Karakteristik Kimia Serat Buah Kapuk sebagai Bahan Penyerap Minyak

KARAKTERISTIK KIMIA SERAT BUAH KAPUK SEBAGAI
BAHAN PENYERAP MINYAK

CATUR WULANDARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kimia
Serat Buah Kapuk sebagai Bahan Penyerap Minyak adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Catur Wulandari
NIM E24100108

ABSTRAK
CATUR WULANDARI. Karakteristik Kimia Serat Buah Kapuk sebagai Bahan
Penyerap Minyak. Dibimbing oleh DEDED SARIP NAWAWI.
Serat buah kapuk (Ceiba pentandra) secara alami bersifat hidrofobik dan
oleofilik sehingga berpotensi sebagai bahan penyerap minyak. Penelitian ini
menguji kadar komponen kimia, kapasitas penyerapan minyak, dan selektifitas
penyerapan minyak dari serat kapuk asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat. Berdasarkan kadar komponen kimianya, serat kapuk asal Jawa memiliki
kadar holoselulosa 83.04-84.16%, kadar alfa-selulosa 37.43-40.26%, kadar lignin
klason 13.24-16.25%, kelarutan dalam etanol-benzena 1.02-1.17%, kelarutan air
dingin 0.63-0.77%, kelarutan air panas 4.14-4.62% serta kelarutan NaOH 1%
19.49-26.47%. Serat kapuk alami mampu menyerap minyak sebanyak 30.7063.20 g/g serat sedangkan serat kapuk setelah perlakuan ekstraksi etanol-benzena
26.62-50.74 g/g serat. Terlarutnya zat ekstraktif oleofilik menyebabkan penurunan
kapasitas penyerapan minyak dan selektifitas serat kapuk setelah perlakuan
ekstraksi etanol-benzena. Selektifitas penyerapan serat kapuk alami terhadap

minyak sangat tinggi, sehingga serat kapuk dapat dijadikan sebagai bahan
penyerap minyak dengan selektifitas yang tinggi.
Kata kunci: hidrofobik, komponen kimia, oleofilik, penyerapan minyak, serat
kapuk
ABSTRACT
CATUR WULANDARI. Chemical Characteristics of Kapok Fiber as Oil
Adsorbent. Supervised by DEDED SARIP NAWAWI.
Kapok fiber (Ceiba pentandra) are naturally hydrophobic and oleophilic
fiber that would be usefull for oil adsorbent. This research examined of chemical
composition, oil sorption capacity and its selectivity of natural and ethanolbenzene extracted fibers. Kapok fibers were taken from Madura-East Java, PatiCentral Java, and Bogor-West Java. Based on the chemical composition, kapok
fibers contained holoselulosa 83.04-84.16%, alfa-selulosa 37.43-40.26%, lignin
klason 13.24-16.25%, etanol-benzena solubility 1.02-1.17%, cold water solubility
0.63-0.77%, hot water solubility 4.14-4.62% and NaOH 1% solubility 19.4926.47%. Adsorption capacity of natural kapok fiber was in range of 30.70 to 63.20
g/g fiber, while extracted kapok fibers exhibited oil adsorption of 26.62 to 50.74
g/g fibers. Dissolution of oleophilic extractives substances seemed that was
responsible for lower oil adsorption capacity. Naturally, kapok fiber has a very
high selectivity to adsorb oil than that of water, therefore kapok fibers could be
promoted as an oil adsorbent material with a high selectivity in the oil-water
system.
Keywords: chemical components, hydrophobic, oleophilic, oil adsorption, kapok

fibers

KARAKTERISTIK KIMIA SERAT BUAH KAPUK SEBAGAI
BAHAN PENYERAP MINYAK

CATUR WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakteristik Kimia Serat Buah Kapuk sebagai Bahan Penyerap

Minyak
Nama
: Catur Wulandari
NIM
: E24100108

Disetujui oleh

Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, M.S
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA


Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang selalu
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan judul Karakteristik Kimia Serat Buah Kapuk sebagai Bahan
Penyerap Minyak. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2014 hingga
April 2014, di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Biokomposit,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor serta
Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu (PUSTEKOLAH) Puslitbang
Kementerian Kehutanan Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
mengerjakan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua Bapak Sugito, Ibu Siti Sukarni, Kakak Nining Irianti dan Adik Anissa
Atikah Rhea serta Waqid Adi Purnomo yang telah memberikan semangat. Ucapan
terima kasih disampaikan pula kepada teman-teman Fakultas Kehutanan 47,
Teknologi Hasil Hutan 47 khususnya divisi Kimia Hasil Hutan 47, sahabat dan
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan
penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Semoga karya

ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Catur Wulandari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE PENELITIAN

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan Penelitian


2

Alat Penelitian

2

Prosedur Penelitian

2

Persiapan Bahan Baku

2

Kelarutan dalam Etanol-Benzena (1:2)

3

Kelarutan dalam Air Dingin


3

Kelarutan dalam Air Panas

3

Kelarutan dalam Sodium Hidroksida 1%

4

Penentuan Kadar Holoselulosa

4

Penentuan Kadar Alfa-selulosa

4

Penentuan Lignin Klason


5

Pengukuran Daya Serap Minyak

5

Pengukuran Derajat Kristalinitas Serat

5

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Komponen Kimia Serat Kapuk


6

Kapasitas Penyerapan Minyak

7

Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Kapasitas Penyerapan Minyak

9

Derajat Kristalinitas Serat Kapuk

10

Selektifitas Penyerapan Minyak Serat Kapuk

10

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

12
12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Komponen kimia serat kapuk
Karakteristik minyak yang digunakan dalam penelitian
Kapasitas penyerapan serat kapuk alami (g/g serat)
Kapasitas penyerapan serat kapuk setelah ekstraksi etanol-benzena (g/g
serat)
5 Derajat kristalinitas serat kapuk

6
7
8
9
10

DAFTAR GAMBAR
1 Selektifitas penyerapan minyak serat kapuk alami
2 Selektifitas penyerapan minyak serat kapuk setelah ekstraksi etanolbenzena

11
11

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pohon kapuk (Ceiba pentandra) merupakan tumbuhan asli dari daerah
tropis di Amerika yang kemudian berkembang dan menyebar ke Afrika dan Asia
(Departemen Pertanian 2006). Pohon kapuk memiliki beberapa manfaat
diantaranya, kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku furniture, kulit buah
dapat digunakan sebagai pupuk dan bahan bakar, serta serat dapat digunakan
sebagai bahan dasar matras, bantal, isolasi panas, dan suara (Qiuling dan Lin
2009). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil dan pengekspor serat
kapuk. Tahun 2002 Indonesia mampu memproduksi 1100-4500 ton serat kapuk,
dan diekspor sebanyak 1697 ton dengan nilai $1.299.732 (Departemen Pertanian
2006).
Serat kapuk memiliki sifat sangat halus, ringan, dan tidak elastik untuk
dipintal menjadi benang, sehingga kebanyakan masyarakat hanya
menggunakannya sebagai pengisi bantal, kasur maupun matras. Dewasa ini,
potensi pemanfaatan serat kapuk sebagai bahan penyerap minyak sangat tinggi
karena serat kapuk memiliki sifat hidrofobik dan oleofilik (Huang dan Lim 2005).
Bahan penyerap minyak diharapkan memiliki kapasitas penyerapan minyak tinggi
tetapi sangat kecil penyerapannya terhadap air. Berdasarkan bahan baku yang
digunakan, bahan penyerap dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu terbuat dari
mineral anorganik (zeolit, silica, dan clay), organik sintetik (polypropylene dan
polyurethane), dan organik bahan alam (gambut, bonggol jagung, kenaf, dan
jerami).
Penggunaan organik bahan alam sebagai bahan penyerap merupakan
alternatif paling efisien karena diperoleh dari sumber yang dapat diperbarui
(renewable), bahannya tersedia secara melimpah di alam dan mudah
dibiodegradasi (Barlianti dan Wiloso 2008). Beberapa studi telah menunjukkan
berbagai bahan dari produk pertanian yang digunakan sebagai bahan penyerap
salah satunya yaitu, bonggol jagung mampu menyerap 6.9 g minyak pelumas per
gram biomasa (Wiloso et al. 2005). Sementara itu, penelitian Hori et al. (2000)
menunjukkan serat buah kapuk asal Philipina mampu menyerap minyak sebanyak
40 g/g serat.
Kapasitas penyerapan minyak serat buah kapuk ini dipengaruhi oleh sifat
kimianya sehingga dapat berubah akibat perlakuan kimia. Penelitian ini akan
menguji pengaruh zat ekstraktif oleofilik terlarut etanol-benzena terhadap
penyerapan minyak yang berbeda kekentalan dan selektifitasnya dibandingkan
dengan penyerapan terhadap air.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kapasitas dan selektifitas
penyerapan minyak serat buah kapuk asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat, serta kaitannya dengan zat ekstraktif dan kristalinitas serat.

2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang
karakteristik serat kapuk yang berasal dari tiga daerah di Indonesia sebagai bahan
penyerap terhadap minyak. Selain itu dapat dijadikan parameter kualitas organik
bahan alam sebagai bahan penyerap minyak.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium
Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor; dan Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu (PUSTEKOLAH)
Puslitbang Kementerian Kehutanan Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari - April 2014.
Bahan Penelitian
Serat buah kapuk diambil dari daerah Sampang, Madura, Jawa Timur;
Kabupaten Pati, Jawa Tengah; dan Bogor, Jawa Barat. Bahan kimia yang
digunakan adalah etanol-benzena (1:2), aquades, sodium klorit (NaClO2), asam
asetat glasial (CH3COOH), NaOH 17%, asam sulfat 72%, sodium hidroksida 1%,
dan asam asetat 10%. Pengujian daya serap minyak menggunakan toluena,
minyak nabati, dan beberapa jenis oli seperti oli bekas, diesel (B), motor (BS),
mobil (S), dan oli gardan. Pemilihan jenis minyak dan oli tersebut didasarkan
pada perbedaan kekentalannya.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah sokhlet, thimbel ekstraksi, alat pemanas air,
peralatan gelas, corong, timbangan elektrik, oven, waterbath, alumunium foil,
label, penjepit besi, dan viscotester 7 plus. Pengujian derajat kristalinitas serat
kapuk menggunakan alat XRD (X-Ray Diffraction) merk SHIMADZU-7000.

Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Baku
Serat kapuk dipisahkan dari bagian kulit buah dan biji, diukur kadar airnya
dan disimpan dalam plastik tertutup rapat. Kadar air serat diukur menggunakan
serat kapuk sebanyak 2 g dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 103 ±
2 ºC. Serat didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dinyatakan

3
sebagai bobot air terhadap bobot kering contoh uji yang dinyatakan dalam persen.
Kadar air dihitung dengan rumus:
Kadar Air (%) =

BA − BKT
x100%
BKT

dengan, BA = bobot kapuk awal (g), dan BKT = bobot kapuk kering oven (g).
Kelarutan dalam Etanol-Benzena (1:2) (TAPPI T 204 om-88)
Serat kapuk sebanyak 10 g disiapkan dalam thimbel ekstraksi dan
ditempatkan dalam alat sokhlet. Ekstraksi dilakukan dengan 250 ml larutan
campuran etanol-benzena (1:2) selama 6-8 jam atau hingga pelarut bening.
Sirkulasi ekstraksi dijaga pada kondisi minimal 4 kali ekstraksi per jam. Setelah
ekstraksi, sampel direndam dalam etanol dan diangin-anginkan untuk
menghilangkan sisa pelarut. Sampel dioven pada suhu 103±2 ºC sampai bobotnya
konstan. Kelarutan etanol-benzena dihitung dengan rumus:
Kelarutan(%) =

A −B
x100%
A

dengan, A = bobot sampel kering awal (g), B = bobot sampel kering oven (g).
Kelarutan dalam Air Dingin (TAPPI T 207 om-88)
Serat kapuk sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml, dan
ditambahkan aquades sebanyak 300 ml. Ekstraksi dilakukan selama 48 jam pada
suhu 23±2 ºC. Sampel disaring dan dicuci dengan aquades sebanyak 200 ml.
Sampel dioven pada suhu 103±2 ºC sampai bobotnya konstan. Kelarutan air
dingin dihitung dengan rumus:
Kelarutan (%) =

A−B
x100%
A

dengan, A = bobot sampel kering awal (g), dan B = bobot sampel kering oven (g).
Kelarutan dalam Air Panas (TAPPI T 207 om-88)
Serat kapuk sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, dan
ditambahkan aquades panas sebanyak 100 ml. Ekstraksi dilakukan pada suhu 100
ºC selama 3 jam. Sampel disaring dengan kertas saring yang telah dioven pada
suhu 103±2 ºC. Sampel dicuci dan disaring dengan 200 ml aquades panas. Sampel
dioven pada suhu 103±2 ºC sampai bobotnya konstan. Kelarutan air panas
dihitung dengan rumus:
A−B
x100%
Kelarutan (%) =
A
dengan, A = bobot sampel kering awal (g), dan B = bobot sampel kering oven (g).

4
Kelarutan dalam Sodium Hidroksida 1% (TAPPI T 212 om-88)
Serat kapuk sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan
ditambahkan 100 ml larutan NaOH 1% serta diaduk. Sampel ditutup dan
ditempatkan dalam waterbath (97-100 ºC) selama 60 menit sambil diaduk setiap 5,
10, 15, dan 25 menit reaksi. Sampel disaring, dicuci dengan air panas, dan
ditambahkan 25 ml asam asetat 10% sebanyak 2 kali. Sampel dicuci kembali
dengan air panas sampai bebas asam. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu
103±2 ºC sampai bobotnya konstan. Kelarutan NaOH 1% dihitung dengan rumus:
Kelarutan (%) =

A−B
x100%
A

dengan, A = bobot sampel kering awal (g), dan B = bobot sampel kering oven (g).
Penentuan Kadar Holoselulosa (Browning 1967)
Serat kapuk bebas zat ekstraktif sebanyak 2.5 g dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 100 ml aquades, 1 g soduim klorit (NaClO2),
dan 0.5 ml asam asetat glasial (CH3COOH). Sampel dipanaskan dengan
waterbath pada suhu 70-80 ºC selama 5 jam dan setiap interval 1 jam
ditambahkan 1 g NaClO2 dan 0.5 ml asam asetat glasial. Setelah pemanasan
selesai, sampel disaring dan dicuci dengan aquades panas, kemudian ditambahkan
25 ml asam asetat 10%, dan dicuci dengan aquades panas hingga bebas asam.
Sampel holoselulosa dioven pada suhu 103±2 ºC, ditimbang sampai bobotnya
konstan. Holoselulosa dihitung dengan rumus:
Holoselulosa (%) =

B
x100%
A

dengan, A = bobot kering sampel awal (g), dan B = bobot holoselulosa (g).
Penentuan Kadar Alfa-selulosa (Browning 1967)
Serbuk holoselulosa sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250
ml, dan ditambahkan 10 ml NaOH 17.5% pada suhu 20 ºC serta diaduk pelan.
Setiap interval waktu 5 menit, ditambahkan 5 ml larutan NaOH 17.5%.
Penambahan dilakukan sebanyak 3 kali sehingga total volume NaOH 17.5%
sebanyak 15 ml. Setelah penambahan terakhir, sampel dibiarkan selama 30 menit
sehingga total waktu perlakuan selama 45 menit. Sampel ditambahkan aquades
sebanyak 33 ml, diaduk, dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu 20 ºC. Sampel
disaring dengan cawan saring lalu dibilas dengan 100 ml NaOH 8.3%. Sampel
dibilas kembali dengan 15 ml asam asetat 10%. Sampel dibilas dengan 250 ml
aquades sampai bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103±2 ºC selama 24 jam
dan didinginkan dalam desikator serta ditimbang bobotnya hingga konstan. Alfaselulosa dihitung dengan rumus:

5
Alfa − selulosa (%) =

B
x100%
A

dengan, A = bobot kering sampel awal (g), dan B = bobot alfa-selulosa (g).
Penentuan Lignin Klason (Dence 1992)
Serat kapuk bebas zat ekstraktif sebanyak 0.5 g ditempatkan dalam gelas
piala 50 ml dan ditambahkan 5 ml larutan asam sulfat 72% secara perlahan sambil
diaduk hingga serbuk terdispersi sempurna. Sampel disimpan pada suhu kamar
selama 3 jam sambil diaduk setiap 15 menit reaksi. Sampel dipindahkan ke dalam
erlenmeyer 500 ml dan diencerkan hingga konsentrasi asam sulfat 3% yaitu
dengan penambahan air hingga total volume 196 ml. Sampel dipanaskan dalam
autoclave selama 30 menit pada suhu 121 ºC. Sampel disaring dan dicuci dengan
aquades hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103±2 ºC dan ditimbang
bobotnya hingga konstan. Lignin klason dihitung dengan rumus:
Lignin (%) =

B
x100%
A

dengan, A = bobot kering kapuk (g), dan B = bobot lignin (g).
Pengukuran Daya Serap Minyak
Pengukuran kapasitas penyerapan minyak dilakukan untuk serat kapuk
alami dan setelah ekstraksi etanol-benzena. Serat kapuk sebanyak 0.1 g
diletakkan diatas kassa berukuran (3x6) cm. Sampel kapuk dengan kassa
kemudian dicelupkan ke dalam minyak dengan waktu 10 menit. Sampel ditiriskan
sampai minyak tidak menetes dan ditimbang. Kapuk yang ada didalam kassa
dikeluarkan dan kassa tanpa kapuk ditimbang. Prosedur yang sama dilakukan
terhadap air untuk mengetahui daya serap serat terhadap air. Daya serap dihitung
dengan rumus:
Daya Serap =

{(B − C) − (A)}
A

dengan, A = bobot kapuk awal (g), B = bobot kapuk dan kassa setelah dicelupkan
ke dalam minyak (g), dan C = bobot kassa (g).
Pengukuran Derajat Kristalinitas Serat
Serat kapuk diuji derajat kristalinitasnya untuk serat alami (tanpa
perlakuan) dan serat yang telah diberi perlakuan ekstraksi etanol-benzena. Derajat
kristalinitas serat diukur dengan alat XRD (X-Ray Diffraction).

6
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan Microsoft excel 2010 terhadap rata-rata
nilai dari masing-masing dua ulangan untuk analisis komponen kimia dan tiga
ulangan untuk daya serap terhadap minyak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen Kimia Serat Kapuk
Seperti serat alami lainnya, serat kapuk terutama disusun oleh selulosa,
hemiselulosa, lignin, dan sebagian kecil zat ekstraktif. Holoselulosa merupakan
polisakarida total penyusun dinding sel serat yang terdiri atas selulosa dan
hemiselulosa (Fengel dan Wegener 1984).
Table 1 Komponen kimia serat kapuk
Komponen kimia
Holoselulosa, %
Alfa-selulosa, %
Lignin klason, %
Kelarutan etanol-benzena (1:2), %
Kelarutan air dingin, %
Kelarutan air panas, %
Kelarutan NaOH 1%

Asal serat kapuk
Jawa
Jawa
Timur
Tengah
83.10
83.04
37.43
37.64
16.25
15.96
1.02
1.02
0.63
0.77
4.34
4.14
19.98
19.49

Jawa
Barat
84.16
40.26
13.24
1.17
0.67
4.62
26.47

Holoselulosa merupakan komponen dominan penyusun dinding sel serat
kapuk. Kadar holoselulosa serat kapuk dari ketiga daerah berkisar 83.04-84.16%.
Kadar holoselulosa tertinggi terdapat pada serat kapuk asal Jawa Barat sedangkan
kadar holoselulosa terendah terdapat pada serat kapuk asal Jawa Tengah. Kadar
alfa-selulosa serat kapuk dari ketiga daerah berkisar 37.43-40.26%. Jika
diasumsikan selisih antara kadar holoselulosa dengan alfa-selulosa adalah
hemiselulosa, maka serat buah kapuk memiliki kadar hemiselulosa tinggi.
Berdasarkan struktur kimianya, selulosa dan hemiselulosa merupakan polihidroksi
sehingga berpengaruh terhadap sifat higroskopis serat (Fengel dan Wegener
1984).
Serat kapuk yang diuji memiliki kadar lignin yang rendah dan berkisar
13.24-16.25%. Lignin merupakan polimer kompleks yang terdapat pada lamela
tengah dan dinding sekunder (McDougall et al. 1993). Kadar lignin menjadi
penting dalam pengolahan bahan melalui reaksi delignifikasi, misalnya proses
pulping. Bahan baku pulp diharapkan memiliki kadar lignin rendah. Lignin
merupakan polifenol dan lebih sedikit mengandung gugus hidroksi (Sjostrom
1991) sehingga pengaruhnya terhadap sifat higroskopis serat lebih kecil
dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa.

7
Zat ekstraktif terlarut etanol-benzena (1:2) dari serat kapuk yang diuji
tergolong kecil yang berkisar 1.02-1.17%, akan tetapi kelarutan serat kapuk dalam
NaOH 1% tergolong tinggi. Larutan NaOH 1% mampu melarutkan fraksi
polisakarida berbobot molekul rendah, sehingga nilai ini sejalan dengan tingginya
kadar hemiselulosa serat kapuk. Menurut Kobayashi et al. (1977), serat buah
kapuk mengandung zat lilin dan akan menyebabkan rendahnya sifat higroskopis
serat.
Kadar holoselulosa yang tinggi dengan rendahnya kadar lignin pada serat
kapuk menunjukkan bahwa serat ini tergolong serat alami dengan kualitas yang
baik sebagai bahan baku berbahan dasar polisakarida, misalnya sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol (Tye et al. 2012) dan kertas (Chaiarrekij et al. 2011).
Selain itu, serat kapuk alami memiliki sifat hidrofobik dan oleofilik (Huang dan
Lim 2007) sehingga dapat digunakan untuk bahan baku produk penyerap minyak
(Kongsricharoen et al. 2012).
Kapasitas Penyerapan Minyak
Kapasitas penyerapan minyak merupakan banyaknya minyak yang dapat
diserap oleh serat kapuk. Pengukuran kapasitas penyerapan minyak dilakukan
pada serat alami (tanpa perlakuan) dan serat setelah perlakuan ekstraksi etanolbenzena. Pengujian dilakukan terhadap minyak dengan berbagai tingkat viskositas
dan air (Tabel 2). Perbedaan bobot jenis dan viskositas minyak dapat
mempengaruhi kapasitas penyerapan minyak (Abdullah et al. 2010).
Tabel 2 Karakteristik minyak yang digunakan dalam penelitian
Jenis minyak
Air
Toluena
Minyak nabati
Oli bekas
Oli BS
Oli B
Oli S
Oli gardan

Bobot jenis
1.0000
0.7965
0.9151
0.8880
0.8871
0.8882
0.8919
1.0478

Viskositas (cP)
0
0
100
170
250
260
290
520

Serat kapuk memiliki kapasitas penyerapan minyak yang tinggi, sedangkan
penyerapan terhadap air sangat kecil (Tabel 3). Kapasitas penyerapan minyak
serat kapuk alami dari ketiga daerah berkisar 33.47-58.91 g/g serat, sedangkan
kapasitas penyerapannya terhadap air hanya 1.10 g/g serat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa secara alami serat buah kapuk bersifat hidrofobik dan
cenderung oleofilik.
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan
beberapa penelitian lainnya. Menurut Hori et al. (2000), kapasitas penyerapan
serat kapuk terhadap minyak sebesar 40 g/g serat. Menurut Abdullah et al. (2010),
kapasitas penyerapan minyak dengan perbedaan kerapatan (packing density) serat
kapuk, untuk oli diesel sekitar 10.8-36.7 g/g serat; untuk oli pelumas yang telah

8
terpakai sekitar 12.2-50.8 g/g serat; sedangkan untuk oli pelumas yang baru
sekitar 12.1-47.4 g/g serat.
Tabel 3 Kapasitas penyerapan serat kapuk alami (g/g serat)
Jenis minyak
Oli gardan
Oli S
Oli B
Oli BS
Oli bekas
Minyak nabati
Toluena
Air

Asal serat kapuk
Jawa Timur
54.40
57.70
56.46
50.14
58.22
61.96
38.89
1.06

Jawa Tengah
57.97
51.67
55.06
52.64
55.32
53.71
30.81
1.03

Jawa Barat
62.06
47.76
52.38
51.47
63.20
52.92
30.70
1.22

Rataan
58.14
52.38
54.63
51.42
58.91
56.20
33.47
1.10

Perbedaan kapasitas penyerapan minyak ini terjadi karena adanya perbedaan
jenis minyak yang digunakan, antara lain perbedaan viskositas (kekentalan) dan
bobot jenis minyak. Viskositas minyak dapat mempengaruhi kapasitas penyerapan
minyak (Wang et al. 2012a). Semakin rendah viskositas suatu minyak maka
semakin mudah diserap oleh serat, namun semakin mudah pula minyak tersebut
keluar dari permukaan serat. Mudahnya minyak keluar dari serat dikarenakan
minyak tidak dapat diikat oleh serat yang halus sehingga kapasitas penyerapan
terhadap minyak tersebut menjadi rendah (Wang et al. 2012b). Menurut Putro dan
Ardhiany (2010), penyerapan minyak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya jenis penyerap, jenis zat yang diserap, konsentrasi, luas permukaan
penyerap, suhu, dan tekanan.
Minyak jenis toluena yang memiliki viskositas terendah, mampu diserap
oleh serat masing-masing sebesar 38.89, 30.81, dan 30.70 g/g serat untuk serat
asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kapasitas penyerapan minyak ini
merupakan penyerapan paling rendah dibandingkan dengan keenam jenis minyak
yang lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Wang et al. (2013) bahwa, jenis
minyak dengan viskositas rendah seperti bensin dan solar lebih mudah keluar dari
serat karena permukaannya yang halus.
Berbeda dengan toluena, minyak nabati, oli bekas, oli BS, oli B, oli S, dan
oli gardan memiliki viskositas dan bobot jenis tinggi dan menghasilkan nilai
kapasitas penyerapan tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa minyak dengan
viskositas yang tinggi mampu diserap oleh serat dan dapat diikat oleh lumen serat.
Tingginya kapasitas penyerapan ini juga ditimbulkan oleh nilai bobot jenis yang
tinggi, karena bobot jenis dapat mempengaruhi bobot dari penyerapan serat
terhadap minyak. Menurut Wang et al. (2013), viskositas minyak yang tinggi dan
permukaan yang kasar dengan energi permukaan yang rendah akan meningkatkan
kapasitas penyerapan minyak. Kapasitas penyerapan terhadap minyak yang tinggi
ini dikarenakan adanya efek kapilaritas. Selain adanya efek kapilaritas,
tersimpannya minyak di dalam serat juga mempengaruhi kapasitas penyerapan
minyak. Menurut Wang et al. (2012b), minyak yang disimpan didalam serat dapat

9
dibagi menjadi dua cara yaitu minyak disimpan dalam lumen internal (didalam
rongga serat) dan minyak disimpan dalam rongga antar serat.
Kapasitas penyerapan serat kapuk ini memiliki kemampuan menyerap yang
lebih baik dibandingkan dengan kapasitas penyerapan untuk bahan penyerap
minyak yang lainnya seperti bonggol jagung mampu menyerap 6.9 g minyak
pelumas per gram biomasa (Wiloso et al. 2005), polipropylene (10 g/g), sekam
(6.7 g/g), serat selulosa (22 g/g), kapas (40 g/g) (Majed et al. 2011).
Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Kapasitas Penyerapan Minyak
Zat ekstraktif merupakan komponen senyawa kimia yang tergolong ke
dalam zat organik dengan bobot molekul rendah dan jumlahnya yang kecil
(Fengel dan Wegener 1984). Hasil penelitian menunjukkan kadar zat ekstraktif
serat kapuk terlarut dalam etanol-benzena (1:2) masing-masing sebesar 1.02, 1.02,
dan 1.17% untuk serat kapuk Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Hasil ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian Hori et al. (2000) dan Tye et al. (2012)
terhadap serat kapuk asal Philipina dan Vietnam yaitu sebesar 1.8-2.2% dan 2.9%.
Adanya kandungan zat ekstraktif dalam serat kapuk ini dapat mempengaruhi
kapasitas penyerapan serat terhadap minyak. Hal ini karena zat ekstraktif terlarut
etanol-benzena terutama dari kelompok zat ekstraktif oleofilik seperti minyak,
lemak, dan lilin (Fengel dan Wegener 1984).
Tabel 4 Kapasitas penyerapan serat kapuk setelah ekstraksi etanol-benzena (g/g
serat)
Jenis minyak
Oli gardan
Oli S
Oli B
Oli BS
Oli bekas
Minyak nabati
Toluena
Air

Asal serat kapuk
Jawa Timur
45.09
41.96
38.86
43.90
39.30
39.46
29.47
2.09

Jawa Tengah
38.04
33.93
36.47
36.50
39.63
34.76
26.62
2.87

Jawa Barat
50.74
41.12
37.21
37.95
34.39
32.60
27.50
5.13

Rataan
44.62
39.00
37.51
39.45
37.77
35.61
27.86
3.36

Kapasitas penyerapan minyak serat kapuk setelah ekstraksi etanol-benzena
lebih rendah dibandingkan dengan serat alaminya (tanpa perlakuan). Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan serat kapuk menyerap minyak dipengaruhi juga
secara kimia oleh zat ekstraktif oleofilik pada serat kapuk. Menurut Wang et al.
(2012b), kapasitas penyerapan minyak dapat dipengaruhi oleh banyaknya zat lilin
pada permukaan serat, lumen yang berongga, kekerasan, dan kehalusan pada
permukaan.
Zat ekstraktif terlarut etanol-benzena terutama komponen resin, lemak, lilin,
dan minyak (Fengel dan Wegener 1984). Kehilangan zat ekstraktif bersifat
oleofilik tersebut dari permukaan serat kapuk menyebabkan penurunan kapasitas

10
penyerapan serat terhadap minyak. Dilain pihak, hal tersebut menyebabkan
peningkatan sifat hidrofilik serat kapuk yang ditunjukkan oleh peningkatan daya
serapnya terhadap air (Tabel 3 dan 4).
Derajat Kristalinitas Serat Kapuk
Untuk menganalisis pengaruh morfologi serat kapuk terhadap daya serap
minyak diduga melalui indeks kristalinitas seratnya. Derajat kristalinitas
merupakan perbandingan antara daerah kristalin dengan total daerah (kristalin dan
amorf) yang dinyatakan dalam persen (Gurgel et al. 2012). Pengukuran derajat
kristalinitas dilakukan terhadap serat kapuk alami (tanpa perlakuan) dan serat
kapuk setelah perlakuan ekstraksi etanol-benzena.
Tabel 5 Derajat kristalinitas serat kapuk
Asal

Perlakuan
Alami
Perlakuan etanolbenzena

Derajat kristalinitas (%)
38.21

Alami
Perlakuan etanolbenzena

31.21

Jawa Tengah

Alami
Perlakuan etanolbenzena

30.70

Jawa Barat

Jawa Timur

42.28

43.54

32.75

Tabel 5 menunjukkan terdapat perbedaan relatif kecil derajat kristalinitas
serat kapuk berdasarkan asal bahan dan perlakuan ekstraksi etanol-benzena.
Derajat kristalinitas serat buah kapuk setelah perlakuan ekstraksi etanol-benzena
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan serat alaminya. Hal ini diduga karena
kehilangan sebagian zat ekstraktif yang bersifat amorf akibat perlakuan ekstraksi
etanol-benzena. Menurut Wang et al. (2012a), kapasitas penyerapan minyak dapat
ditingkatkan dengan adanya permukaan serat yang kasar. Semakin kasar
permukaan serat kapuk maka semakin mudah minyak diserap oleh serat dan diikat
didalamnya, sebaliknya semakin halus permukaan serat maka minyak akan mudah
keluar dari dalam serat akibat adanya pengeringan.
Selektifitas Penyerapan Minyak Serat Kapuk
Selektifitas penyerapan minyak merupakan kemampuan serat kapuk untuk
menyerap minyak di dalam air (Huang dan Lim 2005). Selektifitas penyerapan
minyak diukur sebagai nisbah penyerapan serat kapuk terhadap minyak dan air.

Penyerapan minyak/penyerapan
air

11

60
50
40

47

50

Oli S

Oli B

53

53

Oli
gardan

Oli
bekas

47

51

30

30
20
10
0
Toluena

Oli BS

Minyak
nabati

Jenis minyak

Penyerapan minyak/penyerapan
air

Gambar 1 Selektifitas penyerapan minyak serat kapuk alami
60
50
40
30
20

8

12

11

12

13

11

11

Oli S

Oli B

Oli BS

Oli
gardan

Oli
bekas

Minyak
nabati

10
0
Toluena

Jenis minyak
Gambar 2 Selektifitas penyerapan minyak serat kapuk setelah ekstraksi
etanol-benzena
Gambar 1 dan 2 mengkonfirmasi bahwa secara alami serat kapuk bersifat
hidrofobik dan oleofilik. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya selektifitas serat
kapuk dalam menyerap minyak dibandingkan dengan menyerap air. Selektifitas
penyerapan minyak dari serat kapuk alami berkisar 30-53 kali lebih besar
dibandingkan penyerapan terhadap air.
Gambar 2 menunjukkan bahwa selektifitas penyerapan serat kapuk setelah
ekstraksi etanol-benzena lebih rendah dibandingkan dengan serat alaminya.
Kapasitas penyerapan serat kapuk setelah perlakuan ekstraksi etanol-benzena
terhadap minyak berkisar 8-13 kali dibandingkan terhadap air. Hal ini disebabkan
zat ekstraktif yang bersifat oleofilik terlarut dari serat selama perlakuan ekstraksi
etanol-benzena, sehingga sifat hidrofilik serat meningkat. Sementara itu, pengaruh

12
ekstraksi etanol-benzena terhadap perubahan kristalinitas serat relatif kecil
sehingga diduga pengaruhnya terhadap perubahan kapasitas penyerapan minyak
juga kecil.
Selektifitas penyerapan minyak serat kapuk alami yang tinggi ini
menyebabkan serat kapuk berpotensi sebagai bahan penyerap tumpahan minyak
(Huang dan Lim 2005). Hal ini dikarenakan serat kapuk selektif menyerap minyak
walaupun dalam sistem minyak dan air. Selain itu, hasil penelitian Abdullah et al.
(2010) dan Wang et al. (2012a) menunjukkan bahwa serat kapuk dapat digunakan
berulang kali sebagai bahan penyerap minyak.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Serat kapuk asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat berurutan
memiliki kadar holoselulosa 83.10, 83.04, dan 84.16%, alfa-selulosa 37.43, 37.64,
dan 40.26%, lignin klason 16.25, 15.96, dan 13.24%, kelarutan etanol-benzena
1.02, 1.02, dan 1.17%, kelarutan dalam air dingin 0.63, 0.77, dan 0.67%, kelarutan
dalam air panas 4.34, 4.14, dan 4.62%, kelarutan dalam NaOH 1% 19.98, 19.49,
dan 26.47%.
Kapasitas penyerapan minyak serat kapuk alami berkisar 30.70-63.20 g/g
serat, bergantung pada asal bahan dan viskositas minyak. Perlakuan ekstraksi
etanol-benzena menurunkan kapasitas penyerapan minyak serat kapuk. Derajat
kristalinitas serat kapuk alami asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat
berturutan 38.21, 31.21, dan 30.70%. Selektifitas penyerapan serat kapuk alami
terhadap minyak berkisar 30-53 kali dibandingkan dengan terhadap air sedangkan
kapasitas penyerapan serat kapuk setelah perlakuan ekstraksi etanol-benzena
terhadap minyak berkisar 8-13 kali dibandingkan terhadap air, sehingga secara
alami serat kapuk berpotensi sebagai bahan penyerap minyak dengan selektifitas
tinggi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan referensi dari literatur, perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai morfologi serat kapuk dan penggunaan serat kapuk
untuk produk penyerap minyak.

13

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MA, Rahmah AU, Man Z. 2010. Physicochemical and sorption
characteristics of Malaysian Ceiba pentandra (L.) Gaertn. as a natural oil
sorbent. J. Hazard. Materials. 177:683-691.
Barlianti V, Wiloso EI. 2008. Potensi pemanfaatan lignoselulosa pada coir dust
sebagai penyerap tumpahan minyak pada air. Berita Selulosa. 43(2):101-106.
Chaiarrekij S, Apirakchaiskul A, Suvarnakich K, Kiatkamjornwong S. 2011.
Kapok I: Characteristics of kapok fiber as a potential pulp source for
papermaking. J. Bioresource. 7(1):475-488.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Budidaya Kapuk (Ceiba
pentandra). Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. First
Edition. Berlin [DE]: Walter de Guyter.
Gurgel LVA, Marabezi K, Ramos LA, Curvelo AAS. 2012. Characterization of
depolymerized residues from extremely low acid hydrolysis (ELA) of
sugarcane cellulose: Effect of degee of polymerization, crystallinity and
crystallite size on thermal decomposition. Indust. Crops Prod. 36:560-571.
Hori K, Flavier ME, Kuga S, Lam TBT, Liyama K. 2000. Excellent oil absorbent
kapok (Ceiba pentandra (L.) Gaertn.) fiber: fiber structure, chemical
characteristics, and application. J. Wood Sci. 46:401-404.
Huang X, Lim TT. 2005. Experimental evaluation of a natural hollow
hydrophobic-oleophilic fiber for its potential application in NAPL spill
cleanup. International Oil Spill Conference; 2005; Nanyang, Singapore.
Nanyang (SG): Nanyang Technological University.
Huang X, Lim TT. 2007. Evaluation of hydrophobicity/oleophilicity of kapok and
its performance in oily water filtration: Comparison of raw and solventtreated fibers. Indust. Crops Prod. 26:125-134.
Kobayashi Y, Matuo R, Nishiyama M. 1977. Method for adsorption of oils.
Japanese Patent, 52,138,081.
Kongsricharoen P, Pejprom D, Senanurakwarkul C, Khaodhiar S. 2012. Effect of
kapok fibers/recycled rayon wastes on motor oil sorption capacity.
International Conference on Chemical, Bio-Chemical and Environmental
Sciences (ICBEE); December 14-15 2012; Nanyang; Singapore. Nanyang
(SG): Nanyang Technological University.
Majed AA, Adebayo AR, Hossain M. 2011. A sustainable approach to controlling
oil spills. J. Environ. Manag. 113:213-227.
McDougall GJ, Morrison IM, Stewart D, Weyers JDB, Hillman JR. 1993. Plant
fibers: botany, chemistry and processing for industrial use. J. Sci Food Agri.
62(1):1-20.
Putro ANH, Ardhiany SA. 2010. Proses pengambilan kembali bioetanol hasil
fermentasi dengan metode adsorpsi hidrophobik [skripsi]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro Semarang.
Qiuling C, Lin W. 2009. Structure and property contrast of kapok fiber and cotton
fibre. Cotton Textile Technol. 37(11):668-670.
Sjostrom E. 1991. Wood Chemistry, Fundamentals and Applications. New York
(US): Academic Pr.

14
Tye YY, Lee KT, Abdullah WNW, Leh CP. 2012. Potential of Ceiba pentandra
(L.) Gaertn. (kapok fiber) as a resource for second generation bioethanol:
Effect of various simple pretreatment methods on sugar production. Biores.
Technol. 116:536-539.
[TAPPI] Technical Association of The Pulp and Paper Industry. 1990. TAPPI Test
Methods. 1991. Atlanta (US): TAPPI Pr.
Wang J, Zheng Y, Wang A. 2012a. Effect of kapok fiber treated with various
solvent on oil adsorbency. Indust. Crops Prod. 40:178-184.
Wang J, Zheng Y, Wang A. 2012b. Superhydrophobic kapok fiber oil-absorbent:
Preparation and high oil absorbency. Chem. Eng. J. 213:1-7.
Wang J, Zheng Y, Kang Y, Wang A. 2013. Investigation of oil sorption capability
of PBMA/SiO2 coated kapok fiber. Chem. Eng. J. 223:632-637.
Wiloso EI, Setiawan AH, Barlianti V. 2005. Use of lignocellulosic wastes as an
oil sorbent. Proceedings of 2nd International Seminar on Environmental
Chemistry and Taxicology. Yogyakarta (ID): Indonesia.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Biak pada tanggal 09 Maret 1992. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Sugito dan Ibu Siti Sukarni.
Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cawas, Klaten dan pada tahun
yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis telah
mengikuti kegiatan praktek lapang yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(PPEH) pada tahun 2012 di Gunung Ciremai dan Indramayu, Jawa Barat, pada
tahun 2013 penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) dengan
lokasi di Hutan Pendidikan Gunung Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional
Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi, kemudian pada tahun yang
sama, penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Cimanggu,
Cilacap-Jawa Tengah. Selain aktif mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif
dalam kepanitiaan kegiatan kampus seperti divisi konsumsi FORESTER CUP
2012, divisi komdis KOMPAK DHH 2012. Penulis merupakan anggota Divisi
Kelompok Minat Kimia Hasil Hutan pada tahun 2011 dan merupakan pengurus
Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) Divisi Kelompok Minat
pada tahun 2012. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul
“Karakteristik Kimia Serat Buah Kapuk sebagai Bahan Penyerap Minyak”
dibawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.