangsa berbagai jenis hama, misalnya ngengat yang aktif pada malam hari maupun yang bersembunyi di bawah daun pada siang hari. Selain butuh protein, semut rangrang memerlukan makanan tambahan berupa gula. Untuk mendapatkan gula, semut rangrang lebih suka mengisap cairan tanaman atau nektar. Pada saat membangun sarang, semut rangrang mencari daun-daun muda yang dihuni oleh serangga penghasil embun madu dan memasukkannya ke dalam sarang. Semut rangrang mendapatkan gula dari serangga penghasil embun madu tetapi jika jumlah gula yang dihasilkan oleh serangga ini lebih besar dari kebutuhan

koloninya, maka semut akan membunuh serangga tersebut (Van Mele & Cuc

2004).

Pengembangbiakan semut rangrang pernah dilakukan pada sentra perkebunan kakao di Sulawesi Selatan oleh La Daha (2007) yaitu dengan memanfaatkan jeroan dari usus ayam. Jeroan diletakkan pada bagian tengah pohon kakao tergantung pada tinggi tanaman agar aktivitas semut rangrang dapat diamati dengan mudah. Populasi semut yang berkembang pada pohon kakao dapat menurunkan serangan hama PBK.


(41)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu

Survei praktek budidaya kakao dan pemanfaatan semut dilaksanakan di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian berlangsung mulai dari bulan April sampai dengan September 2009.

Survei Praktek Budidaya Kakao dan Pengendalian PBK

Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara dan observasi langsung untuk melihat keadaan umum pertanaman kakao. Kuesioner mencakup karakteristik petani, budidaya kakao, hama kakao dan pengendaliannya (kuesioner terlampir).

Penentuan petani yang diwawancarai dilakukan secara acak yaitu 20 orang yang pernah mengikuti SLPHT dan 20 orang yang belum pernah mengikuti SLPHT, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 40 orang petani.

Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi : cairan gula pasir,

cairan gula merah, jeroan sapi, jeroan ayam, bambu, daun kelapa kering, hand

counter, lampu strongking, lup pembesar, mikroskop. Cairan gula pasir dan gula merah digunakan sebagai sumber makanan semut hitam sementara jeroan ayam dan jeroan sapi sebagai sumber makanan semut rangrang.

Pencarian Semut

Pencarian semut hitam (D. thoracicus) dilakukan pada areal kebun kakao,

yaitu pada tanaman mangga, jeruk dan kayu lapuk yang banyak dihuni semut hitam. Pada lokasi tersebut dipasang daun kelapa kering yang telah diikat (sekitar 80 anakan daun) selama satu hari, ikatan tersebut terlebih dahulu dicelupkan ke dalam larutan gula pasir atau gula merah sesuai perlakuan. Setelah itu daun kelapa kering dipindahkan ke lokasi penelitian dengan mengikatkan pada


(42)

(O. smaragdina) dilakukan dengan cara mencari sarangnya pada tanaman rambutan. Sarang yang dipilih adalah sarang aktif yang masih banyak dihuni semut rangrang. Selanjutnya sarang semut rangrang tersebut dipindahkan ke petak perlakuan kemudian diberikan jeroan ayam atau jeroan sapi sesuai perlakuan. Sarang diletakkan di bagian jorket tanaman kakao di tengah petak perlakuan. Untuk memudahkan semut menyebar dari satu tanaman ke tanaman lain di dalam petak perlakuan diberi semacam penghubung dari tali rafia terutama untuk tajuk tanaman yang tidak saling bersinggungan.

Penentuan Petak Perlakuan

Penelitian dilakukan pada kebun kakao berukuran luas ± 1 ha. Umur tanaman, cara perawatan dan naungan relatif sama. Untuk menghindari terjadinya interaksi antar perlakuan maka dilakukan pengelompokan antara perlakuan semut hitam, semut rangrang dan kontrol dengan menggunakan pembatas berupa jalan selebar 2 meter. Di sepanjang jalan tersebut terdapat tanaman yang berfungsi sebagai pembatas (Lampiran 2).

Dalam percobaan ini digunakan lima perlakuan termasuk kontrol. Perlakuan terdiri dari : P1 (daun kelapa kering diberi cairan gula pasir 500 ml) ; P2 (daun kelapa kering diberi cairan gula merah 500 ml) ; P3 (bambu diisi jeroan ayam 0.25 kg) ; P4 (bambu diisi jeroan sapi 0.25 kg) dan P5 (kontrol). Masing-masing perlakuan diulang lima kali.

Gambar 1 Penempatan perlakuan di lapangan

semut rangrang semut hitam


(43)

25

Pengamatan

Untuk mengetahui pengaruh keberadaan semut terhadap hama penggerak buah kakao maka dilakukan pengamatan terhadap :

a. Kerapatan populasi telur, pupa dan imago hama PBK

Pengamatan telur dimulai pada bulan Mei dengan cara menghitung telur pada buah yang berukuran 2-3 cm. Jumlah buah yang diamati ± 120 per petak perlakuan yang sebelumnya diberi tanda menggunakan spidol permanen. Pengamatan terhadap telur dilakukan dua kali seminggu sampai buah menjelang panen pada bulan September, buah diamati dengan menggunakan lup pembesar. Pengamatan pupa dilakukan dengan cara mencari pupa pada serasah dan buah selama lebih kurang 60 menit per petak perlakuan, pencarian dilakukan pada buah dan serasah. Frekuensi pengamatan pupa dilakukan dua kali dalam seminggu. Pengamatan imago (ngengat) dilakukan dengan bantuan lampu strongking. Waktu pencarian imago per petak perlakuan rata-rata 25 menit. Pencarian imago dilakukan mulai pukul 19.30 sampai pukul 21.30 dengan cara berjalan di petak perlakuan dan mengamati 20-25 pohon di sekitar tempat pelepasan semut, pengamatan dilakukan tiga kali dalam seminggu oleh empat orang pengamat.

b. Aktivitas semut

Pengamatan aktivitas semut dilakukan dengan cara mengamati kemampuan menyebar dalam petak perlakuan, menghitung jumlah agregasi yang terbentuk, dan mengamati aktivitas semut pada pohon kakao. Aktivitas semut

pada pohon kakao dihitung dengan bantuan hand counter. Pengamatan dilakukan

selama 15 menit pada jalur yang sering dilewati semut di bagian batang, dan dilakukan pada tiga pohon contoh setiap bulan.

c. Persentase buah yang terserang

Pengamatan dilakukan setelah 6 (enam) bulan aplikasi yaitu pada saat panen setelah buah sampel agak menguning (masak awal). Panen dilakukan tiap 2-4 hari, hal ini dilakukan karena buah sampel masak tidak bersamaan dengan metode panen sering. Pengamatan berlangsung selama 3 minggu sampai buah sampel masak keseluruhannya.


(44)

Pengamatan persentase buah terserang dilakukan dengan mengamati buah yang dipanen. Buah kemudian dibelah untuk memastikan adanya gejala serangan dalam buah dan mengamati bekas gerekan yang ada pada buah. Persentase buah yang terserang adalah nisbah antara buah yang terserang hama PBK dengan total buah yang diamati. Dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

a

P = x 100 %

b

Keterangan :

P = Persentase buah terserang (persen) a = Jumlah buah yang terserang PBK b = Jumlah keseluruhan buah yang diamati

d. Intensitas Kerusakan

Intensitas kerusakan biji (I) adalah suatu besaran yang menggambarkan tingkat kerusakan biji akibat serangan hama PBK. Intensitas kerusakan biji dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

∑ biji rusak

I = x 100 % ∑ biji keseluruhan

Pengamatan intensitas kerusakan biji dilakukan dengan mengamati semua biji yang ada dalam buah terserang. Biji – biji yang lengket pada kulit buah maupun lengket satu sama lain dikategorikan terserang.

Analisis Data

Data kuesioner yang diperoleh ditabulasi dan data hasil pengamatan dibandingkan antar perlakuan dengan uji-t.


(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Pertanaman Kakao

Pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara tersebar pada 20 kecamatan dengan luas areal 78.054 ha yang melibatkan 30.408 KK petani dengan produksi 49.449.37 ton. Keseluruhan areal tanaman tersebut, 18.079 ha (23.16%) merupakan tanaman belum menghasilkan (TBM), 56.082 ha (71.85%) tanaman menghasilkan (TM) dan 3.893 ha (4.98%) tanaman tua dan rusak (TTR). Di Kecamatan Lambandia luas pertanaman kakao 26.658 ha dengan 5.993 KK petani. Areal tanaman tersebut 5.481 ha (20.56%) areal tanam belum menghasilkan, 20.447 ha (76.70%) tanaman menghasilkan dan 730 ha (2.74%) tanaman tua dan rusak (Dishutbun Sultra 2010). Keseluruhan responden (100%) yang diwawancarai berusahatani kakao pada lahan milik sendiri.

Kendala dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Kolaka sampai saat ini adalah : (1) masih terbatasnya sumber daya petugas, petani dan pelaku usaha agribisnis dibidang budidaya dan pengelolaan hasil ; (2) jenis/klon yang ditanam beragam; (3) sebagian tanaman sudah tua dan kurang produktif; (4) masih adanya serangan hama PBK dan penyakit busuk buah; (5) sarana dan prasarana penunjang belum memadai (ketersediaan saprodi dengan harga yang terjangkau, air bersih, listrik, prasarana jalan dan jembatan dari dan ke sentra-sentra produksi serta pelabuhan yang standar dan (6) belum terjalinnya hubungan kemitraan antara hulu dan hilir yang saling menguntungkan serta masih banyaknya spekulan pada usaha perdagangan kakao (Dishutbun Sultra 2009).

Praktek Budidaya Kakao Karakteristik Petani

Secara umum keadaan petani kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka mempunyai persamaan terutama dalam hal pengembangan areal pertanaman kakao. Petani yang mempunyai kesempatan untuk menambah areal, kurang memikirkan potensi tenaga kerja pengelolaan


(46)

lahan. Hal tersebut berdampak pada kurangnya waktu untuk mengelola kebun dengan baik, sehingga berpengaruh pada nilai ekonomi yang diperoleh oleh petani.

Responden pada umumnya berumur antara 40 hingga 60 tahun (92.50%) dan selebihnya di atas umur 60 tahun (Tabel 1). Kondisi ini dianggap masih dalam potensi untuk dapat dikembangkan dan pengelolaan tanaman kakao dapat ditingkatkan secara lebih intensif. Bertahannya masyarakat untuk tetap mengusahakan budidaya kakao disebabkan harga yang menjanjikan dan pemasarannya mudah (selalu ada pembeli) walaupun produksinya cenderung menurun setiap tahun. Soeharjo dan Patong (1998) mengelompokkan umur petani kakao berdasarkan kelompok produktif dan kurang produktif, yaitu umur di bawah 15 tahun dan diatas 60 tahun dikategorikan umur kurang produktif. Kondisi saat ini menunjukkan sebagian besar petani tergolong dalam usia yang masih produktif dalam melakukan usahatani kakao.

Faktor umur sangat mempengaruhi kemampuan fisik seorang petani dalam mengelola usahataninya. Pada umumnya petani yang berumur muda memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan petani yang berumur tua, termasuk dalam penerimaan inovasi baru. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk mengetahui apa yang mereka belum ketahui, sehingga dalam berusahatani mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sifatnya masih belum berpengalaman.

Tabel 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Kelompok Umur Jumlah responden Persentase (%)

< 30 2 5.00

30 - < 40 7 17.50

40 - < 50 16 40.00

50 - < 60 14 35.00

≥ 60 1 2.50

Latar belakang pendidikan formal menunjukkan bahwa sebagian besar petani pernah mengikuti pendidikan. Keseluruhan responden pernah mengalami jenjang pendidikan formal. Gambaran tingkat pendidikan ini merupakan indikator penting dalam usaha pengembangan teknologi, termasuk PHT hama PBK.


(47)

29 Interaksi antara pendidikan dan pengalaman usaha dapat dijadikan prediksi dalam menilai kemampuan petani mengelola usahataninya atau dalam proses menerima atau menolak penerapan teknologi. Dengan pendidikan yang dimiliki maka teknologi yang disampaikan diharapkan dapat dengan mudah diadopsi. Rata – rata petani memiliki tingkat pendidikan SMA (62.50%) dan selebihnya SD, SMP dan malahan ada Perguruan Tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Latar belakang pendidikan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Tingkat Pendidikan Jumlah responden Persentase (%)

SD 1 2.50

SMP 13 32.50

SMA 25 62.50

Perguruan Tinggi 1 2.50

Pendidikan pada umumnya dapat mempengaruhi pola berpikir, khususnya pendidikan formal. Petani yang berpendidikan cenderung bersifat lebih dinamis terhadap perubahan teknologi yang ditawarkan. Dengan tingkat pendidikan yang dimiliki petani diharapkan akan lebih mudah memahami, menerapkan dan mengembangkan suatu inovasi baru terkait perubahan harga, teknologi baru dan cara pemasaran yang lebih efisien (Prayitno & Arsyad 2003).

Namun menurut Hernanto (1992) petani umumnya tumbuh dan dewasa dalam proses menjalankan usahataninya melalui proses pembelajaran dari orang tua yang diwariskan secara turun temurun. Kondisi demikian berpengaruh pada penerimaan inovasi baru, karena cara-cara lama masih tetap dipertahankan. Dengan kondisi tersebut maka dalam mengadopsi inovasi baru tidak cukup dengan penyuluhan atau pelatihan tetapi diperlukan demplot agar petani bisa lebih menyakini kebenaran inovasi yang disampaikan.

Pengalaman berusaha seorang petani merupakan bentuk pendidikan yang diperoleh di luar bangku sekolah yang dapat membawa perubahan bagi petani dalam mengelola usahataninya. Seorang petani dengan pengalaman banyak diharapkan dapat memilih dan menentukan alternatif yang lebih baik bagi peningkatan produksi usahataninya. Namun kendala pada petani kakao dengan pengalaman berusaha tani yang sudah lama cenderung lamban dalam menerima adopsi teknologi karena telah terbiasa mengelola kebun pada kondisi tanah yang


(48)

masih subur, serangan hama penyakit masih kurang, dan umur tanaman yang masih produktif.

Untuk mengetahui pengalaman seorang petani dalam berusahatani dapat dilihat dari lamanya petani tersebut melakukan kegiatan usahatani. Semakin lama pengalaman seorang petani mengelola usahatani, maka dapat diasumsikan bahwa petani tersebut semakin matang dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam usahatani, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi usahatani yang dikelolanya. Pengalaman responden dalam lama berusahatani kakao sebagian besar berkisar antara >15 hingga 20 tahun (55.50%) (Tabel 3).

Tabel 3 Latar belakang pengalaman berusahatani petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengalaman berusahatani (tahun) Jumlah responden Persentase (%)

>5 - 10 1 2.50

>10 – 15 13 32.50

> 15 – 20 22 55.00

> 20 – 25 3 7.50

> 25 1 2.50

Walaupun sebagian besar petani telah mengikuti pendidikan dan pengalaman yang cukup lama, namun belum semua praktek budidaya kakao dan pengendalian hama mereka terapkan dengan baik karena berbagai alasan. Beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Sebagian petani mendapatkan pengetahuan praktek budidaya kakao melalui pelatihan yang merupakan sarana belajar yang baik untuk menambah pengetahuan serta dapat memadukan teori dan pengalaman petani di lapangan.

Luas lahan garapan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena akan menentukan besar kecilnya skala usahatani, mempengaruhi jumlah penggunaan faktor produksi yang lain, dan pada akhirnya akan menentukan tingkat pendapatan petani. Mubyarto (2001) mengemukakan bahwa luas tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan kuantitas produksi yang akan dihasilkan.


(49)

31 Penguasaan lahan usahatani kakao di Desa Lambandia berkisar antara 2 – 5 ha (55.00%) bahkan sampai lebih dari 20 ha (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa sebagian besar petani memiliki lahan yang cukup luas dan dengan status sebagai pemilik. Petani yang memiliki lahan < 0.5 ha hanya mengusahakan tanaman kakao di sekitar rumah karena pekerjaan utamanya sebagai Pegawai Negeri Sipil, selain itu juga sebagai pembeli hasil panen kakao (pengumpul).

Tabel 4 Luas lahan garapan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Luas lahan (ha) Jumlah responden Persentase( % )

< 0.5 – 2.0 5 12.50

> 2.0 – 5.0 22 55.00

> 5.0 – 10.0 8 20.00

> 10.0 – 15.0 2 5.00

> 15.0 – 20.0 1 2.50

> 20.0 2 5.00

Budidaya Kakao

Hasil wawancara yang dilakukan terhapap petani menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk mengembangkan tanaman kakao cukup besar. Menurut petani, alasan utama sejak awal sampai sekarang untuk mengembangkan tanaman kakao adalah: (1) masih tersedia lahan yang cukup luas; (2) dapat dipanen sepanjang waktu; (3) harga cukup menarik serta mudah memasarkannya dan (4) perawatan yang tidak terlalu sulit. Menurut data Dishutbun (2010) masih cukup tersedia lahan untuk pengembangan kakao seluas 22.642 ha.

Kualitas bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya produksi kakao. Jika benih yang digunakan adalah benih unggul, maka kemungkinan produksi yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan benih lokal. Jenis klon yang ditanam oleh petani responden menunjukkan bahwa petani menanam kakao jenis Na 32, Na 33, Sulawesi 1,

Sulawesi 2, 246 A, 461 A dan semiotic embryogenesis yang merupakan kakao

varietas hibrida (77.50%), sementara sebagian petani menanam varietas lokal (22.50%) (Tabel 5). Benih tersebut diperoleh dari pemerintah dan perusahaan perkebunan yang ada di Kabupaten Kolaka. Benih yang berasal dari pemerintah


(50)

diberikan secara cuma-cuma sementara yang berasal dari perusahaan dibeli oleh petani.

Tabel 5 Varietas kakao yang ditanam oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis varietas Jumlah responden Persentase (%)

Hybrida 31 77.50

Lokal 9 22.50

Saat ini umur tanaman kakao di lokasi penelitian bervariasi, tetapi sebagian besar berumur >15-20 (30.00%) dan > 20 tahun (45.00%) (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan rata-rata umur tanaman kakao telah tua yang berakibat pada menurunnya produktivitas kakao. Kondisi ini menjadi salah satu dasar bagi pemerintah untuk melakukan Program Revitalisasi Kakao yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan metode teknik sambung samping menggunakan

bibit Somatic Embryogenesis (SE), Sulawesi I dan Sulawesi II. Penyambungan

dilakukan oleh tenaga terlatih dari masyarakat setempat yang diberi honorarium setiap bulan oleh Dinas Perkebunan. Program tersebut merupakan upaya akselerasi pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi perkebunan untuk kembali meningkatkan produksi kakao Indonesia dimasa yang akan datang.

Tabel 6 Umur tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Umur Tanaman (tahun) Jumlah responden Persentase (%)

2 – 5 3 7.50

> 5 – 10 5 12.50

> 10 – 15 2 5.00

> 15 - 20 12 30.00

> 20 18 45.00

Populasi tanaman pada kebun kakao berkisar <1000 pohon per ha (65%) dan selebihnya 1000-1200 pohon (Tabel 7). Jarak tanam bervariasi antara 4 m x 4 m, 4 m x 3 m dan 4 x 2 m, dengan pola tanam tumpang sari yang dikombinasikan dengan tanaman rambutan, kelapa, jeruk, mangga, lada, pisang, gamal dan durian. Rendahnya populasi tanaman disebabkan petani melakukan penananaman secara tumpang sari. Hal tersebut akan berpengaruh pada


(51)

33 rendahnya produksi kakao per satuan luas. Puslitkoka (2006) merekomendasikan jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m dengan populasi sekitar 1000 pohon/ha adalah pola tanam yang paling sesuai untuk budidaya kakao jangka panjang di Indonesia.

Tanaman yang paling banyak digunakan sebagai tanaman tumpang sari adalah tanaman kelapa yang juga berfungsi sebagai penaung dan hasilnya dapat dipanen sepanjang tahun. Tumpang sari dilakukan karena tanaman kakao memerlukan tanaman penaung yang berfungsi mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimun dan laju evapotranspirasi, serta melindungi tanaman

kakao dari angin kencang. Menurut Bakri et al. (2004) alasan kebanyakan petani

untuk memilih tanaman kelapa dikarenakan kelapa relatif tahan kering dan tidak mengalami gugur daun selama musim kemarau, bentuk tajuk dan sistem perakaran kelapa yang kuat menyebabkan kelapa tahan terhadap embusan angin dan apabila kelapa sudah dewasa terdapat jarak yang cukup lebar antara tajuk kelapa dan tajuk kakao.

Tabel 7 Populasi tanaman per ha di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Populasi tanaman per ha Jumlah responden Persentase (%)

<1000 26 65.00

1000 – 1200 14 35.00

Pemangkasan tanaman adalah satu cara budidaya kakao agar tidak terjadi kelembaban yang tinggi, karena beberapa jenis hama menyenangi kondisi yang lembab. Pemangkasan juga dilakukan sebagai salah satu upaya agar laju fotosintesis berlangsung secara optimal. Menurut Suntoro (1995) pemangkasan

tanaman bertujuan untuk memperoleh kerangka arsitektur dasar (frame)

percabangan tanaman kakao yang baik, mengatur penyebaran cabang dan daun-daun produktif pada tajuk merata, meningkatkan kemampuan tanaman menghasilkan buah dan menekan risiko terjadinya serangan hama dan penyakit.

Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemangkasan intervalnya bervariasi antar 12, 24 dan 36 kali dalam setahun. Pemangkasan yang paling banyak dilakukan adalah pemangkasan pemeliharaan (62.50%) dan selebihnya pemangkasan pemeliharaan dan produksi (Tabel 8). Pemangkasan dilakukan untuk membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki seperti tunas air, cabang


(52)

yang sakit, patah dan menggantung, dimaksudkan untuk pemangkasan pemeliharaan dan produksi. Dalam kaitan ini belum semua pekebun melakukan pemangkasan dengan baik, hal tersebut terlihat dari banyaknya pohon kakao yang tajuknya masih terlalu tinggi sehingga menyulitkan dalam pemanenan buah. Hal ini mengakibatkan serangan hama PBK selalu ada setiap tahun karena kondisi kebun yang gelap dan lembab.

Tabel 8 Pemangkasan tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis Pemangkasan Jumlah responden Persentase (%)

Pemeliharaan 25 62.50

Pemeliharaan + Produksi 7 17.50

Produksi 8 20.00

Budidaya tanaman kakao yang dilakukan pekebun cenderung

menyebabkan kemunduran lahan jika tidak diimbangi dengan pemupukan. Kemunduran lahan tersebut diakibatkan berkurangnya kesuburan, kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis, serta menipisnya ketebalan tanah. Berkurangnya kesuburan disebabkan kehilangan unsur hara dari daerah perakaran melalui pencucian dan erosi. Kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis tanah antara lain berupa rusaknya agregat tanah, berkurangnya kemantapan struktur, berkurangnya kadar bahan organik serta berkurangnya jumlah dan aktivitas organisme yang hidup dalam tanah, sementara itu berkurangnya ketebalan tanah terjadi karena erosi yang merupakan penyebab utama kerusakan tanah di lahan yang berlereng curam (Arsyad 2001).

Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemupukan menggunakan pupuk Urea, KCL dan TSP yang dilakukan pada awal terjadinya musim buah puncak yaitu bulan Januari dan Agustus dengan frekuensi 1 sampai 3 kali dalam setahun dan sebagian petani menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam atau sapi. Pemupukan dengan Urea dengan frekuensi 1 kali lebih banyak dilakukan petani (50.00%) dan selebihnya pemupukan dengan TSP, KCl dan pupuk kandang dengan frekuensi yang bervariasi (Tabel 9).


(1)

Lampiran 2 Denah penelitian

Keterangan:

P1: Daun kelapa kering dan cairan gula pasir 500 ml P2: Daun kelapa kering dan cairan gula merah 500 ml P3: Bambu dengan jeroan ayam 0.25 kg

P4: Bambu dengan jeroan sapi 0.25 kg P5: Kontrol

P15 P11 P14 P12 P13

P24 P25 P21 P22 P23

P43 P42 P41 P44 P45

P53 P54 P51 P52 P55

P52

P53

P54

P51

P55

J

a

l

a

n

Semut Hitam

Semut Rangrang Kontrol

40 m 20 m

2 m

4 m

100 m

100 m

40 m 100 m


(2)

Lampiran 3 Perkembangan populasi telur, pupa dan imago PBK selama bulan April sampai September 2009

Populasi telur

Bulan Perlakuan

P1 P2 P3 P4 P5

April 0 0 0 0 0

Mei 4.20 3.84 3.41 4.23 5.40

Juni 31.12 21.14 15.80 10.60 34.60

Juli 52.20 50.28 30.34 27.76 52.34

Agustus 30.80 29.40 17.41 14.68 35.21

September 3.84 3.61 2.21 2.34 3.12

Populasi pupa

Bulan Perlakuan

P1 P2 P3 P4 P5

April 20.20 22.70 26.80 25.34 23.51

Mei 18.32 21.80 23.60 24.20 22.22

Juni 18.21 20.78 17.21 15.34 23.20

Juli 26.00 30.60 20.20 19.60 29.64

Agustus 25.21 26.53 12.60 13.40 21.14

September 23.34 27.25 13.40 15.20 20.32

Populasi imago

Bulan Perlakuan

P1 P2 P3 P4 P5

April 21.25 25.64 24.50 23.65 24.50

Mei 24.00 26.00 29.75 24.25 28.00

Juni 22.50 25.25 19.50 17.50 27.75

Juli 31.50 37.50 17.50 18.50 40.50

Agustus 21.00 19.00 15.00 13.25 18.25


(3)

Lampiran 4 Kemampuan menyebar semut hitam dan semut rangrang pada bulan April sampai September 2009

Bulan Perlakuan

P1 P2 P3 P4

April 2.35 3.23 15.21 14.21

Mei 6.42 7.90 25.11 28.32

Juni 9.23 8.12 32.45 33.25

Juli 10.45 11.45 32.00 35.87

Agustus 17.45 16.34 37.89 38.94

September 18.35 19.21 38.67 39.78

Lampiran 5 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas per 15 menit pada bulan April sampai September 2009

Bulan Perlakuan

P1 P2 P3 P4

April 58.92 67.75 338.91 359.00

Mei 68.42 65.08 610.08 613.83

Juni 167.42 166.83 637.17 655.75

Juli 187.42 178.83 665.92 628.67

Agustus 178.83 177.50 650.92 664.58


(4)

Lampiran 6 Jumlah agregasi semut hitam dan semut rangrang

No Perlakuan Ulangan Bulan

April Mei Juni Juli Agustus Sept. 1 P1 : (daun

kelapa kering di beri gula Pasir)

1 0 0 1 2 2 2

2 0 0 2 2 3 4

3 0 0 1 2 2 2

4 0 0 2 3 3 3

5 0 0 2 2 2 3

Total 0 0 8 11 12 14

Rata-Rata 0 0 1.6 2.2 2.4 2.8

2 P2 : (daun kelapa kering diberi gula merah)

1 0 0 1 1 2 2

2 0 0 1 2 2 3

3 0 0 0 1 1 2

4 0 0 1 1 1 1

5 0 0 2 1 2 2

Total 0 0 5 6 8 10

Rata-Rata 0 0 1 1.2 1.6 2.0

3 P3 : (bambu diisi jeroan ayam)

1 0 0 0 0 2 3

2 0 0 1 2 3 3

3 0 0 1 2 2 2

4 0 0 0 1 1 2

5 0 0 0 1 2 2

Total 0 0 2 6 10 12

Rata-Rata 0 0 0.4 1.2 2.0 2.4

4 P4 : (bambu diisi jeroan sapi)

1 0 0 2 2 3 3

2 0 0 1 1 2 2

3 0 0 0 0 2 3

4 0 0 1 2 2 2

5 0 0 1 1 1 1

Total 0 0 5 6 10 11

Rata-Rata 0 0 1 1.4 1.8 2.2

5 Kontrol 1 0 0 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 0

4 0 0 0 0 0 0

5 0 0 0 0 0 0

Total 0 0 0 0 0 0


(5)

Lampiran 7 Persentase intensitas buah terserang dan intensitas kerusakan biji

Perlakuan Intensitas buah terserang Intensitas kerusakan

biji

P1 (semut hitam + cairan gula pasir) 71.11 ± 11.751 56.77 ± 1.69

P2 (semut hitam + cairan gula merah) 74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

t hitung -0.67tn 3 -1.41

P1 (semut hitam + cairan gula pasir)

tn

71.11 ± 11.75 56.77 ± 1.69

P3 (semut rangrang + jeroan ayam) 39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

t hitung 5.32*2 12.86*

P1 (semut hitam + cairan gula pasir) 71.11 ± 11.75 56.77 ± 1.69

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

t hitung 4.59* 7.65*

P1 (semut hitam + cairan gula pasir) 71.11 ± 11.75 56.77 ± 1.69

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung -1.31tn -2.09

P2 (semut hitam + cairan gula merah)

tn

74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

P3 (semut rangrang + jeroan ayam) 39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

t hitung 10.02* 13.59*

P2 (semut hitam + cairan gula merah) 74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

t hitung 8.67* 8.15*

P2 (semut hitam + cairan gula merah) 74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung -1.10tn -1.65

P3 (semut rangrang + jeroan ayam)

tn

39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

t hitung -1.04tn -1.24

P3 (semut rangrang + jeroan ayam)

tn

39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung 9.81* 9.00*

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung 8.63* 6.86*

Keterangan :

1

rata-rata dan simpangan baku intensitas kerusakan buah dan kerusakan biji pada kakao

2

* berbeda nyata pada taraf 5% karena nilai t hitung > t tabel (α =0.05 dan db=8) = 2.30

3


(6)

Dokumen yang terkait

Content of Nutrient and Defensive Compounds of Resistant and Susceptible Clones of Cocoa Tree Against Cocoa Pod Borer (CPB)

0 5 11

The Utilization of The Cocoa and Coffee Skin in The Cocoa and Coffee Plantation in PT. Perkebunan XXVI

0 4 16

Improving Cocoa Pod Quality By Urea, NaOh and Cocoa Pod Ash Alkali Treatments for Ruminant Feedstuffs

0 11 19

Cocoa Cultivation Practices and Prospect of the utilization of Black Ant and Weaver Ant for the Control of Cocoa Pod Borer in Kabupaten Kolaka Southeast Sulawesi

0 6 183

Research Result Utilization of Cultivation of Plantation and Horticultural Crops State Polytechnic of Agriculture of Pangkajenne and the Islands (The Case of Utilization by of the Farmers in Manggalung Village, Mandalle Sub-district, South Sulawesi).

0 2 86

Detection of Cocoa Pod Borer Infestation Using Sex Pheromone Trap and its Control by Pod Wrapping | Rahmawati | Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 22659 57326 2 PB

0 0 8

Study on the effectiveness of biological agent Beauveria bassiana and pod sleeving for controlling Cocoa Pod Borer pest in East Kalimantan

0 0 5

PENGARUH PEMBERIAN PACLOBUTRAZOL TERHADAP INTENSITAS SERANGAN PENGGEREK BUAH KAKAO Effect of Paclobutrazol on The Damage Intensity of Cocoa Pod Borer

0 0 5

Characteristics of soils developed from alluvium and their potential for cocoa plant development in East Kolaka Regency, Southeast Sulawesi

0 0 8

Nutritional Qualities of Cocoa Pod Husk Treated with Bioconversion and or Provision of Nitrogen Sources in the Rumen

0 0 6