Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA DI PABRIK
GULA CEPIRING, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

AHMAD ZAKI RAHMAN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor
Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah adalah
benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir Skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Ahmad Zaki Rahman
NIM H34090142

ABSTRAK
AHMAD ZAKI RAHMAN. Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula
Cepiring, Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Dibimbing oleh RACHMAT
PAMBUDY.
Revitalisasi pabrik gula menjadi kunci utama untuk mencapai swasembada
gula. PG Cepiring yang baru direvitalisasi pada 2008 menjadi andalan untuk
mencapai swasembada gula di Jawa Tengah. Sejak direvitalisasi PG Cepiring
belum mampu memenuhi target produksi perusahaan dan pemerintah. Hal ini
mengindikasikan adanya inefisiensi dalam operasional pabrik. Penelitian ini
bertujuan menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi gula,
serta menganalisis tingkat efisiensi alokatif faktor-faktor produksi gula di PG
Cepiring. Analisis data menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas yang
diolah dengan pendugaan OLS (Ordinary Least Square). Analisis efisiensi
alokatif dilakukan dengan menggunakan rasio NPM dan BKM. Berdasarkan hasil
analisis, variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula adalah raw

sugar, rendemen raw sugar, jumlah tebu, dan rendemen tebu di musim giling
tebu. Sedangkan diluar musim giling variabel yang berpengaruh adalah rendemen
raw sugar dan raw sugar. Hasil analisis juga memperlihatkan PG Cepiring akan
lebih efisien jika mengolah raw sugar dibandingkan dengan mengolah tebu.
Kata kunci: Gula, PG Cepiring, Faktor-faktor produksi gula, Efisiensi alokatif

ABSTRACT
AHMAD ZAKI RAHMAN. Factors Analysis Of Sugar Production In Sugar
Mills Cepiring, Kendal Regency Central Java. Supervised by RACHMAT
PAMBUDY.
Revitalization of the sugar mills is one of the key factor to achieve sugar
self-sufficiency. Cepiring Sugar Factory (PG Cepiring) which newly revitalized in
2008 become a mainstay to achieve sugar self-sufficiency in Central Java. Since
revitalized, PG Cepiring has not been able to fulfill the production target from
companies and the government. This case indicates that the factory has an
inefficiencies problems in manufacturing operation. The aim of this research is to
analyze the influence of production factors on sugar production, and analyze the
allocative efficiency of sugar production factors in PG Cepiring. Data were
analyzed using the model of Cobb-Douglas production function that is processed
with OLS estimation (Ordinary Least Square). Allocative efficiency analysis

performed by using the ratio of NPM and BKM. Based on the analysis, variables
that significantly affect to sugar production is raw sugar, raw sugar yield, the
amount of sugar cane, and cane yield in sugar cane milling season. On the other
side, the most significant variables outside the miling season are yield of raw
sugar and raw sugar. The result of this analysis also showed that PG Cepiring
would be more efficient to processing raw sugar than processing sugar cane.
Keywords: Allocative efficiency, PG Cepiring, Sugar, Sugar production factors

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA DI PABRIK
GULA CEPIRING, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

AHMAD ZAKI RAHMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

JuduJ Skripsi : AnaJisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik GuJa lndustri Gula
Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal , Jawa Tengah
Nama
セim@

: Ahmad Zaki Rahman

: H34090142

Disetujui oleh

Dr Ir Rachmat Pambudy, MS
Pembimbing

Diketahui oleh


MS

Tanggal Lulus:

2 0 AUG. 2013

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula
Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah
Nama
NIM

: Ahmad Zaki Rahman
: H34090142

Disetujui oleh

Dr Ir Rachmat Pambudy, MS
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berlangsung sejak bulan April sampai Mei 2013 dengan judul Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rahmat Pambudy, MS
selaku dosen pembimbing, dan Ibu Ir. Harmini, M.Si yang telah banyak memberi
saran kepada penulis. Di samping itu terima kasih penulis sampaikan kepada
saudari Nora Asfia, Qisthy Nur Fathia, dan Irva Mavrudah. Juga tak lupa, terima
kasih penukis ucapkan kepada Bapak Arthur, Saudara Hariatmoko, Bapak Agus,
Saudara Suharmono sebagai pihak PT IGN Pabrik Gula Cepiring yang telah
memberikan izin penelitian, para karyawan PT IGN, yang telah banyak membantu
sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Ungkapan terima kasih juga

penulis ucapkan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta para sahabat atas doa,
semangat, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sumber ilmu dan informasi yang
bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2013
Ahmad Zaki Rahman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

9


Ruang Lingkup Penelitian

9

TINJAUAN PUSTAKA

9

Pengusahaan Tebu

9

Pengusahaan Pabrik Gula

12

Rendemen

12


Kebijakan Tataniaga Impor Raw Sugar (Gula Mentah)

14

Faktor-Faktor Produksi dan Efisiensi Produksi Gula

15

KERANGKA PEMIKIRAN

18

Kerangka Pemikiran Teoritis

18

Kerangka Pemikiran Operasional

23


METODE PENELITIAN

25

Model Fungsi Produksi Gula

25

Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian

26

Jenis Dan Sumber Data

26

Pengukuran Variabel

27

Metode Pengolahan dan Analisis Data

29

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

36

Sejarah Perusahaan

36

Struktur Organisasi Perusahaan

36

Tinjauan Geografi dan Iklim

37

Kemitraan Petani Dengan PG

37

Perkembangan Produksi Pabrik

38

Agribisnis Gula

41

Pengolahan Tebu dan Raw Sugar

42

Distribusi Gula

46

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA PASIR

47

Pemilihan Model Fungsi Produksi

47

Analisis Elastisitas Produksi

55

Analisis Efisiensi

58

KESIMPULAN DAN SARAN

62

Kesimpulan

62

Saran

63

DAFTAR PUSTAKA

64

LAMPIRAN

67

DAFTAR TABEL
1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011
2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010
3 Proyeksi sasaran produksi gula 2011 – 2014
4 Luas panen tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula
5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar
6 Produksi gula di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007
7 Beberapa indikator efisiensi teknis PG di Indonesia tahun 2003
8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiring
9 Jenis dan sumber data penelitian
10 Karyawan PT IGN 2012
11 Standarisasi mutu Gula Kristal Putih
12 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dan
tebu memanfaatkan delapan faktor produksi
13 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku Raw Sugar
dan Tebu memanfaatkan enam faktor produksi
14 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar
dengan memanfaatkan enam faktor produksi
15 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar
dengan memanfaatkan empat faktor produksi
16 Analisis elastisitas produksi
17 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal
(BKM) Kegiatan Produksi Gula pada Pabrik Gula Cepiring saat Musim
Giling Tebu
18 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) Dengan Biaya Korbanan Marjinal
(BKM) Kegiatan Produksi Gula Pada Pabrik Gula Cepiring Diluar Musim
Giling Tebu

2
3
3
4
5
5
6
7
27
40
46
48
50
52
54
58

59
61

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik Fungsi Produksi
2 Return to Scale
3 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
4 Bagan Pemasaran Gula Pabrik Gula Cepiring

20
21
24
46

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data produksi gula di Pabrik Gula Cepiring per periode tahun 2010 – 2012
2 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan Delapan Faktor Produksi
Saat Musim Giling Tebu
3 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan DelapanVariabel

67
69
72

4 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan
Delapan Variabel
5 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi
6 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan Enam Variabel
7 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan
Enam Variabel
8 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi
9 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan
Enam Variabel
10 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar
musim giling Dengan Enam Faktor Produksi
11 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan empat Faktor Produksi
diluar Musim Giling Tebu
12 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling
Dengan Empat Variabel
13 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar
musim giling Dengan Enam Faktor Produksi
14 Bagan Proses Produksi PG Cepiring
15 Struktur Organisasi PG Cepiring
16 Dokumentasi Penelitian

72
73
75
75
76
78
78
79
81
81
82
83
84

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemandirian pangan merupakan hal yang penting bagi negara berkembang
yang berpenduduk besar dengan daya beli yang masih rendah, seperti Indonesia.
Hasil sensus BPS pada 2010 yang menyatakan jumlah penduduk Indonesia
mencapai 237 641 326 orang menjadi titik kritis ketika kebutuhan pokok negara
tidak dapat dipenuhi secara mandiri. Kemandirian pangan tersebut utamanya
harus dipenuhi untuk bahan-bahan pangan pokok yang menjamin ketahanan
pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bahan pangan pokok
utama yang memegang peran penting adalah gula. Sebagaimana tercermin dari
kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai salah satu dari sembilan
bahan pokok kebutuhan masyarakat1.
Gula adalah hasil pengolahan tebu yang merupakan salah satu komoditas
strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 425 ribu ha
pada periode 2007-2011, agribisnis gula berbasis tebu merupakan salah satu
sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang
terlibat mencapai 1.3 juta orang (Mardianto 2005). Kedudukan gula sebagai bahan
pemanis utama di Indonesia belum dapat digantikan oleh bahan pemanis lainnya.
Hal ini disebabkan gula masih merupakan bahan pemanis dominan yang
digunakan baik oleh rumah tangga maupun industri makanan dan minuman.
Setelah 83 tahun lamanya mengalami berbagai pasang-surut, pada periode
1995-2013, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang cukup
kompleks. Akibatnya, kinerja industri gula Indonesia mengalami penurunan.
Penurunan produksi gula tersebut setidaknya disebabkan oleh: 1) Penurunan areal
dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan; 2) penurunan produktivitas lahan; dan
3) penurunan efisiensi di tingkat pabrik (Susila 2005). Data luas areal dan produksi
gula dari tahun 1995-2011 disajikan dalam Tabel 1.
Pertumbuhan rata-rata produksi gula di Indonesia adalah 0,71 persen per
tahun. Produksi gula mengalami penurunan pada tahun 1998-2003 yang
disebabkan penurunan luas areal tanaman tebu akibat krisis ekonomi yang
melanda Indonesia. Hal tersebut menyebabkan petani tebu beralih ke komoditas
lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi, sehingga pabrik gula kekurangan
pasokan tebu untuk berproduksi.
Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan produktivitas tebu yang
cenderung tetap bahkan menurun. Rendahnya produktivitas tebu disebabkan oleh
rendemen yang dihasilkan tebu. Ketidakpaduan jadwal tanam dan tebang antara
petani tebu dan PG serta inefisiensi di tingkat pabrik turut berperan dalam hal ini.
Selain itu umur pabrik gula yang sudah tua terutama di pulau jawa menyebabkan
produksi gula pada pabrik-pabrik tersebut tidak efisien.

1

Seminar nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi kesejahteraan Petani.

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MKP_BI.pdf [Diakses 4 Februari 2013]

2
Tabel 1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011a
Tahun
Luas areal Pertumbuhan
Produksi (Ton)
Pertumbuhan
(Hektar)
(Persen)
(Persen)
1995
436 037
2 059 576
1996
446 553
2.41
2 094 195
1.68
1997
386 878
-13.36
2 191 986
4.67
1998
377 089
-2.53
1 488 296
-32.10
1999
342 211
-9.25
1 493 933
0.38
2000
340 660
-0.45
1 690 004
13.12
2001
344 441
1.11
1 725 467
2.10
2002
350 722
1.82
1 755 354
1.73
2003
335 725
-4.28
1 631 918
-7.03
2004
344 793
2.70
2 051 645
25.72
2005
381 786
10.73
2 241 742
9.27
2006
396 441
3.84
2 307 027
2.91
2007
427 799
7.91
2 623 786
13.73
2008
436 505
2.04
2 668 428
1.70
2009
443 832
1.68
2 849 769
6.80
2010
434 257
-2.15
2 694 227
-5.45
2011
473 923
9.13
3 159 836
17.28
Rata-rata
392 062
0.67
2 160 422
3.53
a

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013 (Diolah)

Kekurangan gula dalam negeri mendorong pemerintah untuk melakukan
impor gula. Impor gula semakin meningkat sejak tahun 2006-2010 dengan ratarata tumbuh 19.63 persen per tahun. Membiarkan impor terus meningkat berarti
membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan
masalah bagi Indonesia. Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.3 juta petani
dan tenaga kerja (Mardianto 2005). Kedua, kebangkrutan industri gula juga
berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga,
gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap
inflasi (Pakpahan 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus
meningkat. Tabel 2 menunjukan bahwa produksi gula lebih rendah dari konsumsi
gula.
Keadaan dan kenyataan bahwa Indonesia menjadi negara pengimpor gula
utama di dunia cukup memprihatinkan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut,
pemerintah berupaya meningkatkan produksi dalam negeri dengan mencanangkan
target swasembada gula2.
Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia
yang akan ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: 1) Tahap Jangka Pendek (sampai
dengan 2009), pencapaian swasembada ditujukan untuk memenuhi konsumsi
langsung rumah tangga (swasembada gula konsumsi), sedangkan kebutuhan gula
industri sepenuhnya dipasok dari gula impor. 2) Tahap Jangka Menengah (20102014), pada tahap ini produksi gula dalam negeri sudah dapat memenuhi
konsumsi gula dalam negeri, baik untuk konsumsi langsung rumah tangga,
industri, dan sekaligus dapat menutup neraca perdagangan gula nasional
2

Bustanul Arifin.2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia.
http://www.scribd.com/doc/50576423/GULA [diakses 4 Februari 2013]

3
(swasembada gula nasional). 3) Tahap Jangka Panjang (swasembada gula
berdayasaing) mulai tahun 2015 sampai dengan 2025, difokuskan pada
modernisasi industri berbasis tebu melalui pengembangan industri produk
pendamping tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah (Direktorat Jenderal
Perkebunan 2006).
Tabel 2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010a
Tahun

2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
a

Konsumsi
Nasional
(juta Ton)
4.30
4.70
4.34
4.54
5.10
4.60

Produksi
Nasional
(juta Ton)
2 051 644
2 623 786
2 668 428
2 849 769
2 694 227
2 577 570

Persentase
Produksi Terhadap
Konsumsi
47.71
55.82
61.48
62.77
52.83
56.12

Impor Gula
(juta Ton)
1.71
2.84
2.04
2.75
2.91
2.45

Pertumbu
han Impor
(%)
66.08
-28.17
34.80
5.82
19.63

Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)

Guna mendukung swasembada gula, pemerintah melaksanakan program
revitalisasi Industri Gula. Revitalisasi industri gula BUMN dan BUMS 2009-2014
diperlukan guna mendukung pencapaian produksi gula pada 2014 sebanyak 3.41
juta ton dari total kebutuhan sebanyak 5.7juta ton. Tabel 3 menjelaskan sasaran
produksi gula 2011-2014.
Tabel 3 Proyeksi sasaran produksi gula 2011 – 2014a
Uraian
Areal
Produksi Tebu
Produktivitas Tebu
Rendemen
Produksi Hablur
Produktivitas Hablur
Produksi Molasess
a

Satuan
Ha
Ton
Ton/Ha
%
Ton
Ton/Ha
Ton

2011
572 122
47 743 581
83 45
8 10
3 867 230
6.76
2 148 461

2012
631 846
53 612 133
84 85
8 20
4 396 195
6.96
2 412 546

2013
691 952
58 746 725
84 90
8 40
4 934 725
7.13
2 643 603

2014
766 613
67 061 705
87 48
8 50
5 700 000
7.44
3 017 777

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010

Upaya revitalisasi ini mengalami berbagai masalah dalam perjalanannya.
Menurut Susila (2005) Setidaknya ada 3 masalah utama yang memiliki potensi
untuk menghambat pencapaian target revitalisasi PG, yaitu; 1) Keterbatasan bahan
baku dalam hal ini tebu, 2) distorsi pasar gula dalam negeri dan luar negeri yang
melemahkan daya saing industri gula, dan 3) Rendahnya efisiensi PG.
Masalah pertama terjadi karena menurunnya tingkat rendemen dan
liberalisasi pertanian atas desakan IMF (International monetary fund). Disatu sisi
petani memiliki keleluasaan untuk memilih tanaman yang akan ditanam, namun
disisi lain hal ini menyebabkan konversi lahan kepada tanaman lain yang lebih
menguntungkan.

4
Tabel 4 Luas panen tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional
tahun 2005-2010a
Tahun Area Giling
(Ha)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
a

381 768
396 440
428 401
436 504
422 935
418 259

Produksi Tebu
Ton
Ton/Ha
31 242 268
81.80
30 232 835
76.30
33 289 542
77.70
32 960 166
75.50
32 165 572
76.10
34 216 549
81.80

Rendemen
(%)
7.18
7.63
7.35
8.20
7.83
6.47

Produksi Hablur
Ton
Ton/Ha
2 241 741
5.87
2 307 027
5.82
2 448 143
5.71
2 703 976
6.19
2 519 675
5.96
2 214 488
5.29

Sumber: Purwono. 2011

Berbagai kebijakan pemerintah dalam agribisnis gula pasca krisis 1998
setidaknya mampu memulihkan kondisi pergulaan nasional. Luas areal
pertanaman tebu di Indonesia antara tahun 2007-2010 kembali seperti sebelum
krisis yang berkisar antara 420 – 430 ribu ha/tahun (Tabel 4). Demikian halnya
dengan produktivitas gula hablur dan rendemen yang masing-masing ada pada
kisaran 5 ton/ha dan 7 persen. hal ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan harga
lelang dan bongkar ratoon yang dilaksanakan. Namun hal ini masih jauh dari
target swasembada pada 2014. Target pemerintah pada 2014 luas areal tebu
mencapai sekitar 767 ribu ha, rendemen 8.5 persen, dan produktivitas hablur 7.4
ton/ha.
Setelah keterbatasan bahan baku masalah inefisiensi PG merupakan suatu
hal yang kritis. Perbandingan produktivitas tebu dan produksi gula antara negara
dunia pada Tabel 5 berikut bisa menjadi suatu indikasi tidak efisiennya PG di
Indonesia. Masalah inefisiensi pabrik tersebut baik dari sisi manajemen,
teknologi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Proses produksi di pabrik ini
berpotensi menghilangkan 5-10 persen gula kristal putih (Arkeman et al. 2002).
Padahal rata-rata produktivitas tebu Indonesia relatif tinggi, mendekati
produktivitas Amerika jika dibandingkan dengan negara penghasil gula di Asia
lainnya. Namun dalam rata-rata rendemen dan produktivitas gula, Indonesia
menempati posisi terendah. Rendahnya rendemen gula yang bersumber dari
pabrik gula yang tidak efisien mempunyai kontribusi 25-40 persen terhadap
berkurangnya hasil produksi (Lembaga Riset perkebunan Indonesia 2004).
Sehingga meningkatkan efisiensi di pabrik gula merupakan suatu keharusan.
Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula telah
dijadikan tameng untuk menutupi ketidak-efisienan PG, karena petani tebu tidak
sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang diberikan oleh
pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG
umumnya masih rendah terutama untuk wilayah jawa, dan sampai saat ini masih
menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG.
Masalah efisiensi ini juga terkait dengan kapasitas PG. Sebagian besar (53
persen) PG di Pulau Jawa didominasi oleh PG-PG dengan kapasitas giling kecil
(6 000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah
PG yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta
kurang mendapat perawatan secara memadai (Malian et al 2004). Akibatnya,

5
biaya produksi gula/ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru.
Tabel 5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar negara
produsena
Negara
Rata-rata
Rata-rata
Rata-rata
produktivitas tebu
rendemen (%)
produktivitas gula
(ton/ha)
(ton/ha)
Brazil
68.87
14.00
6.80
Jepang
64.09
11.53
7.41
Thailand
56.76
10.97
6.24
China
59.16
11.84
7.00
India
69.33
10.90
7.56
Philipina
60.70
8.26
5.00
Indonesia
70.13
7.05
4.95
USA
78.44
11.61
9.11
*)rata-rata dihitung dari tahun 1996/1997 sampai 2002/2003
a
Sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003 (data diolah)

Menurut data pada Tabel 6 produktivitas PG di luar Jawa relatif lebih tinggi
daripada PG di Jawa. Keadaan tersebut khususnya terjadi pada PG yang dikelola
oleh swasta dengan penguasaan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang memadai.
Sebagian besar (75%) dari pabrik gula tersebut memiliki kapasitas giling lebih
dari 4 000 TCD (P3GI). Pabrik Gula yang terdapat di luar Jawa tersebut mampu
meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan Budidaya dan
penggilingan dalam satu sistem manajemen yang sama serta mampu menerapkan
peralatan modern pada kegiatan produksinnya.
Tabel 6 Produksi gula di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007a
Keterangan
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
Jumlah Pabrik Gula
46
12
58
Luas Areal (Ha)
248 398
148 884
397 282
Total Tebu (Ton)
19 918 300
10 325 660
30 243 960
Rendemen (%)
7.31
8.25
7.78
Produksi Gula (Ton)
1 455 800
852 169
2 307 969
Rata-rata produksi gula (Ton)
31 648
71 014
39 793
a

Sumber: Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional (2007)

Fakta lainnya dalam Tabel 7 berikut menunjukkan indikator efisiensi teknis
yang menunjukkan rendahnya efisiensi PG. Rendahnya rendemen yang diberikan
dan produktivitas gula hablur ini dipicu oleh ketidak-efisienan, yang ditunjukkan
oleh beberapa indikator efisiensi teknis yang berada di bawah angka efisiensi
normal.

6
Tabel 7 Beberapa indikator efisiensi teknis PG di Indonesia tahun 2003a
Komponen
Efisiensi PG (%)
Efisiensi Normal (%)
Mill extraction (ME)
84 – 85
95
Boiling house recovery (BHR)
70 – 80
90
Overall recoverry (OR)
59 – 79
85
Pol tebu
8 – 11
14
Rendemen
5 - 8.5
12
a

Sumber : Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional. Kerjasama Ditjen Bina Produksi Perkebunan
dengan P3GI

Berbagai masalah dalam pergulaan nasional tersebut menjadi tantangan bagi
industri gula nasional yang salah satunya adalah PT IGN. Sebagai perusahaan
joint venture antara pemerintah dan swasta yang baru saja direvitalisasi pada
tahun 2008 dituntut untuk terus berkembang dan meningkatkan produktivitasnya.
Sebagai pabrik yang baru direvitalisasi, PG Cepiring di bawah PT IGN memiliki
potensi untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdayanya, oleh karena itu
penting untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi gula di PG Cepiring milik
PT IGN yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi industri gula
nasional khususnya untuk wilayah Jawa Tengah. Langkah tersebut dapat diawali
dengan menganalisis faktor-faktor produksi gula sehingga mengetahui kekurangan
atau kelebihan dalam penggunaan faktor produksi yang akan mampu
meningkatkan produktivitas pabrik gula. Sehingga dalam jangka pnjang akan
mampu berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi petani.
Perumusan Masalah
Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting
yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami
era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang
beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen
mencapai 11.0 persen - 13.8 persen. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3
juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung
oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah,
prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al. 2000).
Industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 58 pabrik gula (PG)
aktif, 46 PG dikelola oleh BUMN dan 12 PG dikelola oleh swasta. Luas areal tebu
yang dikelola umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung,
dan Sulawesi Selatan (Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional P3GI 2006).
Kondisi pergulaan Indonesia saat ini tidak terlepas dari beragam
permasalahan. Permasalahan tersebut berasal dari sisi onfarm, pabrik, dan sosial
ekonomi. Hal ini juga yang terjadi di Jawa, sejak tahun 1993 industri gula di Jawa
mengalami penurunan secara besar-besaran. Luas areal menurun sebesar 32.62
persen dari 310.2 ribu hektar menjadi 209 ribu hektar dan produktivitas menurun
sebesar 27.33 persen dari 6.22 ton/hektar menjadi 4.52 ton/hektar (Arkeman et al.
2002).
Perkembangan produksi yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas
dari kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada keberadaan PG. Pada

7
dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun. Disamping disebabkan oleh
umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak
mencapai standar (Dewan Gula Indonesia 2012). Sebagai contoh, PG yang ada di
Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling).
Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga PG yang berada di
Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46.2persen. Selanjutnya, PG diluar Jawa
yang mempunyai kapasitas 14.2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak
8.6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39.4persen (Dewan Gula Indonesia
2012). Hal ini memberikan indikasi bahwa PG yang berada di Jawa perlu
melakukan konsolidasi dan rehabilitasi.
Perusahaan pabrik gula berbeda dengan perusahaan industri non pertanian,
pabrik gula pada umumnya sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku tebu
(Suratiyah et al. 2004). Suatu sektor industri dapat berjalan dengan baik dan
bertambah besar bila nilai tambah, input, maupun outputnya meningkat. Untuk
dapat meningkatkan output tersebut, faktor-faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi pabrik gula harus dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu produsen gula di pulau Jawa adalah PT Industri Gula Nusantara
yang mengelola PG di Cepiring Kendal. Semakin tingginya konsumsi gula
masyarakat merupakan peluang bisnis sekaligus tantangan bagi pabrik gula.
Peluang untuk meningkatkan produksi guna untuk memenuhi permintaan
masyarakat dan tantangan terhadap peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak
dalam bidang yang sama. Dengan kata lain tingkat persaingan menjadi lebih
tinggi. PG Cepiring juga harus bersaing untuk mendapatkan sumberdaya terbaik,
baik persaingan dalam mendapatkan sumber bahan baku, tenaga kerja, maupun
bahan pembantu yang digunakan dalam kegiatan produksi gula.

Uraian
Jumlah
Tebu
Rendeme
n tebu
Raw
Sugar
Rendeme
n RS
Gula
Kristal
Putih
a

Tabel 8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiringa
2010
2011
2012
Target
Realisasi Target
Realisasi Target
Realisasi
108 011 135 902 146 000 150 048 180 000 76 649
6.50

5.37

6.75

5.79

7.00

7.05

142 594

142 593

125 545

116 780

177 800

126 839

93.4

93.13

94.5

90.95

94.5

94.44

133 183

140 452

118 640

117 679

168 021

126 476

Sumber : PT IGN Pabrik Gula Cepiring

Masalah umum yang dihadapi PG di Jawa juga turut dialami PG Cepiring
ini. Kelangkaan bahan baku, tingginnya biaya produksi dan tataniaga bahan baku
impor yang tidak menentu dapat mengancam kelangsungan pabrik gula cepiring,
ditambah areal lahan di pulau jawa menghambat pabrik melakukan perluasan
usaha. Tingkat efisiensi PG juga belum menunjukkan PG berproduksi secara
optimal seperti PG diluar Jawa. Selain kedua hal tersebut perdagangan gula dunia

8
yang sangat distortif juga turut melemahkan dayasaing PG Cepiring. indikator
efisiensi lainnya dapat dilihat dari perbandingan antara target dan realisasi pada
Tabel 8.
Belum optimalnya PG Cepiring dapat dilihat dari perbandingan target dan
realisasi pada Tabel 8. Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah tebu yang
diperoleh pada tahun 2012 tidak mencapai target. Jumlah raw sugar tahun 2011
dan gula kristal putih pada tahun 2012 juga mengindikasikan inefisiensi pabrik.
Padahal pihak perusahaan telah menetapkan target berdasarkan batas bawah yang
bisa dicapai.
Jika dilihat tercapainya kapasitas terpasang pabrik. PG Cepiring memiliki
kapasitas giling 22 423 ton per tahun yang masih lebih rendah dibandingkan
kapasitas giling rata-rata pabrik gula di Jawa yaitu 31 648 ton per tahun. Hal
tersebut disebabkan jumlah pasokan tebu yang masih dibawah kapasitas giling
pabrik maupun tingkat rendemen yang masih rendah dimana data pada 2010 dan
2011 tingkat rendemen PG masing-masing adalah 5.37 persen, dan 5.79 persen,
serta pada 2012 sebesar 7.05 persen. Angka ini masih dibawah angka rendemen
target pada 2010-2011, sedangkan pada 2012 masih dibawah angka rata-rata
nasional yaitu 7.35 persen.
Jika PG PT IGN mampu memanfaatkan faktor-faktor produksinnya secara
optimal maka akan dapat mencapai tujuan perusahaan untuk memperoleh profit
yang maksimal atau setidak-tidaknya terhindar dari kerugian (normal profit) dan
mensejahterakan petani. Namun demikian kendala yang dihadapi oleh pabrik gula
ini semakin berat karena berkurangnya sumberdaya yang tersedia. Oleh karena
itu, perlu ditelaah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula serta
efisiensi penggunaannya agar target PG dalam memenuhi kapasitas giling
terpasang dapat terwujud. Dengan mengetahui tingkat efisiensi penggunaan faktor
produksi, maka perusahaan akan memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor
produksi yang menghambat pencapaian kondisi efisien dalam kegiatan produksi
gula. Sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat pertimbangan dalam
melakukan evaluasi terhadap kegiatan produksi perusahaan dalam rangka
mencapai tujuan perusahaan dan mampu bersaing dengan produsen lain.
Oleh karena itu salah satu hal yang sangat penting adalah efisiensi produksi
berdasarkan pada hasil analisis kuantitatif, dengan kata lain sangat diperlukan
analisis untuk menjawab beberapa pertanyaan:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula PT.
IGN Cepiring?
2. Apakah kegiatan produksi gula di Pabrik Gula PT. IGN Cepiring dijalankan
secara efisien?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula
PT. IGN Cepiring
2. Menganalisis tingkat efisiensi alokatif produksi gula di Pabrik Gula PT IGN
Cepiring

9
Manfaat Penelitian
1. Bagi pihak perusahaan, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan keputusan untuk
merumuskan strategi dalam meningkatkan produksi dan efisiensinnya di dalam
mengembangkan PG.
2. Bagi pihak perusahaan atau PG lain, hasil penulisan penelitian ini diharapkan
dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan
keputusan untuk merumuskan strategi untuk meningkatkan produksi dan efisiensi
di dalam mengembangkan PG terutama di wilayah Jawa.
3. Bagi penulis, hasil penulisan penelitian ini sebagai aplikasi dari ilmu yang
diperoleh selama masa perkuliahan.
4. Bagi peneliti lain, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang upaya
pengembangan pabrik gula.
5. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan bahan
masukan dalam strategi pengembangan pabrik gula dan revitalisasi pabrik gula di
wilayah lain. Terutama terkait dengan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi
produksi gula di pabrik gula.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pabrik dan
produksi gula tanpa membahas dan menganalisis hasil sampingan produksi gula.
Penelitian ini hanya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula
Pabrik Gula Cepiring PT IGN pada saat musim giling dan diluar musim giling.
Variabel yang dibahas saat musim giling ada delapan variabel bebas. Sedangkan
saat diluar musim giling variabel yang digunakan ada enam. Selain itu penelitian
juga menganalisis efisiensi produksi secara alokatif dengan menggunakan rasio
NPM (Nilai produk Marjinal) dan BKM (Biaya Korbanan Marjinal) sehingga
tidak semua kombinasi optimal dari input diketahui. Penelitian ini menggunakan
fungsi Cobb Douglas dengan metode pendugaan OLS (Ordinary Least Square)
yang diolah menggunakan software SPSS 20.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data perusahaan terutama
produksi dari masa giling tahun 2010 – 2012 (per periode). Produksi gula yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah gula konsumsi atau gula putih, dan tidak
mencakup hasil sampingan produksi seperti tetes. Selain itu penelitian ini hanya
mengenai produksi gula pada bagian industri pengolahan atau off-farm dan
pengaruh kebijakan tataniaga impor gula mentah. Penelitian ini tidak membahas
pengaruh kebijakan pemerintah lainnya terhadap produksi gula pabrik.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengusahaan Tebu
Menurut Supriyadi (1992) tanaman tebu (Saccharum Officinarum L)
merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri, sebab
di dalam batangnnya terdapat zat gula. Tinggi batang antara 1 sampai 5 meter,
tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Daur

10
kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertunasan, fase
pemanjangan batang, fase kemasakan dan diakhiri dengan fase kematian 3
komoditas tebu di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, di tahun 1930 Indonesia pernah menjadi
negara pengekspor gula terbesar kedua di Dunia setelah Kuba (Mubyarto 1984).
Pada saat itu Indonesia mampu memproduksi gula sebesar 3 juta ton dengan luas
lahan sekitar 200 000 hektar, dan rendemen mencapai 13.8 persen (Mubyarto,
1984 dan Sabrina 2011). Keberhasilan tersebut salah satunnya bersumber pada
kemudahan pabrik-pabrik gula dalam memanfaatkan lahan yang subur untuk
pertanaman tebu dengan sistem sewa paksa dari petani. Kemudahan itu dijamin
dalam UU Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) dan UU sewa tanah (Grondhuur
Ordonantie 1918).
Sistem pola tanam tebu di Indonesia setidaknya mengalami empat kali
pergantian. Pertama, pada saat pemerintahan Hindia Belanda sistem pola tanam
yang berlaku adalah glebagan atau perguliran komoditas yang ditanam. Kedua,
pada saat pemerintahan Presiden Soeharto berlaku sistem Tebu Rakyat Intensif
(TRI) dengan Inpres No. 9 Tahun 1975 (Asnur, 1999 dan Mardianto dkk, 2005).
Ketiga, berlakunya Inpres No. 5 Tahun 1998 petani bebas menentukan jenis
komoditas yang akan ditanamnya, yang memberikan keuntungan bagi petani
(Pakpahan, 2003). Keempat, sistem pola tanam yang berlaku sampai saat ini
adalah pola tanam tetap (Nuryanti, 2007).
Ketika transisi kekuasaan dari Belanda ke Indonesia banyak pabrik-pabrik
gula yang dinasionalisasi. Walaupun pemerintah telah mengambil alih pabrikpabrik gula tersebut tetapi sistem sewa tetap digunakan, yaitu pabrik gula
menyewa lahan milik petani lalu mengusahakannya sendiri. Dengan sistem sewa
tersebut petani hanya memperoleh pendapatan dari sewanya dan petani tidak
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka pada tahun 1975 dikeluarkan Inpres No.9
Tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pokok-pokok pikiran
yang terkandung di dalamnya dapat diringkas sebagai berikut:
1) Mengganti sistem sewa yang biasa dijalankan oleh pabrik gula dengan sistem tebu
rakyat. Petani melakukan usaha budidaya di lahannya sendiri dengan menerapkan
teknologi yang telah dianjurkan. Dalam pengelolaan usahatani tebu dilakukan
dalam satuan kelompok hamparan. Sedangkan pabrik gula berperan sebagai
perusahaan pengelola, yaitu bertanggung jawab secara operasional dan sebagai
pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman tebu diwilayah kerjanya, serta
menyusun perencanaan areal, melaksanakan bimbingan teknis, menyediakan dan
menyalurkan bibit.
2) Melaksanakan program intensifikasi tebu dengan sistem BIMAS (Bimbingan
Masyarakat).
3) Mendudukkan pabrik gula sebagai penggiling tebu yang dihasilkan oleh rakyat
hingga menjadi gula pasir dengan sistem bagi hasil.
Program TRI ini sebenarnya telah berhasil meningkatkan luas areal
tebu,yaitu mencapai 428 000 hektar pada tahun 1994. Namun perluasan luas areal
tanaman tebu tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas karena sebagian
besar perluasan areal tebu dilakukan di lahan kering tanpa irigasi. Kemudian
kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1997 menjadi Inpres No. 5 Tahun 1998,
3

http://blog.ub.ac.id/waduh/2010/06/01/17/ [diakses 4 Februari 2013]

11
petani bebas menentukan jenis komoditas yang akan ditanamnya. Hal ini
dilakukan untuk mengikuti persyaratan IMF (International Monetary Fund)
sehingga menurunkan luas areal produksi yang telah ada. Akibatnya produksi tebu
yang dihasilkan juga rendah dan menurun.
Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menerapkan Program Akselerasi
Peningkatan Produktivitas Gula Nasional, yang meliputi kegiatan rehabilitasi atau
peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon). Program ini bertujuan
memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya
mendekati produktivitas potensial. Selain itu, program ini diperkirakan dapat
memberikan peningkatan hasil pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan
oleh adanya pergantian ratoon seluas 7000 hektar, peningkatan produktivitas
lahan dengan adanya penggunaan bibit berkualitas, dan peningkatan modal
usahatani tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), serta
pengendalian harga melalui implementasi kebijakan tata niaga pergulaan nasional.
Selain itu bongkar ratoon ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat
rendemen tebu nasional dari 7.6 persen pada tahun 2007 menjadi delapan persen
di tahun 2008. Sehingga pada tahun 2008 ditargetkan akan terjadi peningkatan
produksi gula nasional menjadi sebesar 2.6 juta – 2.7 juta ton 4 . Pemerintah
sendiri menargetkan Indonesia mampu swasembada Gula konsumsi dan industri
mencapai 5.2 juta ton pada 2014.
Dalam mekanisme pembentukan harga lewat dorongan dari APTRI telah
disepakati formula penentuan harga untuk petani, yaitu HPT=HT+a(HL-HT);
dimana HPT=harga penerimaan petani, HT= Harga Talangan atau HPP,
a=koefisien bagi hasil, dan HL=harga lelang (Khudori 2005). Negosiasi yang
dilakukan APTRI termasuk dalam menentukan besarnya koefisien bagi hasil 5060 persen untuk petani dari selisih HL dengan HT. Sehingga apabila harga gula
lebih rendah dari harga lelang maka para investor yang menanggung resiko
kerugiannya.
Penelitian terdahulu oleh Dita dan Waridin (2012) mengenai usahatani tebu
di PT.IGN Cepiring Kendal menjelaskan bagaimana pengusahaan tebu di PT. IGN
Cepiring Kendal. Sampel yang diambil adalah petani yang bermitra dengan PG
yang berjumlah 52 Orang dari 6 Kabupaten di Jawa Tengah. Karekteristik
pengambilan sampel didasarkan kepada empat karakteristik yaitu, usia, luas lahan,
lama bertani tebu, dan pendidikan. Penelitian ini membagi Usahatani tebu di PT
IGN menjadi 2 yaitu petani tebu dengan kontrak giling dan petani tebu dengan
kontrak kredit.
Dalam pembahasannya penelitian tersebut menghasilkan empat hal. Pertama,
biaya usahatani petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan ternyata lebih
besar dibandingkan dengan petani tebu yang memiliki kontrak kredit. Kedua,
penerimaan petani tebu dengan kontrak kredit lebih besar dibandingkan dengan
petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan, begitu pula pendapatannya.
Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan atau laba bersih
yang diperoleh petani tebu yang memiliki kontrak kredit dengan petani tebu yang
memiliki kontrak penggilingan. Keempat, kemitraan antara petani tebu dengan PT
IGN Cepiring lebih menguntungkan apabila membuat kontrak kredit.

www.els.bappenas.go.id “Deptan Optimis Tak Perlu Impor Gula” diakses 4 Februari 2013.

4

12
Hasil penelitian Dita dan Wardani dapat menjadi salah satu rumusan strategi
pada penelitian ini jika terjadi Inefisiensi terkait kurangnya pasokan tebu.
Sehingga langkah yang diambil dari penelitian efisiensi produksi PG bisa
dikombinasikan dengan penelitian yang terlebih dahulu dilakukan mengenai
usahatani PG Cepiring.
Pengusahaan Pabrik Gula
Sejak tahun 1975 pabrik gula telah dinyatakan secara resmi sebagai usaha
pemroses atau pengolah tebu menjadi gula pasir. Pabrik gula juga berperan
sebagai pembimbing petani dalam budidaya tebu. Kerja sama tersebut dilakukan
untuk memperoleh jumlah dan kualitas tebu sesuai harapan. Sebagai imbalan atas
pemrosesan tebu menjadi gula pasir, pihak pabrik gula menerima “ongkos
giling”yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan hasil giling. Sistem
pembagian hasil ini ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip dasar pembagian adalah
semakin tinggi rendemen tebu yang digilingkan semakin tinggi pula persentase
bagian yang diterima petani. Dengan demikian, semakin banyak hasil gula
semakin rendah ongkos gilingnya. Walaupun telah beberapa kali dilakukan
peninjauan, ketentuan bagi hasil ini tidak banyak berubah. Ketentuan bagi hasil
yang tercantum dalam SK Mentan No.03/SK/Mentan/BIMAS/VI/187 menyatakan
bahwa:
1) Petani tebu akan mendapatkan 62 persen gula yang dihasilkan dari tebu yang
nilai rendemennya sampai dengan delapan persen, bila rendemen melampaui
delapan persen maka petani mendapatkan tambahan hasil.
2) Petani tebu akan mendapatkan bagian tetes sebanyak 4,5 kilogram untuk setiap
kuintal tebu yang digilingkan.
Berdasarkan kepemilikannya sebagian besar pabrik gula di Indonesia
adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sisanya adalah BUMS (Badan
Usaha Milik Swasta). Pada tahun 1930, Indonesia memiliki 179 pabrik gula (PG).
Saat ini Indonesia hanya memiliki 62 pabrik gula yang aktif berproduksi dengan
total kapasitas mencapai 200 000 TCD. Pabrik-pabrik tersebut mampu
memroduksi 2.3 juta ton gula dari total kapasitas produksi 3.45 juta ton.
Kebutuhan gula yang tidak mampu dipenuhi dari produksi domestik diperoleh
dari impor gula yang berasal dari Thailand, Brazil, dan Amerika (Dewan Gula
Indonesia, 2012).
Pada umumnya pabrik-pabrik yang ada beroperasi dibawah kapasitas
giling dan memiliki indikasi inefisiensi. Hal ini terutama terjadi pada PG yang
berada di Jawa dan dikelola BUMN. Kerugian akibat inefisiensi ini diperkirakan
mencapai 4.2 Triliun5. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil
(kurang dari 3 000 TCD) karena mesin yang sudah tua serta tidak mendapat
perawatan yang memadai yang menyebabkan biaya produksi per kilogram gula
tinggi.
Pemenuhan bahan baku pabrik gula di Indonesia dapat di tempuh dengan 2
cara yaitu melalui pengusahaan tebu dan impor gula mentah. Khusus untuk
pemenuhan bahan baku melalui impor telah diatur oleh pemerintah melalui
5

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/01/04112127/Inefisiensi.Pabrik.Gula.Rp.4.2.Tril
iun “Inefisiensi Pabrik Gula Rp4,2 T” diakses 4 februari 2013.

13
Keputusan (SK 643/2002) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan
perdagangan, Rini Soewandi pada 2002. Pada 2004, memperindag penggantinya
Mari E. Pangestu menyempurnakan menjadi SK 527/2004. Komponen utama
kebijakan tersebut menyangkut kuota impor, hingga pengaturan distribusi gula
impor. SK inilah yang menjadi acuan dalam impor gula yang berlaku hingga
sekarang.
Pada mulanya Berdirinya PT IGN Cepiring ditujukan untuk membantu
pemerintah dalam Program Swasembada Gula di Jawa Tengah. Dimana konsumsi
gula Jawa tengah sebesar 360 000 ton dan produksi gula 260 000 (tidak termasuk
PT IGN). Dengan berdirinya PT. IGN diproyeksikan produksi gula di Jawa
Tengah mencapai 380 000 ton. PT IGN Cepiring diperkirakan mampu menyerap
produksi petani di sekitar lokasi kurang lebih 3 200 ha tanaman tebu dan tenaga
kerja yang mampu diserap sekitar 6 000 orang (Suprayoga 2007). Kapasitas giling
tebu sebesar 1 800 ton per hari.
Kenyataan yang ada di lapangan, kapasitas giling maupun penyerapan
produksi tebu PT IGN Cepiring belum terpenuhi oleh hasil panen tebu lokal.
Berdasarkan data dari PT IGN Cepiring (2012), PT IGN Cepiring hanya
menyerap produksi tanaman tebu dari lahan seluas 2 471 ha pada tahun 2011.
Luas areal tersebut belum mampu memaksimalkan kinerja PT IGN Cepiring yang
kapasitas gilingnya sebesar 1 800 ton per hari. Keenganan petani untuk
melakukan usahatani tebu merupakan salah satu penyebab kapasitas giling PT
IGN Cepiring belum terpenuhi.
Pada penelitian ini analisis efisiensi produksi diperlukan untuk mengetahui
apakah benar pabrik gula PT.IGN telah berproduksi secara optimal. Diharapkan
hasil tersebut akan memotivasi petani untuk menanam tebu lebih baik dengan
kondisi pabrik yang semakin baik.
Rendemen
Rendemen tebu adalah kandungan gula di dalam batang tebu yang
dinyatakan dengan persen. Rendemen tebu yang ideal sekitar 7 – 9 persen.
Rendemen tebu berpengaruh terhadap produktivitas, dengan semakin kecilnya
rendemen akan menyebabkan produktivitas semakin menurun.
Penyebab kecilnya rendemen tebu adalah (a) kurang terpadunya jadwal
tanam dan panen, (b) lamanya perjalanan dari kebun ke pabrik pengolahan, (c)
kondisi mesin yang sudah tua/usang. Berkaitan dengan rendemen terdapat tiga
macam rendemen, yaitu:
1. Rendemen Contoh
Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah
suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Rendemen
contoh adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat
rendemen yang sudah ada. Melalui rendemen contoh ini akan diketahui kapan
saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen
yang optimal.
Supriyadi (1992) menyatakan bahwa cara mendapatkan rendemen tebu
adalah dengan mengambil beberapa batang tebu contoh setiap 15 hari sekali.
Tebu contoh ini dibawa ke pabrik gula dan digiling pada gilingan contoh di
laboratorium untuk diketahui berapa tingkat niranya. Dari hasil nilai nira ini

14
kemudian dikalikan dengan faktor rendemen, maka akan diperoleh tingkat
rendemennya. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Rendemen = Nilai Nira x Faktor Rendemen
Dari hasil analisis rendemen contoh ini, dapat diketahui tingkat rendemen
tebu saat ini. Faktor-faktor lain yang perlu diamati adalah faktor kemasakan,
faktor koefisien daya tahan, dan faktor koefisien peningkatan.
2. Rendemen Sementara
Perhitungan rendemen sementara perlu dilaksanakan untuk menentukan
bagi hasil gula, tetapi sifatnya masih sementara. Sedangkan penentuan bagi
hasil yang benar akan diperhitungkan setelah rendemen nyata diketahui. Cara
mendapatkan rendemen sementara ini adalah dengan mengambil nira perahan
pertama tebu yang akan digiling untuk dianalisis di laboratorium untuk
mengetahui seberapa besar rendemen sementara tersebut. Hasil perhitungan
antara rendemen sementara dengan rendemen nyata perbedaannya biasanya
hanya kecil, atau hampir sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung
rendemen sementara adalah sebagai berikut:
Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira
Faktor Rendemen (FR) merupakan hasil dari prestasi tanaman, prestasi
hasil gilingan, dan prestasi pengolahan gula di pabrik. Prestasi tanaman dapat
dilihat dari besar kecilnya jumlah nira yang didapat. Hasil perahan brix (HPB)
dan perbandingan antara hasil bagi kemurnian (PSHK) merupakan indikator
dari prestasi gilingan. Sedangkan besar kecilnya nilai nira merupakan suatu
petunjuk atas prestasi dalam bidang pengolahan.
3. Rendemen Efektif
Rendemen efektif disebut juga rendemen nyata atau rendemen terkoreksi.
Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling
habis dalam jangka waktu tertentu. Rumus untuk menentukan rendemen nyata
adalah :

Peningkatan produktivitas pabrik gula dapat diperoleh melalui
peningkatan rendemen. Rendemen sangat dipengaruhi teknik budidaya dan
pemeliharaan yang dilakukan petani tebu dan kondisi fisik mesin produksi gula
di pabrik gula. Beberapa hal yang mempengaruhi rendemen meliputi: 1)
penataan varietas dan pembibitan; 2) Waktu tanam dan Pengaturan kebutuhan
air; 3) Pemupukan berimbang; 4) Pemeliharaan tanaman tebu; 5)Tebang muat
dan angkut tebu.
Kebijakan Tataniaga Impor Raw Sugar (Gula Mentah)
Gula mentah atau raw sugar adalah gula setengah jadi berbentuk kristal
berwarna kecoklatan dengan bahan baku dari tebu. Untuk mengasilkan raw sugar
perlu dilakukan proses seperti berikut : Tebu Giling Nira Penguapan Kristal
Merah (raw sugar)6. Raw Sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 - 1200
IU. Gula tipe ini adalah produksi gula “setengah jadi” dari pabrik-pabrik
6

http://disbun.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/45“Gula
Rafinasi”Diakses 5 Februari 2013

15
penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan yang biasanya jenis gula
inilah yang banyak diimpor untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih
maupun gula rafinasi.
Pada tingkat pusat Kemendag/Kemenkeu menggunakan instrumen impor
dan bea masuk untuk tujuan stabilisasi harga dan pemenuhan bahan baku gula
mentah (GM) untuk pabrik Gula dan Pabrik Gula Rafinasi. Agar impor dapat
dikelola maka pemerintah menetapkan kuota impor, waktu impor, dan menunjuk
importir khusus yaitu importir terdaftar (IT) dan importir produsen (IP).
Untuk impor Gula Putih, perusahaan BUMN seperti PTPN/RNI, PPI, dan
BULOG dengan kriteria tertentu ditetapkan sebagai IT. Sama halnya dengan gula
putih untuk Gula Mentah. Izin impor GM hanya untuk IP, yaitu untuk PGR, dan
sejumlah PGP ( Pabrik Gula Putih), dan perusahaan penghasil MSG (Monosodium
Glutamat). Dalam waktu yang sama pemerintah juga mengalokasikan ku