Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

i

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT
KOMUNITAS SUKU BAJO
(Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

MUHAMMAD OBIE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Perampasan Hak
Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber

Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Muhammad Obie
NIM I363100051

iv

v

RINGKASAN
MUHAMMAD OBIE. Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku
Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini).
Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO, TITIK SUMARTI, dan

SAHARUDDIN.
Penelitian ini bertujuan menganalisis penutupan akses dan teritorialisasi
kawasan yang menyebabkan hilangnya citizenship ‘kewargaan’ komunitas Suku
Bajo. Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Tomini, Kabupaten Pohuwato, Provinsi
Gorontalo, dengan menggunakan paradigma teori kritis, pendekatan kualitatif,
serta strategi studi kasus. Data yang terkumpul berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari para aktor sebagai subjek kasus, baik aktor
grassroots di tingkat desa, maupun aktor atas berupa pemerintah daerah, NGOs,
anggota legislatif, bahkan sampai aktor pusat. Pengumpulan data primer
dilakukan melalui wawancara mendalam (indept interview), observasi partisipasi
pasif (passive participation), dan Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder
dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen berupa laporan hasil-hasil
penelitian sebelumnya, UU, PP, Kepres, Inpres, Kepmen, Perda, dan lain-lain.
Analisis data dilakukan melalui deskriptif analitis, yang dilakukan bersamaan
selama pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data
dalam periode tertentu. Kredibilitas data diuji melalui triangulasi, yaitu mengecek
kredibilitas data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan
data, dan triangulasi waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya pesisir dan

laut di Teluk Tomini melibatkan banyak aktor yang berkepentingan, yakni negara,
baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga multilateral, swasta, LSM, serta
masyarakat grass roots komunitas Suku Bajo. Suku Bajo yang dikenal sebagai
suku pengembara laut telah mendiami kawasan Teluk Tomini sejak tahun 1800an, jauh sebelum aktor-aktor lainnya memiliki perhatian, bahkan jauh sebelum
republik ini berdiri. Penulis mengalisis konflik yang terjadi dengan menggunakan
teori akses (Ostrom, 1996; Ribot dan Peluso; 2003; Lund , 2011; dan Li, 2012).
Konflik sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini berakar dari
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di satu sisi, serta perlindungan sumber
daya di sisi yang lain. Pemanfaatan sumber daya menjadi pintu masuk bagi
korporasi untuk mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya pesisir dan laut di
Teluk Tomini, sedangkan perlindungan kawasan yang diwujudkan dengan
penetapan kawasan sumber daya pesisir dan laut sebagai hutan konservasi
menjadi instrumen negara untuk menguasai sumber daya yang ada. Dominasi
negara dan korporasi dalam pengelolaan sumber daya tesebut sesungguhnya
menegasikan eksistensi komunitas Suku Bajo yang telah lama memupuk sistem
sosial dan ekonominya di pesisir Teluk Tomini. Baik pemanfaatan oleh korporasi
maupun perlindungan sumber daya pesisir dan laut oleh negara berbenturan
dengan kepentingan Suku Bajo, sehingga konflik tidak dapat dihindari.
Pemanfaatan dan perlindungan kawasan kemudian melahirkan penggusuran dan
program resettlement yang menyebabkan Suku Bajo mendapat desakan untuk


vi

meninggalkan permukiman mereka di laut dan dimukimkan kembali ke darat.
Konsesi kawasan kepada pihak korporasi telah menyebabkan konflik antara Suku
Bajo versus korporasi yang juga melibatkan negara, sedangkan penetapan
kawasan konservasi yang disusul dengan desakkan resettlement telah melahirkan
konflik antara Suku Bajo versus negara.
Perampasan hak ulayat pesisir dan laut Suku Bajo, dalam pengelolaan
sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, terjadi melalui penutupan akses dan
teritorialisasi kawasan, sehingga menyebabkan hilangnya citizenship komunitas
Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Penutupan akses terjadi karena korporasi
menerima konsesi pada kawasan yang sesungguhnya selama ratusan tahun telah
menjadi hak kelola komunitas Suku Bajo, jauh sebelum negara dan korporasi
berada di kawasan tersebut. Sementara itu, teritorialisasi kawasan terjadi ketika
negara menggunakan perannya sebagai pelindung sumber daya alam,
menegasikan hak ulayat Suku Bajo yang sudah mendiami kawasan pesisir Teluk
Tomini jauh sebelum Indonesia merdeka. Adanya penutupan akses maupun
teritorialisasi kawasan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Teluk Tomini,
sesungguhnya telah menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo

sebagai masyarakat adat. Dominasi negara dan korporasi yang melahirkan
penggusuran dan program resettlement, menempatkan komunitas Suku Bajo pada
posisi yang tercampakkan. Di satu sisi komunitas Suku Bajo sebagai sebuah
entitas suku tercerabut dari akar budayanya, sementara itu di sisi yang lain dalam
eksistensinya sebagai bagian dari negara bangsa modern (modern nation-state)
tetap dipandang sebagai komunitas terasing, terpencil, dan semacamnya.
Kata-kata kunci: Hak ulayat pesisir dan laut, dominasi negara dan korporasi,
kewargaan, Suku Bajo

vii

SUMMARY
MUHAMMAD OBIE. The Hijacking of Coastal and Marine Customary Right for
Land Rights of the Bajo Tribe Community: A Case of Coastal and Marine
Resources Management at Tomini Bay. Supervised by ENDRIATMO
SOETARTO, TITIK SUMARTI, and SAHARUDDIN.
The goal of this research was to analize the closing of access and area
territorialization which caused the lose of citizenship of the Bajo tribe community.
This research was conducted at Tomini bay, Pohuwato Regency, Province of
Gorontalo, by using critical theory paradigm, qualitative approach, and case study

strategy. The collected data was primary and secondary data. The primary data
was collected from the actors as subject of case; such as grassroots actor on
village level, or upper actors such as local government, NGOs, parliamentary
members, or even the actors on central government. The collecting of primary
data was conducted through indept interview, passive participation observation,
and Focused Group Discussion (FGD). The secondary data was collected through
document study; such as the report of previously research, constitution,
government regulation, decision of president, president instruction, minister
regulation, area regulation, etc. Data analysis through analytic descriptive was
done at the same time during data collecting take place, and after finishing of the
data collecting in a certain period. Data credibilitation was tested through
triangulation, that checked data credibility from various sources with various
ways and time. Thereby there were triangulation of sources, data collecting
technique triangulation, and time triangulation.
The result of research indicated that coastal and marine resources
management at Tomini bay entangled many actors which had interest, namely
state (either central or area goverment), multilateral institution, bussiness, NGOs,
and also grassroots society-Bajo tribe community. Bajo tribe which recognized as
sea nomadic people had inhabited the area of Tomini bay since year 1980s, long
before the other actors had attention, even long before this republic exist. The

writer analyzed the conflict by using access theories (Ostrom, 1996; Ribot and
Peluso; 2003; Lund , 2011; and Li, 2012).
Conflict of coastal and marine resources at Tomini bay caused by the
exploiting of coastal and marine resources on one side, and also the protection of
resources on the other side. The exploiting of resources became entrance of
corporation to exploit the coastal and marine resources of Tomini bay as many as
possible, while the area protection which realized with stipulating of coastal and
marine resources as conservartion forest became the instrument of state to owning
the existing resources. Domination of state and corporation in owning the
resources, in fact eliminated the existence of the Bajo tribe on coastal and marine
resources at Tomini bay. Either exploiting by corporation or coastal and marine
resources protection by the state, impinged with the interest of the Bajo tribe, so
that conflict could not be avoided. The exploiting and protection of the area then
caused resettlement policy which forced the Bajo tribe to left their settlement in
the sea and move to the land. That was why the area consession to corporation had
caused conflict between the Bajo tribe and corporation, while stipulating of

viii

conservation area had caused conflict between the Bajo tribe community and

state.
The hijacking of coastal and marine customary right for land rights of the
Bajo tribe in coastal and marine resources management at Tomini bay done by
state and corporation through the closing of access and area territorialization
caused the lose of citizenship of the Bajo tribe community. The closing of access
happen since corporation got permit on the area which in fact had become
managing power of the Bajo tribe, long before state and corporation had interest
in that area. While the area territolialization happen since the state used its role as
the protector of resources negated the existence of the Bajo tribe who lived at
Tomini bay long before Indonesia got its freedom. These closing of access and
area territorialization had caused the lose of citizenship of the Bajo tribe.
Domination of state and corporation which caused exclusion and resettlement,
placing the Bajo tribe on thrown community. On one side Bajo tribe community
as a tribe entity was thrown from its cultural roots, while on another side in its
existence as a part of modern nation state, recognized as outlying community.
Key words: coastal and marine customary right for land rights, domination of
state and corporation, citizenship, Bajo tribe.

ix


@ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

x

xi

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT
KOMUNITAS SUKU BAJO
(Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

MUHAMMAD OBIE


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

xii

Penguji pada Ujian Tertutup:
(1) Dr. Arif Satria, S.P.,M.Si
(Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)
(2) Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
(Dosen Sosiologi Pedesaan pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor)


Penguji pada Ujian Terbuka:
(1) Dr. Ir. Andin H. Taryoto, M.Sc
(Dosen pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta-Kementerian Kelautan dan
Perikanan)
(2) Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
(Dosen Sosiologi Pedesaan pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor)

xiii

Judul Disertasi

Nama Mahasiswa
NIM

: Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas
Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Laut di Teluk Tomini)
: Muhammad Obie
: I363100051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
Ketua

Dr. Ir. Saharuddin, MS.
Anggota

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 16 Februari 2015

Tanggal Lulus:

xiv

xv

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Illahi Rabbi, Allah s.w.t, hanya dengan Rahmat
dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Salawat
dan salam semoga tetap tercurah kepada baginda Rasullah Muhammad s.a.w.,
pembawa risalah kebenaran. Penelitian disertasi ini mengangkat tema
“Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini). Penelitian yang
dilaksanakan selama dua tahun ini, Januari 2013 - Desember 2014, mengungkap
seputar dominasi negara dan korporasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir
dan laut di Teluk Tomini yang menyebabkan hilangnya citizenship komunitas
Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Penulis menyadari bahwa selesainya
penulisan disertasi ini tidak terlepas dari dukungan dan pengorbanan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah
membantu, mendukung, dan berkorban baik waktu, pikiran, tenaga, maupun
materi, sehingga disertasi ini sampai pada bentuknya saat ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA., selaku ketua komisi pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti,
MS., dan Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MS., masing-masing selaku anggota komisi
pembimbing yang dengan penuh kesabaran mengarahkan penulis sejak penulisan
proposal penelitian sampai menghasilkan disertasi ini. Penulis juga
menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pimpinan IPB,
khususnya Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Ketua dan
Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD), Dr. Ir. Arya Hadi
Dharmawan, M.Sc.,Agr., dan Dr. Ir. Rilus Kinseng, M.A., serta seluruh staf dosen
yang telah memberikan pencerahan dan mengenalkan disiplin ilmu sosiologi
dengan school of thought ‘Mazhab Bogor’ –nya yang berpihak kepada kelestarian
lingkungan dan kaum terpinggir.
Terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Prof. Dr.
Muhammadiyah Amin, M.Ag., Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo ketika itu,
yang telah merestui penulis untuk melanjutkan studi doktoral pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Penulis tak lupa menyampaikan terima kasih kepada temanteman mahasiswa S2/S3 IPB Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD angkatan
2010/2011, khususnya Dr. Viktor Amrifo, S.Pi.,M.Si., Universitas Riau (Unri);
Dr. Ir. Herlina Tarigan, M.Si., peneliti pada Pusat Studi Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian; Yunin Dyawati, S.Sos.,M.Si., Universitas Sriwijaya
(Unsri) Palembang; Mirajiani, S.P.,M.Si., Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
(Untirta), Tangerang; dan Iyep Saefurrahman, S.IP.,M.Si., Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung, yang telah menjalani nasib sepenanggungan dalam
menyelesaikan studi doktoral di IPB.
Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada rekan-rekan alumni SPD
angkatan 2008, Dr. Sultan Zainuddin, M.Si., akademisi Universitas Tadulako
(Untad) Palu; Dr. H. Subair, M.Si., akademisi IAIN Ambon; dan Dr. Rita

xvi

Rahmawati, M.Si., akademisi Universitas Djuanda Bogor; rekan-rekan SPD 2009,
Dr. Muhammad Syukur, M.Si., akademisi Universitas Negeri Makassar (Unem);
Dr. Zakaria Anwar, M.Si., akademisi Unversitas Hasanuddin (Unhas) Makassar;
Dr. Triwaty Arsal, M.Si., akademisi Universitas Negeri Semarang (Unes); Dr.
Mahmuddin, M.Si., akademisi UIN Arraniry Banda Aceh; Dr. Soetji Lestari,
M.Si., akademisi Unviversitas Tuju Belas Agustus (Unsoed) Purwokerto; dan Dr.
Adriana Monica, akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang telah
menjadi sahabat diskusi selama masa-masa awal penulis menempuh studi pada
program studi SPD IPB.
Ucapan terima kasih yang paling tulus kepada ibunda tercinta, Wa Suumi,
yang selalu memanjakan doa kesalehan kepada putranya, sebelum memenuhi
panggilan-Nya ketika penulis masih berusia 2 tahun; almarhumah bibi tercinta,
Wa Nuriima, yang menggantikan peran ibunda setelah ayah menikahinya ketika
penulis dan kakak menjadi anak-anak piatu; bibi tercinta, Wa Ekaani, yang mau
menyekolahkan kembali penulis di SD Neg. 5 Tampo, ketika penulis putus
sekolah di SD Neg. Inpres No. 3 Bangkali; ayahanda tercinta, La Siko, yang
dengan susah payah dalam keterbatasan ekonomi berhasil membiayai pendidikan
penulis sampai pada jenjang sarjana.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada istri
tercinta, Roslin Salima, S.KM.,M.Kes., yang dengan tulus mendukung penulis
dan ikhlas merawat dan membesarkan anak-anak tersayang, baik dalam
kebersamaan selama dua tahun di Bogor maupun dalam hubungan jarak jauh
sambil melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara di Makassar. Ucapan
kebahagiaan penulis sampaikan kepada anak-anak tersayang, bidadari-bidadari
kecilku: 1) Khansa Rizqo Shaquilla, lahir tanggal 05 Februari 2011 dan meninggal
tanggal 06 Februari 2011 di Makassar, Sulawesi Selatan, ketika penulis
mengawali proses belajar dalam studi ini; 2) Hanan Khayyiirah, lahir di Raha,
Kab. Muna, Sulawesi Tenggara, tanggal 22 Januari 2012; dan Hanun Raihanah,
lahir di Lakauduma, Kab. Muna, Sulawesi Tenggara, tanggal 30 Januari 2013.
Akhirnya, penulis harus mengakui, keberhasilan menyelesaikan disertasi
ini juga tidak dapat dilepaskan dari peran ayah dan ibu mertua, Bapak La Mbone
dan Ibu Wa Salima, baik dalam bentuk materi maupun pemikiran berupa
wejangan-wejangan yang menggugah penulis untuk segerah menyelesaikan studi
ini. Kepada keduanya, penulis tak lupa menyampaikan terima kasih yang tulus.
Penulis juga tak lupa menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya baik
kepada saudara-saudara kandung, Ana, Anto, dan Ocu, maupun saudara-saudara
ipar, Abjan, Erik, Fifi, dan Budi.
Semoga Allah s.w.t. Yang Serba Maha, berkenan membalas pengorbanan
mereka dengan imbalan yang terbaik, dan kepada mereka semualah karya ini
dibaktikan.
Bogor, Januari 2015

Muhammad Obie

xvii

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul
Pernyataan Disertasi
Ringkasan
Summary
Hak Cipta
Halaman Judul
Penguji Luar Komisi
Halaman Pengesahan
Prakata
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
Daftar Singkatan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Kebaruan Disertasi (Novelty)

i
iii
v
vii
ix
xi
xii
xiii
xv
xvii
xx
xxi
xxii
xxiii
1
1
5
7
8
8
8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Kepemilikan dan Akses Sumber Daya Alam
Akses dan Citizenship Masyarakat Adat
Lokal Supralokal
Latar Historis Sistem Penghidupan Suku Bajo
Konsep dan Implikasi Resettlement
Penelitian Terkait Terdahulu
Kerangka Pemikiran

10
10
16
18
19
22
25
35

METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Strategi Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Analisis Data

38
38
38
38
39
41

BENTANG AGRARIA TELUK TOMINI
Potensi dan Masalah Maritim Teluk Tomini
Terbentuknya Kabupaten Pohuwato di Teluk Tomini
Latar Pembentukkan
Tata Pemerintahan

42
42
47
47
48

xviii

Demografis
Latar Historis Suku Bajo di Teluk Tomini
Suku Bajo dari Nomaden Laut Hingga Hidup Menetap
Geografis
Aksesibilitas
Demografis
Adat Istiadat
Interaksi Sosial

49
51
51
58
60
62
66
68

REZIM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR
DAN LAUT DI TELUK TOMINI
Latar Historis Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut:
Romantis Hingga Konflik
Peran dan Kepentingan Para Aktor
Negara
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Swasta
Lembaga Mulilateral
Lembaga Swadaya Masyarakat
Masyarakat Grass Roots: Komunitas Suku Bajo
Intervensi terhadap Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo
Konsesi Sumber Daya Pesisir dan Laut
Beroperasinya Perusahaan Kayu
Masuknya Usaha Tambak
Kawasan Konservasi
Diskursus Pariwisata
Intervensi Program Resettlement
Pariwisata Budaya di Era Otonomi Daerah
Ikhtisar

72
77
77
78
79
85
87
91
92
95
95
95
97
98
101
102
105
105

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT
Peta Konflik dan Relasi Antar-Aktor
Penyebab dan Bentuk Konflik
Penutupan Akses
Teritorialisasi Kawasan
Hilangnya Citizenship
Penindasan Baru atas Nama Otonomi Daerah
Penyelesaian Konflik yang Penuh Kepalsuan
Ikhtisar

108
108
110
113
115
122
125
127
128

SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN
Simpulan
Implikasi Penelitian
Implikasi Teoritis
Implikasi Kebijakan

131
131
133
133
133

70
70

xix

DAFTAR PUSTAKA

134

LAMPIRAN

145

RIWAYAT HIDUP

151

xx

DAFTAR TABEL
Tabel
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Halaman

Tipe Kepemilikan Berdasarkan Pemilik, Hak, dan Kewajiban
Status Kepemilikan Sumber Daya Alam
Daftar Subjek Kasus
Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Dilalui
Teluk Tomini
Nama Kecamatan, Luas Wilayah, dan Jumlah Desa
Kabupaten Pohuwato
Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Kabupaten Pohuwato
Rata-Rata Anggota Rumah Tangga
Daftar Kepala Desa yang Pernah Memerintah di Desa Torosiaje
Daftar Kepala Desa yang Pernah Memerintah di Desa Torosiaje Jaya
Jumlah Penduduk dan Sex Rasio di Perkampungan Suku Bajo
Kriteria Penggolongan Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
Penduduk Perkampungan Bajo Laut Menurut Kelompok Umur
Penduduk Perkampungan Bajo Darat Berdasarkan Kelompok Umur
Penduduk Perkampungan Bajo Laut Menurut Tingkat Pendidikan
Penduduk Perkampungan Bajo Darat Menurut Tingkat Pendidikan
Penduduk Perkampungan Bajo Laut Menurut Mata Pencaharian
Penduduk Perkampungan Bajo Darat Menurut Mata Pencaharian
Tonggak-Tonggak Penguasaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
di Teluk Tomini
Peraturan Perundang-Undangan yang Secara Langsung
Mengatur tentang Pengelolaan Konservasi
Analisis Akses Suku Bajo terhadap Sumber Daya Pesisir
dan Laut di Teluk Tomini sebelum dan sesudah Masuknya
Dominasi Negara dan Korporasi

11
15
40
43
49
50
50
56
58
63
63
63
64
65
65
65
66
76
99

120

xxi

DAFTAR GAMBAR
Gambar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Klasifikasi Hak Kepemilikan (Property Right)
Kerangka Pemikiran Penelitian
Peta Teluk Tomini
Permukiman di Sepanjang Pesisir Teluk Tomini
Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak
Peta Kabupaten Pohuwato
Permukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje
Permukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje Jaya
Sketsa Desa Torosiaje Jaya
Sketsa Desa Torosiaje
Gerbang Masuk Permukiman Bajo Darat
Jembatan Penyeberangan Menuju Desa Torosiaje
Tumpukan Kayu PT. Jaya Anugerah Delima
Peta Konflik dan Relasi Antar-Aktor di Teluk Tomini

Halaman
12
37
42
44
46
58
57
58
59
60
61
62
85
109

xxii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Matriks Penelitian Terkait Terdahulu

145

xxiii

DAFTAR SINGKATAN
ADB
APBD
APBN
Bappenas
BBM
BKSDA
BPHLSW
BPS
BT
BTNBW
CIDA
CFF
CTI
DAS
DPR
DPRD
Depsos
FGD
Ha
HGU
HLSW
HPH
HPHH
IBRD
IMF
Inpres
IP
IPK
IUCN
IUP
IUPHHK
JAD
JAPESDA
KAT
KDH
Kepmen
Kepres
KG
KK
KM
Kpts

Asian Development Bank
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bahan Bakar Minyak
Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain
Badan Pusat Statistik
Bujur Timur
Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Canadian International Development Agency
Coral Reefs, Fishery and Food Security
Coral Triangle Initiatives
Daerah Aliran Sungai
Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Departemen Sosial
Focused Group Discussion
Hektar
Hak Guna Usaha
Hutan Lindung Sungai Wain
Hak Pengusahaan Hutan
Hak Pemungutan Hasil Hutan
International Bank for Reconstruction and
Development
International Monetery Fund
Instruksi Presiden
Iradat Puri
Izin Penebangan Kayu
International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources
Izin Usaha Perkebunan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Jaya Anugerah Delima
Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Komunitas Adat Terpencil
Kepala Daerah
Keputusan Menteri
Keputusan Presiden
Kencana Group
Kepala Keluarga
Kilo Meter
Keputusan

xxiv

KSL
LNG
LS
LSM
LU
MBT
MDGs
Menhut
MoU
MPR
NGOs
Ornop-L
PAD
Pansus
PBB
Perda
PETI
PKS
PNPM
Pokja
PP
PPGL
PPLH
PPK
PSL
PSM
PT
PWP-PK
RPJM
RTRWN
SDA
SDP
SK
SPKP
Sulut
SUSCLAM
TAHURA
TN
TNGHS
TNLL
TPK
UU
UUD
UNCLOS
UUPA
UUPK

Kelompok Sadar Lingkungan
Liquefied Natural Gas
Lintang Selatan
Lembaga Swadaya Masyarakat
Lintang Utara
Mara Bunta Timber
Millenium Development Goals
Menteri Kehutanan
Memorandum of Understanding
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Non-Government Organisation
Organisasi Non-Pemerintah di Bidang Lingkungan
Pendapatan Asli Daerah
Panitia Khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Peraturan Daerah
Penambang Tanpa Izin
Perjanjian Kerjasama
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Kelompok Kerja
Peraturan Pemerintah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup
Program Pengembangan Kecamatan
Petugas Sosial Lapangan
Pekerja Sosial Masyarakat
Perseroan Terbatas
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Sumber Daya Alam
Sumber Daya Pesisir
Surat Keputusan
Simpan Pinjam Kelompok Perempuan
Sulawesi Utara
Sustainable Coastal Livelihoods and Management
Taman Hutan Rakyat
Taman Nasional
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Taman Nasional Lore Lindu
Tim Pelaksana Kegiatan
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar
United Nations Convention on the Law of the Sea
Undang-Undang Pokok Agraria
Undang-Undang Pokok Kehutanan

xxv

UPT
WALHI
WOC
WS
ZEE

Unit Pelaksana Teknis
Wahana Lingkungan Hidup
World Ocean Conference
Wenang Sakti
Zona Ekonomi Eksklusif

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah konflik sumber daya alam sebenarnya bukan sesuatu yang baru,
baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara lainnya. Masalah ini sudah
muncul abad 18 yang lalu ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi dalam rangka
mencari bahan baku untuk memenuhi kebutuhan pengembangan industri. 1
Bersamaan dengan ekspansi itu terbangun konsep bahwa sumber daya alam
adalah faktor produksi yang dengan menggunakan tekonologi tertentu dapat
dieksploitasi untuk menjadi barang komoditi. Konsep sumber daya alam sebagai
faktor produksi selanjutnya diadopsi oleh negara-negara baru, termasuk Indonesia,
untuk membangun ekonomi. Sejak itu pula benturan kepentingan antara
masyarakat dan pemerintah menjadi keras. Di satu pihak pemerintah menganggap
bahwa eksploitasi sumber daya alam itu sangat dibutuhkan untuk membiayai
pembangunan, tetapi di lain pihak masyarakat menganggap bahwa eksploitasi
sumber daya alam tersebut adalah bentuk penjarahan yang harus dihentikan. 2
Konflik sumber daya alam selama ini terjadi karena pemerintah sangat
menonjolkan konsep sumber daya alam sebagai milik negara (state property) dan
mengabaikan milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal
property). Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, telah
direduksi pengertiannya menjadi sumber daya alam dikuasai oleh pemerintah,
terutama pemerintah pusat. Reduksi pengertian seperti itu menimbulkan
manipulasi proses eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan negara. Hal
ini menyebabkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat menjadi asimetris,
karena itu mudah dipahami apabila konsep hak dan keadilan yang terkait dengan
sumber daya alam lebih ditentukan atas dasar kemauan pemerintah. 3 Dengan
dasar legitimasi ini, penduduk yang bermukim di sekitar atau dalam kawasan yang
bergantung pada sumber daya alam tersebut lebih dirugikan ketimbang
diuntungkan oleh penguasaan negara.4
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA-1960) memang telah disebutkan bahwa hak mengusai negara atas
bumi, air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
dalam hal hukum publik, dapat dikuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan masyarakat adat. Namun, dalam kenyataannya hak “menguasai”
1

Tadem, Eduardo. Conflict over Land-based Natural Resources in the Asean Countries. in Lim
Teck Ghee and Mark J. Valencia. Conflict over Natural Resources in South-East Asia and the
Pacific (Singapore: United Nations University Press, 1990), p. 14.
2
Usman, Sunyoto. Konflik dan Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Perspektif Sosiologi. Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada
(Yogyakarta, 2001), p. 1-3.
3
Coleman, James S. The Asymetry Society. The Frank W. Abrams Lectures (Syracus: Syracus
University Press, 1982), p. 55-58.
4
Blakie, P. The Political Economy of Soil Erotion in Developing Countries (London: Longman,
1985)

2

tersebut hanya diberikan kepada pemerintah pusat dan daerah. Sehingga,
masyarakat lokal dan pinggiran atau sekitar kawasan hutan (baik dalam kawasan
hutan produksi maupun hutan koservasi) tetap dilewatkan dalam proses
pengelolaan kawasan hutan.5
Berbagai kebijakan konservasi sumber daya alam pada tataran konsepsi,
masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat preservatif, yang secara kaku
memandang sumber daya alam sebagai sesuatu yang statis, dan karena itu perlu
diawetkan dalam sebuah museum alam yang bahkan diistilahkan sebagai
“terlarang untuk disentuh”. Cara pandang ini anti pembangunan dan menafikan
kemampuan dinamis alam (Wiratno, dkk., 2004).
WALHI mencatat telah terjadi beberapa pengusiran penduduk dari
kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN
Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumohai, TN Taka Bonerate, TN
Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo,
masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan
ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona
inti taman nasional. Beberapa kasus yang terjadi di kawasan konservasi antara lain
adalah pembangunan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional
Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan nelayan di Taman Nasional
Komodo, Operasi Napoleon di Taman Nasional Wakatobi, pengusiran masyarakat
Dongi-Dongi di Taman Nasional Lore Lindu dan pengusiran penduduk Moronene
di Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai. (WALHI, 2003).
Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Dodolo, Sulawesi Tengah,
bermukim di tanah leluhurnya berhadapan dengan petugas Taman Nasional Lore
Lindu. Bersama masyarakat adat Katu yang mendiami Desa Katu, mereka didesak
agar keluar dari kawasan konservasi itu karena dinilai mengancam kelestarian
lingkungan. Pemerintah juga merasa perlu memperbaiki nasib penduduk kedua
desa itu karena dianggap masih tergolong miskin dan terisolir. Resettlement
tersebut menyebabkan masyarakat Desa Dodolo dan Desa Katu kehilangan akses
untuk mengumpulkan hasil hutan berupa kayu di tanah leluhur mereka yang telah
dikapling Taman Nasional Lore Lindu. Pola-pola represif pemerintah yang
mengusir masyarakat adat di kawasan taman nasional telah menegasikan
pengetahuan lokal masyarakat adat yang embedded dengan alam lingkungannya.
Padahal sistem pengetahuan lokal memiliki kekuatan dalam beberapa aspek: 1)
self interest, pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi, karena
kekuatannya datang dari dalam, bukan dari luar; 2) akumulatif, pengetahuan lokal
merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologis komunitas lokal yang telah
berlangsung berabad-abad; 3) potensial untuk mendesain upaya konservasi

5

Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967 yang sering dipakai dalam pemanfaatan sumber
daya hutan dalam praksisnya lebih berwatak ekonomistik dan eksploitatif terhadap hutan, sering
mengabaikan hak dan akses masyarakat adat dan sekitar kawasan terhadap hutan. Pada masa orde
baru berdasarkan UU tersebut lahir Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang semakin eksploitatif atas
hutan dan hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir pemilik kuasa di zaman orde baru (penguasa
orba, politisi, dan militer). Lihat Kartodiharjo dan Jhamtani (Peny.), Politik Lingkungan dan
Kekuasaan di Indonesia (Indonesia: Equinox Publishing, 2006), p. 26.

3

sumber daya alam yang efektif, karena dukungan lokal dan tingkat adaptasi serta
pertimbangan praktisnya yang tinggi. 6
Sumber daya alam selain dimaknai sebagai hal yang harus dilindungi
dengan kebijakan konservasi, negara juga memaknai sumber daya alam secara
ekonomi dan politik. Sumber daya alam dalam pemaknaan seperti ini dianggap
modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, sehingga atas
nama pembangunan dan untuk mencapai target pertumbuhan yang tinggi, maka
eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara masif (Robinson, 1986; McCarthy,
2000). Masih kuatnya pengelolaan hutan berbasis paradigma eko-politik
pembangunanisme menempatkan hutan dan taman nasional hanya sebagai sumber
daya alam yang mempunyai nilai dan manfaat ekonomis semata. Dalam
pandangan ini pengelolaan hutan sebagai sumber daya ekonomi dapat digunakan
seluas-luasnya untuk kepentingan pembangunan dengan ideologi pertumbuhan
ekonomi yang abai sama sekali dimensi kompleks dari kehidupan sosial, budaya,
dan lokalitas. Akibat dari model pengelolaan hutan dengan ideologi
pembangunanisme yang berpangku pada pertumbuhan ekonomi, menjadikan
korban sosial dan ekologis berjatuhan (Soetarto, 2008).7
Sepanjang tahun 2013, telah terjadi 232 konflik sumber daya alam di 98
kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik ini selalu diiringi dengan
jatuhnya korban yang sebagian besar dari kalangan kaum tani. Dari sebanyak 232
konflik sumber daya alam yang melibatkan petani ini, 69 persen di antaranya
dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen,
pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Walhi, 2013), dan sisa 5
persen lainnya tidak dijelaskan.
Bersamaan dengan kebijakan pemerintah melakukan eksploitasi sumber
daya alam, lahir pula client bourgeoisie atau pengusaha yang tumbuh besar
dengan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pemerintah pusat mengeluarkan
berbagai kebijakan berdasarkan landasan pemahaman bahwa sumber daya alam
adalah bagian yang sangat penting dari faktor produksi. Sumber daya alam adalah
aset ekonomi yang sangat berharga, karena itu semakin intensif eksploitasi,
dianggap semakin mendatangkan keuntungan. Kebijakan pemerintah pusat adalah
melakukan konversi dari natural capital menjadi financial capital.8 Karena itu,
menjadi muda dimengerti apabila sejak saat itu para pengusaha atau investor
menjadi sangat manja, dan semakin besar modal yang dimiliki atau ditanam, maka
semakin besar pula akses yang dimiliki untuk melakukan eksploitasi sumber daya
alam. Sumber daya alam yang secara legal telah dikuasakan dianggap bisa
dikelola secara komersial dengan tujuan memperoleh keuntungan sebesarbesarnya. 9
6

Berkes. Traditional Ecological Knowledge, Biodiversity, Resilience, and Sustainability, in
Perring, C.A., et.al. Biodiversity Conservation (The Nederland: Kluwer Academic, 1995).

7

Soetarto, Endriatmo. Pengantar, dalam Sutaryono. Pemberdayaan Setengah Hati: Sub Ordinasi
Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan. Diterbitkan atas Kerja Sama Lapera Utama dan
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) (Yogyakarta, 2008).

8

Usman, Konflik, p. 11.
Nugroho, Heru. Negara,Pasar dan Keadilan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) p. 224.

9

4

Sementara itu, akses masyarakat pada proses eksploitasi sumber daya alam
semakin tertutup, sehingga kesenjangan dan kemiskinan semakin mewarnai
kehidupan masyarakat. Faktor kesenjangan dan kemiskinan pada gilirannya
menumbuhkan kesadaran akan ketidakadilan yang memicu konflik sumber daya
alam berupa protes dan perlawanan dari masyarakat.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan harus
dipahami dalam konteks perampasan tanah adat yang berakibat pada hilangnya
hak kepemilikkan tanah secara kolektif dan juga sumber-sumber ekonomi
masyarakat adat. Fenomena semacam ini semakin mendorong termarginalisasinya
eksistensi masyarakat adat dalam percaturan ekonomi sehingga menyisakan
berbagai persoalan.10 Hal ini tidak hanya dalam sektor pertanian dan perkebunan
mereka terpinggirkan, tetapi dalam berbagai sektor ekonomi lainpun mereka
termarginalisasi. 11
Masyarakat adat dalam sektor ekonomi termarginalisasi sebagai berikut:
pertama, masyarakat adat mengalami ketertindasan secara politik dan ekonomi.12
Kedua, dalam perebutan sumber daya sudah dapat dipastikan akan dimenangkan
oleh perusahaan karena secara legal formal mengantongi izin operasi dalam
bentuk kontrak karya, sedangkan masyarakat adat tidak memiliki izin. Kekalahan
ini ditandai dengan tersingkirnya masyarakat adat dari area-area yang selama ini
menjadi tempat sumber penghasilan. 13 Ketiga, kehadiran perusahaan bukanya
menyejahterakan mereka, tetapi telah menghilangkan sumber pencaharian,
keanekaragaman hayati, akibatnya terjadi kemerosotan pendapatan masyarakat
adat dan kerusakan lingkungan secara drastis. 14 Keempat, masyarakat adat
menjadi orang-orang yang tersingkir dan harus kehilangan lahannya atau
runtuhnya penguasaan tanah secara tradisional. 15 Terakhir, terjadi conflict of
interest antara kepentingan masyarakat adat yang berdomisili di desa-desa sekitar
kawasan tepian hutan dengan kepentingan perusahaan pemegang HPH.
Masyarakat adat memandang bahwa secara tradisional hutan dan tanah yang ada
di kawasan itu merupakan sumber penghidupan, sebagai cadangan perluasan
lahan perladangan, dan sekaligus daerah food security. Sementara para pemegang
HPH memandang kawasan hutan sebagai lahan yang secara legal telah dikuasakan
kepadanya untuk dikelola secara komersial guna mendapatkan keuntungan
sebesar mungkin.16
Terjadinya conflict of interest antara masyarakat adat dengan perusahaan
pemegang HPH sebagaimana dipaparkan di atas, juga terjadi di wilayah pesisir.
Suku Bajo yang menghuni wilayah pesisir di Teluk Tomini harus mengalami
10

Haboddin, Muhtar. Masyarakat Adat Melawan Perusahaan: Kasus di Kalimantan Barat,
Governance, Vol. 2, No. 1 (November, 2011), p. 25-41.
11
Pratikno, dkk. Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai-Nilai
Kemasyarakatan untuk Integrasi Sosial (Jogyakarta: Fisipol UGM, 2001), p. 142.
12
Kusni, J.J. Negara Etnik (Jogyakarta: Puspad, 2001).
13
Bachriadi, Dianto. Merana di Tengah Kelimpahan (Jakarta: ELSAM, 1998), p. 173
14
Andasputra, Nico. Perlawanan Rakyat di Hutan Kalimantan: Kumpulan Berita tentang
Perlawanan Masyarakat Adat terhadap HPH, HTI, dan Pertambangan (Kalbar: Institut
Dayakologi, 1999), p. 121.
15
Nugroho, Negara, p. 248.
16
Ibid, p. 226

5

penggusuran secara paksa karena masuknya klaim perusahaan yang memegang
HPH. Persoalan bertambah runyam, ketika negara khususnya pemerintah pusat,
secara sepihak menetapkan kawasan pesisir yang sejak lama menjadi kuasa kelola
Suku Bajo secara turun temurun menjadi hutan konservasi. Sebagaimana yang
terjadi di beberapa kawasan konservasi, keluarnya SK Menhut/Kpts-II/1984,
tanggal 20 Desember 1984, yang menetapkan pesisir Teluk Tomini seluas 3.000
ha sebagai kawasan cagar alam, juga disertai dengan resettlement Suku Bajo yang
bermukim di kawasan tersebut.
Rumusan Masalah
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena memiliki potensi
sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan
sumber daya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkannya
dan
berbagai
instansi
berusaha
meregulasi
pemanfaatannya (Yulianda, dkk., 2010; Deni Dj., 2009). Wilayah pesisir
dapat dipahami sebagai wilayah tempat bertemunya berbagai kepentingan,
baik pemerintah, korporasi, maupun masyarakat dalam rangka memanfaatkan
sumber daya yang terkandung di dalamnya. Perbedaan persepsi dan
kepentingan telah memicu terjadinya tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan dalam penerapan peraturan pengelolaan wilayah
pesisir.
Bromley dan Cernea (1989) menyatakan bahwa kerancuan pemilikan
dan penguasaan sumber daya pesisir telah menyebabkan ketidakpastian
hukum dalam mengelola kawasan pesisir. Masyarakat lokal menganggap
bahwa sumber daya pesisir tidak ada pemiliknya, sehingga potensi yang ada
bisa diakses dan dimanfaatkan oleh siapa saja (open access). Di berbagai
wilayah pesisir, masyarakat lokal menganggap bahwa sumber daya di sekitar
desanya sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang
telah ada jauh sebelum Negara Indonesia berdiri (Idris, dkk., 2007).
Sementara itu, di dalam Pasal 33 UUD 45, UU No. 5 Tahun 1983 Tentang
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas
Kontinen Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, dan
UU No. 17 tahun 1985 Tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU No. 32
Tahun 1999 kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, serta UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sangat jelas
disebutkan bahwa sumber daya pesisir dan laut dikuasai oleh negara.
Negara dengan otoritas yang dimilikinya tersebut, dapat memberikan
hak pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut kepada pihak-pihak tertentu,
sehingga sumber daya milik bersama (common pool resources) berubah
kepemilikan menjadi milik pribadi (private property) dalam jangka waktu
tertentu. Pemberian hak pemanfaatan sumber daya pesisir oleh negara kepada
pihak-pihak tertentu tersebut telah menyebabkan konflik antara masyarakat
dengan pemerintah serta melibatkan pihak swasta. Pergeseran paradigma
pembangunan wilayah pesisir berjalan seiring dengan diberlakukannya UU

6

No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, serta diberlakukannya UU No. 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya
disebut PWP-PK). Dengan kedua UU tersebut pemerintah daerah provinsi
memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota berhak mengelola
sepertiganya atau sejauh 4 (empat) mil. Kewenangan tersebut diperkuat pula
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pasal 6, yaitu: pendapatan asli
daerah bersumber dari: a) pajak daerah; b) retribusi daerah; c) hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) lain-lain PAD yang sah.
Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas wilayah laut
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, secara yuridis tidak mengubah wilayah perairan Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pengelolaan
sumber daya kelautan di wilayah kewenangannya disertai dengan kewajiban
untuk memelihara kelestarian lingkungannya. Demikian pula, ditegaskan dalam
Pasal 7 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PK bahwa pemerintah
daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan kewenangan masing-masing. Rencana tersebut terdiri dari: (a)
rencana strategi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (b) rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (c) rencana pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil; dan (d) rencana aksi pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian, pemerintah daerah diberi
kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
mengatur sumber daya pesisir dan laut.
Implementasi UU No. 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PK, membawa
implikasi terhadap pengaturan wilayah pesisir lain yang terkait. Pengelolaan
sumber daya pesisir melibatkan banyak sektor, sehingga sangat rawan terjadi
konflik norma dan tumpang tindih kewenangan. Terdapat beberapa
kementerian yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir, yaitu:
perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan), hutan mangrove (Kementerian
Kehutanan), pertambangan (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral),
pelayaran (Kementerian Perhubungan), dan pariwisata (Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif). Konflik antarlembaga sangat mungkin terjadi karena
sebagian besar perundang-undangan tersebut bersifat sektoral yang mengatur
sektor-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung atau tidak
langsung terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir.
Berbagai regulasi dan kebijakan terkait pengelolaan Teluk Tomini, secara
langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat adat Suku Bajo yang sudah
bertempat tinggal di atas permukaan laut di Teluk Tomini, jauh sebelum berbagai
regulasi tersebut ditetapkan. Suku Bajo memiliki hubungan yang erat dengan
lingkungan sumber daya alamnya, sehingga mengetahui fungsi-fungsi ekologi

7

mangrove sebagai tempat bertelur dan berkembangnya ikan. Selain itu,
mengurangi terpaan angin dan mencegah erosi serta habitat kera endemik
Sulawesi (macaca) dan binatang melata (reptil). Mereka juga memahami fungsi
ekonomi mangrove digunakan untuk kayu bakar, bahan bangunan, pewarna jaring
dan kosmetika, obat-obatan tradisional, tempat mencari berbagai jenis ikan,
udang, kepiting, lebah madu, dan lain-lain. Mereka juga memahami bahwa
degradasi mangrove menyebabkan erosi pantai dan penurunan stok ikan (de
Block, 2009; Damanik dan Djamaludin, 2012).
Suku Bajo dengan demikian mengonstruksi dirinya sebagai bagian dari
alam lingkungannya, serta memandang alam sebagai basis penghidupannya. Suku
Bajo memperlakukan alam dengan bijak, serta mengeksploitasinya hanya sebatas
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pandangan Suku Bajo tersebut berbeda
dengan pandangan negara terhadap sumber daya alam termasuk sumber daya
pesisir dan laut. Negara memandang sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini
sebagai basis ekonomi, sehingga mengeksploitasinya untuk meningkatkan
sebesar-besarnya nilai ekonomi merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Negara
kemudian memberikan konsesi kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber
daya pesisir dan laut guna meraup sebesar-besarnya keuntungan ekonomi. Hal ini
secara nyata telah menegasikan eksistensi Suku Bajo dengan kearifan lokalnya.
Selain sebagai basis ekonomi, negara juga memandang sumber daya pesisir dan
laut di Teluk Tomini sebagai suatu sumber daya yang harus dilindungi, sehingga
harus terbebas dari campur tangan manusia, termasuk Suku Bajo yang sejak lama
bermukim di Teluk Tomini. Kedua pandangan negara tersebut sama-sama
memposisikan Suku Bajo harus angkat kaki dari kawasan tersebut. Sementara itu,
seiring berjalannya otonomi daerah, pemerintah daerah yang memaknai otonomi
sebatas peluang meningkatkan pendapatan daerah, memposisikan Suku Bajo
beserta sumber daya alamnya, sebagai sapi perah untuk pemenuhan APBD.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut: mengapa perlindungan sumber daya pesisir dan laut
oleh negara, maupun pemanfaatan kawasan oleh korporasi, telah merampas hak
ulayat komunitas Suku Bajo, sehingga menyebabkan hilangnya citizenship
komunitas Suku Bajo?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis
penutupan akses dan teritorialisasi kawasan yang menyebabkan hilangnya
citizenship ‘kewarganegaraan’ komunitas Suku Bajo. Dominasi negara dan
korporasi melalui penutupan akses dan teritorialisasi kawasan yang melahirkan
penggusuran dan program resettlement, menempatkan komunitas Suku Bajo pada
posisi yang tercampakkan. Di satu sisi komunitas Suku Bajo sebagai sebuah
entitas suku tercerabut dari akar budayanya, sementara itu di sisi yang lain dalam
eksistensinya sebagai bagian dari negara bangsa modern (modern nation-state)
tetap dipandang sebagai komunitas terasing, terpencil dan semacamnya.

8

Kegunaan Penelitian
Penulis berharap penelitian ini memiliki sumbangan yang signifikan, baik
pada tataran teoritis maupun pada implikasi kebijakan. Pada tataran teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian sosiologi,
khususnya sosiologi pesisir, terutama dari pendekatan paradigma teori kritis.
Terkait implikasi kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukkan bagi pengambil kebijakan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan
laut di Teluk Tomini.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dititikberatkan pada dua hal berikut:
1) Isu sumber daya alam, yaitu pengelolaan sumber daya pesisir dan laut;
2) Isu hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo
Berdasarkan ruang lingkup tersebut, maka penulis menyusun kerangka
disertasi sebagai berikut:
Pendahuluan
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian
Bentang Agraria Teluk Tomini
Rezim Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut
Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut
Simpulan dan Implikasi Penelitian
Kebaruan Disertasi (Novelty)
Kebaruan penelitian ini dapat ditemukan dengan mencermati
perkembangan penelitian-penelitian terdahulu, khususnya terkait topik-topik
konflik sumber daya alam (lihat bab tinjauan pustaka, sub-judul penelitian terkait
terdahulu, dan lampiran 1, matriks penelitian terkait terdahulu). Dari hasil-hasil
penelitian sebelumnya, tampak jelas bahwa konflik dalam pengelolaan sumber
daya alam melibatkan aktor negara, korporasi, dan masyarakat lokal atau
masyarakat adat, serta LSM. Penyebab terjadinya konflik terkait dengan klaim
kepemilikan sumber daya alam. Masyarakat lokal atau masyarakat adat yang lebih
dahulu memiliki sumber daya alam karena alasan nilai-nilai budaya, tradisi, dan
kesejarahan, harus angkat kaki dari kawasan tersebut karena masuknya negara
dengan label konservasi, serta korporasi yang telah mendapat legitimasi dari
negara melalui izin konsesi. Pada akhirnya di kawasan tersebut hanya didominasi
negara atau korporasi sedangkan masyarakat