Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN

TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK

KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 090200487

SUCI KHARISMA SAABA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN

TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK

KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 090200487

SUCI KHARISMA SAABA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Adiministrasi Negara

NIP. 19600214987032002 Suria Ningsih, SH.,M.Hum

Pembimbing I

NIP. 195813166143911002

Zaidar, SH.M.,Hum

Pembimbing II

Affan Mukti, SH.M.,Hum NIP. 195711201986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan

Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012

”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Zaidar, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta


(4)

bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Affan Mukti, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013 Penulis

NIM : 090200487


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metodologi Penulisan ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan. ... 7

BAB II. GAMBARAN UMUM PENGADAAN TANAH ... 10

A. Pengaertian Pengadaan Tanah ... 10

B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA ... 12

C. Landasan Hukum Pengadaan Tanah ... 31

BAB III. BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH ... 45

A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ... 45

B. Pelaksanaan Tanah Untuk Kepentingan Swasta ... 52

C. Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan ... 53


(6)

A. Proses Musyawarah ... 58

B. Penetapan Bentuk Dan Besarnya Ganti Kerugian ... 62

C. Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dan Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Proses Pemberian Ganti Kerugian Untuk Kepentingan Umum ... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran. ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA. Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi.

Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan hambatan-hambatan apa yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimulai dengan adanya musyawarah antara masyarakat yang terkena proyek kepentingan umum dengan pihak pemerintah yang akan melakukan kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Apabila musyawarah telah tercapai maka tingkatan selanjutnya adalah penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah tersebut. Hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum adalah: Hambatan yang datang dari Pemerintah, Kekurangan dana dan Ganti rugi tanahnya belum selesai. Hambatan lainnya adalah hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh pemerintah setempat yang dianggap masih tidak layak. Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.


(8)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA. Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi.

Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan hambatan-hambatan apa yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimulai dengan adanya musyawarah antara masyarakat yang terkena proyek kepentingan umum dengan pihak pemerintah yang akan melakukan kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Apabila musyawarah telah tercapai maka tingkatan selanjutnya adalah penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah tersebut. Hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum adalah: Hambatan yang datang dari Pemerintah, Kekurangan dana dan Ganti rugi tanahnya belum selesai. Hambatan lainnya adalah hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh pemerintah setempat yang dianggap masih tidak layak. Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Dengan memiliki cipta, rasa, dan karsa, manusia telah mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi yang akan datang. Dalam arti bahwa pemanfaatan sumber daya alam bagi kebutuhan generasi sekarang juga mempertimbangkan dan memperhatikan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.

Hal tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna


(10)

kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.

Pada dasarnya, secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu dikuasainya.1

Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah di samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah tidak mutlak. Namun demikian negara harus menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang-undang.

Hal ini berarti nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu. Namun demikian negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan pembangunan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan baik dengan pencabutan hak maupun dengan pengadaan tanah.

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara

1

Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 82.


(11)

yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA.

Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Sehingga apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.

Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sekarang ini dituangkan dalam PeraturanPresiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mencabut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Hal ini dikarenakan, Keppres No.55/1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.

Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya. Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Namun demikian berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini dalam praktek pengadaan tanah bagi kepentingan umum hak dan kepentingan masyarakat pemilik tanah kurang mendapat perlindungan hukum dan belum ada


(12)

pengertian serta sikap yang sama diantara pelaksanan termasuk badan pengadilan dalam melaksanakan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga timbul kesan seakan-akan hukum tidak atau kurang memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memeperhatikan peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan ditempuh dengan jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Apabila pengadaan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.

Berdasarkan uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada, maka penulis berkeinginan mengkaji permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:


(13)

1. Bagaimana proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum? 2. Hambatan-hambatan apa yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi

hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum perdata dalam kaitannya dengan pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan. b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui dari pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

E. Metodologi Penulisan


(14)

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.2

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti KUH Perdata, PMDN No. 15 Tahun 1975, Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2005.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

2

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2003. hal. 32


(15)

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:


(16)

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab II. Gambaran Umum Pengadaan Tanah

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengertian pengadaan tanah, hak atas tanah menurut UUPA, landasan hukum pengadaan tanah menurut PMDN No. 15 Tahun 1975, Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2005.

Bab III. Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang secara umum dibahas mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pengadaan tanah untuk kepentingan swasta dan tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan.

Bab IV. Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap proses musyawarah, penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian, serta hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.


(17)

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(18)

BAB II

GAMBARAN UMUM PENGADAAN TANAH

A. Pengertian Pengadaan Tanah

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.3

Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Selain Pengadaan tanah, perlu juga diketahui pengertian tentang kepentingan umum, mengingat pengadaan tanah di Indonesia senantiasa ditujukan untuk kepentingan umum. Memberikan pengertian tentang kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Selain sangat rentan karena penilaiannya sangat subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur

3


(19)

secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat terkait. Namun, hal tersebut telah dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :

a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

e. Tempat pembuangan sampah; f. Cagar alam dan cagar budaya;

g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.

Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti


(20)

kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian. Dan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda

yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.

B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA

Sebelum masuk pada pembahasan berikut ini maka terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian hak atas tanah. Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, oleh karena sebagian besar kehidupan manusia adalah bergantung kepada tanah.


(21)

dicadangkan untuk kehidupan dimasa yang akan datang, sebab tanah merupakan tempat bermukim bagi umat manusia, di samping sebagai sumber kehidupan bagi mereka yang mencari nafkah seperti petani, tanah juga dipergunakan sebagai tempat persemayaman terakhir bagi orang yang meninggal dunia.

Mengingat kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat disebabkan pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi yang selalu membutuhkan tanah maka diperlukan suatu pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah, yang dengan singkat disebut Hukum Tanah.

Hukum Tanah di Indonesia saat ini adalah berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang ini tidak hanya mengatur tanah saja akan tetapi termasuk di dalamnya bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, maka Hukum agraria tersebut memberikan pengertian bumi, air dan ruang angkasa sebagai berikut : " Bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air, air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia, ruang angkasa, ialah ruang di atas bumi dan air ".4

Dari uraian tersebut nampak bahwa Hukum Agraria meliputi Hukum Tanah atau Hukum Tanah termasuk sebagian dari Hukum agraria. Berdasarkan hak menguasai dari Negara, seperti yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3)

4


(22)

Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah memberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang atau kepada suatu badan hukum.

Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Tanah adalah permukaan bumi, maka hak atas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan tanahnya saja sedangkan benda-benda lain di dalam tanah umpamanya bahan-bahan mineral, minyak dan lain-lainnya tidak termasuk. Hal yang terakhir ini diatur khusus dalam beberapa peraturan perundangan lain, yaitu undangundang-undang tentang ketentuan pokok pertambangan. 5

Setelah hak atas tanah diberikan kepada seseorang maupun kepada suatu badan hukum, maka terjadilah suatu hubungan hukum antara pemilik tanah atau terhadap yang berhak atas tanah.

Dengan adanya hubungan hukum ini, maka yang mempunyai hak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap tanahnya seperti mengadakan jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain sebagainya.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 bahwa yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.

Berdasarkan uraian di atas, maka seseorang atau Badan Hukum yang mempunyai suatu hak, oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta

5


(23)

wajib pula memelihara termasuk untuk menambah kesuburan tanahnya dan mencegah kerusakan tanah tersebut.

Untuk menjaga keamanan dan kepastian hukum hak atas tanah, maka setiap orang yang memperoleh dan memiliki hak hendaknya mengusahakannya agar dapat memiliki sertifikat hak atas tanah. Dengan demikian si pemiliksertifikat hak atas tanah tersebut, akan lebih merasa aman dan tenang untuk mempergunakan haknya.

Membicarakan hak-hak tanah ini maka kita harus meninjaunya dari berbagai sudut hukum yang hidup di Indonesia, baik itu hukum adat, Perdata dan Agraria.

1. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Hak-hak atas tanah menurut hukum adat ini di Indonesia dapat kita lihat seperti : Hak pertuanan dari persekutuan desa.

Hak pertuanan ini, yang dinamakan hak ulayat tidak melekat pada perseorangan (individu), melainkan pada suatu persekutuan seperti desa di Jawa. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht.6

Hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar maksudnya warga luar masih ada kemungkinan untuk dapat mengenyam/menggarap tanah ulayat tersebut dengan izin persekutuan serta telah membayar uang pemasukan (mesi) dalam bahasa Jawa. Memang pada prinsipnya warga luar tidak boleh mengenyam/menggarap tanah ulayat itu, kecuali dengan cara yang baru disebut

6

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, PT. Internasa, Jakarta, 2000, hal. 26.


(24)

di atas.

Sedangkan berlaku ke dalam, persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersamaan sebagai kesatuan, hak ulayat dimaksud memetik hasil dari pada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup di atasnya.

Yang menjadi objek hak ulayat ini adalah : a. Tanah (daratan).

b. Air (perairan eperti misalnya kali, danau, pantai beserta perairannya). c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara luar (pohon, buah-buahan,

pohon-pohon kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya). d. Binatang yang hidup liar.7

Hak-hak yang dapat diperoleh seseorang warga dari satu persekutuan hukum di dalam lingkungan tanah ulayatnya adalah :

a. Hak menebang kayu.

Setiap penduduk (warga) dapat menebang kayu di hutan-hutan dengan tidak meminta izin dan atau memberitahukan kepada yang berwajib, kayu mana akan dipergunakannya untuk kayu api atau perumahan.

b. Hak memungut hasil hutan.

Hasil hutan, seperti rotan, damar dan lain-lain dapat diperoleh oleh setiap warga dengan cara dan syarat, sebagaimana pada hak menebang kayu. c. Hak mengembalakan ternak.

Setiap warga berhak melepaskan ternaknya, tidak saja di atas tanah mentah, tetapi juga di atas tanah-tanah yang telah diusahakan, umpamanya sawah, tetapi pada waktu sawah itu tidak ditanami atau pada waktu kosong. Apabila

7

Surojo Wignyodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 2003, hal. 239.


(25)

pemilik tidak mengizinkannya, maka dia harus membuat pagar di sekeliling sawah tersebut.

d. Hak memburu.

Dengan tidak memerlukan izin dan juga tidak harus membayar ganti kerugian, setiap warga dapat berburu dalam lingkungan tanah ulayat dari suatu persekutuan hukum.

Hak-hak tersebut di atas sebenarnya belum/bukan hak atas tanah, tetapi hak yang dapat diperoleh atas binatang-binatang dan tanam-tanaman, yang hidup dan tumbuh liar di atas tanah ulayat. Jadi dalam hal ini untuk lebih jelas mengenai hak atas tanah yang dapat diperoleh seorang warga dari persekutuan hukum di dalam lingkungan tanah ulayat adalah dimulai dengan :

Hak-Hak Perorangan atas tanah : a. Hak membuka tanah.

Untuk memperoleh hak ini pada umumnya diperlukan izin karena tanpa izin dari yang berwajib perbuatan itu melanggar hukum dan pekerjaan yang telah dimulai harus dihentikan. Pemberian izin biasanya hanya dengan lisan saja.

b. Hak memungut hasil.

Hak memungut hasil, satu hak perseorangan atas tanah. Hak ini mempunyai sifat sementara, dengan perkataan lain hanya dapat diperoleh untuk satu tahun panen.

Apabila di atas tanah ini terdapat pohon kelapa (atau lontar Bali) yang memperoleh hak memungut hasil tidak dapat memungut hasil dari pohon


(26)

ini, karena dalam hukum adat hak atas pohon dipisahkan dari hak atas tanah, yang mempunyai hak atas pohon ialah yang menanamnya dan hak ini dapat sedemikian kuatnya sehingga menimbulkan hak atas tanah, di atas mana pohon itu ditanam. Jadi apabila sebidang tanah ditanami rapat dengan tanaman keras, pohon kelapa atau rambung umpamanya, maka hak atas pohon-pohon rambung/kelapa ini menimbulkan hak atas tanahnya, karena tanaman keras adalah satu tanda bekas dari pembukaan, yang masih memberi hasil.

c. Hak Wenang Pilih.

Hak ini ialah hak pertama terhadap tanah, hak seseorang warga untuk didahulukan dari yang lain mengusahakan, menguasai tanah. Haknya ini tidak dapat dipertahankan apabila dilewatkan dengan begitu saja waktu untuk menanam, karena seseorang warga yang lain dapat menuntut supaya tanah tersebut diusahakan terus atau diberikan kepada yang menuntut untuk diusahakannya.

d. Hak belengket atau hak wenang beli.

Hak seseorang untuk didahulukan dari orang lain mendapat kesempatan membeli tanah pertanian/perumahan dan empang dengan harga yang sama disebut hak belengket/hak wenang beli.

Hak ini diberikan kepada :

1) Sanak saudara untuk didahulukan dari yang bukan sanak saudara. 2) Teman sesama warga persekutuan dengan menyisihkan orang asing, 3) Pemilik tanah/empang yang berbatasan untuk diutamakan dari orang


(27)

lain.

Jika yang tersebut di atas ini tidak ada yang berminat, barulah diberikan kepada orang lain untuk membelinya.

e. Hak milik.

Dengan meninggalkan cara mengusahakan tanah hanya untuk satu tahun panen saja (wissel bouw), sebagaimana pada hak memungut hasil, maka terjadilah pengusahaan tanah yang lebih kekal oleh seseorang warga atas tanah yang dapat disebut sebagai hak miliknya, jadi hak milik timbul apabila sebidang tanah diusahakan terus-menerus dan/atau ditanami dengan tanaman keras seluruhnya.

Menurut hukum adat, hak milik merupakan hak perseorangan atas tanah dan merupakan hak yang paling pokok. Sekalipun hak ini merupakan hak yang paling pokok, namun hak ini masih dapat dibatalkan apabila :

1) Tidak diusahakan terus, sehingga hapus lenyap segala bekas-bekas tanda-tanda usaha manusia, kembali menjadi belukar dengan melewati satu tingkatan dari cara menyatakan hak atas tanah.

2) Tidak ada lagi yang berhak atasnya, umpamanya apabila pemilik pergi meninggalkan daerah persekutuan hukum.

3) Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh persekutuan hukum.

f. Hak atas tanah perumahan.

Hak ini adalah hak setiap orang yang telah berumah tangga (kawin) atas sebidang tanah untuk perumahan, biasanya ini telah ditentukan pada suatu


(28)

tempat tertentu. Dalam hal ini yang membutuhkannya harus meminta izin kepada Kepala Persekutuan. Sesudah itu harus membebaskan tanah dari segala beban, umpamanya membayar ganti kerugian utuk tanam-tanaman keras kepada pemiliknya.

g. Hak Atas Tanah Jabatan.

Selama dalam masa jabatannya seorang warga diberikan sebidang tanah, yaitu tanah jabatan. Dari tanah ini ia berhak dan dapat menarik keuntungan. Hak yang diterangkan di atas ini ialah hak yang diperoleh dengan mengadakan satu tindakan, perbuatan yang tegas, mengadakan ikatan dengan tanah, yang di dalam aslinya dikuasai penuh oleh hak ulayat dari satu persekutuan hukum.

Transaksi tanah yang dilakukan berdasarkan hak atas tanah : a. Gadai

Penyerahan tanah dengan perjanjian bahwa pemilik dapat memperoleh tanahnya kembali apabila uang yang dipinjam dalam jumlah yang serupa dikembalikan. Yang menerima gadai dapat menarik keuntungan dari tanah tersebut bagaikan seorang pemilik, terkecuali menjual lepas, dan apabila pada suatu waktu juga memerlukan uang, maka tanah ini dapat digadaikannya lagi.

b. Jual lepas.

Menjual tanah kepada orang lain, dimana si pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada si pemilik tanah/penjual, sedangkan si pemilik menyerahkan haknya atas tanah yang dibeli.


(29)

c. Jual tahunan.

Penyerahan tanah dengan perjanjian, bahwa sesudah habis waktu yang ditentukan, yaitu sesudah beberapa tahun panen, tanah dimaksud kembali kepada pemilik tanpa ada sesuatu perbuatan hukum. Selama diserahkan maka yang memberikan uang dapat menarik keuntungan dari tanah tersebut yaitu memungut hasil.

Transaksi-transaksi yang dilakukan dan memiliki hubungan dengan tanah:

a. Membela Tanah (Bola Pinang).

Pemilik tanah yang tidak berkesempatan untuk mengerjakan endiri tanahnya itu menyerahkan kepada orang lain untuk diusahakannya, dengan ketentuan bahwa hasil dari tanah tersebut dalam jumlah yang telah ditentukan terlebih dahulu harus diserahkan kepada pemilik tanah, sedangkan sebagian lagi menjadi bahagian dari orang yang mengerjakan tanah tersebut.

b. Hak sewa.

Apabila seseorang menempati atau mengusahakan tanah orang lain dengan pembayaran sejumlah uang kepada pemiliknya dan dalam tempo yang diperjanjikan terlebih dahulu. Perjanjian sewa ini dapat diputuskan bila masa waktu yang ditentukan sudah habis.

c. Hak Jaminan.

Hak jaminan ialah memberikan tanah sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, hal mana harus diperbuat di muka yang berwajib. Hal ini tidak sama dengan gadai karena gadai tanahnya dikuasai oleh pembeli gadai


(30)

sedangkan pada jaminan ini bendanya tetap dikuasai oleh pemiliknya, dan ia dituntut harus melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, bila ia tidak dapat melunasi hutangnya maka benda (tanah) jaminan dapat dirubah misalnya hak gadai ataupun jual lepas untuk pelunasannya.

d. Hak menumpang

Hak ini diperoleh seseorang untuk mendiami rumah yang ada di atas tanah orang lain, yang mana hak ini diperolehnya atas kemurahan hai dari si pemilik tanah/rumah. Jadi dalam hal ini si penumpang tidak perlu membayar sewa, tetapi yang menumpang harus memberikan bantuan sepenuhnya kepada si pemilik tanah.

Hak perseorangan : a. Hak Pakai

Apabila seseorang warga persekutuan meninggalkan daerah tempat tinggalnya buat sementara, maka ia dapat memberikan kepada sanak saudaranya ataupun teman sekampung untuk mengusahakan dan menjaga tanahnya selama ia bepergian. Hak yang memperoleh izin untuk mengusahakan tanah tersebut disebut hak pakai.

b. Grant Sultan.

Grant Sultan adalah suatu hak yang diberikan oleh Sultan kepada seseorang yang termasuk kaula swapraja/kerabat sultan untuk mengusahakan tanah, hak ini akan hapus bila yang memohon/meminta tidak menguasainya lagi.

c. Grant Controleur.


(31)

1) Orang yang tunduk kepada KUH Perdata, 2) Orang Indonesia rakyat Gouverment.

Sebenarnya Grent Contreleur hampir sama dengan Grant Sultan hanya yang memberikan dan pendaftarannya di Kantor Contrloleur..

d. Grand Deli Mij.

Sehubungan yang disebut di atas mengenai Grant Controleur diterangkan juga satu jenis hak atas tanah yang hanya terdapat di lingkungan kota Medan yang disebut Grand Deli Mij. 8

Dari kata pemberian tidak dapat diketahui hak apa yang diberikan Deli Mij, semula disangka bahwa Deli Mij akan melimpahkan sebagian dari hak yang diperoleh : Grand Controleur. Tetapi kemudian disebut pergantian sewa-menyewa. 9

Kalau kita perhatikan dari tiga jenis Grant di atas, bahwa Grant Sultan itu adalah :

- Suatu hak yang diberikan oleh Sultan,

- Kepada seseorang yang termasuk kaula swapraja. - Hak untuk mengusahakan tanah.

Perbedaan antara Grant Sultan dengan Grant Controleur adalah :

- Grant Controleur ini diberikan kepada orang yang tunduk kepada KUH

Perdata, dan kepada rakyat Indonesia (orang Government), serta pendaftaran di Kantor Controleur.

8

Hatunggal Siregar, Hukum Tanah Menurut Hukum Adat, FH-Usu, Medan, 2005, hal. 16.

9


(32)

- Sedangkan hak yang diberikan dalam Grant Sultan adalah sama dengan hak yang diberikan dalam Grant Controleur dan hanya sebagian saja yang mengeluarkannya adalah sultan sebagai pemegang kekuasaan.

Grant sultan dan Grant Controleur ini membedakannya dengan Grant

Deli Mij adalah :

- Grant Deli Mij hanya terdapat di lingkungan kota Medan,

- Dan tidak jelas apa yang diberikan Deli Mij.

2. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Perdata

Dengan keluarnya UUPA No. 5 Tahun 1960, ketentuan-ketentuan dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan hipotik, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Jadi jelasnya bahwa hak-hak atas tanah yang diatur dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi setelah keluarnya UUPA No. 5 tahun 1960.

Namun demikian untuk melihat perbandingan pengaturan hak-hak atas tanah itu, maka penulis merasa perlu menguraikan selayang pandang hak-hak atas tanah menurut KUH Perdata, terutama mengenai hak milik.

a. Hak Milik (Hak Eigendom).

Pasal 570 KUH perdata menentukan, bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu


(33)

hak-hak orang lain, kesemuanya itu tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Pasal 570 KUH Perdata ini menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak milik yang mempunyai dua unsur :

1) Hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan dari sesuatu kebendaan itu, 2) Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual,

menukar, dan lain sebagainya.

Namun walaupun demikian dalam memperlakukan hak ini, undang-undang masih menentukan pembatasan, dimana hak ini masih mungkin dicabut demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang, tetapi harus dengan memberi ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah yang haknya tersebut dicabut.

b. Hak Servitut (pengabdian pekarangan).

Pengabdian pekarangan ini adalah suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang lain (Pasal 674 KUH Perdata).

c. Hak Opstal.

Hak opstal ialah hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung,

bangunan-bangunan ataupun tanam-tanaman di atas pekarangan orang lain (Pasal 711 KUH Perdata). Hak opstal ini lazim juga disebut hak numpang karang, hak ini dapat dialihkan kepada orang lain dan dapat dijadikan jaminan hutang.


(34)

d. Hak Erpacht.

Hak erpacht ini adalah hak usaha /hak kebendaan untuk menikmati hasil

dari sebidang tanah milik orang lain secara seluas-luasnya, dengan kewajiban membayar setiap tahun sejumlah hasil bumi atau sejumlah uang kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu (Pasal 720 KUH Perdata).

e. Hak Memungut Hasil.

Hak memungut hasil ini adalah hak kebendaan dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil-hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu dan dengan kewajiban memelihara sebaik-baiknya (Pasal 756 KUH Perdata).

f. Hak Pakai dan Hak mendiami.

Hak pakai dapat kita lihat di dalam Pasal 818 KUH Perdata, dikatakan bahwa hak pakai adalah suatu hak kebendaan dengan memelihara sifat dan bentuknya serta selaras dengan maksudnya dan mengambil hasil-hasil jika ada untuk kebutuhan sendiri atau keluarganya.

Melihat uraian di atas nyata bahwa hanyalah si pemakai sendiri beserta keluarganya yang mempunyai hak untuk menikmati hasil dari bendanya, sedangkan orang lain sama sekali tidak boleh turut memungut hasilnya. Sebagai kewajiban-kewajiban si pemakai hak disebutkan oleh Pasal 819 KUH Perdata adalah seperti berikut :

1) Mengadakan jaminan memakai barang sebaik-baiknya, 2) Membuat catatan adanya barang-barang yang dipakai,


(35)

3) Memelihara barangnya seperti seorang kepala rumah tangga yang baik

(als goed huisvader).

4) Mengembalikan barangnya itu pada waktu berakhirnya hak memakai. g. Bunga Tanah.

Yang dinamakan bunga tanah ialah suatu beban utang untuk dibayar baik dengan uang, maupun dengan hasil bumi beban mana diikatkan oleh seorang pembeli tanah pada tanah miliknya atau diperjanjikannya demi kepentingan diri sendiri atau kepentingan pihak ketiga, tatkala itu dijual atau dihibahkannya (Pasal 737 KUH Perdata).

h. Hak Hypotheek (Hipotik).

Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan atas barang-barang tak bergerak, yang dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran kembali dari suatu hutang dengan pendapatan penjualan barang tak bergerak itu (Pasal 1162 KUH Perdata).

3. Hak Atas Tanah Menurut UU No. 5 Tahun 1960

Adapun hak-hak atas tanah yang diatur dalam pasal 16 UUPA yang dapat diberikan kepada rakyat oleh negara ialah :

a. Hak milik.

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dijumpai oleh orang atas tanah dengan mengingat pasal 6 UUPA.

Terkuat dan terpenuh yang dimaksud disini adalah hak milik itu bukan berarti merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak bisa diganggu gugat, di samping itu juga kata "terkuat" dan "terpenuh" itu


(36)

dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain sebagainya.

Walaupun sifatnya yang paling kuat dimiliki oleh seseorang, tetap terikat pada ketentuan pasal 6 UUPA, yaitu tanah harus berfungsi sosial, artinya bila kepentingan umum menghendaki, maka kepentingan pribadi harus dikorbankan (tentu dengan jalan ganti kerugian yang layak).

b. Hak Guna Usaha.

Untuk hak ini merupakan hak yang baru diciptakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, jadi tidak seperti hak milik yang telah dikenal sudah sejak jaman dahulu kala sebab hak guna usaha dan hak guna bangunan semula tidak dikenal oleh masyarakat kita sebab tidak ada persamaannya dalam hukum adat dan kedua hak di atas itu untuk memenuhi keperluan masyarakat moderen dewasa ini.

Yang dimaksud dengan hak guna usaha tercantum dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : " Hak Guna Usaha adalah hak untukmengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, dan dipergunakan oleh perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

c. Hak Guna Bangunan.

Yang dimaksud dengan hak guna bangunan tercantum dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :

(1)Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan


(37)

jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2)Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun.

d. Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria).

Dengan demikian hak ini merupakan hak tata tanah, baik tanah pertanahan maupun tanah bangunan yang dapat diberikan pemerintah dan juga oleh pemilik tanah, hak pakai ini tidak seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang dapat digunakan atau dijadikan jaminan untuk hipotik

dan credietverband tetapi hak pakai ini dapat dijadikan jaminan untuk utang

karena mempunyai nilai ekonomi juga dapat dipindah tangankan. e. Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan termasuk kepada hak yang bersifat sementara juga disebut hak lainnya.


(38)

dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

Maka yang dimaksud dengan hak pengelolaan ialah hak khusus untuk perusahaan-perusahaan milik pemerintah guna menyelenggarakan usaha industrial estate, pembangunan perumahan dan perusahaan tanah pada umumnya.

Untuk pemberiannya tidak disertai dengan penentuan jangka waktu yang artinya tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan terus selama masih diperlukan.

Dalam pembahasan ini selanjutnya perlu juga dilakukan pembahasan tentang azas horizontal atau vertikal yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria.

Hukum adat mengenal pemisahan horizontal sejalan dengan hukum adat, maka UUPA juga mengenal pemisahan horizontal tersebut.

“Sebagai akibat dari azas horizontal maka suatu hak atas tanah tidak dengan sendiri meliputi benda-benda yang ada di atasnya, berarti jika hak atas tanah tersebut dibebani dengan hak ajaminan, maka benda – benda di atas tanah tidak dibebani”.10

Di dalam ketentuan-ketentuan UUPA tentang cara memperoleh hak milik tidak terdapat aturan tentang accessie vertikal. Kesan yang diperoleh dari keadaan ini ialah bahwa UUPA sama sekali tidak menganut azas accessie vertikal.

10

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal. 67


(39)

Surat Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 8 Pebruari 1964 Unda 9/1/14 menginstruksikan kepada PPAT untuk jangan membuat akta pemindahan hak atas tanah tanpa sekaligus mengalihkan hak bangunan-bangunan yang ada di atasnya. Para notaris tidak dibenarkan membuat akta pemindahan hak atas bangunan tanpa disertai pemindahan hak atas tanahnya.

Surat edaran Departemen Agraria tanggal 10 Desember 1966 No. DPH/364/43/66 yang ditujukan kepada Inspeksi Agraria Sumatera Utara di Medan menyebutkan bahwa sepanjang mengenai atanah yang belum mendapat sertifikat tanah dapat dilakukan ajual beli rumah tanpa tanah.

Dari kedua surat ini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah di dalam praktek tetap melihat masih diperlukan axxessie vertikal untuk hak atas tanah yang bersertifikat, sedangkan untuk hak atas tanah yang tidak bersertifikat dapat dilakukan pemisahan horizontal itu.

C. Landasan Hukum Pengadaan Tanah

1. PMDN No. 15 Tahun 1975

Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 tidak dikenal adanya istilah pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah. Menurut pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15 Tahun 1975 yang dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. PMDN No. 15 Tahun 1975 juga mengatur pelaksanaan atau tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.


(40)

Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk panitia pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam pasal 2 PMDN No. 15/1975 untuk kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus pemerintah hanya mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara para pihak yaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang mempunyai tanah.

2. Keppres No. 55 Tahun 1993

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55 Tahun 1993, yang dimaksud dengan adalah kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketentuan ini hanya untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1), dinyatakan bahwa: “pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan”

Sehingga menurut Keppres No.55/1993, kriteria kepentingan umum, dibatasi:

1. Dilakukan oleh pemerintah, 2. Dimiliki oleh pemerintah,

3. Tidak untuk mencari keuntungan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa:

Kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain:

a. Jalan umum, saluran pembuangan air.

b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.


(41)

d. Pelabuhan atau Bandara atau Terminal. e. Peribadatan.

f. Pendidikan atau sekolahan. g. Pasar Umum atau Pasar INPRES. h. Fasilitas Pemakaman Umum.

i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar.

j. Pos dan Telekomunikasi. k. Sarana Olah Raga.

l. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya. m. Kantor Pemerintah.

n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Menurut Pasal 13 Keppres No. 55/1993 bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembanguan bagi kepentingan umum adalah :

a. Uang.

b. Tanah pengganti. c. Pemukiman kembali.

d. Gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c.

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Sedangkan dalam Pasal 14, penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat (2) menyatakan bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi


(42)

wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Dalam Pasal 7 Keppres No.55/1993, susunan panitia pengadaan tanah terdiri dari:

1. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua merangkap anggota

2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap anggota

3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota

4. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan, sebagai anggota

5. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian, sebagai anggota.

6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota

7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota

8. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan anggota


(43)

9. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Sekretaris II bukan anggota

Panitia pengadaan tanah tersebut di wilayah kabupaten/kotamadya, dibentuk oleh Gubenur. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Permenag Agraria/Kepala BPN No.1/1994.

Tugas Panitia Pengadaan Tanah di dalam Pasal 8 Keppres No.55/1993, yaitu:

1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya

3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut

5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian

6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah


(44)

Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/1993 menyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu : pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; dan kedua jual-beli, tukar-menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.

Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Keppres No.55/1993, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum.

Menurut Pasal 6 ayat (1) Keppres No.55/1993 menyatakan bahwa: “pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I”, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres No.55/1993, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan musyawarah, yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan.

Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan antar para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang telah disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Keppres No.55/1993.


(45)

Berdasarkan Permenag Agraria/Kepala BPN No.1/1994, tatacara pengadaan tanah dalam penetapan lokasi pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan

penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikotamadya melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya setempat. Jika tanah yang diperlukan terletak di 2 (dua wilayah kabupaten/kotamadya, atau di wilayah DKI Jakarta, maka permohonan diajukan kepada Gubenur melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Dimana permohonan tersebut harus dilengkapi keterangan mengenai:

a. Lokasi tanah yang diperlukan;

b. Luas dan gambar kasar tanah yang diperlukan; c. Penggunaan tanah pada saat permohonan diajukan;

d. Uraian rencana proyek yang akan dibangun, disertai keterangan mengenai aspek pembiayaan, lamanya pelaksanaan pembangunan.

2. Diadakan penelitian mengenai kesesuaian peruntukkan tanah yang dimohon dengan rencana Tata Ruang Wilayah. Jika sudah sesuai, maka Bupati/Walikotamadya atau Gubernur memberikan persetujuan penetapan lokasi pembangunan.

3. Untuk pengadaan tanah yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar, setelah diterimanya persetujuan penetapan lokasi pembangunan, maka instansi pemerintah tersebut mengajukan permohonan pengadaan tanah kepada Panitia dengan melampirkan persetujuan penetapan tersebut.


(46)

4. Selanjutnya dilakukan pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu:

a. Panitia bersama-sama instansi pemerintah tersebut memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang terkena lokasi pembangunan mengenai maksud dan tujuan pembangunan agar masyarakat memahami dan menerima pembangunan yang bersangkutan,

b. Panitia bersama-sama instansi pemerintah tersebut menetapkan batas lokasi tanah yang terkena pembangunan, selanjutnya melakukan kegiatan inventarisasi mengenai bidang-bidang tanah, termasuk bengunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan. c. Panitia mengumumkan hasil inventarisasi.

3. Perpres No. 36 Tahun 2005

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No. 36/2005, yang dimaksud dengan adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam Keppres nomor 55/1993 yang mengatur tentang kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini ada perbedaan yang menyolok, berarti yang dimaksud dengan kepentingan umum bukan lagi untuk seluruh lapisan masyarakat tetapi hanya sebagian lapisan masyarakat saja. Dan Perpres No.36/2005 tidak memberikan kriteria tegas tentang batasan kepentingan umum seperti Keppres No.55/1993.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 36/2005 dinyatakan bahwa :

Kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain :

a. Jalan umum, saluran pembuangan air;


(47)

irigasi;

c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;

e. Peribadatan;

f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas Pemakaman Umum;

i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar;

j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana Olah Raga;

l. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;

m. Kantor Pemerintah; pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan/atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;

n. Fasilitas Tenatar Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;

o. Lembaga Pemasyarkatan dan Rumah Tahanan; p. Rumah Susun Sederhana;

q. Tempat Pembuangan Sampah; r. Cagar Alam dan Cagar Budaya; s. Pertamanan;

t. Panti Sosial;

u. Pembangkit, Transmisi dan distribusi Listrik.

Menurut Pasal 13 ayat (1) Perpres No. 36/2005 bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah :

a. Uang;

b. Tanah pengganti; c. Pemukiman kembali;

Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat diberikan konpensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(48)

diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 14.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Perpres No. 36/2005 pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Khusus untuk Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur, sebagaimana diatur dalam ayat (2).

Kemudian untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Propinsi yang dibentuk oleh Gubernur, sedangkan pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih propinsi dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur pemeritah dan unsur pemeritah daerah terkait.

Untuk susunan keanggotaannya Panitia Pengadaan Tanah yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat terkait.

Dalam Pasal 7 Perpres No.36/2005, dinyatakan: Panitia pengadaan tanah bertugas:

1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya

3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut

5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian


(49)

6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah

7. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

8. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.” Dengan berlakunya Perpres No.36/2005 maka ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres No.55/1993. Menurut Pasal 2 ayat (1) Perpres No. 36/2005 menyatakan bahwa:

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara :

a. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau b. Pencabutan hak atas tanah.

Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa : “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres No.36/2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; dan Pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.


(50)

Sebelum diterbitkan peraturan pelaksanaan dari Perpres No.36/2005, maka tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.1/1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres No.55/1993.

4. Perpres No. 65 Tahun 2005

Perpres No.65/2006 tidak melakukan perubahan mengenai pengertian kepentingan umum yang ada di dalam Perpres No.36/2005. Di dalam Pasal 5 Perpres No.65/2006 dinyatakan bahwa:

Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:

a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta pi, dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah; f. cagar alam dan cagar budaya;

g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.”

Menurut Pasal 13 Perpres No.65/2006, bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah:

a. uang

b. tanah pengganti; c. pemukiman kembali;


(51)

dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam Pasal 6 ayat (5) Perpres No.65/2006, mengenai panitia pengadaan tanah, dinyatakan bahwa:

1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.

2. Panitia pengadaan tanah propinsi daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.

3. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah propinsi yang dibentuk oleh Gubernur.

4. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah propinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur Pemerintah Daerah terkait.

5. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.”

Dalam Pasal 7 Perpres No.65/2006, dinyatakan: Panitia pengadaan tanah bertugas:

1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya

3. Menetapkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut

5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian

6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah

7. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

8. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.


(52)

Dengan berlakunya Perpres No.65/2006, maka ada perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 2 Perpres No.65/2006 menyatakan bahwa:

(1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

(2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres No.65/2006, bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta, maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Sebelum diterbitkan peraturan pelaksanaan dari Perpres No.65/2006, maka tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.1/1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres No.55/1993.


(53)

BAB III

BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH

A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Sebelum Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 ditetapkan, belum ada definisi yang jelas tentang kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasnya.11

Menurut John Selindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara. 12

Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit” sedangkan dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access, atau apabila public access tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire public could use the

product of the facility”.13

Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan

11

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal 6.

12

John Salindheo, Masalaha Tanah Dalam Pembangunan, Grafika, Jakarta, 1988, hal. 40.

13

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, hal 200.


(54)

problema-problema rumit. Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek

landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.14

Selanjutnya UUPA beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya menjadi acuan bagi pengelolaan administrasi pertanahan di Indonesia, termasuk dalam kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum memerlukan tanah sebagai wadahnya. pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah apabila persediaan tanah masih luas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia saat ini telah banyak dilekati dengan hak (tanah hak), sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.15

UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak

14

Achmad Rusyaidi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan

Umum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Erlangga, Jakarta, 2009, hal. 42.

15

Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk


(55)

ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal inilah yang akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah. Ditingkat Kepala Badan


(56)

Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah yaitu :

1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah) ;

2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.

Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur


(57)

musyawarah gagal.

Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah. Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.

Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961.


(58)

Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri. Sehingga dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang notabene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.

Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 yaitu :16

1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya. Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur :

a. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

b. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

c. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

2. Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi.

16

Binsar Siombolon, Prinsip Dasar Pengaturan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Materi Sosialisasi Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk


(59)

Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :

a. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

b. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

c. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

d. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

e. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator dalam pelaksanaan musyawarah tersebut ;

f. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41


(1)

Kendala-kendala tersebut di atas merupakan beberapa permasalahan pembebasan tanah (sekarang pelepasan atau penyerahan hak) yang intinya terletak pada besarnya ganti kerugian. Di satu sisi pihak pemilik/yang menguasai tanah menginginkan besarnya ganti-kerugian sesuai dengan harga pasar setempat, sementara di sisi lain masih terbatasnya dana Pemerintah yang tersedia untuk pembebasan tanah.

Tanah merupakan unsur penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam kelangsungan hidup manusia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :

“Bumi, air, dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan landasan adanya hubungan hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat.

Berdasarkan hasil penelitian, hambatan-hambatan yang timbul adalah sebagai berikut:

1. Hambatan yang datang dari Pemerintah, a. Kekurangan dana:


(2)

2. Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya.

Dari kedua hambatan tersebut, diketahui bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum adalah mengenai besarnya nilai ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah.

Pada masyarakat desa, peran kepala desa sangat penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuaskan bagi semua pihak.

Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah daerah melalui Tim yang dibentuknya lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum, karena Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisonal yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluargaan.

Hal ini dikarenakan adanya kelompok dalam hal pembebasan tanah ini yang mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan,yang menurut warga, mereka mengaku telah mempunyai bukti-bukti yang cukup kuat untuk mengajukan gugatan ke PTUN, akan tetapi dalam hal ini responden yang tidak mau disebutkan namanya, tidak mau mengatakan bukti-bukti apa yang telah dipunyainya.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimulai dengan adanya musyawarah antara masyarakat yang terkena proyek kepentingan umum dengan pihak pemerintah yang akan melakukan kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Apabila musyawarah telah tercapai maka tingkatan selanjutnya adalah penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah tersebut.

2. Hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum adalah:

a. Hambatan yang datang dari Pemerintah, 1) Kekurangan dana:

2) Ganti rugi tanahnya belum selesai:

b. Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh pemerintah setempat yang dianggap masih tidak layak.

Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.


(4)

B. Saran

1. Hendaknya dalam proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menggunakan dasar peraturan perundangan yang berlaku.

2. Pembentukan Panitia/Tim pengadaan tanah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, dan dalam proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan warga yang terkena pembangunan tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Achmad Rusyaidi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Erlangga, Jakarta, 2009.

Ahman Husein Hasibuan. Masalah Perkotaan Berkaitan dengan Urbanisasi dan Penyediaan Tanah. Makalah 1986.

Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005.

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2003.

Binsar Siombolon, Prinsip Dasar Pengaturan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Materi Sosialisasi Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, 2009.

Hatunggal Siregar, Hukum Tanah Menurut Hukum Adat, FH-Usu, Medan, 2005.

John Salindheo, Masalaha Tanah Dalam Pembangunan, Grafika, Jakarta, 1988. K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni,

Bandung, 1983.

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004.

Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

Surojo Wignyodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 2003.

Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, 2004.


(6)

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, PT. Internasa, Jakarta, 2000.

Yusuf Susilo, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Alumni, Bandung, 2004.

B. Peraturan PerUndang-undangan

Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang-Undang Nomor 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan

Benda-benda yang ada di atasnya.

Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Pemerintah Nomor 39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.

Keputusan Presiden No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Instruksi Presiden No. 9/1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 1/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55/1993.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Penerapan Hukum (Undang-Undang no.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum) di Kota Medan

3 71 88

TINJAUAN YURIDIS TENTANG BENTUK GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 GUNA MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM.

0 3 15

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG BENTUK GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 GUNA MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM.

0 5 11

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS TENTANG BENTUK GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 GUNA MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM.

0 4 21

PENUTUP TINJAUAN YURIDIS TENTANG BENTUK GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 GUNA MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM.

0 3 6

TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG MENJAMIN KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG HAK ATAS TANAH (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMER 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM).

0 1 11

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

0 1 43

undang undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

0 0 26

Permasalahan Yuridis Pasal 41 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

0 3 10

BAB II GAMBARAN UMUM PENGADAAN TANAH A. Pengertian Pengadaan Tanah - Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012

0 1 35