Potensi Genetik Produksi Susu Sapi Friesian Holstein Betina di BBPTU-Sapi Perah Baturraden, Purwokerto
RINGKASAN
Erni Siti Wahyuni. D14080046. 2012. Potensi Genetik Produksi Susu Sapi
Friesian Holstein Betina di BBPTU Sapi Perah Baturraden, Purwokerto.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
: Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D
Kebutuhan akan susu yang semakin meningkat belum bisa diimbangi oleh
produksi susu dalam negeri. Sapi perah betina, khususnya sapi bangsa Friesian
Holstein (FH), memegang peranan penting dalam memproduksi susu di dalam
negeri. Seleksi terhadap sapi betina FH diharapkan akan mampu meningkatkan nilai
pemuliaannya pada suatu peternakan. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Perah (BBPTU-SP) Baturraden adalah balai pemerintahan yang khusus menangani
pembibitan sapi perah betina atau indukan. Sebagai pusat sapi FH betina di
Indonesia, BBPTU-SP harus memiliki indukan terbaik, sehingga dapat digunakan
sebagai sapi bibit atau induk yang menghasilkan keturunan dengan kemampuan
produksi susu yang baik. Potensi genetik sapi betina FH dapat dilihat berdasarkan
catatan produksinya melalui pendugaan nilai parameter genetik, sehingga parameter
genetik tersebut dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya evaluasi terhadap nilai
pemuliaan dan keunggulan genetiknya melalui metode MPPA dan PBV.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengetahui potensi genetik
produksi susu dari sapi Friesian Holstein betina di BBPTU-SP Baturraden,
Purwokerto. Penelitian ini menggunakan catatan produksi susu harian yang terhitung
sejak tahun 2006-2011. Catatan tersebut merupakan catatan produksi susu dari 213
ekor sapi betina yang berjumlah 537 catatan. Catatan produksi susu harian kemudian
selanjutnya diakumulasikan menjadi produksi susu per laktasi. Produksi susu per
laktasi tersebut kemudian distandardisasi ke dalam lama laktasi 305 hari dan umur
setara dewasa berdasarkan faktor koreksi DHIA-USDA. Perhitungan heritabilitas
dilakukan dengan metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation),
sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam klasifikasi satu
arah. Daya pewarisan sifat dari sapi betina ini dihitung dengan menggunakan metode
Predicted Breeding Value (PBV) sedangkan pendugaan keunggulan produksi
susunya menggunakan metode The Most Probable Producing Ability (MPPA).
Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai heritabilitas yang didapat tergolong
sedang dengan nilai 0,40±0,36. Ripitabilitas produksi susu yang diperoleh di
BBPTU-SP Baturraden tergolong tinggi dengan nilai 0,84±0,02. Sapi betina dengan
peringkat terbaik berdasarkan nilai MPPA dan PBV adalah sapi dengan nomor
identitas 125. Sapi ini memiliki nilai pendugaan MPPA sebesar 7.701 kg yang
artinya sapi ini diduga akan menghasilkan produksi susu sebesar 7.701 kg pada
laktasi berikutnya. Nilai pendugaan PBV yang diperoleh adalah sebesar 6.533 kg,
artinya sapi ini memiliki keunggulan genetik produksi susu sebesar 6.533 kg.
Kata-kata kunci: Sapi Friesian Holstein, potensi genetik, produksi susu.
ii
ABSTRACT
Genetic Ability of Friesian Holstein Cow’s Milk Production in BBPTU-Sapi
Perah Baturraden, Purwokerto.
Wahyuni, E.S., Jakaria, A. Anggraeni
Genetic ability improvement effort of dairy cattle’s milk production can be done by
selection of the cow. Friesian Holstein is the most popular dairy cow to be used.
Inheritance ability and estimation of production traits can be evaluated according to
the milk yield record. The objectives of this research were to estimated the genetic
ability of the dairy cow in BBPTU-SP Baturraden by using two methods and to test
rank of genetic superiority. Daily milk production collected 537 records of 213 dairy
cows. Data collected from 2006 to 2011 which originated from BBPTU-SP
Baturraden, Purwokerto. The daily milk production was rearranged into milk yield
per lactation. The real milk yield was standardized to 305 days and mature equivalent
based on DHIA-USDA’s correction factors. Repeatibility estimation was done by
one way classification with unequal numbers of measurements per individual
(unbalanced design). Meanwhile heritability estimation was done by using anysis of
variance the interclass correlation between paternal halfsib. The methods were used
to estimated the genetic ability, namely Most Probable Producing Ability (MPPA)
and Predicted Breeding Value (PBV). Repeatibility and heritability value of milk
production are recorded as 0.84±0.02 and 0,40±0,36. Based on the evaluation on 213
heads of HF cows, it was obtained that the average value of MPPA was 5,443±895
kg (3151-7701 kg) and that for PBV was 5,462±425 kg (4375-6533 kg). The best
cow was identified for the ID 125 having the MPPA value by 7,701 kg and the PBV
value by 6,533 kg.
Keywords: Holstein Friesian, genetic ability, milk yield.
iii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan salah satu produk hasil ternak yang sudah tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
melaporkan bahwa konsumsi susu masyarakat Indonesia sudah mencapai 16,421
kg/kapita/tahun. Laju konsumsi ini diperkirakan akan semakin meningkat setiap
tahunnya. Kenyataannya, produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi
sekitar 35% saja dari kebutuhan susu nasional, sedangkan sebagian besar sisanya
dipenuhi oleh susu impor. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan
menjadi hal yang mendapat perhatian, khususnya karena kualitas dan kuantitas susu
yang belum memadai. Produksi susu dari sapi perah merupakan faktor penting yang
menyangkut ketersediaan susu. Produksi susu menjadi hal utama pada suatu
peternakan sapi perah berdasarkan faktor ekonomis. Peningkatan produksi susu ini
dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas atau populasi dari sapi perah
betina laktasi.
Peningkatan produktivitas merupakan salah satu cara dalam meningkatkan
produksi susu nasional. Pemuliaan memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam
usaha peningkatan produktivitas ternak karena dapat meningkatan potensi genetik
ternak menjadi lebih baik lagi. Sapi perah betina mempunyai kemampuan produksi
susu yang berbeda-beda. Produksi susu sapi perah merupakan sifat yang
dikendalikan oleh banyak gen (kuantitatif), sehingga ekspresinya merupakan
akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya. Faktor genetik
merupakan hal yang lebih penting dan lebih memperoleh perhatian pada program
pemuliaan ternak karena unsur inilah yang diwariskan tetua kepada keturunannya
(Falconer dan Mackay, 1996).
Kegiatan pemuliaan mencakup dua hal, yaitu seleksi dan persilangan.
Pemilihan sapi perah betina atau seleksi sangat penting untuk dilakukan. Seleksi
memberikan hasil yang permanen dan berakumulasi. Kurnianto et al. (2008)
menyatakan bahwa pelaksanaan seleksi didasari alasan untuk mempertahankan
jumlah ternak yang ada, dikawinkan dengan pejantan unggul untuk memperoleh anak
betina yang unggul dan dapat digunakan sebagai pengganti induk (replacement) dan
akan memperoleh anak jantan yang akan digunakan sebagai pemacek dalam program
1
inseminasi buatan. Seleksi dilakukan untuk mengetahui sapi perah betina yang
memiliki kemampuan produksi yang tinggi dan dapat mewariskan sifat tersebut
kepada keturunannya. Berdasarkan alasan tersebut, perlu dilakukan evaluasi
mengenai keunggulan genetik produksi susu.
Prinsip evaluasi adalah dengan mengetahui parameter-parameter genetik yang
kemudian digunakan untuk mengetahui produktivitas ternak tersebut. Metode yang
dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap kemampuan produksi susu
adalah MPPA (Most Probable Producing Ability) dan PBV (Predicted Breeding
Value). Evaluasi genetik sifat produksi susu perlu dilakukan pada Balai Pembibitan
Ternak Unggul yang menjadi acuan peternak di Indonesia untuk mendapatkan ternak
unggul.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dan mengetahui potensi genetik
sifat produksi susu sapi Friesian Holstein betina di Balai Besar Pembibitan Ternak
Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, berdasarkan pendugaan
nilai MPPA dan PBV.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Sapi Perah di Indonesia
Usaha peternakan sapi perah yang diusahakan oleh pribumi diperkirakan
berdiri sekitar tahun 1925. Usaha ini berlanjut secara bertahap sampai saat ini.
Peternak-peternak kecil juga melakukan usaha sampingan untuk menghasilkan susu
dengan kepemilikan sekitar 2-3 ekor sapi perah. Sapi-sapi perah tersebut berasal dari
perusahaan-perusahaan susu yang telah mengalami kehancuran pada masa-masa
Pemerintahan Penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Peternak
umumnya para petani di daerah dataran tinggi yang memelihara sapi dengan tujuan
utama untuk mendapatkan pupuk kandang, sedangkan susu hanya menjadi tujuan
Produksi Susu (ribu ton)
kedua.
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
910
926
2010
2011
827
647
568
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1. Produksi Susu Nasional (2007-2011)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
Industri ini mulai berkembang dengan pesat sejak awal tahun 1980.
Pemerintah mulai melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi
susu dalam negeri untuk kebutuhan masyarakat. Produksi susu di dalam negeri saat
ini baru memenuhi sekitar 35% dari kebutuhan susu nasional. Produksi susu tersebut
belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat walaupun terjadi peningkatan
produksi di setiap tahunnya. Jika populasi sapi laktasi di Indonesia diestimasi sekitar
60% dari jumlah populasi seluruhnya, maka produksi susu saat ini adalah sekitar
925.800 ton dari 358.000 ekor sapi FH. Rataan produksi susu per tahunnya adalah
sekitar 2.586 kg/tahun. Rataan produksi susu ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata
3
produksi susu pada tahun 2007, yaitu sekitar 2.535 kg/tahun. Grafik produksi susu
sejak tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi susu nasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Laju
peningkatan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 28%. Laju
peningkatan produksi susu dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-turut adalah 14%,
28%, 10%, dan 2%. Rataan laju peningkatan produksi susu di Indonesia sejak tahun
2007 sampai 2011 adalah sekitar 13,5%.
Populasi ternak sapi perah juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Grafik populasi ternak sapi perah dapat dilihat pada Gambar 2. Populasi tersebut
sebagian besar berada di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur (49,6%), Jawa Tengah
(25,1%), dan Jawa Barat (23,4%). Laju peningkatan populasi paling tinggi yang
sama terjadi pada tahun 2008 dan 2011 yaitu sebesar 22%. Laju peningkatan
populasi sapi perah dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-turut adalah 22%, 4%,
0,2%, dan 22%. Laju peningkatan populasi sapi perah di Indonesia sejak tahun 2007
sampai 2011 adalah sekitar 12%.
Jumlah Ternak (ribu ekor)
700
600
597
500
400
300
488
458
475
2008
2009
2010
Tahun
374
200
100
0
2007
2011
Gambar 2. Populasi Ternak Sapi Perah (2007-2011)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
Sapi Friesian Holstein
Sapi perah termasuk ke dalam family Bovidae, sub family Bovinae dan genus
Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos
taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi
berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan dari
4
keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi yang berasal dari Bos taurus dan banyak
dikembangkan antara lain adalah Holstein, Brown Swiss, Ayshire, Guernsey dan
Jersey. Bangsa sapi perah yang umum dikembangkan di Indonesia adalah bangsa
Friesian Holstein (FH). Sapi FH berasal dari provinsi Friesland, Belanda. Bangsa
sapi ini adalah bangsa sapi perah yang tertua, terkenal, dan tersebar hampir di seluruh
dunia (Sudono et al., 2003).
Sapi perah Fries Holland berasal dari Belanda Utara atau Friesian Barat. Di
Amerika dikenal antara lain sapi Friesian Holstein (FH) dan Holstein, sedangkan di
Eropa dikenal sapi perah Friesian (Sudono et al., 2003). Sapi FH memiliki ciri-ciri
seperti warna belang hitam (berwarna hitam putih), ujung ekor putih, bentuk kepala
yang panjang, dahi seperti cawan, moncong luas dan ambing besar serta simetris
(Dewan Standardisasi Indonesia, 1992). Menurut Blakely dan Blade (1994) sapi FH
memiliki berat 675 kg dengan rata-rata produksi susu per tahun 5.750-6.250 kg dan
berat lahir anak 42 kg. Karakteristik lainnya adalah temperamen tenang, kemampuan
merumputnya sedang dan masak kelamin lambat. Kadar lemak susu dari sapi FH
umumnya 3,5% - 3,7% dengan warna lemak kuning membentuk butiran-butiran
(globula) sehingga aman untuk konsumsi susu segar.
Produksi susu sapi FH saat ini di Indonesia memiliki produksi rata-rata
sekitar 10 liter/ekor/hari atau sekitar 3.471 kg/laktasi (Anggraeni, 2012). Meskipun
demikian bangsa sapi FH menghasilkan jumlah susu yang cukup tinggi dibandingkan
dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya baik di daerah subtropis maupun tropis.
Sifat Produksi Susu
Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi
keduanya. Musim, curah hujan, hari hujan, temperatur, kelembaban, tahun
pemeliharaan, dan peternakan juga merupakan faktor lingkungan yang banyak
mempengaruhi produksi susu. Kenyataannya, faktor-faktor tersebut seringkali
berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman produksi susu (Anggraeni,
1995; Indrijani, 2001). Falconer dan Mackay (1996) menjelaskan bahwa pada
program pemuliaan ternak, yang lebih penting dan mendapat perhatian adalah faktor
genetik karena faktor inilah yang diwariskan tetua kepada keturunannya. Faktor
lingkungan berupa iklim, pakan, dan pengelolaan merupakan faktor yang tidak
diwariskan (Kurnianto et al., 2008).
5
Kurva produksi susu dalam satu masa laktasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Produktivitas sapi perah dapat dievaluasi dengan cara pengukuran produksi susu
selama satu masa laktasi. Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu
masa laktasi hingga mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan
produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Penurunan produksi susu yang
terjadi setelah mencapai puncak laktasi adalah sekitar 6% setiap bulannya (Tyler dan
Ensminger, 2006).
Gambar 3. Kurva Produksi Susu
Sumber: Blakely dan Blade (1994)
Puncak produksi tergantung pada kondisi induk saat melahirkan, keturunan,
terbebasnya induk dari infeksi penyakit serta pakan setelah melahirkan. Induk yang
mengalami penurunan produksi susu secara cepat setelah produksi berarti
mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi adalah kemampuan induk
sapi mempertahankan tingkat produksi selama masa laktasi. Persistensi ini
dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi saat beranak, lama masa kering sebelumnya
dan jumlah pakan (Akers, 2002).
Umumnya lama masa laktasi adalah 10 bulan (305 hari) pada sapi-sapi yang
mempunyai selang beranak 12 bulan. Produksi air susu tertinggi diperoleh pada
periode laktasi keempat (Schmidt dan Van Vleck, 1974). Produksi susu total setiap
laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun,
atau pada laktasi ke-3 dan ke-4. Mulai dari laktasi pertama, produksi susu akan
6
meningkat sampai umur dewasa. Umur sapi yang semakin bertambah menyebabkan
penurunan produksi secara perlahan. Produksi susu pada laktasi pertama adalah 70%,
laktasi kedua adalah 80%, laktasi ketiga 90% dan laktasi keempat 95% dari produksi
susu pada umur dewasa dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada
umur dua tahun (Tyler dan Ensminger, 2006).
Produksi susu secara umum dipengaruhi oleh faktor biologis atau internal dan
factor eksternal. Faktor internal adalah faktor genetik, periode laktasi, frekuensi
pemerahan, umur dan ukuran tubuh ternak, masa kering, siklus estrus dan
kebuntingan, ketosis dan milk fever (Sudono et al., 2003), sedangkan faktor eksternal
adalah faktor yang berasal dari luar tubuh ternak seperti iklim, jumlah dan kualitas
pakan, penyakit dan parasit (Indrijani, 2001).
Faktor Koreksi Produksi Susu
Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal. Beberapa faktor internal seperti masa laktasi, umur beranak, dan masa
kosong, ataupun faktor eksternal seperti kondisi perusahaan tempat berproduksi,
tahun beranak dan musim beranak dapat memberikan kontribusi terhadap variasi
produksi susu dalam satu laktasi. Keadaan ini akan menutupi keragaman produksi
susu yang disebabkan oleh keragaman genetik (Anggraeni, 1995).
Produksi susu dapat disesuaikan atau dikoreksi ke arah standar tertentu.
Faktor koreksi yang paling umum digunakan adalah faktor koreksi produksi susu
yang disesuaikan ke arah lama laktasi 305 hari, umur induk dewasa dan pemerahan 2
kali perhari. Standardisasi lama laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa
seekor sapi perah paling optimal dapat beranak satu kali dalam satu tahun dengan
lama pengeringan 6 – 8 minggu. Umur dewasa sapi perah dicapai pada umur 66 – 72
bulan dan pada umur ini diharapkan telah mencapai produksi optimalnya
(Hardjosubroto, 1994).
Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina umumnya
menunjukan keragaman yang besar. Hasil-hasil yang telah diperoleh menunjukan
bahwa lama laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan
dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Sapi betina
dengan lama laktasi kurang dari 305 hari akan memiliki faktor koreksi yang nilainya
7
lebih besar dibandingkan dengan lama laktasi yang lebih dari 305 hari, sebaliknya
faktor koreksi untuk lama laktasi yang lebih dari 305 hari akan lebih kecil.
Hal lain yang juga mempengaruhi produksi susu adalah umur beranak.
Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu perlu dilakukan penyesuaian produksi susu
sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Alasan mendasar
dilakukan pengkoreksian dikarenakan umur beranak dapat menimbulkan bias dalam
evaluasi mutu genetik sapi betina. Pembakuan menjadi satu hal yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir bias dalam evaluasi tersebut. Miller et al. (2002) menyatakan
beberapa alasan dilakukannya pengkoreksian produksi susu terhadap umur beranak
adalah agar terpenuhinya beberapa tujuan seperti 1) menghilangkan bias ketika
membandingkan sapi betina dengan umur yang berbeda, 2) menurunkan keragaman
karena umur yang tidak sama, dan 3) guna mengestimasi produksi susu saat umur
dewasa yang mungkin dapat dihasilkan seekor sapi betina dalam kondisi faktor
lingkungan yang sama.
Ripitabilitas
Kurnianto (2009) menyatakan bahwa konsep ripitabilitas (r) digunakan untuk
mempelajari bagian ragam total suatu sifat pada suatu populasi yang disebabkan oleh
keragaman antar individu yang bersifat permanen pada periode produksi yang
berbeda. Ripitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran
suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut
hidup (Noor, 2010). Konsep angka pengulangan (repeatability) berguna untuk sifatsifat yang muncul berkali-kali selama hidup ternak, misalnya produksi susu, produksi
telur, produksi wool, dan lain-lain. Angka pengulangan (repeatibility) dapat
didefinisikan sebagai korelasi fenotip antara performan sekarang dengan performan
selanjutnya di masa yang akan datang pada satu individu.
Noor (2010) menyampaikan bahwa ripitabilitas digolongkan ke dalam rendah
jika nilainya kurang dari 0,2, sedang jika nilainya berkisar antara 0,2 dan 0,4, dan
tinggi jika nilainya lebih besar dari 0,4. Nilai ripitabilitas yang tinggi menunjukan
bahwa kemampuan ternak untuk mengulang sifat produksi susu pada periode laktasi
berikutnya juga akan tinggi. Sebaliknya, nilai ripitabilitas yang rendah menunjukan
bahwa ternak tersebut memiliki kemampuan yang rendah untuk mengulang sifat
produksi susu pada periode laktasi berikutnya.
8
Nilai ripitabilitas berguna untuk memperkirakan produktivitas di masa yang
akan datang dari ternak. Nilai ripitabilitas produksi susu sapi FH di berbagai wilayah
dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan nilai ripitabilitas yang berbeda dapat
disebabkan oleh perbedaan cara mengambil sampel, jumlah sampel, serta metode
yang digunakan.
Tabel 1. Ripitabilitas Produksi Susu Sapi FH di Berbagai Wilayah
No
Lokasi
Ripitabilitas
Sumber
1
BPT-HMT Baturraden
0,25±0,05
Gushairiyanto (1994)
2
Yayasan Santa Maria Rawaseneng
0,40±0,05
Mekir (1982)
3
PT Baru Adjak
0,62±0,03
Gushairiyanto (1994)
4
PT Taurus Dairy Farm
0,64±0,03
Gushairiyanto (1994)
5
Sumber Susu Indonesia
0,56±0,06
Maylinda (1986)
6
Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang
0,43±0,08
Maylinda (1986)
Heritabilitas
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa angka pewarisan (heritability)
dapat didefinisikan sebagai proporsi dari ragam genetik terhadap ragam fenotip.
Heritabilitas (h2) merupakan nilai yang mengukur kepentingan relatif antara
pengaruh genetik dan lingkungan untuk suatu sifat pada suatu populasi. Heritabilitas
juga dapat didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukan tingkat kesamaan
penampilan antara anak-anak dengan tetuanya. Selain itu, heritabilitas juga
merupakan suatu ukuran yang menggambarkan hubungan antara nilai fenotipik
dengan nilai pemuliaan (breeding value) untuk suatu sifat pada suatu populasi
(Kurnianto, 2009).
Nilai heritabilitas berselang antara 0 sampai 1. Kurnianto (2009) menyatakan
bahwa heritabilitas dikategorikan rendah (lowly heritable) jika nilai berselang antara
0 dan 0,15, dikategorikan sedang (moderately heritable) jika nilai berselang antara
0,15 dan 0,30 dan dikategorikan tinggi (highly heritable) jika nilai heritabilitas yang
didapat lebih dari 0,3. Nilai h2 yang mendekati 1 menunjukan bahwa suatu sifat
memberikan respon yang lebih baik terhadap perlakuan seleksi. Sebaliknya nilai h2
yang rendah untuk suatu sifat menunjukan bahwa respon seleksi akan lambat. Seekor
ternak yang menunjukan nilai heritabilitas yang tinggi pada suatu sifat diharapkan
dapat mempunyai anak dengan keunggulan yang sama pada sifat tersebut.
9
Sebaliknya, bila nilai heritabilitas dari sifat tersebut rendah maka keturunan dari
ternak tersebut tidak dipastikan mempunyai keunggulan sifat yang sama, karena
hanya sebagian kecil saja dari keunggulannya yang diwariskan kepada keturunannya.
Beberapa nilai heritabilitas produksi susu sapi FH di berbagai wilayah dapat
dilihat pada Tabel 2. Nilai pendugaan heritabilitas umumnya bervariasi tergantung
pada perbedaan cara pengambilan sampel, keterbatassan sampel, perbedaan metode
yang digunakan, dan managemen pada waktu pengamatan dilakukan.
Tabel 2. Heritabilitas Produksi Susu Sapi FH di Berbagai Wilayah
No
Heritabilitas
Sumber
BPT-HMT Baturraden
0,48±0,24
Gushairiyanto (1994)
BPT-HMT Baturraden
0,32±0,34
Hidayat (2000)
BPT-HMT Baturraden
0,23±0,08
Ekasanti et al. (2002)
BBPTU-SP Baturraden
0,352±0,04
Indrijani (2008)
2
Yayasan Santa Maria Rawaseneng
0,23±0,25
Mekir (1982)
3
Sumber Susu Indonesia
0,43±0,74
Maylinda (1986)
4
Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang
0,22±0,74
Maylinda (1986)
5
PT Baru Adjak
0,79±0,35
Kurnianto (1991)
0,67±0,22
Gushairiyanto (1994)
1
Lokasi
6
PT Surya Dairy Farm
0,19±0,53
Kurnianto (1991)
7
PT Taurus Dairy Farm
0,39±0,38
Kurnianto (1991)
8
BPPT Cikole
0,31±0,05
Indrijani (2001)
0,237±0,07
Indrijani (2008)
0,326±0,19
Indrijani (2008)
0,350±0,11
Indrijani (2008)
9
PT Bandang Dairy Farm
Seleksi
Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak
tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk
bereproduksi. Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan
menurunkan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan (Noor, 2010). Kurnianto
(2009) menjelaskan bahwa seleksi dalam ilmu pemuliaan diartikan sebagai upaya
memilih dan mempertahankan ternak-ternak yang dianggap baik untuk terus
dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan datang dan mengeluarkan (culling)
ternak-ternak yang dianggap kurang baik.
10
Seleksi dapat dilakukan pada ternak jantan maupun betina. Seleksi terhadap
sapi betina merupakan hal yang penting karena pemasukan utama bagi peternak
adalah hasil dari penjualan susu, maka produktivitas sapi betina merupakan hal yang
penting untuk diketahui. Sapi-sapi betina diurutkan berdasarkan produksi susunya
dari yang tertinggi sampai yang terendah. Informasi mengenai silsilah juga
merupakan salah satu hal yang harus diketahui khususnya untuk sapi dara yang
dipilih dengan tujuan sebagai pengganti (replacement) (Ensminger, 1980).
Produktivitas dari sapi betina tersebut juga dapat diturunkan kepada anaknya yang
diharapkan memiliki produktivitas yang sama atau lebih tinggi lagi.
Data sapi betina yang umumnya didapat saat akan melakukan seleksi antara
lain produksi per laktasi, kadar lemak susu, lama laktasi dan umur beranak. Faktorfaktor yang harus diperhatikan dalam memilih sapi betina yang akan dijadikan bibit
antara lain, bangsa sapi, umur sapi, silsilah (pedigree), penampakan luar (eksterior),
produksi dan kesehatan (Zein dan Sumaprastowo, 1985).
The Most Probable Producing Ability (MPPA)
Lasley (1978) menyatakan bahwa MPPA adalah regresi dari pencatatan masa
yang akan datang terhadap pencatatan saat ini, atau derajat dimana suatu catatan
berulang akan menghasilkan seleksi yang lebih efektif untuk produksi yang
berikutnya. MPPA digunakan untuk mengestimasi kemampuan produksi pada masa
yang akan datang, sehingga berdasarkan nilai MPPA yang tertinggi akan dapat
ditentukan induk-induk yang produktivitasnya tinggi sehingga dapat dipilih indukinduk yang akan dipertahankan.
MPPA mencerminkan kemampuan berulang seekor sapi perah dalam
produksi susu. Parameter genetik yang digunakan dalam metode ini adalah
ripitabilitas. Kegunaan ripitabilitas diantaranya adalah untuk menduga nilai
maksimum yang dapat dicapai heritabilitas, untuk menduga kemampuan produksi
dalam masa produksi seekor ternak (MPPA) dan untuk meningkatkan ketepatan
seleksi.
Predicted Breeding Value (PBV)
Nilai pemuliaan (breeding value) didefinisikan sebagai nilai seekor ternak
sebagai tetua (the value of an individual as a parent) yang diperoleh dari perkawinan
11
acak. Nilai pemuliaan memberikan gambaran tentang dugaan kemampuan
mewariskan sifat (Kurnianto, 2009). Pendugaan nilai pemuliaan sapi perah induk
dapat dilakukan dengan pengamatan catatan produksinya sendiri dan dapat ditambah
dengan catatan produksi kerabatnya. Induk yang memiliki nilai pendugaan PBV yang
tinggi (di atas rata-rata populasi) diharapkan dapat menghasilkan keturunan dengan
sifat produksi yang sama baiknya atau lebih baik dari produksi induknya, khususnya
jika dikawinkan dengan pejantan unggul.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai pemuliaan sapi
induk adalah Predicted Breeding Value (PBV). PBV sering dinyatakan sebagai
simpangan dari rata-rata populasi. Seleksi dengan dasar penampilan individu PBV
dari seekor ternak yang dinyatakan sebagai simpangan dari rata-rata kelompok atau
populasi.
12
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dan pengambilan data sekunder dilakukan selama bulan JanuariFebruari 2012 di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP)
Baturradden, Purwokerto. Pengolahan data sekunder dilakukan pada bulan FebruariApril 2012.
Materi
Materi yang digunakan adalah data sekunder produksi susu harian dari sapi
betina Friesian Holstein terhitung sejak tahun 2006-2011. Catatan produksi susu
berjumlah 537 catatan dari 213 ekor sapi betina. Catatan ini terdiri dari 178 catatan
periode laktasi pertama, 135 catatan periode laktasi kedua, 92 catatan periode laktasi
ketiga, 81 catatan periode laktasi keempat, 39 catatan periode laktasi kelima, dan 12
catatan periode laktasi yang lebih dari lima (keenam dan ketujuh). Catatan tersebut
lengkap dengan catatan individu berupa tanggal lahir dan identitas tetua baik induk
maupun pejantan, serta catatan reproduksinya meliputi tanggal kawin dan tanggal
beranak.
Prosedur
Data yang diperoleh merupakan data produksi susu harian dari individu yang
diuji yang dilengkapi dengan data tetua (induk dan bapak), tanggal lahir, tanggal
kawin, tanggal beranak dan tanggal kering. Data tersebut kemudian ditabulasikan
berdasarkan individu yang diuji beserta seluruh informasi individu tersebut.
Selanjutnya dari data tersebut masing-masing individu ditentukan lama laktasi,
produksi susu per laktasi, dan lama masa kering yang ditabulasikan setiap periode
laktasi. Umur beranak diketahui berdasarkan informasi tanggal lahir dan tanggal
beranak.
Produksi
susu
per
laktasi
dari
masing-masing
individu
kemudian
distandardisasi menggunakan faktor koreksi lama laktasi 305 hari dan umur dewasa
induk berdasarkan DHIA-USDA. Faktor koreksi terhadap panjang laktasi 305 hari
dan umur induk dewasa dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, dan 7. Setelah data
produksi susu terstandardisasi, nilai ripitabilitas dan heritabilitas dihitung. Nilai
ripitabilitas dan heritabilitas yang didapat kemudian digunakan sebagai dasar
13
pendugaan nilai MPPA dan PBV. Nilai pendugaan MPPA dan PBV sapi betina yang
telah didapat kemudian diurutkan berdasarkan nilai tersebut.
Rancangan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan pertama kali dengan melakukan standardisasi data ke
dalam faktor koreksi lama laktasi 305 hari dan umur dewasa induk. Data yang
diperoleh selanjutnya digunakan untuk analisis parameter genetik, yaitu ripitabilitas
produksi susu. Nilai ripitabilitas yang didapatkan digunakan untuk pendugaan nilai
MPPA yang selanjutnya diurutkan berdasarkan peringkat.
Ripitabilitas (r)
Perhitungan ripitabilitas produksi susu menggunakan metode sidik ragam
klasifikasi satu arah dengan banyaknya pengukuran per individu yang tidak sama
(Becker, 1975) dengan model statistiknya adalah sebagai berikut:
Keterangan:
: nilai produksi susu individu ke-k dari catatan pengukuran ke-m
: rataan produksi susu populasi
: pengaruh individu ke-k
: deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu kek dari catatan pengukuran ke-m
Tabel 3. Daftar Analisis Sidik Ragam Ripitabilitas
Sumber Keragaman
Antar Individu
Pengukuran dalam Individu
db
JK
KT
N-1
JKW
KTW
N(M-1)
JKE
KTE
Komponen KT
Keterangan:
N
: jumlah individu
M
: jumlah pengukuran per individu
k1
: koefisien komponen ragam
:
mk
m
∑
: jumlah pengukuran individu ke-k
: jumlah total pengukuran
: komponen ragam antar individu
:
: komponen ragam antar pengukuran dalam individu
14
Galat baku ripitabilitas dihitung berdasarkan rumus berikut:
√
Estimasi ripitabilitas dihitung dengan cara,
Keterangan:
r
: nilai ripitabilitas
: komponen ragam antar individu
: komponen ragam antar pengukuran dalam individu
Heritabilitas (h2)
Pendugaan nilai heritabilitas dihitung berdasarkan metode korelasi saudara
tiri (paternal halfsib correlation) dengan jumlah anak per pejantan yang tidak sama
(unbalance design) menurut Becker (1975). Model statistiknya adalah sebagai
berikut,
Keterangan:
: nilai produksi susu individu (anak) ke-k dari pejantan ke-i
: rataan produksi susu populasi
: pengaruh pejantan ke-i
: deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu (anak)
ke-i dari pejantan ke-k
Tabel 4. Daftar Analisis Sidik Ragam Heritabilitas
Sumber Keragaman
db
JK
KT
Antar Pejantan
S-1
JKs
KTs
Anak dalam Pejantan
n-S
JKw
KTw
Komponen KT
Keterangan:
S
: jumlah pejantan
n
: jumlah anak (individu)
k1
: koefisien komponen ragam
∑
:
)
: komponen ragam antar pejantan
:
: komponen ragam anak dalam pejantan
15
Estimasi heritabilitas dihitung berdasarkan rumus,
Keterangan:
: nilai heritabilitas
: komponen ragam antar pejantan
: komponen ragam anak dalam pejantan
Galat baku heritabilitas dihitung berdasarkan rumus berikut,
√
Keterangan:
t
: interclass correlation
:
Pendugaan Nilai The Most Probability Producing Ability (MPPA)
Perhitungan MPPA dapat dilakukan berdasarkan pendekatan Warwick (1983)
dengan rumus:
̅
̅
̅
Keterangan:
̅ : rataan produksi susu populasi
̅ : rataan produksi susu individu
n : jumlah catatan produksi
r
: ripitabilitas
Perhitungan Prediction Breeding Value (PBV)
Perhitungan PBV dapat dilakukan berdasarkan pendekatan Lasley (1978)
dengan rumus,
̅
Keterangan:
b
: heritabilitas (untuk data tunggal)
:
P
̅
̅
, untuk sebanyak n catatan
: produksi dari catatan tunggal pada ternak yang dihitung PBV-nya
: rata-rata produksi ternak lain pada waktu dan tempat yang sama
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah
(BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, lebih tepatnya di Farm Tegalsari. BBPTU-SP
Baturraden sendiri terdiri dari empat wilayah, yaitu Farm Tegalsari, Farm
Limpakuwus, area Munggangsari, dan Farm Manggala. BBPTU-SP Baturraden
berada di bagian selatan lereng kaki Gunung Slamet. Farm Tegalsari sendiri berada
di Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden, tepatnya di dalam kawasan wisata
Baturraden yang berjarak ±15 km ke arah Utara dari Purwokerto.
Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto
Temperatur rata-rata di daerah ini adalah 18-28 C dengan kelembaban
berkisar antara 70% - 80%. Keadaan klimatik di BBPTU-SP Baturraden tergolong
nyaman untuk hidup dan berproduksi bagi sapi perah yang berasal dari iklim sedang
seperti Friesian Holstein. Kisaran temperatur udara yang baik untuk sapi perah yang
berasal dari Eropa adalah sekitar 5-21 C dengan kelembaban relatif 50% - 70%
(Ensminger, 1980). Daerah ini juga memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu
sekitar 6.000-9.000 mm/tahun. Farm Tegalsari BBPTU-SP Baturraden memiliki
ketinggian tempat sekitar ±675 m dpl yang tergolong ke dalam dataran sedang
menurut Siregar (1990) karena berada pada kisaran ketinggian 250-750 m dpl.
Siregar (1990) menyatakan bahwa dataran rendah memiliki ketinggian di bawah 250
m dpl sedangkan dataran tinggi memiliki ketinggian di atas 750 m dpl.
17
Gambar 5. Lahan Pastura Farm Tegalsari BBPTU-SP Baturraden
Area Farm Tegalsari memiliki luas sekitar 34,18 ha. Keadaan lahan
permukaan relatif rata, kecuali di bagian Utara yang meninggi ke arah Utara
sedangkan di bagian Selatan cenderung menurun (0-15) ke arah Selatan dimana
hampir semuanya diperuntukan sebagai lahan tanaman pakan ternak. Lahan di bagian
Utara diperuntukan sebagai lahan exercise atau penggembalaan sapi.
Produksi Susu
Sapi-sapi betina yang diamati memiliki periode laktasi yang berbeda. Periode
laktasi tersebut berkisar antara laktasi pertama sampai laktasi ketujuh. Rataan
produksi susu real dan produksi susu yang telah distandardisasi ke dalam lama
laktasi 305 hari dan umur setara dewasa dari sapi Friesian Holstein betina di
BBPTU-SP Baturraden dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Produksi Susu per Laktasi di BBPTU-SP Baturraden
Rataan Produksi Susu per Laktasi (kg)
Sebelum koreksi
Setelah koreksi
Periode
Laktasi
n
Rataan Lama
Produksi (hari)
1
178
289
4.117±1.337
5.365±1.075
2
135
246
3.614±1.740
5.363±1.358
3
92
300
4.048±1.460
5.211±1.452
4
81
234
4.018±1.921
6.124±1.743
5
39
198
3.167±2.003
5.416±1.619
>5
12
174
2.518±2.194
4.644±1.563
3.859±1.615
5.440±1.362
Rata-rata
n: jumlah catatan
18
Produksi susu real dari laktasi pertama sampai laktasi yang lebih dari lima
bervariasi dari 2.518 sampai 4.048 kg/laktasi, dengan rataan produksi susu per laktasi
sekitar 3.859±1.615 kg/laktasi. Lama produksi dalam satu laktasi memberi pengaruh
yang sangat besar terhadap jumlah produksi susu. Produksi susu pada lama laktasi
yang lebih panjang umumnya lebih besar dari jumlah produksi susu dengan masa
laktasi yang lebih singkat. Lama produksi susu harus distandardisasi untuk
meminimalisasi pengaruh lama laktasi terhadap jumlah produksi susu dalam satu
periode laktasi.
Produksi susu real tertinggi terdapat pada laktasi ketiga yaitu sekitar
4.048±1.460 kg/laktasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Philips (2002) bahwa
produksi air susu tertinggi diperoleh pada periode laktasi ketiga. Rataan panjang
laktasi pada periode laktasi ketiga adalah 300 hari. Hal ini menunjukan bahwa rataan
produksi susu per hari pada periode laktasi ketiga adalah 13,5 kg/hari. Rataan
produksi susu per hari secara keseluruhan di BBPTU-SP Baturraden adalah sekitar
15 kg/hari.
Produksi susu real distandardisasi untuk menghilangkan pengaruh non
genetik. Rataan produksi susu yang telah distandardisasi dari laktasi pertama sampai
laktasi yang lebih dari lima bervariasi dari 5.211 sampai 6.124 kg/laktasi, dengan
rata-rata produksi per laktasi sekitar 5.440±1.362 kg/laktasi.
Gambar 6. Sapi Betina FH di BBPTU-SP Baturraden
Faktor koreksi dilakukan terhadap lama laktasi 305 hari dan umur induk
dewasa. Produksi susu rata-rata sebelum dikoreksi adalah sekitar 3.859±1.615
kg/laktasi dengan keragaman sekitar 41,8%. Produksi susu rata-rata setelah
dilakukan koreksi adalah 5.440±1.362 kg/laktasi dengan keragaman sekitar 25%.
19
Adanya penurunan keragaman ini menunjukan bahwa koreksi data yang dilakukan
dapat menurunkan variasi produksi antar individu sebesar 16,8%. Hasil penelitian
Ekasanti et al. (2002) juga menunjukan bahwa penurunan keragaman variasi
produksi antar induvidu sebesar 8,41%.
Parameter Genetik
Parameter genetik yang diamati adalah heritabilitas (h2) dan ripitabilitas (r).
Heritabilitas didasarkan pada metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib
correlation), sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam
klasifikasi satu arah. Kedua parameter genetik ini selanjutnya digunakan untuk
menentukan nilai MPPA dan PBV dari masing-masing ternak. Nilai heritabilitas dan
ripitabilitas dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Heritabilitas dan Ripitabilitas di BBPTU-SP Baturraden
Parameter Genetik
h2
Nilai
0,40±0,36
r
0,84±0,02
Ripitabilitas
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa konsep ripitabilitas menunjukan
sejauh mana hubungan antara produksi pertama dengan produksi berikutnya pada
individu. Nilai ripitabilitas produksi susu di BBPTU-SP Baturraden yang diperoleh
adalah sekitar 0,84±0,02. Nilai ripitabilitas ini tergolong tinggi. Noor (2010)
menyampaikan bahwa ripitabilitas tergolong ke dalam kategori rendah jika nilainya
lebih rendah dari 0,2, tergolong sedang jika nilainya berkisar antara 0,2–0,4, dan
tegolong tinggi jika nilainya lebih besar dari 0,4.
Nilai ripitabilitas ini jelas lebih besar dari pernyataan Warwick dan Legates
(1979) bahwa nilai ripitabilitas produksi susu berkisar antara 0,35–0,50. Lasley
(1978) juga menyatakan bahwa nilai ripitabilitas produksi susu sapi perah adalah
sekitar 0,41–0,64. Nilai ripitabilitas yang didapat juga lebih tinggi dari pernyataan
Gushairiyanto (1994) yang menyatakan nilai ripitabilitas di BBPTU-SP Baturraden
adalah sebesar 0,25±0,05. Hardjosubroto (1994) juga menyatakan bahwa nilai
heritabilitas produksi susu umumnya adalah 0,4–0,6. Perbedaan ini dapat disebabkan
oleh perbedaan cara mengambil sampel, jumlah sampel dan metode yang digunakan.
20
Ripitabilitas yang didapatkan bernilai tinggi yang kemungkinan dikarenakan variasi
produksi antar individu yang tinggi. Selain itu, variasi faktor lingkungan tetap yang
tinggi juga dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap nilai ripitabilitas.
Nilai ripitabilitas ini berguna untuk memperkirakan produktivitas di masa yang akan
datang dari ternak.
Heritabilitas
Nilai heritabilitas produksi susu di BBPTU-SP Baturraden dihitung dengan
menggunakan korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation) dari 78 ekor
pejantan. Nilai heritabilitas yang diperoleh yaitu 0,40±0,36. Nilai ini tergolong ke
dalam heritabilitas yang tergolong sedang sebagaimana yang dinyatakan oleh Noor
(2010) serta Warwick dan Legates (1979) bahwa nilai heritabilitas yang lebih kecil
dari 0,2 tergolong rendah, kisaran 0,2-0,4 tergolong sedang dan tergolong tinggi jika
nilainya lebih dari 0,4.
Hasil perhitungan heritabilitas ini sesuai dengan pernyataan Hardjosubroto
(1994) bahwa nilai heritabilitas produksi susu sapi perah berkisar antara 0,2-0,4.
Nilai heritabilitas ini juga lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan Indrijani (2008)
di tempat yang sama dengan nilai 0,352±0,04. Hal ini dapat dikarenakan beberapa
faktor, antara lain perbedaan cara pengambilan sampel, keterbatasan sampel,
perbedaan metode yang digunakan dan managemen pada waktu pengamatan.
Pendugaan nilai heritabilitas ini diharapkan dapat mewariskan sifat produksi susu
pada keturunannya dengan kemajuan genetik yang tinggi (Bourdon, 1997).
Kecermatan perhitungan nilai heritabilitas akan lebih baik jika paling sedikit
terdapat lima ekor penjantan dengan jumah anak sekitar 10 ekor per pejantan
(Dalton, 1981). Penelitian ini mengggunakan lebih dari 10 ekor pejantan untuk
pendugaan nilai heritabilitas, namun jumlah anak per pejantan tidak seluruhnya lebih
dari 10 ekor. Hal ini dapat menjadi suatu kekurangan dalam kecermatan perhitungan
heritabilitas.
Pendugaan Nilai MPPA
Kemampuan produksi individu sapi dapat diketahui dengan metode MPPA.
Daya produksi susu yang diketahui dari perhitungan MPPA merupakan pendugaan
produksi susu pada laktasi berikutnya. Ternak yang memiliki daya produksi yang
21
tinggi akan mempunyai peringkat MPPA yang tinggi dibandingkan dengan rataan
populasi.
Rata-rata pendugaan nilai MPPA yang didapatkan adalah 5.443 kg. Nilai
hasil pendugaan MPPA menunjukan bahwa sebesar 48% atau sekitar 102 ekor dari
213 ekor sapi betina yang diamati berada di atas nilai rataan, sedangkan sisanya
berada di bawah nilai rataan. Pendugaan daya produksi susu tertaksir (MPPA)
memperoleh hasil bahwa nilai tertinggi terdapat pada sapi dengan nomor identitas
125. Sapi ini mempunyai nilai pendugaan MPPA sebesar 7.701 kg. Sapi tersebut
diperkirakan dapat menghasilkan susu 7.701 kg lebih tinggi pada laktasi-laktasi
berikutnya. Hasil dari pendugaan ini menunjukan bahwa produksi susu sapi dengan
nomor identitas 125 adalah 2.258 kg lebih tinggi dibandingkan dengan rataan
produksi susu dari sapi lain yang diamati di BBPTU-SP Baturraden.
Nilai terendah pada pendugaan nilai MPPA adalah 3.151 kg. Peringkat
terendah ini terdapat pada sapi dengan nomor identitas 1878-07. Sapi dengan nomor
identitas 1878-07 memiliki produksi susu 2.292 kg lebih rendah dibandingkan
dengan sapi lainnya dalam populasi.
Peringkat MPPA digunakan untuk seleksi terhadap induk yang akan
dipertahankan di peternakan berdasarkan produksinya yang tinggi. Umumnya ternak
yang dipertahankan adalah sekitar 50% peringkat terbaik dari populasi (Direktorat
Pembibitan, 2012). Data keseluruhan ternak beserta nilai MPPA dan PBV dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Pendugaan Nilai PBV
PBV atau dugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak dalam menghasilkan susu.
Ternak dengan nilai pemuliaan terbaik diharapkan dapat mewariskan gen kepada
keturunannya, sehingga keturunannya memiliki kemampuan produksi yang baik
pula. Perhitungan yang dilakukan dengan metode ini diharapkan dapat mengevaluasi
ternak yang memiliki kemampuan mewariskan sifat produksi susu kepada
keturunannya.
Pendugaan nilai PBV dihitung sebagai estimasi dari nilai pemuliaan ternak.
Nilai rata-rata pendugaan PBV dari 213 ekor sapi betina FH yang diamati adalah
5.462 kg. Nilai hasil pendugaan PBV juga menunjukan bahwa sebesar 48% atau
22
sekitar 102 ekor dari sapi betina yang diamati berada di atas nilai rataan, sedangkan
sisanya berada di bawah nilai rataan.
Tabel 7. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Sapi FH Betina Terbaik di BBPTU-SP
Baturraden
No Identitas
125
n
1
MPPA (kg)
7.701
PBV (kg)
6.533
Peringkat
1
1899-08
1
7.525
6.450
2
027
3
7.303
6.344
3
066
3
7.247
6.318
4
078
4
7.194
6.293
5
1886-07
1
7.172
6.282
6
008
1
7.115
6.255
7
056
1
7.031
6.215
8
1786-06
1
7.030
6.215
9
067
4
7.016
6.209
10
0030
4
7.008
6.205
11
1874-07ET
2
6.975
6.189
12
076
4
6.947
6.175
13
054
4
6.932
6.168
14
006
4
6.906
6.156
15
1890-08
1
6.857
6.133
16
016
4
6.832
6.121
17
028
4
6.818
6.115
18
1889-08
1
6.814
6.112
19
0306-07
2
6.752
6.083
20
0343-07
1
6.748
6.081
21
0269-07
1
6.716
6.066
22
n : jumlah catatan laktasi
Sapi betina dengan nilai PBV tertinggi adalah sapi dengan nomor identitas
125 yang memiliki nilai pendugaan PBV sebesar 6.533 kg. Sapi ini diduga memiliki
keunggulan genetik produksi susu sebesar 6.533 kg. Hasil pendugaan ini
menunjukan bahwa sapi dengan nomor identitas 125 memiliki keunggulan genetik
23
produksi susu 1.071 kg lebih tinggi dibandingkan dengan rataan produksi susu dari
sapi-sapi lain yang diamati pada penelitian ini. Nilai pendugaan PBV terendah adalah
4.375 kg pada sapi dengan nomor identitas 1878-09. Sapi ini memiliki keunggulan
genetik produksi susu 1.087 kg lebih rendah dibandingkan dengan rataan populasi
yang diamati.
Nilai pendugaan PBV umumnya digunakan untuk melakukan seleksi
terhadap induk yang akan menghasilkan bibit serta untuk replacement stock.
Umumnya ternak yang digunakan sebagai bibit adalah 10% terbaik dari seluruh
betina yang diseleksi dalam populasi (Direktorat Jenderal Pembibitan, 2012). Nilai
MPPA dan PBV dari 10% betina terbaik di BBPTU-SP Baturraden dapat dilihat pada
Tabel 7. Replacement stock ditujukan untuk menggantikan induk yang ada
sebelumnya sehingga produksi susu dapat terus berjalan. Sapi betina yang dapat
digunakan sebagai replacement stock dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil perankingan menunjukan bahwa seekor ternak selalu mendapat
peringkat yang sama berdasarkan nilai MPPA dan PBV. Hal ini menunjukan bahwa
ternak yang mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi juga akan memiliki
kemampuan pewarisan sifat yang tinggi. Penelitian mengenai kemampuan produksi
tertaksir dan nilai pemuliaan juga dilakukan oleh Nugroho (2004) di PT. Taurus
Dairy Farm, yang memperoleh hasil bahwa ternak yang memperoleh peringkat tinggi
pada perhitungan nilai pemuliaan juga akan memiliki peringkat yang tinggi pada
perhitungan kemampuan produksi tertaksir.
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Rataan produksi susu real per laktasi yang paling tinggi didapat pada laktasi
ketiga yaitu sekitar 4.048±1.460 kg, dengan rataan produksi susu per ekor secara
keseluruhan sekitar 15 kg per hari. Nilai ripitabilitas produksi susu yang diperoleh
adalah 0,84±0,02. Daya pengulangan sifat produksi susu tergolong tinggi. Nilai ini
sangat tinggi kemungkinan dikarenakan variasi produksi antar individu yang tinggi
pula. Nilai heritabilitas produksi susu yang diperoleh adalah 0,40±0,36 yang
tergolong sedang dimana kemampuan induk untuk menurunkan sifat produksi susu
cukup baik kepada anaknya. Sapi yang dipertahankan dan dijadikan sebagai
replacement stock merupakan sapi dengan peringkat 50% terbaik, sedangkan sapi
yang digunakan bibit adalah sapi dengan peringkat 10% terbaik. Sapi terbaik
berdasarkan nilai pendugaan MPPA dan PBV adalah sapi dengan nomor identitas
125 dengan nilai pendugaan masing-masing 7.701 kg dan 6.533 kg.
Saran
Upaya peningkatan akurasi dalam pendugaan parameter genetik (ripitabilitas
dan heritabilitas) perlu didukung oleh kelengkapan data. Pendugaan nilai heritabilitas
perlu didukung oleh jumlah anak per pejantan untuk meningkatkan akurasi.
Pendugaan ripitabilitas perlu didukung oleh kelengkapan catatan produksi susu setiap
laktasinya. Pertimbangan pemilihan sapi betina untuk bibit dan replacement stock
berdasarkan nilai PBV perlu mempertimbangkan jumlah dan kelengkapan catatan
serta umur ternak tersebut. Pertimbangan dalam mempertahankan ternak dalam
peternakan dapat diestimasi berdasarkan peringkat nilai PBV. Manajemen
pemeliharaan, reproduksi, dan pemuliaan harus tetap diterapkan dan ditingkatkan.
Evaluasi terhadap efektivitas program yang ada di BBPTU-SP juga perlu dilakukan
agar dapat terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi FH betina yang ada
disana.
25
POTENSI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH
BATURRADEN, PURWOKERTO
SKRIPSI
ERNI SITI WAHYUNI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
POTENSI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH
BATURRADEN, PURWOKERTO
SKRIPSI
ERNI SITI WAHYUNI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
RINGKASAN
Erni Siti Wahyuni. D14080046. 2012. Potensi Genetik Produksi Susu Sapi
Friesian Holstein Betina di BBPTU Sapi Perah Baturraden, Purwokerto.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
: Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D
Kebutuhan akan susu yang semakin meningkat belum bisa diimbangi oleh
produksi susu dalam negeri. Sapi perah betina, khususnya sapi bangsa Friesian
Holstein (FH), memegang peranan penting dalam memproduksi susu di dalam
negeri. Seleksi terhadap sapi betina FH diharapkan akan mampu meningkatkan nilai
pemuliaannya pada suatu peternakan. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Perah (BBPTU-SP) Baturraden adalah balai pemerintahan yang khusus menangani
pembibitan sapi perah betina atau indukan. Sebagai pusat sapi FH betina di
Indonesia, BBPTU-SP harus memiliki indukan terbaik, sehingga dapat digunakan
sebagai sapi bibit atau induk yang menghasilkan keturunan dengan kemampuan
produksi susu yang baik. Potensi genetik sapi betina FH dapat dilihat berdasarkan
catatan produksinya melalui pendugaan nilai parameter genetik, sehingga parameter
genetik tersebut dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya evaluasi terhadap nilai
pemuliaan dan keunggulan genetiknya melalui metode MPPA dan PBV.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengetahui potensi genetik
produksi susu dari sapi Friesian Holstein betina di BBPTU-SP Baturraden,
Purwokerto. Penelitian ini menggunakan catatan produksi susu harian yang terhitung
sejak tahun 2006-2011. Catatan tersebut merupakan catatan produksi susu dari 213
ekor sapi betina yang berjumlah 537 catatan. Catatan produksi susu harian kemudian
sel
Erni Siti Wahyuni. D14080046. 2012. Potensi Genetik Produksi Susu Sapi
Friesian Holstein Betina di BBPTU Sapi Perah Baturraden, Purwokerto.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
: Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D
Kebutuhan akan susu yang semakin meningkat belum bisa diimbangi oleh
produksi susu dalam negeri. Sapi perah betina, khususnya sapi bangsa Friesian
Holstein (FH), memegang peranan penting dalam memproduksi susu di dalam
negeri. Seleksi terhadap sapi betina FH diharapkan akan mampu meningkatkan nilai
pemuliaannya pada suatu peternakan. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Perah (BBPTU-SP) Baturraden adalah balai pemerintahan yang khusus menangani
pembibitan sapi perah betina atau indukan. Sebagai pusat sapi FH betina di
Indonesia, BBPTU-SP harus memiliki indukan terbaik, sehingga dapat digunakan
sebagai sapi bibit atau induk yang menghasilkan keturunan dengan kemampuan
produksi susu yang baik. Potensi genetik sapi betina FH dapat dilihat berdasarkan
catatan produksinya melalui pendugaan nilai parameter genetik, sehingga parameter
genetik tersebut dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya evaluasi terhadap nilai
pemuliaan dan keunggulan genetiknya melalui metode MPPA dan PBV.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengetahui potensi genetik
produksi susu dari sapi Friesian Holstein betina di BBPTU-SP Baturraden,
Purwokerto. Penelitian ini menggunakan catatan produksi susu harian yang terhitung
sejak tahun 2006-2011. Catatan tersebut merupakan catatan produksi susu dari 213
ekor sapi betina yang berjumlah 537 catatan. Catatan produksi susu harian kemudian
selanjutnya diakumulasikan menjadi produksi susu per laktasi. Produksi susu per
laktasi tersebut kemudian distandardisasi ke dalam lama laktasi 305 hari dan umur
setara dewasa berdasarkan faktor koreksi DHIA-USDA. Perhitungan heritabilitas
dilakukan dengan metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation),
sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam klasifikasi satu
arah. Daya pewarisan sifat dari sapi betina ini dihitung dengan menggunakan metode
Predicted Breeding Value (PBV) sedangkan pendugaan keunggulan produksi
susunya menggunakan metode The Most Probable Producing Ability (MPPA).
Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai heritabilitas yang didapat tergolong
sedang dengan nilai 0,40±0,36. Ripitabilitas produksi susu yang diperoleh di
BBPTU-SP Baturraden tergolong tinggi dengan nilai 0,84±0,02. Sapi betina dengan
peringkat terbaik berdasarkan nilai MPPA dan PBV adalah sapi dengan nomor
identitas 125. Sapi ini memiliki nilai pendugaan MPPA sebesar 7.701 kg yang
artinya sapi ini diduga akan menghasilkan produksi susu sebesar 7.701 kg pada
laktasi berikutnya. Nilai pendugaan PBV yang diperoleh adalah sebesar 6.533 kg,
artinya sapi ini memiliki keunggulan genetik produksi susu sebesar 6.533 kg.
Kata-kata kunci: Sapi Friesian Holstein, potensi genetik, produksi susu.
ii
ABSTRACT
Genetic Ability of Friesian Holstein Cow’s Milk Production in BBPTU-Sapi
Perah Baturraden, Purwokerto.
Wahyuni, E.S., Jakaria, A. Anggraeni
Genetic ability improvement effort of dairy cattle’s milk production can be done by
selection of the cow. Friesian Holstein is the most popular dairy cow to be used.
Inheritance ability and estimation of production traits can be evaluated according to
the milk yield record. The objectives of this research were to estimated the genetic
ability of the dairy cow in BBPTU-SP Baturraden by using two methods and to test
rank of genetic superiority. Daily milk production collected 537 records of 213 dairy
cows. Data collected from 2006 to 2011 which originated from BBPTU-SP
Baturraden, Purwokerto. The daily milk production was rearranged into milk yield
per lactation. The real milk yield was standardized to 305 days and mature equivalent
based on DHIA-USDA’s correction factors. Repeatibility estimation was done by
one way classification with unequal numbers of measurements per individual
(unbalanced design). Meanwhile heritability estimation was done by using anysis of
variance the interclass correlation between paternal halfsib. The methods were used
to estimated the genetic ability, namely Most Probable Producing Ability (MPPA)
and Predicted Breeding Value (PBV). Repeatibility and heritability value of milk
production are recorded as 0.84±0.02 and 0,40±0,36. Based on the evaluation on 213
heads of HF cows, it was obtained that the average value of MPPA was 5,443±895
kg (3151-7701 kg) and that for PBV was 5,462±425 kg (4375-6533 kg). The best
cow was identified for the ID 125 having the MPPA value by 7,701 kg and the PBV
value by 6,533 kg.
Keywords: Holstein Friesian, genetic ability, milk yield.
iii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan salah satu produk hasil ternak yang sudah tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
melaporkan bahwa konsumsi susu masyarakat Indonesia sudah mencapai 16,421
kg/kapita/tahun. Laju konsumsi ini diperkirakan akan semakin meningkat setiap
tahunnya. Kenyataannya, produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi
sekitar 35% saja dari kebutuhan susu nasional, sedangkan sebagian besar sisanya
dipenuhi oleh susu impor. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan
menjadi hal yang mendapat perhatian, khususnya karena kualitas dan kuantitas susu
yang belum memadai. Produksi susu dari sapi perah merupakan faktor penting yang
menyangkut ketersediaan susu. Produksi susu menjadi hal utama pada suatu
peternakan sapi perah berdasarkan faktor ekonomis. Peningkatan produksi susu ini
dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas atau populasi dari sapi perah
betina laktasi.
Peningkatan produktivitas merupakan salah satu cara dalam meningkatkan
produksi susu nasional. Pemuliaan memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam
usaha peningkatan produktivitas ternak karena dapat meningkatan potensi genetik
ternak menjadi lebih baik lagi. Sapi perah betina mempunyai kemampuan produksi
susu yang berbeda-beda. Produksi susu sapi perah merupakan sifat yang
dikendalikan oleh banyak gen (kuantitatif), sehingga ekspresinya merupakan
akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya. Faktor genetik
merupakan hal yang lebih penting dan lebih memperoleh perhatian pada program
pemuliaan ternak karena unsur inilah yang diwariskan tetua kepada keturunannya
(Falconer dan Mackay, 1996).
Kegiatan pemuliaan mencakup dua hal, yaitu seleksi dan persilangan.
Pemilihan sapi perah betina atau seleksi sangat penting untuk dilakukan. Seleksi
memberikan hasil yang permanen dan berakumulasi. Kurnianto et al. (2008)
menyatakan bahwa pelaksanaan seleksi didasari alasan untuk mempertahankan
jumlah ternak yang ada, dikawinkan dengan pejantan unggul untuk memperoleh anak
betina yang unggul dan dapat digunakan sebagai pengganti induk (replacement) dan
akan memperoleh anak jantan yang akan digunakan sebagai pemacek dalam program
1
inseminasi buatan. Seleksi dilakukan untuk mengetahui sapi perah betina yang
memiliki kemampuan produksi yang tinggi dan dapat mewariskan sifat tersebut
kepada keturunannya. Berdasarkan alasan tersebut, perlu dilakukan evaluasi
mengenai keunggulan genetik produksi susu.
Prinsip evaluasi adalah dengan mengetahui parameter-parameter genetik yang
kemudian digunakan untuk mengetahui produktivitas ternak tersebut. Metode yang
dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap kemampuan produksi susu
adalah MPPA (Most Probable Producing Ability) dan PBV (Predicted Breeding
Value). Evaluasi genetik sifat produksi susu perlu dilakukan pada Balai Pembibitan
Ternak Unggul yang menjadi acuan peternak di Indonesia untuk mendapatkan ternak
unggul.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dan mengetahui potensi genetik
sifat produksi susu sapi Friesian Holstein betina di Balai Besar Pembibitan Ternak
Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, berdasarkan pendugaan
nilai MPPA dan PBV.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Sapi Perah di Indonesia
Usaha peternakan sapi perah yang diusahakan oleh pribumi diperkirakan
berdiri sekitar tahun 1925. Usaha ini berlanjut secara bertahap sampai saat ini.
Peternak-peternak kecil juga melakukan usaha sampingan untuk menghasilkan susu
dengan kepemilikan sekitar 2-3 ekor sapi perah. Sapi-sapi perah tersebut berasal dari
perusahaan-perusahaan susu yang telah mengalami kehancuran pada masa-masa
Pemerintahan Penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Peternak
umumnya para petani di daerah dataran tinggi yang memelihara sapi dengan tujuan
utama untuk mendapatkan pupuk kandang, sedangkan susu hanya menjadi tujuan
Produksi Susu (ribu ton)
kedua.
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
910
926
2010
2011
827
647
568
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1. Produksi Susu Nasional (2007-2011)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
Industri ini mulai berkembang dengan pesat sejak awal tahun 1980.
Pemerintah mulai melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi
susu dalam negeri untuk kebutuhan masyarakat. Produksi susu di dalam negeri saat
ini baru memenuhi sekitar 35% dari kebutuhan susu nasional. Produksi susu tersebut
belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat walaupun terjadi peningkatan
produksi di setiap tahunnya. Jika populasi sapi laktasi di Indonesia diestimasi sekitar
60% dari jumlah populasi seluruhnya, maka produksi susu saat ini adalah sekitar
925.800 ton dari 358.000 ekor sapi FH. Rataan produksi susu per tahunnya adalah
sekitar 2.586 kg/tahun. Rataan produksi susu ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata
3
produksi susu pada tahun 2007, yaitu sekitar 2.535 kg/tahun. Grafik produksi susu
sejak tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi susu nasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Laju
peningkatan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 28%. Laju
peningkatan produksi susu dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-turut adalah 14%,
28%, 10%, dan 2%. Rataan laju peningkatan produksi susu di Indonesia sejak tahun
2007 sampai 2011 adalah sekitar 13,5%.
Populasi ternak sapi perah juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Grafik populasi ternak sapi perah dapat dilihat pada Gambar 2. Populasi tersebut
sebagian besar berada di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur (49,6%), Jawa Tengah
(25,1%), dan Jawa Barat (23,4%). Laju peningkatan populasi paling tinggi yang
sama terjadi pada tahun 2008 dan 2011 yaitu sebesar 22%. Laju peningkatan
populasi sapi perah dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-turut adalah 22%, 4%,
0,2%, dan 22%. Laju peningkatan populasi sapi perah di Indonesia sejak tahun 2007
sampai 2011 adalah sekitar 12%.
Jumlah Ternak (ribu ekor)
700
600
597
500
400
300
488
458
475
2008
2009
2010
Tahun
374
200
100
0
2007
2011
Gambar 2. Populasi Ternak Sapi Perah (2007-2011)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)
Sapi Friesian Holstein
Sapi perah termasuk ke dalam family Bovidae, sub family Bovinae dan genus
Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos
taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi
berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan dari
4
keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi yang berasal dari Bos taurus dan banyak
dikembangkan antara lain adalah Holstein, Brown Swiss, Ayshire, Guernsey dan
Jersey. Bangsa sapi perah yang umum dikembangkan di Indonesia adalah bangsa
Friesian Holstein (FH). Sapi FH berasal dari provinsi Friesland, Belanda. Bangsa
sapi ini adalah bangsa sapi perah yang tertua, terkenal, dan tersebar hampir di seluruh
dunia (Sudono et al., 2003).
Sapi perah Fries Holland berasal dari Belanda Utara atau Friesian Barat. Di
Amerika dikenal antara lain sapi Friesian Holstein (FH) dan Holstein, sedangkan di
Eropa dikenal sapi perah Friesian (Sudono et al., 2003). Sapi FH memiliki ciri-ciri
seperti warna belang hitam (berwarna hitam putih), ujung ekor putih, bentuk kepala
yang panjang, dahi seperti cawan, moncong luas dan ambing besar serta simetris
(Dewan Standardisasi Indonesia, 1992). Menurut Blakely dan Blade (1994) sapi FH
memiliki berat 675 kg dengan rata-rata produksi susu per tahun 5.750-6.250 kg dan
berat lahir anak 42 kg. Karakteristik lainnya adalah temperamen tenang, kemampuan
merumputnya sedang dan masak kelamin lambat. Kadar lemak susu dari sapi FH
umumnya 3,5% - 3,7% dengan warna lemak kuning membentuk butiran-butiran
(globula) sehingga aman untuk konsumsi susu segar.
Produksi susu sapi FH saat ini di Indonesia memiliki produksi rata-rata
sekitar 10 liter/ekor/hari atau sekitar 3.471 kg/laktasi (Anggraeni, 2012). Meskipun
demikian bangsa sapi FH menghasilkan jumlah susu yang cukup tinggi dibandingkan
dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya baik di daerah subtropis maupun tropis.
Sifat Produksi Susu
Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi
keduanya. Musim, curah hujan, hari hujan, temperatur, kelembaban, tahun
pemeliharaan, dan peternakan juga merupakan faktor lingkungan yang banyak
mempengaruhi produksi susu. Kenyataannya, faktor-faktor tersebut seringkali
berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman produksi susu (Anggraeni,
1995; Indrijani, 2001). Falconer dan Mackay (1996) menjelaskan bahwa pada
program pemuliaan ternak, yang lebih penting dan mendapat perhatian adalah faktor
genetik karena faktor inilah yang diwariskan tetua kepada keturunannya. Faktor
lingkungan berupa iklim, pakan, dan pengelolaan merupakan faktor yang tidak
diwariskan (Kurnianto et al., 2008).
5
Kurva produksi susu dalam satu masa laktasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Produktivitas sapi perah dapat dievaluasi dengan cara pengukuran produksi susu
selama satu masa laktasi. Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu
masa laktasi hingga mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan
produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Penurunan produksi susu yang
terjadi setelah mencapai puncak laktasi adalah sekitar 6% setiap bulannya (Tyler dan
Ensminger, 2006).
Gambar 3. Kurva Produksi Susu
Sumber: Blakely dan Blade (1994)
Puncak produksi tergantung pada kondisi induk saat melahirkan, keturunan,
terbebasnya induk dari infeksi penyakit serta pakan setelah melahirkan. Induk yang
mengalami penurunan produksi susu secara cepat setelah produksi berarti
mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi adalah kemampuan induk
sapi mempertahankan tingkat produksi selama masa laktasi. Persistensi ini
dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi saat beranak, lama masa kering sebelumnya
dan jumlah pakan (Akers, 2002).
Umumnya lama masa laktasi adalah 10 bulan (305 hari) pada sapi-sapi yang
mempunyai selang beranak 12 bulan. Produksi air susu tertinggi diperoleh pada
periode laktasi keempat (Schmidt dan Van Vleck, 1974). Produksi susu total setiap
laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun,
atau pada laktasi ke-3 dan ke-4. Mulai dari laktasi pertama, produksi susu akan
6
meningkat sampai umur dewasa. Umur sapi yang semakin bertambah menyebabkan
penurunan produksi secara perlahan. Produksi susu pada laktasi pertama adalah 70%,
laktasi kedua adalah 80%, laktasi ketiga 90% dan laktasi keempat 95% dari produksi
susu pada umur dewasa dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada
umur dua tahun (Tyler dan Ensminger, 2006).
Produksi susu secara umum dipengaruhi oleh faktor biologis atau internal dan
factor eksternal. Faktor internal adalah faktor genetik, periode laktasi, frekuensi
pemerahan, umur dan ukuran tubuh ternak, masa kering, siklus estrus dan
kebuntingan, ketosis dan milk fever (Sudono et al., 2003), sedangkan faktor eksternal
adalah faktor yang berasal dari luar tubuh ternak seperti iklim, jumlah dan kualitas
pakan, penyakit dan parasit (Indrijani, 2001).
Faktor Koreksi Produksi Susu
Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal. Beberapa faktor internal seperti masa laktasi, umur beranak, dan masa
kosong, ataupun faktor eksternal seperti kondisi perusahaan tempat berproduksi,
tahun beranak dan musim beranak dapat memberikan kontribusi terhadap variasi
produksi susu dalam satu laktasi. Keadaan ini akan menutupi keragaman produksi
susu yang disebabkan oleh keragaman genetik (Anggraeni, 1995).
Produksi susu dapat disesuaikan atau dikoreksi ke arah standar tertentu.
Faktor koreksi yang paling umum digunakan adalah faktor koreksi produksi susu
yang disesuaikan ke arah lama laktasi 305 hari, umur induk dewasa dan pemerahan 2
kali perhari. Standardisasi lama laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa
seekor sapi perah paling optimal dapat beranak satu kali dalam satu tahun dengan
lama pengeringan 6 – 8 minggu. Umur dewasa sapi perah dicapai pada umur 66 – 72
bulan dan pada umur ini diharapkan telah mencapai produksi optimalnya
(Hardjosubroto, 1994).
Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina umumnya
menunjukan keragaman yang besar. Hasil-hasil yang telah diperoleh menunjukan
bahwa lama laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan
dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Sapi betina
dengan lama laktasi kurang dari 305 hari akan memiliki faktor koreksi yang nilainya
7
lebih besar dibandingkan dengan lama laktasi yang lebih dari 305 hari, sebaliknya
faktor koreksi untuk lama laktasi yang lebih dari 305 hari akan lebih kecil.
Hal lain yang juga mempengaruhi produksi susu adalah umur beranak.
Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu perlu dilakukan penyesuaian produksi susu
sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Alasan mendasar
dilakukan pengkoreksian dikarenakan umur beranak dapat menimbulkan bias dalam
evaluasi mutu genetik sapi betina. Pembakuan menjadi satu hal yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir bias dalam evaluasi tersebut. Miller et al. (2002) menyatakan
beberapa alasan dilakukannya pengkoreksian produksi susu terhadap umur beranak
adalah agar terpenuhinya beberapa tujuan seperti 1) menghilangkan bias ketika
membandingkan sapi betina dengan umur yang berbeda, 2) menurunkan keragaman
karena umur yang tidak sama, dan 3) guna mengestimasi produksi susu saat umur
dewasa yang mungkin dapat dihasilkan seekor sapi betina dalam kondisi faktor
lingkungan yang sama.
Ripitabilitas
Kurnianto (2009) menyatakan bahwa konsep ripitabilitas (r) digunakan untuk
mempelajari bagian ragam total suatu sifat pada suatu populasi yang disebabkan oleh
keragaman antar individu yang bersifat permanen pada periode produksi yang
berbeda. Ripitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran
suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut
hidup (Noor, 2010). Konsep angka pengulangan (repeatability) berguna untuk sifatsifat yang muncul berkali-kali selama hidup ternak, misalnya produksi susu, produksi
telur, produksi wool, dan lain-lain. Angka pengulangan (repeatibility) dapat
didefinisikan sebagai korelasi fenotip antara performan sekarang dengan performan
selanjutnya di masa yang akan datang pada satu individu.
Noor (2010) menyampaikan bahwa ripitabilitas digolongkan ke dalam rendah
jika nilainya kurang dari 0,2, sedang jika nilainya berkisar antara 0,2 dan 0,4, dan
tinggi jika nilainya lebih besar dari 0,4. Nilai ripitabilitas yang tinggi menunjukan
bahwa kemampuan ternak untuk mengulang sifat produksi susu pada periode laktasi
berikutnya juga akan tinggi. Sebaliknya, nilai ripitabilitas yang rendah menunjukan
bahwa ternak tersebut memiliki kemampuan yang rendah untuk mengulang sifat
produksi susu pada periode laktasi berikutnya.
8
Nilai ripitabilitas berguna untuk memperkirakan produktivitas di masa yang
akan datang dari ternak. Nilai ripitabilitas produksi susu sapi FH di berbagai wilayah
dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan nilai ripitabilitas yang berbeda dapat
disebabkan oleh perbedaan cara mengambil sampel, jumlah sampel, serta metode
yang digunakan.
Tabel 1. Ripitabilitas Produksi Susu Sapi FH di Berbagai Wilayah
No
Lokasi
Ripitabilitas
Sumber
1
BPT-HMT Baturraden
0,25±0,05
Gushairiyanto (1994)
2
Yayasan Santa Maria Rawaseneng
0,40±0,05
Mekir (1982)
3
PT Baru Adjak
0,62±0,03
Gushairiyanto (1994)
4
PT Taurus Dairy Farm
0,64±0,03
Gushairiyanto (1994)
5
Sumber Susu Indonesia
0,56±0,06
Maylinda (1986)
6
Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang
0,43±0,08
Maylinda (1986)
Heritabilitas
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa angka pewarisan (heritability)
dapat didefinisikan sebagai proporsi dari ragam genetik terhadap ragam fenotip.
Heritabilitas (h2) merupakan nilai yang mengukur kepentingan relatif antara
pengaruh genetik dan lingkungan untuk suatu sifat pada suatu populasi. Heritabilitas
juga dapat didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukan tingkat kesamaan
penampilan antara anak-anak dengan tetuanya. Selain itu, heritabilitas juga
merupakan suatu ukuran yang menggambarkan hubungan antara nilai fenotipik
dengan nilai pemuliaan (breeding value) untuk suatu sifat pada suatu populasi
(Kurnianto, 2009).
Nilai heritabilitas berselang antara 0 sampai 1. Kurnianto (2009) menyatakan
bahwa heritabilitas dikategorikan rendah (lowly heritable) jika nilai berselang antara
0 dan 0,15, dikategorikan sedang (moderately heritable) jika nilai berselang antara
0,15 dan 0,30 dan dikategorikan tinggi (highly heritable) jika nilai heritabilitas yang
didapat lebih dari 0,3. Nilai h2 yang mendekati 1 menunjukan bahwa suatu sifat
memberikan respon yang lebih baik terhadap perlakuan seleksi. Sebaliknya nilai h2
yang rendah untuk suatu sifat menunjukan bahwa respon seleksi akan lambat. Seekor
ternak yang menunjukan nilai heritabilitas yang tinggi pada suatu sifat diharapkan
dapat mempunyai anak dengan keunggulan yang sama pada sifat tersebut.
9
Sebaliknya, bila nilai heritabilitas dari sifat tersebut rendah maka keturunan dari
ternak tersebut tidak dipastikan mempunyai keunggulan sifat yang sama, karena
hanya sebagian kecil saja dari keunggulannya yang diwariskan kepada keturunannya.
Beberapa nilai heritabilitas produksi susu sapi FH di berbagai wilayah dapat
dilihat pada Tabel 2. Nilai pendugaan heritabilitas umumnya bervariasi tergantung
pada perbedaan cara pengambilan sampel, keterbatassan sampel, perbedaan metode
yang digunakan, dan managemen pada waktu pengamatan dilakukan.
Tabel 2. Heritabilitas Produksi Susu Sapi FH di Berbagai Wilayah
No
Heritabilitas
Sumber
BPT-HMT Baturraden
0,48±0,24
Gushairiyanto (1994)
BPT-HMT Baturraden
0,32±0,34
Hidayat (2000)
BPT-HMT Baturraden
0,23±0,08
Ekasanti et al. (2002)
BBPTU-SP Baturraden
0,352±0,04
Indrijani (2008)
2
Yayasan Santa Maria Rawaseneng
0,23±0,25
Mekir (1982)
3
Sumber Susu Indonesia
0,43±0,74
Maylinda (1986)
4
Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang
0,22±0,74
Maylinda (1986)
5
PT Baru Adjak
0,79±0,35
Kurnianto (1991)
0,67±0,22
Gushairiyanto (1994)
1
Lokasi
6
PT Surya Dairy Farm
0,19±0,53
Kurnianto (1991)
7
PT Taurus Dairy Farm
0,39±0,38
Kurnianto (1991)
8
BPPT Cikole
0,31±0,05
Indrijani (2001)
0,237±0,07
Indrijani (2008)
0,326±0,19
Indrijani (2008)
0,350±0,11
Indrijani (2008)
9
PT Bandang Dairy Farm
Seleksi
Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak
tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk
bereproduksi. Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan
menurunkan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan (Noor, 2010). Kurnianto
(2009) menjelaskan bahwa seleksi dalam ilmu pemuliaan diartikan sebagai upaya
memilih dan mempertahankan ternak-ternak yang dianggap baik untuk terus
dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan datang dan mengeluarkan (culling)
ternak-ternak yang dianggap kurang baik.
10
Seleksi dapat dilakukan pada ternak jantan maupun betina. Seleksi terhadap
sapi betina merupakan hal yang penting karena pemasukan utama bagi peternak
adalah hasil dari penjualan susu, maka produktivitas sapi betina merupakan hal yang
penting untuk diketahui. Sapi-sapi betina diurutkan berdasarkan produksi susunya
dari yang tertinggi sampai yang terendah. Informasi mengenai silsilah juga
merupakan salah satu hal yang harus diketahui khususnya untuk sapi dara yang
dipilih dengan tujuan sebagai pengganti (replacement) (Ensminger, 1980).
Produktivitas dari sapi betina tersebut juga dapat diturunkan kepada anaknya yang
diharapkan memiliki produktivitas yang sama atau lebih tinggi lagi.
Data sapi betina yang umumnya didapat saat akan melakukan seleksi antara
lain produksi per laktasi, kadar lemak susu, lama laktasi dan umur beranak. Faktorfaktor yang harus diperhatikan dalam memilih sapi betina yang akan dijadikan bibit
antara lain, bangsa sapi, umur sapi, silsilah (pedigree), penampakan luar (eksterior),
produksi dan kesehatan (Zein dan Sumaprastowo, 1985).
The Most Probable Producing Ability (MPPA)
Lasley (1978) menyatakan bahwa MPPA adalah regresi dari pencatatan masa
yang akan datang terhadap pencatatan saat ini, atau derajat dimana suatu catatan
berulang akan menghasilkan seleksi yang lebih efektif untuk produksi yang
berikutnya. MPPA digunakan untuk mengestimasi kemampuan produksi pada masa
yang akan datang, sehingga berdasarkan nilai MPPA yang tertinggi akan dapat
ditentukan induk-induk yang produktivitasnya tinggi sehingga dapat dipilih indukinduk yang akan dipertahankan.
MPPA mencerminkan kemampuan berulang seekor sapi perah dalam
produksi susu. Parameter genetik yang digunakan dalam metode ini adalah
ripitabilitas. Kegunaan ripitabilitas diantaranya adalah untuk menduga nilai
maksimum yang dapat dicapai heritabilitas, untuk menduga kemampuan produksi
dalam masa produksi seekor ternak (MPPA) dan untuk meningkatkan ketepatan
seleksi.
Predicted Breeding Value (PBV)
Nilai pemuliaan (breeding value) didefinisikan sebagai nilai seekor ternak
sebagai tetua (the value of an individual as a parent) yang diperoleh dari perkawinan
11
acak. Nilai pemuliaan memberikan gambaran tentang dugaan kemampuan
mewariskan sifat (Kurnianto, 2009). Pendugaan nilai pemuliaan sapi perah induk
dapat dilakukan dengan pengamatan catatan produksinya sendiri dan dapat ditambah
dengan catatan produksi kerabatnya. Induk yang memiliki nilai pendugaan PBV yang
tinggi (di atas rata-rata populasi) diharapkan dapat menghasilkan keturunan dengan
sifat produksi yang sama baiknya atau lebih baik dari produksi induknya, khususnya
jika dikawinkan dengan pejantan unggul.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai pemuliaan sapi
induk adalah Predicted Breeding Value (PBV). PBV sering dinyatakan sebagai
simpangan dari rata-rata populasi. Seleksi dengan dasar penampilan individu PBV
dari seekor ternak yang dinyatakan sebagai simpangan dari rata-rata kelompok atau
populasi.
12
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dan pengambilan data sekunder dilakukan selama bulan JanuariFebruari 2012 di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP)
Baturradden, Purwokerto. Pengolahan data sekunder dilakukan pada bulan FebruariApril 2012.
Materi
Materi yang digunakan adalah data sekunder produksi susu harian dari sapi
betina Friesian Holstein terhitung sejak tahun 2006-2011. Catatan produksi susu
berjumlah 537 catatan dari 213 ekor sapi betina. Catatan ini terdiri dari 178 catatan
periode laktasi pertama, 135 catatan periode laktasi kedua, 92 catatan periode laktasi
ketiga, 81 catatan periode laktasi keempat, 39 catatan periode laktasi kelima, dan 12
catatan periode laktasi yang lebih dari lima (keenam dan ketujuh). Catatan tersebut
lengkap dengan catatan individu berupa tanggal lahir dan identitas tetua baik induk
maupun pejantan, serta catatan reproduksinya meliputi tanggal kawin dan tanggal
beranak.
Prosedur
Data yang diperoleh merupakan data produksi susu harian dari individu yang
diuji yang dilengkapi dengan data tetua (induk dan bapak), tanggal lahir, tanggal
kawin, tanggal beranak dan tanggal kering. Data tersebut kemudian ditabulasikan
berdasarkan individu yang diuji beserta seluruh informasi individu tersebut.
Selanjutnya dari data tersebut masing-masing individu ditentukan lama laktasi,
produksi susu per laktasi, dan lama masa kering yang ditabulasikan setiap periode
laktasi. Umur beranak diketahui berdasarkan informasi tanggal lahir dan tanggal
beranak.
Produksi
susu
per
laktasi
dari
masing-masing
individu
kemudian
distandardisasi menggunakan faktor koreksi lama laktasi 305 hari dan umur dewasa
induk berdasarkan DHIA-USDA. Faktor koreksi terhadap panjang laktasi 305 hari
dan umur induk dewasa dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, dan 7. Setelah data
produksi susu terstandardisasi, nilai ripitabilitas dan heritabilitas dihitung. Nilai
ripitabilitas dan heritabilitas yang didapat kemudian digunakan sebagai dasar
13
pendugaan nilai MPPA dan PBV. Nilai pendugaan MPPA dan PBV sapi betina yang
telah didapat kemudian diurutkan berdasarkan nilai tersebut.
Rancangan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan pertama kali dengan melakukan standardisasi data ke
dalam faktor koreksi lama laktasi 305 hari dan umur dewasa induk. Data yang
diperoleh selanjutnya digunakan untuk analisis parameter genetik, yaitu ripitabilitas
produksi susu. Nilai ripitabilitas yang didapatkan digunakan untuk pendugaan nilai
MPPA yang selanjutnya diurutkan berdasarkan peringkat.
Ripitabilitas (r)
Perhitungan ripitabilitas produksi susu menggunakan metode sidik ragam
klasifikasi satu arah dengan banyaknya pengukuran per individu yang tidak sama
(Becker, 1975) dengan model statistiknya adalah sebagai berikut:
Keterangan:
: nilai produksi susu individu ke-k dari catatan pengukuran ke-m
: rataan produksi susu populasi
: pengaruh individu ke-k
: deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu kek dari catatan pengukuran ke-m
Tabel 3. Daftar Analisis Sidik Ragam Ripitabilitas
Sumber Keragaman
Antar Individu
Pengukuran dalam Individu
db
JK
KT
N-1
JKW
KTW
N(M-1)
JKE
KTE
Komponen KT
Keterangan:
N
: jumlah individu
M
: jumlah pengukuran per individu
k1
: koefisien komponen ragam
:
mk
m
∑
: jumlah pengukuran individu ke-k
: jumlah total pengukuran
: komponen ragam antar individu
:
: komponen ragam antar pengukuran dalam individu
14
Galat baku ripitabilitas dihitung berdasarkan rumus berikut:
√
Estimasi ripitabilitas dihitung dengan cara,
Keterangan:
r
: nilai ripitabilitas
: komponen ragam antar individu
: komponen ragam antar pengukuran dalam individu
Heritabilitas (h2)
Pendugaan nilai heritabilitas dihitung berdasarkan metode korelasi saudara
tiri (paternal halfsib correlation) dengan jumlah anak per pejantan yang tidak sama
(unbalance design) menurut Becker (1975). Model statistiknya adalah sebagai
berikut,
Keterangan:
: nilai produksi susu individu (anak) ke-k dari pejantan ke-i
: rataan produksi susu populasi
: pengaruh pejantan ke-i
: deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu (anak)
ke-i dari pejantan ke-k
Tabel 4. Daftar Analisis Sidik Ragam Heritabilitas
Sumber Keragaman
db
JK
KT
Antar Pejantan
S-1
JKs
KTs
Anak dalam Pejantan
n-S
JKw
KTw
Komponen KT
Keterangan:
S
: jumlah pejantan
n
: jumlah anak (individu)
k1
: koefisien komponen ragam
∑
:
)
: komponen ragam antar pejantan
:
: komponen ragam anak dalam pejantan
15
Estimasi heritabilitas dihitung berdasarkan rumus,
Keterangan:
: nilai heritabilitas
: komponen ragam antar pejantan
: komponen ragam anak dalam pejantan
Galat baku heritabilitas dihitung berdasarkan rumus berikut,
√
Keterangan:
t
: interclass correlation
:
Pendugaan Nilai The Most Probability Producing Ability (MPPA)
Perhitungan MPPA dapat dilakukan berdasarkan pendekatan Warwick (1983)
dengan rumus:
̅
̅
̅
Keterangan:
̅ : rataan produksi susu populasi
̅ : rataan produksi susu individu
n : jumlah catatan produksi
r
: ripitabilitas
Perhitungan Prediction Breeding Value (PBV)
Perhitungan PBV dapat dilakukan berdasarkan pendekatan Lasley (1978)
dengan rumus,
̅
Keterangan:
b
: heritabilitas (untuk data tunggal)
:
P
̅
̅
, untuk sebanyak n catatan
: produksi dari catatan tunggal pada ternak yang dihitung PBV-nya
: rata-rata produksi ternak lain pada waktu dan tempat yang sama
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah
(BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, lebih tepatnya di Farm Tegalsari. BBPTU-SP
Baturraden sendiri terdiri dari empat wilayah, yaitu Farm Tegalsari, Farm
Limpakuwus, area Munggangsari, dan Farm Manggala. BBPTU-SP Baturraden
berada di bagian selatan lereng kaki Gunung Slamet. Farm Tegalsari sendiri berada
di Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden, tepatnya di dalam kawasan wisata
Baturraden yang berjarak ±15 km ke arah Utara dari Purwokerto.
Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto
Temperatur rata-rata di daerah ini adalah 18-28 C dengan kelembaban
berkisar antara 70% - 80%. Keadaan klimatik di BBPTU-SP Baturraden tergolong
nyaman untuk hidup dan berproduksi bagi sapi perah yang berasal dari iklim sedang
seperti Friesian Holstein. Kisaran temperatur udara yang baik untuk sapi perah yang
berasal dari Eropa adalah sekitar 5-21 C dengan kelembaban relatif 50% - 70%
(Ensminger, 1980). Daerah ini juga memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu
sekitar 6.000-9.000 mm/tahun. Farm Tegalsari BBPTU-SP Baturraden memiliki
ketinggian tempat sekitar ±675 m dpl yang tergolong ke dalam dataran sedang
menurut Siregar (1990) karena berada pada kisaran ketinggian 250-750 m dpl.
Siregar (1990) menyatakan bahwa dataran rendah memiliki ketinggian di bawah 250
m dpl sedangkan dataran tinggi memiliki ketinggian di atas 750 m dpl.
17
Gambar 5. Lahan Pastura Farm Tegalsari BBPTU-SP Baturraden
Area Farm Tegalsari memiliki luas sekitar 34,18 ha. Keadaan lahan
permukaan relatif rata, kecuali di bagian Utara yang meninggi ke arah Utara
sedangkan di bagian Selatan cenderung menurun (0-15) ke arah Selatan dimana
hampir semuanya diperuntukan sebagai lahan tanaman pakan ternak. Lahan di bagian
Utara diperuntukan sebagai lahan exercise atau penggembalaan sapi.
Produksi Susu
Sapi-sapi betina yang diamati memiliki periode laktasi yang berbeda. Periode
laktasi tersebut berkisar antara laktasi pertama sampai laktasi ketujuh. Rataan
produksi susu real dan produksi susu yang telah distandardisasi ke dalam lama
laktasi 305 hari dan umur setara dewasa dari sapi Friesian Holstein betina di
BBPTU-SP Baturraden dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Produksi Susu per Laktasi di BBPTU-SP Baturraden
Rataan Produksi Susu per Laktasi (kg)
Sebelum koreksi
Setelah koreksi
Periode
Laktasi
n
Rataan Lama
Produksi (hari)
1
178
289
4.117±1.337
5.365±1.075
2
135
246
3.614±1.740
5.363±1.358
3
92
300
4.048±1.460
5.211±1.452
4
81
234
4.018±1.921
6.124±1.743
5
39
198
3.167±2.003
5.416±1.619
>5
12
174
2.518±2.194
4.644±1.563
3.859±1.615
5.440±1.362
Rata-rata
n: jumlah catatan
18
Produksi susu real dari laktasi pertama sampai laktasi yang lebih dari lima
bervariasi dari 2.518 sampai 4.048 kg/laktasi, dengan rataan produksi susu per laktasi
sekitar 3.859±1.615 kg/laktasi. Lama produksi dalam satu laktasi memberi pengaruh
yang sangat besar terhadap jumlah produksi susu. Produksi susu pada lama laktasi
yang lebih panjang umumnya lebih besar dari jumlah produksi susu dengan masa
laktasi yang lebih singkat. Lama produksi susu harus distandardisasi untuk
meminimalisasi pengaruh lama laktasi terhadap jumlah produksi susu dalam satu
periode laktasi.
Produksi susu real tertinggi terdapat pada laktasi ketiga yaitu sekitar
4.048±1.460 kg/laktasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Philips (2002) bahwa
produksi air susu tertinggi diperoleh pada periode laktasi ketiga. Rataan panjang
laktasi pada periode laktasi ketiga adalah 300 hari. Hal ini menunjukan bahwa rataan
produksi susu per hari pada periode laktasi ketiga adalah 13,5 kg/hari. Rataan
produksi susu per hari secara keseluruhan di BBPTU-SP Baturraden adalah sekitar
15 kg/hari.
Produksi susu real distandardisasi untuk menghilangkan pengaruh non
genetik. Rataan produksi susu yang telah distandardisasi dari laktasi pertama sampai
laktasi yang lebih dari lima bervariasi dari 5.211 sampai 6.124 kg/laktasi, dengan
rata-rata produksi per laktasi sekitar 5.440±1.362 kg/laktasi.
Gambar 6. Sapi Betina FH di BBPTU-SP Baturraden
Faktor koreksi dilakukan terhadap lama laktasi 305 hari dan umur induk
dewasa. Produksi susu rata-rata sebelum dikoreksi adalah sekitar 3.859±1.615
kg/laktasi dengan keragaman sekitar 41,8%. Produksi susu rata-rata setelah
dilakukan koreksi adalah 5.440±1.362 kg/laktasi dengan keragaman sekitar 25%.
19
Adanya penurunan keragaman ini menunjukan bahwa koreksi data yang dilakukan
dapat menurunkan variasi produksi antar individu sebesar 16,8%. Hasil penelitian
Ekasanti et al. (2002) juga menunjukan bahwa penurunan keragaman variasi
produksi antar induvidu sebesar 8,41%.
Parameter Genetik
Parameter genetik yang diamati adalah heritabilitas (h2) dan ripitabilitas (r).
Heritabilitas didasarkan pada metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib
correlation), sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam
klasifikasi satu arah. Kedua parameter genetik ini selanjutnya digunakan untuk
menentukan nilai MPPA dan PBV dari masing-masing ternak. Nilai heritabilitas dan
ripitabilitas dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Heritabilitas dan Ripitabilitas di BBPTU-SP Baturraden
Parameter Genetik
h2
Nilai
0,40±0,36
r
0,84±0,02
Ripitabilitas
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa konsep ripitabilitas menunjukan
sejauh mana hubungan antara produksi pertama dengan produksi berikutnya pada
individu. Nilai ripitabilitas produksi susu di BBPTU-SP Baturraden yang diperoleh
adalah sekitar 0,84±0,02. Nilai ripitabilitas ini tergolong tinggi. Noor (2010)
menyampaikan bahwa ripitabilitas tergolong ke dalam kategori rendah jika nilainya
lebih rendah dari 0,2, tergolong sedang jika nilainya berkisar antara 0,2–0,4, dan
tegolong tinggi jika nilainya lebih besar dari 0,4.
Nilai ripitabilitas ini jelas lebih besar dari pernyataan Warwick dan Legates
(1979) bahwa nilai ripitabilitas produksi susu berkisar antara 0,35–0,50. Lasley
(1978) juga menyatakan bahwa nilai ripitabilitas produksi susu sapi perah adalah
sekitar 0,41–0,64. Nilai ripitabilitas yang didapat juga lebih tinggi dari pernyataan
Gushairiyanto (1994) yang menyatakan nilai ripitabilitas di BBPTU-SP Baturraden
adalah sebesar 0,25±0,05. Hardjosubroto (1994) juga menyatakan bahwa nilai
heritabilitas produksi susu umumnya adalah 0,4–0,6. Perbedaan ini dapat disebabkan
oleh perbedaan cara mengambil sampel, jumlah sampel dan metode yang digunakan.
20
Ripitabilitas yang didapatkan bernilai tinggi yang kemungkinan dikarenakan variasi
produksi antar individu yang tinggi. Selain itu, variasi faktor lingkungan tetap yang
tinggi juga dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap nilai ripitabilitas.
Nilai ripitabilitas ini berguna untuk memperkirakan produktivitas di masa yang akan
datang dari ternak.
Heritabilitas
Nilai heritabilitas produksi susu di BBPTU-SP Baturraden dihitung dengan
menggunakan korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation) dari 78 ekor
pejantan. Nilai heritabilitas yang diperoleh yaitu 0,40±0,36. Nilai ini tergolong ke
dalam heritabilitas yang tergolong sedang sebagaimana yang dinyatakan oleh Noor
(2010) serta Warwick dan Legates (1979) bahwa nilai heritabilitas yang lebih kecil
dari 0,2 tergolong rendah, kisaran 0,2-0,4 tergolong sedang dan tergolong tinggi jika
nilainya lebih dari 0,4.
Hasil perhitungan heritabilitas ini sesuai dengan pernyataan Hardjosubroto
(1994) bahwa nilai heritabilitas produksi susu sapi perah berkisar antara 0,2-0,4.
Nilai heritabilitas ini juga lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan Indrijani (2008)
di tempat yang sama dengan nilai 0,352±0,04. Hal ini dapat dikarenakan beberapa
faktor, antara lain perbedaan cara pengambilan sampel, keterbatasan sampel,
perbedaan metode yang digunakan dan managemen pada waktu pengamatan.
Pendugaan nilai heritabilitas ini diharapkan dapat mewariskan sifat produksi susu
pada keturunannya dengan kemajuan genetik yang tinggi (Bourdon, 1997).
Kecermatan perhitungan nilai heritabilitas akan lebih baik jika paling sedikit
terdapat lima ekor penjantan dengan jumah anak sekitar 10 ekor per pejantan
(Dalton, 1981). Penelitian ini mengggunakan lebih dari 10 ekor pejantan untuk
pendugaan nilai heritabilitas, namun jumlah anak per pejantan tidak seluruhnya lebih
dari 10 ekor. Hal ini dapat menjadi suatu kekurangan dalam kecermatan perhitungan
heritabilitas.
Pendugaan Nilai MPPA
Kemampuan produksi individu sapi dapat diketahui dengan metode MPPA.
Daya produksi susu yang diketahui dari perhitungan MPPA merupakan pendugaan
produksi susu pada laktasi berikutnya. Ternak yang memiliki daya produksi yang
21
tinggi akan mempunyai peringkat MPPA yang tinggi dibandingkan dengan rataan
populasi.
Rata-rata pendugaan nilai MPPA yang didapatkan adalah 5.443 kg. Nilai
hasil pendugaan MPPA menunjukan bahwa sebesar 48% atau sekitar 102 ekor dari
213 ekor sapi betina yang diamati berada di atas nilai rataan, sedangkan sisanya
berada di bawah nilai rataan. Pendugaan daya produksi susu tertaksir (MPPA)
memperoleh hasil bahwa nilai tertinggi terdapat pada sapi dengan nomor identitas
125. Sapi ini mempunyai nilai pendugaan MPPA sebesar 7.701 kg. Sapi tersebut
diperkirakan dapat menghasilkan susu 7.701 kg lebih tinggi pada laktasi-laktasi
berikutnya. Hasil dari pendugaan ini menunjukan bahwa produksi susu sapi dengan
nomor identitas 125 adalah 2.258 kg lebih tinggi dibandingkan dengan rataan
produksi susu dari sapi lain yang diamati di BBPTU-SP Baturraden.
Nilai terendah pada pendugaan nilai MPPA adalah 3.151 kg. Peringkat
terendah ini terdapat pada sapi dengan nomor identitas 1878-07. Sapi dengan nomor
identitas 1878-07 memiliki produksi susu 2.292 kg lebih rendah dibandingkan
dengan sapi lainnya dalam populasi.
Peringkat MPPA digunakan untuk seleksi terhadap induk yang akan
dipertahankan di peternakan berdasarkan produksinya yang tinggi. Umumnya ternak
yang dipertahankan adalah sekitar 50% peringkat terbaik dari populasi (Direktorat
Pembibitan, 2012). Data keseluruhan ternak beserta nilai MPPA dan PBV dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Pendugaan Nilai PBV
PBV atau dugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak dalam menghasilkan susu.
Ternak dengan nilai pemuliaan terbaik diharapkan dapat mewariskan gen kepada
keturunannya, sehingga keturunannya memiliki kemampuan produksi yang baik
pula. Perhitungan yang dilakukan dengan metode ini diharapkan dapat mengevaluasi
ternak yang memiliki kemampuan mewariskan sifat produksi susu kepada
keturunannya.
Pendugaan nilai PBV dihitung sebagai estimasi dari nilai pemuliaan ternak.
Nilai rata-rata pendugaan PBV dari 213 ekor sapi betina FH yang diamati adalah
5.462 kg. Nilai hasil pendugaan PBV juga menunjukan bahwa sebesar 48% atau
22
sekitar 102 ekor dari sapi betina yang diamati berada di atas nilai rataan, sedangkan
sisanya berada di bawah nilai rataan.
Tabel 7. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Sapi FH Betina Terbaik di BBPTU-SP
Baturraden
No Identitas
125
n
1
MPPA (kg)
7.701
PBV (kg)
6.533
Peringkat
1
1899-08
1
7.525
6.450
2
027
3
7.303
6.344
3
066
3
7.247
6.318
4
078
4
7.194
6.293
5
1886-07
1
7.172
6.282
6
008
1
7.115
6.255
7
056
1
7.031
6.215
8
1786-06
1
7.030
6.215
9
067
4
7.016
6.209
10
0030
4
7.008
6.205
11
1874-07ET
2
6.975
6.189
12
076
4
6.947
6.175
13
054
4
6.932
6.168
14
006
4
6.906
6.156
15
1890-08
1
6.857
6.133
16
016
4
6.832
6.121
17
028
4
6.818
6.115
18
1889-08
1
6.814
6.112
19
0306-07
2
6.752
6.083
20
0343-07
1
6.748
6.081
21
0269-07
1
6.716
6.066
22
n : jumlah catatan laktasi
Sapi betina dengan nilai PBV tertinggi adalah sapi dengan nomor identitas
125 yang memiliki nilai pendugaan PBV sebesar 6.533 kg. Sapi ini diduga memiliki
keunggulan genetik produksi susu sebesar 6.533 kg. Hasil pendugaan ini
menunjukan bahwa sapi dengan nomor identitas 125 memiliki keunggulan genetik
23
produksi susu 1.071 kg lebih tinggi dibandingkan dengan rataan produksi susu dari
sapi-sapi lain yang diamati pada penelitian ini. Nilai pendugaan PBV terendah adalah
4.375 kg pada sapi dengan nomor identitas 1878-09. Sapi ini memiliki keunggulan
genetik produksi susu 1.087 kg lebih rendah dibandingkan dengan rataan populasi
yang diamati.
Nilai pendugaan PBV umumnya digunakan untuk melakukan seleksi
terhadap induk yang akan menghasilkan bibit serta untuk replacement stock.
Umumnya ternak yang digunakan sebagai bibit adalah 10% terbaik dari seluruh
betina yang diseleksi dalam populasi (Direktorat Jenderal Pembibitan, 2012). Nilai
MPPA dan PBV dari 10% betina terbaik di BBPTU-SP Baturraden dapat dilihat pada
Tabel 7. Replacement stock ditujukan untuk menggantikan induk yang ada
sebelumnya sehingga produksi susu dapat terus berjalan. Sapi betina yang dapat
digunakan sebagai replacement stock dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil perankingan menunjukan bahwa seekor ternak selalu mendapat
peringkat yang sama berdasarkan nilai MPPA dan PBV. Hal ini menunjukan bahwa
ternak yang mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi juga akan memiliki
kemampuan pewarisan sifat yang tinggi. Penelitian mengenai kemampuan produksi
tertaksir dan nilai pemuliaan juga dilakukan oleh Nugroho (2004) di PT. Taurus
Dairy Farm, yang memperoleh hasil bahwa ternak yang memperoleh peringkat tinggi
pada perhitungan nilai pemuliaan juga akan memiliki peringkat yang tinggi pada
perhitungan kemampuan produksi tertaksir.
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Rataan produksi susu real per laktasi yang paling tinggi didapat pada laktasi
ketiga yaitu sekitar 4.048±1.460 kg, dengan rataan produksi susu per ekor secara
keseluruhan sekitar 15 kg per hari. Nilai ripitabilitas produksi susu yang diperoleh
adalah 0,84±0,02. Daya pengulangan sifat produksi susu tergolong tinggi. Nilai ini
sangat tinggi kemungkinan dikarenakan variasi produksi antar individu yang tinggi
pula. Nilai heritabilitas produksi susu yang diperoleh adalah 0,40±0,36 yang
tergolong sedang dimana kemampuan induk untuk menurunkan sifat produksi susu
cukup baik kepada anaknya. Sapi yang dipertahankan dan dijadikan sebagai
replacement stock merupakan sapi dengan peringkat 50% terbaik, sedangkan sapi
yang digunakan bibit adalah sapi dengan peringkat 10% terbaik. Sapi terbaik
berdasarkan nilai pendugaan MPPA dan PBV adalah sapi dengan nomor identitas
125 dengan nilai pendugaan masing-masing 7.701 kg dan 6.533 kg.
Saran
Upaya peningkatan akurasi dalam pendugaan parameter genetik (ripitabilitas
dan heritabilitas) perlu didukung oleh kelengkapan data. Pendugaan nilai heritabilitas
perlu didukung oleh jumlah anak per pejantan untuk meningkatkan akurasi.
Pendugaan ripitabilitas perlu didukung oleh kelengkapan catatan produksi susu setiap
laktasinya. Pertimbangan pemilihan sapi betina untuk bibit dan replacement stock
berdasarkan nilai PBV perlu mempertimbangkan jumlah dan kelengkapan catatan
serta umur ternak tersebut. Pertimbangan dalam mempertahankan ternak dalam
peternakan dapat diestimasi berdasarkan peringkat nilai PBV. Manajemen
pemeliharaan, reproduksi, dan pemuliaan harus tetap diterapkan dan ditingkatkan.
Evaluasi terhadap efektivitas program yang ada di BBPTU-SP juga perlu dilakukan
agar dapat terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi FH betina yang ada
disana.
25
POTENSI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH
BATURRADEN, PURWOKERTO
SKRIPSI
ERNI SITI WAHYUNI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
POTENSI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH
BATURRADEN, PURWOKERTO
SKRIPSI
ERNI SITI WAHYUNI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
RINGKASAN
Erni Siti Wahyuni. D14080046. 2012. Potensi Genetik Produksi Susu Sapi
Friesian Holstein Betina di BBPTU Sapi Perah Baturraden, Purwokerto.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
: Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D
Kebutuhan akan susu yang semakin meningkat belum bisa diimbangi oleh
produksi susu dalam negeri. Sapi perah betina, khususnya sapi bangsa Friesian
Holstein (FH), memegang peranan penting dalam memproduksi susu di dalam
negeri. Seleksi terhadap sapi betina FH diharapkan akan mampu meningkatkan nilai
pemuliaannya pada suatu peternakan. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Perah (BBPTU-SP) Baturraden adalah balai pemerintahan yang khusus menangani
pembibitan sapi perah betina atau indukan. Sebagai pusat sapi FH betina di
Indonesia, BBPTU-SP harus memiliki indukan terbaik, sehingga dapat digunakan
sebagai sapi bibit atau induk yang menghasilkan keturunan dengan kemampuan
produksi susu yang baik. Potensi genetik sapi betina FH dapat dilihat berdasarkan
catatan produksinya melalui pendugaan nilai parameter genetik, sehingga parameter
genetik tersebut dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya evaluasi terhadap nilai
pemuliaan dan keunggulan genetiknya melalui metode MPPA dan PBV.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengetahui potensi genetik
produksi susu dari sapi Friesian Holstein betina di BBPTU-SP Baturraden,
Purwokerto. Penelitian ini menggunakan catatan produksi susu harian yang terhitung
sejak tahun 2006-2011. Catatan tersebut merupakan catatan produksi susu dari 213
ekor sapi betina yang berjumlah 537 catatan. Catatan produksi susu harian kemudian
sel