Komunikasi Partisipatif Pada Kelompok Wanita Tani Di Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang.

KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA KELOMPOK WANITA
TANI DI KECAMATAN KAJORAN KABUPATEN
MAGELANG

FEBRI PALUPI MUSLIKHAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif
pada Kelompok Wanita Tani di Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Febri Palupi Muslikhah
NRP. I352120051

RINGKASAN
FEBRI PALUPI MUSLIKHAH. Komunikasi Partisipatif pada Kelompok
Wanita Tani di Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang. Dibimbing oleh
SARWITITI SARWOPRASODJO dan DWI SADONO.
Komunikasi partisipatif
merupakan kunci untuk meraih partisipasi
stakeholder dalam proses pembangunan pengelolaan sumberdaya alam,
khususnya dalam bidang ketahanan pangan. Partisipasi tersebut diwujudkan
dalam bentuk voice, dialog dan aksi refleksi masyarakat yang didampingi oleh
komunikator pembangunan. Komunikator pembangunan berperan dalam
memfasilitasi dan mengedukasi masyarakat. Kegiatan Optimalisasi Pemanfaaatan
Pekarangan bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui
pemenuhan ketersediaan pangan di tingkat keluarga. Kegiatan tersebut
menargetkan partisipasi dari wanita tani untuk melaksanakan program
pembangunan, dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk

melakukan pendekatan dan meraih partisipasi masyarakat. Kegiatan tersebut
difasilitasi oleh penyuluh pendamping yang berasal dari Balai Penyuluhan
Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Kajoran.
Penelitian ini bertujuan (1) Mendeskripsikan komunikasi partisipatif yang
terjadi dalam pelaksanaan pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Kajoran,
Kabupaten Magelang, (2) Menganalisis hubungan antara karakteristik kelompok
dengan komunikasi partisipatif Kelompok Wanita Tani (KWT) (3) Menganalisis
hubungan antara peran penyuluh pendamping dengan komunikasi partisipatif
KWT, (4) Menganalisis hubungan kontribusi pekarangan dengan komunikasi
partisipatif KWT, dan (5) Menganalisis perbedaan komunikasi partisipatif antara
KWT swadaya dan non swadya.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang yang
ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa terdapat KWT
yang telah mendapatkan penghargaan di tingkat Nasional dan terdiri dari dua jenis
kelompok yaitu kelompok swadaya dan non swadaya. Jumlah responden 12
KWT, dengan rincian enam KWT berasal dari program pemerintah (KRPL dan
P2KP) dan enam lainnya berdiri dengan inisiatif dan dana masyarakat atau disebut
dengan kelompok swadaya. Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan
instrumen penelitian kuesioner kemudian dianalisis dengan menggunakan uji
korelasi Rank Speaman menggunakan SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan

terdapat hubungan nyata dan positif antara karakteristik kelompok (pengalaman
kelompok) dengan komunikasi partisipatif. Sama halnya dengan peran penyuluh
menunjukkan hubungan yang nyata dan positif dengan komunikasi partisipatif di
KWT. Sementara itu kontribusi pekarangan (memenuhi kebutuhan pangan)
berhubungan nyata dengan Komunikasi partisipatif pada KWT dan tidak terdapat
perbedaan komunikasi partisipatif antara kelompok swadaya dan non swadaya.
Kata kunci: Komunikasi partisipatif, kelompok wanita tani, pemanfaatan
pekarangan.

SUMMARY
FEBRI PALUPI MUSLIKHAH. The Participatory Communication on the
Women Farmer Groups in Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang. Supervised
by SARWITITI SARWOPRASODJO and DWI SADONO.
Participatory communication is the key to get the stakeholder participation
in the development process of natural resource management, especially in the area
of food security. The participations are realized in the form of voice, dialog and
community reflection activity which facilitated by the development
communicator. Development communicator works as the facilitator and edukator
for community. Home garden utilization activity is an activity that aims to
improve the national food security through covering the food availability in the

family level. The target of the activity is the participation of women farmer were
formed as Women Farmer Groups to carry out approach and to get the community
participation. The activity was facilitated by the extensions from BPPK Kajoran.
This study aims to (1) describe the participatory communication occurred in
the home garden utilization activity in Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang,
(2) Analyze the relationship between the groups’ characteristics and the Women
Farmer Groups participatory communication, (3) analyze the relationship between
the roles of the extension and the Women Farmer Groups participatory
communication, (4) Analyze the relationship between the home garden
contribution and the Women Farmer Groups participatory communication, and (5)
Analyze participatory communication differences betwen swadaya community
and non swadaya community.
This study was carried out in Kajoran Subdistrict, District of Magelang
which was decided purposively considering that there was a Women Farmer
Groups that have got national appreciation and half of the women farmer groups
in Kajoran Subdistrict were self-supporting Women Farmer Groups. The total
amount of respondents were 12 Women Farmer Groups, 6 Groups were supported
by government (KRPL and P2KP) the other 6 groups were self-supporting groups.
The data were collected using questionnaire and were analyzed using Rank
Spearman Correlation test with SPSS 20. The results show that there is positive

correlation between the groups’ characteristics (groups experience) and the
participatory communication. The role of the extensions also shows that it has a
positive correlation with the Women Farmer Groups participatory communication.
In the other hand, the home garden contribution (improving the food needs)
showing any correlation with the Women Farmer Groups participatory
communication and the differences about participatory communication does not
exist betwen swadaya community and non swadaya community.

Keywords: Participatory communication, Women Farmer Group, Home Garden
Utilization.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA KELOMPOK WANITA
TANI DI KECAMATAN KAJORAN KABUPATEN
MAGELANG

FEBRI PALUPI MUSLIKHAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Pudji Muljono, MSi


Judul Tesis
Nama
NIM

: Komunikasi Partisipatif pada Kelompok Wanita Tani di
Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang
: Febri Palupi Muslikhah
: I352120051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Koordinator Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian : 14 Januari 2015

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Maha Esa atas segala
rahmat, karunia serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini yang berjudul Komunikasi Partisipatif pada Kelompok Wanita Tani
di Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang. Shalawat serta salam juga
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Penelitian ini dilakukan dalam

rangka penyelesaian program magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo,
MS dan Dr Ir Dwi Sadono, M.Si selaku komisi pembimbing atas segala arahan,
saran, dan bimbingannya. Tidak lupa penulis sampaikan penghargaan kepada
seluruh penyuluh pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BPPK)
Kecamatan Kajoran, atas bantuan dan fasilitasnya selama penulis melaksanakan
penelitian di Kecamatan Kajoran, khususnya kepada Bapak Edi Iriyanto selaku
Kepala BPPK dan Mbak Miftah beserta keluarga yang telah menyediakan tempat
tinggal, waktu, tenaga dan kebersamaan sebagai keluarga sehingga memberikan
kemudahan bagi penulis menuntaskan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada
keluarga tercinta, Ayah Sunaryono, Ibu Rohmiatun, Kakak Dian Tata Riandari
dan Berto Yusuf Nugroho, atas seluruh do’a, dukungan, kasih sayang, serta
kesabarannya membantu penulis selama pendidikan di IPB.
Ucapan syukur dan rasa terimakasih juga mengalir pada sahabat-sahabat
kost GPA tercinta, my unbiological sister, not sister by blood but sister by heart,
Nurul Mukhlishah atas motivasi dan kebersamaannya dalam menyelesaikan
pendidikan pascasarjana di IPB, juga kepada Erwina, mbak Tika, Aci dan Uni
Opi, keluarga besar Green TV, teman-teman KMP 2012 dan Diadji Kuntoro.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membaca pada umumnya
dan penulis sendiri khususnya.

Bogor, Februari 2015
Febri Palupi Muslikhah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

1
1
5
5

6

TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Komunikasi Partisipatif
Komunikasi Partisipatif pada Program Ketahanan Pangan
Komunikator Pembangunan sebagai Fasilitator
Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok
Definisi Pekarangan
Pemanfaatan Lahan Pekarangan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
Kontribusi Pekarangan
Hasil Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

7
7
9
11
13
17
19
21
22
23
24
28
30

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Data dan Instrumen Penelitian
Definisi Operasional
Validitas dan Reliabilitas
Pengumpulan Data
Analisis Data

31
31
31
31
32
33
36
38
38

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Program Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan
Aktivitas Kelompok Wanita Tani

40
40
41
43

Karakteristik Kelompok Wanita Tani
Peran Penyuluh Pendamping
Kontribusi Pekarangan
Komunikasi Partisipatif di KWT
Hubungan Karakteristik Kelompok Wanita Tani dengan
Komunikasi Partisipatif
Hubungan Peran Penyuluh Pendamping dengan Komunikasi
Partisipatif
Hubungan Kontribusi Pekarangan dengan Komunikasi Partisipatif
Perbedaan Komunikasi Partisipatif antara KWT Swadaya dan
Non Swadaya

46
50
53
55
61
64
67
70

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

73
73
74

DAFTAR PUSTAKA

75

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

80
93

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Konsep pendekatan komunikasi pembangunan
Jumlah dan persentase karakteristik kelompok wanita tani pada KWT
diKecamatan Kajoran Tahun 2014
Jumlah dan persentase peran penyuluh pendamping pada KWT di
Kecamatan Kajoran tahun 2014
Jumlah dan persentase kontribusi pekarangan pada KWT di Kecamatan
Kajoran Tahun 2014
Jumlah dan persentase komunikasi partisipatif pada KWT di Kecamatan
Kajoran Tahun 2014
Nilai koefisien korelasi (r) antara karakteristik kelompok dengan
komunikasi partisipatif KWT di Kecamatan Kajoran Tahun 2014
Nilai koefisien korelasi (r) antara peran penyuluh pendamping dengan
komunikasi partisipatif KWT di Kecamatan Kajoran Tahun 2014
Koefisien korelasi (r) antara kontribusi pekarangan dengan komunikasi
partisipatif KWT di Kecamatan Kajoran Tahun 2014
Nilai koefisien uji t komunikasi partisipatif antara KWT swadaya dan
KWT non swadaya di Kecamatan Kajoran Tahun 2014

8
47
50
54
56
62
65
68
71

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pemikiran komunikasi partisipatif pada kelompok wanita tani
Kegiatan piket di laboratorium lapang di KWT Melati II dan KWT Setiti
Kegiatan produksi sayuran dan jamur tiram di KWT Bukitmadu dan
Melati II
Kegiatan pelatihan di KWT Melati II
Rak bersusun sebagai alternatif pekarangan sempit

30
45
45
46
50

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Sketsa lokasi Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang
Sketsa pelaksanaan program di wilayah binaan BPPK Kecamatan
Kajoran
Perencanaan program kerja KWT
Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumentasi
Hasil uji korelasional karakteristik kelompok dengan komunikasi
partisipatif
Hasil uji korelasional peran penyuluh dengan komunikasi partisipatif
Hasil uji korelasional kontribusi pekarangan dengan komunikasi

80
81
82
83
85
85
86

8
9

partisipatif
Hasil uji t komunikasi partisipatif antara KWT Swadaya dan
KWT Non Swadaya
Dokumentasi penelitian

86
87

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan masih menjadi masalah utama di Indonesia. Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk yang mengalami kerawananan
pangan. Di tengah keberhasilan Pemerintah Indonesia menekan angka kemiskinan
hingga 4.09% dari tahun 2009 hingga tahun 2013, jumlah penduduk yang
mengalami rawan pangan tidak berkurang, justru semakin meningkat hingga
2.12%. Selama rentang waktu lima tahun tersebut, tercatat pula bahwa jumlah
penduduk yang masuk dalam kategori sangat rawan pangan mengalami
peningkatan hingga 4.81% (Badan Ketahanan Pangan 2013). Menanggapi
masalah tersebut, pemerintah berusaha untuk meningkatkan ketahananan pangan
nasional melalui perbaikan ketersediaan pangan rumah tangga dengan membentuk
kelompok masyarakat pelaksana kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan.
Pembentukan kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan pola konsumsi rumah
tangga menjadi beragam, bergizi, seimbang dan aman. Pemerintah
mengasumsikan dengan perbaikan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
akan berimbas pada perbaikan ketahanan pangan nasional (Dewan Ketahanan
Pangan 2006).
Berbagai program pembangunan yang bertujuan meningkatkan ketahanan
pangan rumah tangga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sudah lama
dilakukan oleh Pemerintahan Indonesia. Sejarah mencatat dari tahun 1991
Pemerintah Indonesia pernah membentuk program Pengembangan Diversifikasi
Pangan dan Gizi (DPG) yang bertujuan untuk mendukung penyediaan bahan
makan berkualitas dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan perbaikan gizi.
Salah satu cara yang ditempuh pada program DPG adalah dengan memanfaatkan
pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi. Selanjutnya pada tahun 2010, gema
program pemanfaatan pekarangan kembali menguat, ketika Kementrian RI
melalui Badan Ketahanan Pangan menggalakkan program Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Program ini merupakan tindak
lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang kebijakan P2KP
berbasis sumberdaya lokal. Setahun berlalu sejak Keputusan Presiden dibuat,
maka pada tahun 2011, Badan Litbang Pertanian membentuk Model Kawasan
Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). Program ini memiliki tujuan yang hampir
sama dengan program-program optimalisasi pemanfaatan pekarangan
sebelumnya, yaitu berupaya mengembangkan model rumah pangan yang
dibangun dalam suatu kawasan (dusun, desa, kecamatan). Model pangan tersebut
dibangun dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi
masyarakat (Ashari et al. 2012).
Menelaah perjalanan program pemanfaatan pekarangan di Indonesia yang
telah dikemukakan sebelumnya, bisa dilihat bahwa program-program tersebut
mempunyai tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga
untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui pemberdayaan wanita.
Bessette (2007) dalam hasil penelitiannya mengatakan bahwa program
pembangunan yang menangani masalah pengelolaan sumberdaya alam seperti

2

program ketahanan pangan memerlukan strategi pendekatan khusus untuk
mendorong partisipasi masyarakat dan keberhasilan program. Strategi tersebut
adalah dengan merubah paradigma komunikasi difusi menjadi paradigma
komunikasi pembangunan partisipatif. Komunikasi pembangunan difusi, selama
ini hanya fokus pada diseminasi informasi, yang memberikan informasi sebanyak
mungkin kepada masyarakat dan memaksanya untuk mengadopsi informasi yang
disampaikan. Hal tersebut bukan saja telah merampas hak masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya, tetapi juga melemahkan partisipasi masyarakat dalam
program pembangunan yang akan dijalankan. World Bank (2007) menjelaskan
lebih lanjut bahwa program ketahanan pangan yang dilaksanakan dengan
mengesampingkan kebutuhan dari masyarakat akan menyebabkan program
tersebut berumur pendek dan masyarakat enggan untuk berpartisipasi sehingga
program tidak bisa berjalan secara lestari dan berkelanjutan.
Perubahan paradigma ini menurut Bessette (2006) membantu para
stakeholder untuk meraih kesamaan tujuan serta mengimplementasikan beberapa
alternatif solusi pembangunan yang bisa diperoleh dari saling berbagi
pengetahuan dan pengalaman. Secara garis besar masyarakat khususnya wanita
yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan pekarangan merupakan bagian dari
stakeholder pembangunan yang memiliki hak untuk terlibat dalam proses
pembangunan itu sendiri. Proses tersebut diantaranya adalah identifikasi masalah,
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi. Komunikasi partisipatif
memfasilitasi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan dengan cara
menerapkan proses komunikasi horisontal. Komunikasi horisontal memberikan
keleluasaan bagi masyarakat untuk mengidentifikasi kebutuhan pembangunan dan
tindakan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, membangun dialog
dengan stakeholder lainnya yang terlibat seperti petugas penyuluh, peneliti dan
pihak pemrakarsa pembangunan. Tufte dan Mefalopulos (2009) menyatakan
bahwa komunikasi partisipatif mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan melalui empat landasan dasar. Keempat landasan dasar komunikasi
partisipatif adalah dialog, voice, liberating pedagogy dan action-reflection-action.
Dialog memungkinkan anggota komunitas, changes agent dan stakeholder terkait
melakukan proses komunikasi dua arah secara berkelanjutan sehingga ditemukan
suatu pemahaman dan pengertian yang membentuk kesadaran akan permasalahan
dan kebutuhan yang mereka rasakan (Rahim 2004).
Komunikasi partisipatif dalam program pembangunan akan lebih efektif bila
dilakukan dengan pendekatan kelompok. Hal tersebut diungkapkan oleh Bessette
(2006) yang sekaligus menambahkan bahwa adanya kelompok lokal akan
memudahkan anggotanya dalam mengidentifikasi prioritas dan kebutuhannya.
Mereka bisa mendiskusikan cara untuk memperbaiki kehidupannya secara
bersama-sama dengan orang-orang yang sudah dikenal dan berasal dari
lingkungan yang sama. Kelompok mampu membangun kesamaan karakteristik
anggotanya sehingga memudahkan untuk mengkoordinasikan solusi prioritas
yang akan dikerjakan secara bersama-sama. Berdasarkan hal tersebut kesepakatan
kelompok menjadi cermin dari kesepakatan seluruh anggotanya dalam
menjalankan program pembangunan. World Bank (2007) menambahkan bahwa
kegagalan beberapa program pembangunan selama ini dikarenakan pendekatan
awal yang dilakukan tidak sejalan serta tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok
yang akan melaksanakan program pembangunan. Beberapa program optimalisasi

3

pemanfaatan pekarangan di Indonesia juga dilakukan dengan pendekatan
kelompok secara partisipitif, seperti pada program P2KP, KRPL, dan Program
Desa Mandiri Pangan (Desa Mapan). Pendekatan kelompok yang dilakukan pada
program pemanfaatan pekarangan tersebut memicu para anggota untuk berdialog
dengan anggota kelompok lainnya mengenai kebutuhan dan masalah yang ada di
lingkungannya. Di samping memudahkan koordinasi, kelompok juga mampu
mempererat interaksi antar anggota kelompok, penyuluh pendamping hingga
stakeholder lainnya (Ashari et al. 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Odoi (2006) mengungkapkan bahwa adanya kelompok, membantu memfasilitasi
dialog antar petani dan memudahkan mereka untuk saling berbagi pengetahuan
dan pengalaman. Sementara itu Chitnis (2005) menyebutkan bahwa dialog yang
terjadi antara fasilitator dan kelompok wanita telah memberikan kesempatan
kepada kelompok untuk menyampaikan aspirasinya berdasarkan kebutuhan dan
masalah kesehatan yang dirasakan, selain itu mereka juga merasa mempunyai
tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi daripada sebelum bergabung dengan
kelompok, dan timbul rasa saling menghargai lingkungan dan sekitarnya untuk
memiliki hidup yang lebih baik, serta kemauan untuk berkembang bersama
sebagai kelompok.
Pembentukan kelompok dan pendekatan partisipatif pada program
pembangunan, mustahil tercapai tanpa bantuan dari komunikator pembangunan.
Hal tersebut dijelaskan oleh Bessette (2006), bahwa komunikator pembangunan
berperan sebagai fasilitator dalam proses melibatkan masyarakat setempat dan
stakeholder lainnya dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah ataupun
bersama-sama mencapai satu tujuan yang sama. Berdasarkan hal tersebut Bessette
(2007) menegaskan bahwa komunikator pembangunan/fasilitator perlu dilatih
agar mampu memfasilitasi kebutuhan sasaran melalui dialog, pembelajaran dan
perubahan. Sementara itu Ife (1995) mengatakan bahwa peran komunikator
pembangunan sebagai fasilitator dalam proses pemberdayaan masyarakat terbagi
dalam beberapa hal, yang diantaranya adalah peran fasilitatif dan peran edukatif.
Pada program optimalisasi pemanfaatan pekarangan, penyuluh pendamping
berperan sebagai fasilitator yang membantu kelompok wanita pelaksana program
untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui proses komunikasi partisipatif
yang dijalankan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Muchlis (2009)
membuktikan bahwa peran fasilitatif dan edukatif yang dijalankan penyuluh
dalam berlangsungnya komunikasi partisipatif pada Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Lampung mutlak diperlukan. Melalui hasil
penelitiannya terungkap bahwa ketidakmampuan penyuluh dalam menjalankan
kedua peran tersebut berhubungan dengan kurang aktifnya masyarakat dalam
berdialog mengenai aspirasinya. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Saputra
(2011), berdasarkan hasil penelitiannya tercantum bahwa peran fasilitatif yang
dilakukan oleh penyuluh mampu membangun kepercayaan diri masyarakat untuk
ikut terlibat dalam kegiatan diskusi. Mereka diberikan kesempatan yang sama
untuk mengeluarkan pendapatnya, sehingga komunikasi partisipatif pada
pelaksanaan program bisa berjalan dengan baik. Berkaca pada hasil penelitian
terdahulu tersebut, maka tidak bisa dipungkiri bahwa peran komunikator dalam
menjalankan peran fasilitatif dan edukatifnya berhubungan dengan bagaimana
komunikasi partisipatif dalam program pembangunan berjalan nantinya.

4

Berjalannya komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan program
optimalisasi pemanfaatan pekarangan tidak hanya ditentukan oleh peran fasilitator
dalam melibatkan kelompok melalui proses komunikasi, tetapi juga dilihat dari
segi kontribusi pekarangan yang dirasakan oleh anggota kelompok. Adanya
kontribusi pekarangan dalam memenuhi kebutuhan pangan harian dan
meningkatkan pendapatan ternyata turut mempengaruhi keaktifan anggota
kelompok dalam mengikuti penyuluhan mengenai program pemanfaatan lahan
pekarangan (Marsh 1998; Belem 2002). Hasil Penelitian Marsh (1998)
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pemenuhan kebutuhan pangan yang
diperoleh dari lahan pekarangan, maka semakin giat anggota komunitas
menghadiri pertemuan. Adanya peningkatan hasil pekarangan pada program HKI
(Hellen Keller International) yang dirasakan oleh anggota komunitas di India
dalam memenuhi kebutuhan gizi dan vitamin A turut mempengaruhi partisipasi
masyarakat dalam menghadiri penyuluhan yang diadakan oleh program HKI. Hal
serupa juga telah dikemukakan oleh penelitian Belem (2002) bahwa adanya
pendapatan dari hasil pekarangan mempengaruhi keaktifan wanita tani dalam
menghadiri penyuluhan.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai komunikasi partisipatif, melihat
komunikasi partisipatif pada tingkat individu, hal tersebut mampu mengukur voice
dengan baik, tetapi tindakan kolektif pada kegiatan refleksi aksi dan dialog yang
terjadi dalam kelompok kurang bisa tergambarkan, seperti pada penelitian
Mulyasari (2009); Muchlis (2009); Satriani (2011); Saputra (2011); Hermann
(2011); Kusumadinata (2012) dan Susanty (2013). Berdasarkan hal tersebut maka
peneliti bermaksud untuk meneliti komunikasi partisipatif melalui sudut pandang
yang berbeda yaitu melalui kelompok untuk mengukur voice, dialog dan refleksiaksi. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa dalam kelompoklah
bentuk komunikasi partisipatif bisa tergambarkan dengan jelas melalui tindakan
kolektif baik itu dari tahap perencanaan, pembuatan keputusan, pelaksanaan
hingga evaluasi. Proses tersebut terbangun dan berjalan seiring dengan dialog
yang terjadi dalam kelompok (Chitnis 2005, Odoi 2006, Uwamariya 2006, World
Bank 2007, Ashari et al 2012). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
penelitian ini mengambil kelompok sebagai responden, dan dilakukan pada
Kelompok Wanita Tani di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Kelompok
di daerah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Salah satu yang
membedakannya adalah bentuk kelompoknya di mana ada kelompok yang berdiri
atas inisiatif masyarakatnya sendiri (kelompok swadaya) dan kelompok yang
berdiri dengan bantuan program pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, maka
diperlukan analisis terhadap karakteristik KWT yang terdiri dari usia kelompok,
pengalaman kegiatan kelompok dan luas lahan pekarangan yang dimiliki oleh
anggota kelompok. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan karakteristik
kelompok, peran penyuluh pendamping (peran fasilitatif dan edukatif), kontribusi
pekarangan (memenuhi kebutuhan pangan dan memenuhi pendapatan) dengan
komunikasi partisipatif dalam hal dialog, voice dan reflection-action. Berdasarkan
beberapa pertimbangan tersebut, maka penelitian mengenai
komunikasi
partisipatif pada Kelompok Wanita tani di Kecamatan Kajoran Kabupaten
Magelang menjadi penting untuk diteliti.

5

Perumusan Masalah
Program pemanfaatan lahan pekarangan baik itu dari program pemerintah
maupun swadaya, merupakan program pembangunan yang menggunakan
pendekatan komunikasi partisipatif dengan membentuk kelompok. Pendekatan
komunikasi partisipatif memberikan kebebasan pada anggota kelompok untuk
menyuarakan aspirasinya, berdialog dan melakukan tindakan kolektif dalam setiap
proses pembangunan. Adanya penyuluh pendamping diharapkan mampu
menjalankan perannya sebagai fasilitator dan edukator untuk memuluskan
pendekatan tersebut dengan cara
memfasilitasi partisipasi pada tiap-tiap
kelompok. Masing-masing Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam pelaksanaan
program pemanfaatan lahan pekarangan mempunyai karakteristik yang berbeda
baik dari segi umur kelompok, tingkat pengalaman kegiatan, serta luas lahan
pekarangannya, begitu juga dengan kontribusi pekarangan yang didapatkan oleh
masing-masing KWT. Berbagai variabel seperti karakteristik kelompok, peran
penyuluh pendamping dan kontribusi pekarangan dalam program pemanfaatan
lahan pekarangan di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang diduga
berhubungan dengan komunikasi partisipasi pada program optimalisasi
pemanfaatan lahan pekarangan, yang terdiri dari dialog, voice dan refleksi-aksi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
(1) Bagaimanakah karakteristik kelompok, peran penyuluh pendamping,
kontribusi pekarangan dan komunikasi partisipatif yang terjadi pada
kelompok wanita tani di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang?
(2) Bagaimana hubungan antara karakteristik kelompok dengan komunikasi
partisipatif pada kelompok wanita tani di Kecamatan Kajoran, Kabupaten
Magelang?
(3) Bagaimana hubungan antara peran penyuluh pendamping dengan komunikasi
partisipatif pada kelompok wanita tani di Kecamatan Kajoran, Kabupaten
Magelang?
(4) Bagaimana hubungan antara kontribusi pekarangan dengan komunikasi
partisipatif pada kelompok wanita tani di Kecamatan Kajoran, Kabupaten
Magelang?
(5) Bagaimana perbedaan komunikasi partisipatif pada KWT swadaya dan KWT
non swadaya?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, penelitian
ini secara umum bertujuan mendapatkan informasi mengenai aktivitas komunikasi
partisipatif yang terjadi pada kelompok Wanita Tani pelaksana Program
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan. Secara khusus tujuan penelitian ini
adalah untuk:
(1) Mendeskripsikan karakteristik kelompok, peran penyuluh pendamping,
kontribusi pekarangan dan komunikasi partisipatif yang terjadi pada
kelompok wanita tani di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang.
(2) Menganalisis hubungan antara karakteristik kelompok dengan komunikasi
partisipatif pada kelompok wanita tani di Kecamatan kajoran, Kabupaten
Magelang.

6

(3) Menganalisis hubungan antara peran penyuluh pendamping dengan
komunikasi partisipatif pada kelompok wanita tani di Kecamatan kajoran,
Kabupaten Magelang.
(4) Menganalisis hubungan kontribusi pekarangan dengan komunikasi
partisipatif pada kelompok wanita tani di Kecamatan kajoran, Kabupaten
Magelang.
(5) Menganalisis perbedaan komunikasi partisipatif pada KWT Swadaya dan
KWT non swadaya.
Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai komunikasi partisipatif pada kelompok wanita tani ini,
diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu, khususnya Ilmu Komunikasi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, serta bagi lembaga-lembaga terkait, secara
khusus penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
(1) Sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang Ilmu Komunikasi dalam pelaksanaan program pembangunan
masyarakat.
(2) Alternatif masukan yang berguna bagi pemerintah daerah, penyuluh
pendamping dan pihak-pihak terkait lainnya dalam pelaksanaan program
optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan baik itu swadaya maupun
program pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi
program-program pembangunan masyarakat.
(3) Referensi pembanding dan konsep dalam kepentingan akademik dan stimulan
bagi penelitian selanjutnya.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Konsep komunikasi pembangunan sudah berulangkali mengalami
perubahan seiring dengan isu pembangunan yang berkembang. Menurut
sejarahnya komunikasi pembangunan telah berkembang sejak Perang Dunia ke II,
di mana terjadi tantangan terhadap kemiskinan, buta huruf, rendahnya kualitas
kesehatan, serta keadaan ekonomi, politik dan infrastruktur. Gagasan perubahan
terjadi akibat adanya pergeseran paradigma komunikasi pembangunan dari
paradigma tradisional difusi ke paradigma pembangunan partisipasi. Hal tersebut
sekaligus menjawab minimnya kontribusi komunikasi pada pembangunan di
negara-negara berkembang selama masa tahun 1960an yang banyak menaruh
harapan kepada media massa sebagai agen perubahan. Media massa seringkali
diidentikkan dengan komunikasi pembangunan, di sisi lain media massa ternyata
mempunyai keterbatasan dalam konsep pembangunan yang dianggap
mengesampingkan elemen komunikasi seperti feedback, aspirasi dan partisipasi
(Srampickal 2006).
Konsep pembangunan paradigma difusi diperkenalkan oleh Rogers yang
merumuskan komunikasi pembangunan sebagai proses penyampaian ide dari
sumber kepada penerima, dengan tujuan untuk mengganti ide, menciptakan dan
merubah sikap terhadap ide-ide, membujuk dengan maksud agar penerima
menerima ide tersebut sebagai bagian dari perilaku yang teratur. Menyadari
adanya perubahan sistem sosial, dan adanya kritik dari kalangan komunikasi
pembangunan, dimana tidak adanya feedback pada konsep tersebut, maka pada
tahun 1976, Rogers merevisi pengertian komunikasi pembangunan sebagai
berikut:
“penampilan yang mengecewakan dari paradigma yang dominan
selama satu dasa warsa membawa kita untuk mempertimbangkan
berbagai konsepsi alternatif mengenai komunikasi dalam
pembangunan”
Konsep komunikasi mulai mengalami perubahan, bukan lagi sebagai proses linear
(one way) dari sumber kepada penerima, tetapi menekankan adanya interaksi
antara sumber dan penerima (Rogers 2003). Penolakan paradigma komunikasi
pembangunan yang bersifat vertikal, top-down, linear dan searah, sebelumnya
telah dikemukakan oleh Paulo Freire, yang kemudian mendekonstruksikan
komunikasi pembangunan pada hak asasi manusia dalam pembangunan. Freire
menegaskan bahwa hak asasi tersebut adalah hak individu untuk menyuarakan
kata-katanya, dan bukan dari beberapa orang tertentu saja (Freire 1972;
Huesca 2008)
Berawal dari pemikiran Freire tersebut, maka berkembanglah pemikiran lain
mengenai perubahan konsep komunikasi pembangunan. Servaes (2008)
menyatakan perubahan komunikasi pembangunan terjadi pada arah komunikasi
pembangunan linear menjadi komunikasi dua arah (dialogis), komunikasi tidak
lagi hanya berpusat pada komunikatornya, tetapi mulai memberikan perhatian
kepada penerima pesan, serta menekankan pada pemahaman makna daripada

8

hanya menyebarkan informasi. Komunikasi pembangunan bukan lagi fokus pada
peningkatan produksi dan diseminasi informasi yang terpisah dari proses-proses
yang terjadi di masyarakat. Komunikasi lebih diarahkan pada proses-proses yang
memungkinkan pihak penerima terlibat secara aktif
dalam memenuhi
kebutuhannya melalui dialog dengan sesama stakeholder (Bessette 2007).
Sebuah pendekatan konseptual mengenai komunikasi pembangunan disusun
oleh Tufte dan Mefalopulos (2009) seperti yang tertera di Tabel 1, hal tersebut
dilakukan untuk melihat konsep perbedaan dari perubahan paradigma komunikasi
pembangunan model difusi menuju model partisipatif.
Tabel 1. Konsep pendekatan komunikasi pembangunan
Jenis Komunikasi
Pembangunan
Definisi masalah

Model Difusi Inovasi
(komunikasi satu
arah/monolog)
Kekurangan informasi

Model Partisipatif
(komunikasi dua
arah/dialog)
Rendahnya kerjasama
dengan stakeholders

Aspek budaya

Budaya sebagai
penghambat

Budaya dianggap sebagai
cara dan satuan hidup

Aspek katalis/media

Agen perubahan berasal
dari luar

Aspek pendidikan

Gaya pendidikan bank
(Bank Pedagogy)

Gaya pendidikan bebas
(Liberating pedagogy)

Aspek kelompok sasaran

Pasif, target merupakan
peserta

Aktif, target merupakan
stakeholder

Cara berkomunikasi

Membujuk

Tujuan utama perubahan

Perilaku individu

Hasil yang diharapkan

Perubahan perilaku
individu, orientasi terhadap
jumlah

Durasi aktifitas

Jangka pendek

Menjalin kerjasama dengan
agen dari dalam dan luar

Dialog, menyesuaikan
dengan masalah sosial,
mengatasi masalah
Perilaku individu dan
sosial, norma sosial dan
hubungan sosial
Hubungan kerja sama yang
erat dan menimbulkan
tindakan bersama
(collective action)
Jangka menengah dan
panjang

Sumber: Tufte dan Mefalopulos (2009)

Pergesaran paradigma komunikasi pembangunan bisa terlihat dengan jelas
dalam tabel tersebut. Komunikasi pembangunan model difusi lebih menekankan
pada diseminasi informasi kepada masyarakat dengan menggunakan media massa

9

sebagai agen modernisasi, adapun sasaran dalam model difusi adalah khalayak
luas (massa). Sementara itu komunikasi pembangunan model partisipatif
memusatkan perhatian kepada komunikasi dua arah yang melibatkan stakeholder
terkait, dan memperhatikan sasaran program dengan lingkungan sosialnya.
Bisa dipahami lebih lanjut dari beberapa pengertian tersebut bahwa
pergeseran paradigma komunikasi pembangunan terjadi atas dasar pemikiran hak
asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan informasinya serta memahami
lingkungan sosialnya. Proses pemahaman kebutuhan tersebut bisa dilakukan
dengan komunikasi dua arah yaitu dialog. Pada akhirnya kegiatan komunikasi
pembangunan pada kelompok masyarakat tidak bisa disamaratakan pada seluruh
lokasi wilayah pembangunan. Adanya perbedaan karakteristik pribadi masyarakat,
keadaan geografis dan lingkungan sosialnya perlu lebih diperhatikan dalam
rangka merencanakan dan melaksanakan komunikasi pembangunan yang tepat
sasaran. Komunikasi pembangunan juga menjadi jembatan penghubung terhadap
masalah dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga tujuan
pembangunan tepat sasaran (Mardikanto 2010).
Komunikasi Partisipatif
Semua partisipasi merupakan hasil dari adanya komunikasi, namun tidak
semua komunikasi berbentuk partisipatif (Singhal 2001). Partisipasi masyarakat
bisa diraih dengan menggunakan komunikasi horisontal yang berlangsung dua
arah. Komunikasi partisipatif merupakan paradigma komunikasi pembangunan
yang memiliki prinsip komunikasi horisontal untuk mendorong partisipasi
masyarakat melalui dialog. Masyarakat lokal diajak berpartisipasi dalam
mengidentifikasi kebutuhan dan tindakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan
pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam
proses pembangunan (Bessette 2007). Proses dialog dalam komunikasi partisipatif
bersifat dinamis, interaksional dan transformatif. Dialog terjadi antar individu,
kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik individu maupun kolektif,
untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan hidupnya
(Singhal 2001).
Selama ini pogram pembangunan kerap ditentukan sendiri oleh pemerintah
pusat, sehingga tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat hingga tingkat bawah
(grassroot). Aliran komunikasi yang searah dan cenderung top-down memaksa
masyarakat hanya menjadi pihak penerima pasif, dan mengesampingkan hak
mereka untuk berpartisipasi, bersuara maupun berpendapat. Freire (1972)
mengistilahkan ketidakmampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan
permasalahan yang dihadapi dengan istilah voicless people.
Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan
pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan
pembangunan (McPhail 2009). Srampickal (2006) menambahkan dibutuhkan
partisipasi aktif dari grassroot untuk melancarkan jalannya pembangunan.
Keterlibatan grassroot dalam pembangunan harus diimbangi dengan adanya
fasilitator yang berperan sebagai komunikator pembangunan. Peran komunikator
pembangunan adalah untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan dengan jalan interaksi yang dinamis dan komunikasi dua arah.
Berjalannya komunikasi dua arah yang ditunjukkan dengan adanya dialog aktif
masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan merupakan prinsip dasar dari

10

komunikasi partisipatif (Nair&White 2004). Sejumlah prinsip mengenai
komunikasi partisipatif banyak bermunculan yang berakar dari pengaruh
pemikiran global, dan adanya peningkatan kontribusi akademis yang mulai
memperhatikan prinsip komunikasi partisipatif. Prinsip dasar komunikasi
partisipatif diantaranya adalah dialog, voice, liberating pedagogy, actionreflection-action/collective action (Tufte & Mefalopulos 2009). Proses
komunikasi partisipatif juga menekankan pada kemampuan anggota komunitas
agar mampu menyampaikan aspirasinya serta berbagi informasi yang lebih
dikenal dengan istilah voice. Komunikasi partisipatif menjunjung tinggi adanya
voice sebagai hak asasi dari seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses
pembangunan (Warnock et al. 2007). Kemampuan anggota komunitas untuk
berdialog dan saling berbagi voice tersebutlah yang akhirnya membentuk
kekuatan untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan anggota
komunitas lainnya (collective action) yang difasilitasi oleh change agent. Change
agent maupun media komunikasi yang membantu memfasilitasi untuk
mengartikulasikan informasi dalam mengidentifikasi masalah dan mencari solusi
melalui dialog inilah yang disebut dalam istilah pedagogy liberating.
Dialog merupakan hal yang paling penting dalam komunikasi partisipatif
pada sebuah komunitas/kelompok sosial. Dagron (2008) menambahkan bahwa
dialog merupakan kunci dari komunikasi partisipatif dalam pembangunan, jika
ingin melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan maka adanya dialog tidak
bisa dihindarkan, begitu juga jika sebuah organisasi pembangunan ingin
membangun hubungan dengan pemerintah dan masyarakat sosial, maka dialog
merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam tingkat komunitas/kelompok.
Dalam dialog terjadi sharing knowledge dan pengalaman dengan para stakeholder
untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menetapkan solusi atas
permasalahan yang terjadi serta mengevaluasi (Tufte&Mefalopulos 2009). Tidak
akan ada kelompok tanpa adanya dialog di dalamnya, begitu pula sebaliknya tidak
ada dialog bila tidak terbentuk kelompok. Proses dialog sendiri dimaknai dengan
pembentukan makna dan menyampaikan nilai sosial antara individu yang saling
bertukar informasi. Hal tersebut menandakan bahwa dialog selalu diawali dengan
proses komunikasi dalam diri individu (intrapersonal) sebelum menyampaikan
ide/aspirasinya ke anggota kelompok yang lain maupun komunikator
pembangunan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku (Rahim
2004). Chitnis (2005) menyatakan bahwa dialog dalam sebuah kelompok
pembangunan di India mampu mengaburkan sistem kasta, meningkatkan
pengetahuan, menimbulkan rasa dihargai, dan masyarakat mempunyai
kepercayaan diri untuk menilai kesesuaian program dengan kebutuhan yang
dirasakannya. Sementara itu hasil penelitian Kusumadinata (2012) menemukan
bahwa dialog mampu memicu masyarakat untuk lebih kritis dan memberikan
kebebasan untuk berpendapat.
Aspirasi atau voice dalam komunikasi partisipasi menekankan pada hak
seluruh individu untuk didengar, berbicara, dan kemungkinan bagi tiap individu
berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam menentukan
kehidupannya (Warnock et al. 2007; McPhail 2009). Bentuk partisipasi
masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya adalah dengan berkontribusi pada
setiap proses komunikasi, diantaranya adalah menyampaikan pandangan,
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bertindak dalam pencarian informasi,

11

berbicara dan mendapatkan respon, serta menggunakan segala macam saluran
komunikasi yang tersedia (Warnock et al. 2007).
Liberating pedagogy, didefinisikan sebagai bentuk dan cara komunikasi
yang dilakukan dalam sebuah dialog untuk membantu seseorang menyalurkan
aspirasinya. Cara untuk menyalurkan aspirasi bisa difasilitasi oleh media maupun
komunikator pembangunan (Tufte & Mefalopulos 2009). Proses liberating
pedagogy atau pembelajaran yang membebaskan ini dimaknai bukan hanya
sekedar membantu memfasilitasi penyaluran aspirasi ataupun proses diseminasi
informasi dari yang tidak tahu menjadi tahu, melainkan lebih kepada bagaimana
cara untuk membentuk sebuah dialog, sehingga mampu mengidentifikasi masalah
secara bersama dan menetapkan solusi yang akan diambil.
Sementara itu konsep action-reflection-action sebagai bahan yang penting
dalam komunikasi partisipatif bukan hanya merefleksikan masalah, tetapi juga
mengumpulkan tindakan dengan mencoba mengumpulkan gerakan dari masalah
yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata kunci dalam konsep
ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk bertindak dalam sebuah
kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan tindakan kolektif dalam
kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki pada masalah yang
dihadapi. McKee et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa
memiliki, kompetensi dan komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan
adanya collective action dan kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota
komunitas dengan organisasi dalam konteks sosial. Intervensi komunikasi
pembangunan dalam collective action pada level kelompok tergantung pada
kegiatan komunikasi di dalamnya, termasuk adanya dialog, identifikasi masalah
dan solusinya, berbagi informasi, negosiasi, persetujuan, bergabung dalam proses
pengelolaan, dan proses pertanggungjawaban yang sama dalam komunitas
(Warnock et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, komunikasi partisipatif dalam
penelitian ini dimaknai sebagai bentuk partisipasi anggota kelompok dalam
menjalankan proses komunikasi (voice, dialog dan refleksi aksi) pada kegiatan
pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Komunikasi Partisipatif pada Program Ketahanan Pangan
Kebijakan ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan telah banyak
direvisi dalam beberapa tahun terakhir, menjadi lebih menekankan pada
pendekatan holistik untuk pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan,
kerjasama multisektoral, partisipasi stakeholder dalam memaksimalkan potensi
lokal masyarakat dan lingkungannya (World Bank 2007). Bessette (2007)
menambahkan bahwa program ketahanan pangan perlu didesain dan
diimplementasikan dengan partisipasi aktif masyarakat maupun keluarganya
untuk meyakinkan bahwa program ketahanan pangan tersebut benar-benar sesuai
dengan penghidupan dan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut program
ketahanan pangan merevisi cara pandang mereka terhadap masyarakat.
Masyarakat tidak lagi dianggap sebagai objek pembangunan, tetapi dianggap
sebagai subjek pembangunan yang menjadi bagian dari stakeholder pembangunan.
Tidak ada lagi hubungan antara subjek-objek pada program pembangunan
ketahanan pangan, yang ada adalah hubungan antara subjek-subjek. Masyarakat
dianggap sebagai pihak yang mampu bertindak dan merubah penghidupannya,
karena merekalah yang mengetahui potensi sumberdaya alam di lingkungannya,

12

serta masalah dan berbagai peluang yang bisa meningkatkan taraf hidupnya
(Singhal 2001; World Bank 2007; Bessette 2007).
Berbicara mengenai ketahanan pangan, tentu tidak lepas dari usaha untuk
mencukupi kebutuhan pangan melalui pertanian di masyarakat, khususnya
keluarga. Program ketahanan pangan yang dibawa oleh pemerintah dengan
menggunakan pendekatan komunikasi partisipatif, memberikan voice kepada
masyarakat, dan memberikannya kesempatan untuk meningkatkan kemampuan
mereka berkomunikasi. Hal tersebut juga mampu meningkatkan kebanggaan
identitas petani yang dimiliki masyarakat. Komunikasi partisipatif dalam program
ketahanan pangan menjadi sarana untuk mengenali nilai budaya, kearifan lokal,
pengetahuan lokal petani dan memperkuat identitas budaya masyarakat (World
Bank 2007). Masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam perencanaan,
pembuatan keputusan dan pelaksanaan untuk mencapai tujuan ketahanan pangan
yang terkandung dalam program. Hal tersebut dimaksudkan agar proses
pencapaian tujuan yang diberikan oleh pemerintah bisa bersinergi dengan
peningkatan pengetahuan dan informasi masyarakat, sehingga mereka bisa
memperbaiki kehidupannya sendiri.
Program ketahanan pangan di Indonesia seperti Program Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP), Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan
program yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan keluarga melalui
optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Program ini didesain secara partisipatif
untuk mengembangkan tanaman lokal sebagai sumber pangan dan gizi keluarga.
Pemanfaatan tanaman lokal untuk dibudidayakan di pekarangan membutuhkan
partisipasi masyarakat lokal itu sendiri untuk melakukan analisis potensi dan
masalah di lingkungannya. Melalui fasilitas penyuluh pendamping, mereka
difasilitasi untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pembuatan keputusan,
pelaksanaan, hingga evaluasi kegiatan yang akan mereka terapkan. Berikut
merupakan beberapa tahapan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam
program pemanfaatan lahan pekarangan di Indonesia (Saliem 2011; Mardiharini
2011; Werdhany&Gunawan 2012; BKP 2013) :
(1) Tahap persiapan.
Tahap ini merupakan pengumpulan awal mengenai potensi sumberdaya
dan kelompok penerima manfaat. Mereka dipertemukan dengan dinas terkait
untuk mencari kesepakatan dalam penentuan calon kelompok dan lokasi.
Sebelumnya Dinas Pertanian dan dinas terkait telah melakukan koordinasi
dan memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan bersama.
(2) Pembentukan kelompok.
Kelompok penerima manfaat merupakan ibu rumah tangga yang
berada dalam satu wilayah baik itu RT, RW maupun dusun. Pendekatan yang
digunakan adalah partisipatif, dengan melibatkan kelompok penerima
manfaat, tokoh masyarakat dan perangkat desa, sehingga terbentuk kelompok
dari, oleh dan untuk kepentingan para anggota kelompok sendiri.
(3) Perencanaan Kegiatan.
Melakukan perencanaan komoditas yang akan diusahakan di lahan
pekarangan,sayuran dan obat keluarga, ikan dan ternak, kebun bibit desa serta
pengolahan limbah rumah tangga. Kegiatan tersebut dilakukan bersama-sama
dengan kelompok dan dinas terkait.

13

(4) Pelatihan.
Pelatihan dilakukan sebelum pelaksanaan di lapang. Jenis pelatihan
yang dilakukan antara lain teknik budidaya pangan, buah dan sayuran, teknik
budidaya ikan dan ternak, perbenihan, pengolahan hasil, pemasaran serta
teknologi pengelolaan limbah rumah tangga dan pelatihan penguatan
kelembagaan.
(5) Pelaksanaan.
Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh kelompok dengan pengawalan
teknologi oleh pendampingan antara lain oleh penyuluh dan petani andalan.
(6) Pembiayaan.
Biaya bersumber dari kelompok, masyarakat, partisipasi pemerintah
daerah dan pusat, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan
dana lain yang mengikat.
(7) Monitoring dan evaluasi.
Dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan kegiatan,
dan menilai kesesuaian kegiatan yang telah dilaksanakan dengan
perencanaan. Evaluator dapat dilakukan oleh kelompok.
Seluruh kegiatan pada program pemanfaatan lahan pekarangan di atas
melibatkan peran serta masyarakat penerima program yang terbentuk dalam
kelompok, peyuluh pendamping serta beberapa pihak lain yaitu Dinas Pertanian
dan stakeholder lainnya. Tujuan dari melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan
kegiatan adalah untuk menimbulkan rasa memiliki dan bertanggungjawab pada
program yang dijalankan, sehingga nantinya program ini bisa dilaksanakan
masyarakat secara mandiri dan berlanjut secara lestari.
Komunikator Pembangunan Sebagai Fasilitator
Komunikator pembangunan memainkan

Dokumen yang terkait

Strategi Pengembangan Kelompok Tani Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai

16 102 68

Efektivitas Komunikasi Partisipatif Dalam Pelaksanaan Prima Tani Di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak

2 10 244

Pakom bagi Kelompok Wanita Tani Ngudi Makmur dan Kelompok Wanita Tani Merpati di Kecamatan Karang Malang Kabupaten Sragen

0 3 7

Tingkat Penerapan dan Pengatahuan Wanita Tani tentang Industri Rempeyek pada Kelompok Wanita Tani Mekar Sari di Desa Bukian, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar.

0 1 14

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KETUA KELOMPOK TANI DENGAN EFEKTIVITAS KELOMPOK TANI DI KECAMATAN PACITAN KABUPATEN PACITAN

0 0 91

SURVEIDINAMIKA PENULARAN MALARIA DIDESA BANJARETNO, KECAMATAN KAJORAN, KABUPATEN MAGELANG, JAWA TENGAH

0 0 12

EVALUASI HASIL PROGRAM PEMBERDAYAAN KELOMPOK WANITA TANI DI DESA KALIABU, KECAMATAN MEJAYAN, KABUPATEN MADIUN

0 0 19

PERAN KELOMPOK WANITA TANI “SARI MAKMUR” DALAM PEMBERDAYAAN WANITA DI DESA ALASMALANG KECAMATAN KEMRANJEN KABUPATEN BANYUMAS

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelompok Wanita Tani - PERAN KELOMPOK WANITA TANI “SARI MAKMUR” DALAM PEMBERDAYAAN WANITA DI DESA ALASMALANG KECAMATAN KEMRANJEN KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 1 10

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Kelompok Wanita Tani “Sari Makmur” 1. Sejarah Kelompok Wanita Tani “Sari Makmur” - PERAN KELOMPOK WANITA TANI “SARI MAKMUR” DALAM PEMBERDAYAAN WANITA DI DESA ALASMALANG KECAMATAN KEMRANJEN KABUPATEN BANYUMAS - reposito

1 0 28