Sintesis Antigen Afb1 Bsa Dan Konjugasi Antibodi Anti Afb1 Bsa Dengan Nanopartikel Emas Sebagai Pereaksi Imunostrip Untuk Mendeteksi Aflatoksin B1

SINTESIS ANTIGEN AFB1-BSA DAN KONJUGASI
ANTIBODI ANTI AFB1-BSA DENGAN NANOPARTIKEL
EMAS SEBAGAI PEREAKSI IMUNOSTRIP UNTUK
MENDETEKSI AFLATOKSIN B1

ITA KRISSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sintesis Antigen AFB1BSA dan Konjugasi Antibodi Anti AFB1-BSA dengan Nanopartikel Emas sebagai
Pereaksi Imunostrip untuk Mendeteksi Aflatoksin B1 adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016
Ita Krissanti
NIM B253110021

RINGKASAN
ITA KRISSANTI. Sintesis Antigen AFB1-BSA dan Konjugasi Antibodi Anti
AFB1-BSA dengan Nanopartikel Emas sebagai Pereaksi Imunostrip untuk
Mendeteksi Aflatoksin B1. Dibimbing oleh AGUSTIN INDRAWATI dan
ROMSYAH MARYAM.
Aflatoksin B1 (AFB1) adalah mikotoksin yang berasal dari kapang Aspergillus
spp. dan merupakan senyawa toksin paling potensial sebagai karsinogen, teratogen
dan agen imunosupresif sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan.
Toksin AFB1 sering mengkontaminasi berbagai komoditas pertanian yang menjadi
bahan pakan dan pangan yang dikonsumsi oleh hewan atau manusia. Hewan
ternak yang mengkonsumsi pakan terkontaminasi AFB1 dapat terganggu kesehatan
dan produktivitasnya serta meninggalkan residu aflatoksin pada produk dari hewan
tersebut seperti susu dan daging. Residu aflatoksin pada hasil ternak dapat

membahayakan kesehatan manusia bila hasil ternak tersebut dikonsumsi. Teknik
deteksi yang handal untuk menentukan kualitas dan keamanan bahan pangan dan
pakan sangat diperlukan sebagai upaya pengawasan kontaminasi AFB1 pada bahan
pangan dan pakan. Metode deteksi terhadap AFB1 saat ini umumnya hanya dapat
dilakukan di laboratorium seperti TLC, ELISA, dan HPLC. Metode uji yang
sederhana, ekonomis, cepat, mudah, dan dapat digunakan terutama di lapangan
seperti imunostrip sangat diperlukan untuk deteksi dini cemaran AFB1 pada bahan
pangan dan pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis antigen aflatoksin
B1- Bovine Serum Albumin (AFB1-BSA) dan konjugasi antibodi anti AFB1-BSA
terhadap nanopartikel emas sebagai pereaki untuk imunostrip.
Penelitian ini meliputi sintesis dan karakterisasi antigen AFB1-BSA,
purifikasi antibodi anti AFB1-BSA dan konjugasi antibodi anti AFB1-BSA dengan
nanopartikel emas. Antigen AFB1-BSA disintesis dengan mereaksikan AFB1
murni dan bovine serum albumin (BSA) melalui reaksi carboxymethyloxime
(CMO) sebagai reaksi penghubung. Keberadaan AFB1-CMO dideteksi dengan
Thin Layer Chromatography (TLC). Kemudian Sodium Dodecyl Sulfate
Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) digunakan untuk
mengidentifikasi antigen AFB1-BSA dan antibodi anti AFB1-BSA. Antibodi anti
AFB1-BSA diuji respon antibodinya melalui reaksi dengan antigen AFB1-BSA
secara dot blot immunoassay (DBIA).

Antibodi kemudian dipurifikasi
menggunakan kolom HiTrap protein A HP. Kadar antibodi dihitung dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm dan
dikarakterisasi menggunakan SDS-PAGE. Selanjutnya antibodi anti AFB1-BSA
dikonjugasikan dengan nanopartikel emas. Seluruh pereaksi yang terdiri dari
antigen AFB1-BSA, konjugat antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas,
dan IgG anti rabbit digunakan untuk imunostrip serta ditentukan kondisi
optimumnya.
Hasil penelitian menunjukan AFB1-CMO tampak sebagai noktah biru
dengan Rf= 0,45 pada uji TLC dan dibandingkan dengan AFB1 baku. Sementara
antigen AFB1-BSA menunjukan pita protein tunggal berukuran 72 kDa pada
analisis SDS PAGE. Antibodi anti AFB1 bereaksi spesifik terhadap antigen AFB1BSA yang ditunjukkan dengan noktah cokelat dengan DBIA. Antibodi tersebut
menunjukan pita protein tunggal berukuran 53,52 kDa. Konjugasi antibodi anti

AFB1-BSA dengan nanopartikel emas menghasilkan warna merah keunguan yang
dapat digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi AFB1 pada imunostrip.
Komposisi optimum imunostrip tercapai pada konsentrasi antigen AFB1-BSA 11,5 mg/ml, IgG anti rabbit 0,1 mg/ml, dan konjugat antibodi anti AFB1-BSA
dengan nanopartikel emas pada luasan 0,5x0,4 cm² yang ditandai dengan
terbentuknya 2 garis berwarna merah keunguan pada daerah uji dan kontrol.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pereaksi-pereaksi yang telah

dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan imunostrip
untuk mendeteksi AFB1.
Kata kunci: AFB1-BSA, antibodi anti AFB1-BSA, nanopartikel emas, imunostrip

SUMMARY
ITA KRISSANTI. Synthesis of AFB1-BSA Antigen and Conjugation of Antibody
against AFB1-BSA to Gold Nanoparticle as the Immunostrip Test Reagents for
Aflatoxin B1 Detection. Supervised by AGUSTIN INDRAWATI and ROMSYAH
MARYAM.
Aflatoxin B1 (AFB1) is mycotoxin produced by Aspergillus spp. This toxic
compound is the most potential substance as carcinogenic, teratogenic and
immunosuppressive agent so it could be dangerous to humans and animals health.
This toxin often contaminates a great variety of agriculture product include foods
and animal feeds that will be dangerous if consumed by humans or animals.
Animals that has been feeding by contaminated AFB1 not only can get adversely
affect for its health and productivity but also leaving residue in their product such
as milk and meat. Aflatoxin residue in animal product cause harmful effects to
humans if transmitted into foods. A reliable detection techniques that use to
determine the quality and safety of food and animal feeds is really needed for
monitoring AFB1 contamination. Generally, detection method for AFB1 can only

be achieved in the laboratory like TLC, ELISA and HPLC. The detection
method which is more cheap, fast, and easy to be used in the field as immunostrip
is really needed for screening AFB1 contamination on food and animal feeds. The
aims of this study were to perform synthesis of AFB1-BSA antigen and
conjugation of antibody against AFB1-BSA to gold nanoparticle as immunostrip
test reagents.
The study were conducted to synthesized and characterization antigens of
AFB1-BSA, purify the antibody against AFB1-BSA and conjugated the antibody
against AFB1-BSA with nanogold particles. The antigen was synthesized by
carboxymethyloxime (CMO) linker reaction. The AFB1-CMO was identified on
Thin Layer Chromatography (TLC) and AFB1-BSA was characterized using Sodium
Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE), as well as the
antibody against AFB1. The specific reaction between the antibody and the antigen
was identified by Dot Blot Immunoassay (DBIA). Then the antibodies purified by
HiTrap protein A HP column. Antibody concentration was measured by
spektrophotometer at 280 nm and was characterized by SDS-PAGE method. The
antibody was conjugated to nanogold particles. All reagent consist of AFB1-BSA
antigen, antibody against AFB1-BSA with nanogold particles conjugate, and IgG
anti rabbit were used to immunostrip and the optimal concentration was
determined.

The results of the study showed the AFB1-CMO formation indicated as a
blue spot at 0.45 retention factor (Rf) on TLC and compared with AFB1 standard.
The AFB1-BSA antigen revealed as a single band protein at about 72 kDa
molecular weight on the SDS PAGE. The antibody reacted specifically to antigen
which showed as a brown spot on DBIA. The antibody also showed a single band
protein at about 53.52 kDa molecular weight. Conjugation of antibody against
AFB1-BSA to nanogold particles resulted in the formation of reddish purple
compound which can be used for the detection of AFB1 on immunostrip. The
optimum composition achieved in concentration of AFB1-BSA 1-1.5 mg/ml, IgG
anti rabbit 0.1 mg/ml, and antibody against AFB1-BSA with nanogold particles

conjugate in 0.5x0.4 cm² area characterized by the establishment of two reddish
purple lines in the test and control zone. In conclusion, the reagents of
immunostrip can be used for the development of immunostrip to detect AFB1.
Keywords: AFB1, antibody against AFB1, nanogold particles, immunostrip

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SINTESIS ANTIGEN AFB1-BSA DAN KONJUGASI
ANTIBODI ANTI AFB1-BSA DENGAN NANOPARTIKEL
EMAS SEBAGAI PEREAKSI IMUNOSTRIP UNTUK
MENDETEKSI AFLATOKSIN B1

ITA KRISSANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS.

PRAKATA
Dengan rasa syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis yang berjudul Sintesis Antigen AFB1-BSA dan Konjugasi Antibodi Anti
AFB1-BSA dengan Nanopartikel Emas sebagai Pereaksi Imunostrip untuk
Mendeteksi Aflatoksin B1. Penulisan tesis ini adalah hasil penelitian yang
dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr.
Drh. Agustin Indrawati, M.Biomed serta Dr. Dra. Romsyah Maryam, M.Med.Sc.
yang senantiasa ikhlas membimbing dan mendampingi penulis dalam penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih disampaikan kepada Kepala BB
Litvet dan Ketua Kelti Lab. Toksikologi yang telah memberi izin penulis untuk
terlibat dalam penelitian dan menggunakan sarana serta fasilitas di Laboratorium
Toksikologi BB Litvet. Penulis sampaikan terima kasih kepada semua staf peneliti
dan teknisi Laboratorium Toksikologi BB Litvet Bogor atas semua bantuan dan

kerja samanya selama penelitian. Terima kasih tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. Drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS. atas segala
pelajaran, dorongan dan bantuan yang diberikan kepada penulis dan keluarga.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih atas segala bantuan dan dukungan
dari semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu. Karya ilmiah ini penulis
persembahkan untuk suami dan anak-anak tercinta, Drh. Sugiarto dan Fathir
Aswinbinar; serta kedua orang tua Drs. H. E. Sunarman dan Hj. Yanti Yulianti
yang senantiasa mendukung dan mendoakan untuk keberhasilan cita-cita penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Ita Krissanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

1
1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

Hipotesis Penelitian

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Mikroorganisme Penghasil Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1)
Nanopartikel Emas
Bovine Serum Albumin (BSA)
Imunostrip

3
3
5
7
9
10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Analisis Data

12
12
12
12
12
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis dan Karakterisasi Antigen AFB1-BSA
Purifikasi Antibodi Anti AFB1-BSA
Konjugasi Antibodi Anti AFB1-BSA dengan Nanopartikel Emas

15
15
18
20

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

22

6 DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

30

22
22

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Batas maksimum AFB1 pada pakan dan pangan
Perhitungan Retention factor (Rf) AFB1 baku dan AFB1-CMO
Hasil pengukuran absorbansi BSA baku dan antigen AFB1-BSA
Penghitungan berat molekul pita protein antigen AFB1-BSA pada
analisis SDS PAGE
Angka absorbansi dan kadar IgG pada setiap fraksi serum kelinci yang
diimunisasi dengan AFB1-BSA
Penghitungan berat molekul pita protein antibodi anti AFB1-BSA pada
analisis SDS PAGE

7
16
17
17
19
20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Morfologi Aspergilus sp.
Konidiofora dari Aspergilus flavus (A); A. parasiticus (B); A. nomius
(C) dengan mikroskop elektron
Struktur AFB1
Metabolisme AFB1 dalam organ hati
Nanopartikel emas
Struktur molekul BSA
Susunan imunostrip menggunakan nanopartikel emas
Skema imunostrip dengan format kompetitif
Deteksi AFB1-CMO dengan TLC. 1 = AFB1-CMO; 2= AFB1 baku
2 ppm
Proses konjugasi AFB1 terhadap BSA
Kurva persamaan linear larutan BSA baku dalam antigen AFB1-BSA
Hasil SDS PAGE terhadap antigen AFB1-BSA. 1=Penanda; 2 Antigen
AFB1-BSA; 3 = BSA
Respon antibodi anti AFB1-BSA terhadap antigen AFB1-BSA pada
uji DBIA.
Pola fraksinasi kadar IgG anti AFB1-BSA hasil purifikasi
Hasil S D S P A G E terhadap antibodi anti AFB1-BSA. 1=Penanda;
2=Antibodi anti AFB1-BSA; 3 = antibodi anti AFB1 komersial
Titrasi antibodi anti AFB1-BSA terhadap nanopartikel emas
Komposisi optimum antigen AFB1-BSA, konjugat antibodi anti AFB1BSA dengan nanpartikel emas dan IgG anti rabbit pada pengujian
sistem imunostrip

4
4
5
6
8
9
11
11
16
16
17
17
18
18
19
21

21

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Komponen dan perakitan imunostrip
Reagen SDS PAGE
Komposisi gel SDS PAGE
Proses elektroforesis SDS PAGE
Purifikasi antibodi anti AFB1-BSA dengan kolom protein A HP
Konjugasi antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas

26
27
27
28
29
29

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aflatoksin B1 (AFB1) adalah salah satu jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh
kapang Aspergillus spp. terutama A. flavus dan A. parasiticus. Toksin ini sering
mengkontaminasi berbagai produk pertanian yang menjadi bahan pangan dan pakan
seperti jagung, kacang-kacangan, biji-bijian, rempah-rempah, daging dan buah kering
(Magnussen & Parsi, 2013). Kontaminasi AFB1 di daerah tropis seperti Indonesia
telah banyak dilaporkan termasuk pada pakan dan bahan pakan (Ahmad, 2009;
Rachmawati, 2005; Bahri et al., 2005).
Toksin AFB1 merupakan toksin yang paling potensial sebagai karsinogen,
teratogen dan agen imunosupresif yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun
hewan. Toksin ini sangat berbahaya dan merupakan faktor penyebab kanker
sehingga International Agency of Research on Cancer menggolongkannya sebagai
karsinogen grup IA (IARC, 2002). Paparan dosis rendah dari metabolit cendawan
Aspergillus tersebut secara kronis dapat beresiko menyebabkan kanker hati,
mempengaruhi metabolisme protein dan menurunkan kekebalan hingga menyebabkan
malnutrisi. Sementara paparan dosis tinggi menyebabkan aflatoksikosis akut yang
bersifat fatal (Williams et al., 2004; Magnussen & Parsi, 2013). Paparan aflatoksin
khususnya pada hewan ternak selain berdampak buruk dan toksik juga dapat menjadi
foodborne hazard bagi manusia. Menurut Maciorowskia et al., (2007), pakan ternak
dapat berfungsi sebagai pembawa aflatoksin. Ketika hewan ternak diberi pakan yang
terkontaminasi aflatoksin, tidak hanya efek toksik langsung pada hewan tetapi toksin
tersebut juga dapat terbawa ke dalam susu dan daging sehingga manusia dapat
terpapar melalui konsumsi kedua produk tersebut (Reddy dan Raghavender, 2007;
Hussain et al., 2010).
Aflatoksikosis akut pada manusia akibat paparan makanan yang tercemar oleh
aflatoksin dosis tinggi dilaporkan terjadi di Kenya, India, Thailand dan Malaysia
(CAST, 2003; Reddy & Raghavender, 2007). Salah satu wabah aflatoksikosis
terbesar dilaporkan terjadi di pedesaan Kenya pada April 2004 yang mengakibatkan
317 kasus dengan 125 kematian (CDC, 2004). Pada hewan, paparan aflatoksin
umumnya menyebabkan kerusakan hati, penurunan produksi, gangguan pertumbuhan
dan kematian pada kondisi yang fatal (He et al., 2013; Marin et al., 2013).
Dalam upaya pengawasan kontaminasi aflatoksin khususnya AFB1 pada bahan
pangan dan pakan, teknik deteksi yang handal untuk menentukan kualitas dan
keamanan bahan pangan dan pakan sangat diperlukan. Saat ini, metode uji yang
umum digunakan untuk mendeteksi AFB1 antara lain Thin-Layer Chromatography
(TLC), High-Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan Enzyme-linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Metode deteksi tersebut umumnya hanya dapat
dilakukan di laboratorium dengan proses pengujian yang membutuhkan waktu lama
dan tenaga dengan keterampilan khusus (Zheng et al., 2006; Saini & Kaur, 2012).
Metode uji yang sederhana, ekonomis, cepat mudah, dan dapat digunakan di lapangan
sangat diperlukan untuk deteksi dini kontaminasi AFB1 pada bahan pangan dan
pakan. Pengembangan teknik deteksi cepat seperti imunostrip dengan menggunakan
nanopartikel emas sebagai penanda sangat menjanjikan untuk dapat mendeteksi AFB1
secara sensitif, mudah dan efesien tanpa memerlukan peralatan dan keterampilan
khusus (Liu et al., 2013). Tujuan penelitian ini adalah mensintesis antigen AFB1-

BSA dan memproduksi konjugat antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas
sebagai bahan pereaksi imunostrip untuk mendeteksi AFB1.

Perumusan Masalah
Kontaminasi AFB1 pada bahan pakan dan pangan sangat berbahaya bagi
kesehatan dan dapat menimbulkan kematian pada manusia dan hewan yang
mengkonsumsi bahan pakan dan pangan yang terpapar oleh AFB1. Pengawasan
serta deteksi terhadap AFB1 dalam bahan pangan dan pakan sangat diperlukan
dalam mengatasi dan mencegah dampak buruk dari AFB1. Pengujian AFB1 pada
bahan pakan sering dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode yang
umumnya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit serta memerlukan tenaga
dengan keterampilan teknik laboratorium. Untuk itu diperlukan pengembangan
metode uji yang lebih sederhana, ekonomis, mudah dan cepat serta dapat
digunakan di mana pun sebagai perangkat deteksi dini terhadap kontaminasi AFB1
pada pakan .

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini melakukan sintesis antigen AFB1-BSA dan konjugasi
antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas sebagai pereaksi imunostrip
untuk mendeteksi AFB1 pada pakan ternak.

Manfaat Penelitian
Antigen AFB1-BSA dan konjugat antibodi anti AFB1 dengan nanopartikel
emas yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
pereaksi imunostrip untuk mendeteksi AFB1 pada pakan ternak. Dengan adanya
imunostrip diharapkan dapat mendeteksi AFB1 secara mudah, cepat dan dapat
digunakan untuk kegiatan pengawasan kontaminasi AFB1.

Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan serangkaian kegiatan yaitu sintesis dan
karakterisasi antigen AFB1-BSA, purifikasi dan karakterisasi antibodi anti AFB1BSA dan konjugasi antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas. Antigen
AFB1-BSA disintesis dengan mereaksikan AFB1 murni dan bovine serum albumin
(BSA) melalui reaksi carboxymethyloxime (CMO) sebagai reaksi penghubung.
Keberadaan AFB1-CMO diidentifikasi dengan TLC dan antigen AFB1-BSA
dikarakterisasi dengan sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis
(SDS-PAGE). Antibodi anti AFB1-BSA diuji respon antibodinya melalui reaksi
dengan antigen AFB1-BSA secara dot blot immunoassay (DBIA). Antibodi
kemudian dipurifikasi melalui fraksinasi menggunakan kolom HiTrap protein A
HP. Kadar antibodi dihitung dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 280 nm dan dikarakterisasi menggunakan SDS-PAGE. Selanjutnya,

antibodi anti AFB1-BSA dikonjugasikan dengan nanopartikel emas. Seluruh
pereaksi yang terdiri dari antigen AFB1-BSA, konjugat antibodi anti AFB1-BSA
dengan nanopartikel emas dan IgG anti rabbit digunakan pada imunostrip serta
ditentukan kondisi optimumnya.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
H0 : konjugat antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas dapat
digunakan sebagai pereaksi penanda pada imunostrip untuk mendeteksi
AFB1 pada pakan
H1 : konjugat antibodi anti AFB1-BSA dengan nanopartikel emas tidak dapat
digunakan sebagai pereaksi penanda pada imunostrip untuk mendeteksi
AFB1 pada pakan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Mikroorganisme Penghasil Aflatoksin
Aspergillus adalah salah satu jenis kapang yang tersebar luas di dunia.
Genus Aspergillus secara mikroskopis dicirikan sebagai hifa bersepta dan
bercabang, konidiofora muncul dari foot cell (miselium yang bengkak dan
berdinding tebal) membawa stigmata dan akan tumbuh konidia yang membentuk
rantai berwarna hijau, coklat atau hitam. Aspergillus secara makroskopis
mempunyai hifa fertil yang muncul dipermukaan dan hifa vegetatif terdapat
dibawah permukaan. Kapang tumbuh membentuk koloni berserabut, smooth,
cembung serta koloni yang kompak dengan warna koloni yang dipengaruhi oleh
warna spora misalnya hijau kelabu, hijau coklat, hitam, atau putih. Tingkat
penyebaran Aspergillus yang tinggi disebabkan oleh produksi konidia yang dapat
tersebar dengan mudah melalui udara (airborne) maupun melalui serangga. Selain itu
Aspergillus juga memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kondisi yang keras
sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam
mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Gandjar et al., 1999; Zain,
2011).
Beberapa spesies dari kapang Aspergillus dapat menghasilkan mikotoksin
yang disebut aflatoksin. Kapang penghasil aflatoksin atau disebut kapang
afaltoksigenik diantaranya yaitu Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus dan
Aspergillus nomius. Kapang aflatoksigenik sering tumbuh pada banyak tanaman
pangan seperti kacang dan jagung pada kondisi yang sesuai. Sehingga aflatoksin
sering muncul pada tanaman pangan bagi manusia, yang juga menjadi pakan
ternak. Kapang aflatoksigenik tersebut tidak terus-menerus menghasilkan toksin
tetapi dipicu oleh beberapa faktor-faktor seperti stres, faktor lingkungan (substrat,
kelembaban, suhu, pH), lamanya kontak antara jamur dengan substrat dan faktor
yang mengurangi imunitas tanaman induk (kerusakan oleh serangga, pemupukan
yang buruk dan kekeringan). Terbentuknya kontaminan aflatoksin pada produk
pertanian yang menjadi bahan pangan dan pakan dapat terjadi saat sebelum panen,
masa antara panen dan pengeringan, dan saat penyimpanan (Zheng et al, 2006).

Praktek panen yang buruk, penyimpanan dan kondisi yang kurang optimal selama
transportasi dan pemasaran juga dapat berkontribusi untuk pertumbuhan jamur
dan produksi aflatoksin (Reddy dan Raghavender, 2007).

Gambar 1. Morfologi Aspergilus sp. (Vivian, 2013)

Gambar 2. Konidiofora dari Aspergilus flavus (A); A. parasiticus (B); A. nomius (C)
dengan mikroskop elektron; (Deepak, 2013; Rodrigues et al. , 2007;
Munoz et al., 2010).

Aflatoksin B1 (AFB1)
Aflatoksin merupakan toksin yang tersebar luas yang diproduksi oleh strain
Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus dan Aspergillus nomius. Istilah
―Aflatoksin‖ berasal dari ―A‖ untuk Aspergillus dan ―fla‖ untuk spesies ―flavus‖
digabungkan dengan kata toksin. Terdapat berbagai jenis aflatoksin dan
metabolitnya di antaranya yang dikenal luas adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2.
Aflatoksin B1 dan B2 diproduksi oleh A. flavus dan A. parasiticus. Sedangkan
aflatoksin G1 dan G2 hanya diproduksi oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1 dan M2
berturut-turut merupakan hasil metabolisme AFB1 dan AFB2 dalam tubuh
manusia dan hewan yang muncul dalam susu dan urine. Aflatoksin yang sering
ditemukan dan dikenal paling toksik adalah AFB1 (Zain, 2011; Binder et al.,
2007; Reddy & Raghavender, 2007).
Senyawa AFB1 adalah aflatoksin yang paling potensial sebagai agen
karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan memiliki efek imunosupresif yang
merugikan kesehatan manusia dan hewan. Senyawa ini memiliki ukuran 312,3
Dalton dan mempunyai rumus molekul C17H12O6 (Gambar 3). Toksin AFB1
memiliki titik lebur sekitar 268°C sehingga tidak rusak oleh pemanasan. Sifat
khas AFB1 yakni menunjukkan fluoresensi berwarna biru jika terkena sinar
ultraviolet dan sifat ini dipakai dalam penentuan kadar kuantitatif maupun
kualitatif. Toksin AFB1 berbentuk bubuk putih dan dapat larut dalam
diklorometana (DCM), dimetil sulfoksida (DMSO) serta metanol (Deepak, 2013;
Wild dan Turner, 2002; Zain, 2011).
Paparan AFB1 pada manusia maupun hewan dapat menyebabkan penyakit
aflatoksikosis. Aflatoksikosis akut karena paparan AFB1 dosis tinggi ditandai
dengan perdarahan, kerusakan hati yang hebat, edema, dan kematian. Paparan
umumnya dapat terjadi melalui konsumsi atau rute ingesti serta dapat juga terjadi
melalui rute dermal dan inhalasi (Reddy & Raghavender, 2007). Setelah masuk
melalui ingesti, AFB1 diserap dan dibawa ke hati melalui sistem peredaran darah
dan terjadi proses metabolisme (Gambar 4). Toksin AFB1 kemudian diubah oleh
hati menjadi epoksida reaktif yang toksik yaitu 8,9 epoksida yang berikatan
kovalen dengan makromolekul intraselular seperti DNA, RNA dan enzim protein.
Ikatan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sel hati (hepatotoksik). Selain itu
pengikatan DNA menyebabkan genotoksisitas dan mutasi di dalam sel

Gambar 3. Struktur AFB1 (Zinedine dan Mañes, 2009)

(hepatokarsinogenik). Dosis kronis dari aflatoksin yang dapat menyebabkan
karsinogenik jauh lebih rendah daripada dosis akut. Toksin AFB1 diklasifikasikan
oleh International Agency of Research on Cancer sebagai karsinogen grup 1
(Wild dan Turner, 2002; IARC, 2002).
Kontaminasi AFB1 pada bahan pakan dan pangan dapat berakibat buruk
terhadap kesehatan manusia dan hewan. Kejadian wabah aflatoksikosis pada
manusia akibat konsumsi makanan yang terkontaminasi oleh aflatoksin dilaporkan
telah terjadi berulang-ulang di Kenya, India, Thailand dan Malaysia (CAST, 2003;
Reddy dan Raghavender, 2007). Wabah aflatoksikosis yang terbesar terjadi pada
April 2004 di pedesaan Kenya, mengakibatkan 317 kasus dan 125 kematian
(CDC, 2004). Daniel et al. (2011) memaparkan bahwa tingkat kejadian kematian
oleh aflatoksin di daerah Kenya timur mencapai 40% yang disebabkan adanya
kontaminasi aflatoksin yang ekstrim (>20 ppb) dalam wilayah ini terutama pada
jagung. Sementara Lewis et al. (2006) mengungkapkan bahwa 55% dari jagung
yang dperdagangkan di wilayah Kenya terkontaminasi oleh AFB1.
Dampak buruk aflatoksin pada hewan umumnya berupa efek kumulatif dari
paparan kronis baik secara langsung berupa kematian hewan atau tidak langsung
berupa penurunan produksi dan performa pertumbuhan hewan tersebut (He et al.,
2013; Marin et al., 2013). Efek paparan AFB1 pada hewan percobaan seperti tikus
menunjukkan adanya apoptosis sel hepatosit (Ribeiro et al., 2010), gangguan
spermatogenik (Agnes dan Akbarsha, 2003) dan tumor (Rastogi et al., 2006).

Gambar 4. Metabolisme AFB1 dalam organ hati (Yiannikouris dan Jouany, 2002)

Paparan aflatoksin khususnya pada hewan ternak selain berdampak buruk
dan bersifat toksik juga dapat menjadi foodborne hazard bagi manusia. Menurut
Maciorowskia et al., (2007), hewan ternak yang diberi pakan terkontaminasi
aflatoksin, selain terkena efek toksik secara langsung juga dapat menjadi
pembawa aflatoksin bagi manusia yang mengkonsumsi produk dari hewan ternak
tersebut. Toksin AFB1 yang tercampur dalam pakan ternak dapat menyebabkan
residu terutama pada hati, ginjal, daging, susu dan telur sehingga menjadi jalan
pemaparan aflatoksin pada manusia. Residu yang dihasilkan dapat berupa AFB1,
AFB2, AFM1 atau aflatoksikol yang bersifat stabil terhadap berbagai proses
pengolahan dan penyimpanan (Reddy dan Raghavender, 2007; Hussain et al.,
2010; Widiastuti, 2014).
Toksin AFB1 merupakan mikotoksin yang banyak ditemukan dalam
berbagai bahan pangan, dan pakan seperti jagung, gandum, barley, beras, oat,
kacang-kacangan, susu, keju, biji kapas dan sebagainya. Kontaminasi aflatoksin
dalam bahan pangan lebih sering terjadi di negara-negara tropis seperti di
Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan kelembaban tinggi. Iklim tropis
sangat kondusif bagi tumbuhnya kapang aflatoksigenik yang dapat menyebabkan
bahan pangan/pakan tercemar oleh aflatoksin sehingga residu aflatoksin pada
berbagai produk pangan asal ternak (susu, daging dan telur) dan olahannya
merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan dapat menjadi ancaman bagi
kesehatan bagi manusia (William et al., 2004). Regulasi batas maksimum
cemaran aflatoksin pada pakan dan pangan perlu diterapkan guna mencegah
bahaya kesehatan dan kerugian yang ditimbulkan. Di Indonesia, terdapat
peraturan mengenai tingkat kontaminasi AFB1 dan total aflatoksin yang
diperbolehkan pada pangan dan pakan (Tabel 1).

Tabel 1. Batas maksimum AFB1 pada pakan dan pangan
Produk

Regulasi Batas Maksimum AFB1/Total Aflatoksin
Indonesia

Uni Eropa

Pakan

50ppb AFB1/50 ppb
aflatoksin total
(Mentan, 2009)

5-50 µg/kg
AFB1
(EC, 2010)

Pangan
(jagung,
kacangkacangan &
produk
olahannya)

15 ppb AFB1/ 20 ppb
aflatoksin total
(BPOM, 2009 & BSN, 2009)

2-8 µg/kg
AFB1/4-15
aflatoksin total
(EC, 2010)

Nanopartikel Emas
Nanopartikel merupakan partikel koloid dengan ukuran lebih kecil dari 1
µm yaitu antara 1-100 nm (skala nanometer/10-9m) . Logam emas (Au)
merupakan salah satu logam transisi yang saat ini menjadi topik yang berkembang
dalam berbagai bidang, seperti diagnostik maupun kesehatan. Unsur emas
memiliki sifat fisika dan kimiawi yang istimewa. Emas adalah elemen kimia
dengan simbol Au (latin: Aurum), nomor atom 79, konfigurasi elektron [Xe] 2f14
5d10 6s1, massa atom 196,967 gmol-1 dan jari-jari atom 0,1442 nm. Secara kimia,
emas merupakan logam transisi dan dalam larutan dapat berbentuk kation
univalen dan trivalen. Emas adalah logam berat berwarna kuning dan lunak (titik
leleh 10630C). Dalam bentuk bubuk mempunyai warna coklat kemerahan. Emas
tidak reaktif dan tidak bereaksi dengan oksigen atau sulfur namun mudah bereaksi
dengan halogen atau dengan larutan yang mengandung atau melepaskan klor.
Emas tidak beracun, inert, stabil, dan memiliki kapasitas mengikat tinggi.
Nanopartikel emas dianggap potensial diagnostik untuk sejumlah alasan
diantaranya yaitu nanopartikel emas mudah disintesis dengan cara sederhana,
murah, aman dengan berbagai metode seperti metode fisika, kimia, ataupun
biologi. Nanopartikel emas dapat disintesis dalam berbagai bentuk dan ukuran (
2-500 nm) serta karakteristik permukaan nanopartikel dapat dimanipulasi dengan
mudah. Adanya muatan negatif pada permukaan menyebabkan nanopartikel
emas memiliki reaktifitas yang tinggi sehingga membantu dalam memodifikasi
permukaan tersebut dengan beberapa biomolekul. Teknologi nanopartikel emas
dapat digunakan di dalam diagnostik molekuler dan klinik salah satunya yaitu
imunokromatografi lateral flow test atau test strip (Moon et al., 2012; Wang et
al., 2011; Park et al., 2011; Baptista et al., 2008).

Gambar 5. Nanopartikel emas (Larryisgood, 2011)

Bovine Serum Albumin (BSA)
Protein albumin yang diisolasi dari darah sapi disebut dengan Bovine Serum
Albumin (BSA). Protein albumin merupakan protein utama yang paling banyak
ditemukan dalam plasma darah hewan vertebrata, yaitu sekitar 55-60 % dari
protein serum yang terukur. Albumin terdiri dari rantai polipeptida tunggal dan
terdiri dari 585 asam amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida
yang menghubungkan asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul
albumin berbentuk elips sehingga bentuk molekul seperti itu mengakibatkan
protein ini terlarut sempurna dan tidak akan meningkatkan viskositas plasma.
Albumin mampu mengangkut molekul-molekul kecil melewati plasma dan cairan
sel. Protein ini disebut protein pembawa karena memiki muatan negatif yang
dapat mengikat molekul lain seperti air, kation (seperti Ca 2+, Na +, dan K +), asam
lemak, hormon, vitamin, bilirubin dan obat. Di dalam tubuh, protein albumin juga
berfungsi untuk menjaga volume darah dan memberi tekanan osmotik di dalam
kapiler. Protein ini disintesis oleh hati dan mempunyai sifat larut dalam air tetapi
mudah menggumpal oleh panas. Selain di darah (albumin serum), protein
albumin juga ditemukan pada putih telur yaitu albumin telur dan pada susu yaitu
laktalbumin (Putnam, 1975; Navara et al., 2009).
Protein BSA merupakan salah satu protein yang paling luas diteliti dan
merupakan protein globular yang berukuran besar dengan bobot molekul sekitar
66 kDa. Protein BSA sering dan banyak digunakan dalam berbagai aplikasi
bidang biokimia seperti pada prosedur imunodiagnostik (ELISA, imunoblot dan
imunohistokimia), sebagai reagen kimia klinik serta pada bidang biologi
molekuler.
Protein ini digunakan sebagai media/nutrient pada kultur sel dan
kultur mikroba. Larutan BSA juga digunakan sebagai standar untuk menentukan
jumlah protein lain. Selain itu protein BSA sering digunakan di dalam konjugat
bersama dengan antigen yang memiliki ukuran molekul yang kecil (hapten) untuk
menginduksi respon kekebalan yang dapat menghasilkan antibodi. Banyaknya
penggunaan BSA tersebut karena BSA mempunyai sifat stabil dan tidak
mengganggu/mempengaruhi reaksi biologis. Selain itu BSA relatif murah dan
mudah didapatkan di pasaran karena merupakan hasil purifikasi darah sapi yang
dapat ditemukan secara berlimpah dan merupakan produk sampingan dari industri
peternakan. Secara komersil BSA banyak diproduksi negara maju dan dapat
diperoleh dalam bentuk tepung dengan warna putih kekuningan (Friedli, 2006;
Putnam 1975).

Gambar 6. Struktur molekul BSA (Navarra et al., 2009)

Imunostrip
Pengujian aflatoksin penting dilakukan untuk mengetahui adanya
kontaminasi aflatoksin dalam suatu komoditas atau produk. Adanya persaingan
dalam industri makanan dan pakan memaksa produsen untuk menggunakan
metode yang lebih cepat, murah, sederhana dan mudah digunakan untuk analisis
mikotoksin terutama untuk digunakan di lapangan. Metode cepat adalah metode
yang dapat dilakukan secara singkat yaitu hasil dapat diperoleh dalam hitungan
menit dibandingkan dengan metode yang konvensional. Metode cepat juga
hendaknya dapat digunakan untuk menentukan efektifitas keamanan pangan,
penerapan peraturan, menjaga kelancaran pemasaran produk, penghematan waktu
dan biaya serta tidak memerlukan tenaga kerja yang terlatih. Metode cepat ini
direkomendasi untuk digunakan dalam pemeriksaan sampel secara screening
(Goryachev et al., 2007).
Salah satu metode cepat yang sederhana adalah imunokromatografi tes strip
atau imunostrip yang merupakan strip tipis yang terdiri dari 4 komponen yaitu
lapisan untuk sampel, konjugat dan absorban serta membran nitroselulosa untuk
daerah kontrol dan daerah uji seperti pada Gambar 7 (Kolosova et al., 2007;
Wang et al., 2007; Shim et al., 2009). Imunostrip sebagai sebuah alat untuk
mendeteksi aflatoksin memiliki tempat yang penting dalam industri pakan dan
pangan karena penggunaannya lebih cepat dan mudah serta dapat digunakan di
lapangan. Namun imunostrip umumnya mempunyai batasan kepekaan
dibandingkan dengan uji konvensional yang dilakukan di laboratorium
(Goryachev et al., 2007). Fusvita (2015) melaporkan hasil uji mutu immunostrip
yang dikembangkan untuk mendeteksi aflatoksin M1 (AFM1) pada susu memiliki
batas terendah sebesar 0,25 ng/ml. Sedangkan kepekaan uji dengan HPLC untuk
mendeteksi aflatoksin dapat mencapai 0,1 ng/ml atau bahkan lebih rendah lagi
(Li et al., 2009)
Prinsip imunostrip berdasarkan imunokromatografi dapat dibuat dengan
berbagai metode. Salah satu metode imunostrip yaitu dengan reaksi kompetitif
menggunakan nanopartikel emas. Pada reaksi kompetitif, saat ujung tes untuk
sampel terendam dalam larutan sampel maka cairan akan melewati lapisan
konjugat yang mengandung antibodi berlabel emas pada imunostrip menuju dua
daerah yaitu daerah uji dan daerah kontrol. Jika terdapat kandungan AFB1 dalam
sampel maka antigen AFB1 tersebut akan berikatan dengan konjugat antibodi yang
berlabel nanopartikel emas, dan kompleks antibodi-antigen yang terbentuk akan
terus bergerak naik sesuai aliran fluida melewati daerah uji. Pada daerah uji,
terjadi kompetisi antara antigen AFB1 dalam sampel dengan antigen AFB1-BSA
yang terdapat di daerah uji untuk berikatan dengan antibodi berlabel nanopartikel
emas. Namun antigen AFB1-BSA tidak dapat berikatan dengan antibodi berlabel
nanopartikel emas karena antibodi tersebut telah berikatan terlebih dahulu dengan
antigen AFB1 yang terdapat pada sampel. Selanjutnya komplek antibodi-antigen
AFB1 tersebut bersama kelebihan antibodi berlabel nanopartikel emas yang tidak
terikat akan terus mengalir ke daerah kontrol sehingga akan bereaksi dengan IgG
anti rabbit pada daerah kontrol menghasilkan garis merah keunguan pada daerah
kontrol. Dari proses tersebut maka hasil uji yang positif ditunjukan dengan
terbentuknya 1 garis merah keunguan yang terbentuk pada daerah kontrol
(Gambar 8). Sementara jika tidak ada AFB1 pada sampel maka larutan sampel

akan membawa antibodi berlabel nanopartikel emas ke daerah uji dan berikatan
dengan antigen AFB1-BSA yang terdapat di daerah uji. Adanya ikatan antara
antibodi berlabel nanopartikel emas dengan antigen AFB1-BSA pada daerah uji
menghasilkan garis merah keunguan pada daerah tersebut. Sisa antibodi berlabel
nanopartikel emas yang tidak terikat pada daerah uji akan mengalir dan terbawa
ke daerah kontrol untuk kemudian berikatan dengan IgG anti rabbit membentuk
garis merah keunguan pada daerah kontrol (Gambar 8). Dengan demikian hasil
negatif ditunjukkan dengan 2 garis merah keunguan yang terbentuk pada daerah
uji dan daerah kontrol. Imunostrip dikatakan tidak berjalan apabila tidak terbentuk
garis merah keunguan pada daerah kontrol yang merupakan kontrol internal untuk
memastikan bahwa antibodi berlabel nanopartikel emas telah melewati semua
daerah pada imunostrip (Moon et al., 2012; Park et al., 2011).

Gambar 7. Susunan imunostrip menggunakan nanopartikel emas (Liu et al.,
2012).

Gambar 8. Skema reaksi imunostrip dengan format kompetitif (Liu et al., 2012).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2013 sampai Maret 2015 di
Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet), Jl. R. E.
Martadinata No. 30, Bogor.

Bahan
Bahan yang digunakan adalah akuades, phosphate buffer saline (PBS),
bovine serum albumin (BSA), IgG anti-rabbit, IgG goat HRP, 3,3
dimetilaminobenzidin (DAB), disodium tetraborate (boraks), sukrosa, sodium
azide (N2N3), AFB1 baku dalam asetonitril, tween 20, tris-HCL, nanopartikel
emas (Fitzgerald®), acrylamide/bis, N,N,N’,N’-tetrametilenadiamina (TEMED),
hidrogen peroksida (H202), amonium persulfat ((NH4)2S2O8), asam sitrat (C6H8O7),
sodium fosfat (Na3PO4), ammonium sulfat ((NH4)2SO4), membran nitroselulosa
(NC) ukuran pori 5 µm (Germany), silika gel 60 F254 Merck KgaA (Germany),
penanda (Pharmacia Biotech), carboxymethoxylamine (CMO), carbodiimide
(EDC), tween-tris-casein (TTC), N hydroxysuccinimide (NHS), N’N
Dimethylformamide (DMF), metanol (MeOH), kloroform (CHCL3), Coomassie
blue, NaCl, piridin.
Alat
Alat yang digunakan adalah pipet mikro, spektrofotometri UV Vis DMS 80,
lemari pendingin (SHARP®), kolom HiTrap Protein A HP (Amersham pharmacia
biotech), Hitachi Micro Ultracentrifuge CS150NX, vortex mixer, hot plate,
kantong dialisis MEMBRA-CEL® MD10 14 x 100 CLR, erlenmeyer, alat kocok
(shaker), labu ukur, tabung mikro, mini vertical slab gel (Biorad Laboratories),
tabung reaksi, gelas ukur, pengaduk magnetik, dan inkubator.

Metode Penelitian
Sintesis dan Karakterisasi Antigen AFB1-BSA
Sintesis antigen AFB1-BSA dilakukan dengan merubah AFB1 menjadi
AFB1-CMO untuk kemudian dikonjugasikan dengan BSA sesuai metode Liu, et
al. (2013). Sebanyak 10 mg AFB1 dan 15 mg CMO dilarutkan dalam larutan
reflux yang terdiri dari 1 ml piridin, 4 ml metanol dan 1 ml akuades. Campuran
diaduk menggunakan pengaduk magnet selama 2,5 jam lalu diinkubasi pada suhu
ruang selama satu malam. Selanjutnya campuran dipekatkan dengan aliran gas
nitrogen hingga tersisa 1 ml untuk kemudian diuji dengan TLC. Uji TLC
dilakukan dengan menotolkan AFB1-CMO dan AFB1 sebanyak 20 µl pada bagian
bawah pelat gel silika yang telah ditandai dengan jarak 1,5 cm. Setelah kedua
bahan tersebut mengering, pelat dimasukan ke dalam bejana TLC yang berisi
kloroform dan metanol dengan perbandingan 9:1 yang mengandung 1.5% asam

asetat glasial. Pelat silika gel diangkat setelah pelarut bejarak sekitar 1 cm dari
bagian atas pelat. Setelah pelat dikeringkan hasil kromatografi kemudian diamati
di bawah sinar UV pada panjang gelombang 365 nm dan Rf AFB1 serta AFB1CMO dihitung menggunakan rumus:
f

jarak yang ditempuh oleh senyawa
jarak yang ditempuh oleh pelarut

Bercak AFB1-CMO pada pelat gel silika kemudian dikerok, dilarutkan
dalam kloroform dan disentrifus selama 5 menit. Supernatan dimasukan ke dalam
botol gelap yang telah ditimbang lalu dikeringkan dengan aliran gas nitrogen.
Selanjutnya AFB1-CMO yang telah kering kemudian ditimbang sebanyak 0,5 mg
dan dilarutkan dalam 0,13 ml N,N-dimetillformamida (DMF). Sebanyak 1 mg
N,N-dicyclohexylcarbodiimide (DCC) dalam 0,01 ml DMF dan 0,8 mg Nhydroxysuccinimide (NHS) dalam 0,01 ml DMF dimasukkan ke dalam campuran,
diaduk dengan pengaduk magnet dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang.
Sebanyak 75 µl campuran ditambahkan 1,5 mg BSA dalam 1 ml NaHCO3 sedikit
demi sedikit sambil diaduk. Campuran diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam
lalu didialisis selama 3 hari dalam PBS 0,01 M pH 7,4 dengan dua kali
penggantian PBS.
Setelah didialisis, antigen AFB1-BSA dianalisis menggunakan SDS PAGE
berdasarkan Laemmli (1970). Komposisi gel penahan (stacking gel) sebesar 4% dan
gel pemisah (separating gel) sebesar 12,6%. Dua pelat kaca diletakan pada plate
holder lalu dipasang pada casting stand. Larutan separating gel dimasukan diantara
pelat kaca dan dibiarkan selama 60 menit hingga mengeras. Selanjutnya stacking gel
dituang ke atas separating gel dan sisir sumuran dipasang hingga gel membeku. Sisir
kemudian diangkat, lalu sebanyak 5 µl penanda bobot molekul (marker) serta
masing-masing 30 µl antigen AFB1-BSA yang telah dipanaskan dimasukan ke dalam
sumuran. Proses elektroforesis vertikal dilakukan pada 100 volt selama 180 menit.
Selanjutnya gel diangkat dan diwarnai dengan Comassie blue selama satu jam lalu
dibilas dengan larutan pemucat (destaining buffer). Jumlah pita protein dan berat
molekulnya dihitung dengan membandingkan terhadap penanda yang digunakan.
Purifikasi Antibodi Anti AFB1-BSA
Antibodi anti AFB1-BSA telah diproduksi di Laboratorium Toksikologi BB
Litvet melalui imunisasi kelinci dengan antigen AFB1-BSA. Selanjutnya antibodi
anti AFB1-BSA diuji respon antibodinya melalui reaksi dengan antigen AFB1BSA secara DBIA.
Antigen AFB1-BSA diteteskan sebanyak 2 µl ke atas membran nitroselulosa
dan dibiarkan kering pada suhu ruang. Membran nitroselulosa kemudian
dimasukkan ke dalam larutan tween-tris-casein 0,2 % (TTC) selama satu jam lalu
dicuci dengan larutan PBS 0,01 M pH 7,4 yang mengandung 1% Tween 20
(PBST) dan dikeringkan pada suhu ruang. Pada titik yang sama membran
nitroselulosa diteteskan antibodi anti AFB1-BSA sebanyak 2 µl dan diinkubasi
hingga kering pada suhu ruang. Membran nitroselulosa dicuci kembali dengan
PBST sebanyak 3 kali dan dikeringkan pada suhu ruang. Kemudian sebanyak 2
µl enzim konjugat goat anti rabbit IgG-HRP diteteskan pada titik yang sama di

membran nitroselulosa hingga kering. Setelah dicuci kembali dengan PBST
sebanyak 3 kali, membran nitroselulosa direndam dalam larutan substrat
dimetilaminobenzidine (DAB) hingga muncul warna cokelat pada daerah kontrol
positif.
Purifikasi antibodi dilakukan dengan fraksinasi melalui kolom HiTrap
Protein A HP. Sebanyak 10 tabung penampung fraksi diisi dengan 0,2 ml buffer
tris-HCl pH 9,0. Kolom diisi dengan 25 ml buffer phosphate (binding buffer) dan
dibilas kembali dengan 50 ml binding buffer. Sebanyak 2 ml larutan antibodi
yang telah didialisis ditambahkan 8 ml binding buffer dan dimasukan ke dalam
kolom, lalu dicuci dengan 35 ml binding buffer. Imunoglobulin dielusi dengan 20
ml buffer sitrat dan 2 ml fraksi ditampung ke dalam botol penampung yang berisi
buffer tris-HCl. Selanjutnya, nilai absorbansi imunoglobulin diukur menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Konsentrasi imunoglobulin G
(IgG dalam mg/ml) diperoleh dari perhitungan nilai absorbansi IgG dikalikan
dengan faktor pengenceran dan dibagi dengan distinction coefficient IgG sebesar
1.36 (Harlow dan Lane, 1988). Hasil purifikasi antibodi anti AFB1 selanjutnya
dikonfirmasi menggunakan SDS PAGE dengan metode yang sama seperti pada
antigen AFB1-BSA.
Konjugasi Antibodi Anti AFB1-BSA dengan Nanopartikel Emas
Konjugasi dilakukan sesuai dengan metode Liu et al., (2013). Sebelum
proses konjugasi terlebih dahulu dilakukan titrasi antibodi anti AFB1-BSA ke
dalam nanopartikel emas (Shim et al., 2007).
Titrasi dilakukan untuk
memperoleh komposisi optimum antibodi anti AFB1-BSA yang akan
dikonjugasikan dengan nanopartikel emas pada pH 8,5. Sebanyak 75 µl
nanopartikel emas pH 8,5 disiapkan dalam 8 sumuran secara berderet. Satu
sumuran dibuat sebagai kontrol sedangkan sisa sumuran lainnya ditambahkan
antibodi anti AFB1-BSA (2mg/ml) sebanyak 0-6 µl secara berurutan. Setelah
dikocok selama 1 menit, campuran kemudian diinkubasi selama 5 menit pada
suhu ruang. Selanjutnya larutan NaCl 10% 7,5 µl ditambahkan ke dalam setiap
sumuran kecuali untuk sumuran untuk kontrol dan dicampur selama 1 menit.
Kemudian perubahan warna dari merah ke biru diamati pada deret sumuran.
Jumlah minimal antibodi dinilai pada sumuran yang tidak mengalami perubahan
warna dari merah ke biru seperti sumuran kontrol. Proses konjugasi kemudian
dilakukan dengan mencampur antibodi anti AFB1-BSA (2mg/ml) ke dalam
nanopartikel emas pH 8,5 setetes demi setetes. Selanjutnya sebanyak 720 µl
BSA 10% ditambahkan ke dalam campuran lalu dikocok perlahan selama 1 jam.
Campuran kemudian disentrifus selama 45 menit dengan kecepatan 10.000
rpm. Pelet diambil dan ditambahkan dengan 600µl larutan buffer borat pH 7.2
yang berisi 1% BSA, 1% sukrosa dan 0.05% sodium azida. Konjugat antibodi anti
AFB1-BSA dengan nanopartikel emas yang telah terbentuk akan tampak
berwarna keunguan.
Preparasi imunostrip selanjutnya dilakukan pada 4 komponen imunostrip
yaitu lapisan untuk sampel, konjugat dan absorban serta membran nitroselulosa
untuk zona kontrol dan zona uji. Sebanyak 600 µL konjugat antibodi anti AFB1BSA dengan nanopartikel emas diaplikasikan pada lapisan konjugat berupa

membran fiber glass ukuran 30 x 0,4 cm dan dikeringkan selama 30 menit.
Setelah kering dilakukan pemotongan lapisan konjugat menjadi 0,5 x 0,4 cm
untuk kemudian dirakit pada imunostrip. Reagen antigen AFB1-BSA konsentrasi
0,1; 0,25; 0,5; 1 dan 1,5 mg/ml masing-masing diaplikasikan pada imunostrip
yang berbeda yaitu pada membran nitroselulosa di daerah uji (T). Kemudian IgG
anti rabbit 0,5 mg/ml sebanyak 3µl diaplikasikan di daerah kontrol (C) dari
membran nitroselulosa pada setiap imunostrip. Perakitan imunostrip dilakukan
dengan menyusun keempat komponen yang ditempelkan pada lembar
polyethylene secara tumpang tindih (Gambar 7). Sistem imunostrip yang dibuat
dengan format kompetitif dapat berjalan apabila terbentuk 2 garis berwarna ungu
untuk hasil uji negatif yaitu pada daerah uji dan daerah kontrol (Gambar 8).
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara deskriptif.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis dan Karakterisasi Antigen AFB1-BSA
Toksin AFB1 memiliki ciri penampakan fluorosensi berwarna biru dibawah
sinar ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 365 nm (Gambar 9). Bercak
AFB1-CMO memiliki Rf =0,45 terdapat pada baris 1 yang ditandai dengan A.
Sedangkan baris 2 adalah AFB1 baku yang memiliki Rf = 0,9 (Tabel 2). Analisis
TLC tersebut dilakukan dengan menggunakan pelat gel silika 60 F254 di dalam
sistem pelarut kloroform-metanol (9:1,v/v) mengandung 1,5 % asam asetat. Nilai
Rf AFB1 bervariasi tergantung pada jenis pelat dan sistem pelarut yang
digunakan. Pada sistem pelarut kloroform dan aseton (9:1) nilai Rf dari AFB1CMO berkisar 0,4-0,7 (AOAC, 1995).
Konsentrasi antigen AFB1-BSA dihitung dengan menggunakan larutan baku
BSA dengan konsentrasi 0; 0,25; 0,5; 1 dan 2 mg/ml (Tabel 3). Berdasarkan
persamaan garis y= - 0,658x + 0,038 diketahui kadar antigen AFB1-BSA sebanyak
0,93 mg/ml (Gambar 11). Toksin AFB1 dikonjugasikan dengan protein pembawa
yaitu BSA karena toksin ini mempunyai bobot molekul yang terlalu kecil untuk
digunakan sebagai imunogen yaitu sebesar 312,3 g/mol. Toksin AFB1 tidak
mempunyai gugus reaktif untuk berikatan dengan BSA, sehingga tahapan sintesis
antigen AFB1-BSA harus diawali dengan sintesis hapten AFB1-CMO terlebih dahulu
seperti Gambar 10 (Chu et al.,1977; Liu et al., 2013).
Berdasarkan perhitungan, hasil SDS PAGE antigen AFB1-BSA yang disintesis
menunjukan pita protein tunggal dengan bobot molekul sekitar 72 kDa sedangkan
BSA menunjukan pita protein tunggal berukuran sekitar 66,9 kDa (Gambar 12). Pada
analisis antigen AFB1-BSA diperoleh migrasi protein penanda dari awal resolving gel
sampai tracking dye berjarak 6,6 cm (Rf). Menurut Hames (1998), ukuran molekul
pita protein dihitung berdasarkan rumus regresi dari nilai logaritma berat molekul pita
protein penanda (sumbu y) terhadap mobilitas relatif atau Rf (sumbu x).
Penghitungan nilai Rf dan logaritma berat molekul pita protein ditunjukan pada Tabel
4. Dari data tersebut diperoleh kurva regresi linear dengan persamaan y = -1,023 x +

2,276; R2 = 0,949. Hasil SDS PAGE menunjukkan antigen AFB1-BSA yang
disintesis lebih besar bobot molekulnya dibandingkan dengan BSA sebagai protein
pembawa. Hal ini terjadi karena adanya penambahan molekul AFB1-CMO yang
berikatan dengan BSA.

Gambar 9. Deteksi AFB1- CMO dengan TLC. 1 = AFB1-CMO; 2= AFB1 baku 2
ppm.

Tabel 2. Perhitungan Retention factor (Rf) AFB1 baku dan AFB1-CMO
Retention factor (Rf)
Rf AFB1 baku
Rf AFB1-CMO

Perhitungan
6,3/7,0 = 0,9
3,2/7,0 = 0,45

Gambar 10. Proses konjugasi AFB1 terhadap BSA (Kim et al., 2011).

Tabel 3. Hasil pengukuran absorbansi BSA baku dan antigen AFB1-BSA
BSA (mg/ml)
0
0,25
0,5
1
2
AFB1-BSA (mg/ml)

Gambar 11.

Absorbansi (280 nm)
0,000
0,199
0,381
0,760
1,321
0,650

Kurva persamaan linear larutan BSA
konsentrasi antigen AFB1-BSA

baku untuk pengukuran

Tabel

Gambar 12. Hasil SDS PAGE AFB1–BSA. 1=Penanda;2=AFB1-BSA; 3= BSA
Tabel 4. Penghitungan berat molekul pita protein antigen AFB1-BSA
Pita Protei