Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan Tingkat Pencemaran Sungai Metro, Malang, Jawa Timur

PENGGUNAAN KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS
UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PENCEMARAN
SUNGAI METRO, MALANG, JAWA TIMUR

ABDUL MANAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Komunitas
Makrozoobenthos untuk Menentukan Tingkat Pencemaran Sungai Metro, Malang,
Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2010

Abdul Manan
NRP C251070041

RINGKASAN
ABDUL MANAN. Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan
Tingkat Pencemaran Sungai Metro, Malang, Jawa Timur. Dibimbing oleh YUSLI
WARDIATNO dan ENAN M ADIWILAGA.
Sungai Metro merupakan salah satu sungai yang melintasi wilayah
Kabupaten Malang. Daerah aliran Sungai Metro banyak dimanfaatkan masyarakat
untuk keperluan permukiman, pertanian dan industri yang menghasilkan limbah
cair organik sehingga dapat menimbulkan pencemaran dan mengganggu
keberadaan berbagai organisme air yang berperan sebagai komponen penting
dalam ekosistem. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisa penurunan
kualitas air sungai sehubungan dengan peningkatan kadar bahan organik di
berbagai segmen sungai; (2) menentukan jenis makrozoobenthos yang dapat
dijadikan indikator pencemaran bahan organik di perairan sungai; (3) menganalisa
keterkaitan makrozoobenthos terhadap kandungan bahan organik di berbagai
segmen sungai.

Kegiatan penelitian dilaksanakan di perairan Sungai Metro, Kabupaten
Malang pada bulan April hingga Juni 2009. Pengambilan contoh
makrozoobenthos dan air dilakukan pada enam stasiun. Analisa data meliputi
analisa struktur komunitas makrozoobenthos, indeks biologi, analisis parameter
fisika kimia perairan, analisis pengelompokan komunitas dan habitat
makrozoobenthos, analisis keterkaitan makrozoobenthos dan kualitas air.
Jumlah makrozoobenthos yang ditemukan selama pengamatan di Sungai
Metro sebanyak 22 famili, yakni: Hydrophilidae, Sundathephusidae,
Palaemonidae, Chironomidae, Culicidae, Simulidae, Tipulidae, Baetidae,
Caenidae, Heptagenidae, Viviparidae, Thiaridae, Physidae, Bithynidae,
Erpobdellidae, Coenagrionidae, Lumbriculidae, Tubificidae, Hydropsychidae,
Psychomyiidae, Rhyacophilidae dan Typhloplanidae. Dari masing-masing stasiun
berdasarkan indeks biologi diketahui bahwa Sungai Metro telah mengalami
penurunan kualitas perairan sehubungan dengan peningkatan kandungan bahan
organik di berbagai segmen sungai. Hasil perhitungan nilai SIGNAL 2 didapatkan
adanya penyebaran titik pada kuadran 1, 2 dan 4. Pada kuadran 1, terdapat stasiun
1 dan stasiun 3, hal ini menandakan bahwa perairan stasiun 1 dan 3 keadaan
perairannya masih baik, dengan tingkat pencemaran ringan. Pada kuadran 2,
terdapat stasiun 4, 5 dan 6, hal ini menandakan bahwa perairan stasiun 4, 5 dan 6
telah mengalami penurunan kualitas perairan akibat adanya masukan bahan

organik dan tingginya tingkat kekeruhan. Pada kuadran 4, terdapat stasiun 2, hal
ini mengindikasikan bahwa perairan stasin 2 telah tercemar berat.
Hasil analisis faktorial koresponden terhadap komunitas makrozoobenthos
yang menyebar di enam stasiun pengamatan didapatkan 3 pengelompokan (grup)
komunitas makrozoobenthos. Kelompok 1 dicirikan oleh organisme
Ephemeroptera, Trichoptera dan Turbelaria yang hidup pada stasiun 1 dan 3.
Kelompok 2 dicirikan oleh organisme Gastropoda dan Oligochaeta yang hidup
pada stasiun 4,5 dan 6. Kelompok 3 dicirikan oleh organisme Diptera yang hidup
pada stasiun 2. Prediksi adanya parameter lingkungan yang mengatur
pengelompokan, dilakukan ordinasi langsung dengan menggunakan analisis
komponen utama. Komunitas makrozoobenthos yang menyusun stasiun 1 dan 3

yakni kelompok Ephemeroptera, Trichoptera dan Turbelaria cenderung menyukai
kondisi perairan dengan kecepatan arus, DO dan pH yang tinggi. Komunitas
makrozoobenthos yang menyusun stasiun 4, 5 dan 6 yakni kelompok Gastropoda
dan Oligochaeta cenderung toleran terhadap nilai kekeruhan dan suhu yang tinggi.
Komunitas makrozoobenthos yang menyusun stasiun 2 dari kelompok Diptera
cenderung toleran terhadap nilai BOD, COD, amonia dan kesadahan yang tinggi.
Jenis yang bersifat intoleran beberapa diantaranya jenis yang berasal dari
kelompok EPT (Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera), yakni Baetis sp dan

Hydropsyche sp. Organisme ini kelimpahan tertingginya ditemukan pada stasiun 1
dan 3 kemudian mulai berkurang pada stasiun 4, 5, 6 dan terendah pada stasiun 2.
Jenis organisme yang dapat hidup pada kisaran luas dari kondisi kualitas air dan
ditemukan hampir di setiap stasiun adalah Melanoides sp. Jenis yang bersifat
toleran di perairan Sungai Metro dan melimpah pada stasiun yang tercemar berat
oleh bahan organik adalah Chironomus sp. Jenis Chironomus sp. ini ditemukan
melimpah pada stasiun 2 yang menandakan bahwa stasiun 2 telah mengalami
pencemaran bahan organik yang cukup tinggi.
Rata-rata suhu air pada Sungai Metro di stasiun 1 sampai 6 berkisar antara
23,00 - 27,00 oC. Rata-rata kekeruhan berkisar antara 30,17 - 56,83 FTU. Ratarata derajat keasaman (pH) berkisar antara 7,22 - 7,53. Rata-rata oksigen terlarut
(DO) berkisar antara 5,90 - 7,28 mg/l. Rata-rata nilai kebutuhan oksigen
biokimiawi (BOD) berkisar antara 3,12 - 5,80 mg/l. Rata-rata nilai kebutuhan
oksigen kimiawi (COD) berkisar antara 49,21 - 99,82 mg/l. Rata-rata nilai kadar
amonia berkisar antara 0,18 - 0,29 mg/l. Rata-rata nilai kesadahan berkisar antara
86 - 127 mg/l. Rata-rata nilai kecepatan arus berkisar antara 56,00 - 13,01 cm/det.
Tipe substrat yang di temukan di perairan Sungai Metro ini terdiri dari batu
berkerikil berlumpur. Ukuran batu di daerah hulu (stasiun 1, 2 dan 3) cenderung
lebih besar dibandingkan ukuran di stasiun yang menuju ke hilir. Sedangkan
kerikil dan lumpur cenderung terjadi penambahan mulai dari stasiun 1 (hulu)
hingga stasiun 6 (hilir).

Hubungan linier antara parameter bahan organik yakni DO (X1), BOD
(X2) dan COD (X3) terhadap kepadatan makrozoobenthos dengan menggunakan
regresi berganda adalah :
Y = 153,418 + 73,851X1 - 44,991X2 - 0,105X3 dengan R2 = 0,257
Adapun persamaan regresi yang hanya melibatkan variabel bahan organik yang
berpengaruh saja yakni BOD (X), adalah:
Y= 618,945 – 42,920X dengan R2 = 0,162
Hasil penelitian mengindikasikan adanya fenomena penurunan kepadatan
makrozoobenthos sehubungan dengan peningkatan pencemaran di perairan
sungai.
Kata Kunci: Makrozoobenthos, pencemaran, Sungai Metro

Judul Tesis

:

Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan
Tingkat Pencemaran Sungai Metro, Malang, Jawa Timur

Nama


:

Abdul Manan

NIM

:

C251070041

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, MSc
Ketua

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Anggota


Diketahui,

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga

Tanggal Ujian: 22 Desember 2009

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S,

Tanggal Lulus :

PENGGUNAAN KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS
UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PENCEMARAN
SUNGAI METRO, MALANG, JAWA TIMUR

ABDUL MANAN


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, MSc.

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas kasih dan sayang-Nya
sehingga penulisan tesis dengan judul “Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos
untuk Menentukan Tingkat Pencemaran Sungai Metro, Malang, Jawa Timur”
dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada :
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Enan M.
Adiwilaga sebagai komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian,
motivasi dan pikiran dalam penyusunan tesis ini.
2. Yth. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji luar komisi
atas saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.
3. Yth. Bapak Dr. Ir. M. F. Rahardjo, DEA dan seluruh staf pengajar Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan atas ilmu yang diberikan selama
penulis menempuh pendidikan di IPB.
4. Terimakasih yang tak terhingga kepada ayah, ibu, istri tercinta ‘Shinta Devi

ISR’ dan segenap keluarga besarku atas segala doa, dukungan dan motivasi
yang tiada henti selama penulis menempuh studi.
5. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan 1 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Perairan atas kebersamaan dan kerjasamanya.
6.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membuat
semua ini bisa terwujud.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena

itu kritik dan saran senantiasa diharapkan. Akhirnya, semoga karya ini dapat
bermanfaat dan hanya kepada Allah SWT kita berserah diri, semoga amal dan
ibadah kita senantiasa mendapat ridho-Nya, Amin.

Bogor, Januari 2010

Abdul Manan

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 17 Mei 1980 dari ayah Rahman dan

ibu Siti Reknowati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMA 1 Pati dan pada tahun yang sama memasuki
Universitas Diponegoro, Semarang melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, FPIK UNDIP, Semarang dan lulus pada tahun 2003. Pada
tahun 2004 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di FPK
UNAIR, Surabaya. Penulis berkesempatan menempuh pendidikan magister di
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB,
Bogor pada tahun 2007 dengan sponsor BPPS DIKTI 2007.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR...........................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................

xiv

PENDAHULUAN ............................................................................
Latar Belakang ..............................................................................
Perumusan Masalah ........................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
Kerangka Pemikiran .......................................................................

1
1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
Ekosistem Sungai............................................................................
Bahan Organik ................................................................................
Makrozoobenthos ...........................................................................
Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan...................
Karakteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan ............................

7
7
9
11
13
16

METODE PENELITIAN....................................................................
Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................
Penentuan Stasiun ...........................................................................
Metode Pengambilan dan Penanganan Contoh ...................................
Analisis Data ..................................................................................

20
20
20
22
25

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
Struktur Komunitas Makrozoobenthos ..............................................
Indeks Biologi ...............................................................................
Pengelompokan Komunitas dan Habitat Makrozoobenthos ................
Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas Perairan ..................
Karakteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan Sungai Metro ........
Keterkaitan Makrozoobenthos dan Parameter Kualitas Air ..................
Pengelolaan Perairan Sungai Metro ..................................................

36
36
43
48
50
51
58
61

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
Kesimpulan ...................................................................................
Saran .............................................................................................

62
62
62

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

63

LAMPIRAN ......................................................................................

69

xi

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kelompok makrozoobenthos berdasarkan cara makan ......................

12

2. Stasiun pengambilan contoh air dan makrozoobenthos di sepanjang
Sungai Metro ...............................................................................

21

3. Parameter dan metode pengukuran fisika kimia air dan sedimen ........

24

4. Nilai OQR (Overal Quality Ratings) indeks kualitas Lincoln dan
interpretasinya .............................................................................

27

5. Penggolongan kriteria kualitas air oleh Hinselhoff (l988) in Hauer
dan Lamberti (1996) .....................................................................

28

6. Tingkat saprobitas makrozoobenthos (s)..........................................

29

7. Nilai indeks saprobitas (Is) dan interpretasi .....................................

29

8. Nilai h berkisar antara 1 - 5 dan interpretasi ....................................

29

9. Nilai faktor penbobotan berdasarkan jumlah individu yang ditemukan

31

10. Famili yang ditemukan pada setiap stasiun .....................................

37

11. Indeks LQI, FBI dan Sapobrik pada tiap stasiun ...............................

44

12. Nilai korelasi koefisien Pearson antara kepadatan makrozoobenthos
dan parameter kualitas air ..............................................................

58

13. Nilai korelasi koefisien Pearson antara makrozoobenthos dan indeks
biologi .........................................................................................

59

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Alur pendekatan masalah dalam penggunaan komunitas
makrozoobenthos untuk menentukan tingkat pencemaran Sungai
Metro, Malang, Jawa Timur ..........................................................

6

2. Struktur sungai ............................................................................

7

3. Kelompok-kelompok organisme makrozoobenthos berdasarkan
kepekaannya terhadap pencemaran perairan .....................................

15

4. Lokasi penelitian ..........................................................................

20

5. Denah lokasi pengambilan sampel .................................................

22

6. Sketsa penggunaan surber ..............................................................

23

7. Contoh grafik dan kuadaran untuk nilai SIGNAL 2 .........................

31

8. Diagram kepadatan makrozoobenthos di tiap stasiun .......................

38

9. Komposisi makrozoobenthos berdasarkan ordo ...............................

40

10. Sebaran nilai SIGNAL 2 masing-masing stasiun .............................

46

11. Hasil pengelompokan komunitas makrozoobenthos dengan ordinasi
Correspondence Analysis ..............................................................

48

12. Ordinasi parameter lingkungan dengan menggunakan Principal
Components Analysis ....................................................................

49

13. Parameter fisika dan kimia pada setiap stasiun ................................

52

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Skor BMWP (Biological Monitoring Working Party) .......................

70

2. Rating standar dari skor BMWP (Biological Monitoring Working
Party) dan ASPT (Average Score Per Taxon) ..................................

71

3. Skor FBI (Family Biotic Index).......................................................

72

4. Skor SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level)

73

5. Gambar lokasi pengambilan contoh ................................................

75

6. Karakteristik fisika kimia perairan Sungai Metro .............................

76

7. Gambar beberapa contoh makrozoobenthos yang ditemukan di
Sungai Metro ...............................................................................

78

8. Organisme makrozoobenthos yang ditemukan di perairan Sungai
Metro ..........................................................................................

79

xiv

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sungai merupakan perairan dengan sistem terbuka yang pergerakan airnya
satu arah (unidireksional). Air sungai adalah media hidup dan tempat mencari
makan bagi organisme perairan. Akan tetapi, untuk kehidupan organisme perairan
yang baik diperlukan persyaratan kualitas air optimum yang mendukung
pertumbuhan suatu organisme perairan tersebut. Pemanfaatan daerah aliran sungai
yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk sering
menimbulkan masalah-masalah pencemaran perairan. Pencemaran perairan
ditandai dengan adanya perubahan komponen fisika, kimia dan biologi yang tidak
dikehendaki pada ekosistem perairan. Oleh karena itu, nilai komponen fisik a,
kimia dan biologi suatu perairan dapat dijadikan parameter untuk menunjukkan
kualitas suatu perairan.
Sungai Metro merupakan salah satu sungai yang melintasi wilayah
kabupaten Malang. Daerah aliran Sungai Metro banyak dimanfaatkan masyarakat
untuk keperluan pemukiman, pertanian dan industri. Dari hasil pemantauan
kualitas air yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta tahun 2001, Sungai Metro telah
mengalami penurunan kualitas air terutama disebabkan limbah organik yang
dihasilkan oleh industri dan domestik. Terdapat dua industri yang beroperasi di
sepanjang Sungai Metro yakni industri gula dan industri tapioka. Dalam
kegiatannya industri-industri ini menghasilkan limbah cair organik yang dibuang
ke Sungai Metro. Jumlahnya diperkirakan 7.850 m3/hr limbah cair yang
dihasilkan oleh industri gula dan 850 m3/hr limbah cair yang dihasilkan oleh
industri tapioka masuk ke Sungai Metro (Puslit Sumberdaya Air dan Perum Jasa
Tirta I 2002). Limbah ini lebih lanjut mengalami pengenceran, sebagian terbawa
arus dan sebagian lagi akan mengendap di dasar perairan yang kemudian
berinteraksi dengan sedimen.
Limbah cair organik dapat meningkatkan kandungan bahan organik
lingkungan perairan dan apabila beban tersebut tidak terurai serta mengalami
akumulasi yang melebihi daya dukung perairan, maka hal tersebut akan
menimbulkan pencemaran organik. Pencemaran organik pada air sungai dapat

2

mengganggu keberadaan berbagai organisme air yang berperan sebagai komponen
penting dalam ekosistem.
Salah satu organisme air yang dapat terpengaruh dengan adanya masukan
bahan organik di lingkungan perairan adalah makrozoobenthos. Makrozoobenthos
merupakan biota yang hidup pada substrat di dasar perairan. Cara hidup
makrozoobenthos relatif tidak berpindah tempat dan mempunyai daya adaptasi
yang bervariasi terhadap perubahan lingkungan akibat pencemaran. Peran penting
organisme benthik ini dalam komunitas akuatik adalah kemampuannya mendaur
ulang bahan-bahan organik, seperti limbah rumah tangga dan industri serta sisasisa organisme mati yang berasal dari perairan di atasnya atau dari sumber lain.
Selain itu juga sebagai komponen yang penting mata rantai kedua dan ketiga
dalam rantai makanan komunitas akuatik.
Beberapa

penelitian

yang

menggunakan

makrozoobenthos

dalam

kaitannya dengan pencemaran bahan organik antara lain dilakukan oleh Sanderson
et al. (2005), Chakrabarty dan Das (2006) serta Dinakaran dan Anbalagan (2007).
Beberapa matriks pengukuran kualitas air sungai yang sekarang digunakan antara
lain: ukuran kekayaan (total kekayaan dan kekayaan EPT-ephemeroptera,
plecoptera dan trichoptera), enumerasi (jumlah spesimen dari suatu ordo), ukuran
keanekaragaman (Shannon-Wiener), indeks kesamaaan (indeks sorensen), indeks
biologi (BMWP, BMWP/ASPT) dan indeks fungsional (proporsi antara shredders
dan scrapers-collectors) (Resh & Jackson 1993 in Silva et al. 2005).
Alasan pemilihan makrozoobenthos sebagai objek dalam penelitian ini
adalah karena ukurannya lebih besar dari 1 mm dan memiliki tingkat mobilitas
yang rendah sehingga mudah diperoleh untuk diidentifikasi lebih lanjut. Hal ini
juga diperkuat oleh
makrozoobenthos

pendapat Wilhm (1975) yang menyatakan bahwa

mempunyai

tiga

sifat

yang

sangat

membantu

dalam

mengindikasikan tingkat pencemaran suatu perairan, yaitu: (1) mempunyai tingkat
kepekaan yang berbeda-beda terhadap berbagai jenis bahan pencemar dan
memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi, (2) mempunyai
mobilitas yang rendah sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan di sekitarnya, dan (3) mudah ditangkap dan diidentifikasi.

3

Berdasarkan

hal-hal

tersebut

maka

makrozoobenthos

akan

dapat

digunakan sebagai indikator biologi adanya perubahan komponen fisika dan kimia
lingkungan perairan di Sungai Metro yang mendapat masukan limbah cair organik
dari industri gula dan industri tapioka. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
masukan limbah cair organik industri gula dan industri tapioka akan
meningkatkan kandungan bahan organik perairan dan selanjutnya proses
degradasi yang terjadi akan mempengaruhi kualitas air sungai. Perubahan kondisi
perairan ini akan mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos.

Perumusan Masalah
Masalah yang dapat teridentifikasi sehubungan dengan masuknya bahan
organik ke dalam perairan Sungai Metro, Malang adalah terjadinya penurunan
kualitas air sehingga tidak layak bagi kehidupan biota perairan. Penurunan
kualitas air Sungai Metro ini diduga dipengaruhi oleh peningkatan beban masukan
bahan organik di perairan yang berasal dari pembuangan limbah industri yang
berada di sekitar Sungai Metro.
Bahan organik yang masuk ke dalam perairan dan mengendap di dasar
akan diuraikan oleh mikroorganisme dan membutuhkan oksigen terlarut di dalam
perairan.

Jika

bahan

organik

berjumlah

sedikit

akan

diuraikan

oleh

mikroorganisme aerobik, karena masih cukup oksigen untuk proses tersebut.
Proses penguraian bahan organik pada kondisi aerobik akan menghasilkan
senyawa-senyawa yang tidak membahayakan organisme perairan. Sedangkan
perairan yang mendapat beban masukan bahan organik dalam jumlah besar,
kebutuhan oksigen dalam proses penguraian akan lebih banyak daripada masukan
oksigen ke dalam perairan. Hal ini dapat menyebabkan kandungan oksigen
terlarut dalam air akan menurun atau bahkan habis sama sekali (anaerobik). Hasil
penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan senyawasenyawa toksik (DFO 2000).
Pengaruh bahan organik terhadap kualitas perairan dapat berupa
perubahan sifat fisika-kimia air dan perubahan komunitas organisme pada
perairan tersebut. Faktor fisika-kimia dipakai untuk menilai kualitas air suatu
perairan, karena mudah dibandingkan dan dapat ditentukan secara langsung. Akan

4

tetapi cara ini cenderung memberikan hasil dengan tafsiran dalam kisaran yang
lebar. Perubahan kualitas air akibat peningkatan beban masukan bahan organik
tersebut di atas menyebabkan organisme makrozoobenthos akan menjadi paling
terganggu. Hal ini disebabkan makrozoobenthos hidupnya relatif menetap dan
sulit untuk menghindar dari perubahan kondisi perairan (Hall dan Killen 2006).
Sifat inilah yang merupakan salah satu pertimbangan mengapa makrozoobenthos
sering dipakai sebagai alat untuk menganalisis tekanan ekologis yang timbul pada
perairan yang tercemar bahan organik.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa penurunan kualitas air sungai sehubungan dengan peningkatan
kadar bahan organik di berbagai segmen sungai.
2. Menentukan

jenis

makrozoobenthos

yang

dapat

dijadikan

indikator

pencemaran bahan organik di perairan sungai.
3. Menganalisa keterkaitan makrozoobenthos terhadap kandungan bahan organik
di berbagai segmen sungai.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kondisi sungai serta faktor–faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan
kualitas air di Sungai Metro. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan dalam pengelolaan Sungai Metro di masa yang akan
datang.

Kerangka Pemikiran
DO di suatu segmen sungai ditentukan oleh kadar bahan organik yang ada
di perairan tersebut, sehingga dapat diformulasikan :
X2 = f (X1)
Dimana :
X2 = DO perairan
X1 = Bahan organik di perairan

5

BOD di suatu segmen sungai ditentukan oleh kadar bahan organik yang
ada di perairan tersebut, sehingga dapat diformulasikan :
X3 = f (X1)
Dimana :
X3 = BOD perairan
X1 = Bahan organik di perairan
COD di suatu segmen sungai juga ditentukan oleh kadar bahan organik
yang ada di perairan tersebut, sehingga dapat diformulasikan :
X4 = f (X1)
Dimana :
X4 = COD perairan
X1 = Bahan organik di perairan
Sedangkan

komunitas

makrozoobenthos

di

suatu

segmen

sungai

dipengaruhi oleh kandungan DO, BOD dan COD perair an setempat yang dapat
diformulasikan :
Y = f (X2, X3, X4)
Dimana :
Y = Komunitas makrozoobenthos
X2 = DO perairan
X3 = BOD perairan
X4 = COD perairan
Oleh karena itu, secara tidak langsung (indirect causal) komunitas
makrozoobenthos di suatu segmen sungai dipengaruhi oleh kadar bahan organik
yang ada di perairan tersebut. Secara fungsional dapat diformulasikan :
Y = f (X1)
Efektifitas pengendalian terlihat dari kandungan DO, BOD dan COD
perairan. Apabila pengendalian efektif maka kandungan DO perairan tinggi dan
BOD/COD perairan rendah. Sedangkan, apabila pengendalian tidak efektif maka
kandungan DO perairan rendah dan BOD/COD perairan tinggi. Demikian
kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian ini dan secara skematik
alur pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Zona sebelum kena
limbah :
- Bahan Organik
- Struktur komunitas
makrozoobenthos
- Kualitas Air

Bahan Organik

-

Kualitas Air

Hidrologi
sungai

Zona transisi :
- Bahan Organik
- Struktur komunitas
makrozoobenthos
- Kualitas Air

Pengendalian
beban
masukan BO

(?)
Pengendalian
efektif

+

Substrat

Makrozoobenthos

Input

Zona setelah beban
habis (terdegradasi) :
- Bahan Organik
- Struktur komunitas
makrozoobenthos
- Kualitas Air

Proses

(?)
Struktur
Komunitas
MZB

+

Jenis-jenis
Makrozoobenthos yang
bisa dijadikan
indikasi beban
masukan di
setiap zona

-

Evaluasi

Output

Gambar 1 Alur pendekatan masalah dalam penggunaan komunitas makrozoobenthos untuk menentukan tingkat pencemaran Sungai Metro,
Malang, Jawa Timur.
6

7

TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Sungai
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai, pengertian sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan
pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya
serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Ekosistem sungai merupakan
satu kesatuan yang terdiri atas berbagai macam tipe habitat. Klasifikasi atau
pembagian wilayah sungai untuk menjelaskan tipe-tipe habitat yang ada dapat
dilakukan dari beberapa faktor. Menurut Molles (2005) sungai dapat dibagi
menjadi 3 dimensi, yaitu berdasarkan panjang atau secara horizontal mencakup
pembagian berdasarkan topografi dan berdasarkan variasi aliran dapat dibedakan
menjadi dua yaitu saluran utama (active channel) dan daerah terestrial (wetted
channel) atau daerah riparian zone. Saluran utama merupakan daerah yang selalu
terairi oleh aliran air, sedangkan daerah terestrial merupakan daerah yang terairi
pada periode tertentu. Secara vertikal wilayah sungai dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu bagian permukaan, kolom air dan bagian dasar perairan (benthic
zone). Pembagian wilayah sungai juga dapat dilakukan berdasarkan sistem
jaringan aliran air (drainage network) atau yang dikenal dengan sistem ordo
sungai (Strahler 1964 in Beaumont 1975; Angelier 2003; Suwignyo 2003).

Sumber: Molles (2005)

Gambar 2 Struktur sungai

8

Sungai menurut kejadiannya (order) dapat diklasifikasikan : order satu
yakni sungai yang tidak mempunyai anak sungai, order dua yakni sungai yang
terbentuk dari pertemuan antara dua tipe order satu, order tiga yakni sungai yang
terbentuk dari pertemuan dua tipe sungai order dua, dan seterusnya (Suwignyo
2003). Dijelaskan pula oleh Suwignyo (2003), bahwa tipologi sungai dan perairan
mengalir la innya mempunyai ciri khas yakni arah aliran, kecepatan aliran, dan
dasar aliran. Arah aliran sungai sesuai mekanisme aliran yang berdasarkan prinsip
gravitasi adalah menyatu arah (unidirectional). Massa air mengalir ke satu arah
yang sudah tentu. Atas dasar ciri ini, maka apa yang terjadi di daerah hulu
dampaknya akan terbawa ke daerah hilir, tetapi tidak sebaliknya.
Illies (1953) in Hawkes (1975), mengelompokkan pembagian sungai
menjadi dua zona utama yaitu, zona rithron dan zona potamon, yang kemudian
dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian sungai di dunia. Zona rithron dicirikan
oleh aliran air yang deras karena kontur kemiringan yang tinggi, cepat dan
bergolak. Ada selang antara aliran dan genangan, adanya air terjun dan riam
jeram. Tempat yang dangkal mempunyai batuan besar, kecil atau kerikil. Tempat
yang dalam (pool) mempunyai dasar yang halus dari pasir atau pasir berlumpur.
Kandungan oksigen terlarut selalu tinggi. Zona rithron lebih jauh dibagi kedalam
tiga bagian yaitu, epirithron (bagian yang didominasi oleh aliran air yang deras,
air terjun dan jeram; hyporithron (mempunyai kelokan-kelokan dan genangan air
dasarnya berupa lumpur atau detritus); dan merithron bagian dengan ciri-ciri pada
epirithron dan hyporithron. Zona potamon adalah daerah yang dicirikan dengan
aliran air yang pelan, berkelok-kelok dan dasar perairan didominasi oleh lumpur.
Pada bagian yang dalam kandungan oksigen terlarut berfluktuasi dan terkadang
sangat rendah, penetrasi cahaya terbatas dan merupakan daerah deposit.
Komposisi komunitas dari ekosistem sungai akan mengalami perubahan
mulai dari sumber air (aliran air pertama) sampai ke muara/mulut sungai dalam
hubungannya dengan perubahan fisik sepanjang gradien sungai. Konsep ini
dikenal dengan River Continuum Concept (RRC) (Vannote et al. 1980 in Marshall
dan Wallace 2002). RRC merupakan model yang digunakan secara luas untuk
menginterpretasikan pola membujur dari jaring-jaring makanan di ekosistem lotik.
Konsep ini memperlihatkan perubahan membujur sumber masukan autochthonous

9

dan allochthonous, seperti halnya distribusi dari kelompok fungsional makan
makrozoobenthos. Sebagai contoh, RCC memprediksi bahwa di daerah berhutan,
proporsi total biomassa makrozoobenthos bisa dihubungkan dengan penurunan
kelompok shredders (Xiphocaris elongata) ke arah muara oleh karena penurunan
dalam ketersediaan partikel bahan organik kasar (Greathouse dan Pringle 2006).
Menurut Hawkins dan Sedell (1981), secara fungsional (berdasarkan
makanannya) distribusi makrozoobenthos dari hulu ke hilir sungai, didominasi
oleh kelompok ”shredders” yaitu detritivora pemakan partikel organik kasar
dibagian hulu, misalnya Tipula (Diptera), Pycnopsyche (Trichoptera). Di bagian
tengah

(intermedier),

makrozoobenthos

yang

dominan

adalah

kelompok

”scrappers” yaitu herbivora pemakan perifiton yang melekat di substrat, misalnya
Ecdyonuridae

(Ephemeroptera),

Gastropoda

(Moluska).

Di

bagian

hilir,

makrozoobenthos yang dominan adalah kelompok “collectors” yaitu detritivora
pemakan partikel organik halus, misalnya Isonychia (Ephemeroptera) dan
Simuliidae (Diptera) sedangkan kelompok predator, misalnya Chironomidae,
Odonata, Megaloptera, dan Plecoptera relatif melimpah di semua bagian sungai.

Bahan Organik
Bahan organik dalam ekosistem perairan dapat dibedakan dalam beberapa
macam. Metcalf and Eddy (1974) membedakan bahan organik berdasarkan
sumbernya menjadi tiga macam, yaitu (1) bahan organik yang berasal dari limbah
domestik, terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; (2) bahan
organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat,
lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; (3) bahan organik yang berasal dari
limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.
Bahan organik secara umum mengandung 40-60 % protein, 25-50 %
karbohidrat dan 10 % minyak/lemak (Metcalf and Eddy 1974; APHA 1989).
Menurut Sugiharto (1987), bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air
limbah umumnya terdiri dari senyawa antara lain : bahan organik mudah urai
seperti protein, karbohidrat, lemak dan minyak; bahan organik sukar urai seperti
fenol, pestisida, detergen/surfaktan dan lain sebagainya. Kandungan bahan
organik dalam perairan akan mengalami peningkatan, antara lain sebagai akibat

10

dari limbah rumah tangga, pertanian, industri, hujan dan aliran permukaan.
Peningkatan kandungan bahan organik sering diikuti oleh meningkatnya unsur
hara, bentuk-bentuk koloni fitoplankton lebih melimpah dan karena kegiatan
biologik lebih intensif maka hasil dekomposisi berupa detritus organik dan bakteri
juga tersedia (Morgan 1980).
Masukan alami bahan organik pada perairan mengalir sering diperkaya
oleh aktivitas manusia. Pengayaan organik pada ekosistem perairan disebabkan
oleh urbanisasi dan aktivitas pertanian merupakan bentuk pencemaran yang paling
tua dan banyak didokumentasikan. Pengkayaan bahan organik pada perairan
sungai meliputi dua aspek: trophism dan saprobitas. Trophism adalah tingkat dan
intensitas dari produksi bahan organik sedangkan saprobitas adalah komunitas
dari organisme yang mendekomposisi bahan organik. Dalam prakteknya, dua
aspek tersebut sukar untuk dipisahkan (Brabec et al. 2004). Dijelaskan pula bahwa
efek dari degradasi bahan organik di dalam sungai dipengaruhi oleh kecepatan
arus, substrat dasar dan morfologi sungai. Proses peningkatan bahan organik dan
unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme
akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik
untuk memanfaatkannya, maka akan timbul permasalahan yang cukup serius.
Permasalahan tersebut antara lain : degradasi habitat dan hilangnya biodiversitas
(Dahl et al. 2004).
Menurut Darmono (2001), penyebab utama berkurangnya kadar oksigen
dalam air ialah limbah organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan
mengalami degradasi dan dekomposisi oleh bakteri aerob (menggunakan oksigen
dalam air), sehingga lama-kelamaan oksigen yang terlarut dalam air akan sangat
berkurang. Dalam kondisi berkurangnya oksigen tersebut hanya spesies organisme
air tertentu saja yang dapat hidup. Pengukuran potensi pencemaran dari suatu
limbah cair organik sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen
terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis. Dalam skala luas merupakan suatu
pendekatan untuk menduga konsentrasi limbah (Gaudy 1982). Oleh sebab itu,
kandungan oksigen digunakan secara biokimia maupun secara kimiaw i dapat
digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalam suatu
perairan melalui pengukuran BOD dan COD. Defisiensi oksigen merupakan

11

indikator abiotik utama dari intensitas dekomposisi bahan organik. Kebutuhan
oksigen biokimiawi (BOD) adalah suatu ukuran dari respirasi mikroba dan ini
sering digunakan sebagai indikator pencemaran organik (Brabec et al. 2004).
Law (1981) menambahkan bahwa untuk mengamati masalah pencemaran
oleh limbah organik industri, maka salah satu alternatifnya adalah dengan
mengukur tingkat pemakaian oksigen potensial yang dikenal dengan Chemical
Oxygen Demand (COD). Nilai COD merupakan ukuran dari pencemaran air oleh
bahan-bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses kimia
dan mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air.
COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam kondisi khusus
untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi (Wardoyo 1981). COD diukur
dengan oksidator kimia (KMnO4 dan KCr 2O7) dapat lebih menggambarkan
kandungan organik sesungguhnya, tetapi tidak menunjukkan dinamika ekosistem
perairan. Meskipun BOD5 hanya menggambarkan sebagian organik (mudah urai),
tetapi lebih dapat menggambarkan dinamika ekosistem perairan.

Makrozoobenthos
Benthos adalah organisme dasar perairan yang hidup di permukaan
(epifauna) atau didalam (infauna) substrat dasar. Benthos terdiri dari organisme
nabati (fitobenthos) dan hewani (zoobenthos) (Odum 1971; RVCA 2005).
Menurut Nazarova et al. (2004), Zoobenthos didefinisikan sebagai sebuah
kelompok hewan invertebrata, dimana sebagian besar siklus hidupnya berada di
substrat dasar suatu badan air. Secara umum benthos dibagi menjadi tiga
kelompok utama, yaitu: makrobenthos (berukuran lebih besar dari 1 mm),
meiobenthos (berukuran antara 0.1 mm sampai 1 mm) dan mikrobenthos
(berukuran lebih kecil 0.1 mm) (Mann 1982). Dijelaskan oleh Cummins (1974)
bahwa makrozoobenthos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurangkurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum.
Organisme makrozoobenthos biasanya terdiri atas serangga air (stoneflies,
mayflies, caddisflies, beetles, true bugs, true flies), krustacea (isopods,
amphipods, crayfishes), moluska (snails, clams, mussel), annelids (lintah,
oligochaeta), dan beberapa golongan lainnya (proboscis worms, flatworms)

12

(RVCA 2005). Peran penting organisme makrozoobenthos dalam komunitas
akuatik adalah meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik,
seperti limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme
mati yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu juga
sebagai komponen penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan
komunitas akuatik (Odum 1971). Dijelaskan pula oleh Merritt dan Cummins
(1996) in Greenberg (2002) bahwa dalam kaitannya dengan posisi trophic mereka,
makrozoobenthos berperanan dalam pengolahan detritus dan bahan organik yang
terakumulasi di dasar perairan. Selain itu, mereka bertindak sebagai materi
makanan untuk jenjang trofik yang lebih tinggi. Secara umum makrozoobenthos
dapat dikelompokkan berdasarkan kebiasaan makan dan cara makan (Tabel 1).
Tabel 1 Kelompok makrozoobenthos berdasarkan cara makan
Tipe Cara Makan
Grazer
(herbivora)

Makrozoobenthos
Molusca
(Ancylidae,
Sphaeridae,
Pleuraceridae,
Planorbiidae,
Physidae,
Unionidae), Ephemeroptera (Heptageniidae),
Trichoptera
(Glossosomatidae
dan
Phygareidae) dan Coleoptera (psephenidae dan
Elmidae).

Shredders
(detritivora pada substrat
kasar)

Plecoptera
(Nemouridae,
Pteronarcidae,
Peltoperlidae),
Diptera
(Tipulidae)
dan
Trichoptera (Limnephilidae)

Collectors
(filter feeder dan deposit
feeder pada substrat halus)

Ephemeroptera
(Heptageniidae,
Baetidae,
Siphlonuridae dan Caenidae), Trichoptera
(Hydropsychidae), Diptera (Simuliidae dan
Chironomidae) dan Oligochaeta.

Predator
(karnivora)

Plecoptera
(Perlidae),
Megaloptera
(Corydalidae
dan
Sialidae),
Odonata
(Corduligasteridae, Petalaridae, Gomphidae
dan Agrionidae)

Sumber : Cummins (1974)

Wilhm (1975) menyatakan bahwa perubahan kualitas air sangat
berpengaruh pada kehidupan organisme makrozoobenthos baik komposisi
maupun besar populasi. Ada juga beberapa jenis organisme makrozoobenthos
yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kualitas air yang jelek, sehingga
organisme tersebut dapat dipakai sebagai penentu kualitas air suatu perairan.

13

Dijelaskan oleh Nazarova et al. (2004) bahwa komunitas dasar di kebanyakan
badan perairan tawar terwakili oleh tiga kelompok besar yakni: larva chironomid,
olighochaeta dan moluska. Oligochaeta dan moluska secara permanen hidup di
dasar, sedangkan chironomid, ketika dalam tahap larva insekta hanya
menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di dasar perairan. Banyak spesies
dari kelompok ini merupakan manifestasi respon langsung pada keberadaan dari
berbagai polutan yang berbeda di dalam massa air dan sedimen dasar, hal ini
menjadikannya sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan.

Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan
Kesehatan dari suatu ekosistem perairan direfleksikan oleh faktor fisika,
kimia dan biologi yang terintegrasi dalam suatu perairan. Pada masa lampau,
pengelolaan sumberdaya perairan terutama didasarkan pada pengukuran toksisitas
bahan kimia dan data-data kimia air untuk menentukan kualitas perairan. Saat ini
mulai digunakan pengukuran komponen biologi untuk memonitor dan menilai
kondisi suatu perairan (Butcher et al. 2003). Hal ini dikarenakan efek pada biota
umumnya titik akhir dari degradasi lingkungan dan pencemaran sungai (Norris
dan Thoms 1999). Penilaian biologi didasarkan atas pendapat bahwa struktur dan
fungsi dari komunitas biologi perairan dapat memberikan informasi kritis tentang
kualitas perairan. Usaha ini sangat berharga dalam menentukan status komunitas
biologi perairan dalam kaitan skala ukuran besar dan tipe penggunaan lahan (Hall
dan Killen 2006).
Sejarah penggunaan sistem bioindikator pada penilaian kualitas perairan
telah dimulai oleh Kolenati pada tahun 1848 dan Cohn pada tahun 1853
(Liebmann 1962 in Geourdaki 2003) yang telah mengobservasi organisme yang
ada dalam perairan tercemar ternyata berbeda dengan organisme pada perairan
yang bersih/tidak tercemar. Indikator biologi menggambarkan kualitas air dan
perubahannya dalam skala waktu yang lama yang lebih dapat dipercaya dibanding
beberapa analisa fisika kimia air secara terpisah. Khususnya di perairan mengalir,
dimana konsentrasi bahan pencemar mudah berfluktuasi bahkan dalam beberapa
jam, monitoring secara biologi telah terbukti bermanfaat (Whitton et al. 1991 in
Soininen 2004). Menurut Dudgeon (1999) in Dinakaran dan Anbalagan (2007)

14

komponen biologi yang sering digunakan sebagai indikator terjadinya perubahan
kualitas perairan sungai adalah benthos, khususnya insekta air. Penggunaan dari
benthos ini telah tersebar luas dan mendasari kebanyakan program bioassessment
pada beberapa dekade terakhir (Dahl et al. 2004).
Indikator

biologi

untuk

menilai

kualitas

air

berdasar

pada

makrozoobenthos menawarkan keuntungan lebih daripada penggunaan organisme
lain (Munoz et al. 1995). Komunitas Makrozoobenthos cenderung mempunyai
keanekaragaman lebih besar dibanding ikan atau komunitas biotik lain di dalam
sungai

yang

sama,

yang

membuat

evaluasi

dengan

beberapa

metrik

keanekaragaman komunitas lebih berarti. Makrozoobenthos relatif menetap,
mudah untuk dikumpulkan, dan peka terhadap gangguan manusia. Sebagai
tambahan, relatif peka atau toleran dari banyak makrozoobenthos yang sudah
dikenal. Pada umumnya mereka menyediakan pendekatan sederhana untuk
memahami dan mengukur kesehatan sungai dalam rangka mengevaluasi
keseluruhan integritas ekologis dari sistem perairan (Chakrabarty dan Das 2006).
Selanjutnya Gaufin (1958) in Wilhm (1975) membagi benthos berdasarkan
toleransinya terhadap derajat pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik
sebagai berikut :
1. Kelompok intoleran : benthos yang berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya bahan
organik. Ke lompok ini tidak dapat berkembang dengan baik apabila terjadi
penurunan kualitas lingkungan. Contoh spesies dari kelompok ini : Ephemera
simulans, Acroneuria evaluta, Chimmara obscura, Mesouvelia sp, Helichus
eitophilus, Anapheles punctipenis.
2. Kelompok fakultatif : benthos yang mampu hidup dalam kisaran kondisi
lingkungan yang lebih besar dari kelompok intoleran. Walaupun kelompok ini
mampu bertahan di perairan yang kaya bahan organiknya, namun tidak dapat
mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Contoh spesies dari
kelompok ini : Stenonema heterotarsela, Argion maculatum, Taenioptery
maura, Agabus stagninus, Conydalis cornubus, Hydropsyche bronta,
Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica.

15

3. Kelompok toleran : benthos yang dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran
kondisi lingkungan yang luas, artinya kelompok ini dapat dijumpai di perairan
yang tercemar atau kualitas buruk. Contoh spesies dari kelompok ini :
Chironomus riparium, Limnodrilus sp., Tubifex sp.
ODNR (1993) juga mengelompokkan makrozoobenthos ke dalam tiga
kelompok berdasarkan toleransinya terhadap pencemaran perairan. Ketiga
kelompok

tersebut

adalah (1)

kelompok organisme

intoleran

terhadap

pencemaran. Mereka pada umumnya dominan pada kualitas air bagus. (2)
kelompok organisme yang dapat hidup pada kisaran luas dari kondisi kualitas air,
(3) kelompok organisme toleran terhadap pencemaran. Mereka pada umumnya
mendominansi pada kondisi kualitas air jelek (Gambar 2).

Sumber: ODNR (1993)

Gambar 3

Kelompok-kelompok organisme makrozoobenthos berdasarkan
kepekaannya terhadap pencemaran perairan.

16

Karakteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Arus merupakan faktor pembatas pada aliran air, arus yang tertentu dan
berkesinambungan adalah ciri utama habitat lotik. Kecepatan arus dapat bervariasi
amat besar di tempat yang berbeda dari satu aliran air yang sama (membujur
ataupun melintang dari poros arah aliran) dan dari waktu ke waktu. Arus adalah
faktor utama yang penting dalam membuat kehidupan kolam dan air deras amat
berbeda, dan mengatur perbedaan dibeberapa tempat dari suatu aliran air. Poff dan
Allan (1995) menyatakan bahwa regim hidrologi terutama arus merupakan faktor
yang penting dalam susunan struktur komunitas setempat pada ekosistim lotik.
Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman dan kelebaran
dasarnya (Hynes 1972; Hawkes 1975; Molles 2005). Kecepatan dan tipe arus
(turbulen/laminar) berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar
perairan, aerasi air, meningkatkan proses pembusukan dan berpengaruh tidak
langsung terhadap pembentukan komposisi makrozoobenthos (Egglishaw 1969;
Brabec et al. 2004). Banyak organisme yang hidup di batu-batuan air deras seperti
water pennies, mayfly dan trichoptera memiliki tubuh pipih, ramping serta
mempunyai perlengkapan lain agar dapat beradaptasi dalam kondisi air deras
tersebut (Hynes 1972).
Faktor lingkungan lainnya yang juga penting pada ekosistem sungai terkait
dengan aliran air adalah suhu dan oksigen terlarut, serta kelarutan sumber nutrien
dan bahan kimia terlarut (Hynes 1972; Hawkes 1975; Angelier 2003). Suhu pada
suatu habitat akan menentukan komunitas biota yang hidup di dalamnya.
Sebagian besar dari makrozoobenthos dapat melakukan toleransi pada suhu air
dibawah 35oC, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu yang ekstrim panas
misalnya pada sumber mata air panas yang bersuhu 35oC hingga 50oC. Contoh
serangga yang dapat hidup pada suhu ekstrim tersebut misalnya : larva Diptera
famili Chironomidae, Culicidae, Stratiomydae dan Ephydridae; larva Coleoptera
famili Dytiscidae dan Hydrophilidae, Hemiptera dan Odonata (Ward 1992).
Menurut Macan (1974), suhu 36,5-41o C merupakan lethal temperature bagi
makrozoobenthos dimana pada suhu tersebut organisme benthik telah mencapai
titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.

17

Oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting dalam
mendeteksi adanya pencemaran, karena oksigen dapat digunakan untuk melihat
perubahan atau ragam biota yang terdapat dalam perairan (Allen dan Mancy
1972). Di daerah aliran air biasanya kandungan oksigen berada dalam jumlah
yang cukup banyak. Oleh karena itu organisme aliran air biasanya mempunyai
toleransi yang sempit dan terutama peka terhadap kekurangan oksigen (Odum
1971). Ward (1992) menjelaskan bahwa oksigen terlarut merupakan faktor
lingkungan yang penting sekali bagi serangga air untuk menunjang proses
respirasinya. Interaksi antara oksigen terlarut dengan arus, substrat dan suhu
menunjang ekologi serangga air, pola distribusi dari oksigen terlarut akan
berpengaruh juga pada pola distribusi serangga air. Nimfa Stonefly mengalami
kematian setelah 24 jam ketika terjadi tingkat kadar oksigen yang rendah dengan
kecepatan arus 1,5 cm/detik. Oksigen terlarut merupakan salah parameter kualitas
perairan

penting

yang

memberikan

pengaruh

terhadap

komunitas

makrozoobenthos di Sungai Del Puerto Creek dan Salt Slough, California.
Kandungan oksigen terlarut dilaporkan memiliki hubungan positif dengan metriks
benthos seperti kepadatan, % collectors/gatherers, dan tingkat kepekaan indeks
EPT (Hall dan Killen 2006).
Bahan nutrien dan bahan kimia yang ada dalam perairan biasanya
berasosiasi dengan faktor fisika perairan seperti suhu dan oksigen terlarut.
Dekomposisi organik pada siklus nutrien, pada ekosistem lotik seperti siklus nitrat
membutuhkan oksigen (Matlock et al. 1999). Hasil perombakan bahan organik
terkadang menghasilkan zat beracun seperti amonia yang bersifat toksik bagi biota
air. Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber
amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea)
dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari
dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang
dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonfikast
(Effendi 2003). Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan
penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Kadar amonia di perairan alami
biasanya kurang dari 0,1 mg/l dan kadar amonia di perairan tawar sebaiknya tidak

18

melebihi 0,2 mg/l. Kadar amonia bebas melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi
beberapa jenis ikan (Sawyer dan Mc Carty 1978 in Effendi 2003).
Adanya bahan kimia akibat ma