Exchange Market Pressure and Central Bank Intervention for Three ASEAN Countries

TEKANAN NILAI TUKAR DAN INTERVENSI
BANK SENTRAL DI TIGA NEGARA ASEAN

AZRUL REZA RIFQI AMIRUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tekanan Nilai Tukar dan
Intervensi Bank Sentral di Tiga Negara ASEAN adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014

Azrul Reza Rifqi Amiruddin
NIM H151110101

RINGKASAN
AZRUL REZA RIFQI AMIRUDDIN. Tekanan Nilai Tukar dan Intervensi Bank
Sentral di Negara ASEAN. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan
NOER AZAM ACHSANI.
Terdapat dua sistem nilai tukar yang diberlakukan oleh banyak negara
diantaranya sistem nilai tukar mengambang dan tetap. Kedua sistem nilai tukar
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Negara yang menerapkan sistem
nilai tukar tetap cenderung menetapkan nilai tukar domestiknya berada pada di
titik tertentu. Sebaliknya, negara yang menerapkan sistem nilai tukar
mengambang cenderung membebaskan nilai tukar domestiknya bergerak secara
fleksibel dan nilainya akan selalu berubah sesuai dengan permintaan dan
penawaran uang di pasar valuta asing.
Negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang akan menghadapi
risiko berflutuasinya nilai tukar domestik terhadap mata uang asing.
Berfluktuasinya nilai tukar dapat disebabkan oleh terjadinya masalah ekonomi
seperti krisis keuangan. Suatu negara dapat berpotensi terkena dampak krisis jika
ada negara lain terkena krisis terlebih dahulu. Hal tersebut berpotensi terjadi jika

negara-negara tersebut berada pada satu kawasan seperti ASEAN. Krisis ekonomi
di ASEAN tahun 1997 menjadi contoh dimana krisis keuangan satu negara dapat
berdampak ke negara lainnya. Pada saat tersebut beberapa negara seperti
Indonesia, Malaysia dan Thailand berganti sistem nilai tukar dari sistem nilai
tukar tetap ke mengambang karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan jika
tetap memberlakukan sistem nilai tukar tetap.
Selama tahun 2002 hingga 2012 nilai tukar domestik Indonesia, Malaysia
dan Thailand terhadap dolar Amerika Serikat cenderung berfluktuasi. Jika nilai
tukar domestik berfluktuasi secara berlebih maka bank sentral akan melakukan
stabilisasi dengan cara mengintervensi nilai tukar di pasar valuta asing.
Adanya tekanan nilai tukar domestik mengakibatkan bank sentral
melakukan intervensi. Besarnya tekanan nilai tukar dapat dianalisa dengan
menghitung indeks tekanan nilai tukar (EMP). Selain itu, intervensi yang
dilakukan oleh bank sentral dapat diketahui waktunya ketika terjadi tekanan nilai
tukar dengan menghitung indeks intervensi (EMI). Tujuan penelitian ini adalah
untuk menentukan tingkat tekanan internasional terhadap pasar valuta asing dan
aktivitas intervensi otoritas moneter di tiga negara ASEAN, serta menentukan
pengaruh intervensi otoritas moneter terhadap nilai tukar mata uang domestik di
tiga negara ASEAN terhadap dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil perhitungan indeks EMP diperoleh selama tahun 2002

hingga 2012, nilai tukar domestik Indonesia, Malaysia dan Thailand selalu
berfluktuasi dan hasil indeks EMP menunjukkan masing-masing negara
mengalami tekanan apresiasi dan depresiasi nilai tukar yang beragam. Thailand
merupakan negara yang memiliki tekanan nilai tukar yang paling tinggi diantara
Indonesia dan Malaysia.
Hasil perhitungan indeks intervensi menunjukkan bahwa Indonesia,
Malaysia dan Thailand memiliki indeks intervensi antara nol dan satu serta lebih
dari satu. Berdasarkan indeks intervensi tersebut juga terlihat bahwa Indonesia
dan Thailand menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali bukan

mengambang bebas. Berdasarkan perhitungan nilai tukar dengan membandingkan
nilai tukar dengan intervensi (observed) dan tanpa intervensi (imputed) diperoleh
hasil bahwa intervensi yang dilakukan bank sentral ke tiga negara tersebut terlihat
berhasil menjaga nilai tukar domestik agar tidak berfluktuatif secara berlebihan.
Kata kunci: nilai tukar, tekanan nilai tukar, intervensi

SUMMARY
AZRUL REZA RIFQI AMIRUDDIN. Exchange Market Pressure and Central
Bank Intervention for Three ASEAN Countries. Supervised by DEDI BUDIMAN
HAKIM and NOER AZAM ACHSANI.

Two of the exchange rate systems which are adopted by many countries are
the floating and the fixed exchange rate system. Both the exchange rate systems
have different characteristics. Countries that implement fixed exchange rates
system tend to set their domestic currency exchange rate at a certain point. On the
contrary, countries which implement floating exchange rate system tend to let
their domestic currency exchange rate to move flexibly and thus their value will
always change according to the demand and supply of the currency in the foreign
exchange market.
Countries which implement floating exchange rate system are facing the risk
of fluctuation in the exchange rate of their domestic currency against foreign
currencies. The currency exchange rate fluctuation may be caused by economic
problems such as a financial crisis. A country can also be potentially affected by
other countries’ earlier financial crisis. This effect could potentially happen if
these countries are in the same region, such as ASEAN. The 1997 ASEAN
economic crisis was an example of a country’s financial crisis could affect other
countries. At that time, some countries such as Indonesia, Malaysia and Thailand
had to change their currency exchange rate system from the fixed exchange rate
system to the floating exchange rate system due to the high costs which has to be
incurred if they were to enforce the fixed exchange rate system.
During 2002 until 2012, the domestic exchange rate of Indonesia, Malaysia

and Thailand against the U.S. dollar had tended to fluctuate. If the domestic
currency exchange rate fluctuated excessively then the central bank would
intervene to stabilize the exchange rate in the foreign exchange market.
The pressure on domestic currency exchange rate pressures has forced the
central bank to intervene. The amount of those pressures can be analyzed by
calculating the Exchange Market Pressure (EMP) index. Apart from that, the time
when interventions are done by the central bank can be known based on EMP by
calculating the Exchange Market Intervention (EMI) index. The purposes of this
study were to determine the level of international pressure on the currency
exchange market and monetary authorities intervene in three ASEAN countries, as
well as to determine the effect of the monetary authorities intervene on the
exchange rate of the domestic currency against the U.S. dollar in those three
ASEAN countries.
Based on the EMP index calculation results which are obtained during 2002
to 2012 period, the exchange rate of Indonesia, Malaysia and Thailand’s domestic
currency had always fluctuated and the results of the EMP index indicated that
each country were under diverse level of currency exchange rate appreciation and
depreciation pressures. Thailand was the country with the highest currency
exchange rate pressure compared to Indonesia and Malaysia.
The results on the intervention index calculation showed that Indonesia,

Malaysia and Thailand have intervention index between zero and one and more
than one. We can also see from the intervention index that Indonesia and Thailand

implement the controlled floating currency exchange rate instead of the freely
floating one. Based on the calculation of the currency exchange rate by comparing
the exchange rate with the intervention (observed) and with no intervention
(imputed), the obtained result showed that the central bank interventions on these
three countries to manage the domestic exchange rate so that they do not fluctuate
excessively seemed to be successful.
Keywords: exchange rate, exchange market pressure, intervention

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


TEKANAN NILAI TUKAR DAN INTERVENSI
BANK SENTRAL DI TIGA NEGARA ASEAN

AZRUL REZA RIFQI AMIRUDDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi

Judul Tesis : Tekanan Nilai Tukar dan Intervensi Bank Sentral di Tiga Negara

ASEAN
Nama
: Azrul Reza Rifqi Amiruddin
NIM
: H151110101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua

Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Maret 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Tekanan Nilai Tukar dan Intervensi Bank Sentral di Tiga Negara
ASEAN
Nama
: Azrul Reza Rifqi Amiruddin
NIM
: H151110101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


セ N セ@

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua

Prof Dr If Noef Azam Achsani, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

DrrrR'&:::.MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Maret 2014

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini adalah nilai
tukar, dengan judul Tekanan Nilai Tukar dan Intervensi Bank Sentral di Tiga
Negara ASEAN.
Proses pembuatan tesis ini tentunya tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, khususnya kepada Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.A.Ec
selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS selaku
Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima
kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada Prof Dr Muhammad Firdaus, SP
MSi (penguji luar komisi), Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi (penguji perwakilan dari
program studi), dan Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi (Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi), pengajar, pengelola program studi, serta teman-teman reguler lima
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.
Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada ayahanda
Amiruddin Abu dan Ibunda Hajrah Amiruddin yang telah banyak mendukung
penulis, dan kepada kakak Fathurrahman Ramadhani A.A., kakak Doni Hidayat
dan kakak Siti Sakiah. Tanpa dukungan keluarga, penulis tidak akan bisa berbuat
yang terbaik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014
Azrul Reza Rifqi Amiruddin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tekanan Nilai Tukar dan Intervensi
Model Exchange Market Pressure dan Exchange Market Intervention
Penelitian Terdahulu

8
8
8
11

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Analisis Data
Spesifikasi Model
Identifikasi Model

13
13
14
14
15

4 GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Nilai Tukar Thailand, Malaysia dan Indonesia
Indeks Harga Konsumen Thailand, Malaysia dan Indonesia
Cadangan devisa Thailand, Malaysia dan Indonesia
Suku bunga Thailand, Malaysia dan Indonesia

17
17
19
19
20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Stasioneritas
Indonesia
Malaysia
Thailand
Hasil Pendugaan Model
Indonesia
Malaysia
Thailand
Analisis Indeks Tekanan Nilai Tukar dan Indeks Intervensi
Indonesia
Malaysia
Thailand

22
22
22
23
24
24
25
26
27
28
28
31
33

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36
37

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
Negara-negara yang memberlakukan sistem
berdasarkan benua
Sistem nilai tukar negara tiga negara ASEAN
Jenis dan sumber data
Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Indonesia
Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Malaysia
Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Thailand

nilai

tukar

tetap
2
4
13
23
23
24

DAFTAR GAMBAR
Persentase perubahan nilai tukar mata uang domestik negara ASEAN
terhadap dolar Amerika Serikat tahun 2002-2012.
Nilai Tukar Baht, Ringgit dan Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat
Indeks Harga Konsumen Thailand, Malaysia dan Indonesia
Cadangan devisa Thailand, Malaysia dan Indonesia
Suku bunga Thailand, Malaysia dan Indonesia
Indeks Tekanan Nilai Tukar Indonesia
Indeks Intervensi Indonesia
Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (observed dan
imputed)
Indeks Tekanan Nilai Tukar Malaysia
Indeks Intervensi Malaysia
Nilai tukar Ringgit terhadap dolar Amerika Serikat (observed dan
imputed)
Indeks Tekanan Nilai Tukar Thailand
Indeks Intervensi Thailand
Nilai tukar baht terhadap dolar Amerika Serikat (observed dan imputed)

5
18
19
20
21
29
30
30
32
33
33
34
35
36

DAFTAR LAMPIRAN
Hasil output tahap estimasi model Indonesia
Hasil output tahap estimasi model Malaysia
Hasil output tahap estimasi model Thailand
Indeks EMP dan EMI Indonesia Tahun 2002-2012
Indeks EMP dan EMI Malaysia Tahun 2002-2012
Indeks EMP dan EMI Thailand Tahun 2002-2012
Observed dan imputed nilai tukar Rupiah, Ringgit dan Baht terhadap
dolar Amerika Serikat Tahun 2002-2012

41
42
43
44
47
50
53

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem nilai tukar mata uang yang paling banyak diterapkan di banyak
negara pada saat ini yaitu nilai tukar mata uang mengambang terkendali,
mengambang bebas dan nilai tukar mata uang tetap. Pada awalnya sistem nilai
tukar mata uang yang paling banyak diberlakukan berbagai negara adalah sistem
nilai tukar mata uang tetap. Sistem nilai tukar tersebut telah ada pada sekitar tahun
1950. Hal tersebut ditandai dengan banyak negara termasuk Amerika Serikat yang
menyepakati perjanjian Bretton Woods. Perjanjian tersebut berisi tentang sistem
moneter internasional yang disepakati oleh banyak negara untuk menentukan mata
uang negara secara tetap kepada mata uang jangkar (Dollar Amerika Serikat).
Sistem nilai tukar tersebut memiliki tujuan untuk menghindari kemungkinan
berfluktuasinya nilai tukar jika mamakai sistem nilai tukar mengambang. Selain
itu, dengan menerapkan sistem nilai tukar tersebut juga akan menghindarkan
negara-negara anggota pada perjanjian tersebut untuk melakukan devaluasi nilai
mata uang dalam menyelesaikan ketidakseimbangan neraca pembayaran negara
masing-masing.
Banyak negara yang kondisi perekonomiannya membaik dan berkembang
dengan pesat setelah menyepakati perjanjian Bretton Woods tersebut. Namun
pada tahun 1971 terjadi hal sebaliknya bagi perjanjian tersebut, banyak negara
yang mulai beralih dari sistem nilai tukar mata uang tetap ke sistem nilai tukar
mata uang mengambang. Hal tersebut disebabkan sangat berfluktuasinya nilai
tukar riil pada periode tersebut sehingga tidak memungkinkan untuk terus
menerapkan sistem nilai tukar tetap karena dapat mengganggu kondisi
perekonomian negara yang menerapkan sistem nilai tukar tersebut. Meskipun
sudah banyak negara yang beralih dari sistem nilai tukar tetap tersebut ke sistem
nilai tukar mengambang tapi pada saat ini masih ada negara di beberapa benua
yang menerapkan sistem mata uang tetap seperti Vietnam dan China (Tabel 1).
Sistem nilai tukar tetap memiliki beberapa keuntungan jika diterapkan di
suatu negara seperti mengurangi ketidakpastian dimana hal tersebut dapat
membantu mengurangi biaya transaksi perdagangan internasional. Selain itu,
sistem nilai tukar tetap dapat dijadikan sebagai alat untuk mendisiplinkan otoritas
moneter, sehingga dapat menghindarkan otoritas moneter mengikuti kebijakan
inflasi (Palley, 2004).
Negara-negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap pada umumnya
adalah negara berukuran kecil, terbuka terhadap perdagangan internasional, dan
memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi. Karakteristik tersebut pada umumnya
terjadi pada negara-negara yang tergabung kedalam suatu kawasan mata uang
optimum. Negara yang tergabung dalam kawasan tersebut sangat mementingkan
manfaat dari kestabilan nilai tukar, dan tidak memerlukan independensi moneter 1.
Salah satu negara di ASEAN yang memiliki karakteristik tersebut adalah Timor
Leste, dimana negara tersebut menetapkan mata uangnya dengan dolar Amerika
Serikat.
1

Bobby Hamzar Rafinus. Pilihan Sistem Nilai Tukar dan Pengendalian Arus Modal.
http://www.bappenas.go.id/files/2913/5228/1449/bobby__20091015150315__2382__0.pdf

2
Tabel 1 Negara-negara yang memberlakukan sistem nilai tukar tetap berdasarkan
benua
Negara
Mata Uang
ASIA
Bahrain
Bahraini dinar
Bangladesh
Taka
Yordania
Jordanian dinar
Vietnam
Dong
Lebanon
Lebanese pound
Arab Saudi
Saudi riyal
Iraq
Iraqi dinar
EROPA
Belarus
Belarusian ruble
OCEANIA
Kepulauan Solomon
Solomon Islands dollar
AMERIKA
Bolivia
Bolivian boliviano
Barbados
Barbadian dollar
Argentina
Argentine peso
Trinidad dan Tobago
Trinidad and Tobago dollar
AFRIKA
Zimbabwe
United
States
dollar, Botswana
pula, Euro, Poundsterling, South African rand
Angola
Angolan kwanza
Sierra Leone
Sierra Leonean leone
Sumber: IMF (Classification of Exchange Rate Arrangements and Monetary Policy Frameworks),
2006

Selain sistem nilai tukar tetap, terdapat juga sistem nilai tukar mata uang
yang lebih ketat seperti dewan mata uang, dolarisasi dan uni moneter. Salah satu
negara pernah yang menggunakan dewan mata uang adalah Argentina. Dengan
menggunakan dewan mata uang tersebut Argentina dapat menghadapi gejolak
arus modal. Pemilihan sistem tersebut didasari atas pengalaman trauma
hyperinflasi dan kebijakan pemerintah yang tidak kredibel untuk mengatasinya.
Negara yang memilih dewan mata uang menandakan pemerintahan tersebut
bersedia melepaskan independensi kebijakan moneternya dengan harapan tidak
lagi mengalami hyperinflasi. Saat ini, negara-negara yang masih menggunakan
dewan mata uang antara lain Bosnia Herzegovina, Brunei Darussalam, Bulgaria,
Hong Kong SAR, Djibouti, Estonia, dan Lithuania (IMF, 2006).
Tiga negara eropa seperti Estonia, Lithuania, dan Bulgaria merupakan
negara yang kegiatan perdagangan luar negerinya tergantung kepada negara atau
wilayah lain yang lebih besar kekuatan ekonominya. Negara-negara tersebut
menggunakan dewan mata uang untuk mempermudah dalam bergabung dengan
Uni Eropa sebagai mitra dagang utama. Negara yang menganut nilai tukar tetap
pada umumnya juga mempertimbangkan faktor memiliki atau mudah memperoleh
dukungan untuk mencapai suatu tingkat cadangan devisa yang memadai. Selain
itu juga telah memiliki sistem pengawasan dan pengaturan keuangan yang baik.
Jika dua hal ini tidak dipenuhi maka negara tersebut akan mudah mengalami krisis
mata uang dan berlanjut dengan krisis perbankan.

3
Negara-negara yang tidak memiliki fundamental yang kuat sangat cocok
untuk menetapkan sistem nilai tukar mengambang bebas dengan meningkatkan
fleksibilitas nilai tukar mata uang negara tersebut. Hal tersebut dikarenakan jika
sistem nilai tukar tetap terus dipertahankan dapat mengakibatkan perekonomian
negara tersebut dapat terganggu karena besarnya biaya untuk mempertahankan
nilai tukar pada kondisi tetap. Kondisi tersebut terjadi di beberapa negara ketika
terjadi krisis keuangan pada tahun 1997 khususnya di negara ASEAN seperti
Thailand dan Indonesia. Penerapan sistem nilai tukar mengambang tersebut
membuat otoritas moneter tidak perlu mempertahankan nilai tukar pada level
tertentu. Meskipun demikian, sistem nilai tukar mengambang tersebut juga
memiliki risiko, yaitu akan sering berfluktuasinya nilai tukar mata uang domestik.
Berfluktuasinya nilai tukar mata uang domestik dapat menjadi indikasi bahwa
terdapat masalah perekonomian di negara tersebut. Jika fluktuasi nilai tukar yang
tinggi terus terjadi akan menimbulkan suatu ketidakpastian, meningkatkan biaya
transaksi dan tingkat suku bunga, serta menghambat perdagangan internasional
dan investasi.
Jika nilai tukar terus bergerak dengan tidak stabil, otoritas terkait memiliki
kewenangan untuk melakukan intervensi. Intervensi valuta asing bertujuan untuk
mempengaruhi nilai dari nilai tukar tersebut. Di banyak negara, aktivitas
intervensi dilakukan oleh otoritas moneter seperti bank sentral, dan terdapat juga
negara yang intervensi valuta asingnya dilakukan oleh kementerian keuangan.
Intervensi bank sentral dilakukan dengan menjual aset dalam bentuk mata uang
asing untuk mempengaruhi aset domestik di pasar valuta asing. Bank sentral
memiliki dua cara dalam melakukan operasi intervensi yaitu dengan intervensi
secara terbuka dan secara rahasia (Dominguez, 1998). Intervensi secara terbuka
dilakukan dengan cara membiarkan publik mengetahui otoritas moneter sedang
melakukan intervensi di pasar valuta asing. Sebaliknya, intervensi secara rahasia
dilakukan oleh otoritas moneter tanpa diketahui oleh publik. Publik baru akan
mengetahui telah dilakukan aktivitas intervensi oleh otoritas moneter pada laporan
yang dipublikasikan otoritas moneter secara periodik.
Salah satu kasus aktivitas intervensi terjadi di Amerika Serikat dimana
otoritas moneter negara tersebut melakukan intervensi nilai tukar mata uang asing
sekitar tahun 1970. Pada saat tersebut Amerika Serikat menganut sistem nilai
tukar mata uang mengambang. Pada periode tersebut otoritas moneter Amerika
Serikat berhasil menunjukkan bahwa intervensi merupakan kebijakan yang efektif
dapat mempengaruhi nilai relatif dolar Amerika Serikat terhadap mata uang asing
(Schwartz, 2000). Meskipun demikian, Intervensi dapat gagal dilaksanakan jika
kebijakan yang dikeluarkan hanya fokus pada target nilai tukar tapi bukan pada
efektivitas instrumen intervensi tersebut.
Intervensi pada umumnya didefinisikan sebagai transaksi mata uang asing
oleh otoritas moneter yang dirancang untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang
domestik (Neely, 2001). Intervensi otoritas moneter dalam hal ini bank sentral
dapat dilakukan dengan penjualan dan pembelian mata uang asing dalam rangka
mengarahkan nilai tukar ke level tertentu dan meredam volatilitas nilai tukar yang
tinggi sehingga tidak terjadi kekacauan di pasar valuta asing (Seerattan, 2006).

4
Perumusan Masalah
Krisis keuangan menjadi salah satu penyebab tingginya fluktuasi nilai tukar
mata uang. Ketika terjadi krisis keuangan di Asia pada 1997 banyak negara yang
terkena dampaknya. Krisis keuangan di Asia tersebut terjadi pertama kali di
Thailand dan kemudian menyebar ke Indonesia dan Korea Selatan. Ketiga negara
tersebut merupakan negara yang paling merasakan dampak dari krisis tersebut.
Krisis keuangan tersebut juga mempengaruhi kondisi keuangan di beberapa
negara ASEAN seperti Malaysia, Laos dan Filipina dimana terjadi penurunan
kondisi perekonomian meskipun tidak terlalu parah. Cina, Taiwan, Singapura,
Brunei dan Vietnam juga terkena dampak krisis dengan turunnya permintaan dan
kepercayaan seluruh kawasan.
Pada saat terjadi krisis keuangan pada tahun 1997, otoritas moneter di
negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand kemudian mengalihkan
sistem nilai tukar mata uang negara masing-masing. Indonesia dan Thailand
beralih dari sistem nilai tukar mengambang terkendali dan tetap ke sistem nilai
tukar mengambang bebas pada Juli 1997. Selain kedua negara ASEAN tersebut,
di kawasan Asia Korea Selatan juga melakukan pengalihan sistem nilai tukar dari
sebelumnya mengambang terkendali ke mengambang bebas pada November
1997. Langkah tersebut diambil karena tiga negara tersebut ketika terjadi krisis
keuangan tidak mampu mempertahankan nilai tukar mata uangnya pada level
tertentu pada saat menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan
tetap. Selain hal tersebut, biaya yang harus dikeluarkan oleh tiga negara tersebut
untuk menjaga nilai tukar cukup besar dan dapat mempengaruhi jumlah cadangan
internasional sehingga otoritas moneter negara tersebut harus mengalihkan sistem
nilai tukarnya ke sistem nilai tukar mengambang.
Pada September 1998, Malaysia kembali menerapkan sistem nilai tukar
tetap. Untuk mengatasi kondisi perekonomian yang tidak menentu pada saat
menggunakan sistem nilai tukar tetap, otoritas moneter Malaysia menerapkan
kebijakan dengan melakukan pengendalian devisa. Kebijakan tersebut tidak sesuai
dengan kebijakan yang disarankan oleh otoritas moneter internasional, dimana
pada saat tersebut terjadi krisis keuangan di sebagian kawasan Asia. Meskipun
demikian, kebijakan moneter yang diterapkan oleh otoritas moneter Malaysia
berhasil menghindarkan negara tersebut dari kondisi krisis keuangan yang sangat
buruk di kawasan Asia. Malaysia kembali beralih dari sistem nilai tukar tetap ke
sistem nilai tukar mengambang terkendali pada Juli 2005 (Tabel 2).
Tabel 2 Sistem nilai tukar negara tiga negara ASEAN
Negara
Periode
Sistem Nilai Tukar
Indonesia
November 1978-Juni 1997
Mengambang terkendali
Juli 1997- Desember 2012
Mengambang bebas
Malaysia
Januari 1986-Februari 1980
Limited flexibility
Maret 1990-November 1992
Tetap
Desember 1992-September 1998
Mengambang terkendali
September 1998- Juli 2005
Tetap
Juli 2005 – Desember 2012
Mengambang terkendali
Thailand
Januari 1970-Juni 1997
Tetap
Juli 1997-Desember 2012
Mengambang bebas

5
Risiko yang dihadapi oleh negara yang menerapkan sistem nilai tukar
mengambang adalah risiko berfluktuasinya nilai tukar mata uang domestik
terhadap mata uang luar negeri. Dalam sistem tersebut, nilai tukar sangat
dipengaruhi oleh transaksi internasional yang terbentuk di pasar valuta asing. Jika
terjadi perubahan nilai tukar suatu negara maka akan berpotensi mempengaruhi
nilai tukar mata uang negara lainnya. Hal tersebut berpotensi terjadi ketika
negara-negara tersebut berada pada satu kelompok kawasan seperti di ASEAN.
Sejak tahun 2002 hingga 2012, nilai tukar domestik negara-negara di kawasan
ASEAN yang memberlakukan sistem nilai tukar mata uang mengambang selalu
berfluktuasi terhadap mata uang luar negeri khususnya dolar Amerika Serikat. Hal
sebaliknya terjadi pada negara yang pernah memberlakukan sistem nilai tukar
mata uang tetap pada periode tersebut, dimana perubahan nilai tukar negaranegara tersebut cenderung tetap pada satu titik tertentu seperti Malaysia sebelum
pertengahan tahun 2005 dan Vietnam pada tahun 2004 hingga 2007 (Gambar 1).
50
40
30

Persen

20
10
0
2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

-10
-20
-30
-40

Tahun

Gambar 1 Persentase perubahan nilai tukar mata uang domestik negara
ASEAN terhadap dolar Amerika Serikat tahun 2002-2012.
Sumber: www.oanda.com/currency/historical-rates/, 2013
Keterangan gambar : ─♦─ = Indonesia
─■─ = Thailand
─▲─ = Filipina
─x─ = Vietnam
─*─ = Malaysia
Negara-negara yang berada pada satu kawasan memiliki banyak keuntungan
kepada negara anggotanya salah satunya yaitu keuntungan dalam bidang ekonomi.
Keuntungan dalam bidang ekonomi tersebut dapat berupa kemudahan akses dalam
melakukan transaksi internasional antar negara. Hal tersebut akan mendorong
pertumbuhan ekonomi antara kedua negara tersebut. Selain memberikan
keuntungan, negara-negara yang berada dalam satu kawasan tersebut dapat juga
memberikan kerugian bagi setiap negara anggotanya. Jika salah satu negara
mengalami masalah perekonomian seperti krisis keuangan maka negara lain juga
berisiko untuk mengalami krisis keuangan yang sama. Hal tersebut terjadi ketika
krisis di Thailand tahun 1997, krisis keuangan tersebut berawal dari kredit macet
di sektor properti yang kemudian berdampak ke berbagai sektor ekonomi
termasuk sektor moneter sehingga negara tersebut terkena krisis keuangan. Pada

6
saat tersebut nilai tukar mata uang baht terdepresiasi cukup tinggi dengan harga
54 baht per dolar Amerika Serikat.
Krisis di Thailand berdampak ke negara lain di kawasan ASEAN dan Asia
Timur. Hal tersebut ditandai dengan tertekannya nilai tukar mata uang domestik
beberapa negara ASEAN terhadap dolar Amerika Serikat seperti di Indonesia,
Malaysia, dan Filipina. Krisis tersebut juga melanda negara lain di luar kawasan
tersebut seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun demikian, krisis di
Jepang dan Amerika Serikat tidak dipengaruhi secara langsung oleh krisis
keuangan di ASEAN tersebut. Krisis yang terjadi di kedua negara tersebut
disebabkan oleh masalah non keuangan seperti adanya masalah virus di Jepang.
Selain itu, adanya kekhawatiran mengenai kondisi perekonomian Asia yang tidak
bagus juga menjadi masalah. Hal tersebut mengakibatkan perdagangan antara
kedua negara menjadi terganggu sehingga memperburuk kondisi perekonomian
keduanya.
Krisis keuangan yang terjadi di beberapa negara tersebut dapat
menimbulkan hambatan dalam transaksi antar negara seperti gangguan dalam
aktivitas ekspor dan impor antar negara. Hambatan dalam transaksi internasional
tersebut secara tidak langsung dapat menyebabkan nilai tukar mata uang domestik
tertekan sehingga akan sering terjadi fluktuasi mata uang di pasar valuta asing.
Adanya masalah ekonomi di internasional juga akan lebih menekan nilai tukar
mata uang domestik terhadap mata uang luar negeri. Tekanan yang sangat tinggi
dapat mengakibatkan nilai tukar mata uang dometik mengalami depresiasi
ataupun apresiasi yang berlebihan sehingga mengganggu kondisi perekonomian
domestik negara tersebut. Untuk mengendalikan pergerakan nilai tukar yang
berlebihan tersebut, otoritas moneter akan melakukan intervensi mata uang di
pasar valuta asing dengan harapan mata uang domestik akan menjadi stabil.
Intervensi di pasar valuta asing merupakan cara yang dilakukan oleh otoritas
moneter untuk mengendalikan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
luar negeri. Aktivitas intervensi yang dilakukan oleh otoritas moneter tersebut
dapat mempengaruhi jumlah cadangan internasional negara jika otoritas moneter
tersebut menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi valuta asing.
Salah satu bentuk intervensi yang memanfaatkan cadangan internasional yaitu
unutk pengendalian jumlah uang yang beredar di pasar valuta asing.
Otoritas moneter setiap negara memiliki cara yang berbeda dalam
menentukan bagaimana dan seberapa besar derajat intervensi nilai tukar tersebut
akan dilakukan. Hal tersebut dapat didasari pada kondisi nilai tukar saat itu dan
kebijakan moneter yang berlaku di negara tersebut. Intervensi valuta asing yang
dilakukan otoritas moneter di setiap negara dapat berhasil atau gagal dalam
mengatasi fluktuasi nilai tukar. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh seberapa besar
tekanan nilai tukar domestik di pasar valuta asing dan efektivitas intervensi yang
dilakukan otoritas moneter di pasar valuta asing.
Tekanan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang
terjadi di pasar valuta asing dapat diketahui dan dianalisis dengan menggunakan
indeks tekanan nilai tukar atau exchange market pressure (EMP). Indeks tekanan
nilai tukar tersebut dapat menunjukkan waktu dan ukuran tekanan nilai tukar yang
terjadi. Terjadinya tekanan nilai tukar domestik di pasar valuta asing akan
mendorong otoritas moneter untuk menstabilkan nilai tukar dengan melakukan
intervensi di pasar tersebut. Otoritas moneter di beberapa negara

7
menginformasikan ke publik aktivitas intervensi yang dilakukan di pasar valuta
asing secara jelas seperti waktu dan ukuran intervensi tersebut. Alasan
dipublikasikannya intervensi nilai tukar kepada publik yaitu untuk mengajarkan
publik tentang perilaku otoritas moneter dan juga untuk mempengaruhi ekspektasi
para pelaku pasar valuta asing (Echavarría et al, 2013).
Terdapat juga otoritas moneter yang tidak mempublikasikan aktivitas
intervensinya di pasar valuta asing. Informasi intervensi yang tertutup tersebut
menyulitkan pelaku pasar untuk mengetahui efektivitas intervensi otoritas
moneter di pasar valuta asing. Tujuan tidak dipublikasikannya aktivitas intervensi
oleh otoritas moneter yaitu untuk menghindari spekulasi dari pelaku pasar valuta
asing. Meskipun demikian, aktivitas intervensi nilai tukar dapat diketahui dan
dianalisis dengan menggunakan indeks intervensi atau exhange market
intervention (EMI). Indeks intervensi tersebut dapat menggambarkan bagaimana
perilaku otoritas moneter dalam melakukan intervensi. Pada penelitian ini, indeks
tekanan nilai tukar dan intervensi dianalisis dengan menggunakan model yang
dikembangkan oleh Weymark (1995).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
yaitu:
1.
Bagaimana tekanan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang luar
negeri pada pasar valuta asing di tiga negara ASEAN pada periode
penelitian?
2.
Bagaimana aktivitas intervensi otoritas moneter tiga negara ASEAN di
pasar valuta asing pada periode penelitian?
3.
Bagaimana pengaruh intervensi otoritas moneter tiga negara ASEAN dalam
stabilisasi nilai mata uang domestik terhadap dolar Amerika Serikat?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Tujuan penelitian ini adalah untuk:
Menentukan tingkat tekanan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang luar negeri pada pasar valuta asing di tiga negara ASEAN.
Menentukan aktivitas intervensi otoritas moneter tiga negara ASEAN di
pasar valuta asing.
Menentukan pengaruh intervensi otoritas moneter terhadap nilai tukar mata
uang domestik di tiga negara ASEAN terhadap dolar Amerika Serikat.
Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pembaca mengenai aktivitas intervensi tiga negara ASEAN di pasar valuta asing
dan pengaruh intervensi tersebut terhadap nilai tukar mata uang domesik negaranegara tersebut terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu, untuk
menginformasikan mengenai sejauh mana tekanan nilai tukar mata uang domestik
terhadap dolar Amerika Serikat pada pasar valuta asing di negara-negara tersebut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis indeks tekanan nilai tukar
mata uang domestik terhadap mata uang asing dan intervensi bank sentral di pasar

8
valuta asing pada negara-negara ASEAN. Negara ASEAN yang diteliti adalah
negara ASEAN yang termasuk negara small open economy. Negara-negara yang
diteliti antara lain Indonesia, Malaysia dan Thailand. Adanya keterbatasan dan
kendala dalam memperoleh data beberapa negara ASEAN menjadi alasan kenapa
hanya tiga negara tersebut yang dapat diteliti. Untuk peubah luar negeri, data yang
digunakan adalah data negara Amerika Serikat.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tekanan Nilai Tukar dan Intervensi
Girton dan Roper (1977) menggunakan exchange market pressure untuk
mengukur tekanan di pasar valuta asing, dimana terjadi disekuilibrium di pasar
uang sehingga mengakibatkan perubahan pada nilai tukar dan cadangan
internasional. Model dan asumsi yang digunakan adalah tidak memasukkan
peubah kredit domestik dalam model yang mempengaruhi tekanan nilai tukar.
Tekanan nilai tukar hanya dihitung berdasarkan persentase perubahan nilai tukar
dan cadangan internasional.
Weymark (1995) menjelaskan bahwa exchange market pressure merupakan
ukuran dari jumlah kelebihan permintaan terhadap mata uang di pasar
internasional sebagai perubahan nilai tukar yang dibutuhkan untuk menghilangkan
dampak kelebihan permintaan mata uang pada saat tidak adanya intervensi di
pasar valuta asing. Dengan kata lain, exchange market pressure merupakan
ukuran dari perubahan nilai tukar yang akan terjadi jika bank sentral menahan diri
untuk tidak melakukan intervensi di pasar valuta asing. Exchange market
pressure tidak secara umum sama dengan perubahan nilai tukar yang terjadi pada
sistem nilai tukar mengambang bebas. Sebaliknya exchange market pressure
terkait dengan guncangan ketidakseimbangan eksternal (Spolander, 1999)
Intervensi dalam dapat didefinisikan sebagai bank sentral yang melakukan
pembelian dan penjualan mata uang asing untuk memperbaiki penyimpangan
jangka pendek dan untuk mengurangi volatilitas jangka pendek nilai tukar
sehingga kondisi pasar stabil kembali. Intervensi bukan merupakan kebijakan
yang bebas untuk dilakukan karena harus disesuaikan dengan kebijakan
makroekonomi yang berlaku di negara tersebut. Jika bertentangan dengan
kebijakan makroekonomi dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam
portfolio sehingga dapat memperburuk kondisi perekonomian (Canales-Kriljenko,
Guimaraes dan Karacadag, 2003).
Model Exchange Market Pressure dan Exchange Market Intervention
Salah satu model yang dapat digunakan dalam mengukur exchange market
pressure adalah model yang telah dikembangkan oleh Weymark (1995). Model
tersebut mengasumsikan bahwa negara termasuk kedalam small open economy
dimana harga barang domestik dipengaruhi oleh harga barang luar negeri dan nilai
tukar mata uang. Output domestik dan tingkat harga luar negeri merupakan
peubah eksogen. Diasumsikan substitusi sempurna antara aset domestik dan aset

9
luar negeri. Jika otoritas moneter menerapkan kebijakan intervensi yang tidak
disterilisasi, maka model yang akan digunakan adalah:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Dimana:
mt : logaritma dari jumlah uang beredar pada periode t, s dan d masing-masing
menunjukkan penawaran dan permintaan.
pt
: logaritma dari tingkat harga barang domestik pada periode t
*
pt
: logaritma dari tingkat harga barang luar negeri pada periode t
yt
: logaritma dari output domestik ril pada periode t
it
: logaritma dari tingkat suku bunga domestik pada periode t
it *
: logaritma dari tingkat suku bunga luar negeri pada periode t
et
: logaritma dari nilai tukar pada periode t.
∆dt : [htDt – ht-1Dt-1]/Mt-1 dimana ht adalah angka pengganda uang pada periode
t, Dt adalah kredit domestik pada periode t dan Mt-1 adalah uang primer
periode t-1.
∆rt : [htRt – ht-1Rt-1]/Mt-1 dimana Rt adalah jumlah cadangan internasional pada
periode t.
Persamaan (1) dan (3) menunjukkan model standard dari small open
economy dimana output eksogen dan aset luar negeri serta domestik merupakan
substitusi sempurna. Persamaan (1) menunjukkan permintaan uang yang
dipengaruhi oleh tingkat harga barang domestik, output dan tingkat suku bunga.
Persamaan (2) menunjukkan tingkat harga domestik yang dipengaruhi oleh tingkat
harga barang luar negeri dan nilai tukar. Persamaan (3) menunjukkan tingkat suku
bunga domestik yang dipengaruhi oleh tingkat suku bunga luar negeri, nilai tukar
dan ekspektasi nilai tukar satu periode ke depan. Persamaan (4) menunjukkan
penawaran uang yang dipengaruhi oleh jumlah penawaran uang pada satu periode
sebelumnya, kredit domestik dan cadangan internasional. Persamaan (5)
menunjukkan perubahan cadangan internasional sebagai hasil dari respon
kebijakan otoritas moneter dalam menanggapi perubahan nilai tukar.
Dengan mensubstitusi persamaan (2), (3) ke persamaan (1) maka diperoleh
persamaan permintaan uang (6):
(6)
Dengan mengasumsikan bahwa terdapat money market clears, maka
untuk semua t. Dari persamaan (4), (5) dan (6) maka diperoleh:
(7)
Persamaan (7) mengindikasikan bahwa terjadi perubahan dalam nilai tukar
yang ditunjukkan dalam persamaan (9):
(8)
(9)
Dimana:
(10)
(11)

10
Persamaan (9) menunjukkan perubahan nilai tukar sebagai akibat dari
adanya gangguan yang berasal dari luar sehingga mengganggu keseimbangan nilai
tukar di pasar uang. Gangguan tersebut berasal dari perubahan tingkat harga luat
, perubahan output domestik (
, perubahan tingkat suku bunga
negeri
, dan perubahan kredit domestik
Jika kebijakan yang
luar negeri (
dikeluarkan otoritas moneter mengindikasikan adanya intervensi terhadap nilai
tukar maka
dan
. Dengan demikian maka diperoleh
persamaan (12) yang dibentuk dari persamaan (8) dan (5).
(12)
Dari persamaan tersebut diperoleh definisi EMP sebagai:
, dimana

(13)

Indeks EMP dapat bernilai positif atau negatif. Jika indeks EMP bernilai
negatif menunjukkan bahwa terjadi tekanan apresiasi nilai tukar di pasar valuta
asing, sebaliknya ketika indeks EMP bernilai positif menunjukkan bahwa telah
terjadi tekanan depresiasi nilai tukar di pasar valuta asing. Persamaan (13) berlaku
untuk kebijakan intervensi sterilisasi dan tidak sterilisasi.
Adanya tekanan pada nilai tukar mendorong otoritas kebijakan untuk
melakukan intervensi di pasar valuta asing. Weymark (1997) menggungakan
indeks EMI untuk mengetahui aktivitas intervensi yang dilakukan otoritas
kebijakan dan mendefinisikan indeks EMI sebagai:
(14)
(15)
(16)
Persamaan (14) merupakan indeks EMI ketika terdapat intervensi secara
langsung (intervensi yang tidak disterilisasi) oleh otoritas kebijakan, persamaan
(15) merupakan indeks EMI ketika intervensi tidak langsung (intervensi yang
disterilisasi) oleh otoritas kebijakan, dan persamaan (16) merupakan indeks EMI
ketika intervensi secara langsung dan tidak langsung dikombinasikan di pasar
valuta asing. Weymark (1995) menjelaskan bahwa indeks EMI, , memiliki nilai
antara – œ hingga +œ. Ketika otoritas kebijakan menerapkan sistem nilai tukar
mata uang mengambang bebas maka perubahan cadangan internasional sama
dengan nol (
) dan indeks intervensi bernilai nol (
). Ketika otoritas
kebijakan menerapkan sistem intervensi secara langsung untuk menjaga nilai
tukar mata uang tetap maka perubahan nilai tukar bernilai nol (
) dan
indeks intervensi bernilai satu (
).
Nilai indeks intervensi yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan bahwa
terjadi intermediasi nilai tukar dimana otoritas kebijakan berupaya untuk
mengurangi tekanan depresiasi dan apresiasi nilai tukar di pasar valuta asing.
Nilai indeks intervensi yang bernilai negatif menunjukkan intervensi nilai tukar
mengakibatkan pergerakan nilai tukar semakin buruk. Nilai negatif tersebut terjadi
jika otoritas pembuat kebijakan membuat nilai tukar terdepresiasi (terapresiasi)
ketika permintaan uang domestik dalam kondisi negatif (positif). Jika nilai indeks
intervensi lebih dari 1 menunjukkan bahwa otoritas kebijakan membuat nilai tukar
bergerak dalam arah yang berlawanan. Pada kasus tersebut otoritas kebijakan

11
membuat nilai tukar terdepresiasi (terapresiasi) ketika permintaan uang domestik
dalam kondisi positif (negatif).
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang menggunakan analisis EMP dan EMI telah banyak
dilakukan oleh beberapa peneliti. Hal tersebut dikarenakan dengan menganalisis
EMP dan EMI dapat diketahui seberapa besar tekanan nilai tukar di pasar valuta
asing dan seberapa besar peran bank sentral dalam mengatasi permasalahan nilai
tukar khususnya bagi negara-negara yang tidak mempublikasikan intervensi
otoritas kebijakan di pasar valuta asing.
Weymark (1995) membuat model EMP dan EMI dengan mengembangkan
model yang pernah dibuat oleh Girton dan Roper (1977). Weymark (1995)
melakukan penelitian dengan kasus di Kanada pada periode 1975 hingga 1990
dengan menggunakan data kuartal. Penelitian tersebut menganalisis tekanan nilai
tukar dan intervensi berdasarkan hubungan bilateral dan multilateral Kanada
dengan negara lainnya. Penelitian tersebut menggunakan data peubah seperti
jumlah uang beredar, tingkat harga domestik dan luar negeri, output domestik riil,
tingkat suku bunga domestik dan luar negeri, nilai tukar, angka pengganda uang
dan cadangan internasional. Untuk data yang berasal dari luar negeri, penelitian
tersebut menggunakan data Amerika Serikat untuk estimasi bilateral. Sedangkan
untuk multilaretal menggunakan data rata-rata dari negara G10 dan International
Monetary Fund’s MERM. Penelitian tersebut menggunakan metode 2SLS untuk
mengestimasi parameter yang dibutuhkan dalam menghitung indeks EMP dan
EMI. Data first differenced digunakan untuk mengestimasi parameter tersebut
karena setelah melakukan uji akar unit semua data berada pada I(1). Hasil estimasi
tekanan nilai tukar yang dilakukan dapat menggambarkan waktu terjadinya
tekanan nilai tukar negara tersebut baik berdasarkan bilateral maupun multilateral.
Berdasarkan hasil penghitungan indeks intervensi penelitian tersebut
mengindikasikan bahwa Bank of Canada sangat aktif dalam mengontrol nilai
tukar negara tersebut selama periode penelitian. Hal tersebut ditunjukkan dengan
indeks intervensi yang bergerak disekitar angka 1. Dalam penelitian tersebut juga
menunjukan bahwa target utama dalam intervensi tersebut adalah stabilisasi nilai
tukar Kanada terhadap dolar Amerika Serikat. Intervensi yang dilakukan otoritas
moneter Kanada dinilai cukup berhasil karena berdasarkan penghitungan indek
intervensi tidak ditemukan intervensi yang mengakibatkan memburuknya nilai
tukar mata uang negara tersebut. Dari hasil analisa tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa Kanada menerapkan sistem nilai tukar mata uang
mengambang terkendali.
Penelitian mengenai indeks EMP dan EMI dilakukan juga oleh Chung
(2005). Penelitian tersebut mengambil kasus di negara Korea Selatan pada tahun
1988 hingga 1999. Penelitian tersebut menganalisa EMP dan EMI Korea Selatan
sebelum dan pada saat terjadi krisis keuangan di negara tersebut. Model dan
peubah yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan model penelitian
yang dikembangkan oleh Weymark (1995). Selain itu, metode yang digunakan
untuk mengestimasi parameter juga mengadopsi penelitian yang dilakukan
Weymark (1995) yaitu menggunakan metode 2SLS. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa sebelum terjadi krisis keuangan di Korea Selatan indeks

12
EMP Korea Selatan cenderung stabil. Kebijakan moneter Korea Selatan yang
diberlakukan sebelum krisis tersebut adalah kebijakan kontraktif. Pada saat
tersebut, indeks EMI menunjukkan bahwa sering dilakukan aktivitas intervensi
oleh otoritas moneter Korea Selatan. Sebelum terjadinya krisis, indeks intervensi
pernah mencapai nilai terendah. Hal tersebut menunjukkan intervensi yang
dilakukan otoritas moneter pernah mengalami kegagalan dalam mengendalikan
nilai tukar. Ketika terjadi krisis keuangan, indeks EMP menunjukkan nilai yang
sangat tinggi yaitu sebesar 45.03. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi
tekanan depresiasi yang sangat besar di Korea Selatan pada saat terjadi krisis
keuangan tersebut. Pada saat terjadi krisis keuangan tersebut, indeks EMI
menunjukkan hasil yang berlawanan dengan indeks EMP dimana indeks EMI
cenderung mendekati nol. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika terjadi krisis
keuangan di Korea Selatan otoritas moneter tidak melakukan intervensi di pasar
valuta asing. Pada Desember 1997, mata uang Won Korea dibiarkan mengambang
bebas pada saat krisis, dimana pada saat tersebut pemerintah tidak melakukan
kontrol terhadap mata uang tersebut. Hal tersebut mengakibatkan nilai tukar tidak
mungkin dipertahankan sehingga pembayaran utang luar negeri tidak dapat
dilakukan. Meskipun sistem nilai tukar mengambang bebas di negara tersebut
diberlakukan terlihat pada periode 1998 hingga 1999 otoritas moneter Korea
melakukan intervensi di pasar valuta asing karena terus tertekannya nilai tukar
won tersebut. Intervensi tersebut tidak memberikan pengaruh ke nilai tukar karena
indeks intervensi tersebut bernilai negatif.
Penelitian dengan menggunakan model small open economy yang sama
dengan Weymark (1995) dilakukan juga oleh Baig, Narasimhan, dan
Ramachandran (2003). Penelitian tersebut dibangun dengan mengestimasi model
kemudian menghitung aktivitas indeks EMP dan EMI. Penelitian tersebut
dilakukan di India dan bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dari kebijakan
moneter Reserve Bank of India. (RBI) yaitu nilai tukar yang berdasarkan pasar.
Penelitian tersebut menggunakan data time series bulanan periode 1993:1 hingga
2002:3. Peubah yang digunakan yaitu indeks produksi dengan pertimbangan tidak
tersedianya data income bulanan, indeks harga, reserve money, narrow money,
broad money, net domestic assets, net foreign exchange assets, nilai tukar rupee
terhadap dollar, call money rate, suku bunga Amerika Serikat, dan data impor
bulanan. Sebelum melakukan estimasi parameter, data yang ada diuji stasioneritas
dengan menggunakan uji Phillips-Perron, Dari hasi uji tersebut diperoleh sebagian
data yang stasioner di level dan juga stasioner di first difference, meskipun
demikian semua data yang digunakan adalah data yang stationer di first
difference. Dengan menggunakan data yang telah stasioner tersebut, kemudian
dilakukan estimasi parameter dengan menggunakan metode 2SLS dan selanjutnya
menghitung indeks EMP dan EMI. Dari hasil penghitungan indeks EMP dan
indeks intervensi diperoleh bahwa RBI lebih mengakomodasi terjadinya
depresiasi Rupee terhadap dollar dengan cara mencegah terjadinya apresiasi
secara agresif. Hal tersebut terlihat dengan nilai indeks EMP yang bergerak
disekitar nol pada periode pengamatan. Sedangkan nilai indeks EMI mendekati
satu. Hal tersebut menunjukkan secara aktif RBI melakukan intervensi di pasar
valuta asing. Penjualan bersih mata uang asing terpaksa dilakukan oleh RBI hanya
pada saat terjadi krisis. Intervensi yang dilakukan RBI secara langsung tidak dapat
dikatakan efektif.

13
Model Weymark (1995) telah sering digunakan oleh para peneliti untuk
menganalisis seberapa besar tekanan nilai tukar dan tekanan intervensi yang
dilakukan oleh bank sentral. Hal tersebut dikarenakan model Weymark sangat
bermanfaat untuk menganalisis tekanan intervensi suatu negara yang tidak
mempublikasikan aktivitas intervensinya. Selain itu, model Weymark juga dapat
mengukur aktivitas multi intervensi khususnya di negara yang menerapkan sistem
nilai tukar mengambang. Chen dan Taketa (2006) melakukan pengujian ketepatan
indeks intervensi yang dikembangkan oleh Weymark dengan membandingkan
indeks intervensi Weymark dengan indeks intervensi sebenarnya. Chen dan
Taketa (2006) mengambil kasus di Jepang dimana negara tersebut
mempublikasikan aktivitas intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Jepang.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukan indeks intervensi Weymark dan indeks
sebenarnya berbeda, dimana indeks Weymark