Pola Strategi Nafkah Rumahtangga di Kawasan Rentan Banjir Pedesaan (Kasus Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat)

(1)

(Kasus Desa Sungai Buntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat)

PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul POLA STRTAEGI NAFKAH RUMAH TANGGA DI KAWASAN RENTAN BANJIR PEDESAAN adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Prima Yustitia Nurul Islami


(3)

RINGKASAN

PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI. Pola Strategi Nafkah Rumahtangga di Kawasan Rentan Banjir di Pedesaan (Kasus Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh LALA M KOLOPAKING dan EKAWATI SRI WAHYUNI

Kejadian banjir yang terjadi di Kabupaten Karawang termasuk dalam jenis banjir sungai. Banjir sungai merupakan kejadian banjir akibat luapan air sungai. Kabupaten Karawang merupakan daerah yang dialiri oleh aliran DAS Citarum. Kejadian banjir di Kabupaten Karawang tidak hanya berdampak pada tergenangnya rumah dan jalan namun juga berdampak pada tergenangnya kawasan pertanian. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya persoalan sosial ekonomi pada masyarakat petani di kawasan hilir Kabupaten Karawang. Penelitian ini mencoba melihat secara utuh bagaimana masyarakat petani yang tinggal di kawasan hilir melakukan strategi nafkah untuk dapat bertahan hidup dari kejadian banjir. Selain ini tulisan ini juga mencoba untuk melakukan analisa terhadap pilihan tindakan dan strategi nafkah yang dilakukan oleh petani serta dampaknya terhadap kehidupan di rumahtangga. Sekaligus mencoba untuk menyimpulkan pilihan strategi nafkah yang lebih baik dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim.

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori moral ekonomi petani sebagai dasar untuk melakukan analisis terhadap tindakan rumahtangga menghadapi kejadian banjir. Strategi nafkah dianalisis dengan menggunakan pendekatan Ellis (1998) yang menekankan pada pilihan strategi nafkah pada saat krisis dan strategi nafkah pada saat normal. Analisis terakhir menggunakan pendekatan pengambilan keputusan dalam rumahtangga untuk melihat peran dominasi keputusan dalam rumahtangga saat terjadi kejadian banjir maupun saat normal. Penelitian ini dilakukan di Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang selama 6 bulan dengan dua kali pengambilan data yaitu pada Mei sampai Juni 2013 dan Maret sampai Mei 2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung data kuantitatif dengan metode kasus kejadian banjir yang terjadi di Desa Sungai Buntu. Data diperoleh dari proses wawancara mendalam. Penelitian ini mengambil 10 orang informan kunci buruh tani dan 6 orang responden pemilik lahan dengan informan kunci antara lain lembaga masyarakat lokal, kepala desa, petinggi desa, dan beberapa informan kunci lainnya. Analisa data menggunakan analisa data kualitatif yang dimulai dengan reduksi dan berakhir dengan penarikan kesimpulan serta mengolah data kuesioner dengan menggunakan Excel.

Peningkatan kemiskinan akibat kejadian banjir yang disebabkan oleh persoalan akibat iklim ektrim dan tingginya alih fungsi lahan akibat kebijakan pembangunan yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan sehingga mendorong terjadinya peningkatan kerentanan masyarakat di wilayah rawan banjir. Peningkatan kerentanan masyarakat merupakan peningkatan kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Kejadian banjir yang terjadi di Desa Sungai Buntu dibedakan menjadi dua antara lain kejadian banjir rutin dengan periode satu tahun


(4)

sekali dan kejadian bencana banjir. Kejadian banjir rutin merupakan kejadian yang terjadi satu tahun sekali yang berdampak pada mundurnya masa tanam maupun percepatan masa panen. Kejadian bencana banjir merupakan kejadian yang terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan dengan tinggi genangan lebih dari satu meter. Kejadian banjir menyebabkan terjadinya berbagai persoalan baik persoalan sosial maupun ekonomi yang terjadi dilingkungan masyarakat dan rumahtangga. Berbagai persoalan akibat kejadian banjir menyebabkan masyarakat harus melakukan tindakan untuk dapat bertahan hidup. Tindakan untuk bertahan hidup disebut sebagai strategi nafkah yang dilakukan dirumahtangga baik oleh rumahtangga buruh tani maupun rumahtangga pemilik lahan.

Hasil kajian menunjukkan bahwa pemilik lahan dan buruh tani memiliki strategi nafkah yang berbeda dalam mengatasi kejadian banjir (bencana dan banjir rutin). Strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik lahan saat terjadi bencana banjir antara lain menggadaikan sawah, menjual ternak dan barang berharga, berdagang, serta mengembangkan usaha pembuatan opak. Strategi nafkah yang dilakukan pemilik lahan saat terjadi banjir rutin adalah memanen padi lebih awal jika terjadi pada akhir masa tanam, maupun memundurkan waktu tanam jika banjir terjadi diawal masa tanam. Selama periode menunggu umumnya pemilik lahan mengembangkan usaha opak dan berdagang.

Strategi nafkah yang dilakukan oleh buruh tani pada saat terjadi bencana banjir adalah mengais padi di desa sebelah (yang sedang tidak banjir), mengambil kerang di laut, menjadi tukang becak dan menjual ikan di tempat penjualan ikan. Strategi nafkah yang dilakukan buruh tani pada saat terjadi banjir musiman umumnya adalah buruh migran, buruh pabrik, menjadi pelayan toko, dan menjadi pekerja seks komersial. Strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik lahan dan buruh tani umumnya dibedakan menjadi pertanian sebagai strategi nafkah, keterampilan sebagai strategi nafkah, dan jasa sebagai strategi nafkah.

Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik lahan dan buruh tani memiliki dampak sosial dan ekonomi yang berbeda. Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik lahan pada saat banjir umumnya adalah strategi nafkah untuk dapat bertahan hidup saat kritis dengan menggunakan prinsip subsistensi yang hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh buruh tani merupakan strategi nafkah survival dimana buruh tani melakukan strategi tersebut tidak hanya saat terjadi kejadian banjir namun juga dilakukan pada saat normal.

Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga pemilik lahan dan buruh tani pada saat banjir maupun normal memiliki perbedaan dominasi pelaku dalam rumahtangga. Pada rumahtangga pemilik lahan, dominasi pelaku pekerjaan produktif adalah suami sedangkan pada rumahtangga buruh tani dominasi pelaku pekerjaan produktif adalah istri. Pada pengambilan keputusan dalam rumahtangga terkait pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga, pada rumahtangga pemilik lahan didominasi oleh suami begitupun yang terjadi pada rumahtangga buruh tani.


(5)

SUMMARY

PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI. Household Livelihoods Strategy in Flood

Prone Areas in Rural Areas ( Case Sungai Buntu Village , District Pedes,

Karawang, West Java Province. Dibimbing oleh LALA M KOLOPAKING dan

EKAWATI SRI WAHYUNI

Flood events that occurred in Karawang included in river flooding. Flooding of the river is flooding events due to the overflow of the river water. Karawang district is an area drained by streams Citarum. Genesis flood in Karawang regency not only affects the home and road stagnant, but also have an impact on stagnancy of agricultural region. These conditions led to increased social and economic problems in farming communities in the region downstream of Karawang. This research attempts to see how the whole community of farmers who live in the area downstream doing living strategies for survival of flood event. In addition to this , this research tries to analyze the choice of action and livelihood strategies undertaken by farmers as well as its impact on life in the household. At the same time trying to conclude option better livelihood strategies in the face of extreme climatic conditions.

This research uses the approach of moral theory of peasant economy as a basis for the analysis of the actions of households facing flood events. Livelihood strategies are analyzed by using the approach of Ellis (1998 ), which emphasizes on the choice of livelihood strategies in times of crisis and during normal livelihood strategies. Last analysis using the approach of decision making within the household to see the role of dominance in the household decision during a flood event or when normal. This research was conducted in the village of Sungai Buntu, Karawang District Pedes for 6 months with twice the data collection is in May to June 2013 and March to May 2014. This study used a qualitative approach to the quantitative data supported the case study method flood events that occurred in Sungai Buntu Village. Data obtained from in-depth interview process and using a simple questionnaire. This study took 30 respondents farm workers and 6 respondents landowners with key informants are local community organizations, village chiefs, village officials, and the local community. Data were analyzed using qualitative data analysis that begins with the reduction and ends with a conclusion.

Increased incidence of poverty due to flooding caused by extreme climate issues and the high land conversion due to development policies that destroy natural resources and the environment so as to encourage an increase in the vulnerability of communities in flood -prone areas. Increased vulnerability of communities is an increase in poverty in society. Flood events that occurred in the village of Sungai Buntu divided into two inter alia regular flooding events with a period of one year once and flood events. Regular flood events is an event that happens once a year that have an impact on the acceleration of the decline of the growing season and harvest time. Genesis flood disaster is an event that occurred in more than a month with a high pool of more than one meter. Flood events cause various problems both social and economic problems that occur within the


(6)

community and household. Various problems due to flood events that the community must take action to be able to survive. Action to survive referred to as the strategy undertaken in household income either by farm workers and landowners.

The results showed that the landowners and farm workers have different livelihood strategies in dealing with flood events (disasters and floods regularly). Livelihood strategies undertaken by the land owner when the flood , among others mortgaged rice fields, cattle and valuables sell, trade, and develop the business of making opak. Livelihood strategies undertaken during floods landowners routine is the rice harvest early in the event at the end of the growing season, and rewind time of planting if flooding occurs at the beginning of the growing season. During the waiting period generally opaque land owners to develop business and trade.

Livelihood strategies undertaken by farm workers in the event of floods is paddy paw in the next village (which are not flooded), take the shells in the sea, became a pedicab driver and sell fish in a fish sales. Livelihood strategies undertaken farm workers in the event of seasonal flooding generally migrant workers, factory workers, became a clerk, and became a commercial sex worker. Livelihood strategies carried out by landowners and farm workers are generally divided into farming as a livelihood strategy, skill as a livelihood strategy, and services as a livelihood strategy.

Choice of livelihood strategies carried out by landowners and farm workers have social and economic impacts of different. Choice of livelihood strategies undertaken by the owner of the land at the time of flooding generally is a living strategy to survive the critical moment by using the principle of subsistence to meet basic needs. Choice of livelihood strategies undertaken by farm workers are living a survival strategy in which farm workers doing the strategy is not only the time of the flood events but also performed at the normal time.

Choice of livelihood strategies undertaken by households landowners and farm workers during the normal flood or has the distinction domination of the household. On household land owners, the domination of productive work in the household while her husband is a hodge domination of productive employment is the wife. In related decision making in the household livelihood strategy choices made by households, the household landowners dominated by the husband happens to the household as well as farm laborers.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

POLA STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DI

KAWASAN RENTAN BANJIR PEDESAAN

(Kasus Desa Sungai Buntu Kecamatan Pedes Kabupaten

Karawang, Provinsi Jawa Barat)

PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(9)

(10)

Judul Tesis : Pola Strategi Nafkah Rumahtangga di Kawasan Rentan Banjir Pedesaan (Kasus Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Prima Yustitia Nurul Islami

NIM : I353110121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Lala M Kolopaking dan Ibu Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Arya Hadi Darmawan yang telah banyak memberi kritik dan saran. Terimakasih kepada rekan-rekan team di CCROM SEAP IPB yang telah menjadi teman diskusi dan berbagi peran selama penulis menjalani masa kuliah, penelitian dan dalam masa penulisan tesis. Penghargaan yang besar kepada rekan-rekan Sosiologi Pedesaan 2011 yang telah memberikan semangat moril dan sebagai teman seperjuangan dalam berdiskusi, mencurahkan hati dan saling mendukung. Ungkapan terima kasih yang setulusnya kepada Aji Marta Prihantoro yang selalu mendukung psikis dan moril kepada penulis serta kedua orang tua dan keluarga penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI II

DAFTAR GAMBAR IV

DAFTAR TABEL V

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 4

Pertanyaan Penelitian 5

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

PENDEKATAN TEORITIS 6

Karakteristik Rumahtangga Petani 7

Rasionalitas Petani 8

Livelihood Strategy 9

Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga 13

Peran dan Status dalam Rumahtangga 14

Hasil Penelitian Sebelumnya 17

Alur Pemikiran 18

METODOLOGI PENELITIAN 21

Paradigma Penelitian 21

Metode dan Strategi Penelitian 21

Pendekatan lapangan 21

Metode Pengumpulan dan Analisa Data 22

Lokasi dan Waktu Penelitian 22

Unit Analisa 23

Jenis dan Sumber Data 23

PROFIL LOKASI, ALIH FUNGSI LAHAN, PERUBAHAN LINGKUNGAN

DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEJADIAN BANJIR 25

Kabupaten Karawang 25

Peningkatan Alih Fungsi Lahan 26

Perubahan Kondisi Iklim 29

Peningkatan Suhu Udara 29

Peningkatan Kejadian Iklim Ekstrim 30

Dampak Periode Kejadian Banjir 31

Tingkat Kerentanan Kabupaten Karawang Terhadap Kejadian Banjir 32

Tingkat Keterpaparan Kabupaten Karawang 33

Tingkat Sensitifitas Kabupaten Karawang 33

Tingkat Kemampuan Adaptif Kabupaten Karawang 34

Gambaran Umum Desa Sungai Buntu 35

Jumlah Penduduk Desa Sungai Buntu 36

Pertanian di Desa Sungai Buntu 37

Budaya dan Kebiasaan Masyarakat Desa Sungai Buntu 38


(13)

Tingkat Keterpaparan 39

Tingkat Sensitifitas 39

Tingkat Kemampuan Adaptif 40

Kejadian Banjir di Desa Sungai Buntu 40

Kejadian Bencana di Desa Sungai Buntu 43

ANALISIS DAMPAK KEJADIAN BANJIR 45

Periode dan Penyebab Kejadian Banjir 45

Kejadian banjir bencana atau rutinitas? 47

Pilihan tindakan mengatasi banjir sebagai bencana akibat Perubahan Iklim 48

Pilihan tindakan mengatasi banjir sebagai rutinitas 50

Analisis Dampak Sosial Ekonomi Akibat Dampak Kejadian Banjir 50

Analisis Dampak Kejadian Banjir 54

Kesimpulan 55

ANALISIS POLA STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SAAT

KEJADIAN BANJIR 56

Tindakan Kolektif Masyarakat Menghadapi Kejadian Banjir 56

Pilihan Strategi Nafkah Rumahtangga Masyarakat 58

Analisis Pilihan Strategi Nafkah Pemilik Lahan 61

Strategi Nafkah On Farm 62

Strategi Nafkah Non Farm (Membuat opak) 63

Analisis Pilihan Strategi Nafkah Buruh Tani 68

Strategi Nafkah On Farm 69

Mengais Padi 69

Mengambil Kerang di Pantai 69

Strategi Nafkah Non Farm 70

Pelayan Toko atau Restaurant 70

Pedagang Kecil (Penjual Ikan) 70

Buruh Migran sebagai Startegi Nafkah 70

Pekerja Seks Komersial sebagai Startegi Nafkah 79

Analisis Pilihan Strategi Nafkah 84

Kesimpulan 85

ANALISIS PILIHAN STRATEGI NAFKAH TERHADAP KETAHANAN

RUMAHTANGGA 86

Pembagian Kerja di Rumahtangga Pemilik Lahan 92

Pengambilan Keputusan Rumahtangga 95

Analisis Pilihan Strategi Nafkah Terhadap Ketahanan Rumah Tangga 100

PENUTUP 103

Kesimpulan 103

Saran 103

DAFTAR PUSTAKA 104


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Alur Pemikiran 20

Gambar 2 Posisi dan Batas Administratif Kabupaten Karawang di DAS Citarum 25

Gambar 3 Grafik Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Karawang 27

Gambar 4 Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang 35

Gambar 5 Urutan Kebiasaan Masyarakat Petani di Desa Sungai Buntu 38

Gambar 6 Jumlah Kejadian Banjir di Kecamatan Pedes (BNPB, 2014) 41

Gambar 7 Kerugian Akibat Banjir di Kecamatan Pedes 41

Gambar 8 Total rumahtangga yang merugi akibat banjir 42

Gambar 9 Pilihan Strategi Nafkah Saat Terjadi Banjir 62

Gambar 10 Pertanian sebagai Pilihan Strategi Nafkah Pemilik Lahan 62

Gambar 11 Keterampilan sebagai Pilihan Strategi Nafkah Pemilik Lahan 63 Gambar 12 Keterampilan sebagai Pilihan Strategi Nafkah Pemilik Lahan 64 Gambar 13 Presentasi Pilihan Strategi Nafkah pada Rumahtangga Pemilik Lahan

65

Gambar 14 Kegiatan Pembuatan Opak 68

Gambar 15 Pilihan Strategi Nafkah Buruh Tani saat terjadi Banjir 69

Gambar 16 Strategi Nafkah Buruh Tani 71

Gambar 17 Remitan yang dihasilkan buruh migran 72

Gambar 19 Jumlah Perceraian di Kabupaten Karawang 82

Gambar 20 Pilihan Strategi Nafkah Keluarga Buruh Tani 86

Gambar 21 Pembagian kerja domestik pada rumahtangga buruh tani migran 87

Gambar 22 Pembagian kerja pada kegiatan kemasyarakatan 88

Gambar 23 Strategi Nafkah Perempuan pada Rumahtangga Buruh Tani 89

Gambar 24 Pembagian Kerja pada rumahtangga buruh tani saat terjadi banjir 90

Gambar 25 Pilihan Pekerjaan Pemilik Lahan 92

Gambar 26 Pembagian kerja domestik pada rumahtangga pemilk lahan 93

Gambar 27 Pelaku Kegiatan Kemasyarakatan rumahtangga pemilik lahan 93

Gambar 28 Pembagian Kerja Rumahtangga Pemilik Lahan Saat banjir 94

Gambar 29 Pengambilan keputusan pada rumahtangga pemilik lahan 96

Gambar 30 Pengambilan keputusan pada rumahtangga pemilik lahan 97

Gambar 31 Dominasi Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga Buruh Tani 98


(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan Sumber Data 24

2 Tahun – tahun terjadinya Kegagalan Panen 28

3 Jumlah penduduk berdasarkan umur 36

4 Data kejadian Banjir dan Kekeringan 43

5 Periode Kejadian Bencana 46

6 Kejadian Banjir 10 tahun terakhir 47

7 Perbedaan Dampak dan Kejadian Banjir di Desa Sungai Buntu 48

8 Tindakan untuk mengatasi kejadian bencana banjir 49

9 Tindakan untuk mengatasi kejadian banjir rutin 50

10 Informasi Data Penilaian Kerugian Ekonomi Perubahan Iklim 52

11 Kejadian banjir dalam satu tahun 55

12 Tindakan Kolektif Masyarakat Menghadapi Kejadian Banjir 57

13 Faktor yang mempengaruhi pilihan strategi nafkah 58

14. Pilihan Strategi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sungai Buntu 59

15 Pilihan Strategi yang Pemilik Lahan dalam satu tahun 60

16 Pilihan Strategi yang Buruh dalam satu tahun 60

17 Pengeluaran Rumah Tangga Pemilik Lahan 66

18 Biaya dan Kebutuhan pada Industri Pembuatan Opak 66

19 Potensi Remitan dan kurun waktu tertentu 73

20 Dampak Sosial Bekerja sebagai Buruh Migran 76

21 Pengeluaran Rumah Tangga Buruh Tani 77

22. Tabel Pendapatan dan Sharing Remitan 78

23 Pendapatan Mata Pencaharian lain 83

24 Pengeluaran Rumah Tangga 83

25 Pelaku Strategi Nafkah dalam Rumahtangga Buruh Tani 91


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Persoalan perubahan lingkungan merupakan salah satu fenomena penting yang menjadi sorotan dunia internasional pada dekade 2000an. Perubahan lingkungan terjadi akibat banyak faktor, dua sebab besar terjadinya perubahan lingkungan adalah akibat tindakan manusia dan perubahan iklim yang terjadi secara alami setiap tahunnya. Perubahan lingkungan secara alami dipengaruhi oleh iklim baik yang disebabkan oleh perubahan suhu maupun perubahan curah hujan. Percepatan perubahan lingkungan secara tidak langsung dipengaruhi oleh percepatan perubahan iklim, namun terdapat faktor pendorong lain yang menyebabkan peningkatan dampak dari perubahan lingkungan. Banjir, longsor, dan kekeringan merupakan dampak perubahan lingkungan yang sangat cepat dimana lokasi yang terkena dampak menjadi kawasan rentan terhadap potensi bencana terutama bencana banjir.

Perubahan lingkungan tersebut sebagian besar disebabkan oleh berbagai akumulasi tindakan manusia yang berdampak pada cepatnya perubahan lingkungan (Tjitroresmi, 2007). Perubahan lingkungan menyebabkan berbagai dampak yang diperparah dengan iklim yang tidak menentu dalam jangka waktu yang sangat panjang. Dampak utama perubahan iklim yang mempengaruhi potensi bencana banjir adalah kenaikan air laut. Kenaikan air laut disebabkan perubahan iklim dapat menimbulkan krisis dari berbagai dimensi baik sosial, ekonomi, lingkungan kesehatan masyarakat yang berdampak terutama bagi masyarakat miskin. Data (ACCCRN, 2010) menunjukkan terjadi peningkatan permukaan air laut yang diperparah dengan penurunan permukaan tanah sebesar 8-9cm per tahun, menyebabkan banjir atau rob semakin meluas dan terjadi berbagai bencana lainnya antara lain tanah longsor, kekeringan, abrasi, dan angin topan.

Berbagai potensi bencana yang terjadi di Indonesia diperparah dengan letak kawasan yang berada di wilayah yang rawan terhadap berbagai kejadian bencana antara lain geologi (gempa bumi, gunung api, longsor, tsunami) dan bahaya hidrometereologi (banjir, kekeringan, pasang surut, dan gelombang besar) (Haryono, 2006). Data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB, 2006) menjelaskan bahwa kejadian bencana yang terjadi pada periode 2002 sampai 2005 tercatat mencapai 2.184 kejadian bencana di Indonesia. Bencana hidrometeorologi mencapai 53,3% dengan 743 (35%) kejadian banjir, 615 (28%) kejadian kekeringan, 222 (10%) kejadian tanah longsor, 217 (9,9%) kejadian kebakaran, dan 17% kejadian lain seperti gampa bumi, kerusuhan dan kegagalan teknologi.

Indonesia merupakan kawasan dengan bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi salah satunya adalah banjir. Banjir merupakan bencana yang hampir terjadi setiap tahun di berbagai kawasan di Indonesia. Secara geografis dan geologis kawasan rawan banjir di Indonesia disebabkan oleh luapan air sungai. Indonesia memiliki 6000 sungai induk dan 5.590 berpotensi menimbulkan banjir (Haryono, 2006). Sungai memiliki peran strategis sebagai salah satu sumberdaya alam yang mendukung kehidupan masyarakat. Peranan sungai menjadi penting dalam mempertahankan sumberdaya air dan sebagai sumber air


(17)

irigasi di pedesaan. Sungai juga memiliki persoalan utama yaitu terkait dengan pengelolaan daerah aliran sungai dan ditambah persoalan peningkatan bencana di kawasan DAS seperti longsor, erosi, dan sedimentasi (Suganda, 2009).

Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah yang berada di kawasan DAS Citarum. Berbagai persoalan di hulu DAS Citarum berdampak besar bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hilir salah satunya petani. Petani yang tinggal di kawasan hilir, memiliki lahan garapan di kawasan pesisir Karawang. Potensi bencana yang sering terjadi antara lain banjir, kekeringan, dan intrusi air laut yang terkait dengan perubahan iklim serta persoalan tingginya alih fungsi lahan pertanian. Kabupaten Karawang berada di kawasan hilir dari DAS Citarum menyebabkan terkenanya luapan air laut pada saat hujan lebat maupun kurangnya pasokan air saat kemarau yang diperparah dengan intrusi air saat air laut pasang.

Potensi bencana yang terjadi di Kabupaten Karawang adalah banjir dan kekeringan. Kejadian banjir lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian kekeringan. Penyebab utama bencana tersebut adalah alih fungsi lahan yang sangat tinggi yang terjadi baik di kawasan hulu DAS Citarum maupun di Kabupaten Karawang. Tingginya alih fungsi lahan tersebut menyebabkan kawasan hijau yang berfungsi sebagai penahan air, tidak lagi berfungsi dengan baik. Tingginya alih fungsi lahan di Kabupaten Karawang dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang paling utama adalah tindakan manusia dalam mengelola lingkungan. Tingginya alih fungsi lahan berdampak besar pada peningkatan periode bencana setiap tahunnya.

Analisis terhadap iklim historis1 yang dilakukan oleh Faqih et al (2013) di Kabupaten Karawang menunjukkan, tinggi hujan rataan 30 tahunan dengan jarak interval 10 tahunan antar periode rataan (dasawarsa) menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan dengan laju peningkatan sekitar 4 mm per dasawarsa yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan iklim yang mempengaruhi perubahan curah hujan2. Perubahan intensitas hujan yang terjadi di Kabupaten Karawang merupakan akibat dari pemanasan global yang berdampak pada perubahan awal musim dan panjang musim hujan. Berubahnya pola, awal musim dan panjang musim hujan akan berpengaruh besar pada sektor pertanian. Perubahan awal musim akan mempengaruhi pola tanam dan intensitas tanam. Wilayah yang panjang musim hujan semakin pendek akan menghadapi kendala dalam meningkatkan produksi pertanian. Upaya peningkatan produksi dengan perluasan areal sudah sangat terbatas karena keterbatasan ketersediaan lahan. Pendeknya musim hujan diperparah dengan intensitas hujan yang sangat tinggi sehingga potensi banjir di Kabupaten Karawang. Pada saat musim kemarau, pasokan air yang tidak merata menjadi dampak kekeringan bagi petani di Kabupaten Karawang.

1

Data historis yang digunakan adalah data observasi iklim global yang disusun oleh Climate Research

Unit, University of East Anglia (CRU, Ref.) yang dikoreksi dengan menggunakan data observasi 54 stasiun pengamatan dan satelit (TRMM) yang ada di DAS Citarum (Faqih et al., 2013)

2

Meningkatnya keragaman hujan tahunan pada beberapa dasawarsa terakhir terutama disebabkan oleh besarnya keragaman hujan pada musim hujan (DJF). Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kejadian iklim esktrim yang menaikan curah hujan setiap dasawarsa. Kondisi ini diperkirakan erat kaitannya dengan

meningkatnya frekuensi kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation). Intensitas kejadian La Nina dalam

beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan sehingga hujan pada musim ini juga cenderung meningkat


(18)

Kejadian banjir yang terjadi di Kabupaten Karawang termasuk dalam jenis banjir sungai. Banjir sungai merupakan kejadian banjir akibat luapan air sungai. Kabupaten Karawang merupakan daerah yang dialiri oleh aliran DAS Citarum yang jika meluap menyebabkan banjir khususnya pada daerah yang berdekatan langsung dengan sungai. Luasan kejadian banjir di Kabupaten Karawang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2012, luasan kejadian banjir mencapai 817 hektar yang tersebar di beberapa kecamatan yang meningkat 10% dari kejadian banjir pada tahun sebelumnya. Kejadian banjir di Kabupaten Karawang tidak hanya berdampak pada tergenangnya rumah dan jalan namun juga berdampak pada tergenangnya kawasan pertanian. Genangan yang terjadi pada kawasan pertanian mencapai ratusan hektar baik disebabkan oleh banjir akibat intensitas hujan maupun diperparah dengan adanya peningkatan intrusi air laut3.

Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya persoalan sosial ekonomi pada masyarakat petani di petani di kawasan hilir Kabupaten Karawang. Sulistyanto (2013) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara bencana alam dan kemiskinan dibidang pertanian yang memiliki kerentanan terhadap potensi kejadian banjir dan kekeringan. Hal tersebut disebabkan lahan pertanian yang mengalami penggenangan oleh air banjir tidak bisa ditanami oleh para petani, jalan yang terendam menyulitkan akses terhadap pemenuhan kebutuhan hidup. Jumlah petani gurem (buruh tani) di Kabupaten Karawang mencapai 90% dari total seluruh petani. Sistem pertanian yang digunakan adalah sistem bagi hasil antara buruh dan pemilik lahan. Kerugian pertanian akibat banjir maupun bencana iklim lainnya meningkatkan persoalan pada rumahtangga buruh tani akibat peningkatan hutang kepada pemilik maupun tidak adanya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.

Peningkatan alih fungsi lahan maupun persoalan iklim yang tidak menentu merupakan faktor yang sangat besar terhdap peningkatan kejadian banjir. Peningkatan kejadian banjir menyebabkan petani harus bertahan hidup dalam kondisi tersebut (kondisi krisis) (Tacoli, 2009). Penelitian Kartiki (2011) menjelaskan hubungan yang terjadi akibat kejadian iklim ekstrim kekeringan terhadap tindakan sosial yang dilakukan rumahtangga yaitu dengan migrasi. Tindakan migrasi merupakan salah satu strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat krisis. Ellis (1998) menjelaskan hal tersebut sebagai strategi nafkah saat krisis, dimana tindakan untuk merubah strategi nafkah yang lama dengan strategi nafkah baru yang bersifat sementara maupun dilakukan seterusnya (setelah tidak ada bencana).

Rutinitas kejadian banjir terjadi di Kabupaten Karawang menyebabkan beberapa daerah di kawasan tersebut termasuk dalam kawasan rentan banjir. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat melakukan strategi nafkah ( livelihood strategy). Sconnes (1998) menjelaskan livelihood strategy merupakan suatu strategi mata pencaharian yang terdiri dari kemampuan, aset (material dan sumberdaya sosial) dan kegiatan yang dibutuhkan sebagai sarana hidup. Keberlanjutan kehidupan akan terjadi dapat beradaptasi dari stres dan persoalan saat terjadi bencana dan melakukan pemeliharaan serta meningkatkan kemampuan dan aset tanpa merusak sumberdaya alam.

3

Data kejadian banjir di Kabupaten Karawang dikutip dari


(19)

Saragih (2007) menyatakan bahwa livelihood strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya untuk mendapatkan penghasilan sehingga mampu mempertankan kelangsungan hidupnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa migrasi merupakan salah satu strategi bertahan hidup dalam menghadapi bencana iklim sebagaimana yang ditemukan Lucas dan Stark (1985) dan Cassels (2005). Lucas dan Stark (1985) menemukan bahwa yang tinggal di wilayah yang kering, melakukan migrasi internasional dengan tujuan kehidupan yang lebih baik sedangkan Cassels (2005) menemukan bukti kebenaran dari hubungan tersebut di Sulawesi Utara dimana masyarakat petani cengkeh melakukan migrasi.

Hasil Penelitian ini mencoba melihat secara utuh bagaimana masyarakat petani yang tinggal di kawasan hilir melakukan strategi nafkah untuk dapat bertahan hidup pada saat terjadi banjir maupun dalam periode untuk mengatasi banjir dimasa yang akan datang. Selain ini hasil penelitian ini juga mencoba untuk melakukan analisa terhadap pilihan tindakan dan strategi nafkah yang dilakukan oleh petani serta dampaknya terhadap kehidupan di rumahtangga. Hasil Penelitian ini mencoba untuk menyimpulkan pilihan strategi nafkah yang lebih baik dalam menghadapi kejadian banjir.

Rumusan Masalah

Kemiskinan masyarakat pedesaan menjadi satu hal yang menarik yang terus dikaji. Berbagai alasan dan penyebab yang menyebabkan kemiskinan menjadi satu kajian tersendiri yang penting. Kemiskinan merupakan proses yang terbentuk maupun dibentuk. Petani merupakan salah satu masyarakat yang termasuk kategori miskin dengan berbagai indikator kemiskinan yang dapat menunjukkan kemiskinan petani. Persoalan kepemilikan lahan, status pekerjaan, pembagian hasil, maupun persoalan lain menyebabkan kondisi kemiskinan menjadi bagian dari kehidupan petani. Persoalan kemiskinan pada dekade 2000an diperparah dengan isu perubahan lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Peningkatan alih fungsi lahan yang tinggi pada beberapa kawasan juga menyebabkan kejadian bencana baik kekeringan maupun kejadian banjir.

Dampak berbagai alih fungsi lahan dan peningkatan kejadian banjir. Kejadian banjir yang meningkat berdampak pada peningkatan kerugian petani akibat kegagalan panen. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat petani khususnya melakukan suatu strategi nafkah. Berbagai strategi nafkah dilakukan oleh petani untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi kritis. Kondisi kritis yang dialami secara berulang pada petani berdampak pada munculnya tindakan adaptasi yang dilakukan petani. Berbagai tindakan tersebut berdampak pada kehidupan petani yang dirasakan secara terus menerus. Hubungan yang saling mempengaruhi antara pilihan tindakan dimasa lalu dan dampak yang dirasakan dimasa depan menjadi persoalan yang akan dikaji dalam tulisan ini. Selain itu, bagaimana tindakan rumahtangga saat banjir maupun tidak terjadi banjir, apakah pilihan strategi nafkah merupakan tindakan sehari hari yang dilakukan.


(20)

Pertanyaan Penelitian

Secara garis besar pertanyaan utama yang akan dijawab dalam penulisan kajian ini adalah “Bagaimana strategi pola nafkah rumahtangga di kawasan rentan banjir di pedesaan”. Oleh karena itu terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam kajian ini antara lain :

1. Bagaimana bentuk pola strategi nafkah (livelihood strategy) yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sungai Buntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang? ;

2. Bagaimana implikasi dari pilihan strategi nafkah (livelihood strategy)

terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di Desa Sungai Buntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang? ;

3. Bagaimana implikasi dari pilihan strategi nafkah (livelihood strategy)

pada ketahanan rumah tangga ?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penulisan hasil penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana livelihood strategy yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sungai Buntu. Adapun tujuan penulisan kajian secara lebih rinci dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi bentuk pola dan strategi nafkah (livelihood strategy) yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sungai Buntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang;

2. Menganalisis implikasi dari pilihan strategi nafkah (livelihood strategy)

terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di Desa Sungai Buntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang;

3. Menganalisis implikasi dari pilihan strategi nafkah (livelihood strategy) pada ketahanan rumah tangga terhdap potensi bencana iklim lain di masa depan.

Manfaat Penelitian

Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengetahuan sosiologi pedesaan tentang implikasi dari pilihan strategi nafkah (livelihood strategy). Secara lebih khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dampak pilihan strategi nafkah terhadap ketahanan maupun kerentanan rumahtangga petani saat terjadi kejadian banjir.


(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Definisi banjir menurut Schwab et.al (1981) merupakan luapan atau genangan dari sungai atau badan air lainnya yang disebabkan oleh curah hujan yang berlebihan atau salju yang mencair atau dapat pula karena gelombang pasang yang membanjiri kebanyakan pada dataran banjir. Banjir merupakan aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Hewlet, 1982). Banjir dalam istilah teknis merupakan aliran sungai yang mengalir melampaui kapasitas tamping sungai yang mengakibatkan genangan di sekitarnya. Banjir merupakan bencana alam yang disebabkan oleh peristiwa alam salah satunya adalah hujan. Sugiyanto (2002) membagi banjir dalam dua peristiwa pertama banjir terjadi di daerah yang tidak biasa terkena banjir dan kedua banjir terjadi karena limpasan air dari sungai karena debitnya yang besar sehingga tidak mampu dialirkan oleh alur sungai.

Banjir tidak hanya disebabkan oleh meluapnya air sungai melainkan oleh kelebihan curah hujan dan fluktuasi muka air laut khususnya dataran alluvial pantai, unir geomorfologi seperti rawa, dataran banjir, daerah pertemuan sungai dan dataran alluvial yang merupakan kawasan rentan banjir (Dibyosaputro, 1984). Kelebihan air menggenangi suatu daerah yang disebabkan oleh kelebihan hujan lokal dapat menjadi salah satu penyebab banjir. Banjir merupakan bencana alam (natural hazard) yang paling merusak. Bencana ini melanda daerah cekung sampai datar yang terletak di dataran rendah.

Diposaptono (2009) menjelaskan salah satu unsur iklim yang berfungsi sebagai pengendali cuaca adalah suhu udara, perubahan suhu udara mencirikan perubahan iklim. Perubahan suhu udara akan berpengaruh terhadap parameter iklim lainnya seperti tekanan udara, angin, dan curah hujan (Diposaptono,2009). Indonesia mengalami perubahan iklim yang sudah berlangsung dalam 20 tahun terakhir. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan suhu tahunan rata rata 0,3ºC sejak tahun 1990, keterlambatan datangnya musim hujan, rentang waktu selama musim hujan lebih singkat, namun intensitas curah hujan lebih intensif yang menyebabkan peningkatan resiko banjir, peningkatan resiko kebakaran hutan dan lahan, perubahan kadar penguapan air, kelembaban tanah. Kondisi tersebut berdampak pada sektor pertanian dan ketahanan pangan, penurunan kesuburan tanah sekitar 2 sampai 8 persen yang berdampak pada perkiraan kurangnya hasil panen sekitar 4 persen per tahun, kacang kedelai sekitar 10 persen dan jagung sekitar 50 persen dan naiknya permukaan air laut yang akan mengancam daerah dan masyarakat pesisir.

Terjadi peningkatan curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 %. Intensitas curah hujan telah meningkat akhir-akhir ini bila dibandingkan dengan waktu 1950 -1999. Perubahan iklim yang dicirikan dengan peningkatan suhu berdampak signifikan pada prediksi jika peningkatan suhu bumi mencapai 3ºC yang menyebabkan peningkatan volume air laut akibat mencairnya es di daerah kutub (Diposaptono, 2009). Kondisi alami yang terjadi tersebut berlangsung lebih cepat akibat perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan yang menyebabkan kenaikan suhu udara. Selain itu faktor demografi yaitu jumlah penduduk menyebabkan perpindahan penduduk pada daerah tertentu. Hal tersebut berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi serta pada potensi peningkatan bencana kerusakan (Mudiyarso dkk, 2012). Peningkatan bencana dan kerusakan yang saat ini terjadi dan berdampak sangat besar adalah kejadian banjir.


(22)

Karakteristik Rumahtangga Petani

Rumah tangga petani adalah rumahtangga yang sekurang kurangnya satu anggota dalam rumahtangga melakukan kegiatan pertanian baik bertani, berkebun, menanam, beternak, menjadi nelayan maupun melakukan usaha dalam bidang jasa di sektor pertanian dimana tindakan tersebut bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atas resiko sendiri (Sensus Pertanian, 1993). Petani memiiliki empat karakteristik yang utama antara lain petani merupakan pelaku ekonomi yang bergantung pada usaha milik keluarga, petani menggantungkan hidup pada lahan pertanian dimana pertanian merupakan satu satunya sumber yang diandalkan baik untuk mencukupi kebutuhan pangan, akumulasi modal (harta benda) maupun penetuan ukuran status sosial. Karakteristik petani yang ketiga, budaya yang terdapat pada petani adalah konformitas dengan memelihara tradisi serta solidaritas sosial, dan petani merupakan pihak yang cenderung selalu tertindas namun tidak mudah dikalahkan oleh kekuatan baik ekonomi, budaya, maupun politik ekternal yang mendominasi (Subali, 2005).

Rumahtangga petani di pedesaan khususnya di Jawa memiliki berbagai fungsi baik unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik yang memiliki beragam fungsi dengan prinsip utama adalah safety first. Selain memiliki prinsip, petani memiliki yang disebut sebagai moral ekonomi petani. Moral ekonomi adalah suatu analisa tentang penyebab perilaku, tindakan dan aktivitas manusia dalam kegiatan perekenomian. Moral ekonomi petani didasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas dimana saat petani mengalami keadaan yang merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadaikan harta benda mereka. Hal tersebut disebabkan oleh norma subsistensi. Scott (1983) menyatakan bahwa petani merupakan manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya. Aktivitas sangat tergantung pada norma yang ada. Scott (1983) mengatakan bahwa moral ekonomi petani memiliki kecenderungan untuk menghindari resiko dan rasionalitas dimana dalam moral ekonomi petani etika subsistensi (etika untuk bertahan dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa yang disebut sebagai moral ekonomi. Kondisi tersebut yang mengarahkan petani dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan timbal balik saat menghadapi tekanan struktural dari berbagai kekuatan yang ada.

Ciri lain dari moral ekonomi adalah ikatan patron-klien dimana pendekatan moral ekonomi menunjuk desa dan ikatan patron klien sebagai dua institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota komunitas (Scott,1983). Perilaku subsisten sebagai usaha untuk menghasilkan kebutuhan minimum dimana perilaku tersebut tidak lahir dengan sendirinya atau sudah demikian adanya (take for granted) namun dibentuk oleh kondisi kehidupan, lingkungan alam dan sosial budaya yang menempatkan petani pada garis batas antara hidup dan mati (Scott,1983). Etika subsistensi merupakan pola hidup petani yang tidak berorientasi komersil dimana kemanan sosial (social security) merupakan penjelasan hubungan dalam pola kehidupan petani. Jaminan yang ada dalam masyarakat petani merupakan sebuah sistem yang mendukung subsistensi petani dimana terdapat hubungan patron-klien untuk melangsungkan kehidupannya.


(23)

Rasionalitas Petani

Petani dalam pandangan ekonomi moral merupakan petani yang dianggap tidak memiliki sikan rasional yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, namun lebih memiliki sikap untuk mementingkan keselamatan karena pertanian yang dijalankan masih bersifat subsisten. Petani dalam ekonomi moral tidak memiliki keberanian untuk melakukan aposi terhadap inovasi baru, memiliki ketakutan kepada kemajuan dan berusahan untuk mengurangi resiko. Pada kondisi tersebut, petani subsisten tidak memiliki mekanisme pasar dan masih menjunjung tinggi etika moral dan hidup dalam suasa tolong menolong dan gotong royong. Popkin (1986) menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan petani saat ini tidak lagi menekankan pada moralitas namun pada rasionalitas dalam melakukan berbagai tindakan.

Popkins (1986) menjelaskan bahwa tindakan yang dianggap bermoral yang dilakukan oleh petani bukanlah akibat sikap yang lebih baik namun disebabkan oleh aturan hidup didesa yang memaksa untuk melakukan tindakan tersebut. Tindakan subsisten dilakukan dengan terpaksa dengan tujuan untuk menolong orang lain sehingga jika petani tersebut dalam kesusahan maka mereka akan mendapatkan bantuan yang sama. Adanya tindakan kelompok yang kuat memungkinkan kelompok menjadi tempat menggantungkan resiko dan menjadi medium untuk membagi resiko secara kolektif dimana pada akhirnya kepentingan kolektif lebih penting dari kepentingan kelompok.

Rasionalitas petani menjelasakan bahwa petani memiliki tujuan yang sama untuk memperbaiki nasibnya dimana meraka juga berusaha untuk memilih peluang yang mungkin dapat dilakukannya (Popkin,1986). Petani pada dasarnya terbuka terhadap akses pasar dan siap mengambil resiko seapanjang kesempatan untuk menjadi leboh baik ada dan hambatan dari pihak patron menghilang. Persoalan yang terjadi di pedesaan adalah kehidupan gotong royong yang memunculkan hubungan patron klien dimana dari hubungan tersebut muncullah free riders yaitu orang yang tidak mau bekerja namun ingin menikmati hasil kerja kolektif. Pemilik tanah yang merupakan patron memiliki keengganan untuk menjual hasilnya sendiri ke pasar, sebab jika kondisi tersebut terjadi maka hilanglah hubungan patron klien dimana klien bergantung terhadap patron.

Popkin (1986) menjelaskan tindakan petani bukanlah berdasarkan ekonomi moral namun petani tradisional melakukan tindakan ekonomi atas dasar prinsip prinsip rasional. Hal tersebut terlihat dari keengganan petani untuk mengambil resiko salah satunya tidak menggunakan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal. Tindakan tersebut disebabkan oleh pilihan untuk menggantikan bibit baru tersebut akan menjadi ancaman terhadap kehidupannya jika sekiranya setelah menggunakan bibit baru terjadi kegagalan panen. Popkin (1986) menjelaskan bahwa petani tradisional memiliki sikap yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi dan bukan keuntungan kelompok. Hubungan yang terjadi antara pemilik tanah dan petani tradisional (penggarap) merupakan hubungan patron – klien dimana hubungan yang terjadi antara inidividu petani dengan “orang besar” (patron) cenderung berbeda dengan hubungan yang terjadi dengan kelompok. Popkin (1986) melihat bahwa petani tradisional lebih menggantungkan hidupnya pada keluarga atau kelompok yang kecil untuk menjamin subsistensi. Petani tradisional memiliki kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal namun dengan partisipasi seminimal mungkin.

Hubungan patron klien yang terjadi di pedesaan pada dasarnya melanggengkan hubungan antara petani dan penguasa. Penguasa (patron) memiliki keengganan untuk


(24)

membiarkan petani kecil/ penggarap (klien) menjual hasil pertaniannya ke pasar dimana kondisi tersebut dibuat agar petani kecil tidak memiliki akses terhadap pasar dan bergantung sepenuhnya kepada pemilik lahan (penguasa). Popkin (1986) dalam hal ini melihat bahwa petani kecil pada dasarnya memiliki rasionalitas yang sama dengan petani besar dimana tujuan utama adalah untuk mendapatkan keuntungan. Persoalan utama yang terjadi pada masyarakat pertanian adalah dibatasinya akses petani kecil oleh sistem yang sengaja dibuat oleh petani besar agar petani kecil terus menerus bergantung kepada petani besar. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan antara petani kecil dan pemilik lahan akan terus terjalin.

Hubungan kekerabatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Scoot (1988) dipandang sebagai hubungan eksploitatif oleh Popkin (1986) dimana petani kecil hanya “dihibur” dengan halkecil seperti mencari butir padi yang tersisa agar tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen dimana kondisi tersebut menjelaskan hubungan yang terjadi bukanlah atas dasar prinsip moral namun prinsip rasional. Hayami dan Kikuchi (1987) menjelaskan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan untuk saling tolong menolong pada kondisi subsisen, namun juga memiliki pemikiran rasional ala petani. Boeke (1974) menjelaskan bahwa masyarakat memiliki perkembangan yang bersifat sosial daripada ekonomi, namun petani memiliki nilai dan sikap yang dikenal sebagai limited needs atau oriental miticism yaitu suatu sikap yang merasa puas, tentram, damai tanpa harus memaksakan keinginan lebih dari yang dimiliki. Persoalannya adalah petani sebagian besar terlibat dalam ekonomi subsisten sekaligus dengan ekonomi kapitalis sehingga petani juga menetapkan prinsip rasional.

Livelihood Strategy

Masyarakat memiliki berbagai respon terhadap perubahan lingkungan. Pranowo (1985) menjelaskan perubahan sistem pertanian masyarakat lereng gunung merapi akibat intervensi politik dan penetapan program konservasi kawasan hutan. Perubahan sistem tersebut beralih dari sistem bero ke pertanian internsif melalui teknik tegalan yang berdampak pada sistem kehidupan masyarakat tani tersebut. Soetrisno (1989) menyoroti tentang perubahan tempat tinggal masyarakat lokal kedalam hutan yang bertujuan lebih mudah dalam pembukaan lahan baru akibat adanya pemberian izin HPH kepada perusahaan yang berdampak pada berkurangnya luasan hutan primer. Kieft (2001) mengkaji respon komunitas lokasi akibat kelangkaan lahan guna menjamin ketersediaan pangan melalu pola berlapis. Pola berlapis merupakan bentuk adaptasi masyarakat, penyangga pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon dan kacang kacangan), penyangga kedua adalah ternak besar, dan penyangga ketiga adalah tanaman pangan di hutan.Bentuk respon yang dilakukan komunitas lokal tersebut menjelaskan wujud adaptasi terhadap perubahan lingkungan (intervensi ekonomi pasar dan tekanan penduduk).

Menurut Sajogyo (1991), rumahtangga petani melakukan pola nafkah ganda berbeda beda menurut tiga lapisan sosial masyarakat, yakni : (1) Lapisan atas, yaitu menguasai tanah lebih dari 1 hektar, mereka mempunyai strategi akumulasi modal dimana surplus pertanian dipakai untuk membesarkan usaha luar pertanian dan sebaliknya; (2) Lapisan menengah, menguasai tanah antara 0,5 – 1 hektar, mereka mempunyai nafkah ganda sebagai strategi bertahan hidup atau konsolidasi, dimana potensi ekonomi pertanian dan sektor luar pertanian berkembang dalam taraf rendah; dan (3) Lapisan bawah, menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar dan tidak menguasai


(25)

tanah sama sekali, mempunyai usaha kerja luar pertanian sebagai katup penyelamat yang menutup defisit pertanian. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa strategi nafkah ganda yang dilakukan oleh rumahtangga di pedesaan sangat berkait dengan pola penguasaan lahan yang terdapat pada rumahtangga yang bersangkutan

Strategi nafkah (livelihood strategy) adalah berbagai kombinasi aktivitas dan pilihan kegiatan nafkah yang dilakukan orang untuk mencapai tujuan kehidupannya (Aritiyani, 2001). Strategi nafkah adalah proses dimana rumahtangga membangun suatu kegiatan dan kapabilitas dukungan sosial yang beragam untuk bertahan hidup atau meningkatkan taraf hidupnya. Unsur unsur strategi nafkah menurut Chambers dan Conway dalam Purnomo (2006) adalah kapabilitas, aset, aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukkan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia. Aktivitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan.

Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset yang dimiliki, kapabilitas individu, dan aktivitas yang nyata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Elis (1998) mendefinisikan aset sebagai berbagai bentuk modal, modal sosial, modal fisik, modal manusia, dan modal finansial yang dimiliki dan digunakan untuk kehidupan individu dalam rumahtangga. Ashley dan Carney dalam Purnomo (2006) menyatakan bahwa akses terhadap modal dapat diperoleh rumahtangga melalui struktur proses yang telah dibakukan dalam kebijakan, tata aturan, kelembagaan atau budaya. Kelima modal tersebut selain menjadi aset yang penting bagi strategi nafkah juga dapat menjadi hasil proses strategi nafkah sebelumnya.

Elis (1998) menjelaskan bahwa strategi nafkah dapat dilakukan dalam konteks krisis. Strategi nafkah yang dilakukan dalam kondisi krisis berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan biasa (normal). Menurut Den Haan seperti dikutip Purnomo (2006) jika keberlanjutan nafkah terancam, rumahtangga akan melakukan strategi coping yang merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan seterusnya.

Strategi nafkah meliputi berbagai tindakan rasional yang diambil rumahtangga untuk mencapai tujuan yang ditetapkan rumahtangga merujuk pada Elis (1998) tindakan yang dilakukan berkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki atau tidak dapat dimiliki tetapi dapat diakses manfaatnya. Akses sumberdaya ditentukan oleh kemapuan rumahtangga dalam memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya (Purnomo, 2006). Adapun yang dimaksud dengan strategi nafkah adalah kegiatan atau keputusan yang diambil anggotnya rumahtangga untuk bertahan hidup (survival) dan atau membuat hidup lebih baik. Scoones (1998), menggolongkan strategi nafkah petani setidaknya menjadi tiga golongan besar. Ketiga strategi tersebut adalah :

1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang merupakan usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien baik melalui penambahan input ekternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian(ektensifikasi);

2. Pola nafkah ganda yang merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan);


(26)

3. Rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/ perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi).

Strategi nafkah menurut Dharmawan (2001) adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumahtangga untuk bertahan hidup (survival) dan atau membuat hidup lebih baik. Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian rumahtangga. Menurut Scoones dalam Dharmawan (2001), strategi nafkah yang dilakukan masyarakat pedesaan meliputi : 1)intensifikasi atau ektensifikasi pertanian, 2) pola nafkah ganda (keragman nafkah) dan 3)migrasi. Berdasarkan strategi nafkah tersebut, yang paling sering dilakukan oleh rumahtangga pedesaan adalah pola nafkah ganda, yakni beragam sumber pendapatan yang terdiri dari aktivitas aktivitas ekonomi di bidang pertanian dan non pertanian.

Strategi merupakan suatu pilihan yang digunakan terhadap beberapa alternatif pilihan yang tersedia. Aspek aspek penting dari konsep strategi menurut Crow dalam

Dharmawan (2001), sebagai berikut :

1. Harus ada pilihan yang dapat seseorang pilih sebagai tindakan alternatif;

2. Kemampuan melatih “kekuatan” mengikuti suatu pilihan berarti memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Oleh karena itu, memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang ada. Konteks komunitas, seseorang yang memiliki banyak akses akan memiliki kekuatan yang lebih baik untuk memaksakan kehendaknya. Konsep strategi nafkah dapat dikatakan sebagai suatu persaingan atau kompetisi untuk mendapatkan asset asset yang ingin dikuasai;

3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang dihadapi seseorang dapat dieliminir;

4. Strategi dibangun sebagai respon terhdap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang;

5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda;

6. Strategi biasanya merupakan keluaran konflik dan proses yang terjadi dalam rumahtangga;

Dharmawan (2001) menjelaskan bahwa dalam pandangan yang sangat sederhana

livelihoodterlihat sebagai “aliran pendapatan” berupa uang atau sumberdaya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dharmawan (2006) menjelaskan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Strategi nafkah memiliki pengertian yang lebih luas dari “aktivitas mencari nafkah”, namun sebagai strategi untuk membangun sistem penghidupan dimana strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara maupun manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah merupakan cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan, dimana strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatian eksistensi infrastuktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumahtangga tidak bergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu


(27)

sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Secara umum strategi nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu strategi nafkah normative dan strategi nafkah illegal. Strategi nafkah normatif berbasiskan pada kegiatan sosial ekonomi yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem pertukaran, migrasi maupun strategi sosial dengan membangun jaringan sosial. Strategi ini disebut “peaceful ways” atau sah dalam melaksanakan

strategi nafkah sedangkan strategi nafkah illegal termasuk didalamnya tindakan sosial ekonomi yang melanggar hokum dan illegal seperti penipuan, perampokan, pelacuran dan sebagainya yang termasuk dalam non peaceful ways karena cara yang ditempuh biasanya menggunakan cara kekerasan atau kriminal.

Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relative tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sektor non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar.

Rumahtangga ini akanmengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy). White mencatat bahwa terkesan seolah rumahtangga yang memiliki tanah relative luas dan menguasai terbesar dari pertanian, cenderung juga menguasai penghasilan non-pertanian yang paling besar dibandingkan rumahtangga petani sedang dan kecil. Namun demikian, perlu dicatat bahwa ada banyak variasi antar desa, polanya berbeda-beda. Bagaimana pola distribusi penghasilan rumah tangga petani dari pertanian dan non pertanian menurut dapat dilihat pada gambar 2.4. 25 Luas sawah milik (ha) Penghasilan Pada posisi bertahan hidup, tanpa surplus pertanian, dengan modal kecil, rumahtangga petani memasuki nafkah di luar pertanian, dengan imbalan (Rp/jam) yang lebih rendah dari kerja pertanian. Dalam hal usaha sendiri yang mereka bisa bina di luar pertanian, mereka tak menghitung jumlah masukan jam kerja sendiri/rumahtangga, menjurus ke eksploitasi diri.

Sajogyo (1990) membandingkan pola strategi nafkah rumahtangga desa antara lapisan atas dan lapisan bawah. Pada keluarga lapisan atas yang bermodal kuat dengan luas lahan >0,5 ha, punya surplus pertanian yang membesar akibat revolusi hijau dan dari surplus itu mampu memodali usaha luar pertanian. Sementara pada rumahtangga lapisan bawah (miskin tak bermodal) yang menunjukkan strategi “bertahan”: bagi mereka penghasilan total pada suatu waktu lebih penting, biarpun sebagian dari pekerjaan yang berimbalan lebih rendah.

Elis (1998) membedakan strategi nafkah menjadi tiga yaitu on-farm, off farm dan non farm. Strategi nafkah On Farm merupakan strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas mencakup pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan). Strategi nafkah Off Farm merupakan strategi nafkah dalam


(28)

bentuk upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain lain. Strategi nafkah Non Farm merupakan suatu strategi nafkah yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang juga dibagi menjadi lima antara lain :

1. Upah tenaga kerja

2. Usaha sendiri diluar kegiatan pertanian 3. Pendapatan dari hak milik (contohnya sewa) 4. Kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota 5. Kiriman dari buruh migran yang pergi keluar negeri

Strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat pada dasarnya untuk meningkatkan standar hidup. Terdapat beebrapa strategi yang dilakukan antara lain :

1. Meningkatkan produktivitas lahan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pada lahan pertanian sedangkan nelayan berusaha untuk meningkatkan teknologi sehingga lebih mudah menangkap ikan

2. Pembagian tugas untuk mencari nafkah antara suami, istri dan anak

3. Menjalin kerjasama dengan anggota komunitas dalam upaya untuk

mempertahankan jaminan sosial masyarakat 4. Survive menjalankan hubungan patron-klien 5. Melakukan migrasi baik ke kota maupun TKI.

Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga

Pengambilan keputusan memperlihatkan hubungan antara pola pengambilan keputusan dan struktur kekeuasaan dalam keluarga. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola pengambilan keputusan (decision making) dalam suatu keluarga menggambarkan bagaimana struktur atau pola kekuasaan dalam keluarga tersebut. Scanzoni (1981) mengatakan bahwa metode yang digunakan untuk mengukur kekuasaan dalam perkawinan atau keluarga (marital power atau family power) adalah dengan menanyakan kepada responden tentang siapa yang mengambil keputusan terakhir tentang sejumlah persoalan dalam keluarga. Distribusi dan alokasi kekuasaan memperlihatkan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mengambil keputuan yang menunjukkan fungsi seseorang atau kelompok karena adanya peran anggota. Peranan perempuan sebagai individu dapat dilihat dari kemampuannya mengambil keputusan, khususnya tentang kekuasaan dalam keluarga.

P.Sayogjo (1983) mengemukakan tiga bidang berbeda untuk melakuakn analisa konsep kekuasaan dalam keluarga antara lain sumber atau dasar kekuasaan (based of family power), proses kekuasaan dalam keluarga (family power process), dan hasil kekuasaan dalam keluarga (familu power outcomes). Definisi pengambilan keputusan merupakan perwujudan proses terjadi dalam keluarga dan merupakan hasil interaksi diantara para anggota keluarga untuk saling mempengaruhi serta sekaligus merujuk pada hasil atau akibat dari struktur kekuasaan dalam keluarga. Struktur kekuasaan dala keluarga dapat dilihat dari proses pengambilan keputusan yakni tentang siapa yang mengambil keputusan dan bagaimana frekuensinya.

Budaya mempengaruhi peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Anggapan perempuan tidak memiliki peranan dalam pengambilan keputusan didalam maupun diluar rumahtangga dalam budaya timur khususnya. Norma yang umumnya diakui menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan


(29)

adalah laki laki (suami). Terkait dengan hal tersebut terdapat kekuasaan dan wewnang yang dapat tersebar dengan nilai yang sama atau tidak, khususnya antara suami dan istri dalam rumahtangga. Sumberdaya pribadi yang dibawa suami atau istri dalam keluarga sangat menentukan distribusi kekuasaan yang ada, selain aspek pembagian kerja dan struktur dalam keluarga itu sendiri.

P.Sayogjo (1983) menjelaskan tentang keluarga di Jawa dimana terdapat peranan perempuan yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan sebagai istri mengelola keuangan keluarga, walaupun secara formal suami yang memutuskan namun setelah berunding dengan istrinya, kemungkinan bahwa suami yang mempunyai kemauan keras (strong willed) dalam hubungan suami istri, mempunyai kekuasan paling besar jarang ditemukan (Sajogyo, 1983).

P.Sayogjo (1983) mengemukakan bahwa untuk setiap jenis keputusan rumahtangga dikelompokan dalam lima tingkatan yang dimulai dari dominasi oleh istri (keputusan dibuat oleh istri saja) sampai kepada dominasi oleh suami (keputusan yang dibuat oleh suami seorang diri). Terdapat lima variasi pola pengambilan keputusan antara suami dan istri dalam keluarga antara lain :

a. Keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami;

b. Keputusan dibuat bersama sama oleh suami istri tetapi dengan pengaruh yang lebih besar daripada istri;

c. Keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami istri (dengan tidak ada tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar)

d. Keputusan dibuat bersama oleh suami istri tetapi dengan pengaruh dari suami yang lebih besar

e. Keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri.

Peranan perempuan bekerja didalam rumahtangga dilihat dari perubahan terhadap nilai budaya yaitu terhadap pembagian kerja dalam rumahtangga dimana perempuan memiliki beban kerja yang lebih berat dibandingkan dengan laki laki. Perempuan memiliki peran yang dominan pada kegiatan rumahtangga namun juga terlibat dalam kegiatan nafkah dan peran ganda yang menyebabkan beban kerja perempuan relatif lebih besar dibandingkan dengan laki laki.

Peran dan Status dalam Rumahtangga

Status menurut Linton merupakan tempat yang diduduki seseorang atau sekelompok dengan hak hak dan kewajiban tertentu yang diwujudkan dalam perilaku yang dinamakan peranan. Status dapat dibedakan karena : 1) Kelahitan (ascribed status)

yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan rohani maupun kemampuan, (2) karena kemampuan pribadi (achieved status), yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha usaha yang disengaja, hal ini menunjuk pada kemampuan masing masing individu dalam mewujudkan tujuannya.

Status sosial perempuan tani dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu kedudukan sosial petani dalam kelompok sosial. Kedudukan sosial tersebut sangat berkaitan dengan lingkungan, prestise, hak dan kewajiban. Talcott (1988), mengemukakan beberapa macam sumber status, yaitu keanggotaan dalam family, kualitas pribasi, prestasi, pemilikan wewenang, dan kekuasaan. Dalam masyarakat petani, biasanya status sosial dikaitkan dengan jabatan atau kekuasaan seseorang dalam pemerintahan atau kepemimpinan suatu struktur masyarakat maupun pengakuan


(30)

masyarakat terhadap kelebihan kelebihan struktur masyarakat maupun pengakuan masyarkaat terhadap kelebihan kelebihan yang dimiliki seseorang secara informal (kekayaannya, kepribadiannya, kepandaiannya atau prestasi dalam keagamaan). Semakin tinggi status sosial seseorang biasanya akan memiliki akses yang tinggi pula dalam berbagai kegiatan pembangunan pertanian yang berdampak pada keberdayaan petani.

Status perempuan tani dalam keluarga dan rumahtangga, serta masyarakat luas dari peranannya yang banyak menurut P.Sajogyo (1985) antara lain sebagai a)Ibu rumahtangga dalam keluarga, perempuan berperan juga sebagai tenaga kerja dalam kerluarga (domestik) yang tidak mendatangkan hasil secara langsung. Kedudukan perempuan sebagai tenaga kerja dalam keluarga memberikan dukungan bagi anggota lain untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan peluang kerja yang ada. Selain perempuan sebagai tenaga kerja dibidang pencarian nafkah mendatangkan hasil secara langsung.

Peran adalah pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status atau posisi tertentu dalam masyrakat. Peran merupakan aspek dinamis dari status dan apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya makan orang tersebut menjalankan sebuah peranan (kutipan). Peran menurut Roger dan Shoemaker (1986) menunjukkan pada pola perilaku yang nampak pada seseorang dalam melakukan kegiatan tertentu. Peran mencakup sikap, nilai, perilaku seseorang yang ditentukan oleh masyarakat yang berada pada posisi tertentu. Menurut Soekanto (1990), peranan mencakup tiga hal yaitu 1) Peranan meliputi norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, 2) Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan 3) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial dalam masyarakat. Dalam suatu sistem sosial, setiap orang memiliki posisi dan setiap posisi ini mempunyai fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peran merupakan fungsi yang melekat pada posisi. peran dapat dilihat dari aspek status dalam masyarakat yang dapat dibedakan berdasarkan pada jenis pekerjaan, umur, dan jenis kelamin.

Menurut P.Sajogyo (1983) pada tingkat keluarga, seorang Ibu rumahtangga dapat berperan membantu suami dalam mencari nafkah, sedangkan dalam masyarakat seorang ibu rumahtangga dapat berperan dalam berbagai kegiatan atau organisasi sosial kemasyarakatan. Saat ini telah banyak kelompok kelompok sosial masyarakat yang anggotanya hanya terdiri dari perempuan. Moser (1987) peran perempuan dan laki laki dalam tiga pokok yaitu peran produktif, peran reproduktif (domestik) dan peran sosial. 1. Peran Reproduktif

a. Peran Reproduktif (domestik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan tugas tugas kerumahtanggaan seperti pemenuhan pangan keluarga, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga serta mengasuh dan mendidik anak

b. Kegatan reproduktif sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga tetapi jarang dipertimbangkan sebagai bentuk pekerjaan yang konkrit

c. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu yang lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari dan hampir selalu merupakan tanggungjawab perempuan dan anak perempuan.


(1)

keluarganya untuk bekerja di sektor produktif guna membantu memenuhi kebutuhan sehari hari. Buruh tani di Desa Sungai Buntu memiliki beberapa strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk mengatasi persoalan akibat kejadian banjir.

Persoalan utama yang terjadi pada rumahtangga buruh tani adalah dampak sosial dari pilihan strategi tersebut dalam kurun waktu yang lama. Pada rumahtangga buruh tani yang menjadi migran persoalan perceraian dan perselingkuhan menjadi dampak sosial negatif yang pertama, sedangkan pada rumah tangga buruh tani yang menjadi pekerja seks adalah pengucilan dari masyarakat setempat menjadi dampak sosial yang utama. Pilihan strategi yang dilakukan oleh rumahtangga buruh tani juga merubah secara signifikan peran dalam rumahtangga yang awalnya pekerjaan domestik dilakukan sepenuhnya oleh perempuan (istri) menjadi dilakukan oleh suami, anak perempuan maupun orang lain yang membantu atau dipekerjakan. Hal tersebut juga berpengaruh pada pengambilan keputusan di rumahtangga, dimana pengambilan keputusan tertentu diputuskan secara langsung oleh perempuan (istri atau anak perempuan), namun sebagian besar dominasi pengambilan keputusan masih dilakukan oleh suami.

Kondisi tersebut secara tidak langsung meningkatkan peran dan status perempuan dalam rumahtangga buruh tani, namun kebiasaan dalam masyarakat di Desa Sungai Buntu dimana laki laki adalah pemimpin, maka seberapa besarnya pun peran perempuan di ranah produktif menjadi persoalan bagi rumahtangga buruh tani itu sendiri. Hal tersebut terlihat dari tingginya angka perselingkuhan dan perceraian yang disebabkan oleh kepergian istri guna mencukupi kebutuhan sehari hari. Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga buruh tani termasuk dalam non peaceful ways dimana pilihan strategi nafkah tersebut cenderung melanggar hukum maupun memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap perceraian dan perselingkuhan.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi secara ekonomi tidak dengan serta merta menyebabkan ketahanan rumahtangga terhadap kejadian banjir yang terjadi. Rumahtangga buruh tani umumnya memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap kejadian banjir dimana strategi nafkah yang dilakukan dalam satu rumahtangga sangat beragam dan seluruh anggota keluarga ikut terlibat. Persoalan kurangnya modal sosial dan ekonomi serta tuntutan kebutuhan hidup yang tinggi memaksa buruh tani memilih strategi nafkah yang tidak aman dan berdampak dikemudian hari. Kondisi tersebut menunjukkan pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh buruh tani merupakan strategi yang bertujuan untuk bertahan hidup (survival).


(2)

PENUTUP

Kesimpulan

Hasil penelitian ini mencoba untuk membedakan pilihan strategi yang dilakukan oleh petani baik petani pemilik lahan dan buruh tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilik modal dan buruh mengalami kerugian saat terjadi kejadian banjir namun pola strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik modal terbagi menjadi strategi nafkah On Farm dan strategi nafkah Non Farm umumnya melakukan strategi nafkah dengan menjual asset baik berupa kendaraan bermotor, emas maupun ternak dan menggadaikan sawahnya guna mendapatkan modal tambahan untuk masa tanam berikutnya. Berbeda halnya dengan buruh tani yang sebagian besar menggantungkan hidupnya kepada pemilik modal maupun rentenir sehingga pilihan alternatif mata pencaharian selain pertanian adalah pekerjaan yang mudah dan cepat untuk mendapatkan penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan sehari hari yang lebih banyak didominasi oleh pilihan strategi nafkah Non Farm.

Pada rumahtangga pemilik lahan, pilihan strategi nafkah meningkatkan kemampuan ekonomi (dapat beradaptasi) kejadian banjir baik rutin maupun bencana banjir. Rumahtangga pemilik lahan cenderung lebih tahan terhadap kejadian banjir sebab peran yang tidak berubah dalam rumahtangga walaupun saat krisis. Pada rumahtangga buruh tani di Desa Sungai Buntu menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan beradaptasi terhadap kejadian banjir secara ekonomi melalui diverensiasi pekerjaan yang sangat tinggi namun tidak secara langsung meningkatkan ketahanan rumahtangga terhadap kejadian banjir dimasa yang akan datang. Hal tersebut disebabkan pilihan strategi nafkah rumahtangga buruh tani bertujuan untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan saat ini tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik lahan dan buruh tani merupakan pilihan strategi nafkah yang rasional. Tujuan dari pilihan strategi nafkah adalah untuk mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh pemilik lahan cenderung normative dimana pemilik lahan menggunakan ketergantungan petani untuk dapat mengelola pertanian tanpa harus membayar, sedangkan pilihan strategi nafkah yang dilakukan buruh tani cenderung illegal karena tujuan utama untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari hari.

Saran

Persoalan perubahan iklim merupakan persoalan global namun berdampak pada rumahtangga secara siginifkan. Harapannya dari penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk membuat kebijakan yang lebih baik terhadap pertanian khususnya pada saat terjadi kejadian iklim ektrim sehingga petani kecil tidak meninggalkan pertanian untuk mencukupi kebutuhan dasar sehari hari.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network). 2011. Strategi Ketahanan Kota Bandar Lampung terhadap Perubahan Iklim 2011 – 2030. Disusun oleh Kelompok Kerja Kota: Maulana Mukhlis, Desti Mega Putri, dan Dini Purnamawaty. Bandar Lampung Publikasi : ACCCRN

Adger, WN, Hug, S., Brown, K., Consway, D., & Hulmea, M (2003). Adaptation Climate Change in Developing World. Progress in Development Studies.

Allison, E.H., Ellis, F. (2001). The livelihoods approach and management of small-scale fishers. Marine policy.

Bennet, J.W. (1976). The ecological transition: cultural anthro pology and human action. New York: Pergamon Press Inc.

Brown, O. (2008), Migration and Climate Change, IOM Migration Research Series 31, International Organization for Migration, Geneva.

Bryant, L.R., & Sinead, B. (2000). Third world political ecology. London and New York: Routledge

Burt. (1992). Structural holes: The social structure of competition. Cambridge: Harvard University Press.

Carney, D. (1998). Sustainable rural livelihoods: what contribution can we make? Papers presented at the Department for International Development's Natural Resources Advisers' Conference, July 1998. Paper presented at the Sustainable rural livelihoods: what contribution can we make? Papers presented at the Department for International Development's Natural Resources Advisers' Conference, July 1998.

Coleman, J. C. 1971. The Development Syndrome: Differentiation–Equality– Capacity. In L. Binder (eds.), Crises and Sequences of Political Development. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Crane T.A., Roncoli C., & Hoogenboom G. (2011). Adaptation to climate change and climate variability: the importance of understanding agriculture as performance. Wageningen Journal of Life Science.

Davies, S. (1993). Are Coping Strategies a Crop Out?, IDS Bulletin.

Deshingkar, P., M. Deshpande, S. Kumar, A. Paradkar, L. Rao and P. Sharma (2009), Governance for Local Development in Small Towns: Addressing the


(4)

Challenges and Opportunities of Increasing Migration and Mobility in India, Rural-Urban Working Paper 18, IIED, London.

Eichhorst, Urda. (2010). Climate-Proof Urban Transport Planning: Opprtunities and Challenges in Developing Cities. Proceding of Global Forum 2010. Spinger Dordrecht Heidelberg London: New York.

Dharmawan, A. H. 2001. Livelihood Strategies and Rural Socio-Economic Change in Indonesia. Vauk. Kiel

Dibyosaputro, Suprapto. 1984. Flood Susceptibility and hazard Survey of the Kudus Prawata Welahan Area, central java. Indonesia. Thesis. ITC. Endchende. Netherlands.

Ellis, F. (1998). Household Strategies and Rural Livelihood Diversification. Journal of Development Studies

Fukuyama, Francis. 1995. Trust : The Social Virtues and Cration of Prosperity. New York : Free Press.

Geertz, C. 1963. Agricultural Involution : The Process of Ecological Change in Indonesia. University of California Press. Berkeley and Los Angeles. Henry, S., B. Schoumaker and C. Beauchemin. 2004 . The Impact of Rainfall on

the First Out-Migration: A Multi-level Event-History Analysis in Burkina Faso. Population and Environment, Vol. 25, No. 5, pages 423-460.

IPCC. 2001. Climate change 2001: Synthesis report. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

IPCC. 2006. Guidelines for national greenhouse gas inventories, Volume 4. Agriculture, forestry, and other land use. Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, edited by: Eggleston, H.S., Buendia, L., Miwa, K.,Ngara, T. and Tanabe, K. IGES, Japan.

IPCC. 2007. Climate Change 2007 : Synthesis report, Intergovernmental Panel on Climate Change. New York. Cambridge University Press.

Kusnadi. (2009). Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta: Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media

Lawang, Robert, 2004. M.Z.Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta. Fisip. UI Press.


(5)

Massey, D. S., Axinn, W. G., & Ghimire, D. J. (2010). Environmental change and out-migration: Evidence from Nepal. Population and Environment, 32(2-3), 109-136.

Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Yayasan Padamu Negeri.

Purnomo, A.M. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa sekitar Hutan Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. Master Thesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Sekolah Pascasarjana IPB.

Saragih, dkk.2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan.

Sayogjyo, P. 1981. Peranan Perempuan Dalam Keluarga, Rumahtangga dan Masyarakat yang lebih luas di Pedesaan Jawa, Dua Kasus Penelitian di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Universitas Indoensia. Jakarta

Scoones, I. 1998. Sustainable Rural Livelihood A Framework For Analysis. Insitute of Development Studies Working Paper 72. Sussex

Scott, J. C. 1976. The Moral Economy of Peasant. Rebellion and Subsitence in Southeast Asia. Yale University Press. New Haven

Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan, Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Smith S. Charlotte. 1998. Mcmillan Dictionary of Anthropology. London

Smithers J. and Smith B. 1997. Human Adaptation to climate variability and change, Global Environment Change. 7: 113-135.

Tacoli, Cecilia. 2009. Crisis or Adaptation ? Migration and Climate Change in Context of High Mobility. Paper Expert Group Meeting On Population Dynamics and Climate Change UNFPA and IIED.

Tjitroresmi, E. 2007. Potensi Pemanfaatan hasil Sumberdaya Ekonomi Budidaya Rumput Laut. Jurnal Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

UNFCCC. 2005. Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC, Bonn, Germany). Available from: URL: http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 23 Januari 1989 yang merupakan puteri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bayu Setiawan SH, MSi dan Titien Sri Endrawati Eka Pasifik Bsc. Penulis tinggal berpindah dari satu daerah ke daerah lain dan mulai menetap di Bogor sejak tahun 1997. Penulis menamatkan pendidikan di SD Angkasa I pada tahun 2000, SMP Negeri 6 Bogor pada tahun 2003, SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2006 dan langsung melanjutkan ke Perguruan Tinggi IPB melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis menyelesaikan studi sarjana pada tahun 2010 dan melanjutkan pada jenjang S2 pada tahun 2011.

Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis aktif dalam beberapa kegiatan sosial baik didalam kampus maupun di luar kampus antara lain HIMASIERA KPM IPB, Kemah Riset IPB, Kelompok Historia Indonesia, Komunitas Cinta Baca dan beberapa organisasi lain. Penulis pernah menjadi asisten pada mata Kuliah Komunikasi Bisnis selama dua semester saat menjalani masa kuliah di semester empat dan semester lima. Setelah menyelesaikan kuliah S1 penulis sempat bekerja di perusahaan swasta yang bergerak dibidang kelapa sawit selama satu tahun sebelum melanjutkan jenjang pendidikan. Selama melajutkan jenjang pendidikan S2 penulis pernah membantu di Pusat Kajian Gender dan Anak LPPM IPB. Terakhir penulis bekerja di Pusat Kajian Resiko Iklim dan Manajemen (CCROM- SEAP) IPB sampai saat ini.