UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DRAMA

UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DRAMA
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DRAMA
Oleh: Hafidah
1.

Pengertian Drama
Drama merupakan karya sastra yang di tulis dalam bentuk percakapan atau dialog yang
dipertunjukkan oleh tokoh di atas pentas di hadapan para penonton. Drama adalah karya sastra
yang bertujuan untuk menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi
melalui lakuan dan dialog. Drama memiliki beberapa ciri, diantaranya:
1.
Berbentuk dialog
2.

Ada pelakunya

3.

Untuk dipentaskan

4.


Ada penontonnya

2.
1.

Unsur Intrinsik Drama
Tema
Tema adalah ide dasar atau pijakan pokok penggambaran cerita. Tema drama yang baik
harus berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dipahami benar
oleh penulis dan mudah diterima oleh pembaca naskah drama atau penonton pertunjukan drama.
Tema dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot melalui tokoh-tokohnya. Tema digali oleh
pengarang melalui renungan mendalam atas pengalaman jiwanya, kemudian dituangkan dalam
dialog-dialog yang tepat dan kuat. . Tema drama misalnya tentang kehidupan, persahabatan,
kesedihan, kemiskinan, dan lain sebagainya.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam drama adalah pemegang peran dalam drama. Tokoh-tokoh drama disertai
penjelasan mengenai nama, umur, jenis kelamin, ciri-ciri fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya.
Sesuai perannya dalam jalan cerita, tokoh drama dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tokoh Utama (Protagonis)

Tokoh utama (protagonis) yaitu tokoh yang memiliki kehendak tertentu dalam cerita. Biasanya
kehendak yang baik atau kabijakan. Oleh sebab itu, tokoh ini disebut sebagai tokoh karakter baik.
2. Tokoh Penentang (Antagonis)
Tokoh penentang (antagonis) yaitu tokoh yang menentang kehendak tokoh utama. Tokoh ini
sering disebut sebagai tokoh berkarakter jahat.
3. Tokoh Penengah (Tritagonis)
Tokoh penengah (tritagonis) yaitu tokoh yang perannya menengahi pertikaian antara tokoh
utama dan tokoh penentang.
Ada tiga jenis tokoh bila dilihat dari sisi keterlibatannya dalam menggerakan alur, yaitu:
1.
Tokoh sentral merupakan tokoh yang amat potensial menggerakan alur. Tokoh
sentral merupakan pusat cerita, penyebab munculnya konflik.
2.
Tokoh bawahan merupakan tokoh yang tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
prkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam pengembangan alur itu.
3.
Tokoh latar merupakan tokoh yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap
pengembangan alur. Kehadirannya hanyalah sebagai pelengkap latar, berfungsi
menghidupkan latar.
Secara keseluruhan tokoh terdiri atas sepuluh ragam, yaitu


1.

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, tokoh dibagi menjadi:
1.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun dikenai kejadian.
2.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sedikit dalam cerita atau tidak
dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara
langsung ataupun tak langsung dan hanya tampil menjadi latar belakang cerita.

2. Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan menjadi:
1.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya disebut
hero. Ia merupakan tokoh yang taat norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita
(Altenbernd & Lewis dalam Nurgiantoro 2004: 178). Identifikasi tokoh yang demikian
merupakan empati dari pembaca.
2.

Tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik atau sering disebut
sebagai tokoh jahat. Tokoh ini juga mungkin diberi simpati oleh pembaca jika dipandang
dari kaca mata si penjahat itu, sehingga memperoleh banyak kesempatan untuk
menyampaikan visinya, walaupun secara vaktual dibenci oleh masyarakat.
3. Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi:
1.
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu
atau sifat watak yang tertentu saja, bersifat datar dan monoton.
2.
Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya,
kelebihan dan kelemahannya. Jadi, ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini.
4. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita, tokoh dibedakan
menjadi:
1.
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan
atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi
(Altenbernd & Lewis, dalam buku Teori Pengkajian Fiksi 1994: 188).
2.
Tokoh berkembang adalah tokoh yang cenderung akan menjadi tokoh yang
kompleks. Hal itu disebabkan adanya berbagai perubahan dan perkembangan sikap, watak

dan tingkah lakunya itu dimungkinkan sekali dapat terungkapkannya berbagi sisi
kejiwaannya.
5. Bedasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dalam
kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi:
1.
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih ditonjolkan kualitas kebangsaannya atau pekerjaannya
Altenbernd & Lewis (dalam Nurgiantoro 2002: 190) atau sesuatu yang lain yang bersifat
mewakili.
2.
Tokoh netral adalah tokoh yang bereksistensi dalam cerita itu sendiri. Ia merupakan
tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
Penokohan adalah pemilihan nama tokoh, watak, dan peran yang ditampilkan. Penokohan
harus sesuai dengan tema, amanat, latar penceritaan agar tidak terkesan janggal. Sebagai proyeksi
realita, penokohan dan perwatakan hendaklah wajar dan alamiah. Watak tokoh dapat dibaca
melalui gerak-gerik, suara, jenis kalimat, dan ungkapan yang digunakan. Juga dapat dilihat pada
dialog, tingkah laku, cara berpakaian, jalan pikiran, atau ketika tokoh itu berhubungan dengan
tokoh-tokoh
lainnya.


3.

Dialog
Dialog adalah percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam drama. Dialog dapat

melancarkan cerita atau lakon dan mencerminkan pikiran tokoh cerita. Dialog berfungsi
menghubungkan tokoh yang satu dengan tokoh yang lain dan berfungsi dalam menggerakan cerita
dan melihat watak atau kepribadian tokoh cerita tersebut. Dialog dapat disebut sebagai nyawa
cerita dan dialog yang terlalu panjang, tidak jelas, tanpa ekspresi, hafalan dan kata-katanya kurang
berisi, jelas akan merusak drama. Kekuatan kata, vokal, dan ekspresi sangat penting. Oleh sebab
itu, dialog dalam drama harus memenuhi dua tuntutan penting, yaitu dialog harus turut menunjang
gerak laku tokohnya, dan dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada
ujaran
sehari-hari.
Selain dialog, dalam drama juga dikenal istilah monolog (adegan sandiwara dengan pelaku tunggal
yang membawakan percakapan seorang diri; pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri),
prolog (pembukaan atau pengantar naskah yang berisi keterangan atau pendapat pengarang tentang
cerita yang akan disajikan), dan epilog (bagian penutup pada karya sastra yang fungsinya
menyampaikan intisari atau kesimpulan pengarang mengenai cerita yang disajikan).
4.


Plot/alur
Plot/alur adalah rangkaian peristiwa dalam konflik yang dijalin dengan saksama dan
menggerakan jalan cerita. Sebuah alur cerita juga harus menggambarkan jalannya cerita dari awal
(pengenalan) sampai akhir (penyelesaian). Alur cerita terjalin dari rangkaian ketiga unsur, yaitu
dialog, petunjuk laku, dan latar/setting. Jalan cerita lebih menarik apabila tidak bisa ditebak
sebelumnya oleh pembaca atau penonton, sehingga mereka mengikutinya sampai selesai.
Dalam alur terdapat bagian terpenting, yaitu klimaks atau puncak ketegangan konflik. Klimaks
harus tajam, agar misi drama tercapai. Drama yang datar tidak menarik. Adapun bagian-bagian plot
(unsur pembentuk alur) drama sebagai berikut:
1.
Eksposisi (pelukisan awal), yaitu bagian cerita yang bertujuan memperkenalkan
cerita, tokoh, dan latar drama agar penonton memperoleh gambaran drama yang
ditontonnya.
2.
Konflik, yaitu keadaan di mana tokoh terlibat dalam suatu pokok permasalahan.
Pada bagian inilah awal mula terjadinya insiden pertikaian.
3.
Komplikasi (pertikaian), yaitu bagian cerita yang mengisahkan persoalan baru
sebagai akibat konflik antartokoh.

4.

Klimaks (puncak ketegangan), yaitu peristiwa puncak atau puncak konflik.

5.
peleraian, yaitu tahap peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukan perkembangan
lakuan kearah selesaian.
6.
Penyelesaian (happy ending/akhir bahagia, sad ending/ akhir sedih), yaitu tahap
akhir suatu cerita.
Ada dua penyelesaian dalam alur cerita yaitu terbuka dan tertutup. Selesaian terbuka
diserahkan kepada penonton. Dan selesaian tertutup adalah selesaian yang diberikan oleh
pengarang/sastrawan. Dilihat dari urutan peristiwanya alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu alur
maju (progresif), alur mundur (regresif), dan alur gabungan/campuran (progresif-regresif). Namun,
dalam alur sebuah naskah drama bukan permasalahan maju-mundurnya sebuah ceita seperti yang
dimaksudkan dalam karangan prosa, tetapi alur yang membimbing cerita dari awal hingga tuntas.
Jadi, sudah pasti alur dalam drama itu adalah alur maju. Dalam alur, juga dikenal istilah sekuen.
Sekuen yaitu ringkasan yang di buat pada bagian cerita. Hal ini dapat terjadi pada saat ada
perubahan, seperti perubahan waktu, perubahan tempat, perubahan cerita, dan lain sebagainya.
5.

Latar/setting
Latar/setting adalah keterangan atau gambaran tentang tempat/ruang, waktu, dan suasana
berlangsungnya peristiwa dalam drama. Latar drama sesuai dengan jalan cerita dan dipilih yang
mudah dipentaskan agar tetap sepeti latar aslinya. Latar memberikan pijakan cerita dan kesan
realistis kepada pembaca untuk menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah sungguh ada dan

terjadi (Nurgiyantoro, 1995:17). Kualitas latar drama perlu didukung oleh benda-benda atau
perabot
dan
bahasa
yang
digunakan.
6.

Petunjuk
Laku
Petunjuk laku atau catatan pinggir berisi penjelasan kepada pembaca atau para pendukung
pementasan mengenai keadaan, suasana, peristiwa, atau perbuatan, tokoh, dan unsur-unsur cerita
lainnya. Petunjuk laku sangat diperlukan dalam naskah drama. Petunjuk laku berisi petunjuk teknis
tentang tokoh, waktu, suasana, pentas, suara, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya

dialog, dan sebagainya. Petunjuk laku ini biasanya ditulis dengan menggunakan huruf yang dicetak
miring atau huruf besar semua. Di dalam dialog, petunjuk laku ditulis dengan cara diberi tanda
kurung di depan dan di belakang kata atau kalimat yang menjadi petunjuk laku.
7.

Amanat
Amanat/pesan adalah ajaran moral/pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca/penonton melalui karyanya. Amanat merupakan nilai implisit dalam cerita yang harus di
cari penonton. Amanat dalam drama bisa diungkapkan secara langsung (tersurat) dan bisa juga
tidak langsung atau memerlukan pemahaman lebih lanjut (tersirat). Drama yang baik hendaknya
mengandung pesan kemanusiaan, sehingga mampu mengembalikan manusia kepada sifat-sifat
kebaikannya.
3.

Unsur
Ekstrinsik
Drama
Menurut Tjahyono (1985), unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar
struktur karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik pada
karya sastra merupakan wujud murni pesan yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca.

Adapun
unsur
ekstrinsik
dalam
drama
terdiri
atas
empat
bagian,
yaitu:
1)

Nilai
Sosial-budaya
Nilai sosial-budaya adalah nilai yang berkaitan dengan norma yang ada di dalam masyarakat.
Nilai sosial-budaya ini berhubungan dengan nilai peradaban kita sebagai manusia. Karena budaya
mempunyai makna pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang
sukar di ubah, dan sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang/ beradab/ maju, maka
nilai-nilainya pun berkembang sesuai dengan masalah-masalah yang terjadi pada manusia.
2)
buruk

Nilai
Moral
Nilai moral adalah nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti/susila atau baik
tingkah
laku.

3)

Nilai
Agama/religius
Nilai agama/religius adalah nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama.

4)
Nilai

CONTOH
"SEPASANG
KARYA:
Para
1.
2.

ekonomi

adalah

Nilai
nilai

yang

ANALISIS
MERPATI
BAKTI

berkaitan

dengan

Ekonomi
perekonomian.

DRAMA
TUA"
SOEMANTO
pelaku:
Nenek
Kakek

Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri
ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples
berisi panganan. Agak tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang
terdapat
pintu
dan
jendela.
Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia menengok ke
belakang,
kalau-kalau
suaminya
datang.
Saat
itu
hari
menjelang
malam.
1. Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada
lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil
cangkir,
lalu
meminumnya)
2.
Kakek
: (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
3.
Nenek
: Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
4.
Kakek
: Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca Koran.
5.
Nenek
:
Mengapa
membaca
koran
mesti
pakai
kopiah
segala?
6.
Kakek
:
Agar
komplit,
Bu
7.
Nenek
: yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi
sekarang,
kopiah
hanya
bernilai
tambah
penghangat
belaka.
8.
Kakek
: (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)
9.
Nenek
:
Mengapa
tidak
duduk
di
sini?
10.
Kakek
:
Sebentar.
11.
Nenek
:
Ada
berita
rahasia
12.
Kakek
:
Rahasia?
13.
Nenek
:
Habis
kau
baca
Koran
kenapa
menyendiri?
14.
Kakek
:
Malu.
15.
Nenek
:
Malu?
Kau
aneh.
Malu
pada
siapa?
16. Kakek : Dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa pacaran
terus….
17.
Nenek
: (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan
kepalanya
ke
bahu
Kakek
sebelah
kiri).
18.
Kakek
:
Gila.
Malah
demonstrasi.
19.
Nenek
:
Sekali
waktu
memang
perlu.
20.
Kakek
:
Ya,
tapi
kan
bukan
untuk
saat
ini?
21.
Nenek
:
Kukira
justru!
22.
Kakek
:
Duilah
apa-apaan
ini.
23.
Nenek
:
Agar
orang
tetap
tahu,
aku
milikmu.
24.
Kakek
:
Siapa
mengira
kita
sudah
cerai?
25. Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke kursi dan
duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut kenyataankenyataan.
26.
Kakek
:
Bagus!
27.
Nenek
:
apa
maksudmu?
28.
Kakek
:
Tindakan
terpuji,
itu
namanya.
29.
Nenek
:
He,
apa
sih
maksudmu,
pak?
30.
Kakek
:
Mengaku
dosa
di
depan
orang
banyak!
31.
Nenek
:
Hu…hu…hu…
(Menangis)
32.
Kakek
: He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
33. Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini? Istrimu
bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh. Hu…hu…hu…
34. Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu yang
berani.
35.
Nenek
:
(Tiba-tiba
berhenti
menangis).
Berani?
Aku
pemberani?

36.
Kakek
:
Ya,
kau
pantas
disejajarkan
dengan
ibu
kita
Kartini.
37.
Nenek
:
Ibu
Tin?
38.
Kakek
:
Bukan,
bukan
bu
tin,
Ibu
kita
Kartini.
39. Nenek : Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin, kan. Apa salahnya?
40. Kakek : Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan main semberono dengan
sebutan-sebutan
yang
multi
interpretable….
41.
Nenek
:
Ah,
laga
profesormu
kumat
lagi,
pak?
42.
Kakek
:
Yaaa,
aku
dulu
memang
punya
cita-cita
jadi
professor.
43.
Nenek
:
Dan
kandas.
44.
Kakek
: Belum. O, malah sudah berhasil. Cuma tunggu pengakuan.
45. Nenek : Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di perguruan tinggi
maupun
di
dunia
ini.
46.
Kakek
:
Secara
formal
memang
tidak.
Secara
material
ia.
47.
Nenek
:
Hah,
bagaimana
mungkin?
48. Kakek : Kau lihat, banyak mahasiswa yang dating kemari, bukan? Tidak hanya itu, malahan
para guru besar pada datang ke mari. Mereka mengajak diskusi aku, segala macam soal. Dari soalsoal
tata
pemerintahan
sampai
bagaimana
mengatasi
kesepian.
49.
Nenek
: Bukankah itu Cuma omong-omong, mengapa mesti dikatakan diskusi?
50.
Kakek
: Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong, he…?
51.
Nenek
: Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
52.
Kakek
:
Aku
kurang
senang
jadi
diplomat.
53.
Nenek
:
Tapi
kau
lebih
terkemuka,
lebih
ternama,
lebih
terkenal.
54. Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung tiba tiba)
55. Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi diplomat?
Baik.
Aku
akan
jadi
diplomat
demi
keelamatan
perkawinan
kita.
56. Kakek : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara Barat?
Timur?
Asia?
Atau
PBB…?
57.
Nenek
:
Ya,
PBB
saja….
58.
Kakek
:
Tapi…
(Lalu
duduk
di
sofa
termenung)
59. Nenek : Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih jadi ketua sidang, lantas
kelak
jadi
sekretaris
jenderal…
(Kakek
geleng
kepala)
60. Nenek : Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (Kakek memandang
nenek)
61. Nenek : Tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam saja.
Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang rencana-rencana selanjutnya.
Masih gelap bukan? Bagaimana kau mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan
berdiskusi?
(Kakek
geleng
kepala)
62. Nenek : Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik kita tercinta di PBB… (Kakek
geleng
kepala)
63.
Nenek
:
Aku
sungguh
tidak
mengerti
cita-citamu,
Pak.
64.
Kakek
: Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja….
65.
Nenek
:
Ah,
gila.
Itu
pekerjaan
gila.
66. Kakek : Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos maupun di dunia ini. Tapi pemerintah
belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong jembatan, bukan? Ini
tidak adil. Maka aku menyatakan diri. Maka aku menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini
sebagai
diplomat
kolong
jembatan.
67.
Nenek
:
Tapi
kau
akan
terhina
68. Kakek : Selama kedudukan adalah diplomat, dimanapun ditempatkan sama saja terhinanya,
sama
saja
mulianya.
69.
Nenek
: Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu.
70.
Kakek
: Kau balum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos dimanapun juga.

71.
Nenek
:
Kau
sudah
tidak
waras.
72. Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai
meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup
baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak
sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakantindakan
kasar
ini,
perlu
ada
wakil
yang
bisa
membujuk….
73. Nenek : Ah... bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman. Bagaimana
jawabku,
Pak.
Coba
bayangkan,
bayangkan….
74. Kakek : Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak usah
khawatir, kalau kau datang arisan yang lima ribuan, dan kau ditanya orang-orang apa pekerjaanku
jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah disebut. Kalau kau dating ke arisan yang
seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…
75.
Nenek
: Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana posnya?
76.
Kakek
: Ah… (memegangi kepalanya). Begini, diplomat bagian sosial… hebat toh?
77.
Nenek
:
Masak
ada
diplomat
sosial?
78. Kakek : Kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau pintar main lidah, beres.
Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong, ada diplomasi SPP, diplomasi macam-macam saja ada.
79.
Nenek
:
Ah,
susah
aku
tak
ingin
kau
jadi
diploamat,
Pak.
80.
Kakek
:
Tapi,
aku
sudah
terlanjur
cinta
dengan
pekerjaan
itu.
(Nenek
termenung)
81.
Kakek
:
(Memandang
Nenek).
Susah…
82.
Nenek
:
Siapa?
83.
Kakek
:
Kita
semua
84.
Nenek
:
Termasuk
para
penonton
itu?
85.
Kakek
:
Ya.
86.
Nenek
:
Kenapa?
87.
Kakek
:
Karena
kita
hidup
88.
Nenek
:
Mengapa
begitu?
89. Kakek : Orang hidup punya beban sendiri. (pergi mengambil teko, menuang kopi, lalu
meminumnya)
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka stoples lalu memakan
makanannya)
90.
Nenek
:
Seorang
diplomat
harus
tahu
aturan.
91.
Kakek
:
Apa
maksudmu?
92.
Nenek
: Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat Timur.
93.
Kakek
:
Sudah
nyopot
dari
pekerjaan.
94.
Nenek
:
Mau
pindah
pekerjaan?
95.
Kakek
:
Ya.
96.
Nenek
:
Apa?
97.
Kakek
:
Teknokrat.
98.
Nenek
:
Gila.
99.
Kakek
:
Aku
mau
jadi
teknokrat
dalam
bidang….
100.
Nenek
:
Ekonomi?
101.
Kakek
:
Bukan.
102.
Nenek
:
Politik?
103.
Kakek
:
Bukan.
104.
Nenek
:
Militer?
105.
Kakek
:
Bukan.
106.
Nenek
:
Lalu
apa?
107.
Kakek
:
Bidang
persampahan.
108.
Nenek
:
Apa?

109. Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini,
karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering
tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya… (Nenek
termenung)
110.
Kakek
:
Kau
tidak
senang?
111.
Nenek
:
Mengapa
kita
berpikir
yang
bukan-bukan?
112.
Kakek
:
Karena
kita
tak
lagi
sanggup
melihat
kenyataan-kenyataan.
113.
Nenek
:
Mengapa?
114.
Kakek
:
Kenyataan
yang
kita
lihat,
adalah
tipuan
belaka
adanya.
115.
Kakek
:
Hidup
kita
diwarnai
dengan
cara
berpikir
yang
sadis.
116.
Nenek
:
Ah,
makin
pusing
mendengarkan
bicaramu
117. Kakek : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem
membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini
tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan
teori yang tidak kita pahami sendiri…keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal
bernilai nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga hidup kita
didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu
Sofokles, Aristoteles, Albesepkan. Juga hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita
tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albesepkan. Juga hidup kita
didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu
Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir Hamzah, Chairil Anwar,… Geoethe, Shakespeare. Mereka
harus ditakdirkan kembali di sini. Citra manusia yang terpancar dari karya-karya mereka harus
dipancarkan
kembali
di
sini.
118.
Nenek
:
Suamiku…
Suamiku…
Suamiku…
Sudahlah….
119.
Kakek
: Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya, manusia harus….
120.
Nenek
:
Sudahlah…
(Menuntun
ke
sofa)
121. Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu… doktrindoktrin
itu
harus…
harus….
122. Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat
begitu….
123.
Kakek
: Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri
sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru… (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
124.
Nenek
:
(Terseduh)
125.
Kakek
: (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi aku,
tangisilah
dirimu
sendiri.
126.
Nenek
:
Kau
masih
hidup…?
127. Kakek : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti,
apa
aku
hidup
atau
tidak,
kalau
aku
menghayati
hidupku
sendiri….
128.
Nenek
:
Tetapi
kau
berbicara,
kau
bernapas….
129.
Kakek
:
Bukan
itu
ukuran
adanya
kehidupan.
130.
Nenek
:
Jangan
bicara
yang
sukar-sukar,
aku
tidak
mengerti.
131.
Kakek
:
Tentu
saja,
karena
kau
belum
mengerti
hidup.
132.
Nenek
: Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
133. Kakek : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrindoktrin
itu….
134.
Nenek
:
Bagaimana
seharusnya,
Sayangku?
135.
Kakek
:
Renungkan
dirimu
sendiri
dan
sudah
itu
menangis!
136. Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak…. (Terdengar suara jam dinding dua
belas
kali).

137.
Nenek
:
Sudah
larut
tengah
malam.
138.
Kakek
:
Ya.
Dan
sebentar
lagi
ambang
pagi
akan
datang.
139.
Nenek
:
Kita
akan
menjadi
segar
kembali
140.
Kakek
:
Dan
tambah
tua…
(Nenek
termenung.
Kakek
termenung)
141.
Nenek
:
Kapan
kita
mati?
142.
Kakek
:
Entah.
Tapi
kita
harus
siap-siap
143.
Nenek
:
Sungguh
ngeri!
144.
Kakek
:
Memang.
Tapi
itulah
kenyataannya.
145.
Nenek
:
Aku
takut
146.
Kakek
: Aku juga… (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
147.
Nenek
:
Dua
belas
kali…
148.
Nenek
:
Aneh!
Ini
tidak
mungkin.
Apa
aku
salah
mendengar?
149.
Kakek
:
Memang
begitu.
Kau
tidak
salah
dengar.
150. Nenek : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi lagi
satu
kali…,
begitu
kan?
151.
Kakek
: Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuranukuran,
konsep-konsep
tidak
terlalu
cocok….
152.
Nenek
:
Bagaimana
cara
kita
mengerti…?
153.
Kakek
:
Itulah
soalnya….
(Layar
turun,
lampu
mati)
a.
1.

Intrinsik
Tema
Tema dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto, yaitu “ Keinginan/ harapan
Untuk
Meraih
Kesejahteraan
Hidup”.
Hal ini dibuktikan dengan keinginan Kakek yang ingin menjadi seorang diplomat yang diberi pos di
kolong jembatan demi membujuk para penghuni kolong jembatan agar mau memperbaiki
hidup/nasib mereka dengan mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri.
Serta keinginan Kakek untuk menjadi seorang Teknokrat dalam bidang sampah-sampah demi
menghindari terjadinya banjir akibat dari menumpuknya sampah-sampah si selokan.
Kakek
: Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai
meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup
baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak
sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakantindakan
kasar
ini,
perlu
ada
wakil
yang
bisa
membujuk….
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini,
karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat jalan-jalan yang sering
tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya…
2.

Unsur

Tokoh
dan
Penokohan
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu:
1.
Tokoh utamanya, yaitu Nenek. Ia adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian.
2.
Tokoh Tambahannya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang ada keterkaitannya
dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.
3.
Tokoh protagonisnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang baik dan pembangun
alur dalam cerita.
4.
Tokoh antagonisnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang yang memberi konflik
pada tema dan memiliki kehendak yang berlawanan dengan Nenek.

5.
Tokoh sederhana, yaitu Nenek. Ia memiliki sifat yang baik dari awal hingga akhir
cerita.
6.
Tokoh bulatnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang memiliki perkembangan
dalam kehidupannya, yang awalnya ia merupakan orang yang percaya diri dan sehat.
Namun, pada saat ia mengungkapkan kemarahannya pada peraturan pemerintahan,
membuatnya rebah tak berdaya.
7.
Tokoh datarnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang dari awal sampai akhir
cerita tetap menunjukan sikap kabaikannya.
8.
Tokoh Statisnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi.
9.
Tokoh berkembangnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang cenderung akan
menjadi tokoh yang kompleks. Hal itu disebabkan adanya berbagai perubahan dan
perkembangan sikap, watak dan tingkah lakunya itu dimungkinkan sekali dapat
terungkapkannya berbagi sisi kejiwaanya.
10.
Tokoh sentralnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang sangat potensial dalam
menggerakan alur.
11.
bawahannya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap perkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam pengembangan alur itu.
Penokohan dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu:
1.
Nenek, seorang wanita yang baik, manja, pengkritik, cengeng, pemberani, gengsi,
dan peduli. Kebaikannya ia tunjukan ketika ia mau mendengarkan kata-kata Kakek
walaupun ia selalu tidak memahami arti dari kata-kata Kakek, tetapi ia pun mendukung si
Kakek untuk memenuhi keinginannya dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat
disekelilingnya. Sikap manjanya ia tunjukan ketika ia berdiri menghampiri Kakek dan duduk
disebelahnya, yang kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri. Sikap
pengkritiknya ia tunjukan pada saat ia selalu menyela dan mengkritik segala ucapan Kakek.
Sikap cengengnya ia tunjukan pada saat ia menangis karena tersinggung mendengar katakata Kakek yang mengatakan bahwa “Mengaku dosa didepan orang banyak”, serta menangis
pada saat Nenek melihat Kakek rebah tak berdaya karena terlalu banyak bicara. Sikap
pemberaninya ia tunjukan ketika ia berani mengakui dosanya di depan penonton dengan
mengatakan bahwa “Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi
menuntut kenyataan-kenyataan”. Sifat gengsinya ia tunjukan ketika ia tidak mau menerima
Kakek menjadi diplomat kolong jembatan dan teknokrat bidang persampahan karena gengsi
pada teman-temannya. Dan sifat pedulinya ia tunjukan ketika ia memperingatkan Kakek
agar tidak terlalu banyak bicara karena penyakit napas yang dideritanya dan berusaha
menyadarkan Kakek dalam rebahannya.
2.
Kakek, seorang lelaki yang baik, bijaksana, bergaya, pemalu, peduli, pemuji,
pengkritik, percaya diri, dan semangat tingkat tinggi. Kebaikannya ia tunjukan dalam
jiwanya yang tertanam nilai-nilai kemanusiaan yang begitu kuat, ia ingin meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan mengubah pola pikir serta konsep yang tidak
mengutamakan masyarakat menjadi orang yang lebih baik. Kebijaksanaannya ia tunjukan
ketika ia mau mendengarkan nasehat istrinya dengan penuh lapang dada dan dengan
kebijaksanaanya pula ia menerima segala keluhan-keluhan istrinya. Sifat bergayanya ia
tunjukan pada saat ia bersolek dengan memakai kopiah ketika keluar kamar hendak
membaca koran. Sifat pemalunya ia tunjukan ketika ia malu pada penonton ketika ia
berduaan dengan istrinya. Sifat pedulinya ia tunjukan pada keadaan masyarakat dan
lingkungan hingga ia menghayal ingin menjadi diplomat dan teknokrat demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakt dan kebersihan lingkungan. Sifat pemujinya ia tunjukan ketika ia

memuji sifat Nenek yang pemberani ketika Nenek berani mengakui dosanya di depan
penonton. Sifat pengkritiknya ia tunjukan pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Sifat percaya dirinya ia tunjukan ketika ia mengaku bahwa ia adalah profesor
layaknya guru besar yang mengajar diperguruan tinggi walaupun keprofesorannya hanya
tercermin pada saat ia berdiskusi dengan para guru besar dan mahasiswa. Dan sifat
semangat tingkat tingginya ia tunjukan ketika ia mengeluarkan semua kekesalan di dalam
hatinya terhadap peraturan pemerintah hingga membuatnya rebah tak berdaya karena
penyakit napasnya kumat kembali.
3)


Dialog

Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada
lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil
cangkir,
lalu
meminumnya)
Kakek
:
(Masuk).
Bagaimana
kalau
aku
pakai
kopiah
seperti
ini,
Bu?
Nenek
: Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
Kakek
: Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca Koran.
Nenek
:
Mengapa
membaca
koran
mesti
pakai
kopiah
segala?
Kakek
:
Agar
komplit,
Bu
….
Kutipan di atas disebut dialog karena percakapan itu minimal dilakukan oleh dua orang. Kutipan
teks drama di atas dapat disebut sebagai dialog karena diucapkan secara bergantian oleh tokoh
Nenek
dan
Kakek.
4.
Alur

dari

1)

drama Sepasang
Eksposisi

Merpati

Tua,

karya Bakti
(pelukisan

Soemanto

ini

Alur
adalah:
awal)

a. Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri
ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples
berisi panganan. Agak tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang
terdapat
pintu
dan
jendela.
(Pengenalan
Latar
Pentas)
b. Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia menengok ke
belakang,
kalau-kalau
suaminya
datang.
Saat
itu
hari
menjelang
malam.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya
tidak ada
lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil
cangkir,
lalu
meminumnya)
Kakek
: (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
(Pengenalan
Para
Tokoh)
Dari penggalan drama di atas, terlihat bahwa drama Sepasang Merpati Tua ini dimulai
dengan penggambaran latar pentas yang dibuat oleh pengarang sebagai pengantar cerita.
kemudian, dilanjutkan dengan pengenalan para tokoh yang di awali dengan Nenek duduk sendiri di
ruang tengah rumah sambil menyulam dan sedang menunggu Kakek datang, hingga Kakek datang
dengan
memakai
kopiah.
2)
Kakek
Nenek

Konflik
:

Mengaku
:

dosa

di
depan
Hu…hu…hu…

orang

banyak!
(Menangis)

Kakek
:
He,
ada
apa
kau,
Bu?
Ada
apa?
Digigit
nyamuk
rupanya?
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini? Istrimu bukan?
Kalau
aku
dapat
malu,
kan
kau
juga
ikut
dapat
malu
toh.
Hu…hu…hu…
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu yang berani.
Pada kutipan di atas terlihat bahwa drama sudah mulai masuk pada tahap konflik. Penggambaran
masalah sudah semakin jelas bahwa Nenek merasa di ejek/di olok-olok oleh Kakek dengan katakata “Mengaku dosa di depan orang banyak”, hingga membuatnya menagis dengan kata-kata
tersebut.
3)

Komplikasi

(pertikaian)


Nenek
:
Ah,
laga
profesormu
kumat
lagi,
pak?
Kakek
:
Yaaa,
aku
dulu
memang
punya
cita-cita
jadi
professor.
Nenek
:
Dan
kandas.
Kakek
:
Belum.
O,
malah
sudah
berhasil.
Cuma
tunggu
pengakuan.
Nenek : Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di perguruan tinggi
maupun
di
dunia
ini.
Kakek
:
Secara
formal
memang
tidak.
Secara
material
ia….
… Nenek
: Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
Kakek
:
Aku
kurang
senang
jadi
diplomat.
Nenek
:
Tapi
kau
lebih
terkemuka,
lebih
ternama,
lebih
terkenal.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung tiba tiba)
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi diplomat? Baik.
Aku
akan
jadi
diplomat
demi
keelamatan
perkawinan
kita….

Nenek
:
Mau
pindah
pekerjaan?
Kakek
:
Ya.
Nenek
:
Apa?
Kakek
:
Teknokrat….
Cerita dilanjutkan dengan perdebatan antara Nenek dan Kakek tentang jabatan yang ingin
dicapai oleh Kakek. Dimulai dengan keinginan Kakek yang ingin menjadi profesor tetapi ditentang
oleh Nenek yang lebih mengizinkan Kakek untuk menjadi diplomat dan Kakek pun menerima saran
Nenek demi menyelamatkan perkawinan mereka. Dan ceritanya dilanjutkan dengan keinginan
Kakek
yang
ingin
pindah
jabatan
dari
diplomat
menjadi
teknokrat.
4)

Klimaks

(puncak

ketegangan)

Kakek
: Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem
membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini
tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati….
Nenek
:
Suamiku…
Suamiku…
Suamiku…
Sudahlah….
Kakek
:
Hidup
manusia
harus
dikembalikan
keutuhannya,
manusia
harus….
Nenek
:
Sudahlah…
(Menuntun
ke
sofa)
Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu… doktrin-doktrin
itu
harus…
harus….
Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat
begitu….
Kakek
: Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri
sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru… (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
Nenek
:
(Terseduh)

Cerita mencapai puncaknya pada saat Kakek berbicara dengan penuh semangat hingga ia
tidak dapat mengontrol bicaranya sendiri yang membuat penyakit napasnya kambuh kembali.
Peringatan Nenek tidak didengarnya karena semangatnya tersebut. Karena semangatnya yang
terlalu berlebihan, hingga membuatnya rebah dan membuat Nenek menjerit dan menangis.
5)
Kakek
dirimu
Nenek
Kakek
aku
Nenek
Kakek
Nenek
6)

Peleraian
: (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi aku, tangisilah
sendiri.
:
Kau
masih
hidup…?
: Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti, apa
hidup
atau
tidak,
kalau
aku
menghayati
hidupku
sendiri….
:
Tetapi
kau
berbicara,
kau
bernapas….
:
Bukan
itu
ukuran
adanya
kehidupan….
Cerita ini dileraikan dengan bangkitnya Kakek dari rebahnya dan penjelasan Kakek kepada
tentang
arti
kehidupan
yang
sebenarnya.
Penyelesaian

Nenek
:
Dua
belas
kali…
Nenek
:
Aneh!
Ini
tidak
mungkin.
Apa
aku
salah
mendengar?
Kakek
:
Memang
begitu.
Kau
tidak
salah
dengar.
Nenek : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi lagi satu
kali…,
begitu
kan?
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuranukuran,
konsep-konsep
tidak
terlalu
cocok….
Nenek
:
Bagaimana
cara
kita
mengerti…?
Kakek
:
Itulah
soalnya….
Cerita ini diselesaikan dengan bunyinya lonceng jam dinding dua belas kali untuk yang
kedua kalinya yang membuat Nenek heran, dan penjelasan lebih lanjut oleh Kakek tentang
kehidupan bahwa kebiasaan, ukuran, dan konep tidak terlalu cocok untuk hidup manusia. Dan juga
masih menyisahkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengerti kahidupan. Cerita ini pun
berakhir happy ending karena Kakek kembali tersadar dari perebahannya dan bersatu kembali
dengan
Nenek.
Jika ditinjau dari pengarang mengakhiri cerita (pengakhirannya), alur drama tersebut
diakhiri dengan teknik plot terbuka, dimana pada akhir cerita masih menyisahkan pertanyaan
tentang arti kehidupan, sehingga masih menyisahkan pertanyaan dari dalam diri penonton tentang
bagaimana arti dari kehidupan tersebut. Dan cerita ini beralur maju (progresif) karena ceritanya di
mulai
dari
awal
hingga
akhir.
Penggambaran alur drama Sepasang Merpati Tua dalam bentuk sekuen, yaitu:
1.
Deskripsi keadaan ruang tengah rumah sepasang orang tua (Kakek dan Nenek).
2.
Kejengkelan
Nenek
kepada
kakek
yang
masih
saja
bersolek.
3.
Kakek
memamerkan
kopiahnya
kepada
Nenek.
4. Singgungan nenek kepda kakek yang membaca Koran dengan memakai kopiah (= sekuen 2, 12,
19)
5.
Jawaban
santai
Kakek
terhadap
singgungan
pertanyaan
Nenek.
6. Sikap mesra yang ditunjukan oleh Nenek kepada Kakek dengan menyandarkan kepalanya ke
bahu
Kakek.
7.
Sikap Kakek yang terkejut karena sikap mesra yang ditunjukan oleh Nenek.
8.
Perkataan
Kakek
yang
membuat
Nenek
menangis.
9.
Jawaban
Nenek
yang
menyatakan
alasan
mengapa
ia
menangis.

10.
Penjelasan
kakek
terhadap
jawaban
dari
Nenek.
11.
Pujian
yang
dilontarkan
Kakek
kepada
Nenek
agar
berhenti
menangis.
12. Singgungan Nenek kepada Kakek yang mengandaikan Kakek sebagai professor (= sekuan 2
dan
4,
19)
13.
Penjelasan-penjelasan
Kakek
kepada
Nenek
dalam
memuji
diri.
14.
Saran
Nenek
kepada
Kakek
untuk
mengganti
provesi.
15. Kebijaksanaan Kakek dalam menerima saran Nenek demi keselamatan perkawinan mereka.
16.
Berbagai
jenis
diplomat
yang
disarankan
Nenek
kepada
Kakek.
17.
Kekecewaan
Nenek
terhadap
keputusan
yang
diambil
oleh
Kakek.
18.
Kekecewaan
Kakek
terhadap
kehidupan
di
dunia.
19.
Singgungan nenek kepada kakek yang makan sambil berdiri (= sekuen 2,4,12)
20.
Pernyataan
Kakek
untuk
mengganti
provesinya.
21.
Kekagetan Nenek ketika mendengar provesi baru yang diinginkan oleh Kakek.
22.
Penjelasan Kakek tentang alasan mengapa ia memilih provesi barunya itu.
23.
Kesadaran
Nenek
terhadap
pemikiran-pemikiran
mereka.
24. Penjelasan Kakek terhadap pertanyaan Nenek ketika menyadari pemikiran-pemikiran yang
mereka
perdebatkan.
25.
Kepusingan Nenek ketika mendengarkan penjelasan Kakek yang tidak dipahaminya.
26. Penjelasan yang terus dilakukan Kakek kepada Nenek tentang kehidupan dunia sekarang yang
jauh berbeda dengan kehidupan yang dulu hingga membuat Kakek menjadi jatuh/rebah.
27.
Jatuhnya
Kakek
membuat
Nenek
menjadi
menangis.
28.
Kekagetan
Nenek
karena
melihat
Kakek
sadarkan
diri.
29.
Penjelasan
Kakek
terhadap
kehidupan
yang
sebenarnya.
30.
Jam
12
malam
menunjukan
waktu
telah
larut.
31.
Ketakutan Kakek dan Nenek terhadap kematian yang datangnya secara tiba-tiba.
32.
Kekagetan Nenek ketika mendengar jam berbunyi 12 kali untuk yang kedua kalinya.
33.
Penjelasan
Kakek
terhadap
pendengaran
Nenek.
34.
Pertanyaan
Nenek
tentang
bagaimana
cara
memahami
kahidupan.
35.
Jawaban
Kakek
terhadap
pertanyaan
Nenek.
5)

Latar/setting
Latar dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini terbagi tiga dua jenis,

yaitu:
1)
Latar
Tempat
a)
Ruangan tengah rumah, tempat Kakek dan Nenek duduk berbincang-bincang.
“Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua.”
b) Sofa, tempat Kakek duduk membaca Koran dan tempat Nenek menyandarkan kepalanya ke
bahu
Kakek.
Kakek
: (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)”
dan
pada
kutipan
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan kepalanya
ke
bahu
Kakek
sebelah
kiri).
c) Meja makan, tempat Nenek mengambil cangkir dan tempat Kakek mengambil panganan dari
toples.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada lain
selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil
cangkir,
lalu
meminumnya)”
dan
pada
kutipan
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka stoples lalu memakan
makanannya)
d)
Kursi,
tempat
Nenek
duduk
setelah
bangkit
dari
sofa.
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke kursi

dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut
kenyataan-kenyataan.
2)
a)

Latar
Waktu
Menjelang
malam
hari,
waktu
Kakek
dan
Nenek
berbincang-bincang.
Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia menengok ke
belakang,
kalau-kalau
suaminya
datang.
Saat
itu
hari
menjelang
malam.
b)
Empat puluh tahun yang telah lampau, waktu Kakek menjadi juru tulis.
Nenek : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi sekarang,
kopiah
hanya
bernilai
tambah
penghangat
belaka.
c)
Delapan
puluh
tahun,
waktu
Nenek
menjalani
kehidupan.
Nenek
: Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
d)
Jam 12 malam, waktu Kakek dan Nenek tersadar bahwa waktu telah larut.
Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak…. (Terdengar suara jam dinding dua
belas
kali).
Nenek
:
Sudah
larut
tengah
malam.
3)
Latar
Suasana
a. Jengkel, perasaan Nenek kepada Kakek karena selalu bersolek dengan memakai kopiah ketika
membaca
koran.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada
lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil
cangkir,
lalu
meminumnya)
Kakek
:
(Masuk).
Bagaimana
kalau
aku
pakai
kopiah
seperti
ini,
Bu?
Nenek
: Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
Kakek
: Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca Koran.
b. Romantis, suasana ketika Nenek duduk di samping Kakek sambil menyandarkan kepalanya ke
bahu
kakek
sebelah
kiri.
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan kepalanya
ke
bahu
Kakek
sebelah
kiri).
c. Mengolok-olok, suasana ketika Kakek berbicara kepada Nenek hingga membuatnya menangis.
Kakek
:
Tindakan
terpuji,
itu
namanya.
Nenek
:
He,
apa
sih
maksudmu,
pak?
Kakek
:
Mengaku
dosa
di
depan
orang
banyak!
Nenek
:
Hu…hu…hu…
(Menangis)
Kakek
:
He,
ada
apa
kau,
Bu?
Ada
apa?
Digigit
nyamuk
rupanya?
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini? Istrimu bukan?
Kalau
aku
dapat
malu,
kan
kau
juga
ikut
dapat
malu
toh.
Hu…hu…hu…
d. Sedih, suasana hati Nenek ketika diolok-olok oleh Kakek dan suasana hatinya ketika Kakek
rebah
tah
berdaya.
Kakek
:
Mengaku
dosa
di
depan
orang
banyak!
Nenek
:
Hu…hu…hu…
(Menangis).
Dan
pada
kutipan:
Kakek
: Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri
sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru… (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
Nenek
:
(Terseduh)
e.
Menghibur,
tindakan
Kakek
untuk
membuat
Nenek
berhenti
menangis.
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu yang
berani.
f.
Percaya diri, sikap Kakek ketika ia menyatakan diri ingin menjadi profesor, diplomat, dan

teknokrat.
Kakek
:
Yaaa,
aku
dulu
memang
punya
cita-cita
jadi
professor.
Kakek : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara Barat?
Timur?
Asia?
Atau
PBB…?
Kakek
:
Aku
mau
jadi
teknokrat
dalam
bidang….
g.
Ikhlas, sikap Kakek ketika menerima saran Nenek untuk menjadi diplomat demi
menyelamatkan
perkawinan
mereka.
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi diplomat?
Baik.
Aku
akan
jadi
diplomat
demi
keelamatan
perkawinan
kita.
h.
Termenung, sikap Nenek ketika mendengar pembicaraan Kakek dan sikap Kakek ketika
mendengar
pembicaraan
Nenek.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung tiba tiba)
Kakek
:
Tapi…
(Lalu
duduk
di
sofa
termenung)
i.
Berdebat, sikap Nenek dan Kakek yang memperdebatkan jabatan menjadi profesor, diplomat,
dan
teknokrat.
j.
Sadar, suasana ketika Nenek dan Kakek tersadar bahwa apa yang telah mereka perdebatkan
hanyalah
hayalan
semata.
Nenek
:
Mengapa
kita
berpikir
yang
bukan-bukan?
k. Menegangkan, suasana ketika Kakek berbicara dengan penuh semangat hingga membuatnya
rebah
tak
berdaya
yang
membuat
Nenek
menjerit
dan
menangis.
Kakek
: Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri
sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru… (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
Nenek
:
(Terseduh)
l.
Bangkit,
keadaan
Kakek
setelah
terbangun
dari
rebahannya.
Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi aku, tangisilah
dirimu
sendiri.
m.
Mengerikan,
suasana
hati
Nenek
ketika
mengingat
kematian.
Nenek
:
Kapan
kita
mati?
Kakek
:
Entah.
Tapi
kita
harus
siap-siap
Nenek
:
Sungguh
ngeri!
n.
Menakutkan, suasana hati Nenek dan kakek ketika mengingat kematian.
Kakek
:
Memang.
Tapi
itulah
kenyataannya.
Nenek
:
Aku
takut
Kakek
:
Aku
juga…
(Terdengar
lonceng
jam
dinding
dua
belas
kali)
o. Aneh, suasana hati Nenek ketika mendengar suara jam dinding berbunyi dua belas kali untuk
yang
kedua
kalinya.
Nenek
:
Dua
belas
kali…
Nenek
:
Aneh!
Ini
tidak
mungkin.
Apa
aku
salah
mendengar?
p. Bingung, suasana hati Nenek yang tidak paham dengan arti kehidupan yang dijelaskan oleh
Kakek.
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuranukuran,
konsep-konsep
tidak
terlalu
cocok….
Nenek
:
Bagaimana
cara
kita
mengerti…?
Kakek
:
Itulah
soalnya….
6.

Petunjuk
Laku
Petunjuk laku yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu diantaranya
terdapat
pada
kutipan
berikut:


Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada lain
selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil
cangkir,
lalu
meminumnya)
Kakek
:
(Masuk).
Bagaimana
kalau
aku
pakai
kopiah
seperti
ini,
Bu?
Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka lembarannya)
Kakek : Dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa pacaran terus….
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu menyandarkan kepalanya ke
bahu
Kakek
sebelah
kiri).
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke kursi dan
duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut kenyataankenyataan.
….
7.

Amanat
Amanat dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini, yaitu:
1.
Jika kita memiliki ilmu, maka manfaatkanlah ilmu itu untuk kepentingan orang banyak.
2.
Jika kita menjadi seorang pemimpin, maka perhatikanlah kepentingan masyarakat demi
menciptakan
kesejahteraan.
3. Jika kita memiliki jabatan tertentu, maka manfaatkanlah jabatan tersebut dengan sebaikbaiknya
demi
kepentingan
diri
sendiri
dan
orang
lain.
4.
Hargailah tiap jabatan yang diperoleh, bagaimana pun jenis jabatannya.
5. Hargailah tiap kehidupan yang diperoleh, karena kehidupan yang telah diperoleh sebelumnya
tidak
akan
pernah
kembali
lagi.
b.

Unsur
Ekstrinsik
Nilai-nilai yang terkandung dalam drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto,

yaitu:
1)

Nilai
sosial-budaya
Nilai sosial-budaya terletak pada niat Kakek yang ingin menjadi diplomat kolong jembatan
untuk membantu orang-orang yang tinggal di kolong jembatan agar mau hidup baik-baik dengan
berusaha untuk mencari pekerjaan yang layak dan menimbulkan kepercayaan diri sendiri. Juga
dapat dilihat pada niat Kakek yang ingin menjadi Teknokrat di bidang persampahan demi mencegah
terjadinya
banjir.
Kakek
: Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai
meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup
baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak
sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakantindakan
kasar
ini,
perlu
ada
wakil
yang
bisa
membujuk….
Kakek
:
Aku
mau
jadi
teknokrat
dalam
bidang….
Kakek
:
Bidang
per