Respons Sektor Beras Indonesia Dalam Masyarakat Ekonomi Asean: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja Dan Kesejahteraan
RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK
PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN
RIZA ROSANDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respons Sektor Beras
Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak Produksi,
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Riza Rosandy
NIM H151137214
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
RIZA ROSANDY Respons Sektor Beras Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Dibimbing
oleh HERMANTO SIREGAR dan SAHARA.
Dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan untuk
menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi,
maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai pada tahun 2003.
MEA bertumpu pada empat pilar dasar, yaitu: (i) Pasar Tunggal dan Basis
Produksi; (ii) Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing; (iii) Pembangunan
Ekonomi yang Merata; dan (iv) Integrasi dengan Ekonomi Global. Beberapa
sektor yang diprioritaskan untuk diliberalisasi tercantum dalam ASEAN
Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS), diantaranya
adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, produk dari karet, produk dari
kayu, perikanan dan otomotif. Liberalisasi sektor barang akibat MEA
dikhawatirkan akan terus menurunkan produksi beras, jumlah pekerja di sektor
pertanian Indonesia. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja
dan kesejahteraan Indonesia dan menganalisis alternatif kebijakan sektor beras
dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data utama yang bersumber dari basis data
GTAP 8. Model ekonomi yang digunakan adalah model keseimbangan umum.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa implementasi MEA dapat meningkatkan
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan di Indonesia. Dalam analisis kebijakan
alternatif ditemukan bahwa, kebijakan dukungan domestik melalui subsidi benih
dapat meningkatkan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan surplus neraca
perdagangan. Kebijakan ini dapat diterapkan untuk saat ini karena dapat menjaga
tingkat efisiensi produksi petani. Kebijakan liberalisasi penuh di sektor beras
ternyata dapat menyebabkan penurunan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan
neraca perdagangan. Hal ini dapat dikarenakan tingginya konsumsi beras dan
tidak tergantikan. Hasil yang mengejutkan terjadi pada kebijakan proteksi penuh
sektor beras, yang menghasilkan nilai positif pada produksi dan tenaga kerja
namun negatif untuk kesejahteraan. Selain itu, jika skema ini diterapkan,
ditakutkan akan memicu negara lain untuk melakukan hal kebijakan serupa. Pada
penelitian selanjutnya terkait sektor beras, dapat digunakan data kelompok tenaga
kerja yang lebih rinci seperti data Survei Sosial Ekonomi Nasional. Selain itu
dapat pula menggunakan basis data GTAP 9, yang baru diluncurkan pada akhir
tahun 2015.
Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, kebijakan beras, Global Trade
Analysis Project
SUMMARY
RIZA ROSANDY Indonesian Rice Sector Response in the ASEAN Economic
Community: Impact Analysis of Production, Labor and Welfare. Supervised by
HERMANTO SIREGAR and SAHARA.
According to the economic crisis in year 1998 and a will to create the
ASEAN region that is stable, prosperous and highly competitive, then the history
of the ASEAN Economic Community (AEC) began in 2003. AEC relies on four
basic pillars, namely: (i) the Single Market and Production Base; (ii) Competitive
Economic Region; (iii) Equitable Economic Development; and (iv) Integration
with the Global Economy. Some sectors are prioritized for liberalized listed in
ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS),
including agricultural products, textiles and textile products, rubber products,
wood products, fisheries and automotive. Liberalization of the goods sector by
AEC will continue to reduce rice production and also the number of workers in
Indonesian agricultural sector. So the purpose of this study aims to analyze the
impact of the liberalization of commodity rice to AEC on production, labor and
welfare Indonesia and analyze alternative policies in rice sector and appropriate
policy for Indonesia.
This study uses primary data sourced from GTAP database 8. The economic
model used is a general equilibrium model. The results show that MEA
implementation can increase production, employment and welfare in Indonesia. In
the alternative policy analysis found that, domestic support policies by subsidizing
seeds can increase production, employment, welfare and trade surplus. This policy
can be applied for now because it can maintain the level of efficiency of
production of farmers. Full liberalization policy in the rice sector was found to
cause a decline in production, employment, welfare and trade balance. This can be
due to the high consumption of rice and irreplaceable. The surprising result
occurred in the rice sector policy of full protection, which resulted in a positive
value on production and employment, but negative for welfare. In addition, if the
scheme is implemented, it feared would lead other countries to do similar policies.
In subsequent studies related to the rice sector, can use the data group more
detailed labor force as the National Economic Social Survey data. Moreover, it
can also use the GTAP database version 9, which was launched in late 2015.
Keywords: ASEAN Economic Community, Rice policy, the Global Trade
Analysis Project
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK
PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN
RIZA ROSANDY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Mulatsih, MScAgr
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT, yang atas izin-Nya tesis yang berjudul
“Respons Sektor Beras Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” ini
akhirnya dapat terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi
komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan
Indonesia. Selain itu tesis ini juga menganalisis dampak kebijakan sektor beras
dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hermanto
Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Sahara, SP, M.Si, yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan tesis ini. Melalui
bimbingan dari komisi pembimbing tersebut akhirnya penulis dapat
menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi IPB dan mendapat
gelar Magister Sains. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri
Mulatsih, M.ScAgr sebagai penguji luar komisi yang turut memberikan masukan
yang berharga terhadap penelitian ini, sehingga tesis ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, yaitu
Achmad Sanusi dan Yus Rostiati yang selalu memberikan doa dan dukungan
dalam berbagai bentuk. Doa dan dukungan kedua orang tua telah menjadikan
penulis untuk bekerja lebih keras lagi dalam menyelesaikan studinya. Ucapan
terima kasih juga diberikan kepada Kementerian Perdagangan yang telah
memberikan beasiswa, teman-teman Batch II IPB Beasiswa Kemendag, rekanrekan di Ditjen. Perundingan Perdagangan Internasional, Ibu Prof. Rina Oktaviani
dan Dr. Eka Puspitawati dari ITAPS IPB, yang telah memberikan bantuan dan
dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan serta
keterbatasan dalam tesis ini. Akhirnya, dengan segala kekurangan yang ada dalam
materi, penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan kecil bagi
perbaikan kebijakan ekonomi di Indonesia sekaligus menambah khazanah ilmu
pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Riza Rosandy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
iv
iv
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Tinjauan Empiris
Alur Pemikiran
7
7
11
12
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
13
13
13
4 GAMBARAN UMUM
Kinerja Perdagangan Beras
Sentra Produksi Beras
Perkembangan Konsumsi Beras
Kinerja Ekspor dan Impor Beras Indonesia
Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Beras Indonesia
Kebijakan Beras Indonesia
23
23
23
24
25
25
26
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan
Analisis Alternatif Kebijakan
29
29
33
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran
39
39
40
41
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
`
53
iv
DAFTAR TABEL
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Halaman
Aggregasi sektor dalam GTAP
14
Daftar skenario kebijakan
15
Perkembangan produksi padi di provinsi sentra di Indonesia, 2008 – 2012
24
Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan komoditas beras,
periode tahun 2008 – 2012
25
Subsidi benih dan pupuk di Indonesia periode tahun 2013-2016
27
Simulasi MEA: produksi beras di dunia
29
Simulasi MEA: produksi berbagai sektor di Indonesia
30
Simulasi MEA: permintaan faktor input primer di Indonesia (dalam %)
31
Simulasi MEA: perubahan GDP riil negara di dunia
32
Produksi sektor di Indonesia pada berbagai skenario (dalam %)
33
Permintaan unskilled labor sektor di Indonesia (dalam %)
34
Perubahan neraca perdagangan sektor barang Indonesia (Juta US$)
35
Perubahan GDP rill negara di dunia (Juta US$)
36
DAFTAR GAMBAR
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Halaman
Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia
periode tahun 2007- 2012
3
Penentuan harga keseimbangan
9
Dampak penurunan tarif
10
Alur pemikiran
12
Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya
16
Struktur produksi model GTAP
20
Struktur konsumsi dalam model GTAP
21
Struktur impor model GTAP
22
Kontribusi subsektor pertanian Indonesia berdasarkan rata-rata nilai ekspor
23
dan impor periode tahun 2008 – 2012
Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras rumah
tangga Indonesia periode tahun 2004-2013
24
Komitmen tarif impor beras di ASEAN tahun 2010 dan 2015
28
v
DAFTAR LAMPIRAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Perkembangan basis data GTAP
Aggregasi lengkap negara
Nilai output seluruh sektor di Indonesia (Juta US$)
Guncangan/shock simulasi 1 MEA
Guncangan/shock simulasi 2 Liberalisasi penuh
Guncangan/shock simulasi 3a (subsidi benih)
Guncangan/shock simulasi 3b (subsidi pupuk)
Guncangan/shock simulasi 3c (subsidi kredit)
Guncangan/shock simulasi 4 proteksi penuh
Halaman
45
45
46
46
47
48
48
49
49
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kurun waktu 1990 – 2000 banyak negara melakukan integrasi
ekonomi yang diawali dengan Free Trade Agreement (FTA). Tercatat pada tahun
2000 sebanyak 73 persen negara di dunia yang mewakili 47 persen populasi dunia
telah melakukan liberalisasi perdagangan (Wacziarg dan Welch 2003). Hingga
tahun 2015, dalam basis data World Trade Organization (WTO) tercatat telah
terdapat 268 Regional Trade Agreements (RTAs) dan 27 berbentuk Preferential
Trade Arrangements (PTAs).
Pada tahun 2001, pembahasan Multilateral Trading System oleh WTO
menemui kegagalan, khususnya mengenai pembahasan agenda Doha
Development Agenda. Kegagalan tersebut dikarenakan adanya perbedaan
kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Salah satu penyebabnya
adalah terkait isu-isu sensitif seperti sektor pertanian dan Non Agricultural Market
Access. Kegagalan tersebut ternyata, turut mempercepat terbentuknya beberapa
FTA. Dari FTA yang terbentuk tersebut, ada yang bersifat PTAs maupun RTAs.
FTA tidak hanya membantu dalam perluasan pasar, tetapi juga membantu
dalam menciptakan persaingan yang lebih besar, meningkatkan efisiensi dan
pertumbuhan yang lebih baik bagi perekonomian negara-negara peserta (Urata
2002). Sebagai salah satu contoh sebuah FTA yang berkembang menjadi integrasi
ekonomi adalah European Union (EU) pada tahun 1993. Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan mata uang tunggal Euro pada tahun 1999. Menurut Achsani
dan Partisiwi (2010) integrasi ekonomi telah mendorong kawasan ini menjadi
lebih efisien dan lebih memiliki daya saing. EU dibentuk berdasarkan teori
Optimum Currency Area. Teori yang diutarakan oleh Mundell (1961) ini
menyebutkan bahwa, untuk kawasan yang ekonominya terintegrasi dengan sangat
tinggi lebih baik menggunakan single currency atau rezim nilai tukar tetap. Ciriciri yang harus tampak dalam sebuah integrasi ekonomi adalah: (i) Arus bebas
barang dan jasa; (ii) Arus bebas aset fisik dan keuangan; dan (iii) Arus bebas
tenaga kerja.
Indonesia adalah salah satu pendiri dari Association of Southeast Asia
Nations (ASEAN) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Perhimpunan
Bangsa Bangsa Asia Tenggara. Organisasi ini berdiri melalui Deklarasi Bangkok
pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand. Pada awalnya ASEAN
merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya terdiri dari
negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Namun baru pada tahun 1977 terjadi
kesepakatan untuk meliberalisasikan arus barang melalui penurunan tarif.
Liberalisasi tersebut diawali dengan PTA, disusul dengan skema Common
Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) pada
tahun 1992.
Dengan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan
untuk menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing
tinggi, maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai. Pada tahun
2
1997 para Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020.
Kesepakatan ini akan menjadikan ASEAN sebagai: (i) suatu pasar tunggal dan
basis produksi; (ii) mengubah keanekaragaman menjadi karakter kawasan menjadi
peluang bisnis yang saling melengkapi; serta (iii) membuat ASEAN menjadi lebih
dinamis dan menjadi segmen yang lebih kuat sebagai bagian dari rantai pasok
global (Oktaviani et al., 2010). Keberhasilan penerapan MEA nantinya akan
ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi di
kawasan.
Itakura (2014) mengatakan, walaupun masih terdapat perdebatan dalam
dampak integrasi ekonomi akibat liberalisasi, untuk kasus integrasi ekonomi
ASEAN masih memberikan efek positif terhadap kesejahteraan. Hakim (2004)
juga mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan dengan
meningkatnya ekspor yang dikarenakan perluasan akses pasar. Namun Achsani
dan Partisiwi (2010) mengingatkan, bahwa integrasi ekonomi akan membawa
dampak pada pembentukan grup-grup negara yang diuntungkan dan dirugikan.
Sehingga masalah integrasi ekonomi harus dilakukan dengan prinsip hati-hati.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, biasanya negara maju akan berkumpul pada satu
grup yang diuntungkan. Kemudian negara berkembang ada di grup lain yang
dirugikan. Grup ini tidak akan jauh berbeda baik pada masa krisis maupun setelah
krisis.
MEA adalah salah satu RTAs didunia selain EU dan United States of
America (USA). Pada tahun 2003, seluruh Kepala negara ASEAN menyepakati
tiga pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi akhir
tahun 2015 yaitu: (i) ASEAN Economic Community; (ii) ASEAN Political-Security
Community; dan (iii) ASEAN Socio-Cultural Community. Ketiga pilar ini
kemudian dijadikan sebagai dasar dari Piagam ASEAN/ASEAN Charter pada
tahun 2007. Untuk memastikan tercapainya tujuan sesuai waktu yang telah
ditentukan dalam roadmap, maka ditetapkan juga ASEAN Economic Community
Blueprint.
Sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN, MEA adalah pilar yang
berfokus pada bidang kerja sama perekonomian dan bertumpu pada empat pilar
dasar, yaitu: (i) pasar tunggal dan basis produksi; (ii) kawasan ekonomi yang
berdaya saing; (iii) pembangunan ekonomi yang merata; dan (iv) integrasi dengan
ekonomi global.
Jadwal penurunan tarif untuk MEA diatur dalam ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA). ATIGA mengamanatkan penurunan tarif menjadi nol
sampai lima persen dan harus sudah berlaku sejak tahun 2010. Indonesia sendiri
sudah menurunkan sekitar 98.87 persen pos tarif AFTA di ATIGA menjadi nol
persen terhitung sejak bulan Januari 2010. Namun demikian menurut ASEAN,
Indonesia tetap menempatkan empat pos tarif beras (HS1006) dalam Highly
Sensitive List (HSL).
Bagi Indonesia, beras merupakan komoditas pertanian yang strategis secara
sosial-budaya, ekonomi dan politik. Hal tersebut senada dengan negara anggota
ASEAN lainnya, dimana keberadaan produk pertanian khususnya beras adalah
mutlak bagi keberlangsungan ekonomi dan kehidupan. Selain itu beras juga
merupakan makanan pokok paling penting dan merupakan sumber utama
pemenuhan gizi. Melihat pentingnya urusan beras tersebut, maka di Indonesia
kebijakan beras banyak melibatkan peran Kementerian dan Lembaga.
3
Perumusan Masalah
70
70
60
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
Juta Hektar
Juta Ton
Sebuah perjanjian perdagangan bebas (FTA) adalah perjanjian antara dua
atau lebih Negara dengan kesepakatan untuk menghilangkan hambatan
perdagangan baik tarif dan kuota impor (Urata 2002). Seiring dengan
penghapusan hambatan perdagangan, beberapa FTA juga memasukkan aturan
yang mengatur investasi asing langsung, perlindungan hak kekayaan intelektual,
isu-isu lingkungan dan tenaga kerja dalam perjanjian mereka (Cooper 2014).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari
FTA, oleh karena sudah mengintegrasikan tiga sektor utama yaitu perdagangan
barang, perdagangan jasa dan investasi.
Dalam MEA menurut ASEAN Framework Agreement for the Integration of
Priority Sectors (PIS) terdapat sektor yang integrasinya diprioritaskan. Sektor
tersebut diantaranya adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, barang
dari karet, barang dari kayu, perikanan dan otomotif. Perjanjian ini
mengamanatkan agar segala bentuk hambatan tarif dan nontarif yang termasuk
dalam PIS harus dihilangkan sejak tahun 2012. Beras menjadi salah satu produk
pertanian yang akan diintegrasikan. Menurut Krugmann dan Obstfeld (2003)
liberalisasi dapat meningkatkan surplus konsumen namun menurunkan surplus
produsen. Sehingga dalam implementasi penuh MEA nantinya, petani sebagai
produsen beras akan dirugikan oleh kebijakan ini. Menurut Oktaviani et al. (2008)
sebagian besar negara ASEAN bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber
utama dari produk domestik bruto (PDB).
Gabah
Beras
Konsumsi
Luas Lahan
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 1 Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia
periode tahun 2007-2012
Gambar 1 menunjukkan tingkat produksi gabah yang kemudian diolah
menjadi beras dan konsumsi beras di Indonesia. Pada gambar terlihat bahwa
tingkat produksi dan konsumsi beras saling berimpitan (produksi hanya
4
mencukupi konsumsi). Selain itu luas lahan padi juga hanya meningkat sedikit
sekali pada periode tahun 2007-2009. Hal ini mengakibatkan terjadi defisit
persediaan beras yang besar pada tahun 2010. Dikarenakan peningkatan konsumsi
tidak diikuti oleh peningkatan produksi yang signifikan. Hal ini kemudian
menyebabkan meningkatnya harga beras sekitar 39 persen pada akhir tahun 2010
(Kemendag, 2014). Namun pada tahun 2012 defisit tersebut kemudian berhasil
diturunkan, dengan menutupi defisit persediaan beras tersebut dengan melakukan
kebijakan impor beras dan operasi pasar (Bulog melepaskan stok beras ke pasar).
Dalam ATIGA, HSL adalah salah satu kategori dalam Protocol on the
Special Arranggement for Sensitive and Highly Sensitive Products. ATIGA
mengamanatkan agar penghapusan tarif harus dilakukan paling lambat tanggal 1
Januari 2010. Bagi negara yang tidak bisa memenuhi amanat tersebut dapat
melakukan waiver (melepaskan kewajiban) dan mendaftarkan produknya di
kategori HSL. Syarat dilakukannya waiver tersebut diatur dalam Protocol to
Provide Special Consideration for Sugar and Rice. Syarat tersebut ialah jika latar
belakang diajukannya waiver adalah untuk memenuhi dan mengupayakan
keamanan pangan yang dapat menciptakan stabilitas ekonomi (menghindari
domestic market failure). Kemudian negara yang menggunakan skema tersebut
dikenakan kewajiban untuk mengajukan argumen waiver dalam bentuk tertulis
dalam sidang Dewan AFTA. (Hertanti, 2012).
Menurut teori Hecksker-Ohlin sebagaimana dijelaskan oleh Krugman dan
Obstfeld (2003) menunjukan bahwa keunggulan komparatif dipengaruhi oleh
interaksi antara faktor produksi yang banyak dimiliki dan teknologi produksi yang
dapat mempengaruhi intensitas pemakaian faktor produksi untuk membuat suatu
barang. Teori ekonomi lain mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dengan
mengurangi dan menghilangkan hambatan tarif dan nontarif akan menciptakan
efisiensi, skala ekonomi, persaingan, faktor produktivitas dan arus perdagangan,
sehingga, meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Barro dan Martin, 2004;
Wacziarg dan Welch, 2003). Namun liberalisasi perdagangan juga dianggap
berkontribusi terhadap peningkatan kemiskinan dan ketimpangan di kawasan
perkotaan dan pedesaan (Castilho et al., 2010). Bahkan Warr (2014) mengatakan
bahwa liberalisasi yang terjadi di Indonesia tidak akan menghasilkan peningkatan
pendapatan bagi unskilled labor dalam hal ini petani.
Menurut Oktaviani et al. (2014) berdasarkan analisis Revealed Comparative
Advantage (RCA), Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian,
produk kayu, perikanan, produk karet dan elektronika. Ditambah dengan tenaga
kerja usia produktif yang melimpah, seharusnya lebih memperkuat keunggulan
komparatif Indonesia di sektor pertanian.
Dengan demikian, berdasarkan rumusan permasalahan di atas diperlukan
suatu analisis respons sektor beras Indonesia yang diakibatkan oleh liberalisasi
perdagangan melalui MEA, antara lain:
1.
Bagaimanakah dampak liberalisasi perdagangan terhadap produksi beras,
tenaga dan kesejahteraan kerja di Indonesia?
2.
Kebijakan seperti apa yang harus diterapkan Indonesia untuk sektor beras?
5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini antara lain:
1.
Menganalisis dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan Indonesia.
2.
Menganalisis alternatif kebijakan sektor beras dan kebijakan yang sesuai
bagi Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan tentang dampak
liberalisasi perdagangan terhadap sektor pertanian. Khususnya dampak terhadap
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan sektor pertanian subsektor tanaman
pangan. Sekaligus juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap kebijakan
ekonomi dan perdagangan yang diambil pemerintah, sehingga ke depan dihasilkan
kebijakan yang menguntungkan bagi ekonomi nasional.
Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.
Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain:
Berfokus pada variabel produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.
Data utama menggunakan basis data GTAP versi 8 (tahun dasar 2004 dan
2007).
Difokuskan pada komoditas beras di Indonesia, namun hanya menganggap
terdapat satu jenis beras dengan kualitas yang sama di seluruh negara.
Mengasumsikan sektor beras berada pada pasar persaingan sempurna.
Mengunakan agregasi sepuluh Negara, Sembilan sektor barang dan satu
sektor jasa.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional adalah teori yang menunjukkan adanya
keuntungan yang timbul dari adanya keuntungan perdagangan (gain from trade).
Dalam masa globalisasi saat ini, menurut Dumairy (1997) saat ini hampir tidak
ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan perdagangan dengan negara
lain. Hal ini dikarenakan dua perbedaan mendasar yaitu perbedaan dalam sumber
daya alam dan sumber daya manusia.
Perdagangan internasional terjadi bila di dalamnya terlihat akan
memberikan keuntungan atau manfaat bagi kedua belah pihak, atau setidaknya
salah satu pihak dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. Hal ini berarti pula
bahwa perdagangan internasional pada umumnya akan meningkatkan
kesejahteraan bagi pihak-pihak yang melakukannya. Keuntungan yang diperoleh
dari adanya perdagangan ini disebut gain from trade. Namun besarnya manfaat
yang diperoleh masing-masing pihak yang melakukan perdagangan ditentukan
oleh kekuatan masing-masing pihak dalam proses tawar-menawar.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya, sama halnya
dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan
bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari
keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama
terjadinya perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu sama lain
dan ingin mencapai skala ekonomi (economic of scale). Menurut Tambunan
(2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat
dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi
karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan
permintaan negara lain.
Free Trade Area dan Integrasi Ekonomi
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative).
Teori Adam Smith tersebut kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817)
dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage).
Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil
yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga
relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.
Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh
negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditas yang
diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya
lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum
Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan
komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan
8
production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan
(Salvatore, 1997):
a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditas;
b) Perdagangan bersifat bebas;
c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak
ada mobilitas antara dua negara;
d) Biaya produksi konstan;
e) Tidak terdapat biaya transportasi; dan
f) Tidak ada perubahan teknologi.
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat
berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut
berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.
Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor productivity)
dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan
internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana
negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor barang dimana
negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain,
cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika
suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam
tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.
Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai
jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu
barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja
yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika
negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative
advantage dan production advantage.
Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,
perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan
faktor produksi (factor endowment) di antara masing-masing negara. Satu negara
dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor
komoditas padat kapital (capital-intensive goods) dan sebaliknya negara dengan
kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditas
padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Terkait integrasi ekonomi sebagai perluasan dari FTA, menurut Krugman
dan Obsfeld (2003) adalah kelompok negara dalam daerah tertentu dengan kerja
sama ekonomi yang intensif dimana perdagangan barang dan jasa sebagai faktor
produksi bebas bergerak. Oleh karena itu, integrasi ekonomi dapat juga dilihat
sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan nasional (National welfare). Lebih
lanjut, tahap integrasi ekonomi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh
European Union (EU) menurut Bela Balassa (1928-1991) dimulai bertahap yang
dimulai dari: (i) free exchange area; (ii) customs union; (iii) common market; (iv)
economic union; dan (v) economic and monetary union.
9
Pendekatan Keseimbangan Umum dalam Perdagangan
Pada pendekatan keseimbangan umum/general equlibrium, perubahan
dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Perubahan
inilah yang tidak dapat ditangkap oleh metode partial equilibrium. Pendekatan ini
memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. Secara sederhana teori keseimbangan
umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”.
Dengan model ini dimisalkan, ada suatu perusahaan yang memproduksi dua
barang sebagaimana terlihat dalam Gambar 2 dimana PP adalah kurva
kemungkinan produksi (production posibility frontier). Pertama harga kedua
barang tersebut diberikan sebesar Px dan Py. Pada tingkat harga ini perusahaan
akan memproduksi kedua barang dengan kombinasi x1 dan y1. Untuk
memaksimalkan keuntungan perusahaan akan memproduksi kedua barang ini
disepanjang garis PP. Pada x1 dan y1, rasio kedua barang
sama dengan rasio
dari marginal cost (RPT), sehingga keuntungan di titik ini akan maksimum.
Pada sisi lain, garis C menunjukan budget constraint dan tingkat permintaan
konsumen untuk barang X dan Y ada di x1’ dan y1’. Pada tingkat harga ini akan
terjadi excess demand untuk barang X dan excess supply pada barang Y. Jika
pasar bekerja maka akan menyebabkan Px naik dan Py turun. Kemudian akan
dan garis C akan semakin curam ke C*.
meningkatkan rasio harga barang
Perusahaan dalam hal ini akan merespon perubahan harga ini dengan mengubah
produksi searah jarum jam dalam garis PP. Sementara konsumen akan melakukan
substitusi barang x dengan barang y. Akhirnya keseimbangan baru terjadi di x*
dan y*, dengan rasio harga yang baru
dengan tingkat harga ini penawaran dan
permintaan berada dalam kondisi keseimbangan.
Sumber: Nicholson 2005
Gambar 2 Penentuan harga keseimbangan
10
Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik,
sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang
maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara
sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan
(intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa
bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan
tarif impor, pemberian subsidi ekspor dan berbagai bentuk dukungan domestik
lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Salah satu
bentuk intervensi yang dapat mendistorsi dalam perdagangan adalah melalui tarif.
Pemberlakuan Tarif
Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang
masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang
diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk
ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif
memberikan pemasukan bagi pemerintah. Dampak pemberlakuan tarif bisa
berbeda antara negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu
mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya akan merubah harga di negara
tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada
kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia
melalui term of trade.
Sumber: Nicholson 2005
Gambar 3 Dampak penurunan tarif
Dalam Gambar 3, Nicholson menjelaskan salah satu contoh mengenai
dampak liberalisasi (penurunan tarif) terhadap produksi jagung (X) di Inggris.
Penurunan tarif akan menyebabkan produksi barang X berpindah dari titik E ke
titik A. Konsumsi barang juga akan berpindah dari titik E ke titik B. Jika barang
produksi barang X barang padat modal, maka harga relatif dari modal akan turun
sebagai akibat dari perpindahan ini.
11
Tinjauan Empiris
Hasil berbagai penelitian mengenai dampak liberalisasi pertanian terhadap
ekonomi masih menjadi perdebatan. Berbagai metode juga sudah digunakan
dalam menjawab dampak liberalisasi tersebut. Berikut adalah beberapa penelitian
terdahulu, antara lain:
Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap
Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia (Sitepu, 2002). Dengan
menggunakan spesifikasi model penawaran dan permintaan beras menggunakan
persamaan simultan dan metode Two Stage Least Square (2SLS) Walaupun sudah
menemukan bahwa terjadi pelandaian produksi dan penurunan surplus produsen,
namun belum dapat menjawab dampaknya terhadap tenaga kerja.
Implications of the US-South Korea Free Trade Agreement (KORUS FTA)
on Agricultural Exports from the US (Konduru et al., 2014). Penelitian tentang
dampak KORUS FTA pada ekspor produk pertanian (anggur) Amerika Serikat
(AS). Metode analisis adalah estimasi permintaan impor. Hasilnya menunjukan
bahwa produk anggur Amerika Serikat (AS) akan semakin kompetitif karena
adanya penurunan tarif dan pengurangan hambatan tarif. Selain itu diketahui pula
bahwa, bagi AS perjanjian ini akan meningkatkan ekspor anggur, namun bagi
Korea Selatan akan mengurangi produksi karena tingginya impor anggur dari AS.
Namun Korea Selatan berharap sektor anggurnya dapat meningkatkan efisiensi
dan daya saing dengan dibantu oleh pemerintah.
Does Trade Reduce Poverty? A View From Africa (Goff dan Singh 2014).
Tujuan penelitian ini adalah dampak yang ditimbulkan dari keterbukaan
perdagangan terhadap kemiskinan. Dengan menggunakan regresi nonlinear
keterbukaan perdagangan pada 30 negara Afrika pada periode 1981-2010.
Penelitian ini menemukan bahwa keterbukaan perdagangan berpotensi
mengurangi kemiskinan di negara yang memiliki sektor keuangan yang ketat,
tingkat pendidikan dan institusi pemerintahan yang kuat. Namun metode ini tidak
dapat menjawab dampaknya terhadap output pertanian, tenaga kerja dan berapa
besar penurunan kemiskinan yang terjadi.
Penelitian India-Korea CEPA:Potentials and Realities (Ahmed 2010),
bertujuan untuk meneliti dampak ekonomi (kesejahteraan, output sektoral dan
tenaga kerja). Metode yang digunakan adalah keseimbangan parsial dan
keseimbangan umum. Hasilnya adalah dari skenario liberalisasi penuh, Korea
akan diuntungkan dan India akan merugi. Namun kedua Negara akan mendapat
keuntungan signifikan dari peningkatan arus perdagangan. Walaupun sudah
menggunakan GTAP, akan tetapi dalam meneliti kesejahteraan petani
menggunakan Trade Creation dan Trade Diversion.
Sebenarnya beberapa metode penelitian dapat digunakan untuk meneliti
dampak liberalisasi perdagangan, namun demikian tetap harus disesuaikan dengan
tujuan penelitiannya. Untuk meneliti dampak liberalisasi secara makro, ternyata
metode keseimbangan umum adalah metode yang paling tepat. Hal ini
dikarenakan metode keseimbangan umum, sangat baik dalam mengidentifikasi
negara-negara atau sektor yang menang dan kalah. Selain itu metode ini juga
dapat digunakan untuk menangkap efek di berbagai output, penggunaan faktor,
efek perdagangan dan tingkat kesejahteraan yang dihasilkan antar negara sebagai
12
akibat dari perubahan kebijakan perdagangan baik bilateral, regional dan
multilateral (Ahmed 2010).
Alur Pemikiran
Dengan diawali oleh pembentukan ASEAN pada tahun 1967 sebagaimana
terlihat dalam Gambar 4. Dilanjutkan dengan ide pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. MEA berpijak pada tiga pilar,
dan fokusnya adalah liberalisasi barang di kawasan ASEAN. Liberalisasi barang
ini kemudian akan berdampak ke produsen dan konsumen, karena barang impor
akan mudah sekali masuk. Dari program GTAP, dengan menggunakan tiga file
utama akan dilakukan agregasi negara dan sektor yang akan dianalisis dan
dilakukan shock/guncangan. Setelah dilakukan guncangan inilah nantinya akan
terlihat dampak perubahan terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.
Kemudian dari hasil perubahan tersebut dapat disimpulkan kebijakan yang tepat
untuk sektor beras Indonesia.
Gambar 4 Alur pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data utama yang digunakan bersumber dari basis data Global Trade
Analysis Project (GTAP) versi 8 dengan tahun dasar 2004 dan 2007 (Narayan et
al. 2012). GTAP dikeluarkan oleh Centre for Global Trade Analysis, Purdue
University, Departemen Ekonomi Pertanian yang berkembang sejak tahun 1993
dan dipimpin serta diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel dalam sebuah
konsorsium. Data GTAP terdiri dari data input output 129 negara dan 57 sektor
dan 5 faktor input primer. Daftar lengkap perkembangan basis data GTAP dapat
dilihat pada lampiran 1.
Metode Analisis
Untuk menganalisis digunakan model Computable General Equilibrium
(CGE) dengan multinegara dan multikomoditas melalui model GTAP. Model
GTAP merupakan model komparatif statik sehingga perubahan persentase yang
dihasilkan dalam model menggambarkan perubahan yang terjadi sebelum dan
setelah kebijakan. Pada dasarnya model GTAP sama saja dengan model CGE
nasional. Baik model GTAP ataupun model CGE sama-sama menggunakan
konsep-konsep dasar arus pengeluaran dan pembelian antar pelaku ekonomi.
Keduanya merupakan model struktural yang dibangun dengan dasar teori-teori
mikroekonomi yang menjelaskan lebih detail perilaku-perilaku di masing-masing
agen ekonomi (behavioral equations).
Perbedaan utama antara model CGE nasional dan model GTAP terletak
pada cakupan wilayah. Pada model CGE, interaksi antara agen-agen yang berbeda
berlangsung hanya dalam satu negara atau wilayah, sedangkan di dalam model
GTAP interaksi antara agen-agen berlangsung antar negara/wilayah. Selain itu,
GTAP juga mencakup transportasi global dan mobilitas investasi. Dengan
demikian, model GTAP mampu menjelaskan dampak kebijakan antar negara,
sementara dalam model CGE terbatas hanya dalam satu wilayah atau negara saja.
Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin
transportasi internasional. Suatu global bank juga dibentuk dalam model sebagai
perantara dari investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga
dengan menggunakan Constant Difference of Elasticities (CDE) untuk
menangkap kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara
(Hertel et al, 2000). Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional
mengikuti model Armington (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan
asal negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama
lainnya untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini,
model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model
ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna dan skala usaha
yang konstan pada aktivitas produksi.
14
Aggregasi GTAP
Untuk mengagregasikan basis data GTAP, digunakan aplikasi gtapagg.exe
versi 8. Aplikasi ini dapat dibeli melalui jalur online1. Tahap awal dalam
menggunakan metode GTAP adalah mengaggregasikan Negara, sektor dan faktor
input primer. Untuk aggregasi negara dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk sektor
diaggregasikan ke dalam sepuluh sektor baru sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Aggregasi sektor ini memfokuskan pada sektor barang, sehingga sektor jasa
dikumpulkan ke dalam satu sektor sebagaimana yang dilakukan oleh Yamamoto
et al. (2007). Untuk faktor input dibagi kedalam lima faktor, yaitu: Land,
Unskilled Labor, Skilled Labor, Capital dan Natural Resources.
No Nama Sektor
Tabel 1 Aggregasi sektor dalam GTAP
Kode Sektor GTAP
Keterangan
1
2
3
4
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
5
6
Tambang
Mamin
Paddy rice.
Processed rice.
Wheat; Cereal grains nec.
Vegetables, fruit, nuts; Oil seeds;
Sugar cane, sugar beet; Plantbased fibers; Crops nec;
Cattle,sheep,goats,horses;
Animal products nec; Raw milk;
Wool, silk-worm cocoons;
Forestry; Fishing; Meat:
cattle,sheep,goats,horse; Meat
products nec.
Mining and Extraction
Processed Food
7
8
9
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Textiles and Clothing
Fertilizer
Light and Heavy Manf
10
Jasa
Utilities and Services
Sumber : GTAP versi 8
1
https://www.gtap.agecon.purdue.edu/databases/pricing.asp
Paddy
Processed rice
Wheat n Cereal grains
Other Agriculture and Livestoc
Coal; Oil; Gas; Minerals nec.
Vegetable oils and fats; Dairy
products; Sugar; Food products nec;
Beverages and tobacco products.
Textiles; Wearing apparel.
Chemical,rubber,plastic prods.
Leather products; Wood products;
Paper products, publishing;
Petroleum, coal products; Mineral
products nec; Ferrous metals; Metals
nec; Metal products; Motor vehicles
and parts; Transport equipment nec;
Electronic equipment; Machinery and
equipment nec; Manufactures nec.
Electricity; Gas manufacture,
distribution; Water; Construction;
Trade; Transport nec; Sea transport;
Air transport; Communication;
Financial services nec; Insurance;
Business services nec; Recreation and
other services;
PubAdmin/Defence/Health/Educat;
Dwellings.
15
Simulasi Kebijakan
Simulasi guncangan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk
menjawab tujuan pertama digunakan skenario MEA/Simulasi 1. Pada simulasi ini
tarif seluruh barang antar anggota ASEAN diturunkan menjadi nol persen, kecuali
untuk sektor padi dan beras. Hal ini berdasarkan Lampiran dari ASEAN Trade in
Goods Aggrement tentang List of Highly Sensitive List. Variabel yang akan dilihat
perubahan nilainya adalah Industry Output (qo), Demand for Endowment (qfe)
dan Equivalent Variation (ev).
Untuk menjawab tujuan kedua dilakukan serangkaian simulasi kebijakan
yaitu Simulasi 2, 3 dan 4. Simulasi 2 adalah skenario liberalisasi penuh, dengan
asumsi kawasan ASEAN dianggap sudah terintegrasi penuh sehingga tidak ada
lagi tarif. Simulasi 3a adalah Skenario dukungan domestik melalui subsidi benih.
Asumsi pada skenario ini adalah sudah terjadi liberalisasi penuh di ASEAN dan
Indonesia menerapkan subsidi pada sektor padi/gabah sebesar 40.92%. Hal ini
dikarenakan selama periode 2013-2016 subsidi benih telah mengalami
peningkatan rata-rata tahunan 48% dengan share benih pada subsidi tersebut
sebesar 84%. Simulasi 3b adalah skenario dukungan domestik. Asumsi pada
simulasi ini adalah terjadi liberalisasi penuh dengan subsidi pada sektor pupuk
sebesar 1%. Hal ini karena selama periode 2013-2016 subsidi pupuk telah
mengalami peningkatan rata-rata tahunan 24%. Selain itu dalam database GTAP
menurut Sturm (2011), sektor pupuk hanya memiliki bagian tiga persen dari
sektor crp (chemical rubber and plastic products). Simulasi 3c adalah skenario
dukungan domestik melalui subsidi bunga kredit. Asumsi pada simulasi 3c adalah
terjadinya liberalisasi penuh dan subsidi bunga kredit sebesar 7% untuk sektor
padi dan beras. Terakhir adalah simulasi 4, yaitu skenario proteksi penuh. Asumsi
pada simulasi 4 ini adalah terjadi liberalisasi penuh, namun sektor padi dan beras
dinaikkan tarif impornya hingga 99%.
Berbagai simulasi yang dilakukan tersebut kemudian dilihat dampaknya
terhadap produksi beras (qo), unskilled labor (qfe), trade balance (DTBal) dan
Equivalent Variation (ev). Skenario guncangan/shock yang digunakan dalam
penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Daftar skenario kebijakan
No
1
Nama
Sim 1
2
Sim 2
3
Sim 3a
Sim 3b
Keterangan Guncangan (Shock)
Skema MEA melalui guncangan pada
tarif impor (tms) seluruh barang
menjadi nol kecuali sektor padi dan
beras
Skema liberalisasi penuh melalui
penurunan tarif impor (tms) seluruh
barang menjadi nol persen.
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi benih dengan peningkatan
subsidi sektor padi (to) sebesar
40.92%.
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi Pupuk dengan peningkatan
subsidi sektor pupuk (to) sebesar 1%.
Dasar Hukum
ASEAN Trade In Goods
Agreement Annex1 List of
Highly Sensitive List.
ASEAN Trade In Goods
Agreement (Free Flow of
Goods).
Permentan NOMOR 9/
Permentan/ OT.140/3/2015
Tentang Pedoman Subsidi
Benih Tahun Anggaran 2015.
Permentan Nomor 130/
Permentan/ SR.130/11/2014
Tentang Kebutuhan dan Harga
Eceran Tertinggi (HET) Pupuk
Bersubsidi Untuk Sektor
16
No
4
Nama
Keterangan Guncangan (Shock)
Sim 3c
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi bunga kredit 7% melalui (to)
padi dan beras.
Sim 4
Skema Proteksi Penuh, Melalui
peningkatan tarif impor (tms) sektor
padi dan beras hingga mencapai 99 %.
Dasar Hukum
Pertanian Tahun Anggaran
2015.
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 79/pmk.05/2007
tentang kredit ketahanan
pangan dan energi.
Inpres No. 5 Tahun 2015
Tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyalurannya oleh Pemerintah.
Pengolahan GTAP
Proses agregasi sektor dan negara/wilayah merupakan salah satu tahap
pengolahan data di dalam model GTAP. Pada tahap tersebut juga dilakukan
penyesuaian closure dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Model GTAP
dengan basis datanya dan guncangan yang telah disusun, kemudian diolah dengan
menggunakan software RunGTAP versi 3.62 dapat diunduh gratis. Tahapan
pengolahan data dalam aplikasi tersebut dijelaskan mengikuti Gambar 5. Dengan
menggunakan perangkat lunak RunGTAP akan dihasilkan keluaran (output)
seperti file solusi (solution file), perubahan volume (volume changes) dan
dekomposisi (decomposition).
Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997
Gambar 5 Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya
Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di dalam hubungan antara
bermacam-macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam
perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam
model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain-lain
dapat dibaca lebih rinci pada Hertel (1997).
Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang
17
menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen
ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang
menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set,
subset, parameter dan variabel bentuk nominal (value/ levels form) dinotasikan
dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan
(percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai
contoh: PM(i, r) adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditas i di
region r, dan pm(i, r) = [dPM(i, r)] / PM(i, r) adalah bentuk linier dari variabel
harga tersebut. Set, sub-set, parameter dan variabel yang digunakan dalam model
GTAP standar disajikan pada lampiran. Berikut ini diuraikan secara ringkas
struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).
Dalam model GTAP ekonomi sebuah region dipresentasikan oleh satu
rumah tangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil
penjualan endowment, VOA (value of output at agents prices), penerimaan pajak,
dan industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari wilayah lain (rest of the
world) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan
rumah tangga wilayah tersebut selanjutnya dialokasikan sebagai pengeluaran
(expenditures) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah
(GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE).
Konsumsi rumah tangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by
private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran
CDE (Constant Difference of Elasticity). Konsumsi rumah tangga pemerintah,
VDGA (value of domestic purchases by government households at agent’s prices)
dipresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran
untuk seluruh komoditas adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa
tabungan selu
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK
PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN
RIZA ROSANDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respons Sektor Beras
Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak Produksi,
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Riza Rosandy
NIM H151137214
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
RIZA ROSANDY Respons Sektor Beras Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Dibimbing
oleh HERMANTO SIREGAR dan SAHARA.
Dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan untuk
menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi,
maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai pada tahun 2003.
MEA bertumpu pada empat pilar dasar, yaitu: (i) Pasar Tunggal dan Basis
Produksi; (ii) Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing; (iii) Pembangunan
Ekonomi yang Merata; dan (iv) Integrasi dengan Ekonomi Global. Beberapa
sektor yang diprioritaskan untuk diliberalisasi tercantum dalam ASEAN
Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS), diantaranya
adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, produk dari karet, produk dari
kayu, perikanan dan otomotif. Liberalisasi sektor barang akibat MEA
dikhawatirkan akan terus menurunkan produksi beras, jumlah pekerja di sektor
pertanian Indonesia. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja
dan kesejahteraan Indonesia dan menganalisis alternatif kebijakan sektor beras
dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data utama yang bersumber dari basis data
GTAP 8. Model ekonomi yang digunakan adalah model keseimbangan umum.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa implementasi MEA dapat meningkatkan
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan di Indonesia. Dalam analisis kebijakan
alternatif ditemukan bahwa, kebijakan dukungan domestik melalui subsidi benih
dapat meningkatkan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan surplus neraca
perdagangan. Kebijakan ini dapat diterapkan untuk saat ini karena dapat menjaga
tingkat efisiensi produksi petani. Kebijakan liberalisasi penuh di sektor beras
ternyata dapat menyebabkan penurunan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan
neraca perdagangan. Hal ini dapat dikarenakan tingginya konsumsi beras dan
tidak tergantikan. Hasil yang mengejutkan terjadi pada kebijakan proteksi penuh
sektor beras, yang menghasilkan nilai positif pada produksi dan tenaga kerja
namun negatif untuk kesejahteraan. Selain itu, jika skema ini diterapkan,
ditakutkan akan memicu negara lain untuk melakukan hal kebijakan serupa. Pada
penelitian selanjutnya terkait sektor beras, dapat digunakan data kelompok tenaga
kerja yang lebih rinci seperti data Survei Sosial Ekonomi Nasional. Selain itu
dapat pula menggunakan basis data GTAP 9, yang baru diluncurkan pada akhir
tahun 2015.
Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, kebijakan beras, Global Trade
Analysis Project
SUMMARY
RIZA ROSANDY Indonesian Rice Sector Response in the ASEAN Economic
Community: Impact Analysis of Production, Labor and Welfare. Supervised by
HERMANTO SIREGAR and SAHARA.
According to the economic crisis in year 1998 and a will to create the
ASEAN region that is stable, prosperous and highly competitive, then the history
of the ASEAN Economic Community (AEC) began in 2003. AEC relies on four
basic pillars, namely: (i) the Single Market and Production Base; (ii) Competitive
Economic Region; (iii) Equitable Economic Development; and (iv) Integration
with the Global Economy. Some sectors are prioritized for liberalized listed in
ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS),
including agricultural products, textiles and textile products, rubber products,
wood products, fisheries and automotive. Liberalization of the goods sector by
AEC will continue to reduce rice production and also the number of workers in
Indonesian agricultural sector. So the purpose of this study aims to analyze the
impact of the liberalization of commodity rice to AEC on production, labor and
welfare Indonesia and analyze alternative policies in rice sector and appropriate
policy for Indonesia.
This study uses primary data sourced from GTAP database 8. The economic
model used is a general equilibrium model. The results show that MEA
implementation can increase production, employment and welfare in Indonesia. In
the alternative policy analysis found that, domestic support policies by subsidizing
seeds can increase production, employment, welfare and trade surplus. This policy
can be applied for now because it can maintain the level of efficiency of
production of farmers. Full liberalization policy in the rice sector was found to
cause a decline in production, employment, welfare and trade balance. This can be
due to the high consumption of rice and irreplaceable. The surprising result
occurred in the rice sector policy of full protection, which resulted in a positive
value on production and employment, but negative for welfare. In addition, if the
scheme is implemented, it feared would lead other countries to do similar policies.
In subsequent studies related to the rice sector, can use the data group more
detailed labor force as the National Economic Social Survey data. Moreover, it
can also use the GTAP database version 9, which was launched in late 2015.
Keywords: ASEAN Economic Community, Rice policy, the Global Trade
Analysis Project
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK
PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN
RIZA ROSANDY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Mulatsih, MScAgr
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT, yang atas izin-Nya tesis yang berjudul
“Respons Sektor Beras Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” ini
akhirnya dapat terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi
komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan
Indonesia. Selain itu tesis ini juga menganalisis dampak kebijakan sektor beras
dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hermanto
Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Sahara, SP, M.Si, yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan tesis ini. Melalui
bimbingan dari komisi pembimbing tersebut akhirnya penulis dapat
menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi IPB dan mendapat
gelar Magister Sains. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri
Mulatsih, M.ScAgr sebagai penguji luar komisi yang turut memberikan masukan
yang berharga terhadap penelitian ini, sehingga tesis ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, yaitu
Achmad Sanusi dan Yus Rostiati yang selalu memberikan doa dan dukungan
dalam berbagai bentuk. Doa dan dukungan kedua orang tua telah menjadikan
penulis untuk bekerja lebih keras lagi dalam menyelesaikan studinya. Ucapan
terima kasih juga diberikan kepada Kementerian Perdagangan yang telah
memberikan beasiswa, teman-teman Batch II IPB Beasiswa Kemendag, rekanrekan di Ditjen. Perundingan Perdagangan Internasional, Ibu Prof. Rina Oktaviani
dan Dr. Eka Puspitawati dari ITAPS IPB, yang telah memberikan bantuan dan
dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan serta
keterbatasan dalam tesis ini. Akhirnya, dengan segala kekurangan yang ada dalam
materi, penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan kecil bagi
perbaikan kebijakan ekonomi di Indonesia sekaligus menambah khazanah ilmu
pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Riza Rosandy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
iv
iv
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Tinjauan Empiris
Alur Pemikiran
7
7
11
12
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
13
13
13
4 GAMBARAN UMUM
Kinerja Perdagangan Beras
Sentra Produksi Beras
Perkembangan Konsumsi Beras
Kinerja Ekspor dan Impor Beras Indonesia
Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Beras Indonesia
Kebijakan Beras Indonesia
23
23
23
24
25
25
26
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan
Analisis Alternatif Kebijakan
29
29
33
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran
39
39
40
41
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
`
53
iv
DAFTAR TABEL
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Halaman
Aggregasi sektor dalam GTAP
14
Daftar skenario kebijakan
15
Perkembangan produksi padi di provinsi sentra di Indonesia, 2008 – 2012
24
Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan komoditas beras,
periode tahun 2008 – 2012
25
Subsidi benih dan pupuk di Indonesia periode tahun 2013-2016
27
Simulasi MEA: produksi beras di dunia
29
Simulasi MEA: produksi berbagai sektor di Indonesia
30
Simulasi MEA: permintaan faktor input primer di Indonesia (dalam %)
31
Simulasi MEA: perubahan GDP riil negara di dunia
32
Produksi sektor di Indonesia pada berbagai skenario (dalam %)
33
Permintaan unskilled labor sektor di Indonesia (dalam %)
34
Perubahan neraca perdagangan sektor barang Indonesia (Juta US$)
35
Perubahan GDP rill negara di dunia (Juta US$)
36
DAFTAR GAMBAR
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Halaman
Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia
periode tahun 2007- 2012
3
Penentuan harga keseimbangan
9
Dampak penurunan tarif
10
Alur pemikiran
12
Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya
16
Struktur produksi model GTAP
20
Struktur konsumsi dalam model GTAP
21
Struktur impor model GTAP
22
Kontribusi subsektor pertanian Indonesia berdasarkan rata-rata nilai ekspor
23
dan impor periode tahun 2008 – 2012
Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras rumah
tangga Indonesia periode tahun 2004-2013
24
Komitmen tarif impor beras di ASEAN tahun 2010 dan 2015
28
v
DAFTAR LAMPIRAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Perkembangan basis data GTAP
Aggregasi lengkap negara
Nilai output seluruh sektor di Indonesia (Juta US$)
Guncangan/shock simulasi 1 MEA
Guncangan/shock simulasi 2 Liberalisasi penuh
Guncangan/shock simulasi 3a (subsidi benih)
Guncangan/shock simulasi 3b (subsidi pupuk)
Guncangan/shock simulasi 3c (subsidi kredit)
Guncangan/shock simulasi 4 proteksi penuh
Halaman
45
45
46
46
47
48
48
49
49
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kurun waktu 1990 – 2000 banyak negara melakukan integrasi
ekonomi yang diawali dengan Free Trade Agreement (FTA). Tercatat pada tahun
2000 sebanyak 73 persen negara di dunia yang mewakili 47 persen populasi dunia
telah melakukan liberalisasi perdagangan (Wacziarg dan Welch 2003). Hingga
tahun 2015, dalam basis data World Trade Organization (WTO) tercatat telah
terdapat 268 Regional Trade Agreements (RTAs) dan 27 berbentuk Preferential
Trade Arrangements (PTAs).
Pada tahun 2001, pembahasan Multilateral Trading System oleh WTO
menemui kegagalan, khususnya mengenai pembahasan agenda Doha
Development Agenda. Kegagalan tersebut dikarenakan adanya perbedaan
kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Salah satu penyebabnya
adalah terkait isu-isu sensitif seperti sektor pertanian dan Non Agricultural Market
Access. Kegagalan tersebut ternyata, turut mempercepat terbentuknya beberapa
FTA. Dari FTA yang terbentuk tersebut, ada yang bersifat PTAs maupun RTAs.
FTA tidak hanya membantu dalam perluasan pasar, tetapi juga membantu
dalam menciptakan persaingan yang lebih besar, meningkatkan efisiensi dan
pertumbuhan yang lebih baik bagi perekonomian negara-negara peserta (Urata
2002). Sebagai salah satu contoh sebuah FTA yang berkembang menjadi integrasi
ekonomi adalah European Union (EU) pada tahun 1993. Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan mata uang tunggal Euro pada tahun 1999. Menurut Achsani
dan Partisiwi (2010) integrasi ekonomi telah mendorong kawasan ini menjadi
lebih efisien dan lebih memiliki daya saing. EU dibentuk berdasarkan teori
Optimum Currency Area. Teori yang diutarakan oleh Mundell (1961) ini
menyebutkan bahwa, untuk kawasan yang ekonominya terintegrasi dengan sangat
tinggi lebih baik menggunakan single currency atau rezim nilai tukar tetap. Ciriciri yang harus tampak dalam sebuah integrasi ekonomi adalah: (i) Arus bebas
barang dan jasa; (ii) Arus bebas aset fisik dan keuangan; dan (iii) Arus bebas
tenaga kerja.
Indonesia adalah salah satu pendiri dari Association of Southeast Asia
Nations (ASEAN) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Perhimpunan
Bangsa Bangsa Asia Tenggara. Organisasi ini berdiri melalui Deklarasi Bangkok
pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand. Pada awalnya ASEAN
merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya terdiri dari
negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Namun baru pada tahun 1977 terjadi
kesepakatan untuk meliberalisasikan arus barang melalui penurunan tarif.
Liberalisasi tersebut diawali dengan PTA, disusul dengan skema Common
Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) pada
tahun 1992.
Dengan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan
untuk menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing
tinggi, maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai. Pada tahun
2
1997 para Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020.
Kesepakatan ini akan menjadikan ASEAN sebagai: (i) suatu pasar tunggal dan
basis produksi; (ii) mengubah keanekaragaman menjadi karakter kawasan menjadi
peluang bisnis yang saling melengkapi; serta (iii) membuat ASEAN menjadi lebih
dinamis dan menjadi segmen yang lebih kuat sebagai bagian dari rantai pasok
global (Oktaviani et al., 2010). Keberhasilan penerapan MEA nantinya akan
ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi di
kawasan.
Itakura (2014) mengatakan, walaupun masih terdapat perdebatan dalam
dampak integrasi ekonomi akibat liberalisasi, untuk kasus integrasi ekonomi
ASEAN masih memberikan efek positif terhadap kesejahteraan. Hakim (2004)
juga mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan dengan
meningkatnya ekspor yang dikarenakan perluasan akses pasar. Namun Achsani
dan Partisiwi (2010) mengingatkan, bahwa integrasi ekonomi akan membawa
dampak pada pembentukan grup-grup negara yang diuntungkan dan dirugikan.
Sehingga masalah integrasi ekonomi harus dilakukan dengan prinsip hati-hati.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, biasanya negara maju akan berkumpul pada satu
grup yang diuntungkan. Kemudian negara berkembang ada di grup lain yang
dirugikan. Grup ini tidak akan jauh berbeda baik pada masa krisis maupun setelah
krisis.
MEA adalah salah satu RTAs didunia selain EU dan United States of
America (USA). Pada tahun 2003, seluruh Kepala negara ASEAN menyepakati
tiga pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi akhir
tahun 2015 yaitu: (i) ASEAN Economic Community; (ii) ASEAN Political-Security
Community; dan (iii) ASEAN Socio-Cultural Community. Ketiga pilar ini
kemudian dijadikan sebagai dasar dari Piagam ASEAN/ASEAN Charter pada
tahun 2007. Untuk memastikan tercapainya tujuan sesuai waktu yang telah
ditentukan dalam roadmap, maka ditetapkan juga ASEAN Economic Community
Blueprint.
Sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN, MEA adalah pilar yang
berfokus pada bidang kerja sama perekonomian dan bertumpu pada empat pilar
dasar, yaitu: (i) pasar tunggal dan basis produksi; (ii) kawasan ekonomi yang
berdaya saing; (iii) pembangunan ekonomi yang merata; dan (iv) integrasi dengan
ekonomi global.
Jadwal penurunan tarif untuk MEA diatur dalam ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA). ATIGA mengamanatkan penurunan tarif menjadi nol
sampai lima persen dan harus sudah berlaku sejak tahun 2010. Indonesia sendiri
sudah menurunkan sekitar 98.87 persen pos tarif AFTA di ATIGA menjadi nol
persen terhitung sejak bulan Januari 2010. Namun demikian menurut ASEAN,
Indonesia tetap menempatkan empat pos tarif beras (HS1006) dalam Highly
Sensitive List (HSL).
Bagi Indonesia, beras merupakan komoditas pertanian yang strategis secara
sosial-budaya, ekonomi dan politik. Hal tersebut senada dengan negara anggota
ASEAN lainnya, dimana keberadaan produk pertanian khususnya beras adalah
mutlak bagi keberlangsungan ekonomi dan kehidupan. Selain itu beras juga
merupakan makanan pokok paling penting dan merupakan sumber utama
pemenuhan gizi. Melihat pentingnya urusan beras tersebut, maka di Indonesia
kebijakan beras banyak melibatkan peran Kementerian dan Lembaga.
3
Perumusan Masalah
70
70
60
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
Juta Hektar
Juta Ton
Sebuah perjanjian perdagangan bebas (FTA) adalah perjanjian antara dua
atau lebih Negara dengan kesepakatan untuk menghilangkan hambatan
perdagangan baik tarif dan kuota impor (Urata 2002). Seiring dengan
penghapusan hambatan perdagangan, beberapa FTA juga memasukkan aturan
yang mengatur investasi asing langsung, perlindungan hak kekayaan intelektual,
isu-isu lingkungan dan tenaga kerja dalam perjanjian mereka (Cooper 2014).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari
FTA, oleh karena sudah mengintegrasikan tiga sektor utama yaitu perdagangan
barang, perdagangan jasa dan investasi.
Dalam MEA menurut ASEAN Framework Agreement for the Integration of
Priority Sectors (PIS) terdapat sektor yang integrasinya diprioritaskan. Sektor
tersebut diantaranya adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, barang
dari karet, barang dari kayu, perikanan dan otomotif. Perjanjian ini
mengamanatkan agar segala bentuk hambatan tarif dan nontarif yang termasuk
dalam PIS harus dihilangkan sejak tahun 2012. Beras menjadi salah satu produk
pertanian yang akan diintegrasikan. Menurut Krugmann dan Obstfeld (2003)
liberalisasi dapat meningkatkan surplus konsumen namun menurunkan surplus
produsen. Sehingga dalam implementasi penuh MEA nantinya, petani sebagai
produsen beras akan dirugikan oleh kebijakan ini. Menurut Oktaviani et al. (2008)
sebagian besar negara ASEAN bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber
utama dari produk domestik bruto (PDB).
Gabah
Beras
Konsumsi
Luas Lahan
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 1 Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia
periode tahun 2007-2012
Gambar 1 menunjukkan tingkat produksi gabah yang kemudian diolah
menjadi beras dan konsumsi beras di Indonesia. Pada gambar terlihat bahwa
tingkat produksi dan konsumsi beras saling berimpitan (produksi hanya
4
mencukupi konsumsi). Selain itu luas lahan padi juga hanya meningkat sedikit
sekali pada periode tahun 2007-2009. Hal ini mengakibatkan terjadi defisit
persediaan beras yang besar pada tahun 2010. Dikarenakan peningkatan konsumsi
tidak diikuti oleh peningkatan produksi yang signifikan. Hal ini kemudian
menyebabkan meningkatnya harga beras sekitar 39 persen pada akhir tahun 2010
(Kemendag, 2014). Namun pada tahun 2012 defisit tersebut kemudian berhasil
diturunkan, dengan menutupi defisit persediaan beras tersebut dengan melakukan
kebijakan impor beras dan operasi pasar (Bulog melepaskan stok beras ke pasar).
Dalam ATIGA, HSL adalah salah satu kategori dalam Protocol on the
Special Arranggement for Sensitive and Highly Sensitive Products. ATIGA
mengamanatkan agar penghapusan tarif harus dilakukan paling lambat tanggal 1
Januari 2010. Bagi negara yang tidak bisa memenuhi amanat tersebut dapat
melakukan waiver (melepaskan kewajiban) dan mendaftarkan produknya di
kategori HSL. Syarat dilakukannya waiver tersebut diatur dalam Protocol to
Provide Special Consideration for Sugar and Rice. Syarat tersebut ialah jika latar
belakang diajukannya waiver adalah untuk memenuhi dan mengupayakan
keamanan pangan yang dapat menciptakan stabilitas ekonomi (menghindari
domestic market failure). Kemudian negara yang menggunakan skema tersebut
dikenakan kewajiban untuk mengajukan argumen waiver dalam bentuk tertulis
dalam sidang Dewan AFTA. (Hertanti, 2012).
Menurut teori Hecksker-Ohlin sebagaimana dijelaskan oleh Krugman dan
Obstfeld (2003) menunjukan bahwa keunggulan komparatif dipengaruhi oleh
interaksi antara faktor produksi yang banyak dimiliki dan teknologi produksi yang
dapat mempengaruhi intensitas pemakaian faktor produksi untuk membuat suatu
barang. Teori ekonomi lain mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dengan
mengurangi dan menghilangkan hambatan tarif dan nontarif akan menciptakan
efisiensi, skala ekonomi, persaingan, faktor produktivitas dan arus perdagangan,
sehingga, meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Barro dan Martin, 2004;
Wacziarg dan Welch, 2003). Namun liberalisasi perdagangan juga dianggap
berkontribusi terhadap peningkatan kemiskinan dan ketimpangan di kawasan
perkotaan dan pedesaan (Castilho et al., 2010). Bahkan Warr (2014) mengatakan
bahwa liberalisasi yang terjadi di Indonesia tidak akan menghasilkan peningkatan
pendapatan bagi unskilled labor dalam hal ini petani.
Menurut Oktaviani et al. (2014) berdasarkan analisis Revealed Comparative
Advantage (RCA), Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian,
produk kayu, perikanan, produk karet dan elektronika. Ditambah dengan tenaga
kerja usia produktif yang melimpah, seharusnya lebih memperkuat keunggulan
komparatif Indonesia di sektor pertanian.
Dengan demikian, berdasarkan rumusan permasalahan di atas diperlukan
suatu analisis respons sektor beras Indonesia yang diakibatkan oleh liberalisasi
perdagangan melalui MEA, antara lain:
1.
Bagaimanakah dampak liberalisasi perdagangan terhadap produksi beras,
tenaga dan kesejahteraan kerja di Indonesia?
2.
Kebijakan seperti apa yang harus diterapkan Indonesia untuk sektor beras?
5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini antara lain:
1.
Menganalisis dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan Indonesia.
2.
Menganalisis alternatif kebijakan sektor beras dan kebijakan yang sesuai
bagi Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan tentang dampak
liberalisasi perdagangan terhadap sektor pertanian. Khususnya dampak terhadap
produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan sektor pertanian subsektor tanaman
pangan. Sekaligus juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap kebijakan
ekonomi dan perdagangan yang diambil pemerintah, sehingga ke depan dihasilkan
kebijakan yang menguntungkan bagi ekonomi nasional.
Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.
Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain:
Berfokus pada variabel produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.
Data utama menggunakan basis data GTAP versi 8 (tahun dasar 2004 dan
2007).
Difokuskan pada komoditas beras di Indonesia, namun hanya menganggap
terdapat satu jenis beras dengan kualitas yang sama di seluruh negara.
Mengasumsikan sektor beras berada pada pasar persaingan sempurna.
Mengunakan agregasi sepuluh Negara, Sembilan sektor barang dan satu
sektor jasa.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional adalah teori yang menunjukkan adanya
keuntungan yang timbul dari adanya keuntungan perdagangan (gain from trade).
Dalam masa globalisasi saat ini, menurut Dumairy (1997) saat ini hampir tidak
ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan perdagangan dengan negara
lain. Hal ini dikarenakan dua perbedaan mendasar yaitu perbedaan dalam sumber
daya alam dan sumber daya manusia.
Perdagangan internasional terjadi bila di dalamnya terlihat akan
memberikan keuntungan atau manfaat bagi kedua belah pihak, atau setidaknya
salah satu pihak dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. Hal ini berarti pula
bahwa perdagangan internasional pada umumnya akan meningkatkan
kesejahteraan bagi pihak-pihak yang melakukannya. Keuntungan yang diperoleh
dari adanya perdagangan ini disebut gain from trade. Namun besarnya manfaat
yang diperoleh masing-masing pihak yang melakukan perdagangan ditentukan
oleh kekuatan masing-masing pihak dalam proses tawar-menawar.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya, sama halnya
dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan
bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari
keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama
terjadinya perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu sama lain
dan ingin mencapai skala ekonomi (economic of scale). Menurut Tambunan
(2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat
dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi
karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan
permintaan negara lain.
Free Trade Area dan Integrasi Ekonomi
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative).
Teori Adam Smith tersebut kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817)
dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage).
Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil
yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga
relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.
Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh
negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditas yang
diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya
lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum
Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan
komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan
8
production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan
(Salvatore, 1997):
a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditas;
b) Perdagangan bersifat bebas;
c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak
ada mobilitas antara dua negara;
d) Biaya produksi konstan;
e) Tidak terdapat biaya transportasi; dan
f) Tidak ada perubahan teknologi.
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat
berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut
berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.
Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor productivity)
dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan
internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana
negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor barang dimana
negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain,
cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika
suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam
tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.
Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai
jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu
barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja
yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika
negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative
advantage dan production advantage.
Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,
perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan
faktor produksi (factor endowment) di antara masing-masing negara. Satu negara
dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor
komoditas padat kapital (capital-intensive goods) dan sebaliknya negara dengan
kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditas
padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Terkait integrasi ekonomi sebagai perluasan dari FTA, menurut Krugman
dan Obsfeld (2003) adalah kelompok negara dalam daerah tertentu dengan kerja
sama ekonomi yang intensif dimana perdagangan barang dan jasa sebagai faktor
produksi bebas bergerak. Oleh karena itu, integrasi ekonomi dapat juga dilihat
sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan nasional (National welfare). Lebih
lanjut, tahap integrasi ekonomi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh
European Union (EU) menurut Bela Balassa (1928-1991) dimulai bertahap yang
dimulai dari: (i) free exchange area; (ii) customs union; (iii) common market; (iv)
economic union; dan (v) economic and monetary union.
9
Pendekatan Keseimbangan Umum dalam Perdagangan
Pada pendekatan keseimbangan umum/general equlibrium, perubahan
dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Perubahan
inilah yang tidak dapat ditangkap oleh metode partial equilibrium. Pendekatan ini
memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. Secara sederhana teori keseimbangan
umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”.
Dengan model ini dimisalkan, ada suatu perusahaan yang memproduksi dua
barang sebagaimana terlihat dalam Gambar 2 dimana PP adalah kurva
kemungkinan produksi (production posibility frontier). Pertama harga kedua
barang tersebut diberikan sebesar Px dan Py. Pada tingkat harga ini perusahaan
akan memproduksi kedua barang dengan kombinasi x1 dan y1. Untuk
memaksimalkan keuntungan perusahaan akan memproduksi kedua barang ini
disepanjang garis PP. Pada x1 dan y1, rasio kedua barang
sama dengan rasio
dari marginal cost (RPT), sehingga keuntungan di titik ini akan maksimum.
Pada sisi lain, garis C menunjukan budget constraint dan tingkat permintaan
konsumen untuk barang X dan Y ada di x1’ dan y1’. Pada tingkat harga ini akan
terjadi excess demand untuk barang X dan excess supply pada barang Y. Jika
pasar bekerja maka akan menyebabkan Px naik dan Py turun. Kemudian akan
dan garis C akan semakin curam ke C*.
meningkatkan rasio harga barang
Perusahaan dalam hal ini akan merespon perubahan harga ini dengan mengubah
produksi searah jarum jam dalam garis PP. Sementara konsumen akan melakukan
substitusi barang x dengan barang y. Akhirnya keseimbangan baru terjadi di x*
dan y*, dengan rasio harga yang baru
dengan tingkat harga ini penawaran dan
permintaan berada dalam kondisi keseimbangan.
Sumber: Nicholson 2005
Gambar 2 Penentuan harga keseimbangan
10
Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik,
sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang
maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara
sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan
(intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa
bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan
tarif impor, pemberian subsidi ekspor dan berbagai bentuk dukungan domestik
lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Salah satu
bentuk intervensi yang dapat mendistorsi dalam perdagangan adalah melalui tarif.
Pemberlakuan Tarif
Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang
masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang
diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk
ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif
memberikan pemasukan bagi pemerintah. Dampak pemberlakuan tarif bisa
berbeda antara negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu
mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya akan merubah harga di negara
tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada
kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia
melalui term of trade.
Sumber: Nicholson 2005
Gambar 3 Dampak penurunan tarif
Dalam Gambar 3, Nicholson menjelaskan salah satu contoh mengenai
dampak liberalisasi (penurunan tarif) terhadap produksi jagung (X) di Inggris.
Penurunan tarif akan menyebabkan produksi barang X berpindah dari titik E ke
titik A. Konsumsi barang juga akan berpindah dari titik E ke titik B. Jika barang
produksi barang X barang padat modal, maka harga relatif dari modal akan turun
sebagai akibat dari perpindahan ini.
11
Tinjauan Empiris
Hasil berbagai penelitian mengenai dampak liberalisasi pertanian terhadap
ekonomi masih menjadi perdebatan. Berbagai metode juga sudah digunakan
dalam menjawab dampak liberalisasi tersebut. Berikut adalah beberapa penelitian
terdahulu, antara lain:
Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap
Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia (Sitepu, 2002). Dengan
menggunakan spesifikasi model penawaran dan permintaan beras menggunakan
persamaan simultan dan metode Two Stage Least Square (2SLS) Walaupun sudah
menemukan bahwa terjadi pelandaian produksi dan penurunan surplus produsen,
namun belum dapat menjawab dampaknya terhadap tenaga kerja.
Implications of the US-South Korea Free Trade Agreement (KORUS FTA)
on Agricultural Exports from the US (Konduru et al., 2014). Penelitian tentang
dampak KORUS FTA pada ekspor produk pertanian (anggur) Amerika Serikat
(AS). Metode analisis adalah estimasi permintaan impor. Hasilnya menunjukan
bahwa produk anggur Amerika Serikat (AS) akan semakin kompetitif karena
adanya penurunan tarif dan pengurangan hambatan tarif. Selain itu diketahui pula
bahwa, bagi AS perjanjian ini akan meningkatkan ekspor anggur, namun bagi
Korea Selatan akan mengurangi produksi karena tingginya impor anggur dari AS.
Namun Korea Selatan berharap sektor anggurnya dapat meningkatkan efisiensi
dan daya saing dengan dibantu oleh pemerintah.
Does Trade Reduce Poverty? A View From Africa (Goff dan Singh 2014).
Tujuan penelitian ini adalah dampak yang ditimbulkan dari keterbukaan
perdagangan terhadap kemiskinan. Dengan menggunakan regresi nonlinear
keterbukaan perdagangan pada 30 negara Afrika pada periode 1981-2010.
Penelitian ini menemukan bahwa keterbukaan perdagangan berpotensi
mengurangi kemiskinan di negara yang memiliki sektor keuangan yang ketat,
tingkat pendidikan dan institusi pemerintahan yang kuat. Namun metode ini tidak
dapat menjawab dampaknya terhadap output pertanian, tenaga kerja dan berapa
besar penurunan kemiskinan yang terjadi.
Penelitian India-Korea CEPA:Potentials and Realities (Ahmed 2010),
bertujuan untuk meneliti dampak ekonomi (kesejahteraan, output sektoral dan
tenaga kerja). Metode yang digunakan adalah keseimbangan parsial dan
keseimbangan umum. Hasilnya adalah dari skenario liberalisasi penuh, Korea
akan diuntungkan dan India akan merugi. Namun kedua Negara akan mendapat
keuntungan signifikan dari peningkatan arus perdagangan. Walaupun sudah
menggunakan GTAP, akan tetapi dalam meneliti kesejahteraan petani
menggunakan Trade Creation dan Trade Diversion.
Sebenarnya beberapa metode penelitian dapat digunakan untuk meneliti
dampak liberalisasi perdagangan, namun demikian tetap harus disesuaikan dengan
tujuan penelitiannya. Untuk meneliti dampak liberalisasi secara makro, ternyata
metode keseimbangan umum adalah metode yang paling tepat. Hal ini
dikarenakan metode keseimbangan umum, sangat baik dalam mengidentifikasi
negara-negara atau sektor yang menang dan kalah. Selain itu metode ini juga
dapat digunakan untuk menangkap efek di berbagai output, penggunaan faktor,
efek perdagangan dan tingkat kesejahteraan yang dihasilkan antar negara sebagai
12
akibat dari perubahan kebijakan perdagangan baik bilateral, regional dan
multilateral (Ahmed 2010).
Alur Pemikiran
Dengan diawali oleh pembentukan ASEAN pada tahun 1967 sebagaimana
terlihat dalam Gambar 4. Dilanjutkan dengan ide pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. MEA berpijak pada tiga pilar,
dan fokusnya adalah liberalisasi barang di kawasan ASEAN. Liberalisasi barang
ini kemudian akan berdampak ke produsen dan konsumen, karena barang impor
akan mudah sekali masuk. Dari program GTAP, dengan menggunakan tiga file
utama akan dilakukan agregasi negara dan sektor yang akan dianalisis dan
dilakukan shock/guncangan. Setelah dilakukan guncangan inilah nantinya akan
terlihat dampak perubahan terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.
Kemudian dari hasil perubahan tersebut dapat disimpulkan kebijakan yang tepat
untuk sektor beras Indonesia.
Gambar 4 Alur pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data utama yang digunakan bersumber dari basis data Global Trade
Analysis Project (GTAP) versi 8 dengan tahun dasar 2004 dan 2007 (Narayan et
al. 2012). GTAP dikeluarkan oleh Centre for Global Trade Analysis, Purdue
University, Departemen Ekonomi Pertanian yang berkembang sejak tahun 1993
dan dipimpin serta diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel dalam sebuah
konsorsium. Data GTAP terdiri dari data input output 129 negara dan 57 sektor
dan 5 faktor input primer. Daftar lengkap perkembangan basis data GTAP dapat
dilihat pada lampiran 1.
Metode Analisis
Untuk menganalisis digunakan model Computable General Equilibrium
(CGE) dengan multinegara dan multikomoditas melalui model GTAP. Model
GTAP merupakan model komparatif statik sehingga perubahan persentase yang
dihasilkan dalam model menggambarkan perubahan yang terjadi sebelum dan
setelah kebijakan. Pada dasarnya model GTAP sama saja dengan model CGE
nasional. Baik model GTAP ataupun model CGE sama-sama menggunakan
konsep-konsep dasar arus pengeluaran dan pembelian antar pelaku ekonomi.
Keduanya merupakan model struktural yang dibangun dengan dasar teori-teori
mikroekonomi yang menjelaskan lebih detail perilaku-perilaku di masing-masing
agen ekonomi (behavioral equations).
Perbedaan utama antara model CGE nasional dan model GTAP terletak
pada cakupan wilayah. Pada model CGE, interaksi antara agen-agen yang berbeda
berlangsung hanya dalam satu negara atau wilayah, sedangkan di dalam model
GTAP interaksi antara agen-agen berlangsung antar negara/wilayah. Selain itu,
GTAP juga mencakup transportasi global dan mobilitas investasi. Dengan
demikian, model GTAP mampu menjelaskan dampak kebijakan antar negara,
sementara dalam model CGE terbatas hanya dalam satu wilayah atau negara saja.
Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin
transportasi internasional. Suatu global bank juga dibentuk dalam model sebagai
perantara dari investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga
dengan menggunakan Constant Difference of Elasticities (CDE) untuk
menangkap kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara
(Hertel et al, 2000). Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional
mengikuti model Armington (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan
asal negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama
lainnya untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini,
model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model
ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna dan skala usaha
yang konstan pada aktivitas produksi.
14
Aggregasi GTAP
Untuk mengagregasikan basis data GTAP, digunakan aplikasi gtapagg.exe
versi 8. Aplikasi ini dapat dibeli melalui jalur online1. Tahap awal dalam
menggunakan metode GTAP adalah mengaggregasikan Negara, sektor dan faktor
input primer. Untuk aggregasi negara dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk sektor
diaggregasikan ke dalam sepuluh sektor baru sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Aggregasi sektor ini memfokuskan pada sektor barang, sehingga sektor jasa
dikumpulkan ke dalam satu sektor sebagaimana yang dilakukan oleh Yamamoto
et al. (2007). Untuk faktor input dibagi kedalam lima faktor, yaitu: Land,
Unskilled Labor, Skilled Labor, Capital dan Natural Resources.
No Nama Sektor
Tabel 1 Aggregasi sektor dalam GTAP
Kode Sektor GTAP
Keterangan
1
2
3
4
Padi
Beras
PanganLain
TaniTernak
5
6
Tambang
Mamin
Paddy rice.
Processed rice.
Wheat; Cereal grains nec.
Vegetables, fruit, nuts; Oil seeds;
Sugar cane, sugar beet; Plantbased fibers; Crops nec;
Cattle,sheep,goats,horses;
Animal products nec; Raw milk;
Wool, silk-worm cocoons;
Forestry; Fishing; Meat:
cattle,sheep,goats,horse; Meat
products nec.
Mining and Extraction
Processed Food
7
8
9
Tekstil
Pupuk
Manufaktur
Textiles and Clothing
Fertilizer
Light and Heavy Manf
10
Jasa
Utilities and Services
Sumber : GTAP versi 8
1
https://www.gtap.agecon.purdue.edu/databases/pricing.asp
Paddy
Processed rice
Wheat n Cereal grains
Other Agriculture and Livestoc
Coal; Oil; Gas; Minerals nec.
Vegetable oils and fats; Dairy
products; Sugar; Food products nec;
Beverages and tobacco products.
Textiles; Wearing apparel.
Chemical,rubber,plastic prods.
Leather products; Wood products;
Paper products, publishing;
Petroleum, coal products; Mineral
products nec; Ferrous metals; Metals
nec; Metal products; Motor vehicles
and parts; Transport equipment nec;
Electronic equipment; Machinery and
equipment nec; Manufactures nec.
Electricity; Gas manufacture,
distribution; Water; Construction;
Trade; Transport nec; Sea transport;
Air transport; Communication;
Financial services nec; Insurance;
Business services nec; Recreation and
other services;
PubAdmin/Defence/Health/Educat;
Dwellings.
15
Simulasi Kebijakan
Simulasi guncangan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk
menjawab tujuan pertama digunakan skenario MEA/Simulasi 1. Pada simulasi ini
tarif seluruh barang antar anggota ASEAN diturunkan menjadi nol persen, kecuali
untuk sektor padi dan beras. Hal ini berdasarkan Lampiran dari ASEAN Trade in
Goods Aggrement tentang List of Highly Sensitive List. Variabel yang akan dilihat
perubahan nilainya adalah Industry Output (qo), Demand for Endowment (qfe)
dan Equivalent Variation (ev).
Untuk menjawab tujuan kedua dilakukan serangkaian simulasi kebijakan
yaitu Simulasi 2, 3 dan 4. Simulasi 2 adalah skenario liberalisasi penuh, dengan
asumsi kawasan ASEAN dianggap sudah terintegrasi penuh sehingga tidak ada
lagi tarif. Simulasi 3a adalah Skenario dukungan domestik melalui subsidi benih.
Asumsi pada skenario ini adalah sudah terjadi liberalisasi penuh di ASEAN dan
Indonesia menerapkan subsidi pada sektor padi/gabah sebesar 40.92%. Hal ini
dikarenakan selama periode 2013-2016 subsidi benih telah mengalami
peningkatan rata-rata tahunan 48% dengan share benih pada subsidi tersebut
sebesar 84%. Simulasi 3b adalah skenario dukungan domestik. Asumsi pada
simulasi ini adalah terjadi liberalisasi penuh dengan subsidi pada sektor pupuk
sebesar 1%. Hal ini karena selama periode 2013-2016 subsidi pupuk telah
mengalami peningkatan rata-rata tahunan 24%. Selain itu dalam database GTAP
menurut Sturm (2011), sektor pupuk hanya memiliki bagian tiga persen dari
sektor crp (chemical rubber and plastic products). Simulasi 3c adalah skenario
dukungan domestik melalui subsidi bunga kredit. Asumsi pada simulasi 3c adalah
terjadinya liberalisasi penuh dan subsidi bunga kredit sebesar 7% untuk sektor
padi dan beras. Terakhir adalah simulasi 4, yaitu skenario proteksi penuh. Asumsi
pada simulasi 4 ini adalah terjadi liberalisasi penuh, namun sektor padi dan beras
dinaikkan tarif impornya hingga 99%.
Berbagai simulasi yang dilakukan tersebut kemudian dilihat dampaknya
terhadap produksi beras (qo), unskilled labor (qfe), trade balance (DTBal) dan
Equivalent Variation (ev). Skenario guncangan/shock yang digunakan dalam
penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Daftar skenario kebijakan
No
1
Nama
Sim 1
2
Sim 2
3
Sim 3a
Sim 3b
Keterangan Guncangan (Shock)
Skema MEA melalui guncangan pada
tarif impor (tms) seluruh barang
menjadi nol kecuali sektor padi dan
beras
Skema liberalisasi penuh melalui
penurunan tarif impor (tms) seluruh
barang menjadi nol persen.
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi benih dengan peningkatan
subsidi sektor padi (to) sebesar
40.92%.
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi Pupuk dengan peningkatan
subsidi sektor pupuk (to) sebesar 1%.
Dasar Hukum
ASEAN Trade In Goods
Agreement Annex1 List of
Highly Sensitive List.
ASEAN Trade In Goods
Agreement (Free Flow of
Goods).
Permentan NOMOR 9/
Permentan/ OT.140/3/2015
Tentang Pedoman Subsidi
Benih Tahun Anggaran 2015.
Permentan Nomor 130/
Permentan/ SR.130/11/2014
Tentang Kebutuhan dan Harga
Eceran Tertinggi (HET) Pupuk
Bersubsidi Untuk Sektor
16
No
4
Nama
Keterangan Guncangan (Shock)
Sim 3c
Skema dukungan domestik melalui
Subsidi bunga kredit 7% melalui (to)
padi dan beras.
Sim 4
Skema Proteksi Penuh, Melalui
peningkatan tarif impor (tms) sektor
padi dan beras hingga mencapai 99 %.
Dasar Hukum
Pertanian Tahun Anggaran
2015.
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 79/pmk.05/2007
tentang kredit ketahanan
pangan dan energi.
Inpres No. 5 Tahun 2015
Tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyalurannya oleh Pemerintah.
Pengolahan GTAP
Proses agregasi sektor dan negara/wilayah merupakan salah satu tahap
pengolahan data di dalam model GTAP. Pada tahap tersebut juga dilakukan
penyesuaian closure dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Model GTAP
dengan basis datanya dan guncangan yang telah disusun, kemudian diolah dengan
menggunakan software RunGTAP versi 3.62 dapat diunduh gratis. Tahapan
pengolahan data dalam aplikasi tersebut dijelaskan mengikuti Gambar 5. Dengan
menggunakan perangkat lunak RunGTAP akan dihasilkan keluaran (output)
seperti file solusi (solution file), perubahan volume (volume changes) dan
dekomposisi (decomposition).
Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997
Gambar 5 Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya
Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di dalam hubungan antara
bermacam-macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam
perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam
model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain-lain
dapat dibaca lebih rinci pada Hertel (1997).
Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang
17
menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen
ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang
menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set,
subset, parameter dan variabel bentuk nominal (value/ levels form) dinotasikan
dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan
(percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai
contoh: PM(i, r) adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditas i di
region r, dan pm(i, r) = [dPM(i, r)] / PM(i, r) adalah bentuk linier dari variabel
harga tersebut. Set, sub-set, parameter dan variabel yang digunakan dalam model
GTAP standar disajikan pada lampiran. Berikut ini diuraikan secara ringkas
struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).
Dalam model GTAP ekonomi sebuah region dipresentasikan oleh satu
rumah tangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil
penjualan endowment, VOA (value of output at agents prices), penerimaan pajak,
dan industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari wilayah lain (rest of the
world) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan
rumah tangga wilayah tersebut selanjutnya dialokasikan sebagai pengeluaran
(expenditures) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah
(GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE).
Konsumsi rumah tangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by
private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran
CDE (Constant Difference of Elasticity). Konsumsi rumah tangga pemerintah,
VDGA (value of domestic purchases by government households at agent’s prices)
dipresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran
untuk seluruh komoditas adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa
tabungan selu