Menganalisis unsur Intrinsik dan ekstrin

  

Menganalisis Unsur Intrinsik dan

Ekstrinsik pada

cerpen “KUCING” karya Putu Wijaya

  

Disusun Oleh

Nama : Mayu Dwi Anjani

Kelas : XII IPA Unggulan-1

No. Ab : 17

  

MA Negeri 2 Mataram

2013/2014 A. UNSUR INTRINSIK

  Bukti : Pagi-pagi ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.

  ”Saya kira pada bulan Ramadan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak,” katanya. ”Maksud Pak Haji?” ”Saya mendapat komplin dari Pak Michael, tetangga Bapak,

  Bapak sudah menzalimi mereka.” ”Menzalimi bagaimana?” ”Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena

  Bapak pukul. Apa betul?” ”O, ya, kalau itu betul!” ”Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi Pak

  Micahel itu lebih sayang pada kucing daripada anak- anaknya sendiri.” ”O begitu?” ”Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat shock oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak.”

  ”Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan reca-reca saya yang disiapkan untuk buka.”

  ”Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja.” ”Dia curi dari almari!” ”Apa kucing bisa membuka almari, Pak?” ”Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup.” ”Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya,

  Pak.” ”Salah siapa? Salah saya?” ”Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah.” ”Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!”

  ”Memang begitu, Pak.” ”Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama

  Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terima kasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sorry, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?!” ”Memang itu maksud beliau.” ”Apa?” ”Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya.” Pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi. Saya terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar. ”Kami bukannya tidak punya duit Pak RT,” kata istri saya yang memang cepat naik darah, ”tapi ini soal keadilan.

  Masa kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri reca-reca suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum kan?!” Pak RT termenung. Diam-diam saya mengucap syukur. Kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.

  2. Latar/Setting

  • Latar Tempat :

  a) Toko Buku : “Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu.

  Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada.” Paragraf 4.

  b) Jalan Raya : “Menggendong seabrek belanjaan yang mungkin tidak akan pernah saya baca itu, saya sebrangi Jakarta. Lalu-lintas sudah makin brengsek. Janji untuk menurunkan rasa nyaman bagi pejalan kaki, ternyata omong kosong semua. Motor berseliweran siap membunuh penjalan kaki yang meleng. Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.” Paragraf 5.

  c) Rumah : “Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan magrib terdengar. Cepat saya rogoh kunci dari saku dan buru-buru masuk rumah.” Paragraf 6.

  • Latar Suasana : Menegangkan Bukti : “Darah saya langsung mendidih.

  ”Bangsat!”

  Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawa kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Khewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan reca- reca saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar. Paragraf 17 Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman, waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyebrang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.” Paragraf 18

  • Latar Waktu :

  a) Sore Hari : “Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan magrib terdengar.” Paragraf 6.

  b) Pagi Hari : “Pagi-pagi ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.” Paragraf 20.

  3. Alur : Alur Maju Bukti : Pada cerpen “Kucing” karya Putu Wijaya tersebut, alur yang digunakan adalah alur maju. Dapat dibuktikan dari ceritanya yang bertahap dari awal, yaitu ketika si tokoh Aku jengkel terhadap kucing sampai sampai Ia memukul kucing , dan pada akhir cerita, kucing tersebut mati.

  4. Tokoh :

  a) Aku

  b) Pak RT

  c) Istri

  d) Dede

  e) Kucing

  f) Pak Michel

  5. Penokohan a) Aku : Pemarah, egois, Keras Kepala, dan bertanggung jawab.

  b) Pak RT : Baik hati, dan bijaksana.

  c) Istri : Baik hati, patuh terhadap suami, namun keras kepala.

  d) Dede : Lugu, penurut pada orang tua.

  e) Kucing : Suka mencuri ikan, layaknya kucing pada umumnya.

  f) Pak Michel : Penyayang kucing, dan egois.

  6. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama.

  7. Gaya Bahasa

  a) Personifikasi : “Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.” Paragraf 5.

  b) Alegori : “Tapi dasar kepala batu”. Paragraf 2.

  c) Personifikasi : “Motor berseliweran siap membunuh penjalan kaki yang meleng.” Paragraf 5.

  8. Amanat :

  a) Janganlah egois. Sesuatu yang dianggap baik menurut diri sendiri belum tentu baik menurut orang lain.

  b) Hendaklah dapat bersifat arif dalam menyikapi segala persoalan supaya dapat menumbuhkan rasa simpati pada orang lain.

  c) Kekerasa tidak akan menyelesaikan masalah, justru sebaliknya menimbulkan masalah.

  B. UNSUR EKSTRINSIK 1) Biografi Pengarang

  Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis

cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh

Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, ia

memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan

sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.

  Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga

  

drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan

kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.

  Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah

Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo

(1971--1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).

  Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena

tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan.

Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (19791985).

  

Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri,

antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan

dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu, ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985--1988).

  Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang

ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan

Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.

  Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus

pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani)

tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969).

Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah

dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon

yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia. Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain

berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel, telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand. Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis

drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia

cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.

Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam

Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, 1985) memberi komentar

bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan. Nilai Moral : “ 2) Darah saya langsung mendidih.

  ”Bangsat!” Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawa kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Khewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan reca-reca saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar.

  Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman, waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyebrang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.” Paragraf 18. “Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabok, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya sobek kuitansi itu di depan matanya. Perlahan-lahan menjadi potongan- potongan kecil.”. Paragraf 38.

  Nilai moral yang terdapat pada penggalan cerita di atas

  • adalah nilai moral yang jelek, yaitu seorang laki laki yang keras kepala dan kasar. 3) Nilai Sosial : “”Baiklah,” kata Pak RT kemudian, ”demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak
merusakkan kekhusukan bulan Ramadan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu, saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?” Paragraf 22. Nilai sosial yang terdapat pada penggalan cerita di atas  adalah Saling tolong menolong untuk tetap mempererat tali silaturrahmi antar tetangga.