Pemanfaatan Limbah Kayu lndustri Penggergajian dan Kertas Koran Bekas untuk Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang

PEMANFAATAN LIMBAH KAYU INDUSTRI PENGGERGAJIAN
DAN KERTAS KORAN BEKAS UNTUK PEMBUATAN
PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG

OLEH

SARBIN RAHMAN

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK

SARBIN RAHMAN. Pemanfaatan Limbah Kayu lndustri Penggergajian dan
Kertas Koran Bekas Untuk Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang.
Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. H. KURNIA SOFYAN & Ir. RENA M. SIAGIAN, MS.
Limbah kayu industri penggergajian dan kertas koran bekas berpotensi besar
untuk mengantisipast penurunan sumber serat yang berasal dari hutan, sehingga
penggunaan kayu lebih efisien serta dapat meningkatkan nilai ekonomis limbah kayu
dan kertas koran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi campuran
antara pulp limbah kayu industri penggergajian dan pulp kertas koran bekas pada
berbagai konsentrasi NaOH dalam proses pulping, terhadap setiap sifat fisis dan
mekanis MDF yang diamati.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua ulangan,
dimana perlakuan yang diberikan adalah komposisi campuran antara pulp limbah
kayu industri penggergajian dan pulp kertas koran bekas, masing-masing terdiri dari
(16% : 84% ), (33% : 67%), (50% : 50%), (67% : 33%), dan

(84% : 16%) dari berat

kering oven pulp per lembar papan serat. Konsentrasi NaOH yang digunakan dalam
pemasakan serpih secara soda panas terbuka adalah kelompok, yang terdiri atas
konsentrasi NaOH 4 %,

a%, dan 12%.

Perbedaan komposisi campuran limbah kayu dan kertas koran

tidak


berpengaruh terhadap sifat fisis MDF yaitu kadar air, daya serap air, dan
pengembangan tebal, kecuali respon kerapatan. Perbedaan konsentrasi NaOH
dalam proses pemasakan, juga tidak berpengaruh terhadap sifat fisis MDF.

Sifat makanis MDF yaitu keteguhan patah (MOR), modulus elastisitas (MOE),
keteguhan tarik sejajar permukaan, dan internal bond dipengaruhi oleh perbedaan
komposisi campuran antara limbah kayu dan kertas koran. Demikian pula perbedaan
konsentrasi NaOH juga berpengaruh terhadap semua sifat mekanis MDF. Respon
kerapatan dan sifat mekanis MDF yang diamati meningkat dengan bertambahnya
persentase limbah kayu.
Daya serap air dan pengembangan tebal MDF tidak memenuhi persyaratan
FA0 (1966). Sedangkan semua sifat mekanis MDF memenuhi persyaratan, akan
tetapi terdapat beberapa komposisi campuran limbah kayu dan kertas koran yang
tidak memenuhi persyaratan FA0 (1966).
Campuran limbah kayu industri penggergajian dan kertas koran bekas, dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan MDF pada komposisi 50 : 50%.
Konsentrasi NaOH yang terbaik digunakan dalam proses pulping limbah kayu untuk
pencampuran kertas koran adalah konsentrasi NaOH 8 %.


Kata kunci : MDF, limbah kayu lndustri penggergajian, kertas koran bekas, sifat fisis-mekanis

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul

" Pemanfaatan Limbah Kayu lndustri Penggergajian dan Kertas Koran Bekas
Untuk Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang "

Belum pernah dipublikasikan sesuai sumber data dan informasi yang digunakan,
telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Yang membuat pernyataan,
Sarbin Rahman

PEMANFAATAN LIMBAH KAYU INDUSTRI PENGGERGAJIAN
DAN KERTAS KORAN BEKAS UNTUK PEMBUATAN
PAPANSERATBERKERAPATANSEDANG

SARBlN RAHMAN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

: Pemanfaatan Limbah Kayu lndustri Penggergajian dan
Kertas Koran Bekas untuk Pembuatan Papan Serat
Berkerapatan Sedang

Nama

: Sarbin Rahman


NRP

: 98212

Program Studi

: llmu Pengetahuan Kehutanan

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

Ir. Rena M. Siasian, MS.
Anggota

Prof. Dr. Ir. H. Kurnia Sofyan
Ketua

Mengetahui,
3. Direktur Program Pascasarjana


2. Ketua Program Studi
n
llmu ~ e n ~ e t a h u aKehutanan

Prof. Dr. I r Cecep Kusmana. MS.

.Sc.
-

\
-

Tanggal Lulus : 27 Agustus 2002

- - I 6 SEP 2002

Sarbin Rahman

dilahirkan tanggal 6 April 1963 di Polewali Mamasa


Sulawesi-Selatan, anak ke dua dari enam bersaudara, dari keluarga Abd. Rahman M
dan Hj. Sabannur.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Maccini II Makassar
tahun 1975, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri IV Ujung Pandang tahun
1978, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri IV Ujung Pandang tahun 1981.
Penulis memperoleh gelar sarjana S1 dari Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin tahun 1987. Tahun 1988 - tahun 1989 aktif dalam
proyek P3W Trans-Terpadu di LPPM UNHAS. Tahun 1989

-

tahun 1992 sebagai

karyawan di perusahaan PT. MULTILAND Jakarta. Tahun 1993 sampai sekarang
sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Kalimantan Timur.
Bulan April tahun 1998 menikah dengan Lusi Mutiawati, yang dikaruniai dua
anak puteri, bernama Nadiah Cahyadewi dan Amadea Sabella.
Semester genap bulan Pebruari tahun 1999 mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan S2 di Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor pada
program studi ilmu kehutanan, dengan bantuan biaya pendidikan yang berasal dari

sponsor dana Biaya Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi Jakarta.

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SVVT, karena berkat
Rakhmat dan TaufikNya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Berbagai rintangan
yang dihadapi sejak awal penulisan proposal penelitian, pelaksanaan penelitian,
hingga akhir penyelesaian penuilisan tesis, namun dengan adanya bantuan dari
berbagai pihak, semua dapat diselesaikan
Pada bagian awal tesis ini, dengan segala hormat saya ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr. Ir. H. Kumia Sofyan sebagai ketua
komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan penuh perhatian membimbing dan
mengarahkan saya, mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, proses
penulisan tesis, hingga tesis ini diselesaikan. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
juga saya sampaikan kepada Ibu Ir. Rena M. Siagian MS sebagai anggota komisi
pembimbing yang mengarahkan saya dalam melaksanakan penelitian dan
membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Bogor yang mengizinkan saya untuk

melaksanakan penelitian di Laboratorium Puslit Hasil Hutan Bogor. Hal yang sama
juga disampaikan kepada Pak Suryadi, Pak Nawawi, Pak Ismet, Pak Agus, Pak
Eman yang membantu saya di Laboratorium Teknologi Serat & Lab. Produk
Majemuk di Pusat Penelitian Hasil Hutan Bogor.
Ucapan yang sama juga diucapkan kepada Pak Deded, Ibu Rita, Mbak
Wiwik, dan Mas Atin atas segala bantuannya selama melakukan penelitian di
Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan lnstitut Pertanian Bogor.

Ungkapan doa yang tulus dan terima kasih disampaikan kepada ayahanda

Abd. Rahman Maratanda dan lbunda Hj. Sabannur serta seluruh keluarga besar di
Makassar, demikian pula kepada Mama Subianti, Uyut Wastinah, serta seluruh
keluarga

besar di Bogor,

diucapkan terima kasih atas segala dorongan dan

semangat serta bantuan doa yang diberikan.
Ungkapan penuh rasa sayang dan cinta secara khusus kepada ke dua puteri

tercinta Nadiah Cahyadewi dan Amadea Sabella yang selalu memunculkan
semangat dan motivasi kuat untuk menyelesaikan studi saya di IPB. Ucapan terima
kasih dan rasa sayang juga secara khusus ditujukan kepada Lusi Mutiawati yang
dengan sabar dan penuh pengertian selama saya menjalani proses pendidikan di
lnstitut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari, tesis ini masih belum sempurna, untuk itu kritik dan saran
diterima dengan senang hati. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2002
Sarbin Rahman

HASlL DAN PEMBAHASAN

......................................

Sifat Limbah Kayu dan Kertas Koran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kondisi Pulp Limbah Kayu dan Pulp Kertas Koran . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sifat Fisis Papan Serat Berkerapatan Sedang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sifat Mekanis Papan Serat Berkerapatan Sedang . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
KESIMPULAN DAN SARAN


...................................

Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR TABEL

Halaman
I. Beberapa Golongan Kertas Bekas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2. Kandungan Serat Daur Ulang Untuk Pembuatan Berbagai Jenis Kertas
dilndonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

3. Sifat Morfologis dan Kimia Limbah Kayu lndustri Pengergajian . . . . . . . . . . . . . . 38
4. Rata-rata Rendemen Pulp dan Waktu Giling Pulp Campuran Limbah Kayu
Akasia dan Sengon serta pulp kertas koran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

39

5. Persentase Fraksi Serat Pulp Limbah Kayu dan Pulp Kertas Koran
yang Tertampung dan 1010s pada Berbagai Ukuran Saringan . . . . . . . . . . . . . .41
6. Sifat Morfologis dan Kimia Pulp Limbah Kayu dan Pulp Koran Bekas . . . . . . .

42

7. Nilai rata-rata Sifat Fisis MDF dan Kesesuainnya dengan
PersyaratanFAO (1966) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

45

8. Nilai rata-rata Sifat Mekanis MDF dan Kesesuainnya dengan
Persyaratan F A 0 (1966) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

54

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Skema Proses Pembuatan Papan Serat Proses Basah

. . . . . . . . . . . . . . . .. 26

2. Histogram Nilai Rata-rata Kerapatan MDF Komposisi Campuran
Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . . . . . . . . 4 6
3. Histogram Nilai Rata-rata Kadar Air MDF Komposisi Campuran

Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . . . . . . . . 4 8
4. Sebaran Nilai Rata-rata Daya Serap Air MDF Komposisi Campuran
Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . . . . . . . . 50

5. Sebaran Nilai Rata-rata Pengembangan TebaL MDF Komposisi Campuran
Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . . . . . . . 52
6. Sebaran Nilai Rata-rata Keteguhan Patah MDF Komposisi Campuran
Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . . . . .. . . 55

7. Sebaran Nilai Rata-rata Keteguhan Lentur MDF Komposisi Campuran
Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . . . . . . . 57
8. Sebaran Nilai Rata-rata Keteguhan Tarik Sejajar Permukaan Komposisi MDF
Campuran Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH. .59
9. Sebaran Nilai Rata-rata Keteguhan Rekat Internal MDF Komposisi Campuran

Limbah Kayu dan Kertas Koran pada Berbagai Konsentrasi NaOH . . . .. . . . . . 61

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Hasil Pengujian Sifat Fisis MDF.

..............................

71

2 . Hasil Pengujian Sifat Mekanis MDF . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

73

3. Analisis Sidik Ragam Kerapatan MDF . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

75

4 . Analisis Sidik Ragam Kadar Air MDF . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

76

5 . Analisis Sidik Ragam Daya Serap Air MDF . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

77

6 . Analisis Sidik Ragam Pengembangan Tebal MDF . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

78

7 . Analisis Sidik Ragam Keteguhan Patah (MOR) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

79

8 . Analisis Sidik Ragam Keteguhan Lentur (MOE) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

80

9. Analisis Sidik Ragam Keteguhan Tarik Sejajar Permukaan . . . . . . . . . . . . .

81

10. Analisis Sidik Ragam Keteguhan Rekat Internal (Internal Bond). . . . . . . . .

82

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan lndustri papan serat di lndonesia mempunyai masa depan
yang cukup cerah mengingat potensi bahan bakunya cukup besar dan kebutuhan
akan papan serat juga terus meningkat. Produksi MDF di lndonesia baru diawali
tahun 1995 yaitu sebesar 100 ribu m3 dengan konsumsi berkisar 150 ribu m3,
kemudian pada tahun 2000 produksinya meningkat menjadi 270 ribu m3 dengan
konsumsi pada tahun tersebut 600 ribu m3 Peningkatan produksi papan serat ratarata 28 % pertahun dari tahun 1995 - tahun 2000 (Lyons, 1997).
serat berkerapatan 0,80 g/cm3 dari tahun 1997

-

Ekspor papan

tahun 2001, juga meningkat

sebesar 23 % pertahun (Anonim, 2001). Adapun volume ekspor hardboard dan
softboard pada tahun 2001 mencapai 99.927 m3 (Anonim, 2002).
Melihat kondisi tersebut,

maka untuk menjamin kelangsungan produksi

papan serat maka bahan bakunya harus terpenuhi. Bahan baku papan serat yang
dapat digunakan sangat bervariasi, karena dapat berasal dari kayu atau tanaman
yang berlignoselulosa seperti kayu, bambu, dan sisa hasil pertanian berupa bagase
dan merang. Selain itu juga dapat dimanfaatkan berbagai macam limbah kayu dan
serat sekunder.
Pemanfaatan limbah penggergajian kayu sangat penting karena rendemen
kilang penggergajian kayu berkisar antara 50-60 % dan sisanya merupakan limbah
kayu dalam bentuk serbuk, sebetan dan potongan kayu (Wiriadinata, 1973).
Sedangkan Muladi (1996) mengatakan, besamya persentase limbah yang terjadi
yakni sebesar 36'78 % dari operasi kegiatan pembalakan di tiga perusahaan pada

kawasan hutan primer serta persentase limbah sebesar 35 % adalah kegiatan
industri penggergajian. Rendemen kayu gergajian menurut Apkindo (1999) sebesar
50 %, maka diasumsikan bahwa limbah kayu gergajian yang dihasilkan

pada

periode tersebut, besarnya relatif sama dengan produksi yang dihasilkan. Data dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan bahwa produksi kayu gergajian
Indonesia tahun 1997 yaitu sebesar 11,485 juta m3 dan pada tahun 2001
produksinya menurun menjadi 4,326 juta m3. Hal ini berarti bahwa pasokan kayu
bulat untuk bahan baku kayu gergajian semakin menipis.
Pemanfaatan limbah kayu, selain dapat memanfaatkan penggunaan kayu
secara optimal juga dapat mengurangi limbah kayu khususnya limbah kayu lndustri
penggergajian dan memberi nilai tambah dengan penggunaan tersebut, karena
limbah kayu industri penggergajian sebagian besar hanya digunakan untuk kayu
bakar dan bahan bakar untuk pembakaran batu bata..
Tingginya biaya pembuatan pulp dan semakin berkurangnya kemampuan
alam untuk menyediakan sumber serat mendorong pencarian alternatif lain sebagai
penggantinya.

Upaya yang telah dilakukan untuk mencari sumber serat, salah

satunya yaitu dengan memanfaatkan serat sekunder. Jenis serat ini dapat diperoleh
dari daur ulang kertas dan atau karton bekas. Pemanfaatan kertas koran sebagai
sumber serat diharapkan memberi dukungan dalam menyongsong penerapan sistem
ekolabel yang mengharuskan produsen pulp memperhatikan produk-produk yang
ramah lingkungan, baik dalam ha1 bahan baku, proses produksi, maupun setelah
digunakan.
Pertumbuhan produksi kertas koran pada tahun 1985 sebesar 62.600 ton,
kemudian tahun 1992 produksi kertas koran mencapai 169.200 metrik ton.
Perturnbuhan rata-rata pertahun sebesar 24,88 persen. Konsumsi kertas koran juga

terjadi peningkatan, dimana pada tahun 1980 konsumsi kertas koran baru mencapai
99.800 ton, tahun 1992 konsumsinya sudah mencapai 135.285 metrik ton, dengan
pertumbuhan rata-rata 5,74 persen. Produksi kertas koran tahun 2000 sudan
mencapai 495.250 metrik ton dengan konsumsi pada tahun tersebut sekitar 175.985
metrik ton (IPPA, 2001). Melihat konsumsi dan produksi kertas koran yang cukup
besar dan terus meningkat, maka limbah kertas koran yang dihasilkan juga
meningkat seiring dengan perrnintaan kertas koran, dimana pemanfaatan kertas
koran bekas selama ini sebagian besar hanya digunakan sebagai pembungkus.
Kertas koran bekas berpotensi besar sebagai sumber serat sekunder, dapat
di daur ulang menjadi pulp untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
kertas dan papan serat.

Dikatakan Fengel dan Wegener

(1995), limbah kertas

atau karton sudah merupakan sumber serat yang tidak dapat ditinggalkan dan
bahkan akan menjadi lebih penting dikemudian hari disebabkan oleh perbaikan
teknik pembuatan pulp serat sekunder.

Pemanfaatan koran bekas untuk bahan

baku papan serat, selain dapat mengurangi limbah dan meningkatkan nilai tambah
koran bekas, juga dapat mengurangi penggunaan kayu dari hutan
Melihat berbagai aspek keberadaan limbah kayu industri penggergajian dan
kertas koran bekas, maka perlu dilakukan usaha pemanfaatan yang optimal dan
berkelanjutan.

Salah satu cara pemanfatannya adalah mengkombinasikan

campuran antara limbah kayu industri penggergajian dan kertas koran bekas untuk
pembuatan papan serat berkerapatan sedang (MDF).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi campuran dari
kombinasi campuran antara pulp limbah kayu industri penggergajian dan pulp kertas
koran bekas pada berbagai konsentrasi NaOH dalam proses pulping, terhadap
setiap sifat fisis dan mekanis MDF yang diamati.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang pemanfaatan
limbah kayu industri penggergajian yang dicampur kertas koran bekas untuk
pembuatan papan serat berkerapatan sedang. Juga memberi gambaran sejauh
mana limbah kayu dan kertas koran bekas dapat digunakan sebagai bahan baku
MDF, sehingga dapat memberi alternatif untuk mengolah berbagai macam limbah
kayu dan

kertas

bekas

untuk

menghasilkan

papan

serat

yang

sesuai

penggunaannya.

Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut :
(1) Perbedaan komposisi campuran pulp limbah kayu dan pulp kertas koran bekas,

akan menghasilkan sifat fisis - mekanis MDF yang berbeda.
( 2 ) Perbedaan konsentrasi NaOH dalam proses pulping limbah kayu akan

memberikan hasil yang berbeda pada berbagai komposisi campuran pulp limbah
kayu dan kertas koran bekas, terhadap setiap sifat fisis dan makanis MDF yang
diamati.

TINJAUAN PUSTAKA
Papan Serat
Papan serat (fiber board) adalah lembaran yang dihasilkan dari serat kayu
atau bahan serat berligno-selulosa lainnya, dimana ikatan utamanya diperoleh dari
ikatan antar serat dengan bantuan pengempaan. Bahan lain dapat ditambahkan
selama proses pembuatan untuk memperoleh sifat-sifat khusus seperti keteguhan,
ketahanan terhadap kelembaban dan api, ketahanan terhadap jamur dan serangga
(FAO, 1958).
Papan serat diklasifikasi atas dasar kerapatan yang terdiri atas dua golongan
besar yaitu pertama, non compressed fiberboard (insulation board) yang terdiri dari
semi rigid insulation board dengan kerapatan 0,02 - 0,15 g/cm3 dan rigid insulation
board dengan kerapatan 0,15 - 0,40 g/cm3 dan kedua, compressed fiber board yang
terdiri dari medium density fiberboard kerapatan 0,40

-

0,80 g/cm3, hardboard

kerapatan 0,80-1,20 g/cm3, dan special density fiberboard dengan kerapatan
1,20 -1,45 g/cm3 (FAO, 1958)
FA0 (1966) mengatakan bahwa lebar MDF adalah 122

-

160 cm dengan

tebal maksimum untuk proses basah 1,30 cm. Selanjutnya Koch (1985) mengatakan
bahwa ketebalan MDF untuk proses basah 0.25

-

0.50 inci (0.64 - 1.27 cm) yang

digunakan untuk penyekat dinding bangunan dan proses kering ketebalannya
0.38 - 1.OO inci (0.97- 2.54 cm) yang digunakan untuk keperluan mebel.
Mowatt (1987) mengemukakan, keistimewaan papan serat berkerapatan
sedang antara lain mempunyai permukaan licin dan mudah dicetak, sifat permesinan
mudah, bagian tepi kuat sehingga tidak perlu dilaminasi, dapat diukir dan dibentuk

seperti kayu utuh. Penggunaan papan serat cukup luas, berbagai macam keperluan
bahan konstruksi alat rumah tangga, mebel, karoseri, serta bahan penyekat panas
dan suara. Selanjutnya dikatakan, MDF diterima sebagai panel yang terbaik untuk
digunakan dalam konstruksi furniture bermutu.
Pembuatan papan serat dilakukan dengan dua cara yaitu proses basah (wet
process) dan proses kering (dry process). Dikatakan Haygreen dan Bowyer (1996),
pada proses basah pembentukan lembarannya menggunakan suspensi air, dimana
pulp dicampur dengan air kemudian dipindahkan ke saringan kasa. Selanjutnya
kandungan air pada pulp dihilangkan dengan pengisap, pemberian kempa
pendahuluan dan kempa panas. Tekanan dan suhu yang tinggi pada proses kempa
berfungsi membentuk kembali ikatan lignin dan mengeringkan

lembaran.

Pembuatan proses basah menghasilkan papan serat satu muka licin. Sedangkan
pada proses kering pembentukan lembarannya menggunakan media udara, dimana
pulp yang dihasilkan, dikeringkan dan ditambahkan perekat kemudian dimasukkan
dalam alat pembentuk lembaran, dimana lembaran dikempa pada kempa yang
bentuknya slinder, yang selanjutnya dikempa panas. Papan serat yang dihasilkan
dalam proses ini adalah papan serat dua muka licin.
Proses basah umumnya menghasilkan papan SIS dan membutuhkan air
lebih banyak dalam proses pembuatan papan serat. Keuntungan proses basah yaitu
kerapatannya merata diseluruh permukaan, perekat yang dibutuhkan sedikit, karena
mengandalkan lignin untuk membentuk ikatan antar serat (Haygreen & Bowyer 1996)
Suchsland dan Woodson (1 991) mengatakan bahwa proses kering memiliki
kelebihan yaitu kurang memerlukan air dalam proses pembuatannya, menghasilkan
papan serat S2S (dua muka licin), dimungkinkan untuk dibuat papan beriapis, tidak
terdapat perbedaan sifat pada kedua arah dan menghasilkan internal bond yang

tinggi. Kekurangan proses kering yaitu eliminasi pada ikatan hidrogen, kebutuhan
resinnya sangat tinggi, pengurangan secara substansial ikatan lignin, permukaan
papan kurang baik, dan memiliki pengembangan linier yang besar
Selanjutnya dikatakan Suchsland dan Woodson (1991), pembuatan MDF
proses kering mengkombinasikan cara pembuatan papan partikel. Ada tiga ha1
penting dalam proses pembuatan MDF yaitu pertama, MDF membutuhkan pulp yang
kerapatannya sangat rendah (low bulk density) 0,03 g/cm3 dengan mengembangkan
ikatan perekat yang baik untuk menghasilkan kerapatan yang normal (0,8 g/cm3)
sehingga dibutuhkan pulp yang khusus dihasilkan dari alat pressurized refiner.
Kedua, formulasi perekatnya untuk mencegah serat yang menggumpal dibutuhkan
sistem in-situ yang memiliki low tackiness dan viskositas yang rendah. Kondensasi
awal resin in-situ dilakukan pada berat molekul yang sangat rendah yang akan
mengurangi tackiness.
pengempaan

panas.

Kondensasi perekat yang sempurna terjadi pada saat
Ketiga,

pematangan

resin

pada

saat

pengempaan

menggunakan energi frekwensi radio yang menghasilkan waktu dan suhu yang
seragam selama pengempaan berlangsung.
Anon (1976) dalam Suchsland dan Woodson (1991) memperkirakan, analisis
biaya pembuatan papan serat antara proses basah dan proses kering yaitu, biaya
bahan kimia secara significant lebih tinggi proses kering dibanding proses basah,
selain itu proses basah sedikit lebih tinggi biaya listriknya, tetapi rendah persyaratan
bahan bakunya, dan total biaya pembuatan papan serat proses basah lebih rendah
dibanding proses kering

Bahan Baku dan Bahan Penolong
Bahan Baku
I. Limbah Kayu

Kayu merupakan sumber utama bahan berserat selulosa dan sebagai bahan
dasar dalam pembuatan pulp dan papan serat. Kayu dibedakan atas dua kelas,
yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarum (softwood). Kayu daun jarum
lebih homogen dibanding kayu daun lebar.(Haygreen dan Bowyer, 1996)
Eustis (1980) dalam Suchsland dan Woodson (1991) mengatakan bahwa
secara umum, kayu daun lebar menghasilkan hardboard yang lebih baik pada proses
basah dan kayu daun jarum menghasilkan hardboard insulasi yang lebih baik.
Kelebihan kayu daun lebar yaitu dapat menghasilkan hardboard lebih baik karena
memiliki serat yang pendek sehingga distribusi serat yang tidak seragam relatif kecil
pada saat pembentukan hardboard proses basah. Selanjutnya dikatakan, kayu daun
lebar menghasilkan serat yang lebih berpori yang merupakan faktor penting dalam
proses pembuatan hardboard serat proses basah, karena serat tersebut
mengeluarkan air dengan cepat pada hamparan yang basah. Hal ini memungkinkan
terbentuknya garis perekat lebih cepat dan proses pengeringan atau siklus press
dapat menjadi lebih pendek. Hal lain dikatakan bahwa pencampuran kayu Oak dan
kayu Pinus dengan perbandingan 50 : 50 persen dapat menghasilkan hardboard
dengan kualitas yang sempurna.

Pencampuran ini dilakukan karena kayu Oak

termasuk kategori yang sulit untuk industri hardboard serat, yang proses pulpingnya
harus cepat dan memproduksi serat pendek, serta memiliki sifat mudah patah
Kayu daun jarum trakheid merupakan sel pembentuk utama, dimana sekitar
80 % dari volume kayu terdiri dari trakheid, panjang rata-rata trakheid 3-5 mm

dengan diameter serat sekitar 0,03 mm. Kayu daun lebar terdiri dari serat kayu,
pembuluh dan parenkim. Serat kayu daun lebar terdapat 25-35 % dari volume kayu.
Panjang serat kayu daun lebar berkisar antara 0,5-2,O mm dengan rata-rata 1,O mm.
Pembuluh kayu daun lebar mencapai 50-60 %, bila dibanding dengan serat kayu
maka sel pembuluh diameternya lebih besar dan berdinding sel tipis. Panjang sel
pembuluh berkisar 0,l-1,O mm yang bervariasi dalam berbagai bentuk (Casey 1960).
Simarmanta

dan Soenarso (1981) mengatakan bahwa limbah kayu dari

industri adalah bagian dolog atau bahan lain yang karena dimensi dan sifatnya masih
dapat dimanfaatkan. Limbah kayu adalah sisa-sisa atau bahan kayu yang dianggap
tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu pada waktu dan tempat
tertentu, tetapi mungkin masih dapat dimanfaatkan pada proses yang berbeda, pada
waktu dan tempat yang berbeda pula

Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan

pengerjaan kayunya, limbah dapat dibedakan sebagai limbah eksploitasi "logging
waste" yaitu terjadi sebagai akibat kegiatan logging dan "processing wood waste"
karena adanya kegiatan industri perkayuan seperti pada pabrik penggergajian,
mebel, kayu lapis dan lain-lain. Limbah pemanenan berasal dari pohon tegakan sisa
yang rusak sebagai akibat adanya kegiatan pemanenan. Sedangkan Logging waste
terjadi ditempat tebangan sepanjang jalan sarad, sepanjang jalan angkutan, di
tempat pengumpulan kayu dolog.
Timbulnya limbah kayu akibat pengolahan hasil hutan, yang berasal dari
pemanenan hasil hutan dan industri hasil hutan, juga dipengaruhi oleh syarat-syarat
pada saat itu, dengan demikian ukuran dan kualitas yang tidak memenuhi syarat
pasaran tersebut akan menjadi limbah di daerah pemanenan. lndustri perkayuan ikut
menentukan jumlah limbah. lndustri pulp dan kertas serta industri papan serat, akan
memberikan peluang yang lebih besar dalam penggunaan limbah, sehingga limbah

yang dimanfaatkan akan menjadi bernilai ekonomis tinggi (Simarmanta

dan

Soenarso, 1981).
Limbah kayu dapat terjadi mulai dari penebangan hingga ke industri barang
jadi. lndustri pengolahan kayu di lndonesia tingkat efesiensi baru mencapai 25-55 %
artinya limbah yang terjadi di industri mencapai 45 - 75 %. Hal ini dapat dilihat pada
produk kayu olahan kayu gergajian yang tingkat efisiensinya 50 %, kayu lapis 35 %,
furniture 25 - 30 % dan wood working 35 % (Apkindo, 1999). Volume limbah kayu
di lndonesia menurut data statistik Kehutanan lndonesia tahun 1995/1996 mencapai
29,75 juta m3/tahun atau 82,O m3/ha. Angka ini didasarkan pada produksi kayu dari
laju penebangan sebesar 0,36 juta halthn atau 65,3 m3/ha.
Meulenhoff (1966) dalam Anonim (1989) mengatakan bahwa industri papan
serat merupakan industri yang dapat memanfaatkan lebih banyak sebetan-sebetan
kayu dan sisa-sisa kulit kayu, dimana kulit kayu dapat digunakan sampai 10 persen.
Selanjutnya dikatakan bahwa masalah utama dalam memanfaatkan limbah kayu
daun lebar adalah heterogenitas jenis dan bentuk limbahnya, sehingga bila
digunakan sebagai pemasok industri papan serat memerlukan teknik pengolahan
campuran agar diperoleh mutu produk yang tinggi dan seragam.
Kayu limbah dapat dimanfaatkan menjadi produk yang menggunakan
teknologi sederhana hingga teknologi tinggi antara lain produk kayu solid misalnya
komponen meubel, barang kerajinan dan mainan. Produk mejemuk berupa veenir,
kayu lapis, papan partikel, papan serat, papan semen, dan papan sambung juga
pulp dan kertas, tissue, kertas sak, dan papan kertas. Bahan kimia produk turunan
dari bahan kayu berupa rayon atau sutera tiruan, selulosa, dan arang. Kompos,
penggembur tanah, dan penyubur tanah (Gintings, 1998 dalam Malik, 2000).

2. Serat Sekunder
Serat sekunder adalah serat yang berasal dari kertas atau karton atau
sumber kertas lain yang dapat kembali dimanfaatkan. Sedangkan pulp serat
sekunder adalah pulp yang diperoleh dari daur ulang kertas dan karton bekas
(Casey, 1980). Selanjutnya dikatakan bahwa metode yang digunakan untuk
mendapatkan serat sekunder adalah sistem mekanis dengan menggunakan
hidropulper, penyaring dan pemisah sentrifugal dan kombinasi sistem kimiawi dan
mekanis, dimana sistem kimia digunakan untuk memisahkan tinta dan bahan
pengkontaminasi dari serat.
Penggunaan serat sekunder

berkembang dengan pesat seiring dengan

perkembangan teknologi, ekonomi dan keterbatasan kemampuan alam dalam
menyediakan serat alam (Felton, 1970). Beberapa faktor lain seperti efisiensi
ekonomi,

penghematan

penggunaan

energi

dan

meningkatnya

persoalan

penanggulangan lingkungan banyak mempengaruhi pemikiran mengenai daur ulang
serat selulosa (Kleinau, 1987).
Menurut Felton (1970) bahwa serat sekunder memiliki sifat antara lain
stabilitas tinggi, sifat menggulung rendah, formasi kertas yang dihasilkan baik, sifatsifatnya dapat diperbaiki dengan penambahan bahan pengisi. Selanjutnya dikatakan
bahwa serat sekunder juga memiliki beberapa kelemahan yang membatasi
penggunaannya antara lain kekuatan lebih rendah, warna tidak seragam dan
kehalusan lembaran sangat rendah.
Untuk meningkatkan layak atau tidaknya serat daur ulang dibuat menjadi
kertas, dapat dilakukan pemberian perlakuan penggilingan dan perlakuan kimia pada
serat daur ulang (Wistara, 2001). Ada empat cara ikatan antar serat yang mungkin

diperoleh dari kerugian serat daur ulang yaitu, (1) beating dan refining, (2) perfakuan
kimia, (3) pencampuran (blending) dengan serat asli, dan (4) fraksionasi serat.
(Howard, 1990 dalam Wistara dan Young, 1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa

beating dan refining sebagian besar digunakan untuk perbaikan sifat-sifat serat asli.
Beating dan refining pada serat daur ulang efeknya tidak sama dengan serat asli.
Juga digambarkan bahwa sifat kekuatan serat daur ulang juga dapat diperoleh
melalui beating dan penggilingan.
Salah satu devisi dari United States National Assosciation of Waste Material
Dealers, menggolongkan kertas atas lima golongan kertas bekas pada Tabel !.
Tabel 1. Beberapa Golongan Kertas Bekas
Golongan
Kertas bekas campur (mixed paper)
Koran bekas (old news paper)

Out throws
(maks %)

Prohibit
(maks. %)

10

2

0,25

05

Sorted colored ledger

2

Karton gelombang (corrugated containers)

5

1

Kertas cetakan komputer (computer print out)

2

-

American Paper Institute (1979) dalam Kleinau (1987) menyebutkan bahwa
dari 60.3 juta ton pertahun pulp yang dikonsumsi, dipergunakan 13,9 juta ton serat
sekunder yang meliputi 6,3 juta ton kertas gelombang (corrugated) dan 2,3 juta ton
kertas koran bekas dan kertas bekas campuran (mixed paper). Pabrik tissue dan
percetakan mengkonsumsi sebanyak 3,l juta ton pertahun pulp subtitutes dan
deinking. Secara total industri tissue mengkonsumsi 10 persen dari total kertas
bekas dan 33 persen dari total pulp subtitutes dan deinking.

Sedangkan jumlah persentase serat daur ulang dari berbagai jenis kertas di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Serat Daur Ulang untuk Pembuatan Berbagai Jenis Kertas
di Indonesia.
Jenis Kertas

I Jumlah serat daur ulang (%) ]

Tissu
Medium
Kotak kardus lipat
Manila karton
Chip board
Cetak 1 tulis
Koran I
Koran II

0

umber : Berita Selulosa, September 1994. Vol. XXX No. 3

Kertas koran merupakan sebutan umum yang dikenakan terhadap jenis
kertas, yang digunakan dalam publikasi atau berita. Pada pembuatan kertas koran,
dtambahkan bahan pewarna untuk mengubah warna kertas dan untuk memperbaiki
retensi bahan pewarna tertentu, ditambahkan alum (Kumler, 1957).
Pulp yang digunakan untuk kertas koran dapat berupa pulp kayu atau pulp
non kayu. Salah satu pulp non kayu yang sudah menjadi bahan baku utama kertas
koran adalah bagase. Bahan baku bagase tidak dapat memberikan sifat kekuatan
dan opasitas yang baik.

Sabur (1988) mengatakan, permasalahan yang timbul

dalam penggunaan kertas koran adalah kekuatan dan opasitas yang rendah,
sementara kekakuan tinggi. Permasalahan di atas timbul disebabkan karena
karakteristik serat

bagase yang terkandung

bagase yang cukup tinggi sekitar 30 - 32 %.

berupa kandungan pentosan pulp

Serat bagase tidak tergolong serat panjang sehingga kekuatan kertas koran
rendah dan mempunyai dinding serat yang tebal sehingga mempunyai serat halus
pada saat digiling, kondisi ini diperburuk oleh adanya pith yang masih tertinggal
sehingga menimbulkan masalah pendebuan.(Sabur,l988)
Komposisi bahan pengikat kertas koran :terdiri atas rosin 2 %, alum 4

Oh,

kaolin 6 % dan bahan penguat PAA 0,01 % (Hidayat dan Tjiptosoedirjo, 1992).
Gramatur kertas koran berkisar antara 45

- 56 g/m2 .

Kertas koran termasuk jenis

kertas cetak, bahan dasarnya dibuat dari pulp kimia dengan campuran pulp mekanis
atau pulp bagase yang rendemennya minimum 65 %.
Menurut MacDonald dan Franklin (1969) bahwa kertas koran yang
mengandung bagase mempunyai karakteristik fisik yang setara dengan kertas koran
komersil yang permukaannya halus. Selanjutnya dikatakan, kertas koran bahan
bakunya berasal dari campuran pulp kimia bagase 70-30 % dan bagase groundwood
30-70%, pulp kraft kayu softwood 40-30% dan bagase groundwood 60-70%, dan
campuran pulp kimia hardwood 65-55% dan bagase groundwood 35-45%.
Komposisi kertas koran tergantung mutu kertas dan kecepatan mesin kertas.
Kertas koran dapat dibuat dengan penambahan 80 persen serat sekunder atau
bahkan 100 % serat sekunder.(Finegan dan Martin, 1972). Kertas bekas biasanya
mengandung berbagai material asing, seperti tinta, bahan pelapis, kotoran yang
menempel dan lain-lain. Proses yang utama pada proses perdauran ulang kertas
adalah penghilangan material yang mengkontaminasi kertas, agar kertas bekas
dapat kembali digunakan (Kleinau, 1987). Menurut Forsythe (1972), kandungan
tinta cetak pada kertas koran diperkirakan antara 1,5 sampai 2,O persen dari berat
kertas. Lapisan tinta ini mempunyai gaya fisik yang lemah dan mudah diemulsikan
pada waktu pemasakan, terutama yang berumur kurang dari enam bulan.

Bahan Penolong
Pemberian bahan penolong pada papan serat adalah untuk melindungi
permukaan serat dengan bahan lain yang akan mengurangi energi permukaan serat
dan juga menjadi bahan yang menolak air. Dijelaskan Suchsland dan Woodson
(1991) bahwa penambahan bahan kimia ke dalam adonan papan serat antara lain
sebagai kontrol terhadap keasaman, memperbaiki resistensi terhadap air,
meningkatkan pembentukan ikatan serat, kontrol dalam proses, meningkatkan daya
tahan terhadap air, dan pewarnaan. Penggunaan bahan sizing terjadi dalam dua
tahap pada proses basah yaitu (1) air digunakan sebagai media untuk pencampuran
bahan sizing dan serat. (2), bahan sizing dibuat untuk mempercepat keluarnya air
dan menguatkan ikatan oleh bahan kimia pada permukaan serat, dimana ha1 ini
dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan untuk menolak air (hidrophobic).
Bahan penolong terdiri dari tiga jenis yaitu, bahan pengikat (binder), bahan
penolak air (water repellent), dan bahan tambahan khusus (special additive). Bahan
pengikat merupakan bahan organik yang ditambahkan dalam proses pembuatan
papan serat untuk menyempurnakan ikatan antar serat, bahan pengikat yang
digunakan untuk MDF adalah urea formaldehide dan melamin formaldehide. Papan
serat yang dibentuk dari proses kering sangat mengandalkan penambahan adhesive,
karena proses ini tidak memberikan kondisi yang sesuai untuk dapat terjadi ikatan
lignin. Adapun MDF proses kering membutuhkan urea formaldehide sebesar 8-1 1%
dari berat kering tanur (Suchsland dan Woodson, 1991). Sedangkan pada proses
basah, tingkat penambahan resin sekitar 1 - 2 % dari berat kering tanur. Jumlah
resin yang digunakan mempunyai pengaruh yang penting dalam sen pengempaan.

Pada pengempaan minimum, resin tidak mengeras dengan sempurna. Pengeras
dapat sempurna selama terjadi perlakuan panas.
Bahan penolak air adalah bahan yang diberikan untuk meningkatkan
resistensi terhadap air dan sebagai kekuatan mekanis. Bahan penolak air yang
umum digunakan adalah lilin (parafin) kandungan yang diberikan berkisar 0,2-0,5 %
namun tidak mempengaruhi kekuatan papan. Selain lilin sebagai bahan penolak air
adalah aspal yang digunakan dalam bentuk emulsi dan dikeraskan melalui
penambahan alum.

Bahan sizing aspal ini dapat meningkatkan regangan dan

kekuatan lengkung papan insulasi (Suchsland dan Woodson, 1991).
Bahan tambahan khusus yang diberikan, berupa bahan pengawet, bahan
penghambat api dan perlakuan minyak. Bahan pengawet yang diberikan adalah
sodium pentaklorofenat (Mitrol G) yang melindungi papan serat dari jamur, lumut
dan rayap. Bahan kimia ini ditambahkan dalam furnish dengan retensi 0,5 - 0,75 %
dari berat serat kering. Bahan penghambat api yang digunakan adalah seluruhnya
dalam bentuk garam anorganik, dimana papan serat yang terbentuk berisikan
alumunium trihydrat 45-60% yang dilapisi dengan resin borat ester yang dipanaskan.
Bahan pengeras yang ditambahkan kedalam papan serat adalah aluminium sulfat
Al, (SO&

atau alum ditambahkan dalam bentuk cair yang dapat menurunkan pH

sampai 4,5. (Suchsland dan Woodson, 1991).

Proses Pulping dan Repulping Kertas Bekas
Proses Pulping
Proses pulping bertujuan untuk mengubah serpih kayu menjadi serat. Proses
pulping terdiri atas tiga yaitu proses mekanis, semi kimia dan proses kimia (Fengel
dan Wegener, 1995). Pulp mekanis diperoleh hanya melalui perlakuan mekanis,
pulp kimia dihasilkan melalui proses kimia, dan pulp semi kimia diperoleh dengan
perlakuan kimia untuk melunakkan lignin, selanjutnya untuk defibrasi serat dilakukan
perlakuan penggilingan secara mekanis (Casey, 1980).
Ada dua tahap perlakuan mekanis dalam pembentukan pulp pada proses
semi kimia. Tahap pertama penggilingan serpih hasil pemasakan, bertujuan untuk
menguraikan gumpalan serat. Tahap kedua adalah penggilingan pulp yang bertujuan
menghasilkan pulp dengan derajat giling yang disesuaikan jenis kertas yang akan
diproduksi (MacDonald dan Franklin, 1969).
Fengel dan Wegener (1995) mengatakan, pembuatan pulp soda pada suhu
tinggi digabung dengan penggiling cakram, digunakan untuk kayu daun lebar dan
terutama untuk pembuatan serat bukan kayu. Selanjutnya dikatakan, pengolahan
pulp kimia mekanis umumnya menggunakan jenis kayu daun lebar, dimana
perlakuan pendahuluan kimia akan melunakkan struktur serat sehingga pada
penghalusan serat akan terpisah dinding sel S, dan S2.
Perlakuan panas terhadap chips kayu sebelum dan sesudah proses
penguraian serat menyebabkan hemiselulosa larut. Semakin tinggi temperatur dan
semakin lama perlakuan yang diberikan, semakin efektif untuk melunakkan ikatan
antar serat dan semakin besar potensi terjadinya ikatan serat secara alami
(Suchsland dan Woodson 1991) .

Pembuatan pulp secara semikimia dengan pembuatan pulp rendemen tinggi
batasannya tidak jelas bila dikaitkan dengan besarnya rendemen yang dihasilkan
yaitu 55-70% atau lebih tinggi dan merupakan rancang bangun proses yang khas
yaitu penggilingan cakram setelah perlakuan kimia (Fengel dan Wegener, 1995).
Casey (1980) mengatakan, proses pembuatan pulp semi kimia meliputi dua
tahap perlakuan yaitu perlakuan kimia untuk menghilangkan lignin yang terikat pada
poliosa diikuti dengan proses mekanis untuk pemisahan serat secara sempurna.
Selanjutnya dikatakan bahwa proses semikimia secara umum lebih banyak
menggunakan proses mekanis dibanding proses kimia,

adapun rendemen pulp

semikimia 10-40 % lebih tinggi dari proses kimia secara konvensional
Perlakuan keras terhadap serpih kayu akan mengalami perubahan struktur
kimia kayu yaitu bagian dari zat-zat kayu akan larut dan ikatan lignin baik kimia
maupun fisika menjadi lemah sehingga seratnya mudah diuraikan (Suchsland dan
Woodson 1991). Lebih lanjut dikatakan, larutnya zat-zat kayu tersebut disebabkan
terjadinya

hidrolisis

hemiselulosa

karena

pengaruh

katalis

asam

asetat.

Hemiselulosa pecah menjadi gula (heksosa dan pentosa) yang larut dalam air dan
kemudian dihilangkan melalui pencucian
Bahan kimia yang umum digunakan dalam proses semikimia selain Na2S03
juga Na2C03,NaOH, Na2S, NaHC03, Na2S04. Bahan kimia ini berfungsi sebagai
larutan penyangga untuk mencegah korosi dan terjadinya hidrolisis yang
berkelanjutan oleh Na2S03,sehingga hemiselulosa tetap tinggi dan dapat mengontrol
atau mempertahankan pH tetap netral atau sedikit alkali. Kondisi asam memproduksi
pulp yang lebih lemah dibanding kondisi netral atau alkali, kekuatan pulp cenderung
rendah pada rendemen di atas 60 % (Casey, 1980).

Repulping Kertas Bekas
Kertas bekas adalah semua jenis kertas dan karton yang tidak digunakan lagi
untuk sumber serat yang diolah secara terpisah meliputi pembuatan pulp tanpa
melalui proses pemasakan, kemudian dilanjutkan dengan penyaringan dan
pembersihan (Achmadi et a/, 1995).
Metode dasar pembuatan pulp dari kertas bekas terdiri atas dua cara yaitu ,
pertama sistem mekanis dengan menggunakan hidropulper, dilakukan dengan
penyaringan dan pemisahan secara sentripugal dan kedua, kombinasi kimia dan
mekanis, sistem kimia untuk memisahkan tinta dan zat kontaminan lainnya.
Perlakuan mekanis dapat berakibat berkurangnya panjang serat dan penghancuran
fibril pada dinding serat.(Felton, 1970).
Emerton (1980) menjelaskan, secara garis besar tahapan pembuatan pulp
dari kertas bekas yaitu penguraian serat, pembersihan

dan penyaringan,

pembersihan kontaminan, pengurangan kadar air, pemutihan dan dan pembersihan
hasil pemutihan dan proses pengeringan.
Penguraian serat dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu sistem curah
(batch), sistem sinambung dan curah sinambung. Pada sistem curah, air, bahan
kimia, dan kertas bekas dimasukkan secara bersamaan. Keberhasilan penguraian
ini ditentukan oleh konsisitensi, temperatur, konsentrasi bahan kimia, dan lama
penguraian. Pada sistem sinambung, air, bahan kimia, dan kertas bekas dimasukkan
tidak sekaligus tetapi bertahap dengan kecepatan ekstraksi

dan kapasitas

penguraian. Pada sistem curah sinambung, dimana air bahan kimia dan kertas
bekas diuraikan dengan sistem curah sampai terjadi penguraian tahap awal, setelah
penguraian tahap awal selesai, penguraian dihentikan, selanjutnya dilakukan

penguraian kertas bekas yang lain, sedangkan bahan yang sudah teruai dilanjutkan
pada tahap berikutnya.

Penguraian kertas bekas ini dapat beriangsung empat

hingga lima tahap tergantung pada kondisinya (Felton, 1970).

Penghilangan Tinta (Deinking)
Pengumpulan tinta dimulai dari pengembangan serat setelah kertas bekas
dibenamkan ke dalam air. Molekul air dengan ikatan hidrogen berikatan dengan
molekul selulosa dan pengaruhnya ditingkatkan dengan penambahan basa (NaOH)
dan pengaturan suhu pemasakan (Olson dan Letscher, 1992).
Bahan pengumpul tinta (kolektor) adalah bahan pengaktif permukaan yang
mempunyai ujung hidrofilik, tinta minyak dan kotoran lainnya akan menempel pada
ujung hidrofobik, sedangkan ujung hidrofilik akan tertahan di air (Ferguson, 1992
dalarn Rajagukguk, 1997) Bahan kolektor berfungsi membentuk partikel tinta yang
terdispersi menjadi partikel-partikel yang cukup besar dalam fasa air yang dapat
dihilangkan dengan pengapungan dan pencucian (Olson dan Letscher, 1992).
Menurut

Read (1985),

bahan kolektor yang

ditambahkan

kedalam

hidroppulper dapat digunakan minyak jarak dan minyak kemiri yang mengandung
asam oleat dan asam lemak lainnya sebagai bahan penyusun.

Ditambahkan

Ketaren (1986), minyak jarak dan turunannya digunakan dalam industri cat, pelumas,
dan sebagian industri plastik dan nilon.
Dikatakan Johnson (1992), mekanisme pengikatan tinta terdiri dari tiga tahap
yaitu tabrakan antar partikel tinta dengan gelembung udara, melekatnya partikel tinta
dengan gelembung udara, dan penghilangan busa gelembung udara beriapis tinta.
Untuk memudahkan tinta dibuang, partikel-partikel tinta kontak dengan bahan

kolektor dan selanjutnya kontak

dengan gelembung udara

sehingga terjadi

penggumpalan tinta.
Dispersi merupakan aksi dari partikel tersuspensi di dalam cairan mempunyai
kecenderungan untuk bergabung pada saat terjadi ikatan Van der Walls. Sehingga
untuk mempertahankan partikel tersuspensi dan mencegah penggumpalan perlu
ditambahkan dispersan dengan sifat kepolaran tinggi (Gilkey dan Mark, 1985).
Deterjen sebagai pendispersi merupakan bahan pembersih yang berasal dari
turunan petrokimia yang dapat bereaksi dengan air sadah, tetapi reaksinya terdapat
dalam bentuk koloidal atau larut dalam air (Sitting, 1979).
Menurut CIC (1993), sabun cuci dapat dikelompokkan ke dalam jenis
surfaktan non deterjen (loundry soap) dan deterjen (synthetic deterjen). Sedangkan
Forester (1987) mangatakan bahwa sabun asam lemak merupakan type surfaktan
yang berfungsi sebagai dispersan yang mempunyai 16 -18 rantai carbon seperti
stearat, oleat, palmitat dan penoleat
Efektifitas penghilangan tinta dengan sistem pengapungan dan pencucian
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesadahan air, pH, konsistensi waktu tinggal
dalam sel, suhu dan jenis bahan kimia (Forester, 1987).

Variabel Pemasakan Pulp Soda Panas Terbuka
Pemasakan dengan menggunakan alkali tidak hanya melarutkan lignin tapi
juga bereaksi dengan karbohidrat. Jika alkali berlebihan maka akan menyebabkan
degradasi selulosa yang besar sehingga pulp menurun (Casey, 1980). Selanjutnya
dikatakan bahwa, alkali yang digunakan untuk pemasakan tergantung dari jenis
bahan baku, kondisi pemasakan derajat delignifikasi yang diinginkan dan kondisi lain.
Adapun alkali aktif untuk proses soda sekitar 12 %.

Dikatakan Haroen dalam Allia (2001), makin tinggi alkali aktif rendemen pulp
makin turun dan bilangan pulp semakin rendah. Hasil penelitian Wardoyo (2001), dari
penggunaan konsentrasi NaOH 4 %, 8%, dan 12 % dalam proses pembuatan pulp
dari jenis

kayu akasia yang terbaik adalah pada konsentrasi 8 % baik rendemen

pulp yang dihasilkan maupun sifat fisik pulp.
Nisbah larutan pemasak untuk bahan baku kayu dengan proses soda panas
terbuka adalah 1 : 8 (Silitonga, 1974 dalam Pasaribu, 1994).dimana larutan bahan
pemasak ini merendam seluruh bahan baku yang dimasak. Sehingga penetrasi
bahan kimia ke dalam kayu lebih baik.
Dikatakan MacDonald dan Franklin (1969), pemasakan berjalan sempurna
apabila perbandingan larutan pemasak tinggi dan penetrasi larutan pemasak
terpenetrasi sempurna ke dalam bahan baku.
Waktu pemasakan, temperatur dan konsentrasi larutan

pemasak saling

terkait. Pemasakan pulp dengan temperatur atau konsentrasi larutan pemasak yang
tinggi akan meningkatkan waktu pemasakan (Casey, 1980).
Dalam Proses soda panas terbuka, temperatur pemasakan digunakan 1 0 0 ~ ~
dan waktu pemasakan sekitar dua jam dengan konsentrasi NaOH yang dgunakan
yaitu konsentrasi NaOH 30 g/l, 35 g/l dan 40 g/l (Pasaribu, 1994).

Penggilingan (refining) Pulp
Penghalusan serat terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap penghalusan pertama
yang merupakan aksi defiberasi dilakukan setelah pemasakan, tahap penghalusan
ke dua untuk meningkatkan kekuatan pulp dengan menggunakan alat stone refiner.
Pemipihan atau penguraian serat secara mekanis disebut penggilingan, yang

diselesaikan pada berbagai type mesin penghalus serat yaitu pada mesin giling
Hollander (Haygreen dan Bowyer, 1996).
Penggilingan pulp perlu dilakukan pada setiap pulp yang dihasilkan dalam
proses pulping. Pulp yang tidak digiling akan menggumpal, yang berakibat distribusi
serat tidak merata pada saat dilakukan pembentukan lembaran (Casey, 1952)..
Peristiwa penting dalam penggilingan adalah fibrilisasi yaitu proses terurainya fibril
dari serat. Serat dibentuk dari individu molekul selulosa yang tergabung menjadi
kristal-kristal serta berhubungan satu sama lain yang meyerupai benang-benang
atau fibril (Casey, 1952). Selanjutnya dikatakan, ada dua macam fibrilisasi yaitu
fibrilisasi internal dan eksternal. Fibrilisasi internal adalah keluarnya fibril dari serat,
ha1 ini akan meningkatkan fleksibilitas serat sehingga mudah dikempa dan saling
mengikat antar serat selama pembentukan lembaran. Sedangkan fibrilisasi eksternal
adalah timbulnya fibril-fibril ke permukaan serat, ha1 ini dapat meningkatkan luas
kontak permukaan antar serat.
Giertz (1989) dalam Maria (1991) mengatakan bahwa dalam proses
penggilingan terjadi perubahan serat secara induvidual yaitu (1) fibrilation internal
memungkinkan serat mengembang, peningkatan fleksibilitas, serat menjdi lebih baik
dan memungkinkan serat menjadi pipih. (2) fibrilation eksternal menghasilkan
pelepasan dinding primer, fibrilation lapisan terluar serat dan formasi halus (fines) (3)
serat patah menghasilkan serat pendek dan halus.

Selanjutnya dikatakan bahwa

operasi penggilingan pada kondisi normal dilakukan pada konsistensi rendah antara

2- 6 persen. Refining juga mempunyai dampak positif terhadap retensi vessel pada
lembaran kertas
Suchsland dan Woodson (1991) mengatakan, fibrilasi penting untuk
meningkatkan ikatan hidrogen pada kertas. Kekuatan papan serat tidak tergantung

pada ikatan hidrogen, tetapi karena papan serat merupakan lembaran tebal, maka
memerlukan aliran stock yang cepat. Insulation board sangat tergantung pada ikatan
hidrogen dan memerlukan slower pulp.
Sebagian besar kekuatan lembaran dari bahan baku pulp adalah akibat dari
ikatan hidrogen molekul-molekul sel