Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur Dan Bcs (Body Condition Score).
PROFIL METABOLIK SAPI PEJANTAN BIBIT
BERDASARKAN BANGSA, UMUR DAN BCS
(BODY CONDITION SCORE)
IDA ZAHIDAH IRFAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Profil Metabolik
Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS(Body Condition
Score) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ida Zahidah Irfan
NIM B351120071
RINGKASAN
IDA ZAHIDAH IRFAN. Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan
Bangsa, Umur dan BCS (Body Condition Score). Dibimbing oleh ANITA
ESFANDIARI dan CHUSNUL CHOLIQ.
Sapi pejantan memegang peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan
inseminasi buatan di Indonesia. Sapi pejantan jugamerupakan aset negara
yang tidak murah dan tidak mudah diperoleh. Status kesehatan dan kualitas
semen sapi pejantan dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan dan
manajemen pakan, dan kedua hal tersebut dapat mempengaruhi performa
fisik, fisiologis dan reproduksi sapi pejantan. Uji profil metabolik
(Metabolic Profile Test/MPT) dapat digunakan untuk memeriksa status
nutrisi dan metabolik ternak secara individu maupun kelompok.
Pemeriksaan biokimia darah dapat digunakan untuk menjelaskan
mekanisme terjadinya penyimpangan, memberikan gambaran kondisi
kesehatan, status metabolik dan membantu menegakkan diagnosa, sehingga
dapat diberikan penanganan yang sesuai. Variasi komposisi biokimia darah
dipengaruhi diantaranya oleh spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, dan
tahap perkembangan. Referensi standar parameter kimia darah sangat
diperlukan sebagai acuan pemeriksaan biokimia darah. Namun demikian,
hingga saat ini informasi tentang referensi standar khusus sapi pejantan bibit
masih sangat terbatas.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mempelajari profil metabolik
sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah
berdasarkan bangsa, umur dan BCS; dan (2) menentukan data dasar
parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase
(AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen
(BUN), kreatinin, protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin
(rasio A/G), kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Hasil penelitian
ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar parameter kimia darah
sapi pejantan bibit di Indonesia.
Sebanyak 160 ekor sapi pejantan bibit terdiri dari bangsa Friesian
Holstein/FH (16 ekor), Limousin (62 ekor), Simmental (63 ekor), Brahman
(12 ekor) dan Ongole (7 ekor) yang sehat secara klinis, umur 3-8 tahun dan
BCS 3-5 digunakan dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan berdasarkan
bangsa, umur dan BCS.
Sampel darah diambil dari vena coccygea,dandianalisis terhadap
parameter kimia darah yang meliputi aktivitas Aspartate Aminotransferase
(AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), konsentrasi Blood Urea
Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, kalsium (Ca), fosfor (P)
dan magnesium (Mg).
Analisis dilakukandengan prinsip fotometer
®
(Photometer 5010 ) menggunakan kit komersial. Konsentrasi globulin
diperoleh dari pengurangan antara konsentrasi protein total dengan
konsentrasi albumin. Setelah diperoleh konsentrasi globulin, dihitung pula
rasio albumin terhadap globulin (rasio A/G).
Data diuji secara statistik menggunakan metode analisis model linier
untuk mengetahui pengaruh bangsa, umur dan BCS terhadap parameter
kimia darah, dilanjutkan dengan Uji Duncan’s. Data dianalisis
menggunakan Microsoft Excell dan software Minitab® versi 16.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bangsa sapi berpengaruh nyata
terhadap rerata konsentrasi BUN, kreatinin, protein total, albumin, globulin,
rasio A/G dan Mg. Umur sapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi
protein total, albumin, globulin, rasio A/G dan kalsium. Body Condition
Scoresapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi albumin. Bangsa,
umur dan BCS sapi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas AST, GGT,
konsentrasi kreatinin dan fosfor. Diperlukan pemeriksaan profil metabolik
pada sapi pejantan bibit yang berada di UPT Perbibitan lain untuk
standardisasi data.
Kata kunci: Uji profil metabolik, sapi pejantan, bangsa, umur, BCS
SUMMARY
IDA ZAHIDAH IRFAN. The Metabolic Profil of Breeding Bulls Based on
Breed, Age and Body Condition Score. Supervised by ANITA
ESFANDIARI and CHUSNUL CHOLIQ.
Bullshas an important rolein the artificial inseminationinIndonesia.
Its also an expensiveand difficult to obtain asset of the
state. Healthstatusandsemen quality were influencedby maintenanceandfeed
management,
both
of
theseaspect
can
affectthe
physical,
physiologicalandreproductiveperformance
ofthe
bulls.
MetabolicProfile
Test(MPT)
canbe
usedtoevaluate
thenutritionalandmetabolicstatus
ofindividualanimalsorgroups.
Bloodbiochemical
examinationcanbe
usedtoexplainthe mechanism ofthe occurrence of irregularities,gives an
overview ofhealth status, metabolicstatusandsupportthe diagnosis, so the
appropriate treatmentcan be given. Variation ofbiochemicalcomposition
ofthe bloodcan be affectedby many thingssuch asspecies, breed,
gender,
age,
stage
of
developmentetc.
Standard
referenceofbloodchemistryparameterswere
important
inbloodbiochemicalexamination, but there is very little data about the
biochemical composition of bulls blood serum.It has been the intention of
this study to come up with base line information on the bulls metabolic
profile and to highlight the effects of breed, ageand body condition scores
on bulls metabolic profile.
The purposeofthis studywere: (1) tostudy themetabolic profilesof
bullsbymeasuringof
bloodchemistryparametersbasedon breed, ageandBCS; and(2) todetermineba
selinebloodchemistryparameters,
including
Aspartate
Aminotransferase(AST), Gamma-Glutamyl Transpeptidase(GGT), Blood
UreaNitrogen(BUN),
creatinine,total
protein, albumin, globulin, albuminglobulinratio(A/G ratio), and
themineralscalcium(Ca), phosphorus(P) andmagnesium(Mg). The results
ofthis research canbe usedasa baselinebloodchemistryparametersof
the bullsinIndonesia.
The study was conductedfrom May2013 toMarch2014. Samples were
collectedat
theLembang
Artificial
Insemination
Center, andserum examinationswere conductedat the Primate Research
Center, Bogor Agricultural University. Blood samples from 160 bulls were
collected, consistsof5 breeds; FriesianHolstein(FH) 16heads, Limousin 62
heads,
Simmental63heads,
Brahman
12headsandOngole7
heads.Bullswereclinicallyhealthy,
3-8
years
of
ageand35of BCS.Bulls grouped bybreed, ageandBCS. Datawere analyzedusing
MicrosoftExcelandMinitab® version 16 software,datawere statistically
evaluated by linear model method analysistodetermine the effect ofthe
breed,ageand BCSto Aspartate Aminotransferase(AST), GammaGlutamyl
Transpeptidase(GGT),
Blood
UreaNitrogen(BUN
),
creatinine,
total
protein, albumin, globulin, albuminglobulinratio(A/G ratio), and
calcium(Ca),
phosphorus(P)
andmagnesium(Mg),
followed
byDuncan's test. The datapresentedin its meanandstandarddeviation.
The breed showed significantly variation onBUN, creatinine, total
protein, albumin, globulin, A/G ratioandMg. Significant age differences
ontotal protein, albumin, globulin, A/G ratioandCa. Amongs groups
of BCS,significant difference was verified only in the albumin concentration.
Breed, ageandBCSdid not significantly affectthe concentration
ofAST, GGT, creatinineandP.Its necessaryto evaluate themetabolicprofile
ofthebullsinotherBreedingUnitfordata standardization.
Keywords:Metabolic profile test, bulls, breed, age, body condition score
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROFIL METABOLIK SAPI PEJANTAN BIBIT
BERDASARKAN BANGSA, UMUR DANBCS
(BODY CONDITION SCORE)
IDA ZAHIDAH IRFAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Drh Retno Wulansari, MSi., Ph.D
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Mei 2013 ini ialah kimia darah, dengan judul Profil
Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS
(Body Condition Score).
Terima kasih penulis ucapkan kepada IbuDr Drh Anita Esfandiari,
Msi dan Bapak Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM selaku pembimbing,
Drh. Retno Wulansari, M.Si, Ph.D selaku penguji luar, dan Drh. Agus
Setiyono, MS, Ph.Dselaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan pula kepada Badan
SDM Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa tugas
belajar S2, Kepala Balai Inseminasi Buatan Lembang serta rekan-rekan
di Balai Inseminasi Buatan Lembang, yang telah membantu selama
pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada suami, ibu, anak-anak, seluruh keluarga,
rekan-rekan dan staf KRP atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Ida Zahidah Irfan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Pejantan
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT)
Aspartate Aminotransferase (AST)
Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT)
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Kreatinin
Protein Total
Albumin
Globulin
Rasio Albumin Globulin (Rasio A/G)
Kalsium (Ca)
Fosfor (P)
Magnesium (Mg)
3
3
4
5
5
6
7
8
9
9
10
10
10
11
3 MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Materi
Metode
12
12
12
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan GammaGlutamylTranspeptidase (GGT)
Profil Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin
Profil Protein Total, Albumin, Globulin dan Rasio A/G
Profil Mineral Kalsium (Ca), Forsfor (P) dan Magnesium (Mg)
Implikasi Medis Profil Metabolik Sapi Sapi Pejantan Bibit
13
14
17
20
25
29
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
31
31
31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
32
41
46
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Referensi standar parameter kimia darah pada sapi
Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan bangsa
Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan umur
Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan BCS
Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan bangsa
Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan umur
Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan BCS
Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio
A/Gberdasarkan bangsa
Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio
A/Gberdasarkan umur
Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio
A/Gberdasarkan BCS
Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan bangsa
Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan umur
Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan BCS
4
14
15
16
17
18
19
20
23
24
25
27
28
DAFTAR GAMBAR
1 Metabolisme protein pada sapi
2 Hubungan antara BUN/MUN dengan reproduksi pada sapi
perah
3 Metabolisme kreatinin
Penentuan BCS pada sapi
6
7
7
12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Profil metabolik sapi pejantan bibit berdasarkan bangsa sapi
2 Profil metabolik sapi pejantan berdasarkan umur sapi
3 Profil metabolik sapi pejantan berdasarkan BCS sapi
42
43
44
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manfaat inseminasi buatan (IB) dalam upaya meningkatkan populasi,
produksi dan produktivitas ternak telah diketahui secara luas. Berdasarkan data
tahun 2012 kebutuhan semen beku sapi nasional untuk pelaksanaan kegiatan IB
mencapai 4,2 juta dosis pertahun., sedangkan produksi semen beku pada tahun
yang sama mencapai 4,96 juta dosis per tahun. Sekitar 94% semen beku berasal
dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) nasional di Lembang dan Singosari, dan
sebanyak 6% berasal dari BIB Daerah. Populasi sapi pejantan unggul penghasil
semen beku mencapai 531 ekor, sebagian besar berada di BIB nasional
(KEMENTAN 2012).
Sapi pejantan unggul adalah pejantan sapi yang sudah diseleksi berdasarkan
standar bibit yang berlaku yaitu garis keturunan (pedigree/silsilah), dan
kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny) (BSN 2005). Tahun
2011, Indonesia masih mendatangkan sapi pejantan unggul dari Australia, karena
jarak yang dekat dan Australia merupakan negara bebas Penyakit Mulut dan
Kuku. Tahun 2012, populasi sapi pejantan unggul yang ada telah dapat
mencukupi kebutuhan semen beku nasional, sehingga pemerintah menghentikan
impor sapi pejantan unggul dan mencanangkan program swasembada sapi
pejantan unggul pada tahun 2013. Kebutuhan sapi pejantan unggul selanjutnya
dipenuhi dari enam Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) (KEMENTAN
2012).
Sapi pejantan sebagai sumber semen beku harus memenuhi berbagai standar
bibit yang berlaku (BSN 2005) yaitu standar umum, standar khusus, standar
reproduksi dan standar kesehatan (DEPTAN 2008). Selain itu, sapi pejantan harus
berada dalam kondisi prima dan layak tampung (BIBL 2010). Status kesehatan
dan kualitas semen dipengaruhi manajemen pemeliharaan dan manajemen pakan,
dimana kedua hal tersebut dapat mempengaruhi performa fisik, fisiologis dan
reproduksi sapi pejantan (Cumming 2007).
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) adalah serangkaian uji
analisa darah spesifik, yang sangat berguna sebagai indikator bahwa mekanisme
homeostase tubuh berfungsi menjaga parameter darah tetap berada dalam range
fisiologis (Gross et al. 2011). Uji tersebut dapat digunakan untuk memeriksa
status nutrisi dan metabolik ternak secara individu maupun kelompok. Metabolic
Profile Test pertama kali dilakukan di Compton, Inggris pada dekade 70-an. Sejak
saat itu berbagai peralatan uji otomatis dan kit enzim untuk pemeriksaan
kandungan serum maupun darah di produksi dan digunakan secara luas di
berbagai tempat (Payne dan Payne 1987; Nozad et al. 2012). Pemeriksaan serum
mempunyai nilai lebih apabila digunakan secara tepat dalam proses membantu
menegakkan diagnosa atau menjadi bagian dalam program monitoring penyakit
metabolik (Lager dan Jordan 2012).
Penggunaan biokimia klinis dalam kedokteran hewan sangat sering
dilakukan untuk kepentingan diagnosa dan pengobatan suatu penyakit (Nozad et
al. 2012; Lager dan Jordan 2012). Beberapa uji biokimia darah dan cairan tubuh
lainnya pada hewan ternak dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme
2
terjadinya penyimpangan, memberikan gambaran kondisi kesehatan, status
metabolik dan membantu menegakkan diagnosa, sehingga dapat diberikan
penanganan yang sesuai (Stojevic et al. 2008).
Mohamed et al. (2004) dan Oetzel (2004) menyatakan bahwa analisis
metabolit darah apabila dihubungkan dengan monitoring kesehatan dan nutrisi
dapat mengungkap adanya gangguan yang bersifat subklinis dan dapat membantu
menemukan kausanya. Uji ini dalam perkembangannya menunjukkan adanya
variasi komposisi kimia darah yang signifikan antar spesies, bangsa, jenis kelamin
dalam satu bangsa ternak (Stojevic et al. 2008; Balicki et al. 2007), umur (Addas
et al. 2012; Balicki et al. 2007), status reproduksi, stres, transportasi (Balicki et al.
2007), dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti asal hewan,
manajemen, geografis, tahap perkembangan hewan (Ali 2008) dan iklim (Ali
2008; Lager dan Jordan 2012).
Sapi pejantan merupakan aset berharga dengan biaya pengadaan dan
pemeliharaan yang tidak sedikit, sehingga pemeriksaan biokimia darah pada sapi
pejantan menjadi penting dilakukan untuk evaluasi status nutrisi dan metabolik.
Apabila ditemukan adanya penyimpangan terhadap nilai parameter kimia darah
dapat dilakukan perbaikan dan tindakan preventif agar tidak muncul gangguan
lebih lanjut, sehingga kerugian materiil akibat tidak tertampungnya semen
pejantan dapat dihindari. Referensi standar parameter kimia darah sangat
diperlukan sebagai acuan pemeriksaan biokimia darah. Namun demikian, hingga
saat ini informasi tentang referensi standar khusus untuk sapi pejantan bibit masih
sangat terbatas.
Kerangka Pemikiran
Sapi pejantan yang mampu menghasilkan semen berkualitas adalah sapi
yang berada dalan kondisi prima. Setelah lolos persyaratan seleksi awal,
manajemen pemeliharaan memegang peranan penting dalam menjaga kondisi sapi
pejantan agar tetap fit dan layak tampung. Kekurangan atau kelebihan dalam
manajemen pakan dapat memberikan dampak buruk pada vitalitas sapi pejantan.
Pakan harus diberikan dalam kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai dengan
kebutuhan dan aktivitas sapi pejantan. Pemberian pakan yang berlebihan dapat
mengakibatkan obesitas yang mengurangi vitalitas dan libido. Selain itu dapat
mengakibatkan munculnya gangguan metabolik.
Uji profil metabolik dapat digunakan untuk evaluasi status metabolik sapi
pejantan dalam satu kelompok ternak dengan manajemen pemeliharaan dan pakan
yang sama. Sampel yang kerap digunakan pada uji profil metabolik adalah darah.
Darah mempunyai fungsi sebagai sistem transpor dalam tubuh mahluk hidup dan
beredar ke seluruh tubuh. Darah mengandung berbagai elemen dan konstituen
yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai status fisiologis,
metabolisme dan homeostatis yang sedang berlangsung di dalam tubuh. Beberapa
elemen selain berpengaruh terhadap kesehatan, dapat berpengaruh pula terhadap
performa reproduksi terutama kualitas semen dan produksi semen beku. Melalui
berbagai jenis analisa, level elemen dan konstituen darah tersebut dapat diketahui.
Hasil analisa dapat digunakan sebagai tolok ukur status metabolik dan status
kesehatan sapi pejantan. Beberapa gangguan yang bersifat subklinis, dapat
3
dideteksi lebih awal dengan analisis darah. Analisis darah dilakukan untuk
mendukung penegakan diagnosa.
Kajian profil metabolik pada sapi perah, sapi potong, kambing dan domba
telah banyak dilakukan. Kajian tersebut pada sapi pejantan bibit yang digunakan
sebagai bibit penghasil semen beku di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari profil metabolik sapi
pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah berdasarkan
bangsa, umur dan Body Condition Score (BCS) dan menentukan data dasar
beberapa parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase
(AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen (BUN),
kreatinin protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin (rasio A/G),
mineral kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mempelajari profil metabolik sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa
parameter kimia darah berdasarkan bangsa, umur dan BCS.
2. Menentukan data dasar beberapa parameter kimia darah, yang meliputi
Aspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT),
Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin, globulin, rasio
albumin globulin (rasio A/G), dan mineral kalsium (Ca), fosfor (P) dan
magnesium (Mg).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar
parameter kimia darah sapi pejantan bibit di Indonesia.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi pejantan
Sapi pejantan unggul adalah pejantan sapi yang telah diseleksi berdasarkan
standar bibit yang berlaku yaitu garis keturunan (pedigree/silsilah), dan
kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny) (BSN 2005).
Standar bibit yang dimaksud adalah standar bibit sesuai Peraturan Menteri
Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong. Sapi yang
digunakan sebagai bibit adalah sapi yang memenuhi standar umum, standar
khusus, standar reproduksi dan standar kesehatan (DEPTAN 2008). Tata cara
pemeliharaan sapi pejantan mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor
54/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang
baik (Good Breeding Practice) (DEPTAN 2006). Hingga tahun 2012 populasi
sapi pejantan unggul di Indonesia mencapai 531 ekor dan sebagian besar berada di
BIB Nasional (KEMENTAN, 2012).
4
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT)
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) adalah serangkaian uji
analisa darah spesifik, yang sangat berguna sebagai indikator bahwa mekanisme
homeostase tubuh berfungsi menjaga parameter darah tetap berada dalam range
fisiologis pada kondisi pakan dan pemeliharaan yang berbeda (Gross et al. 2011).
Pengukuran parameter metabolik, bersama dengan monitoring nutrisi dan status
kesehatan dalam satu kelompok ternak, dapat mengidentifikasi adanya gangguan
sub klinis dan mengindikasikan penyebabnya. Bila aplikasi profil metabolik
direncanakan dengan benar dan dilakukan bersamaan dengan pengukuran BCS
(Body Condition Score), dan kontrol manajemen pemeliharaan dan pakan, dapat
digunakan sebagai alat diagnosa yang valid untuk pengujian kesehatan kelompok
ternak (Reist et al. 2002; Kida 2002).
Uji profil metabolik juga memiliki manfaat besar untuk identifikasi dini
terhadap adanya gangguan metabolisme energi pada sapi (Prodanovic et al. 2012).
Penggunaan profil metabolik untuk menilai gizi dan status kesehatan sapi telah
digunakan secara luas (Doornenbal et al. 1988 dan Grunwaldt et al. 2005).
Konsentrasi metabolit dalam darah menggambarkan indeks kecukupan pasokan
gizi yang terkait dengan pemanfaatan nutrisi pada ternak (Chester-Jones et al.
1990) dan memberikan indikasi langsung status nutrisi ternak pada waktu tertentu
(Pambu-Gollah et al. 2000).
Fertilitas pejantan merupakan fitur yang kompleks, terdiri dari berbagai
proses fisiologis pada tahap pertumbuhan dan perkembangan sistem reproduksi
dari lahir hingga dewasa, spermatogenesis, ejakulasi dan perilaku kawin
(termasuk libido dan koitus) (Cupps 1991). Menurut Marzec-Wroblewska et al.
(2012), kualitas semen bervariasi secara kualitatif dan kuantitatif antar umur,
status kesehatan, aktifitas seksual dan pakan.
Tabel 1. Referensi standar parameter kimia darah pada sapi
Parameter
Satuan
Nilai normal
AST *
Unit/L
78-132
GGT*
Unit/L
6,1-17,4
BUN*
mg/dL
6,0-27,0
Kreatinin*
mg/dL
1,0-2,0
Total Protein*
g/dL
5,7-8,1
Albumin*
g/dL
2,1-3,6
Globulin*
g/dL
2,9-4,9
Rasio A/G**
0,84-0,94
Ca*
mg/dL
9,7-12,4
P*
mg/dL
5,6-6,5
Mg*
mg/dL
1,8-2,3
*) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007)
**) Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)
Penilaian status nutrisi menggunakan profil metabolik memiliki akurasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian menggunakan bobot tubuh atau
skor kondisi tubuh saja. Konsentrasi metabolit serum seperti Aspartate
Aminotransferase (AST), Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea
5
Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, globulin dan mineral umum
digunakan untuk menilai status nutrisi dan kesehatan ternak (Grunwaldt et al.
2005 dan Ndlovu et al. 2007). Referensi standar masing-masing parameter kimia
darah untuk sapi potong dan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Aspartate Aminotransferase (AST)
Aspartate aminotransferase (AST) merupakan enzim yang terdapat di
berbagai jaringan, terutama hati, otot lurik dan otot jantung. Peningkatan aktivitas
AST dapat menjadi penanda yang baik adanya kerusakan jaringan lunak (Otto et
al. 2000). Berbagai kondisi yang mengakibatkan peningkatan aktifitas creatine
kinase (CK) juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas AST (Abutarbush
dan Radostits 2003). Aspartate aminotransferasedalam darah dapat dipengaruhi
musim dan variasi fisiologis (Yokus dan Cakir 2006) dan (Ndlovu et al. 2007),
dimana pada sapi yang sehat, aktivitas enzim ini dalam serum rendah atau tidak
ada (Ndlovu et al. 2007).
Aspartate aminotransferase, Alanine aminotransferase (ALT) dan Gamma
Glutamyl Transpeptidase (GGT) sering digunakan sebagai indikator bila dicurigai
adanya penyakit hati akut atau kronis (Stojevic et al. 2005). Namun demikian,
tidak seperti AST, sel hati pada ruminansia tidak menunjukkan aktivitas ALT
yang tinggi, dan peningkatan aktivitas enzim ini pada kerusakan hati atau nekrosis
hati tidak signifikan (Stojevic et al. 2005). Dokovic et al. (2013) melaporkan
adanya korelasi positif antara aktivitas AST dan mobilisasi lemak (yang ditandai
dengan tingginya konsentrasi Non Esterified Fatty Acid/NEFA dalam darah) pada
awal masa laktasi pada sapi perah. Menurut Lupi et al. (2005) dan Mori (2007),
pemberian pakan yang didominasi konsentrat pada penggemukan intensif
menginduksi terjadinya asidosis ringan dan mengakibatkan kerusakan ringan sel
parenkhim hati (gangguan integritas fisiologis dan morfologis). Kerusakan sel hati
yang diinduksi oleh keadaan asidosis dapat meningkatkan aktivitas AST dan GGT
(Mori 2007).
Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT)
Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) adalah enzim yang ditemukan
terutama di hati dan ginjal, dan dalam jumlah yang rendah ditemukan dalam
limpa, kelenjar prostat dan otot jantung (Kataria et al. 2012). Nilai normal GGT
dalam serum bervariasi antar jenis kelamin, umur (Kataria et al. 2012) dan bangsa
(Davoudi 2013).
Aktivitas GGT sering digunakan sebagai indikator adanya proliferasi epitel
saluran empedu, gangguan kolestasis (Stojevic et al. 2005; Davoudi 2013), sirosis
hati, hepatopati kronis dan toksik (Krammer dan Hoffmann 1997), fascioliasis
(Molina et al. 2006), gangguan metabolik dan ketosis (Rico et al. 1977).
Aktifitasnya relatif tinggi pada hati sapi, kuda, domba dan kambing (Stojevic et
al.2005). Kebanyakan penyakit hepatoseluler dan hepatobilier akan meningkatkan
aktivitas GGT dalam serum dan aktivitasnya akan tetap meningkat selama
kerusakan sel berlangsung (Davoudi 2013)
Menurut Kataria et al. (2012) peningkatan aktivitas GGT dalam serum dapat
digunakan sebagai indikator adanya keracunan urea dan asidosis. Adanya
peningkatan aktivitas AST, disertai dengan peningkatan aktivitas GGT dapat pula
6
digunakan sebagai deteksi awal keracunan tembaga (Cu) sebelum muncul gejala
klinis (Minervino et al. 2008). Aktivitas GGT merupakan salah satu parameter
penting untuk pemantauan kesehatan (Payne dan Payne 1987; Stojevic et al. 2002
dan Kida 2003). Kataria et al. (2012) melaporkan bahwa aktivitas GGT pada
kambing Marwari yang terinfeksi parasit gastrointestinal meningkat 388.99%
lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas GGT pada kambing Marwari yang
sehat.
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea diproduksi di hati dari ammonium dan bikarbonat. Memiliki berat
molekul 60 dalton dan merupakan sarana utama ekskresi nitrogen pada hewan
(Meuten 2012). Konsentrasi urea nitrogen dalam darah dipengaruhi oleh berbagai
parameter yang saling terkait yaitu asupan protein, asupan karbohidrat,
kemampuan degradasi rumen, komposisi diet asam amino, fungsi hati, fungsi
ginjal, dan kerusakan jaringan otot (Van Saun 2000). Menurut Hammond (1998)
dan Wattiaux (1998),ketikaenergiyang dibutuhkan untuk fermentasikurangatau
ketikaprotein kasardalam dietberlebihan, tidak semuaamoniayang diproduksi
didalam rumendapat dikonversi menjadiproteinmikroba. Amonia rumen yang
tidak digunakan ini akan memasuki sirkulasi portal melalui dinding rumen dan
dibawa menuju hati untuk didetoksikasi dengan diubah menjadi urea (Gambar 1)
(Hammond 1998, Wattiaux 1998). Selanjutnya, melalui sirkulasi dalam darah,
urea menuju ginjal untuk diekskresikan atau terdifusi dari darah ke dalam rumen,
saliva, atau susu (pada hewan betina menyusui) (Wattiaux 1998; Hammond 1998;
Fettman dan Rebar 2005).
Gambar 1Metabolisme protein pada sapi (Wattiaux 1998)
Konsentrasi BUN merupakan indikator yang sensitif dari keseimbangan
antara jumlah dengan ketersediaan protein kasar tercerna dan energi yang
dihasilkan (Keaney et al. 2003) dan BUN membantu mengukur efisiensi
pemanfaatan protein (Kohn et al. 2002). Konsentrasi urea yang tinggi dalam darah
dapat menekan sistem imun, menurunkan pH uterus, menurunkan produksi
7
hormon prostaglandin, mempengaruhi aksis hipofisis-pituitari-indung telur
(National Research Council 2001; Roy et al. 2011), memiliki efek toksik pada
sperma, sel telur dan embrio dan mengakibatkan penurunan fertilitas (Gambar 2)
(National Research Council 2001; Roy et al. 2011 dan Bindari et al. 2013).
Gambar 2 Hubungan antara BUN/MUN (Milk Urea Nitrogen) dengan reproduksi
pada sapi perah (Roy et al. 2011)
Kreatinin
Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin(Finco 1997). Kreatin
sebagian besar dijumpai di otot rangka, tempat dimana kreatinin terlibat dalam
penyimpanan energi sebagai kreatinfosfat. Kreatin fosfat diubah menjadi kreatin
dengan katalisasi enzim kreatin kinasepada sintesis ATP dari ADP. Reaksi ini
berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatinfosfat
(Gambar 3) (Wyss dan Kaddurah-Daouk 2000).
Gambar 3 Metabolisme kreatinin (Wyss dan Kaddurah-Daouk 2000)
8
Banyaknya kreatinin yang diproduksi setiap hari relatif konstan dan tidak
dipengaruhi oleh faktor ekstrarenal, seperti urea. Sekali kreatinin terbentuk, akan
dibuang dari tubuh hampir seluruhnya oleh ekskresi ginjal melalui filtrasi
glomerulus (Fettman dan Rebar 2005).
Konsentrasi BUN dan kreatinin merupakan parameter yang sangat sensitif
untuk menggambarkan fungsi ginjal (Scholz 2005; Van Saun 2000). Urea dan
kreatinin merupakan hasil metabolisme protein yang pembuangannya diatur oleh
ginjal melalui filtrasi glomerulus. Adanya kerusakan pada sel glomerulus akan
menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun sehingga urea dan kreatinin akan
menumpuk dalam plasma (Kaneko 1997). Menurut Otto et al. (2000), Miller et al.
(2004) dan Hammond (2006), konsentrasi kreatinin di dalam serum dipengaruhi
oleh diet, bangsa, massa otot dan jenis kelamin. Individu dengan massa otot tinggi
dapat memiliki konsentrasi kreatinin yang normal tinggi, demikian pula
sebaliknya (Baxman et al. 2008).
Peningkatan konsentrasi kreatinin dalam sirkulasi darah dapat disebabkan
oleh adanya kerusakan ginjal terutama akibat gangguan filtrasi glomerulus,
nekrosis tubulus akut, dehidrasi, dan gagal ginjal, sedangkan penurunan
konsentrasi kreatinin dapat diakibatkan oleh distrofi otot dan pada keadaan
myastenia gravis (Scholz 2005).
Protein Total
Hati mensintesis dan melepaskan lebih dari 90% protein plasma (Martini et
al. 1992). Menurut Kaneko (1997), terdapat tiga fraksi utama protein dalam
darah, yaitu albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin, fibrinogen, dan globulin
(50-80% globulin) disintesis di organ hati, sedangkan sisa globulin lainnya
dibentuk di jaringan limfoid. Secara fisiologis, konsentrasi protein total serum
dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, hormonal, jenis kelamin, kebuntingan,
laktasi, nutrisi, stres dan kehilangan cairan (Kaneko 1997). Menurut Stojevic et al.
(2008), massa tubuh dan anabolisme hormon testosteron memiliki peran yang
cukup besar dalam metabolisme protein dan mempengaruhi konsentrasi protein
total dalam darah pada pejantan.
Peningkatan atau penurunan konsentrasi protein total dianggap sebagai
suatu abnormalitas secara laboratoris. Peningkatan atau penurunannya di dalam
sirkulasi darah dipengaruhi oleh konsentrasi albumin, globulin atau keduanya
(Lassen 2005). Menurut Kaneko (1997), penentuan konsentrasi protein total
serum dapat digunakan sebagai alat bantu diagnostik yang penting dalam
biokimia klinis. Proteinogram merupakan uji tambahan yang penting, membantu
untuk biokimia klinis, dan merupakan salah satu metode yang paling dapat
diandalkan untuk identifikasi protein darah (Franca et al. 2011). Bersama dengan
albumin dan urea, penentuan konsentrasi protein total dianggap sebagai indikator
langsung metabolisme protein pada mahluk hidup (Gowinska dan Oler 2013).
Peningkatan konsentrasi protein total dalam darah dapat disebabkan oleh
infeksi kronis, hipofungsi kelenjar adrenal, kegagalan fungsi hati, penyakit
kolagen pada pembuluh darah, hipersensitif (alergi), dehidrasi, penyakit saluran
pernafasan (sesak nafas), hemolisis dan leukemia (Kaslow 2010). Konsentrasi
protein total dan nilai hematokrit meningkat pada kasus dehidrasi, diikuti dengan
peningkatan konsentrasi albumin dan globulin (Jackson 2007). Penurunan
konsentrasi protein total disebabkan oleh malnutrisi dan malabsorbsi, penyakit
9
hati, diare kronis maupun akut, terbakar, ketidakseimbangan hormon, penyakit
ginjal (proteinuria), rendahnya konsentrasi albumin, rendahnya konsentrasi
globulin dan kebuntingan (Kaslow 2010).
Albumin
Albumin memiliki ukuran molekul terkecil, dan konsentrasi molekul
albumin di dalam darah lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi molekul
globulin (Kaneko 1997). Albumin disintesis oleh hati, memasuki darah, dan
dikatabolisasi oleh sebagian besar jaringan (Allison 2012; Tennant dan Center
2008).
Faktor utama yang mempengaruhi sintesis albumin adalah asupan pakan
yang mengandung protein, tekanan osmotik koloid, aksi hormon tertentu
(misalnya; hormon tiroid dan hormon glukokortikoid), dan kejadian penyakit
(Busher 1990). Peningkatan konsentrasi albumin di dalam darah umumnya
disebabkan oleh naik-turunnya volume darah (Jackson 2007). Menurut Busher
(1990) hati meningkatkan sintesis albumin sebagai respon terhadap adanya
peningkatan ketersediaan asam amino dari pakan yang mengandung protein.
Penurunan konsentrasi albumin dalam darah tidah hanya disebabkan oleh
penurunan sistesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi
sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ke ekstravaskuler dan asupan protein
(Ballmer 2001). Menurut Kaslow (2010) konsentrasi albumin dapat mengalami
penurunan pada dehidrasi kronis, penyakit hipotiroid, malnutrisi (defisiensi
protein), polidipsi, gejala kerusakan ginjal, protein loosing enterophaty, terbakar,
kegagalan fungsi hati dan ketidakcukupan hormon anabolik (hormon
pertumbuhan).
Globulin
Globulin adalah kelompok protein dengan ukuran molekul yang besar tetapi
bervariasi (Kaneko 1997). Sebagian besar globulin disintesis di hati, kecuali
imunoglobulin yang diproduksi di jaringan limfoid (Allison 2012). Globulin
meliputi berbagai jenis molekul antibodi dan protein lain yang aktif dalam sistem
kekebalan tubuh (misalnya, komplemen), faktor pembekuan, berbagai jenis
enzim, berbagai protein yang membawa lipid, vitamin, hormon, hemoglobin
ekstraseluler, dan ion logam (misalnya, besi dan tembaga) (Kaneko 1997).
Menurut Kaslow (2010), globulin juga berguna untuk sirkulasi ion, hormon dan
asam lemak. Globulin diklasifikasikan sebagai α, β, dan γ, atas dasar mobilitas
elektroforesisnya (Allison 2012). Fungsi globulin berdasarkan klasifikasi tersebut
diantaranya adalah mengikat hemoglobin (haptoglobin), mengikat hormon
thyroid, kolesterol dan zat besi (α dan β globulin), melawan infeksi (γ globulin),
dan bertindak sebagai faktor koagulasi (β globulin) (Kaneko 1997).
Konsentrasi globulin dalam darah dapat meningkat akibat infeksi kronis
(parasit, bakteri, virus), penyakit hati (sirosis, penyumbatan saluran empedu),
sindrom karsinoid, radang sendi atau reumatik, ulkus pada kolon, myeloma dan
leukemia, penyakit autoimun dan gagal ginjal. Penurunan konsentrasi globulin
dapat disebabkan oleh nephrosis, defisiensi alpha-1 globulin, anemia hemolitika
akut, kegagalan fungsi hati dan hipo-gammaglobulinemia (Kaslow 2010).
10
Rasio Albumin Globulin (Rasio A/G)
Rasio A/G, salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui
fungsi hati, merupakan perhitungan terhadap distribusi fraksi dua protein, yaitu
albumin dan globulin (Busher 1990). Peningkatan rasio A/G dapat menjadi
indikasi bahwa produksi imunoglobulin dibawah normal. Kondisi ini dapat terjadi
akibat gangguan genetik, hipotiroidisme, diet tinggi protein atau karbohidrat,
kelebihan hormon glukokortikoid, konsentrasi globulin yang rendah dan leukemia
(Kaslow 2010). Penurunan rasio A/G dapat mengindikasikan adanya overproduksi
globulin pada penyakit myeloma, beberapa penyakit autoimun, produksi albumin
dibawah normal pada kasus sirosis hati dan sindrom nefrotik (Jackson 2007;
Kaslow 2010).
Kalsium (Ca)
Kalsium (Ca) merupakan mineral penting dalam mempertahankan
homeostasis dalam tubuh organisme, dan dibutuhkan pada berbagai proses
fisiologis sebagai regulator sel, termasuk spermatozoa (Kaplan et al. 2002;
Eghbali et al. 2010). Peranan kalsium meliputi kontraksi otot, pembekuan darah,
beberapa aktivitas enzim, rangsangan saraf dan sekresi hormon. Kalsium, bersama
fosfor anorganik, berbagi fungsi yang sangat penting dalam pertumbuhan organ,
terutama tulang, dan sangat penting dalam produksi susu (Stojevic et al. 2002).
Kalsium banyak hilang selama periode menyusui. Selain dalam susu,
kalsium juga hilang melalui proses urinasi terutama pada hewan monogastrik
(Payne dan Payne 1987). Kalsium berperan penting pada sistem transpor ion pada
membran plasma hingga terjadinya fertilisasi (Publicover et al. 2007; Yeung and
Cooper 2008). Kalsium berperan pula dalam menginisiasi pembelahan rantai
samping kolesterol pada proses steroidogenesis (Cupps 1991; Eghbali et al. 2010).
Konsentrasi kalsium di dalam darah berada di bawah kendali hormon paratiroid
dan kalsitonin (Kaneko 1997; Baker dan Worthley 2002). Perubahan konsentrasi
mineral ini dalam darah dapat dikaitkan dengan adanya perubahan metabolisme
dan nutrisi (Stojevic et al. 2002).
Peningkatan konsentrasi kalsium di dalam darah dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan pelepasan kalsium dari tulang, ekskresi kalsium oleh ginjal
dan absorbsi kalsium dari saluran pencernaan (Kaneko 1997; Ziegler 2001).
Menurut Kaneko (1997); Ziegler (2001) dan Assadi (2009) kondisi patologis yang
dapat meningkatkan konsentrasi kalsium (hiperkalsemia) di dalam darah antara
lain; sekresi hormon paratiroid yang berlebihan, absorpsi kalsium yang berlebihan
akibat peningkatan vitamin D atau metabolitnya, resorbsi tulang yang berlebihan
akibat lesi lokal pada tulang atau stimulasi abnormal resorbsi osteoklas tulang,
dan penurunan ekskresi kalsium di ginjal. Penurunan konsentrasi kalsium dapat
terjadi pada kondisi penuaan, defisiensi vitamin D, hipotiroidisme primer,
hiperparatiroidisme renal sekunder, kebuntingan dan laktasi, dan exercise yang
berlebihan (Hanif et al. 1990; Moissan 1994; Kaneko 1997)
Fosfor (P)
Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1% dari
berat badan dan salah satu mineral penting dalam nutrisi ternak. Sebanyak 80%
11
fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari
kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut, selebihnya
berada di cairan tubuh dan jaringan. Hidroksipatit memberi kekuatan dan
kekakuan pada tulang, Fosfor memegang peranan metabolik yang penting dan
memiliki fungsi fisiologis yang cukup besar dibandingkan dengan mineral lain
(Marzec-Wroblewska et al. 2012). Secara umum, fosfor memiliki peran utama
dalam pemeliharaan tekanan osmotik, kapasitas buffer dan keseimbangan asambasa. Fosfor juga merupakan komponen dari sejumlah besar koenzim. Unsur ini
merupakan bagian dari struktur asam nukleat, yang membawa informasi genetik,
mengatur biosintesis protein dan imunitas (Marzec-Wroblewska et al. 2012).
Konsentrasi fosfor di dalam darah berada di bawah kendali hormon
paratiroid dan kalsitonin (Kaneko 1997; Baker dan Worthley 2002; Fukumoto
2014). Menurut Kaneko (1997) penyebab utama peningkatan konsentrasi fosfor
dalam darah (hiperfosfatemia) adalah lisisnya sel dalam jumlah besar sebagai
akibat dari kemoterapi, rhabdomiolisis dan hemolisis, intoksikasi vitamin D, gagal
ginjal kronis, hipoparatiroidisme, hipersomatotropisme dan hipertiroidisme.
Penurunan konsentrasi fosfor dalam darah (hipofosfatemia) dapat disebabkan oleh
alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, pelepasan katekolamin, dan terapi
insulin (Kaneko 1997). Menurut Kaneko (1997); Baker dan Worthley (2002); dan
Fukumoto (2014) penurunan tersebut dapat juga disebabkan oleh penurunan
kapasitas reabsorpsi ginjal dengan hiperparatiroidisme primer atau gangguan
tubulus renalis, penurunan absorpsi di usus pada defisiensi vitamin D dan
osteomalasia onkogenik.
Magnesium
Magnesium merupakan mineral penting yang terlibat dalam pemeliharaan
potensi listrik pada ujung-ujung syaraf, menjaga fungsi otot, sebagai kofaktor
enzim dan merupakan unsur penyusun tulang (Blair 2011). Magnesium diserap di
saluran pencernaan dan diekskresikan oleh ginjal (Baker 2002). Ginjal memegang
peranan penting dalam homeostasis magnesium dengan kontrol pada reabsorpsi di
tubulus (Kaneko 1997). Kerr (2002) melaporkan bahwa hipermagnesemia
merupakan kasus yang sangat jarang terjadi pada ruminansia. Namun demikian
menurut Kaneko (1997), kejadian hipermagnesemia dapat terjadi secara sekunder
sebagai akibat adanya penurunan filtrasi glomerulus atau pada gagal ginjal kronis,
terutama apabila terdapat kelebihan asupan magnesium.
Stojevic et al. (2003) melaporkan bahwa hipomagnesemia merupakan kasus
yang sering terjadi pada sapi, dan berkaitan dengan diet rendah magnesium.
Kebuntingan dan laktasi sering dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
hipomagnesemia akibat peningkatan kebutuhan magnesium (Kaneko 1997). Stres
pada saat pengambilan sampel darah dapat juga mengakibatkan penurunan
konsentrasi magnesium, terutama pada hewan yang memiliki konsentrasi
magnesium mendekati ambang hipomagnesemia (Payne dan Payne 1987).
12
3 MATERI DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Pengambilan sampel darah sapi pejantan bibit dilaksanakan di Balai
Inseminasi Buatan Lembang. Pemeriksaan biokimia darah dilaksanakan di
Laboratorium Patologi Klinik, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut
Pertanian Bogor.
Materi
Sebanyak 160 ekor sapi pejantan bibit terdiri dari bangsa Friesian Holstein/
FH (16 ekor), Limousin (62 ekor), Simmental (63 ekor), Brahman (12 ekor) dan
Ongole (7 ekor) yang sehat secara klinis, umur 3-8 tahun dan BCS 3-5 digunakan
dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan berdasarkan bangsa, umur dan BCS.
Sapi pejantan di pelihara secara individual, dengan komposisi ransum
perhari seragam berupa hay rumput Afrika ±1 kg, konsentrat ± 4 kg, Feedmix®
15 g, Se 7 g, dan rumput Gajah ± 50 kg (BIBL 2010). Air minum disediakan
secara ad libitum.
Metode
Pemeriksaan Kesehatan
Pemeriksaan klinis kesehatan sapi pejantan dilakukan oleh Dokter Hewan
Balai Inseminasi Buatan Lembang. Sesuai Form Sistem Manajemen Mutu ISO
9008/2001 Bagian F-07/BIBL/01/Medik Veteriner Log Sheet Kondisi Perawatan
Kesehatan Ternak Harian.
Penentuan Body Condition Score (BCS)
Gambar 4 Penentuan BCS pada sapi (Edmonson et al. 1989)
Pengambilan data untuk menentukan nilai BCS dilakukan dengan metode
Edmonson et al. (1989). Metode ini didasarkan pada evaluasi dan perabaan
timbunan lemak dengan fitur kerangka tubuh sapi seperti ditunjukkan pada
13
Gambar 1. Evaluasi dilakukan pada 8 titik pengamatan, yaitu (1) tonjolan tegak
tulang belakang (processus spinosus), (2) antara tonjolan tegak dengan tonjolan
datar tulang belakang (processus spinosus ke processus transversus), (3) tonjolan
datar tulang belakang (processus transversus), (4) legok lapar (flank), (5) tonjolan
tulang pinggul depan (tuber coxae) dan belakang (tuber ishcii), (6) daerah antara
tonjolan tulang pinggul depan–belakang (tuber coxae-tuber ischii), (7) daerah
antara tonjolan tulang pinggul depan kiri dengan depan kanan (tuber coxae kanan
dan kiri), dan (8) daerah antara tulang ekor (vertebrae coccygea) dengan tonjolan
tulang pinggul belakang (tuber ischii). Hasil pengamatan berupa skor 1-5 (skor 1
= sangat kurus, skor 3 = sedang, skor 5 = sangat gemuk).
Koleksi, Preparasi dan Analisis Sampel Darah
Sapi pejantan ditempatkan dalam kandang jepit atau bull crush. Sampel
darah diambil dari vena coccygea menggunakan jarum nomor 18-G. Sampel
darah yang diperoleh segera dimasukkan ke dalam tabung vacutainer tanpa
antikoagulan yang sudah diberi label kode sampel. Sampel kemudian disimpan
pada suhu ruang (25o C) selama 1-2 jam supaya membeku sempurna. Serum yang
terbentuk dipisahkan dari clot (bekuan darah) dan disimpan dalam tabung mikro,
ditutup rapat dan diberi identitas. Sampel dikemas sesuai standar dan dikirim ke
laboratorium untuk dianalisis.
Sampel darah dianalisis terhadap parameter kimia dasar yang meliputi
aktivitasAspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase
(GGT), konsentrasiBlood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin,
kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Analisis dilakukandengan prinsip
fotometer (Photometer 5010®) menggunakan kit komersial. Konsentrasi globulin
diperoleh dari pengurangan antara konsentrasi protein total dengan konsentrasi
albumin. Setelah diperoleh konsentrasi globulin, dihitung pula rasio albumin
terhadap globulin (rasio A/G).
Analisis Data
Data diuji secara statistik menggunakan metode analisis model linier untuk
mengetahui pengaruh bangsa, umur dan BCS terhadap parameter kimia darah,
dilanjutkan dengan uji Duncans. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excell
dan software Minitab® versi 16.Data disajikan dalam bentuk rerata dan standar
deviasinya.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan GammaGlutamylTranspeptidase (GGT)
Berdasarkan Bangsa
Hasil analisis statistik, memperlihatkan bahwa pada penelitian ini bangsa
sapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rerata aktivitas AST maupun
GGT. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kucera dan Chladek (2004) pada sapi
potong. Namun demikian, hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
Mapiye et al. (2010a)dimana bangsa mempengaruhi aktivitas enzim
14
aminotransferase pada sapi lokal Nguni dan sapi persilangan lokal (local
crossbreed) di Afrika. Sapi persilangan menunjukkan aktivitas AST yang lebih
rendah dibandingkan dengan sapi lokal Nguni.
Tabel 2 Aktivitas AST dan GGT berdasarkan bangsa
Parameter
Bangsa
AST (U/L)
GGT (U/L)
a
FH (n=16)
86.88±20.27
18.87± 4.01a
Limousin (n=62)
88.34±21.79a
17.62± 4.19a
a
Simmental (n=63)
81.27±15.95
18.88± 4.37a
Brahman (n=12)
76.48±17.54a
18.84± 3.27a
a
Ongole (n=7)
80.36±25.79
19.17± 3.81a
Referensi standar *)
78-132
6.1-17.4
Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata (P>0.05); *) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al.
2007)
Davoudi (2013) melaporkan adanya pengaruh umur, bangsa dan jenis
kelamin terhadap aktivitas enzim hati pada kambing. Peningkatan aktivitas enzim
hati merupakan indikasi adanya penurunan fungsi hati, gangguan, penyakit atau
kegagalan fungsi hati oleh berbagai sebab (Davoudi 2013). Aktivitas enzim-enzim
yang terkait dengan metabolisme energi merupakan parameter biokimia yang
penting untuk memprediksi derajat kerusakan organ-organ parenkim (Dokovic et
al. 2013). Menurut Dokovic et al.(2010) peningkatan aktivitas dan beban
metabolik organ-organ pencernaan dan kejadian asidosis ringan pada sapi yang
digemukkan, dapat mengakibatkan kerusakan ringan sel parenkhim hati.
Kerusakan sel parenkhim hati akibat induksi asidosis yang berlangsung terus
menerus dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas AST dan GGT pada serum
sapi yang digemukkan (Mori 2007). Disisi lain, kejadian lipolisis/ketogenesis juga
dapat meningkatkan konsentrasi AST akibat rusaknya hepatosit oleh hadirnya
badan keton (Cincovic et al. 2012). Dokovic et al. (2013) melaporkan bahwa
terdapat korelasi positif antara aktivitas AST dengan mobilisasi lemak
(konsentrasi NEFA/Non esterified fatty acid) pada sapi perah dimasa awal laktasi.
Peningkatan aktivitas AST bersamaan dengan peningkatan konsentrasi NEFA
dalam darah juga dilaporkan oleh Elitok et al. (2006) dan Cincovic et al.(2012)
pada sapi perah periode partus.
Aktivitas GGT sering digunakan sebagai indikasi adanya proliferasi epitel
saluran empedu, gangguan kolestasis (Stojevic et al. 2005; Davoudi 2013), sirosis
hati, hepatopati kronis dan toksik (Krammer dan Hoffmann 1997), fascioliasis
(Molina et al. 2006), gangguan metabolik dan ketosis (Rico et al. 1977).
Aktivitasnya relatif tinggi pada hati sapi, kuda, domba dan kambing (Stojevic et
al. 2005). Kebanyakan dari penyakit hepatoseluler dan hepatobilier akan
meningkatkan aktivitas GGT dalam serum dan aktivitasnya akan tetap meningkat
selama kerusakan sel berlangsung (Davoudi 2013). Stojevic et al. (2005)
melaporkan bahwa aktivitas GGT mengalami penurunan, sedangkan aktivitas
AST mengalami peningkatan pada masa akhir kebuntingan pada sapi perah.
Aktivitas AST sapi pejantan pada penelitian ini rata-rata 21.27% lebih
rendah apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar pada sapi
15
potong(Tabel 2). Yokus dan Cakir (2006) dan Ndlovu et al. (2007) melaporkan
bahwa aktivitas AST dapat dipengaruhi oleh musim dan variasi fisiologis.
Aktivitas enzim pada sapi yang sehat rendah atau tidak ada (Ndlovu et al. 2007).
Aktivitas GGT sapi pejantan pada penelitian ini rata-rata 58.94% lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar yang digunakan (Tabel 2).
Stojevic et al.(2008) melaporkan bahwa aktivitas AST pada sapi pejantan
Simmental 103.68% lebih rendah dan aktivitas GGT 54.26% lebih tinggi bila
dibandingkan dengan referensi standar pada sapi perah yang digunakan. Variasi
tersebut diduga karena peruntukan ternak yang digunakan untuk breeding dan
faktor nutrisi (Stojevic et al. 2008).
Berdasarkan Umur
Tabel 3 menunjukkan bahwa umur sapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05)
terhadap aktivitas AST dan GGT. Hal ini sesuai dengan laporan Dokovic et al.
(2010) dan Mamun et al. (2013) bahwa aktivitas AST dan GGT pada sapi potong
tidak dipengaruhi oleh umur. Demikian pula pada kelinci New Zealand (Olayemi
dan Nottidge 2007), dan pada unta (Elrayah 2012). Namun hasil ini bertolak
belakang dengan laporan Ottesi
BERDASARKAN BANGSA, UMUR DAN BCS
(BODY CONDITION SCORE)
IDA ZAHIDAH IRFAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Profil Metabolik
Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS(Body Condition
Score) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ida Zahidah Irfan
NIM B351120071
RINGKASAN
IDA ZAHIDAH IRFAN. Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan
Bangsa, Umur dan BCS (Body Condition Score). Dibimbing oleh ANITA
ESFANDIARI dan CHUSNUL CHOLIQ.
Sapi pejantan memegang peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan
inseminasi buatan di Indonesia. Sapi pejantan jugamerupakan aset negara
yang tidak murah dan tidak mudah diperoleh. Status kesehatan dan kualitas
semen sapi pejantan dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan dan
manajemen pakan, dan kedua hal tersebut dapat mempengaruhi performa
fisik, fisiologis dan reproduksi sapi pejantan. Uji profil metabolik
(Metabolic Profile Test/MPT) dapat digunakan untuk memeriksa status
nutrisi dan metabolik ternak secara individu maupun kelompok.
Pemeriksaan biokimia darah dapat digunakan untuk menjelaskan
mekanisme terjadinya penyimpangan, memberikan gambaran kondisi
kesehatan, status metabolik dan membantu menegakkan diagnosa, sehingga
dapat diberikan penanganan yang sesuai. Variasi komposisi biokimia darah
dipengaruhi diantaranya oleh spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, dan
tahap perkembangan. Referensi standar parameter kimia darah sangat
diperlukan sebagai acuan pemeriksaan biokimia darah. Namun demikian,
hingga saat ini informasi tentang referensi standar khusus sapi pejantan bibit
masih sangat terbatas.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mempelajari profil metabolik
sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah
berdasarkan bangsa, umur dan BCS; dan (2) menentukan data dasar
parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase
(AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen
(BUN), kreatinin, protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin
(rasio A/G), kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Hasil penelitian
ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar parameter kimia darah
sapi pejantan bibit di Indonesia.
Sebanyak 160 ekor sapi pejantan bibit terdiri dari bangsa Friesian
Holstein/FH (16 ekor), Limousin (62 ekor), Simmental (63 ekor), Brahman
(12 ekor) dan Ongole (7 ekor) yang sehat secara klinis, umur 3-8 tahun dan
BCS 3-5 digunakan dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan berdasarkan
bangsa, umur dan BCS.
Sampel darah diambil dari vena coccygea,dandianalisis terhadap
parameter kimia darah yang meliputi aktivitas Aspartate Aminotransferase
(AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), konsentrasi Blood Urea
Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, kalsium (Ca), fosfor (P)
dan magnesium (Mg).
Analisis dilakukandengan prinsip fotometer
®
(Photometer 5010 ) menggunakan kit komersial. Konsentrasi globulin
diperoleh dari pengurangan antara konsentrasi protein total dengan
konsentrasi albumin. Setelah diperoleh konsentrasi globulin, dihitung pula
rasio albumin terhadap globulin (rasio A/G).
Data diuji secara statistik menggunakan metode analisis model linier
untuk mengetahui pengaruh bangsa, umur dan BCS terhadap parameter
kimia darah, dilanjutkan dengan Uji Duncan’s. Data dianalisis
menggunakan Microsoft Excell dan software Minitab® versi 16.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bangsa sapi berpengaruh nyata
terhadap rerata konsentrasi BUN, kreatinin, protein total, albumin, globulin,
rasio A/G dan Mg. Umur sapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi
protein total, albumin, globulin, rasio A/G dan kalsium. Body Condition
Scoresapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi albumin. Bangsa,
umur dan BCS sapi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas AST, GGT,
konsentrasi kreatinin dan fosfor. Diperlukan pemeriksaan profil metabolik
pada sapi pejantan bibit yang berada di UPT Perbibitan lain untuk
standardisasi data.
Kata kunci: Uji profil metabolik, sapi pejantan, bangsa, umur, BCS
SUMMARY
IDA ZAHIDAH IRFAN. The Metabolic Profil of Breeding Bulls Based on
Breed, Age and Body Condition Score. Supervised by ANITA
ESFANDIARI and CHUSNUL CHOLIQ.
Bullshas an important rolein the artificial inseminationinIndonesia.
Its also an expensiveand difficult to obtain asset of the
state. Healthstatusandsemen quality were influencedby maintenanceandfeed
management,
both
of
theseaspect
can
affectthe
physical,
physiologicalandreproductiveperformance
ofthe
bulls.
MetabolicProfile
Test(MPT)
canbe
usedtoevaluate
thenutritionalandmetabolicstatus
ofindividualanimalsorgroups.
Bloodbiochemical
examinationcanbe
usedtoexplainthe mechanism ofthe occurrence of irregularities,gives an
overview ofhealth status, metabolicstatusandsupportthe diagnosis, so the
appropriate treatmentcan be given. Variation ofbiochemicalcomposition
ofthe bloodcan be affectedby many thingssuch asspecies, breed,
gender,
age,
stage
of
developmentetc.
Standard
referenceofbloodchemistryparameterswere
important
inbloodbiochemicalexamination, but there is very little data about the
biochemical composition of bulls blood serum.It has been the intention of
this study to come up with base line information on the bulls metabolic
profile and to highlight the effects of breed, ageand body condition scores
on bulls metabolic profile.
The purposeofthis studywere: (1) tostudy themetabolic profilesof
bullsbymeasuringof
bloodchemistryparametersbasedon breed, ageandBCS; and(2) todetermineba
selinebloodchemistryparameters,
including
Aspartate
Aminotransferase(AST), Gamma-Glutamyl Transpeptidase(GGT), Blood
UreaNitrogen(BUN),
creatinine,total
protein, albumin, globulin, albuminglobulinratio(A/G ratio), and
themineralscalcium(Ca), phosphorus(P) andmagnesium(Mg). The results
ofthis research canbe usedasa baselinebloodchemistryparametersof
the bullsinIndonesia.
The study was conductedfrom May2013 toMarch2014. Samples were
collectedat
theLembang
Artificial
Insemination
Center, andserum examinationswere conductedat the Primate Research
Center, Bogor Agricultural University. Blood samples from 160 bulls were
collected, consistsof5 breeds; FriesianHolstein(FH) 16heads, Limousin 62
heads,
Simmental63heads,
Brahman
12headsandOngole7
heads.Bullswereclinicallyhealthy,
3-8
years
of
ageand35of BCS.Bulls grouped bybreed, ageandBCS. Datawere analyzedusing
MicrosoftExcelandMinitab® version 16 software,datawere statistically
evaluated by linear model method analysistodetermine the effect ofthe
breed,ageand BCSto Aspartate Aminotransferase(AST), GammaGlutamyl
Transpeptidase(GGT),
Blood
UreaNitrogen(BUN
),
creatinine,
total
protein, albumin, globulin, albuminglobulinratio(A/G ratio), and
calcium(Ca),
phosphorus(P)
andmagnesium(Mg),
followed
byDuncan's test. The datapresentedin its meanandstandarddeviation.
The breed showed significantly variation onBUN, creatinine, total
protein, albumin, globulin, A/G ratioandMg. Significant age differences
ontotal protein, albumin, globulin, A/G ratioandCa. Amongs groups
of BCS,significant difference was verified only in the albumin concentration.
Breed, ageandBCSdid not significantly affectthe concentration
ofAST, GGT, creatinineandP.Its necessaryto evaluate themetabolicprofile
ofthebullsinotherBreedingUnitfordata standardization.
Keywords:Metabolic profile test, bulls, breed, age, body condition score
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROFIL METABOLIK SAPI PEJANTAN BIBIT
BERDASARKAN BANGSA, UMUR DANBCS
(BODY CONDITION SCORE)
IDA ZAHIDAH IRFAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Drh Retno Wulansari, MSi., Ph.D
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Mei 2013 ini ialah kimia darah, dengan judul Profil
Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS
(Body Condition Score).
Terima kasih penulis ucapkan kepada IbuDr Drh Anita Esfandiari,
Msi dan Bapak Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM selaku pembimbing,
Drh. Retno Wulansari, M.Si, Ph.D selaku penguji luar, dan Drh. Agus
Setiyono, MS, Ph.Dselaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan pula kepada Badan
SDM Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa tugas
belajar S2, Kepala Balai Inseminasi Buatan Lembang serta rekan-rekan
di Balai Inseminasi Buatan Lembang, yang telah membantu selama
pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada suami, ibu, anak-anak, seluruh keluarga,
rekan-rekan dan staf KRP atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Ida Zahidah Irfan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Pejantan
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT)
Aspartate Aminotransferase (AST)
Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT)
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Kreatinin
Protein Total
Albumin
Globulin
Rasio Albumin Globulin (Rasio A/G)
Kalsium (Ca)
Fosfor (P)
Magnesium (Mg)
3
3
4
5
5
6
7
8
9
9
10
10
10
11
3 MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Materi
Metode
12
12
12
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan GammaGlutamylTranspeptidase (GGT)
Profil Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin
Profil Protein Total, Albumin, Globulin dan Rasio A/G
Profil Mineral Kalsium (Ca), Forsfor (P) dan Magnesium (Mg)
Implikasi Medis Profil Metabolik Sapi Sapi Pejantan Bibit
13
14
17
20
25
29
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
31
31
31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
32
41
46
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Referensi standar parameter kimia darah pada sapi
Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan bangsa
Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan umur
Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan BCS
Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan bangsa
Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan umur
Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan BCS
Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio
A/Gberdasarkan bangsa
Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio
A/Gberdasarkan umur
Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio
A/Gberdasarkan BCS
Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan bangsa
Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan umur
Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan BCS
4
14
15
16
17
18
19
20
23
24
25
27
28
DAFTAR GAMBAR
1 Metabolisme protein pada sapi
2 Hubungan antara BUN/MUN dengan reproduksi pada sapi
perah
3 Metabolisme kreatinin
Penentuan BCS pada sapi
6
7
7
12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Profil metabolik sapi pejantan bibit berdasarkan bangsa sapi
2 Profil metabolik sapi pejantan berdasarkan umur sapi
3 Profil metabolik sapi pejantan berdasarkan BCS sapi
42
43
44
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manfaat inseminasi buatan (IB) dalam upaya meningkatkan populasi,
produksi dan produktivitas ternak telah diketahui secara luas. Berdasarkan data
tahun 2012 kebutuhan semen beku sapi nasional untuk pelaksanaan kegiatan IB
mencapai 4,2 juta dosis pertahun., sedangkan produksi semen beku pada tahun
yang sama mencapai 4,96 juta dosis per tahun. Sekitar 94% semen beku berasal
dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) nasional di Lembang dan Singosari, dan
sebanyak 6% berasal dari BIB Daerah. Populasi sapi pejantan unggul penghasil
semen beku mencapai 531 ekor, sebagian besar berada di BIB nasional
(KEMENTAN 2012).
Sapi pejantan unggul adalah pejantan sapi yang sudah diseleksi berdasarkan
standar bibit yang berlaku yaitu garis keturunan (pedigree/silsilah), dan
kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny) (BSN 2005). Tahun
2011, Indonesia masih mendatangkan sapi pejantan unggul dari Australia, karena
jarak yang dekat dan Australia merupakan negara bebas Penyakit Mulut dan
Kuku. Tahun 2012, populasi sapi pejantan unggul yang ada telah dapat
mencukupi kebutuhan semen beku nasional, sehingga pemerintah menghentikan
impor sapi pejantan unggul dan mencanangkan program swasembada sapi
pejantan unggul pada tahun 2013. Kebutuhan sapi pejantan unggul selanjutnya
dipenuhi dari enam Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) (KEMENTAN
2012).
Sapi pejantan sebagai sumber semen beku harus memenuhi berbagai standar
bibit yang berlaku (BSN 2005) yaitu standar umum, standar khusus, standar
reproduksi dan standar kesehatan (DEPTAN 2008). Selain itu, sapi pejantan harus
berada dalam kondisi prima dan layak tampung (BIBL 2010). Status kesehatan
dan kualitas semen dipengaruhi manajemen pemeliharaan dan manajemen pakan,
dimana kedua hal tersebut dapat mempengaruhi performa fisik, fisiologis dan
reproduksi sapi pejantan (Cumming 2007).
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) adalah serangkaian uji
analisa darah spesifik, yang sangat berguna sebagai indikator bahwa mekanisme
homeostase tubuh berfungsi menjaga parameter darah tetap berada dalam range
fisiologis (Gross et al. 2011). Uji tersebut dapat digunakan untuk memeriksa
status nutrisi dan metabolik ternak secara individu maupun kelompok. Metabolic
Profile Test pertama kali dilakukan di Compton, Inggris pada dekade 70-an. Sejak
saat itu berbagai peralatan uji otomatis dan kit enzim untuk pemeriksaan
kandungan serum maupun darah di produksi dan digunakan secara luas di
berbagai tempat (Payne dan Payne 1987; Nozad et al. 2012). Pemeriksaan serum
mempunyai nilai lebih apabila digunakan secara tepat dalam proses membantu
menegakkan diagnosa atau menjadi bagian dalam program monitoring penyakit
metabolik (Lager dan Jordan 2012).
Penggunaan biokimia klinis dalam kedokteran hewan sangat sering
dilakukan untuk kepentingan diagnosa dan pengobatan suatu penyakit (Nozad et
al. 2012; Lager dan Jordan 2012). Beberapa uji biokimia darah dan cairan tubuh
lainnya pada hewan ternak dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme
2
terjadinya penyimpangan, memberikan gambaran kondisi kesehatan, status
metabolik dan membantu menegakkan diagnosa, sehingga dapat diberikan
penanganan yang sesuai (Stojevic et al. 2008).
Mohamed et al. (2004) dan Oetzel (2004) menyatakan bahwa analisis
metabolit darah apabila dihubungkan dengan monitoring kesehatan dan nutrisi
dapat mengungkap adanya gangguan yang bersifat subklinis dan dapat membantu
menemukan kausanya. Uji ini dalam perkembangannya menunjukkan adanya
variasi komposisi kimia darah yang signifikan antar spesies, bangsa, jenis kelamin
dalam satu bangsa ternak (Stojevic et al. 2008; Balicki et al. 2007), umur (Addas
et al. 2012; Balicki et al. 2007), status reproduksi, stres, transportasi (Balicki et al.
2007), dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti asal hewan,
manajemen, geografis, tahap perkembangan hewan (Ali 2008) dan iklim (Ali
2008; Lager dan Jordan 2012).
Sapi pejantan merupakan aset berharga dengan biaya pengadaan dan
pemeliharaan yang tidak sedikit, sehingga pemeriksaan biokimia darah pada sapi
pejantan menjadi penting dilakukan untuk evaluasi status nutrisi dan metabolik.
Apabila ditemukan adanya penyimpangan terhadap nilai parameter kimia darah
dapat dilakukan perbaikan dan tindakan preventif agar tidak muncul gangguan
lebih lanjut, sehingga kerugian materiil akibat tidak tertampungnya semen
pejantan dapat dihindari. Referensi standar parameter kimia darah sangat
diperlukan sebagai acuan pemeriksaan biokimia darah. Namun demikian, hingga
saat ini informasi tentang referensi standar khusus untuk sapi pejantan bibit masih
sangat terbatas.
Kerangka Pemikiran
Sapi pejantan yang mampu menghasilkan semen berkualitas adalah sapi
yang berada dalan kondisi prima. Setelah lolos persyaratan seleksi awal,
manajemen pemeliharaan memegang peranan penting dalam menjaga kondisi sapi
pejantan agar tetap fit dan layak tampung. Kekurangan atau kelebihan dalam
manajemen pakan dapat memberikan dampak buruk pada vitalitas sapi pejantan.
Pakan harus diberikan dalam kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai dengan
kebutuhan dan aktivitas sapi pejantan. Pemberian pakan yang berlebihan dapat
mengakibatkan obesitas yang mengurangi vitalitas dan libido. Selain itu dapat
mengakibatkan munculnya gangguan metabolik.
Uji profil metabolik dapat digunakan untuk evaluasi status metabolik sapi
pejantan dalam satu kelompok ternak dengan manajemen pemeliharaan dan pakan
yang sama. Sampel yang kerap digunakan pada uji profil metabolik adalah darah.
Darah mempunyai fungsi sebagai sistem transpor dalam tubuh mahluk hidup dan
beredar ke seluruh tubuh. Darah mengandung berbagai elemen dan konstituen
yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai status fisiologis,
metabolisme dan homeostatis yang sedang berlangsung di dalam tubuh. Beberapa
elemen selain berpengaruh terhadap kesehatan, dapat berpengaruh pula terhadap
performa reproduksi terutama kualitas semen dan produksi semen beku. Melalui
berbagai jenis analisa, level elemen dan konstituen darah tersebut dapat diketahui.
Hasil analisa dapat digunakan sebagai tolok ukur status metabolik dan status
kesehatan sapi pejantan. Beberapa gangguan yang bersifat subklinis, dapat
3
dideteksi lebih awal dengan analisis darah. Analisis darah dilakukan untuk
mendukung penegakan diagnosa.
Kajian profil metabolik pada sapi perah, sapi potong, kambing dan domba
telah banyak dilakukan. Kajian tersebut pada sapi pejantan bibit yang digunakan
sebagai bibit penghasil semen beku di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari profil metabolik sapi
pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah berdasarkan
bangsa, umur dan Body Condition Score (BCS) dan menentukan data dasar
beberapa parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase
(AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen (BUN),
kreatinin protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin (rasio A/G),
mineral kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mempelajari profil metabolik sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa
parameter kimia darah berdasarkan bangsa, umur dan BCS.
2. Menentukan data dasar beberapa parameter kimia darah, yang meliputi
Aspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT),
Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin, globulin, rasio
albumin globulin (rasio A/G), dan mineral kalsium (Ca), fosfor (P) dan
magnesium (Mg).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar
parameter kimia darah sapi pejantan bibit di Indonesia.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi pejantan
Sapi pejantan unggul adalah pejantan sapi yang telah diseleksi berdasarkan
standar bibit yang berlaku yaitu garis keturunan (pedigree/silsilah), dan
kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny) (BSN 2005).
Standar bibit yang dimaksud adalah standar bibit sesuai Peraturan Menteri
Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong. Sapi yang
digunakan sebagai bibit adalah sapi yang memenuhi standar umum, standar
khusus, standar reproduksi dan standar kesehatan (DEPTAN 2008). Tata cara
pemeliharaan sapi pejantan mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor
54/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang
baik (Good Breeding Practice) (DEPTAN 2006). Hingga tahun 2012 populasi
sapi pejantan unggul di Indonesia mencapai 531 ekor dan sebagian besar berada di
BIB Nasional (KEMENTAN, 2012).
4
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT)
Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) adalah serangkaian uji
analisa darah spesifik, yang sangat berguna sebagai indikator bahwa mekanisme
homeostase tubuh berfungsi menjaga parameter darah tetap berada dalam range
fisiologis pada kondisi pakan dan pemeliharaan yang berbeda (Gross et al. 2011).
Pengukuran parameter metabolik, bersama dengan monitoring nutrisi dan status
kesehatan dalam satu kelompok ternak, dapat mengidentifikasi adanya gangguan
sub klinis dan mengindikasikan penyebabnya. Bila aplikasi profil metabolik
direncanakan dengan benar dan dilakukan bersamaan dengan pengukuran BCS
(Body Condition Score), dan kontrol manajemen pemeliharaan dan pakan, dapat
digunakan sebagai alat diagnosa yang valid untuk pengujian kesehatan kelompok
ternak (Reist et al. 2002; Kida 2002).
Uji profil metabolik juga memiliki manfaat besar untuk identifikasi dini
terhadap adanya gangguan metabolisme energi pada sapi (Prodanovic et al. 2012).
Penggunaan profil metabolik untuk menilai gizi dan status kesehatan sapi telah
digunakan secara luas (Doornenbal et al. 1988 dan Grunwaldt et al. 2005).
Konsentrasi metabolit dalam darah menggambarkan indeks kecukupan pasokan
gizi yang terkait dengan pemanfaatan nutrisi pada ternak (Chester-Jones et al.
1990) dan memberikan indikasi langsung status nutrisi ternak pada waktu tertentu
(Pambu-Gollah et al. 2000).
Fertilitas pejantan merupakan fitur yang kompleks, terdiri dari berbagai
proses fisiologis pada tahap pertumbuhan dan perkembangan sistem reproduksi
dari lahir hingga dewasa, spermatogenesis, ejakulasi dan perilaku kawin
(termasuk libido dan koitus) (Cupps 1991). Menurut Marzec-Wroblewska et al.
(2012), kualitas semen bervariasi secara kualitatif dan kuantitatif antar umur,
status kesehatan, aktifitas seksual dan pakan.
Tabel 1. Referensi standar parameter kimia darah pada sapi
Parameter
Satuan
Nilai normal
AST *
Unit/L
78-132
GGT*
Unit/L
6,1-17,4
BUN*
mg/dL
6,0-27,0
Kreatinin*
mg/dL
1,0-2,0
Total Protein*
g/dL
5,7-8,1
Albumin*
g/dL
2,1-3,6
Globulin*
g/dL
2,9-4,9
Rasio A/G**
0,84-0,94
Ca*
mg/dL
9,7-12,4
P*
mg/dL
5,6-6,5
Mg*
mg/dL
1,8-2,3
*) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007)
**) Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)
Penilaian status nutrisi menggunakan profil metabolik memiliki akurasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian menggunakan bobot tubuh atau
skor kondisi tubuh saja. Konsentrasi metabolit serum seperti Aspartate
Aminotransferase (AST), Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea
5
Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, globulin dan mineral umum
digunakan untuk menilai status nutrisi dan kesehatan ternak (Grunwaldt et al.
2005 dan Ndlovu et al. 2007). Referensi standar masing-masing parameter kimia
darah untuk sapi potong dan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Aspartate Aminotransferase (AST)
Aspartate aminotransferase (AST) merupakan enzim yang terdapat di
berbagai jaringan, terutama hati, otot lurik dan otot jantung. Peningkatan aktivitas
AST dapat menjadi penanda yang baik adanya kerusakan jaringan lunak (Otto et
al. 2000). Berbagai kondisi yang mengakibatkan peningkatan aktifitas creatine
kinase (CK) juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas AST (Abutarbush
dan Radostits 2003). Aspartate aminotransferasedalam darah dapat dipengaruhi
musim dan variasi fisiologis (Yokus dan Cakir 2006) dan (Ndlovu et al. 2007),
dimana pada sapi yang sehat, aktivitas enzim ini dalam serum rendah atau tidak
ada (Ndlovu et al. 2007).
Aspartate aminotransferase, Alanine aminotransferase (ALT) dan Gamma
Glutamyl Transpeptidase (GGT) sering digunakan sebagai indikator bila dicurigai
adanya penyakit hati akut atau kronis (Stojevic et al. 2005). Namun demikian,
tidak seperti AST, sel hati pada ruminansia tidak menunjukkan aktivitas ALT
yang tinggi, dan peningkatan aktivitas enzim ini pada kerusakan hati atau nekrosis
hati tidak signifikan (Stojevic et al. 2005). Dokovic et al. (2013) melaporkan
adanya korelasi positif antara aktivitas AST dan mobilisasi lemak (yang ditandai
dengan tingginya konsentrasi Non Esterified Fatty Acid/NEFA dalam darah) pada
awal masa laktasi pada sapi perah. Menurut Lupi et al. (2005) dan Mori (2007),
pemberian pakan yang didominasi konsentrat pada penggemukan intensif
menginduksi terjadinya asidosis ringan dan mengakibatkan kerusakan ringan sel
parenkhim hati (gangguan integritas fisiologis dan morfologis). Kerusakan sel hati
yang diinduksi oleh keadaan asidosis dapat meningkatkan aktivitas AST dan GGT
(Mori 2007).
Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT)
Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) adalah enzim yang ditemukan
terutama di hati dan ginjal, dan dalam jumlah yang rendah ditemukan dalam
limpa, kelenjar prostat dan otot jantung (Kataria et al. 2012). Nilai normal GGT
dalam serum bervariasi antar jenis kelamin, umur (Kataria et al. 2012) dan bangsa
(Davoudi 2013).
Aktivitas GGT sering digunakan sebagai indikator adanya proliferasi epitel
saluran empedu, gangguan kolestasis (Stojevic et al. 2005; Davoudi 2013), sirosis
hati, hepatopati kronis dan toksik (Krammer dan Hoffmann 1997), fascioliasis
(Molina et al. 2006), gangguan metabolik dan ketosis (Rico et al. 1977).
Aktifitasnya relatif tinggi pada hati sapi, kuda, domba dan kambing (Stojevic et
al.2005). Kebanyakan penyakit hepatoseluler dan hepatobilier akan meningkatkan
aktivitas GGT dalam serum dan aktivitasnya akan tetap meningkat selama
kerusakan sel berlangsung (Davoudi 2013)
Menurut Kataria et al. (2012) peningkatan aktivitas GGT dalam serum dapat
digunakan sebagai indikator adanya keracunan urea dan asidosis. Adanya
peningkatan aktivitas AST, disertai dengan peningkatan aktivitas GGT dapat pula
6
digunakan sebagai deteksi awal keracunan tembaga (Cu) sebelum muncul gejala
klinis (Minervino et al. 2008). Aktivitas GGT merupakan salah satu parameter
penting untuk pemantauan kesehatan (Payne dan Payne 1987; Stojevic et al. 2002
dan Kida 2003). Kataria et al. (2012) melaporkan bahwa aktivitas GGT pada
kambing Marwari yang terinfeksi parasit gastrointestinal meningkat 388.99%
lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas GGT pada kambing Marwari yang
sehat.
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea diproduksi di hati dari ammonium dan bikarbonat. Memiliki berat
molekul 60 dalton dan merupakan sarana utama ekskresi nitrogen pada hewan
(Meuten 2012). Konsentrasi urea nitrogen dalam darah dipengaruhi oleh berbagai
parameter yang saling terkait yaitu asupan protein, asupan karbohidrat,
kemampuan degradasi rumen, komposisi diet asam amino, fungsi hati, fungsi
ginjal, dan kerusakan jaringan otot (Van Saun 2000). Menurut Hammond (1998)
dan Wattiaux (1998),ketikaenergiyang dibutuhkan untuk fermentasikurangatau
ketikaprotein kasardalam dietberlebihan, tidak semuaamoniayang diproduksi
didalam rumendapat dikonversi menjadiproteinmikroba. Amonia rumen yang
tidak digunakan ini akan memasuki sirkulasi portal melalui dinding rumen dan
dibawa menuju hati untuk didetoksikasi dengan diubah menjadi urea (Gambar 1)
(Hammond 1998, Wattiaux 1998). Selanjutnya, melalui sirkulasi dalam darah,
urea menuju ginjal untuk diekskresikan atau terdifusi dari darah ke dalam rumen,
saliva, atau susu (pada hewan betina menyusui) (Wattiaux 1998; Hammond 1998;
Fettman dan Rebar 2005).
Gambar 1Metabolisme protein pada sapi (Wattiaux 1998)
Konsentrasi BUN merupakan indikator yang sensitif dari keseimbangan
antara jumlah dengan ketersediaan protein kasar tercerna dan energi yang
dihasilkan (Keaney et al. 2003) dan BUN membantu mengukur efisiensi
pemanfaatan protein (Kohn et al. 2002). Konsentrasi urea yang tinggi dalam darah
dapat menekan sistem imun, menurunkan pH uterus, menurunkan produksi
7
hormon prostaglandin, mempengaruhi aksis hipofisis-pituitari-indung telur
(National Research Council 2001; Roy et al. 2011), memiliki efek toksik pada
sperma, sel telur dan embrio dan mengakibatkan penurunan fertilitas (Gambar 2)
(National Research Council 2001; Roy et al. 2011 dan Bindari et al. 2013).
Gambar 2 Hubungan antara BUN/MUN (Milk Urea Nitrogen) dengan reproduksi
pada sapi perah (Roy et al. 2011)
Kreatinin
Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin(Finco 1997). Kreatin
sebagian besar dijumpai di otot rangka, tempat dimana kreatinin terlibat dalam
penyimpanan energi sebagai kreatinfosfat. Kreatin fosfat diubah menjadi kreatin
dengan katalisasi enzim kreatin kinasepada sintesis ATP dari ADP. Reaksi ini
berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatinfosfat
(Gambar 3) (Wyss dan Kaddurah-Daouk 2000).
Gambar 3 Metabolisme kreatinin (Wyss dan Kaddurah-Daouk 2000)
8
Banyaknya kreatinin yang diproduksi setiap hari relatif konstan dan tidak
dipengaruhi oleh faktor ekstrarenal, seperti urea. Sekali kreatinin terbentuk, akan
dibuang dari tubuh hampir seluruhnya oleh ekskresi ginjal melalui filtrasi
glomerulus (Fettman dan Rebar 2005).
Konsentrasi BUN dan kreatinin merupakan parameter yang sangat sensitif
untuk menggambarkan fungsi ginjal (Scholz 2005; Van Saun 2000). Urea dan
kreatinin merupakan hasil metabolisme protein yang pembuangannya diatur oleh
ginjal melalui filtrasi glomerulus. Adanya kerusakan pada sel glomerulus akan
menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun sehingga urea dan kreatinin akan
menumpuk dalam plasma (Kaneko 1997). Menurut Otto et al. (2000), Miller et al.
(2004) dan Hammond (2006), konsentrasi kreatinin di dalam serum dipengaruhi
oleh diet, bangsa, massa otot dan jenis kelamin. Individu dengan massa otot tinggi
dapat memiliki konsentrasi kreatinin yang normal tinggi, demikian pula
sebaliknya (Baxman et al. 2008).
Peningkatan konsentrasi kreatinin dalam sirkulasi darah dapat disebabkan
oleh adanya kerusakan ginjal terutama akibat gangguan filtrasi glomerulus,
nekrosis tubulus akut, dehidrasi, dan gagal ginjal, sedangkan penurunan
konsentrasi kreatinin dapat diakibatkan oleh distrofi otot dan pada keadaan
myastenia gravis (Scholz 2005).
Protein Total
Hati mensintesis dan melepaskan lebih dari 90% protein plasma (Martini et
al. 1992). Menurut Kaneko (1997), terdapat tiga fraksi utama protein dalam
darah, yaitu albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin, fibrinogen, dan globulin
(50-80% globulin) disintesis di organ hati, sedangkan sisa globulin lainnya
dibentuk di jaringan limfoid. Secara fisiologis, konsentrasi protein total serum
dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, hormonal, jenis kelamin, kebuntingan,
laktasi, nutrisi, stres dan kehilangan cairan (Kaneko 1997). Menurut Stojevic et al.
(2008), massa tubuh dan anabolisme hormon testosteron memiliki peran yang
cukup besar dalam metabolisme protein dan mempengaruhi konsentrasi protein
total dalam darah pada pejantan.
Peningkatan atau penurunan konsentrasi protein total dianggap sebagai
suatu abnormalitas secara laboratoris. Peningkatan atau penurunannya di dalam
sirkulasi darah dipengaruhi oleh konsentrasi albumin, globulin atau keduanya
(Lassen 2005). Menurut Kaneko (1997), penentuan konsentrasi protein total
serum dapat digunakan sebagai alat bantu diagnostik yang penting dalam
biokimia klinis. Proteinogram merupakan uji tambahan yang penting, membantu
untuk biokimia klinis, dan merupakan salah satu metode yang paling dapat
diandalkan untuk identifikasi protein darah (Franca et al. 2011). Bersama dengan
albumin dan urea, penentuan konsentrasi protein total dianggap sebagai indikator
langsung metabolisme protein pada mahluk hidup (Gowinska dan Oler 2013).
Peningkatan konsentrasi protein total dalam darah dapat disebabkan oleh
infeksi kronis, hipofungsi kelenjar adrenal, kegagalan fungsi hati, penyakit
kolagen pada pembuluh darah, hipersensitif (alergi), dehidrasi, penyakit saluran
pernafasan (sesak nafas), hemolisis dan leukemia (Kaslow 2010). Konsentrasi
protein total dan nilai hematokrit meningkat pada kasus dehidrasi, diikuti dengan
peningkatan konsentrasi albumin dan globulin (Jackson 2007). Penurunan
konsentrasi protein total disebabkan oleh malnutrisi dan malabsorbsi, penyakit
9
hati, diare kronis maupun akut, terbakar, ketidakseimbangan hormon, penyakit
ginjal (proteinuria), rendahnya konsentrasi albumin, rendahnya konsentrasi
globulin dan kebuntingan (Kaslow 2010).
Albumin
Albumin memiliki ukuran molekul terkecil, dan konsentrasi molekul
albumin di dalam darah lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi molekul
globulin (Kaneko 1997). Albumin disintesis oleh hati, memasuki darah, dan
dikatabolisasi oleh sebagian besar jaringan (Allison 2012; Tennant dan Center
2008).
Faktor utama yang mempengaruhi sintesis albumin adalah asupan pakan
yang mengandung protein, tekanan osmotik koloid, aksi hormon tertentu
(misalnya; hormon tiroid dan hormon glukokortikoid), dan kejadian penyakit
(Busher 1990). Peningkatan konsentrasi albumin di dalam darah umumnya
disebabkan oleh naik-turunnya volume darah (Jackson 2007). Menurut Busher
(1990) hati meningkatkan sintesis albumin sebagai respon terhadap adanya
peningkatan ketersediaan asam amino dari pakan yang mengandung protein.
Penurunan konsentrasi albumin dalam darah tidah hanya disebabkan oleh
penurunan sistesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi
sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ke ekstravaskuler dan asupan protein
(Ballmer 2001). Menurut Kaslow (2010) konsentrasi albumin dapat mengalami
penurunan pada dehidrasi kronis, penyakit hipotiroid, malnutrisi (defisiensi
protein), polidipsi, gejala kerusakan ginjal, protein loosing enterophaty, terbakar,
kegagalan fungsi hati dan ketidakcukupan hormon anabolik (hormon
pertumbuhan).
Globulin
Globulin adalah kelompok protein dengan ukuran molekul yang besar tetapi
bervariasi (Kaneko 1997). Sebagian besar globulin disintesis di hati, kecuali
imunoglobulin yang diproduksi di jaringan limfoid (Allison 2012). Globulin
meliputi berbagai jenis molekul antibodi dan protein lain yang aktif dalam sistem
kekebalan tubuh (misalnya, komplemen), faktor pembekuan, berbagai jenis
enzim, berbagai protein yang membawa lipid, vitamin, hormon, hemoglobin
ekstraseluler, dan ion logam (misalnya, besi dan tembaga) (Kaneko 1997).
Menurut Kaslow (2010), globulin juga berguna untuk sirkulasi ion, hormon dan
asam lemak. Globulin diklasifikasikan sebagai α, β, dan γ, atas dasar mobilitas
elektroforesisnya (Allison 2012). Fungsi globulin berdasarkan klasifikasi tersebut
diantaranya adalah mengikat hemoglobin (haptoglobin), mengikat hormon
thyroid, kolesterol dan zat besi (α dan β globulin), melawan infeksi (γ globulin),
dan bertindak sebagai faktor koagulasi (β globulin) (Kaneko 1997).
Konsentrasi globulin dalam darah dapat meningkat akibat infeksi kronis
(parasit, bakteri, virus), penyakit hati (sirosis, penyumbatan saluran empedu),
sindrom karsinoid, radang sendi atau reumatik, ulkus pada kolon, myeloma dan
leukemia, penyakit autoimun dan gagal ginjal. Penurunan konsentrasi globulin
dapat disebabkan oleh nephrosis, defisiensi alpha-1 globulin, anemia hemolitika
akut, kegagalan fungsi hati dan hipo-gammaglobulinemia (Kaslow 2010).
10
Rasio Albumin Globulin (Rasio A/G)
Rasio A/G, salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui
fungsi hati, merupakan perhitungan terhadap distribusi fraksi dua protein, yaitu
albumin dan globulin (Busher 1990). Peningkatan rasio A/G dapat menjadi
indikasi bahwa produksi imunoglobulin dibawah normal. Kondisi ini dapat terjadi
akibat gangguan genetik, hipotiroidisme, diet tinggi protein atau karbohidrat,
kelebihan hormon glukokortikoid, konsentrasi globulin yang rendah dan leukemia
(Kaslow 2010). Penurunan rasio A/G dapat mengindikasikan adanya overproduksi
globulin pada penyakit myeloma, beberapa penyakit autoimun, produksi albumin
dibawah normal pada kasus sirosis hati dan sindrom nefrotik (Jackson 2007;
Kaslow 2010).
Kalsium (Ca)
Kalsium (Ca) merupakan mineral penting dalam mempertahankan
homeostasis dalam tubuh organisme, dan dibutuhkan pada berbagai proses
fisiologis sebagai regulator sel, termasuk spermatozoa (Kaplan et al. 2002;
Eghbali et al. 2010). Peranan kalsium meliputi kontraksi otot, pembekuan darah,
beberapa aktivitas enzim, rangsangan saraf dan sekresi hormon. Kalsium, bersama
fosfor anorganik, berbagi fungsi yang sangat penting dalam pertumbuhan organ,
terutama tulang, dan sangat penting dalam produksi susu (Stojevic et al. 2002).
Kalsium banyak hilang selama periode menyusui. Selain dalam susu,
kalsium juga hilang melalui proses urinasi terutama pada hewan monogastrik
(Payne dan Payne 1987). Kalsium berperan penting pada sistem transpor ion pada
membran plasma hingga terjadinya fertilisasi (Publicover et al. 2007; Yeung and
Cooper 2008). Kalsium berperan pula dalam menginisiasi pembelahan rantai
samping kolesterol pada proses steroidogenesis (Cupps 1991; Eghbali et al. 2010).
Konsentrasi kalsium di dalam darah berada di bawah kendali hormon paratiroid
dan kalsitonin (Kaneko 1997; Baker dan Worthley 2002). Perubahan konsentrasi
mineral ini dalam darah dapat dikaitkan dengan adanya perubahan metabolisme
dan nutrisi (Stojevic et al. 2002).
Peningkatan konsentrasi kalsium di dalam darah dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan pelepasan kalsium dari tulang, ekskresi kalsium oleh ginjal
dan absorbsi kalsium dari saluran pencernaan (Kaneko 1997; Ziegler 2001).
Menurut Kaneko (1997); Ziegler (2001) dan Assadi (2009) kondisi patologis yang
dapat meningkatkan konsentrasi kalsium (hiperkalsemia) di dalam darah antara
lain; sekresi hormon paratiroid yang berlebihan, absorpsi kalsium yang berlebihan
akibat peningkatan vitamin D atau metabolitnya, resorbsi tulang yang berlebihan
akibat lesi lokal pada tulang atau stimulasi abnormal resorbsi osteoklas tulang,
dan penurunan ekskresi kalsium di ginjal. Penurunan konsentrasi kalsium dapat
terjadi pada kondisi penuaan, defisiensi vitamin D, hipotiroidisme primer,
hiperparatiroidisme renal sekunder, kebuntingan dan laktasi, dan exercise yang
berlebihan (Hanif et al. 1990; Moissan 1994; Kaneko 1997)
Fosfor (P)
Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1% dari
berat badan dan salah satu mineral penting dalam nutrisi ternak. Sebanyak 80%
11
fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari
kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut, selebihnya
berada di cairan tubuh dan jaringan. Hidroksipatit memberi kekuatan dan
kekakuan pada tulang, Fosfor memegang peranan metabolik yang penting dan
memiliki fungsi fisiologis yang cukup besar dibandingkan dengan mineral lain
(Marzec-Wroblewska et al. 2012). Secara umum, fosfor memiliki peran utama
dalam pemeliharaan tekanan osmotik, kapasitas buffer dan keseimbangan asambasa. Fosfor juga merupakan komponen dari sejumlah besar koenzim. Unsur ini
merupakan bagian dari struktur asam nukleat, yang membawa informasi genetik,
mengatur biosintesis protein dan imunitas (Marzec-Wroblewska et al. 2012).
Konsentrasi fosfor di dalam darah berada di bawah kendali hormon
paratiroid dan kalsitonin (Kaneko 1997; Baker dan Worthley 2002; Fukumoto
2014). Menurut Kaneko (1997) penyebab utama peningkatan konsentrasi fosfor
dalam darah (hiperfosfatemia) adalah lisisnya sel dalam jumlah besar sebagai
akibat dari kemoterapi, rhabdomiolisis dan hemolisis, intoksikasi vitamin D, gagal
ginjal kronis, hipoparatiroidisme, hipersomatotropisme dan hipertiroidisme.
Penurunan konsentrasi fosfor dalam darah (hipofosfatemia) dapat disebabkan oleh
alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, pelepasan katekolamin, dan terapi
insulin (Kaneko 1997). Menurut Kaneko (1997); Baker dan Worthley (2002); dan
Fukumoto (2014) penurunan tersebut dapat juga disebabkan oleh penurunan
kapasitas reabsorpsi ginjal dengan hiperparatiroidisme primer atau gangguan
tubulus renalis, penurunan absorpsi di usus pada defisiensi vitamin D dan
osteomalasia onkogenik.
Magnesium
Magnesium merupakan mineral penting yang terlibat dalam pemeliharaan
potensi listrik pada ujung-ujung syaraf, menjaga fungsi otot, sebagai kofaktor
enzim dan merupakan unsur penyusun tulang (Blair 2011). Magnesium diserap di
saluran pencernaan dan diekskresikan oleh ginjal (Baker 2002). Ginjal memegang
peranan penting dalam homeostasis magnesium dengan kontrol pada reabsorpsi di
tubulus (Kaneko 1997). Kerr (2002) melaporkan bahwa hipermagnesemia
merupakan kasus yang sangat jarang terjadi pada ruminansia. Namun demikian
menurut Kaneko (1997), kejadian hipermagnesemia dapat terjadi secara sekunder
sebagai akibat adanya penurunan filtrasi glomerulus atau pada gagal ginjal kronis,
terutama apabila terdapat kelebihan asupan magnesium.
Stojevic et al. (2003) melaporkan bahwa hipomagnesemia merupakan kasus
yang sering terjadi pada sapi, dan berkaitan dengan diet rendah magnesium.
Kebuntingan dan laktasi sering dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
hipomagnesemia akibat peningkatan kebutuhan magnesium (Kaneko 1997). Stres
pada saat pengambilan sampel darah dapat juga mengakibatkan penurunan
konsentrasi magnesium, terutama pada hewan yang memiliki konsentrasi
magnesium mendekati ambang hipomagnesemia (Payne dan Payne 1987).
12
3 MATERI DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Pengambilan sampel darah sapi pejantan bibit dilaksanakan di Balai
Inseminasi Buatan Lembang. Pemeriksaan biokimia darah dilaksanakan di
Laboratorium Patologi Klinik, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut
Pertanian Bogor.
Materi
Sebanyak 160 ekor sapi pejantan bibit terdiri dari bangsa Friesian Holstein/
FH (16 ekor), Limousin (62 ekor), Simmental (63 ekor), Brahman (12 ekor) dan
Ongole (7 ekor) yang sehat secara klinis, umur 3-8 tahun dan BCS 3-5 digunakan
dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan berdasarkan bangsa, umur dan BCS.
Sapi pejantan di pelihara secara individual, dengan komposisi ransum
perhari seragam berupa hay rumput Afrika ±1 kg, konsentrat ± 4 kg, Feedmix®
15 g, Se 7 g, dan rumput Gajah ± 50 kg (BIBL 2010). Air minum disediakan
secara ad libitum.
Metode
Pemeriksaan Kesehatan
Pemeriksaan klinis kesehatan sapi pejantan dilakukan oleh Dokter Hewan
Balai Inseminasi Buatan Lembang. Sesuai Form Sistem Manajemen Mutu ISO
9008/2001 Bagian F-07/BIBL/01/Medik Veteriner Log Sheet Kondisi Perawatan
Kesehatan Ternak Harian.
Penentuan Body Condition Score (BCS)
Gambar 4 Penentuan BCS pada sapi (Edmonson et al. 1989)
Pengambilan data untuk menentukan nilai BCS dilakukan dengan metode
Edmonson et al. (1989). Metode ini didasarkan pada evaluasi dan perabaan
timbunan lemak dengan fitur kerangka tubuh sapi seperti ditunjukkan pada
13
Gambar 1. Evaluasi dilakukan pada 8 titik pengamatan, yaitu (1) tonjolan tegak
tulang belakang (processus spinosus), (2) antara tonjolan tegak dengan tonjolan
datar tulang belakang (processus spinosus ke processus transversus), (3) tonjolan
datar tulang belakang (processus transversus), (4) legok lapar (flank), (5) tonjolan
tulang pinggul depan (tuber coxae) dan belakang (tuber ishcii), (6) daerah antara
tonjolan tulang pinggul depan–belakang (tuber coxae-tuber ischii), (7) daerah
antara tonjolan tulang pinggul depan kiri dengan depan kanan (tuber coxae kanan
dan kiri), dan (8) daerah antara tulang ekor (vertebrae coccygea) dengan tonjolan
tulang pinggul belakang (tuber ischii). Hasil pengamatan berupa skor 1-5 (skor 1
= sangat kurus, skor 3 = sedang, skor 5 = sangat gemuk).
Koleksi, Preparasi dan Analisis Sampel Darah
Sapi pejantan ditempatkan dalam kandang jepit atau bull crush. Sampel
darah diambil dari vena coccygea menggunakan jarum nomor 18-G. Sampel
darah yang diperoleh segera dimasukkan ke dalam tabung vacutainer tanpa
antikoagulan yang sudah diberi label kode sampel. Sampel kemudian disimpan
pada suhu ruang (25o C) selama 1-2 jam supaya membeku sempurna. Serum yang
terbentuk dipisahkan dari clot (bekuan darah) dan disimpan dalam tabung mikro,
ditutup rapat dan diberi identitas. Sampel dikemas sesuai standar dan dikirim ke
laboratorium untuk dianalisis.
Sampel darah dianalisis terhadap parameter kimia dasar yang meliputi
aktivitasAspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase
(GGT), konsentrasiBlood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin,
kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Analisis dilakukandengan prinsip
fotometer (Photometer 5010®) menggunakan kit komersial. Konsentrasi globulin
diperoleh dari pengurangan antara konsentrasi protein total dengan konsentrasi
albumin. Setelah diperoleh konsentrasi globulin, dihitung pula rasio albumin
terhadap globulin (rasio A/G).
Analisis Data
Data diuji secara statistik menggunakan metode analisis model linier untuk
mengetahui pengaruh bangsa, umur dan BCS terhadap parameter kimia darah,
dilanjutkan dengan uji Duncans. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excell
dan software Minitab® versi 16.Data disajikan dalam bentuk rerata dan standar
deviasinya.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan GammaGlutamylTranspeptidase (GGT)
Berdasarkan Bangsa
Hasil analisis statistik, memperlihatkan bahwa pada penelitian ini bangsa
sapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rerata aktivitas AST maupun
GGT. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kucera dan Chladek (2004) pada sapi
potong. Namun demikian, hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
Mapiye et al. (2010a)dimana bangsa mempengaruhi aktivitas enzim
14
aminotransferase pada sapi lokal Nguni dan sapi persilangan lokal (local
crossbreed) di Afrika. Sapi persilangan menunjukkan aktivitas AST yang lebih
rendah dibandingkan dengan sapi lokal Nguni.
Tabel 2 Aktivitas AST dan GGT berdasarkan bangsa
Parameter
Bangsa
AST (U/L)
GGT (U/L)
a
FH (n=16)
86.88±20.27
18.87± 4.01a
Limousin (n=62)
88.34±21.79a
17.62± 4.19a
a
Simmental (n=63)
81.27±15.95
18.88± 4.37a
Brahman (n=12)
76.48±17.54a
18.84± 3.27a
a
Ongole (n=7)
80.36±25.79
19.17± 3.81a
Referensi standar *)
78-132
6.1-17.4
Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata (P>0.05); *) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al.
2007)
Davoudi (2013) melaporkan adanya pengaruh umur, bangsa dan jenis
kelamin terhadap aktivitas enzim hati pada kambing. Peningkatan aktivitas enzim
hati merupakan indikasi adanya penurunan fungsi hati, gangguan, penyakit atau
kegagalan fungsi hati oleh berbagai sebab (Davoudi 2013). Aktivitas enzim-enzim
yang terkait dengan metabolisme energi merupakan parameter biokimia yang
penting untuk memprediksi derajat kerusakan organ-organ parenkim (Dokovic et
al. 2013). Menurut Dokovic et al.(2010) peningkatan aktivitas dan beban
metabolik organ-organ pencernaan dan kejadian asidosis ringan pada sapi yang
digemukkan, dapat mengakibatkan kerusakan ringan sel parenkhim hati.
Kerusakan sel parenkhim hati akibat induksi asidosis yang berlangsung terus
menerus dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas AST dan GGT pada serum
sapi yang digemukkan (Mori 2007). Disisi lain, kejadian lipolisis/ketogenesis juga
dapat meningkatkan konsentrasi AST akibat rusaknya hepatosit oleh hadirnya
badan keton (Cincovic et al. 2012). Dokovic et al. (2013) melaporkan bahwa
terdapat korelasi positif antara aktivitas AST dengan mobilisasi lemak
(konsentrasi NEFA/Non esterified fatty acid) pada sapi perah dimasa awal laktasi.
Peningkatan aktivitas AST bersamaan dengan peningkatan konsentrasi NEFA
dalam darah juga dilaporkan oleh Elitok et al. (2006) dan Cincovic et al.(2012)
pada sapi perah periode partus.
Aktivitas GGT sering digunakan sebagai indikasi adanya proliferasi epitel
saluran empedu, gangguan kolestasis (Stojevic et al. 2005; Davoudi 2013), sirosis
hati, hepatopati kronis dan toksik (Krammer dan Hoffmann 1997), fascioliasis
(Molina et al. 2006), gangguan metabolik dan ketosis (Rico et al. 1977).
Aktivitasnya relatif tinggi pada hati sapi, kuda, domba dan kambing (Stojevic et
al. 2005). Kebanyakan dari penyakit hepatoseluler dan hepatobilier akan
meningkatkan aktivitas GGT dalam serum dan aktivitasnya akan tetap meningkat
selama kerusakan sel berlangsung (Davoudi 2013). Stojevic et al. (2005)
melaporkan bahwa aktivitas GGT mengalami penurunan, sedangkan aktivitas
AST mengalami peningkatan pada masa akhir kebuntingan pada sapi perah.
Aktivitas AST sapi pejantan pada penelitian ini rata-rata 21.27% lebih
rendah apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar pada sapi
15
potong(Tabel 2). Yokus dan Cakir (2006) dan Ndlovu et al. (2007) melaporkan
bahwa aktivitas AST dapat dipengaruhi oleh musim dan variasi fisiologis.
Aktivitas enzim pada sapi yang sehat rendah atau tidak ada (Ndlovu et al. 2007).
Aktivitas GGT sapi pejantan pada penelitian ini rata-rata 58.94% lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar yang digunakan (Tabel 2).
Stojevic et al.(2008) melaporkan bahwa aktivitas AST pada sapi pejantan
Simmental 103.68% lebih rendah dan aktivitas GGT 54.26% lebih tinggi bila
dibandingkan dengan referensi standar pada sapi perah yang digunakan. Variasi
tersebut diduga karena peruntukan ternak yang digunakan untuk breeding dan
faktor nutrisi (Stojevic et al. 2008).
Berdasarkan Umur
Tabel 3 menunjukkan bahwa umur sapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05)
terhadap aktivitas AST dan GGT. Hal ini sesuai dengan laporan Dokovic et al.
(2010) dan Mamun et al. (2013) bahwa aktivitas AST dan GGT pada sapi potong
tidak dipengaruhi oleh umur. Demikian pula pada kelinci New Zealand (Olayemi
dan Nottidge 2007), dan pada unta (Elrayah 2012). Namun hasil ini bertolak
belakang dengan laporan Ottesi