Analisis Status Kualitas Udara Lima Kota Metropolitan di Indonesia.

ANALISIS STATUS KUALITAS UDARA LIMA KOTA
METROPOLITAN DI INDONESIA

DIAH PRABHANDHARI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Status
Kualitas Udara Lima Kota Metropolitan di Indonesia” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014
Diah Prabhandhari
F44100041

ABSTRAK
DIAH PRABHANDHARI. Analisis Status Kualitas Udara Lima Kota
Metropolitan di Indonesia. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO.
Pencemaran udara menjadi salah satu indikator kualitas lingkungan yang
berdampak pada kesehatan masyarakat dan mempengaruhi kualitas udara di
wilayah tersebut. Kota metropolitan yang memiliki laju perkembangan populasi
yang pesat dengan standar hidup dan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah perdesaan menyebabkan peningkatan pemakaian
energi dan emisi polutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
status kualitas udara dan korelasi antara kualitas udara dengan kondisi kota
metropolitan di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang, serta menentukan faktor yang mempengaruhi kualitas udara di kotakota tersebut. Data kualitas udara dan kondisi kota metropolitan diperoleh dari
Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, dan lembaga terkait
lainnya kemudian diolah dengan program SPSS. Berdasarkan data yang diperoleh,

didapat hasil bahwa konsentrasi kelima parameter Indeks Standar Pencemar Udara
(ISPU) berfluktuasi dari tahun 2007-2012 di lima kota tersebut. Korelasi positif
terjadi antara jumlah kendaraan dan konsentrasi PM10, SO2, dan NO2, antara
kepadatan penduduk dan konsentrasi SO2 dan NO2, serta antara konsumsi BBM
dan SO2. Korelasi negatif terjadi antara luas ruang terbuka hijau dan konsentrasi
CO dan NO2. Oleh karena itu, faktor yang memengaruhi kualitas udara di kota
metropolitan di Indonesia adalah kepadatan penduduk, jumlah kendaraan, dan luas
RTH. Selain itu, diperkirakan jumlah kawasan industri dan faktor meteorologi
juga memengaruhi kualitas udara di kota tersebut.
Kata kunci: Indonesia, korelasi, kota metropolitan, kualitas udara

ABSTRACT
DIAH PRABHANDHARI. The Analysis of Air Quality Status of Five
Metropolitan Cities in Indonesia. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO.
The air pollution has become environmental quality indicator that impact to
citizen health and affect the air quality in that area. The metropolitan city with
rapid population rate and higher living standard as well as prosperity level than in
rural area caused the increasing of energy consumption and pollutant emission.
The aim of this study was to analyse the air quality status and the correlation
between air quality and the condition of metropolitan cities in Indonesia namely

Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, and Semarang. Secondly, to determine the
factor affecting the air quality in those cities. The data were obtained from the
State Ministry of Environment, BPS-Statistics, and the other related institutions
which were then processed by SPSS program. Based on the analyzed data, the
pollutant concentrations were fluctuated from 2007-2012 in those five cities. The
positive correlation was occurred between the amount of vehicles and the
concentration of PM10, SO2, and NO2, between the population and the

concentration of SO2 and NO2, also between energy consumption and SO2. The
negative correlation was occurred between the green open area with CO and NO2.
Therefore, the factors that affect the air quality in metropolitan cities in Indonesia
are population, vehicles, and green open area. Moreover, industrial estate and
meteorological factor are allegedly to affect air quality in those cities.
Keywords: Indonesia, correlation, metropolitan city, air quality

ANALISIS STATUS KUALITAS UDARA LIMA KOTA
METROPOLITAN DI INDONESIA

DIAH PRABHANDHARI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah pencemaran
udara, dengan judul Analisis Status Kualitas Udara Lima Kota Metropolitan di
Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono,
M.Sc selaku pembimbing, serta teman-teman seperjuangan Departemen Teknik
Sipil dan Lingkungan yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi

dalam menyelesaikan skripsi ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada segenap pegawai Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik,
dan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membutuhkan di bidang
kualitas udara. Saran dan kritik sangat diharapkan guna memperbaiki kualitas dari
karya ilmiah ini.

Bogor, Juni 2014
Diah Prabhandhari
F44100041

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

vi 

DAFTAR GAMBAR


vi 

DAFTAR LAMPIRAN

vii 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian









METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Kerangka Penelitian
Prosedur Analisis Data







HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Kualitas Udara
Kondisi Kota Metropolitan
Korelasi antara Kualitas Udara dan Kondisi Kota





12 

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

14 
14 
15 

DAFTAR PUSTAKA

16 

LAMPIRAN

19 

RIWAYAT HIDUP


25 

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Konsentrasi PM10 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
3 Konsentrasi SO2 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
4 Konsentrasi CO di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
5 Konsentrasi O3 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang
tahun 2007-2012
6 Konsentrasi NO2 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012

vi









7

Kepadatan Penduduk di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
8 Luas RTH di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang
tahun 2007-2012
9 Jumlah Kendaraan di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
10 Kepadatan Lalu Lintas di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
11 Konsumsi BBM di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012


10 
11 

11 
12 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3

Nilai kualitas udara di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Angka kepadatan penduduk, luas RTH, jumlah kendaraan, kepadatan
lalu lintas, konsumsi BBM di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya,
dan Semarang tahun 2007-2012
Hasil uji korelasi antara kualitas udara dengan kondisi kota
metropolitan dengan program SPSS

19 

20 
21 

vii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Udara adalah salah satu komponen penting bagi kelangsungan makhluk
hidup, terutama manusia. Menurut Hesam (2005) dalam Naddafi et al. (2006),
kebutuhan udara bagi manusia lebih diutamakan daripada kebutuhan terhadap
makanan dan air. Rata-rata kebutuhan udara orang dewasa adalah 15 kg/hari,
sedangkan kebutuhan makanan dan air orang dewasa masing-masing sebesar 1.5
kg/hari dan 2.5 kg/hari. Hesam (2005) dalam Naddafi et al. (2006) juga
menyatakan bahwa manusia dapat terus hidup tanpa makanan selama lima minggu
dan tanpa air selama 5 hari, namun tidak lebih dari beberapa menit tanpa udara.
Pencemaran udara dikenal sebagai masalah lingkungan yang terasosiasi
dengan wilayah perkotaan di seluruh dunia. Berbagai program pemantauan telah
digunakan untuk menentukan kualitas udara dengan menggeneralisasikan
sejumlah data dari setiap konsentrasi polutan (Wu dan Kuo 2013). Pencemaran
udara juga menjadi salah satu indikator kualitas lingkungan yang berdampak pada
kesehatan masyarakat dan mempengaruhi kualitas udara di wilayah tersebut.
Menurut Setiawan (1992), terjadinya pencemaran udara luar ruangan dapat
menyebabkan berbagai penyakit saluran pernapasan seperti batuk, bronkhitis,
asma, pneumonia, dan bahkan kanker paru.
Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui besarnya pencemaran
udara dan kualitas udara adalah indeks standar pencemar udara (ISPU). Sesuai PP
No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, ISPU merupakan
nilai ukuran yang tidak mempunyai satuan untuk menggambarkan kondisi kualitas
udara ambien pada lokasi dan waktu tertentu. Parameter yang digunakan untuk
menghitung ISPU adalah partikulat berukuran kurang dari 10 µm (PM10), sulfur
dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), oksidan dalam bentuk ozon (O3), dan
nitrogen dioksida (NO2).
Industrialisasi dan transportasi dapat meningkatkan emisi CO2 dan gas
rumah kaca (GRK) lainnya beserta VOC (Majumdar et al. 2011). Peningkatan
yang paling signifikan dari penggunaan energi dan emisi GRK terjadi di kota
metropolitan yang memiliki laju perkembangan populasi yang pesat dengan
standar hidup dan tingkat kemakmuran lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah
perdesaan atau kota yang lebih kecil (Imura 2003). Beberapa hal yang mampu
mempengaruhi kualitas udara adalah jumlah penduduk, tingkat kepadatan lalu
lintas, dan konsumsi bahan bakar minyak, serta luas ruang terbuka hijau. Kondisi
tersebut yang membedakan satu kota dengan kota metropolitan yang lain. Atas
dasar tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh korelasi antara status
kualitas udara ambien dengan kondisi kota metropolitan di Indonesia.
Perumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Status kualitas udara di lima kota metropolitan di Indonesia, yaitu
Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, dan Semarang.
2. Faktor penentu kualitas udara di lima kota metropolitan di Indonesia.
3. Korelasi kualitas udara dengan kondisi kota metropolitan di Indonesia.

2

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyusun kompilasi status kualitas udara di lima kota metropolitan di
Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang.
2. Menganalisis korelasi antara kualitas udara dengan kondisi kota
metropolitan di Indonesia.
3. Menentukan faktor yang mempengaruhi kualitas udara di lima kota
metropolitan di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini diharapkan akan dapat:
1. Memberikan informasi mengenai pengaruh setiap kondisi kota
metropolitan terhadap kualitas udara di wilayah tersebut.
2. Memberikan rekomendasi penanganan pencemaran udara yang sesuai
dengan setiap kondisi kota metropolitan.
3. Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan untuk menangani
pencemaran udara secara komprehensif dan sesuai dengan kondisi kota
yang bersangkutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian hanya membahas kualitas udara di lima kota metropolitan di
Indonesia, yakni Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, dan Semarang.
2. Parameter kualitas udara yang dibahas adalah yang termasuk dalam
parameter ISPU, yakni PM10, SO2, CO, O3, dan NO2, sementara kondisi
kota metropolitan dibatasi dari segi lingkungan, yakni luas ruang terbuka
hijau, tingkat kepadatan lalu lintas, dan konsumsi bahan bakar minyak
serta jumlah penduduk.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2014. Penelitian
dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, dan
lembaga atau instansi lainnya.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat pengolah
data, seperti komputer atau laptop yang dilengkapi dengan program Ms. Office
dan SPSS. Bahan yang digunakan pada penelitian adalah data sekunder berupa

3

data kualitas udara selama enam tahun di Kota Jakarta, Medan, Bandung,
Surabaya, dan Semarang. Data lainnya adalah keadaan di setiap kota metropolitan
tersebut, seperti luas ruang terbuka hijau, jumlah konsumsi bahan bakar minyak,
tingkat kepadatan lalu lintas, dan aspek kependudukan berupa jumlah penduduk.
Kerangka Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini diawali dengan
munculnya gagasan atau ide penelitian, perumusan masalah, kemudian studi
literatur, dan dilanjutkan dengan pengambilan data. Langkah berikutnya adalah
pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data. Diagram alir penelitian
disajikan dalam Gambar 1.
Gagasan Penelitian

Perumusan Masalah

Studi Literatur

Parameter Indeks
Standar Pencemar
Udara

Pencemaran Udara

Korelasi Pearson
Product Moment dan
Spearman Rank

Pengambilan Data
Keadaan Kota Jakarta, Medan,
Bandung, Surabaya, dan Semarang
Tahun 2007-2012
Kualitas Udara:
• PM10
• SO2
• CO
• O3
• NO2

Jumlah
Konsumsi
Bahan Bakar
Minyak (BBM)
5 Kota

Tingkat Kepadatan
Lalu Lintas
• Jumlah Kendaraan
• Panjang Jalan

Kepadatan
Penduduk:
• Jumlah Penduduk
• Luas Wilayah

Luas Ruang
Terbuka Hijau
(RTH)

Pengolahan Data
Analisis Data dan Pembahasan
Simpulan dan Saran

Gambar 1 Diagram alir penelitian

4

Prosedur Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah data yang telah
terkumpul, diolah, dan dianalisis hingga diperoleh hubungan antara kualitas udara
dengan kondisi lingkungan, seperti luas ruang terbuka hijau, dan konsumsi bahan
bakar minyak, serta jumlah penduduk di setiap kota metropolitan. Teknik analisis
yang digunakan adalah teknik korelasi Pearson Product Moment dan Spearman
Rank. Analisis korelasi dilakukan pada pasangan data terlengkap.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Kualitas Udara
Hasil pengukuran kualitas udara dengan lima parameter di lima kota
metropolitan Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang
yang telah diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup, Pusat Sarana
Pengendalian Dampak Lingkungan, serta Badan Pusat Statistik telah diplotkan ke
dalam grafik yang tertera pada Gambar 2-6. Berdasarkan Gambar 2-6, dapat
dilihat bahwa terdapat data yang tidak tercantum pada grafik, seperti nilai
konsentrasi PM10 di Kota Jakarta tahun 2008-2010. Hal ini disebabkan lembaga
terkait tidak melakukan pengukuran ataupun kerusakan yang dialami oleh
instrumen pengukur. Kendala lainnya adalah sistem yang terhenti di pusat
pengendalian, sehingga data pengukuran tidak dapat terekapitulasi.

Konsentrai PM10 (µg/m3/24jam)

350
2007

300

2008
250
2009
200

2010

150

2011

100

2012

50

Baku
Mutu

0

Jakarta

Bandung

Medan

Surabaya

Semarang

KOTA

Gambar 2 Konsentrasi PM10 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Secara umum, terjadi penurunan pada konsentrasi PM10 di kelima kota
dalam kurun enam tahun. Pada tahun 2007, konsentrasi PM10 di Jakarta dan

5

Surabaya berada di atas ambang batas yang dicantumkan dalam PP No. 41/1999,
yakni 150 µg/m3 untuk pengukuran 24 jam.
Menurut Sierra-Vargas dan Teran (2012), PM10 dilepaskan ke atmosfer saat
batubara, bensin, solar, dan kayu dibakar. PM10 juga dihasilkan dari reaksi kimia
antara NO dengan senyawa organik yang terjadi di lingkungan. Vegetasi dan
hewan ternak juga sumber PM10. Bangkitan PM10 di kota besar juga
disumbangkan oleh kendaraan bermotor dan PLTU.
Partikulat di atmosfer dapat menyebabkan berubahnya radiasi matahari yang
dapat diserap oleh permukaan bumi (Kaufman et al. 2002). Partikulat dapat
mengurangi intensitas radiasi matahari sehingga mempengaruhi proses
fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman (Mahankale 2009). Menurut
Canova et al. (2012), peningkatan asma dan chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) berhubungan dengan peningkatan konsentrasi PM10 dengan efek
tertinggi yang tercatat selama tiga hari sebelum pembusukan (exacerbation).
Partikulat dapat dihilangkan dengan adanya pengendapan secara gravitasi
(deposisi kering), maupun dengan penghapusan melalui curah hujan (deposisi
basah) (Mahowald et al. 2005).

Konsentrai SO2 (µg/m3/24jam)

400
350

2007

300

2008

250

2009

200

2010

150

2011

100

2012

50

Baku
Mutu

0

Jakarta

Bandung

Medan

Surabaya

Semarang

KOTA

Gambar 3 Konsentrasi SO2 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Konsentrasi SO2 di kelima kota tersebut berfluktuasi, namun nilai tersebut
masih aman karena berada di bawah baku mutu yakni 365 µg/m3 untuk
pengukuran 24 jam. Nilai SO2 tertinggi terdapat di Semarang pada 2008. Menurut
Jacobson (2002) dalam Cahyono (2011), sumber utama SO2 adalah pembangkit
listrik tenaga batu bara, pembakaran bahan bakar fosil, dan gunung berapi. SO2
adalah pencemar dari sumber industri yang berperan sebagai prekusor asam sulfat.
Komponen partikel aerosolnya mempengaruhi deposisi asam, iklim dan lapisan
ozon global. Cahyono juga menyatakan bahwa sektor industri di Jawa Tengah
pada 2008 mengemisikan SO2 sebanyak 32% lebih tinggi daripada emisi lainnya.

6

Hal ini yang menyebabkan konsentrasi SO2 di Semarang menjadi yang tertinggi
dibanding kota lainnya pada 2008.
Sulfur dioksida (SO2) adalah gas tidak berwarna yang menimbulkan rasa
jika konsentrasinya 0.3 ppm dan menghasilkan bau yang tajam pada tingkat
konsentrasi yang lebih besar dari 0.5 ppm. SO2 juga larut dalam air, serta tidak
mudah terbakar (Jacobson 2002; Cahyono 2011). SO2 ketika dibebaskan ke
atmosfer bereaksi cepat dengan gugus OH untuk membentuk HSO3 yang
kemudian bereaksi dengan O2 untuk membentuk SO3, kemudian larut dalam awan
dan aerosol, dimana ia bereaksi dengan H2O. Sebagai hasil dari proses-proses
tersebut, SO2 dikonversi menjadi H2SO4, sehingga menyebabkan hujan asam.
Adanya hujan asam dapat menyebabkan pH air turun, sehingga ekosistem air
terganggu (Denman et al. 2007).

KonsentraiSI CO (ribu µg/m3/24jam )

20
18
2007
16
2008

14
12

2009

10

2010

8

2011

6

2012

4
Baku
Mutu

2
0

Jakarta

Bandung

Medan

Surabaya

Semarang

KOTA

Gambar 4 Konsentrasi CO di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang
tahun 2007-2012
Karbon monoksida adalah gas tidak berwarna, tidak berbau, dan bersifat
racun. CO biasanya bercampur dengan gas-gas lain yang berbau sehingga dapat
terhirup tanpa disadari. CO dihasilkan dari limbah industri terutama hasil
pembakaran tidak sempurna gas alam dan material-material lain yang
mengandung karbon (OSHA 2002). Nilai polutan CO pada tahun 2008 di Medan,
Surabaya, Semarang, serta Surabaya pada 2007 dan Semarang 2009 berada di atas
baku mutu, yakni 10000 µg/m3 untuk pengukuran 24 jam. Konsentrasi CO di kota
dan tahun lainnya berada di bawah baku mutu. Terlihat juga bahwa konsentrasi
CO di Kota Jakarta mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 2012.
CO dapat meningkat di atas 100 ppm dalam beberapa jam pada lingkungan
kendaraan bermotor (WHO 2000). Menurut Both et al. (2013), pengguna
kendaraan pribadi di Jakarta mengalami rata-rata paparan CO sebanyak 22 ppm.
Nilai ini diperoleh dari pengukuran paparan pada 36 individu selama 93 hari. Nilai
tersebut adalah 60% dari total paparan harian selama perjalanan. Sekitar 80-90%

7

CO yang terserap berikatan dengan hemoglobin dan membentuk
karboksihemoglobin (COHb). Afinitas hemoglobin dengan CO 200-250 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan oksigen (WHO 2000).

KonsentraiSI O3 (µg/m3/jam )

300

2007

250

2008

200

2009

150

2010
2011

100

2012
50
0

Baku
Mutu
Jakarta

Bandung

Medan

Surabaya

Semarang

KOTA

Gambar 5 Konsentrasi O3 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang
tahun 2007-2012
Ozon (O3) di bagian permukaan tanah merupakan polutan dengan beberapa
pengaruh yang merugikan kesehatan. Sebagian besar lapisan bawah ozon
terbentuk di perkotaan, namun ozon dapat terbawa ke daerah lain dengan radius
hingga ratusan mil akibat terbawa angin (Martuti 2013). Ozon troposferik dikenal
dapat merusak tanaman, mengurangi produktivitas tumbuhan primer dan hasil
panen. Namun ozon troposferik juga dapat meningkatkan konsentrasi karbon
dioksida atmosferik yang dianggap mampu menstimulasi produktivitas tumbuhan
primer (Sitch et al. 2007).
Hasil pengukuran konsentrasi O3 untuk kelima kota tersebut yang
terlengkap adalah pada tahun 2011. Apabila dibandingkan, nilai O3 pada kelima
kota cukup tinggi, namun belum melewati baku mutu yakni 235 µg/m3 untuk
pengukuran 1 jam kecuali di Bandung. O3 terbentuk oleh interaksi radiasi
ultraviolet (UV) dengan nitrogen oksida dan senyawa organik. Berdasarkan
monitoring indeks UV yang dilakukan oleh Bidang Komposisi Atmosfer-LAPAN
sejak bulan Oktober 2007-Januari 2011, nilai indeks UV di Bandung adalah di
atas 11 (kategori ekstrem) sebanyak 533 hari dari total pengukuran 1211 hari.
Nilai UV yang tinggi dan reaksinya dengan NO dan senyawa organik diduga
menjadi penyebab tingginya konsentrasi O3 pada tahun 2011.

8

KonsentraiSI NO2 (µg/m3/24jam )

200
180

2007

160

2008

140
2009

120

2010

100
80

2011

60

2012

40

Baku
Mutu

20
0

Jakarta

Bandung

Medan

Surabaya

Semarang

KOTA

Gambar 6 Konsentrasi NO2 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Konsentrasi NO2 di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang
berfluktuasi. Selain itu, dapat dilihat juga bahwa konsentrasi NO2 di Semarang
tahun 2009 melewati baku mutu, yaitu 150 µg/m3 untuk pengukuran 24 jam.
Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas yang berwarna kuning pucat dan
menimbulkan bau. Gas ini dapat mengganggu jarak pandang dan menimbulkan
iritasi pada saluran pernapasan pada konsentrasi 1.5-2 ppm (Martono dan
Sulistiyani 2004). Sumber utama emisi gas NO2 berasal dari kendaraan bermotor.
Martono dan Sulistiyani (2004) juga menyatakan bahwa faktor emisi gas buang
kendaraan bermotor menyumbang emisi NO2 185 pon/1000 galon. Kadar NO2
meningkat seiring dengan kenaikan aktivitas lalu lintas. Menurut Kelliher et al.
(2013), tanah pertanian mengemisikan NO2 lebih dari 40%.
Konsentrasi polutan yang berfluktuasi tersebut disebabkan oleh peningkatan
jumlah kawasan industri yang berada di kota masing-masing. Perbedaan titik
pengambilan sampel di tiap tahunnya dan sumber perolehan data yang berbeda
menjadikan data kualitas udara di masing-masing kota menjadi inkonsisten.
Konsentrasi pencemar udara disajikan secara lengkap pada Lampiran 1.
Kondisi Kota Metropolitan
Perkembangan pembangunan kawasan perkotaan tidak jarang menyebabkan
himpitan terhadap lingkungan, seperti meluasnya lingkungan kumuh, kemacetan,
kerusakan lingkungan, serta tanggung jawab sosial yang berkurang. Kerusakan
lingkungan yang kerap kali terjadi akibat pembangunan ini adalah pencemaran
udara. Secara ekonomi, pecemaran udara menimbulkan kerugian yang tinggi.
Diacu dalam Turyanti (2011), biaya ekonomi akibat pencemaran udara di DKI
Jakarta yang dihitung dalam bentuk biaya kesehatan dan kehilangan produktivitas
pada 2015 diperkirakan mencapai US$ 400 juta per tahun, sedangkan untuk
Bandung dalam pembiayaan kesehatan akibat pencemaran PM10 mencapai
Rp 12.7 miliar per tahun.

9

Polusi udara di beberapa kota metropolitan Indonesia, seperti Jakarta,
Bandung, Surabaya, dan Semarang mencapai 70% dari sektor transportasi, dan
diikuti oleh sektor industri dan domestik sebesar 20% dan 10% (Turyanti 2011).
Selain transportasi, kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat turut memberikan
andil dalam perkembangan kawasan perkotaan tersebut. Ketersediaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) pada suatu wilayah diperkirakan dapat menjadi solusi
penanganan kualitas udara. Gambar 7-11 menyajikan informasi mengenai
perkembangan jumlah kendaraan, kepadatan lalu lintas dan penduduk, serta
ketersediaan RTH dan konsumsi BBM di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya,
dan Semarang dari tahun 2007-2012.

Kepadatan Penduduk (ribu jiwa/km2)

16
14
12
2007
2008
2009
2010
2011
2012

10
8
6
4
2
0
Jakarta

Bandung

Medan
Kota

Surabaya

Semarang

Gambar 7 Kepadatan Penduduk di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Berdasarkan Gambar 7, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota
Jakarta, sedangkan yang terendah di Kota Semarang. Angka kepadatan tersebut
juga dominan meningkat dari tahun 2007 hingga 2012 di setiap kota. Hal ini dapat
disebabkan penduduk di wilayah perdesaan berpindah ke wilayah perkotaan.
Perpindahan ini berhubungan dengan tingkat upah dan jumlah permintaan tenaga
kerja. Menurut Smith dalam Mustika (2011), jika tingkat upah lebih tinggi
daripada tingkat upah subsitensi maka banyak penduduk melaksanakan
perkawinan relatif muda, sehingga jumlah kelahiran meningkat. Tingkat upah
akan tinggi apabila permintaan tenaga kerja lebih tinggi dari penawaran tenaga
kerja. Hal tersebut yang terjadi di kota metropolitan.

10

30

Ruang Terbuka Hijau (%)

25
2007
2008
2009
2010
2011
2012

20
15
10
5
0
Jakarta

Bandung

Medan
Kota

Surabaya

Semarang

Gambar 8 Luas RTH di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang
tahun 2007-2012
Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta, Bandung, Medan,
Surabaya, dan Semarang memiliki luasan yang berbeda. RTH di lima kota
tersebut terdiri dari jalur hijau di sempadan sungai dan tegangan tinggi (SUTT)
serta sempadan rel kereta api. Selain itu, kawasan lindung, hutan kota,
pemakaman, permukiman, dan lapangan olahraga juga termasuk dalam kawasan
RTH di lima kota metropolitan tersebut. Apabila dibandingkan dengan luas
wilayah masing-masing, Surabaya memiliki kawasan RTH yang terluas
dibandingkan dengan empat kota lainnya. Penambahan luas RTH juga terjadi di
Surabaya seperti yang dilihat pada Gambar 8. Berkebalikan dengan Surabaya,
Bandung mengalami penurunan luas RTH dari tahun 2007-2011. Hal ini
disebabkan adanya pembangunan sehingga mengurangi RTH yang ada.
Kawasan RTH yang terdiri dari RTH privat dan publik ini masih di bawah
syarat minimal RTH yang dianjurkan menurut UU No. 26/2007 tentang Penataan
Ruang, yakni 30%. Jakarta dan Semarang yang memiliki luas RTH kurang dari
10% perlu melakukan upaya penambahan agar syarat minimal terpenuhi, begitu
pula dengan Bandung, Medan, dan Surabaya. Seperti yang diutarakan oleh
Turyanti (2011), RTH dapat berfungsi sebagai alat untuk modifikasi iklim mikro,
peneduh, estetika kota, sekaligus mampu menyerap pencemar udara, sehingga
membantu mengurangi konsentrasi pencemar di udara ambien.
McPherson et al. (1998) dalam Manes et al. (2008) juga mengutarakan
vegetasi dapat secara nyata meningkatkan kualitas lingkungan urban, tidak hanya
bermanfaat dalam segi estetika dan rekreasi, namun juga kemampuannya untuk
mengurangi suhu udara dan menghilangkan polutan primer dan sekunder di udara
sehingga sesuai dengan standar kualitas udara yang ditetapkan. Nowak et al.
(2006) menyatakan RTH perkotaan di Amerika Serikat membersihkan sekitar
214,900 ton PM10 dan 305,100 ton O3 selama periode 1 tahun.

11

Jumlah Kendaraan (juta unit)

14
12
2007
2008
2009
2010
2011
2012

10
8
6
4
2
0
Jakarta

Bandung

Medan
Kota

Surabaya

Semarang

Gambar 9 Jumlah Kendaraan di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012

Kepadatan lalu lintas (ratus unit/km)

20
18
16
14
2007
2008
2009
2010
2011
2012

12
10
8
6
4
2
0
Jakarta

Bandung

Medan
Kota

Surabaya

Semarang

Gambar 10 Kepadatan Lalu Lintas di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Jumlah kendaraan tertinggi terdapat di Jakarta seperti yang terlihat di
Gambar 9. Kenaikan nilai dari tahun 2007 hingga 2012 tidak hanya dialami oleh
Jakarta, namun juga di keempat kota lainnya. Kepadatan lalu lintas tertinggi
dialami oleh Jakarta seperti yang tercantum pada Gambar 10. Emisi kendaraan
adalah masalah lingkungan serius, terutama di kota yang berpopulasi tinggi. Emisi
tersebut mengandung berbagai polutan seperti CO, CO2, HC, dsb, yang pada
konsentrasi tinggi dapat berujung ke masalah kesehatan (Ghose dan Banerjee
2004). Peningkatan kepadatan lalu lintas berpotensi terhadap kemacetan.
Kemacetan akibat meningkatnya volume kendaraan pada waktu aktivitas yang

12

bersamaan dapat menimbulkan pencemaran udara berupa CO (Widayani et al.
2008). Selain itu, usia dan perkembangan teknologi suatu kendaraan menentukan
banyaknya penggunaan kendaraan tersebut dan pengaruhnya terhadap dampak
lingkungan (Zachariadis et al. 2001; Al-Momani dan Al-Nasser 2011).
45
40
Kunsumsi BBM
(ratus ribu kiloliter)

35
2007
2008
2009
2010
2011
2012

30
25
20
15
10
5
0
Jakarta

Bandung

Medan
Kota

Surabaya

Semarang

Gambar 11 Konsumsi BBM di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Pemakaian BBM berupa premium, pertamax, dan solar yang digunakan oleh
sektor transportasi dan industri juga dapat mempengaruhi kualitas udara ambien
suatu wilayah. Konsumsi terbanyak terdapat di Jakarta dengan kecenderungan
meningkat setiap tahunnya. Peningkatan kecenderungan pemakaian juga terlihat
di Bandung, Medan, dan Semarang seperti yang tercantum pada Gambar 11.
Angka kepadatan penduduk, jumlah kendaraan, luas RTH, dan konsumsi BBM di
Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang pada tahun 2007-2012
disajikan pada Lampiran 2.
Korelasi antara Kualitas Udara dan Kondisi Kota
Tinggi atau rendahnya konsentrasi pencemar udara di satu kota tertentu
dapat dipengaruhi kondisi kota tersebut. Seperti yang telah disebutkan dalam
subbab sebelumnya, terdapat lima kondisi yang dapat mempengaruhi kualitas
udara suatu kota, yakni kepadatan penduduk, luas RTH, jumlah kendaraan
bermotor, kepadatan lalu lintas, serta konsumsi BBM.
Setelah dilakukan analisis korelasi menggunakan teknik korelasi Pearson,
diperoleh hasil bahwa konsentrasi PM10 berkorelasi positif dengan jumlah
kendaraan bermotor. Hal ini dapat dilihat dari data kedua variabel pada tahun
2007 dimana nilai koefisien korelasi sebesar 0.815 yang berarti terdapat hubungan
yang kuat diantara keduanya. Namun, korelasi tidak terjadi antara PM10 dan
kepadatan penduduk maupun luas RTH karena nilai signifikan yang melewati
batas. Korelasi antara PM10 dan tingkat konsumsi BBM tidak dapat dihitung
karena keterbatasan data.
Parameter selanjutnya adalah SO2. Hasil uji korelasi antara konsentrasi SO2
dan kondisi kota metropolitan adalah SO2 berkorelasi positif dengan kepadatan

13

penduduk, konsumsi BBM, dan jumlah kendaraan. Namun, SO2 juga berkorelasi
positif dengan luas RTH. Hal ini mungkin dapat terjadi karena laju peningkatan
SO2 terlampau tinggi, sehingga tidak dapat diimbangi oleh laju peningkatan luas
RTH di suatu wilayah, seperti Kota Surabaya.
Uji korelasi berikutnya menghasilkan hubungan antara konsentrasi NO2 dan
kepadatan penduduk serta jumlah kendaraan yang berkorelasi positif, sedangkan
antara NO2 dan luas RTH berkorelasi negatif. Hubungan antara NO2 dan
konsumsi BBM tidak dapat ditentukan karena nilai signifikan antara kedua
variabel telah melewati batas.
Sampel yang diambil untuk uji korelasi antara konsentrasi CO dan kondisi
kota adalah sampel Kota Surabaya karena memiliki data terlengkap dan dapat
dianalisis. Hubungan antara konsentrasi CO dan luas RTH, jumlah kendaraan,
serta kepadatan penduduk adalah korelasi negatif. Hasil ini diperoleh
menggunakan teknik korelasi Spearman karena data tidak berdistribusi normal.
Konsentrasi CO yang menurun dari tahun 2007-2012 dapat disebabkan oleh
adanya pengaruh dari peningkatan luas RTH yang cukup tinggi. Uji korelasi
antara konsentrasi O3 dan kondisi kota tidak menghasilkan korelasi apapun. Hasil
ini disebabkan oleh data yang tersebar secara tidak normal dan nilai signifikan
terlampau tinggi. Hasil uji korelasi menggunakan program SPSS disajikan pada
Lampiran 3.
Upaya pengendalian dan penanggulangan polusi di kota metropolitan
memerlukan kerjasama antar dua komponen, yakni pemerintah dan masyarakat.
Salah satu bentuk upaya tersebut adalah pemberlakuan Peraturan Pemerintah.
Seperti yang telah tercantum pada Peraturan Menteri ESDM RI No. 1 Tahun 2013
tentang Pengendalian BBM Bersubsidi, yaitu pembatasan penggunaan BBM.
Apabila konsumsi BBM dibatasi, masyarakat akan berpikir ulang untuk terus
menggunakan kendaraan pribadi dan diharapkan beralih ke angkutan massal.
Pembatasan pemberian izin untuk angkutan umum kecil perlu dilakukan, karena
pada umumnya angkutan umum kecil adalah biang kemacetan. Seperti pada
pembahasan sebelumnya kemacetan berkaitan dengan polusi udara.
Tindakan tegas dari aparat hukum terhadap para pengguna kendaraan
bermotor untuk mematuhi aturan dan rambu lalu lintas turut andil dalam
mengurangi kemacetan yang berakibat mencemari udara. Pemberian penghambat
laju kendaraan atau polisi tidur justru menjadi biang polusi. Laju kendaraan
bermotor tersebut akan melambat (Harahap 2013). Hasil penelitian Asmoro
(2002) menunjukkan bahwa kecepatan rata-rata kendaraan berbanding terbalik
dengan konsentrasi emisi kendaraan yang dilepaskan ke udara.
Kemacetan juga dapat diurai dengan pemberlakuan jam mulai berkegiatan
secara bergantian dan tarif retribusi yang tinggi sehingga tidak ada parkir liar.
Pembatasan usia kendaraan, terutama bagi angkutan umum dapat menjadi solusi
untuk mengurangi polusi udara dari sektor transportasi. Hal ini dikarenakan
semakin tua kendaraan, terutama yang kurang terawat maka semakin besar potensi
untuk berkontribusi dalam mencemari udara. Penelitian yang dilakukan oleh
Guoet al. (2006) di Hangzhou, Cina menunjukkan 46.55% CO diemisikan oleh
kendaraan keluaran tahun 2000-2004.
Sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 92 Tahun 2007 tentang
Uji Emisi dan Perawatan Kendaraan Bermotor, uji emisi wajib dilaksanakan oleh
masing-masing kendaraan minimal setiap enam bulan. Dengan diadakannya uji

14

emisi, zat sisa yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor tersebut dapat diketahui.
Apabila kendaraan tidak lolos uji, dapat diberi tindakan tegas seperti pencabutan
izin beroperasi.
Penambahan lahan hijau dan pembatasan izin pembangunan daerah komersil
juga menjadi solusi untuk memperbaiki kualitas udara di kota metropolitan.
Seperti yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
proporsi minimal RTH suatu kota adalah 30% dari luas wilayah kota tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, kelima kota metropolitan tersebut harus
menambah lahan hijau di wilayah masing-masing. Penanaman pohon-pohon
peneduh jalan seperti trembesi, angsana, asam jawa, dan mahoni dapat dilakukan
untuk menyerap polutan di udara (Harahap 2013).
Menurut Widayani et al. (2008), konsentrasi polutan di udara yang tinggi
disebabkan oleh kurangnya ruangan terbuka karena daerah tersebut adalah daerah
komersial dengan tingkat kerapatan bangunan yang sangat tinggi, sehingga
sirkulasi udara menjadi sangat rendah. Adapun pendapat Beroya (2000) dalam
Widayani et al. (2008) bahwa pada di daerah perkotaan kecepatan pembersihan
CO sangat lambat karena kecepatan dispersi dipengaruhi oleh faktor meteorologi,
antara lain kecepatan arah angin, turbulensi udara, dan stabilitas atmosfer.
Solusi lainnya adalah dengan menghemat energi yang digunakan serta
pengembangan teknologi ramah lingkungan dan dapat diperbarui seperti fuel cell
dan solar cell. Selain itu, Indonesia dapat menerapkan Clean Air Act seperti pada
Amerika Serikat (AS). Clean Air Act adalah peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah AS dengan menambah pajak bagi industri yang melakukan
pencemaran udara, sehingga apabila industri tidak mau membayar pajak tinggi,
industri tersebut harus melakukan pengendalian pencemaran udara yang
dihasilkannya (McGee 2001). Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal
masing-masing adalah cara termudah, sehingga polusi dapat berkurang.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Kualitas udara di lima kota metropolitan Indonesia, yakni Jakarta, Bandung,
Medan, Surabaya, dan Semarang berfluktuasi dari tahun 2007-2012. Kualitas
udara setiap tahun di masing-masing kota antara lain:
a. Pada tahun 2007, Jakarta dan Surabaya memiliki nilai konsentrasi PM10
yang melewati batas. Konsentrasi CO di Surabaya juga melewati batas.
Selebihnya, konsentrasi semua parameter di lima kota di bawah baku mutu.
b. Pada tahun 2008, konsentrasi CO di Medan, Surabaya, dan Semarang
melewati baku mutu. Selebihnya, konsentrasi semua parameter di lima kota
di bawah baku mutu.
c. Pada tahun 2009, konsentrasi CO dan NO2 di Semarang melewati baku
mutu. Selebihnya, konsentrasi semua parameter di lima kota di bawah baku
mutu.

15

d. Pada tahun 2010, konsentrasi kelima parameter di Jakarta, Bandung, Medan,
Surabaya, dan Semarang berada di bawah baku mutu.
e. Pada tahun 2011, konsentrasi O3 di Bandung melewati baku mutu.
Selebihnya, konsentrasi semua parameter di lima kota di bawah baku mutu.
f. Pada tahun 2012, konsentrasi kelima parameter di Jakarta, Bandung, Medan,
Surabaya, dan Semarang berada di bawah baku mutu.
2. Korelasi antara kualitas udara dan kondisi kota metropolitan adalah sebagai
berikut:
a. PM10 berkorelasi positif dengan jumlah kendaraan bermotor, namun tidak
berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan luas RTH karena nilai tidak
signifikan. Korelasi antara konsentrasi PM10 dan konsumsi BBM tidak dapat
dihitung karena keterbatasan data.
b. SO2 berkorelasi positif dengan kepadatan penduduk, konsumsi BBM, dan
jumlah kendaraan, serta luas RTH. Hubungan positif antara SO2 dan luas
RTH dapat terjadi karena laju peningkatan SO2 terlampau tinggi, sehingga
tidak dapat diimbangi oleh laju peningkatan luas RTH.
c. NO2 berkorelasi positif dengan kepadatan penduduk dan jumlah kendaraan,
serta berkorelasi negatif dengan luas RTH. NO2 tidak berkorelasi dengan
konsumsi BBM karena nilai tidak signifikan.
d. CO berkorelasi negatif dengan luas RTH, jumlah kendaraan, dan kepadatan
penduduk. Konsentrasi CO yang menurun dari tahun 2007-2012 dapat
disebabkan oleh adanya pengaruh dari peningkatan luas RTH yang cukup
tinggi.
e. O3 tidak berkorelasi dengan kondisi kota terkait, karena data tersebar secara
tidak normal dan nilai signifikan terlampau tinggi.
3. Faktor yang mempengaruhi kualitas udara di kota metropolitan di Indonesia
adalah kepadatan penduduk, jumlah kendaraan, dan luas RTH. Selain itu,
diperkirakan jumlah kawasan industri dan faktor meteorologi juga
mempengaruhi kualitas udara di kota bersangkutan

Saran
Saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Lembaga dan instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas pengukuran
kualitas udara diharapkan lebih disiplin agar informasi tentang kualitas udara
dapat tersusun dengan lebih baik.
2. Pengukuran kualitas udara sebaiknya dilakukan secara konsisten di titik yang
sama dengan pengukuran parameter yang sama pada setiap rentang waktu
tertentu.
3. Pengendalian kualitas udara dapat diberlakukan dengan beberapa cara, antara
lain:
a. Pembatasan konsumsi BBM, usia kendaraan, serta jam mulai berkegiatan
secara bergantian dan uji emisi.
b. Penambahan lahan terbuka hijau dan pembatasan izin pembangunan daerah
komersil.
c. Penghematan energi dan pengembangan teknologi ramah lingkungan.

16

DAFTAR PUSTAKA
Al-Momani TM, Al-Nasser AD. 2011. Emission Rate of Gases Emitted from
Private Gasoline Vehicles in Irbid – Jordan. Jordan Journal of Civil
Engineering. 5(2):287-301.
Asmoro A. 2002. Mengintegrasikan Aspek Lingkungan dalam Kebijakan Lalu
Lintas Perkotaan di Kota Denpasar [tesis]. Semarang (ID): Universitas
Diponegoro.
Both AF, Westerdahl D, Fruin S, Haryanto B, Marshall JD. 2013. Exposure to
Carbon Monoxide, Fine Particle Mass, and Ultrafine Particle Number in
Jakarta, Indonesia: Effect of Commute Mode. Science of the Total
Environment. 443(1):965-972.
[BPLH] Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Surabaya. 2012.
Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau. Surabaya (ID): BPLH.
[BPLH] Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Surabaya. 2007. Kadar
Oksidan di Kota Surabaya. Surabaya (ID): BPLH.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011-2012. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia
2011-2012. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. 2008-2013. Jakarta dalam
Angka 2008-2013. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. 2008-2013. Sumatera Utara
dalam Angka 2008-2013. Medan (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 2008-2013. Bandung dalam Angka
2008-2013. Bandung (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2008-2013. Medan dalam Angka 20082013. Medan (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Semarang. 2008-2013. Semarang dalam Angka
2008-2013. Surabaya (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. 2008-2013. Surabaya dalam Angka
2008-2013. Surabaya (ID): BPS.
Cahyono WE. 2011. Kajian Tingkat Pencemaran Sulfur Dioksida dari Industri di
Beberapa Daerah di Indonesia. Berita Dirgantara. 12(4):132-137.
Canova C, Dunster C, Kelly FJ, Minelli C, Shah PL, Caneja C, Tumilty MK,
Burney P. 2012. PM10-induced Hospital Admissions for Asthma and
Chronic Obstructive Pulmonary Disease: The Modifying Effect of
Individual Characteristics. Epidemiology. 23(4):607-15.
Denman KL, Brasseur G, Chidthaison A. 2007. Coupling between Changes in the
Climate System and Biogeochemistry. Contribution of Working Group I to
the 4th Assessment Resport of the Intergovernmental Panel on Climate
Change, Cambridge (UK).
Ghose PR, Banerjee SK. 2004. Assessment of the Impacts of Vehicular Emissions
on Urban Air Quality and Its Management in Indian Context: the Case of
Calcutta. Environmental Science and Policy. 7:345-351

17

Guo H, Zhang QY, Shi Y, Wang DH, Ding SY, Yan SS. 2006. Characterization
of On-road CO, HC, and NO Emissions for Petrol Vehicle Fleet in China
City. J Zhejiang Univ Sci B. Jul 2006; 7(7):532-541.
Harahap YY. 2013. Perbandingan Kadar Karbon Monoksida (CO) dan Nitrogen
Dioksida (NO2) di Udara Ambien Berdasarkan Keberadaan Pohon Angsana
di Beberapa Jalan Raya di Kota Medan Tahun 2012 [skripsi]. Medan (ID):
Universitas Sumatera Utara.
Imura H. 2003. The Budgets of GHGs, Urban Air Pollutants and Their Future
Emission Scenarios in Selected Mega Cities in Asia (APN 2002-04). Final
Activity Report. Air Pollution Network.
[IUPAC] International Union of Pure and Applied Chemistry. 1990. Glossary of
Atmospheric Chemistry Terms, Applied Chemistry Division, Commission
on Atmospheric Chemistry. Pure and Applied Chemistry. 62(11):21672219.
Kaufman YJ, Tanre D, Boucher O. 2002. A Satellite View of Aerosols in the
Climate System. Nature. 419(6903):215-223.
Kelliher FM, Cox N, Weerden TJ, Klein CAM, Luo J, Cameron KC, Di HJ,
Giltrap D, Rys G. 2013. Statistical Analysis of Nitrous Dioxide Emission
Factors from Pastoral Agriculture Field Trials Conducted in New Zealand. J
Environmental Pollution. 186C:63-66.doi:10.1016/j.envpol.2013.11.025.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2007-2012. Status
Lingkungan Hidup Indonesia 2007-2012. Jakarta (ID): Kementerian RI.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2012. Variasi Temporal
Indeks Ultraviolet di Bandung [Internet] 2012 Februari 13; 2014 April 2:
http://www.opi.lipi.go.id/pertemuan.cgi?abstrak&1305271889&&12959388
95&Inggris&1228964432.
Mahankale NR. 2009. Studies on Dust Fall at Various Places in Pune City (India).
J Environmental Research and Development.4(1)156-160.
Mahowald NM, Baker R, Bergametti G, Brooks N, Duce RA, Jickells TD,
Kubilay N, Prospero JM, Tegen I. 2005. Atmospheric Global Dust Cycle
and Iron Inputs to the Ocean. Global Biogeochemical Cycles. 19(4):
GB4025.
Majumdar D, Mukherjeea AK, Sen S. 2011. BTEX in Ambient Air of a
Metropolitan City. J Environmental Protection. 2:11-20.doi:10.4236/jep.2011.21002.
Manes F, Salvatori E, La Torre G, Villari P, Vitale M, Biscontini D, Incerti G.
2008. Urban Green and Its Relation with Air Pollution: Ecological Studies
in the Metropolitan Area of Rome. Journal of Public Health. 5(4):278-283.
Martono H, Sulistiyani N. 2004. Kondisi Pencemaran Gas Nitrogen Dioksida di
Udara Jakarta pada Titik Nol Meter dan 120 Meter dari Jalan Raya. Bul.
Penel. Kesehatan. 32(1):35-42.
Martuti NK. 2013. Peranan Tanaman terhadap Pencemaran Udara di Jalan
Protokol Kota Semarang. Biosaintifika. 5(1):36-42.
McGee J. 2001. US EPA reassessing Clean Air Act's new source review rule. Oil
and Gas Journal. 6(1):4-8.

18

Mustika C. 2011. Pengaruh PDB dan Jumlah Penduduk Terhadap Kemiskinan di
Indonesia Periode 1990-2008. Jurnal Paradigma Ekonomika. 1(4):12-23.
Naddafi, K., Nabizadeh, R., Soltanianzadeh, R., Ehrampoosh, M.H. 2006.
Evaluation of Dustfall in The Air of Yazd. Iran. J Environ. Health. Sci. Eng.
3(3):161-168.
Nowak DJ, Crane DE, Stevens JC. 2006. Air Pollution Removal by Urban Trees
and Shrubs in the United States. Urban Forestry & Urban Greening. 4:11523.
[OSHA] Occupational Safety & Health Administration. 2002. Carbon Monoxide
Fact Sheet. Washington (US): Department of Labor Occupational Safety &
Health Administration.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
[Pemkomedan] Pemerintah Kota Medan. 2012. Medan Go Green - Menanti
Terwujudnya Kota yang Asri dan Nyaman [Internet] 2012 Agustus 26; 2014
Maret 15: http://www.pemkomedan.go.id/news_detail.php?id=13261.
[Pusarpedal] Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan. 2009-2010.
Rangkuman Bulanan Data Hasil Pengukuran Kota Surabaya 2009-2010.
Surabaya (ID): Pusarpedal.
Setiawan T. 1992. Pengaruh Polusi Asap Pabrik terhadap Kesehatan Lingkungan.
Jurnal PSL Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia. 12(4):217-228.
Sierra-Vargas MP, Teran LM. 2012. Air Pollution: Impact and Prevention.
Respirology. 17(7):1031-1038.doi:10.1111/j.1440-1843.2012.02213.x.
Sitch S, Cox PM, Collins WJ, Huntingford C. 2007. Indirect Radiative Forcing of
Climate Change through Ozone Effects on the Land-carbon Sink. Nature.
448:791-794.doi:10.1038/nature06059.
Turyanti A. 2011. Kota-kota Satelit dan Kualitas Udara Perkotaan [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
[WALHI] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Propinsi Jawa Tengah. 2010.
Kualitas Udara Kota Semarang. Semarang (ID): WALHI.
[WHO] World Health Organization. 2000. Air Quality Guidelines for Europe 2nd
Edition. Kopenhagen (DK): WHO Regional Office for Europe.
Widayani, Purwanto, Sutisnanto D. 2008. Kajian Korelasi Tingkat Kepadatan
Lalu Lintas di Kota Semarang dengan Konsentrasi CO dan Pb. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 2(10):1-10.ISSN 1829-8907.
Wu EMY, Kuo SL. 2013. A Study on the Use of a Statistical Analysis Model to
Monitor Air Pollution Status in an Air Quality Total Quantity Control
District. Atmosphere. 4:349-364.doi:10.3390/atmos4040349.

19

LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai kualitas udara di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Semarang tahun 2007-2012
Tahun
Kota

Parameter

Satuan
3

Jakartaa

PM10
SO2
CO
O3
NO2

µg/m /24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/jam
µg/m3/24jam

Bandunga

PM10
SO2
CO
O3
NO2

µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/jam
µg/m3/24jam

Medana

PM10
SO2
CO
O3
NO2

µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/jam
µg/m3/24jam

Surabayaa

PM10
SO2
CO
O3
NO2

µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/jam
µg/m3/24jam

Semaranga

PM10
SO2
CO
O3
NO2

µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/24jam
µg/m3/jam
µg/m3/24jam

2007
290
17.84
tad
tad
97.49
118
75.53
5750
tad
56.58
95
37.62
4443.76
tad
88.03
217
25.26
13657.6
2.54e
46.02
145
15
3685
tad
59.35

2008

2009

tad
tad
30.33 69.31b
9978
tad
tad
tad
119.8 91.87b
tad
tad
68.85
tad
9725
tad
tad
tad
86.26
tad
tad
tad
133.1
tad
18150
tad
tad
tad
40.5
tad
tad 46.75d
27.9 67.42 d
17457 6250 d
4.96e 85.53 d
41.62 16.48 d
tad
tad
150.25
tad
17600 17908f
tad
tad
81.95 181.95f

2010

2011

2012

tad
17.9c
tad
tad
52.53c
tad
tad
tad
tad
tad
tad
tad
tad
tad
tad
48.99 d
78.52 d
6270 d
52.38 d
13.35 d
tad
tad
tad
tad
tad

tad
52.6
5177.8
212.80
51.6
tad
44
4684
279.00
55
tad
53
5250
169.00
49
tad
43
4664
166.00
57
tad
52
5307
170.00
50

51.14
67.2
5078
174.80
73.2
43.89
11
tad
tad
tad
102.82
66
5083
177.00
64
51.14
72
5924
179.00
62
29.91
12
2117
18.00
27

Keterangan: tad = tidak ada data.
a
Sumber: KLH (2007-2012).; bSumber: BPS Pusat (2011).; cSumber: BPS Pusat (2012).;
d
Sumber: Pusarpedal (2009-2010).; eSumber: BPLH Kota Surabaya (2007).;
f
Sumber: Walhi Propinsi Jawa Tengah (2010).

20

Lampiran 2 Angka kepadatan penduduk, luas RTH, jumlah kendaraan, kepadatan
lalu lintas, konsumsi BBM di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya,
dan Semarang tahun 2007-2012
Tahun
Kota

Parameter

Satuan

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Kepadatan
Penduduk
Luas RTH
Jumlah
Jakartaa Kendaraan
Kepadatan Lalu
Lintas
Konsumsi BBM

jiwa/km2 13685.91 13809.10 13925.08 14506.04 14738.86 15085.82

Kepadatan
Penduduk
Luas RTH
b Jumlah
Bandung Kendaraan
Kepadatan Lalu
Lintas
Konsumsi BBM

jiwa/km2 13926.65 14191.26 14449.69 14313.99 14493.80 14676.45

Kepadatan
Penduduk
Luas RTHd
Jumlah
Kendaraane
Kepadatan Lalu
Lintas
Konsumsi BBM

jiwa/km2 7858.00 7929.48 8000.95 7912.52 7986.51 8007.56

Kepadatan
Penduduk
Luas RTHg
Jumlah
Surabayaf Kendaraan
Kepadatan Lalu
Lintas
Konsumsi BBM

jiwa/km2 8574.40 8798.13 8903.71 8877.36 9164.61 9471.44

Kepadatan
Penduduk
Luas RTH
Jumlah
Semarangh Kendaraan
Kepadatan Lalu
Lintas
Konsumsi BBM

jiwa/km2 3889.93 3962.40 4030.05 4084.88 4130.47 4170.14

Medanc

%
unit
unit/km
KLiter

%
unit

3.77

3.88

4.82

4.96
5.01
5.13
1077447 1197387 1328354
8727965 9647925 9695077
3
4
5
1333.74 1474.32 1344.94 1569.24 1660.50 1857.61
tad

23.00

tad

15.13

tad 1993444 4195930 4282882

15.04

10.03

10.10

12.12

822538 652903 1452504 1196813 1252230 1355815

unit/km

668.56

KLiter

767785 811808 372744 372744 615896 636208

%
unit
unit/km
KLiter

%
unit

7.54

528.03 1174.71

8.24

8.94

967.9