Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan

(1)

PENGELOLAAN LINGKUNGAN

WILAYAH PESISIR DAN LAUT TELUK BANTEN

BERKELANJUTAN

SJAIFUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 12 November 2007

Sjaifuddin NRP P062040021


(3)

ABSTRACT

SJAIFUDDIN. Sustainable Environmental Management of Banten Bay

Coastal and Marine Zone. Under direction of M. SYAMSUL MA'ARIF, ETTY RIANI and SETIA HADI

Banten bay coastal and marine zone is a unique ecosystem which has a variety potencies and problems of using some natural resources, especially in the trade off between economic growth and ecological preservation. Based on these conditions, this research aimed: first, to design an environmental management scenario ensuring a profitable synergy of all stakeholders without neglecting the principles of environmental conservation; second, to design an interaction model among variables in the bio-physic, economy and social subsystems in order to increase sources of earning and sustainable used of natural resources. Using a dynamic system, the main inputs of the designed model were the policy of environmental management as an output of analytical hierarchy process (AHP), the feasibility of natural resources management as a product of extended cost-benefit analysis (ECBA), the suitable option of natural resources management as an output of comparative performance index (CPI), the suitable land-use planning through geographic information system (GIS) and the prospect of environmental management through prospective analysis. The results of this research showed that the policy of environmental management was mainly the development of environmentally friendly industry (0.538) and then followed by marine ecotourism (0.471). The feasibility study indicated that all of natural resources management options were feasible to be developed. It also indicated that sustainable management (195.1), sustainable harvest (347.1) and beach protected areas (107.0) were the most feasible management options. Optimization model indicated that an increasing industrial and settlement zone at the west coast of Banten bay could be reduced on 5,415 ha and 9,297 ha at the end of management period (2027) (an average reduction of 62.18% and 3.35% per year were compared with existing condition). Excessive extraction of sea sand in Banten bay mining area, which was biophysically, economically and socially judged to suffer a loss, became the main reason to keep this area back to the initial importance (as a natural area and a conditional utilization zone). Prospective analysis indicated that new urbanism (55%) was the most suitable scenario to be implemented. It could increase performance of investment and other sector simultaneously. The optimized performance of industrial sector (828 industrial structures) was just followed by a minimized pollutant production (312,118,075.34 m3). The stopping of sea sand mining total activities decreased the level of habitat deterioration. The optimized carrying capacity (45,975fish/1,000m2) gave a positive contribution on fishery production, so the fisherman's revenue increased significantly (till USD 9,285.40). The management of conflict of interest decreased the conflict frequency (zero conflict starting from 2024). The model which was designed in accurate policy integration through industrial development, incentives of investment, physically habitat protection, source of impact management and social empowerment, was the most suitable model that could be implemented in order to increase sources of earning and sustainable used of natural resources.

Keywords: sustainable environmental management, coastal and marine zone, dynamic system.


(4)

RINGKASAN

SJAIFUDDIN. Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten

Berkelanjutan. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA'ARIF, ETTY RIANI dan

SETIA HADI.

Wilayah pesisir dan laut Teluk Banten merupakan ekosistem unik yang menyimpan berbagai potensi dan permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam, terutama menyangkut trade off antara kepentingan ekonomi dan preservasi ekologi. Dalam konteks pengelolaan lingkungan, permasalahan yang muncul di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada dasarnya berkaitan dengan aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Dari aspek biofisik, permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah semakin tingginya ancaman terhadap ekosistem alami Teluk Banten, pemanfaatan ruang yang semakin tidak terkendali, penambangan pasir laut yang semakin tidak terkontrol dan semakin tingginya tingkat pencemaran (baik oleh limbah industri maupun domestik) yang masuk ke Teluk Banten. Dari aspek ekonomi, permasalahan yang muncul adalah pertumbuhan industri yang tinggi yang kurang bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholders dan tingginya tingkat degradasi sumberdaya alam hayati yang berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat pesisir. Dari aspek sosial, permasalahan yang muncul adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi dan frekuensi konflik yang makin sering terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk merancang skenario pengelolaan lingkungan yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua stakeholders dengan tanpa mengabaikan prinsip konservasi. Selain itu juga untuk merancang model interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem biofisik, ekonomi dan sosial dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan.

Model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dirancang menggunakan sistem dinamik berdasarkan diagram simpal kausal yang ditetapkan sebelumnya. Input utama model terdiri dari kebijakan pengelolaan lingkungan yang diperoleh melalui analytical hierarchy process (AHP), kelayakan pengelolaan sumberdaya yang ditetapkan melalui extended cost-benefit

analysis (ECBA), opsi pengelolaan sumberdaya yang ditetapkan melalui

comparative performance index (CPI), kesesuaian pemanfaatan ruang melalui

geographic information system (GIS) dan prospek pengelolaan lingkungan

melalui prospective analysis.

Hasil analisis menggunakan AHP menunjukkan, bahwa alternatif kebijakan yang memperoleh prioritas utama untuk diimplementasikan adalah mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan industri ramah lingkungan dengan tetap berbasis pada potensi dan sumberdaya daerah (0,538). Prioritas berikutnya adalah mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan eco-industrial tourism yang berbasis pada keunggulan industri yang ramah lingkungan dan pesona keindahan alam wilayah tropika (0,471).

Hasil analisis kelayakan pengelolaan sumberdaya menunjukkan, bahwa semua opsi pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dinilai layak untuk dikembangkan. Untuk sumberdaya mangrove, nilai NPV dan BCR pada opsi sustainable management mencapai USD 4.956.640,85


(5)

dan 5,96. Nilai NPV dan BCR pada opsi milkfish sylvofishery mencapai USD 3.066.800,88 dan 2,74. Nilai NPV dan BCR pada opsi polyculture sylvofishery

mencapai USD 3.118.918,91 dan 2,76. Nilai NPV dan BCR pada opsi shrimp

sylvofishery mencapai USD 3.263.940,88 dan 2,80. Untuk shallow water

resources, nilai NPV dan BCR pada opsi coral reef protected areas mencapai

USD 1.659.268,64 dan 1,35; sedangkan nilai NPV dan BCR pada opsi sustainable

harvest mencapai USD 7.076.463,52 dan 3,97. Untuk beach resources, nilai NPV

dan BCR pada opsi beach protected areas mencapai USD 4.286.609.192,48 dan 7,30; sedangkan nilai NPV dan BCR pada opsi set back zone mencapai USD 4.896.186.866,75 dan 6,54.

Hasil penilaian terhadap opsi pengelolaan sumberdaya alam dengan menggunakan metode CPI menunjukkan, bahwa untuk sumberdaya mangrove,

sustainable management merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 195,1.

Untuk shallow water resources, sustainable harvest merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 347,1. Untuk beach resources, beach protected areas

merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 107,0.

Hasil analisis kebijakan pemanfaatan ruang menunjukkan, bahwa berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini (existing condition), kepentingan pengembangan zona industri, serta dengan tetap memperhatikan esensi beberapa koridor ekologi penting, maka kebijakan pemanfaatan ruang darat di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten akan mengalami perubahan mendasar terutama di pesisir barat. Hasil optimasi menunjukkan, bahwa laju peningkatan lahan industri terbangun dan lahan permukiman terbangun di pesisir barat Teluk Banten masih dapat ditekan rata-rata 62,18% dan 3,35% per tahun dari kondisi saat ini, hingga pada akhir periode pengelolaan (tahun 2027) total luas kawasan industri terbangun dan kawasan permukiman terbangun mencapai 5.415 ha dan 9.297 ha. Untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih luas, penghentian total (moratorium) aktivitas penambangan pasir laut di perairan Teluk Banten mutlak dilakukan, mengingat dampak negatif aktivitas tersebut baik secara biofisik, ekonomi maupun sosial. Zona penambangan pasir laut yang ada direkomendasikan untuk dikembalikan pada peruntukan semula, yaitu sebagai zona penangkapan ikan tradisional dan pemanfaatan bersyarat.

Hasil analisis prospektif menunjukkan, bahwa terdapat 5 faktor kunci (key

factors) yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten, yaitu pengelolaan sumber dampak, insentif investasi, pengembangan industri, perlindungan fisik habitat dan pemberdayaan masyarakat. Expert judgment menunjukkan, bahwa skenario new urbanism yang berorientasi pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan preservasi ekologi merupakan skenario yang paling implementatif (hasil penilaian mencapai 55%) pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.

Hasil optimasi menunjukkan, bahwa implementasi kebijakan insentif investasi mampu meningkatkan kinerja investasi rata-rata 6,37% per tahun hingga mencapai USD 580.432.136,37. Tingginya investasi yang didukung oleh kebijakan pengembangan industri mampu meningkatkan pertumbuhan industri rata-rata 0,95% per tahun hingga mencapai jumlah 827 perusahaan.

Peningkatan industri dan jumlah penduduk mendorong peningkatan produksi limbah secara eksponensial. Implementasi kebijakan pengelolaan sumber


(6)

dampak mampu menekan produksi limbah rata-rata 50,75% per tahun dari kondisi saat ini hingga mencapai 312.118.075,34 m3. Sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sumber dampak, regulasi pertambangan yang diberlakukan secara ketat mampu mempertahankan kandungan pasir laut pada posisi mendekati kondisi pada awal periode pengelolaan (134.159.315,68 m3).

Implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan. Hasil optimasi menunjukkan, bahwa pendapatan masyarakat pesisir dapat ditingkatkan rata-rata 123,42% per tahun dari kondisi saat ini hingga mencapai USD 9.285,40. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir didukung oleh peningkatan produksi ikan laut, ikan tambak dan rumput laut secara optimal (rata-rata mencapai 5,41%; 2,19% dan 2,46% per tahun). Peningkatan produksi terjadi seiring dengan peningkatan dayadukung rata-rata 63,07% dari kondisi saat ini hingga mencapai 45.975 fish/1.000 m3. Keberhasilan mempertahankan penutupan karang dan lamun pada luasan semula (yakni 250 ha dan 370 ha) dan kemampuan meningkatkan penutupan mangrove rata-rata 1,19% per tahun hingga mencapai 292 ha dinilai sebagai faktor penting bagi peningkatan dayadukung.

Pada sisi lain, hasil optimasi meningkatkan lapangan kerja rata-rata 21,93% per tahun dari kondisi saat ini hingga dapat menampung 189.282 pekerja. Peranan pesisir pada perekonomian wilayah meningkat rata-rata 0,26% per tahun hingga mencapai 84,16%. Frekuensi konflik menurun rata-rata 63,20% per tahun hingga proses menuju zero conflict dapat berlangsung lebih cepat (tidak tersisa lagi konflik mulai tahun 2024).

Kata kunci: pengelolaan lingkungan berkelanjutan, wilayah pesisir dan laut, sistem dinamik.


(7)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

PENGELOLAAN LINGKUNGAN

WILAYAH PESISIR DAN LAUT TELUK BANTEN

BERKELANJUTAN

SJAIFUDDIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(9)

Judul Disertasi : Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan

Nama : Sjaifuddin

NRP : P 062040021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma'arif, M.Eng. Ketua

Dr.Ir. Etty Riani, M.S. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. Anggota Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

(11)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1968 sebagai anak pertama dari pasangan Umi Kaltsum Abdul Fatah dan Abdurrahman Sastrodihardjo. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Yogyakarta, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1999, peneliti mendapat kesempatan melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2004. Selama studi S2 dan S3, peneliti memperoleh beasiswa pendidikan pascasarjana dari Departemen Pendidikan Nasional RI.

Peneliti bekerja sebagai dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Serang Banten pada Program Studi Pendidikan Biologi. Matakuliah yang menjadi tanggungjawab peneliti adalah Ekologi, Pengantar Ilmu Lingkungan dan Biologi Konservasi. Sebuah artikel berjudul “Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan” telah diterima untuk dipublikasikan di Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan Volume 4, No. 1 tahun 2007. Artikel lain berjudul “Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan” juga telah diterima untuk dipublikasikan di Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajarannya Volume 3 No. 1, Januari 2008. Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi peneliti.


(12)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, pembawa cahaya kehidupan. Disertasi ini disusun dalam rangka merancang model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua

stakeholders dengan tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan. Alternatif

kebijakan yang diimplementasikan dirancang untuk mendukung kinerja sektor industri dan investasi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan fungsi ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Produk yang dihasilkan diharapkan berguna baik bagi Pemerintah Kabupaten Serang, Pemerintah Provinsi Banten, para pelaku industri dan jasa maupun bagi masyarakat pada umumnya.

Terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma'arif, M.Eng; Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku pembimbing; serta Bapak Dr. Ir. Muladno, Bapak Dr. Ir. Manuwoto, Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc., Ibu Dr. Ir. Erliza Noor, Bapak Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, MS yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Drs. Yuyu Yuhana, M.Si, Bapak Ir. Budi Mulyono, M.Si, Bapak Ir. Yani Setyamaulida, Bapak Drs. Nana Prayatna Rahadian, Bapak Agus Halim Lasmana, S.Pi., Bapak Ir. Suroso Mukti Leksono, M.Si, Bapak Ir. Muhammad Farhan, M.Si., Bapak Iwan Herawan, S.T., Ibu Dra. Hj. Reni Indrayanti, M.Si., Bapak Drs. H. Syadeli Hanafi, M.Pd., Bapak Drs. H. Nandang Faturohman, M.Pd. dan Bapak Pawit Sugiarto. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Umi Kaltsum Abdurrahman, Chusniah, Aris Prabowo, Ahsan Ahmad Nibras, Muhammad Miftah Thaha, Habiburrahman Prabowo dan Muafiqurrahman Prabowo. Semoga disertasi ini

bermanfaat.

Bogor, 12 November 2007

Sjaifuddin NRP P062040021


(13)

DAFTAR

ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….……….. ix

DAFTAR GAMBAR……….……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….……….. xvi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Tujuan Penelitian……… 6

1.3 Kerangka Pemikiran……… 7

1.4 Manfaat Penelitian………... 9

1.5 Kebaruan Penelitian……… 9

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut………….……... 12

2.2 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut…………. 14

2.2.1 Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)…….. 14

2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources)………. 16

2.2.3 Pencemaran………... 17

2.2.4 Degradasi dan Deplesi Sumberdaya Alam………. 18

2.3 Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut………. 19

2.3.1 Dasar Pengembangan Wilayah………... 19

2.3.2 Perencanaan Penggunaan Lahan ….……….. 21

2.4 Kecenderungan Pergeseran Basis Pemanfaatan Sumberdaya Alam………. 22 2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu……... 24

2.6 Pembangunan Berkelanjutan……… 28

2.7 Kebijakan Publik di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan... 29

2.8 Sistem Dinamik………... 31

III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 34

3.2 Rancangan Penelitian……… 34

3.2.1 Pendekatan Sistem ………. 34

3.2.2 Teknik Pengumpulan dan Jenis Data………. 35

3.2.3 Teknik Pengambilan Sampel….………. 35

4.3.4 Teknik Analisis Data……….. 36

IV KAJIAN WILAYAH STUDI 4.1 Letak Administratif dan Geografis……… 45

4.2 Kondisi Biofisik………. 45

4.2.1 Karakteristik Pantai………. 45


(14)

4.2.3 Kualitas Air……….……… 48

4.2.4 Biota Perairan………. 52

4.2.5 Ekosistem Alami………. 55

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi……… 65

4.3.1 Kependudukan……… 65

4.3.2 Perekonomian Wilayah………... 68

4.3.3 Sumberdaya Perikanan………..………. 69

4.3.4 Pertanian dan Perkebunan……….. 72

4.3.5 Pariwisata……… 74

V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN 5.1 Masukan Utama Model (Main Input)………. .. 76

5.1.1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan………... 76

5.1.2 Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya……….. 82

5.1.3 Opsi Pengelolaan Sumberdaya……… 96

5.1.4 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang………. 99

5.1.5 Prospek Pengelolaan Lingkungan……….. 117

5.2 Model Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan………. 124

5.2.1 Analisis Kebutuhan.……… 124

5.2.2 Formulasi Permasalahan………... 125

5.2.3 Identifikasi Sistem……….. 125

5.2.4 Permodelan Sistem………... 131

5.2.5 Simulasi dan Optimasi Model……….………... 135

5.2.6 Validasi Model..………... 150

5.2.7 Analisis Sensitivitas………... 154

5.2.8 Rekomendasi Kebijakan………... 155

VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan……….………... 162

6.2 Saran….………. 163

DAFTAR PUSTAKA ……….……… 164


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian…………. 38

2. Skala penilaian perbandingan berpasangan……….. 40

3. Opsi pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut

Teluk Banten……….……… 42

4. Pengaruh langsung antar faktor pada sistem pengelolaan

lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.…

43

5. Nilai parameter kualitas air Teluk Banten……… 49

6. Volume limbah domestik dan industri per kecamatan dan

persentase limbah yang mengalir ke Teluk Banten…..……… 50

7. Jenis, kepadatan (sel/m3) dan beberapa indeks ekologi komunitas

phytoplankton di perairan Teluk Banten.……….. 53

8. Jenis, kepadatan (sel/m3) dan beberapa indeks ekologi komunitas

zooplankton di perairan Teluk Banten.………. 54

9. Komposisi dan kepadatan benthos (sel/m3) di perairan Teluk

Banten……….. 55

10. Distribusi padang lamun di perairan Teluk Banten………... 60

11. Berbagai jenis karang di perairan Teluk Banten………….……….. 61

12. Berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang di

perairan Teluk Banten……….………. 62

13. Tekanan antropogenik dan relevansinya dengan kerusakan

ekosistem pesisir dan laut Teluk Banten………..…… 64

14. Peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Serang tahun 1961-2004 65

15. Jumlah penduduk Kabupaten Serang tahun 2004 menurut

kelompok umur……….. 65

16. Jumlah penduduk dan kepadatannya di kecamatan-kecamatan

pesisir Teluk Banten tahun 2004……….. 66


(16)

18. PDRB Kabupaten Serang tahun 2004 atas dasar harga berlaku

(dalam jutaan rupiah) dan persentasenya……….. 68

19. Peranan wilayah pesisir pada perekonomian Kabupaten Serang (diukur melalui kontribusi terhadap PDRB (dalam jutaan rupiah)

tahun 2004……… 69

20. Densitas ikan di perairan Teluk Banten.……… 70

21. Tingkat eksploitasi kerapu di perairan Teluk Banten..………..

70

22. Status beberapa jenis kerapu.……… 71

23. Produksi dan nilai produksi perikanan kecamatan-kecamatan

pesisir Teluk Banten tahun 2003-2004……….. 71

24. Luas areal tambak di pesisir Teluk Banten.………... 71

25. Struktur PDRB sektor perikanan di Kabupaten Serang……… 72

26. Luas lahan pertanian (ha) di wilayah pesisir Teluk Banten tahun

2004……….. 73

27. Produksi tanaman pangan penting di wilayah pesisir Teluk Banten tahun 2004...

74 28. Pentingnya peranan stakeholders pada pengelolaan lingkungan

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan…... 77 29. Hirarki faktor pendukung pada pengelolaan lingkungan wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan menurut stakeholders.. 78 30. Hirarki tujuan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut

Teluk Banten berkelanjutan berdasarkan faktor pendukung…... …. 79 31. Hirarki alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan berdasarkan tujuan…. 80 32. Beberapa kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan tahapan

waktu pelaksanaan..………... 81

33. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi

sustainable management.……….. 84

34. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir


(17)

35. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi

sylvofishery (milkfish)1, (polyculture)2dan (shrimp)3 management.. 85

36. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir

dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (milkfish)1,

(polyculture)2dan (shrimp)3 management……... 86

37. Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan

mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten………. 86

38. Estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water resources

pada opsi coral reef protected areas.………..……….. 89

39. Benefit dan cost pengelolaan shallow water resources di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi coral reef protected areas. 90 40. Estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water resources

pada opsi sustainable harvest……………….. 91

41. Benefit dan cost pengelolaan shallow water resources di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable harvest….….. 91 42. Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan shallow water

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten………. 91

43. Estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi

beachprotected areas……..………. 93

44. Benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir

dan laut Teluk Banten pada opsi beachprotected areas.…... 94 45. Estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi

setback zone……… 94

46. Benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir

dan laut Teluk Banten pada opsi set back zone.. ……….. 95 47. Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten …………..….. 95

48. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/habitat

mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten……..……….. 96

49. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten………

96


(18)

50. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan shallow water resources

di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten……….. 97

51. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan

shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.. 97

52. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan beach resources di

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten……….. 98

53. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan

beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten... 98

54. Luas dan volume kandungan pasir laut dari beberapa KP di

wilayah perairan Teluk Banten……….. 108

55. Prospek pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten di masa yang akan datang (tahun 2027)..……….. 121

56. Skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten di masa yang akan dating.……….

122 57. Peringkat skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan

laut Teluk Banten di masa yang akan dating...………..

123 58. Kebutuhan stakeholders pada pengelolaan lingkungan wilayah


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan……..…………..………

11 2. Sistem pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan..………..……….

37 3. Hirarki pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan………..………

39 4. Metode pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan…...………..………

44 5. Peta administratif kecamatan pesisir Teluk Banten Kabupaten

Serang 2007..……….…… 46

6. Peta lokasi ekosistem alami pesisir Teluk Banten Kabupaten

Serang 2007……… 56

7. Distribusi NPV dari beberapa opsi pengelolaan hutan mangrove

di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten..……….….... 87

8. Distribusi NPV dari dua opsi pengelolaan shallow water

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten...…………... 91

9. Distribusi NPV dari dua opsi pengelolaan beach resources di

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.…………..……… 95

10. Peta pemanfaatan ruang darat kecamatan pesisir Teluk Banten

Kabupaten Serang 2007..……….………….………. 103

11. Pergeseran garis pantai pesisir barat Teluk Banten Kabupaten

Serang 2007……… 104

12. Pergeseran garis pantai pesisir timur Teluk Banten Kabupaten

Serang 2007……… 105

13. Peta arahan pemanfaatan ruang darat kecamatan pesisir Teluk Banten Kabupaten Serang 2007……….

112 14. Zona penangkapan ikan perairan Teluk Banten Kabupaten

Serang 2007………... 113

15. Zona penambangan pasir laut perairan Teluk Banten Kabupaten


(20)

16. Peta arahan pemanfaatan ruang laut perairan Teluk Banten

Kabupaten Serang 2007……….……… 119

17. Tingkat kepentingan faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten di

masa yang akan datang...………. 120

18. Hubungan antar variabel dalam subsistem biofisik, ekonomi, dan sosial pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan…..……….

129 19. Diagram input-output sistem pengelolaan lingkungan wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan...……….. 130

20. Struktur model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut

Teluk Banten berkelanjutan.……….. 136

21. Pola pertumbuhan investasi pada skenario konvensional (hitam),

new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)…. 137

22. Pola pertumbuhan industri pada skenario konvensional (hitam),

new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah).... 137

23. Pola pertumbuhan lahan industri terbangun pada skenario konvensional (hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)……….

139 24. Pola pertumbuhan lahan permukiman terbangun pada tiga

skenario (biru) dan optimasi (merah) …………..……….

140 25. Pola peningkatan volume limbah pada skenario konvensional

(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)………..

141

26. Pola pertumbuhan pendapatan masyarakat pesisir pada skenario konvensional (hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau)

dan optimasi (merah)………. 142

27. Pola produksi ikan laut (coklat), ikan tambak (hijau) dan rumput laut (ungu) pada skenario konvensional, new urbanism,

konservasi dan optimasi... 142 28. Pola daya dukung perikanan pada skenario konvensional

(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)………...


(21)

29. Pola penutupan mangrove (merah), karang (hitam) dan lamun (hijau) pada skenario konvensional, new urbanism, konservasi

dan optimasi……….. 145

30. Pola kandungan pasir laut pada skenario konvensional (merah),

new urbanism (biru), konservasi dan optimasi (hijau)…………...

147 31. Pola pertumbuhan lapangan kerja pada skenario konvensional

(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)………...

148 32. Pola pertumbuhan peranan pesisir pada skenario konvensional

(hitam), new urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi

(merah)…..……… 150

33. Pola frekuensi konflik pada skenario konvensional (hitam), new

urbanism (biru), konservasi (hijau) dan optimasi (merah)…..…..

150 34. Keserupaan kinerja daya dukung perikanan pada main model

dengan pendapatan masyarakat pesisir dan jumlah penduduk

pada co-model……… 152

35. Keserupaan kinerja model (biru) dengan kinerja sistem (merah)

pada level jumlah penduduk………..……… 154

36. Perubahan perilaku level jumlah industri sebagai efek dari pemanfaatan fasilitas PULSE dalam intervensi kebijakan


(22)

DAFTAR

LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil akhir perhitungan bobot kriteria pada penentuan konsep pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

berkelanjutan....……….. 170

2. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable management

(USD)………..….. 171

3. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (milkfish)

management (USD)..………. 174

4. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery

(polyculture) management (USD)……….………. 177

5. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (shrimp)

management (USD)……….……….. 180

6. Cost-benefit analysis pengelolaan shallow water resources di

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi coral reef

protected areas (USD)……..……… 183

7. Cost-benefit analysis pengelolaan shallow water resources di

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable

harvest (USD).……….. 186

8. Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi beach protected areas

(USD).……… 189

9. Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi set back zone

(USD).………..………. 192

10. Persamaan powersim (equations).……….…. 195

11. Analisis variabel untuk optimasi model...………. 220

12. Simulasi kinerja investasi (USD) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten


(23)

13. Simulasi jumlah industri (perusahaan) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

berkelanjutan………. 224

14. Simulasi luas lahan industri terbangun (km2) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan………. 225

15. Simulasi luas lahan permukiman terbangun (km2) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan………. 226

16. Simulasi luas lahan sawah dan tambak (km2) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan………. 227

17. Simulasi volume limbah (m3) pada beberapa skenario

pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

berkelanjutan………. 228

18. Simulasi pendapatan masyarakat pesisir (USD) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan………. 229

19. Simulasi produksi ikan laut, ikan tambak dan rumput laut (ton) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir

dan laut Teluk Banten berkelanjutan………. 230

20. Simulasi dayadukung perikanan (fish/1.000m3) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten berkelanjutan………. 231

21. Simulasi penutupan ekosistem mangrove, karang dan lamun (km2) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.………. 232

22. Simulasi kandungan pasir laut (m3) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

berkelanjutan………. 233

23. Simulasi lapangan kerja (jiwa) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

berkelanjutan………. 234

24. Simulasi peranan pesisir (%) pada beberapa skenario

pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten


(24)

25. Simulasi frekuensi konflik (konflik) pada beberapa skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten


(25)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut MacDonald (2005), sekitar 70% penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, mengapa manusia menyukai tinggal di wilayah pesisir. Beberapa di antaranya adalah kemudahan transportasi yang disediakan oleh laut, ketersediaan protein dari ikan laut dan kemudahan untuk membuang limbah. Pesisir juga merupakan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk melakukan berbagai aktivitas seperti permukiman, perdagangan, pariwisata, militer dan berbagai jenis aktivitas industri (Clark, 1998; Joseph dan Balchand, 2000; MacDonald, 2005). Begitu beragamnya fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh wilayah pesisir hingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan di antara para stakeholders.

Berbagai tipe pemanfaatan wilayah pesisir lengkap dengan konflik kepentingan yang sering terjadi, dapat ditemukan di Teluk Banten. Teluk ini terletak di sebelah barat laut Pulau Jawa; menghadap ke Laut Jawa, Teluk Banten mengawali posisi Selat Sunda dari arah utara. Teluk Banten berdiameter ±15 km dan memiliki sebuah pulau besar (Pulau Panjang) yang dikelilingi oleh terumbu karang yang indah.

Perairan Teluk Banten cukup dangkal (kedalaman rata-tara 7 m) dengan tingkat kekeruhan air yang relatif tinggi. Luas total permukaan air Teluk Banten mencapai 150 km2. Douven (1999) melaporkan, bahwa Teluk Banten memiliki ekosistem laut yang bernilai tinggi seperti padang lamun yang berlokasi di pantai timur Bojonegara (di sekitar pulau-pulau kecil seperti Tanjungbatu, Cikantung dan Kamanisan); terumbu karang yang berlokasi di pantai Pulau Panjang dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Kubur dan Pulau Kambing; mangrove yang berlokasi di pantai selatan dan timur Pulau Panjang dan di sepanjang pantai di wilayah Kecamatan Pontang dan Tirtayasa; serta cagar alam Pulau Dua dan Pulau Pamujan Besar yang dihuni oleh burung-burung endemik.

Luas total area padang lamun di Teluk Banten diperkirakan mencapai 2,7 km2. Area padang lamun terluas (±1 km2) terletak di sepanjang pantai barat dekat


(26)

Bojonegara. Saat ini keberadaan ekosistem padang lamun di Teluk Banten sangat terancam oleh tingginya aktivitas reklamasi pantai. Padahal padang lamun berperan penting dalam menyediakan habitat dan makanan bagi berbagai jenis ikan yang masih muda dan melindungi garis pantai dari berbagai kerusakan, baik fisik maupun kimia.

Terumbu karang di Teluk Banten menempati area seluas ±2,3 km2 dengan estimasi luas penutupan karang hidup 22%. Seperti halnya ekosistem padang lamun, ekosistem terumbu karang juga sangat terancam keberadaannya, karena tingginya tingkat kekeruhan air laut, adanya cara-cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, serta terdapatnya penambangan batu karang yang merusak. Pada waktu-waktu mendatang, semakin menurunnya kualitas air laut yang terjadi akibat berbagai aktivitas manusia, diperkirakan akan menjadi faktor terpenting yang mengancam keberadaan terumbu karang di Teluk Banten. Terumbu karang memiliki fungsi penting untuk melindungi garis pantai dan menjadi habitat yang menyediakan nutrisi bagi berbagai jenis ikan.

Terumbu karang dan padang lamun merupakan habitat penting yang menyediakan nutrisi dan tempat pengasuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan yang masih muda. Jenis ikan utama yang dihasilkan oleh Teluk Banten adalah berbagai jenis ikan kerapu (Epinephelus spp.) (Glimmerveen, 2001). Populasi ikan kerapu di Teluk Banten cenderung terus menurun dari waktu ke waktu, disebabkan oleh menurunnya kualitas ekosistem dan penangkapan ikan berlebih (overfishing). Selain memainkan peran produksi yang penting, ikan kerapu berperan secara biologis di dalam mengontrol pertumbuhan lamun dan organisme terumbu karang.

Pulau Dua, yang merupakan sebuah semenanjung kecil di dekat Kota Banten, memiliki hutan mangrove yang menjadi habitat penting bagi sekitar 45 ribu burung. Pulau Dua kini juga sangat terancam keberadaannya karena terjadinya pergeseran garis pantai dan semakin me nciutnya lahan basah (wetlands)

seperti sawah dan lahan budidaya biota air (aquaculture); padahal lahan tersebut merupakan tempat burung-burung biasa mencari makan. Burung-burung di Pulau Dua memiliki peran penting dalam fungsi ekologi, pendidikan dan rekreasi.


(27)

Menurut Douven (1999) terdapat sejumlah besar aktivitas manusia yang mengancam keberlanjutan ekosistem laut Teluk Banten. Beberapa di antaranya adalah:

a. Pembangunan wilayah pantai: ekspansi besar-besaran kawasan permukiman, industri dan transportasi (masterplan Kabupaten Serang, 2005) berdampak pada perubahan pemanfaatan lahan dan pergeseran garis pantai yang disebabkan oleh aktivitas reklamasi dan konversi hutan mangrove.

b. Pencemaran dari daratan dan erosi: permukiman dan industri yang

berkembang di sepanjang kaki Gunung Karang (Kota Serang dan sekitarnya), aliran permukaan (run-off) dari lahan pertanian serta penambangan pasir dan batu dari kawasan Gunung Karang dan di dataran pantai dengan limbah yang dibuang langsung ke sungai, berdampak pada pengurangan kapasitas asimilasi dan menurunkan derajat kesehatan penduduk.

c. Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut secara berlebih (overexploitation)

(misalnya penambangan karang dan pasir laut, perusakan hutan mangrove dan penggunaan cara-cara penangkapan ikan yang merusak) berdampak pada terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam, baik yang dapat pulih

(renewable) maupun tidak dapat pulih (non-renewable).

Skala dan intensitas kegiatan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten meningkat dengan sangat cepat seiring dengan perkembangan kependudukan dan perekonomian baik lokal, nasional maupun internasional. Proses-proses ini berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem teluk sedemikian rupa, sehingga memberikan dampak yang besar bagi masyarakat yang bergantung baik secara langsung maupun tidak langsung pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian diperlukan adanya koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.

Pada tahun 2004, jumlah total penduduk Kabupaten Serang 1.834.514 jiwa dengan kepadatan 1.057,91 jiwa/km2 dan pertumbuhan mencapai 2,46% (BPS Kabupaten Serang, 2005). Kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan Teluk Banten (1.074,83 jiwa/km2) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk Kabupaten Serang pada umumnya (1.057,91 jiwa/km2). Bila dilihat dari distribusi umur, pertumbuhan penduduk


(28)

Kabupaten Serang tergolong cepat untuk masa-masa yang akan datang, karena 47,9% dari total penduduk berumur di bawah 20 tahun (usia produktif) dan hanya 9,7% saja yang berumur di atas 50 tahun. Aksis pertumbuhan penduduk terdapat di sepanjang koridor jalan tol Jakarta-Merak dengan pusat pertumbuhan utama adalah Kota Serang dan Cilegon. Aksis pertumbuhan penduduk lainnya terdapat di sepanjang koridor Sungai Cibanten, Cilengkong dan di sebelah timur Sungai Ciujung.

Nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Serang atas dasar harga berlaku meningkat 11,01% yaitu dari Rp. 8.998.670.000.000,00 pada tahun 2003 menjadi Rp. 9.989.429.000.000,00 pada tahun 2004. Di Kabupaten Serang, sektor industri menempati posisi yang sangat penting (mencapai 48,90% dari total PDRB). Hal ini semakin menguatkan posisi Kabupaten Serang sebagai daerah industri. Sektor-sektor lain yang juga mengalami peningkatan produksi adalah perdagangan, hotel dan restoran. Sesuai dengan besarnya kontribusi pada PDRB, sektor industri memberi peluang kerja cukup besar (115.782 pekerja) dengan total perusahaan industri yang bekerja mencapai 245 buah (BPS Kabupaten Serang, 2005).

Pertumbuhan penduduk dan perkembangan perekonomian Kabupaten Serang seperti diuraikan di atas direfleksikan pada pola penggunaan lahan yang ada. Serang sebagai kota utama berlokasi di kaki Gunung Karang (1.700 m) di sepanjang Sungai Cibanten pada koridor tol Jakarta-Merak. Karena posisinya yang sangat strategis, daerah ini diperkirakan akan menjadi subyek utama perubahan di masa yang akan datang. Di sekeliling Kota Serang, aktivitas industri berlokasi dengan Cilegon sebagai pusatnya. Di antara dua kota utama ini juga berlokasi permukiman penduduk di sepanjang sungai dan jalan utama kota. Wilayah pantai di sebelah selatan dan timur Teluk Banten merupakan daerah perdesaan dengan lokasi permukiman penduduk yang tersebar dan produksi utamanya padi dan perikanan tambak. Wilayah perlindungan alam berlokasi di daerah pegunungan: Gunung Karang dan Gunung Gede. Dari keseluruhan pulau yang tersebar di Teluk Banten, hanya Pulau Panjang yang dihuni oleh sekitar 2.500 penduduk. Penggunaan lahan utama Pulau Panjang adalah sebagai lokasi


(29)

untuk melakukan aktivitas pertanian, sedangkan pulau-pulau lainnya merupakan wilayah perlindungan alam.

Kepadatan penduduk yang tinggi dan aktivitas industri yang pesat tidak hanya berdampak pada perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai, tetapi juga berdampak pada peningkatan penggunaan sumberdaya alam dan volume limbah. Analisis volume limbah, daerah asal limbah (kecamatan) dan persentase limbah yang masuk ke Teluk Banten dilaporkan oleh Heun dan Yap (1996) seperti dijelaskan oleh Douven (1999) menunjukkan bahwa Kecamatan Serang, Kasemen, Cilegon dan Bojonegara menghasilkan paling banyak limbah. Limbah industri terutama terkonsentrasi di Cilegon dan Bojonegara. Hal yang menarik dari laporan tersebut adalah total volume limbah domestik Kecamatan Serang yang mencapai 6 kali lebih besar dari volume limbah industri; dan total volume limbah industri Kecamatan Cilegon yang mencapai 4 kali lebih besar dari volume limbah domestik.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dihadapkan pada permasalahan kompleks yang saling terkait satu sama lain. Dari aspek biofisik, permasalahan yang muncul adalah tingginya ancaman terhadap keberadaan ekosistem penting Teluk Banten, pola penggunaan lahan wilayah pesisir dan laut yang semakin tidak terkendali, penambangan pasir laut yang semakin tidak terkontrol dan tingginya volume bahan pencemar yang masuk ke teluk. Dari aspek ekonomi, permasalahan yang muncul adalah tingginya pertumbuhan industri yang kurang bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholders dan terjadinya degradasi sumberdaya alam hayati di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Dari aspek sosial, permasalahan yang muncul adalah tingginya pertumbuhan penduduk dan frekuensi konflik yang meningkat terutama berkaitan dengan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang dirasakan kurang adil oleh masyarakat.

Kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten juga semakin diperparah oleh adanya beberapa faktor penghambat seperti diuraikan oleh Douven et al. (2000) sebagai berikut:

a. Perencanaan wilayah pesisir yang masih bersifat sektoral.


(30)

c. Masih kurangnya staf dan pendanaan untuk implementasi dan kontrol kebijakan.

d. Masih kurangnya informasi tentang masalah-masalah lingkungan.

e. Masih kurangnya kesadaran para stakeholders pada masalah-masalah lingkungan.

Pemberlakuan Undang-Undang (UU) No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diharapkan mampu memperbaiki mekanisme serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara adil, berimbang dan berkelanjutan. Dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diharapkan akan semakin membawa perubahan institusional di bidang pengelolaan sumberdaya alam milik daerah, sehingga berbagai hambatan seperti disebutkan di atas akan dapat segera diatasi. Melalui UU tersebut, kabupaten/kota mendapatkan otonomi yang lebih besar dalam perencanaan dan pembangunan daerah dengan posisi sentral ada pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pemerintah daerah juga memiliki kewenangan yang semakin besar dalam penyelenggaraan penataan ruang. Melalui UU tersebut, kualitas keberlanjutan ruang wilayah diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Melalui UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah, kabupaten/kota memperoleh peluang yang lebih besar untuk mendapatkan sumberdaya finansial secara lebih berimbang dalam rangka pembiayaan proses-proses pembangunan seperti diamanatkan dalam UU No. 32 tahun 2004.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Merancang skenario pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua

stakeholders tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan.

b. Merancang model interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem biofisik, ekonomi dan sosial di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dalam


(31)

kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Kompleksitas permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten perlu dikelola secara baik. Untuk itu dibutuhkan pemahaman mendalam tentang berbagai proses yang saling terkait antar berbagai sub-sistem: biotik-abiotik dan interaksi antar kedua sistem tersebut dengan berbagai aktivitas manusia. Pemahaman terhadap proses-proses tersebut secara baik merupakan dasar bagi upaya pemecahan permasalahan yang seringkali terjadi. Hal tersebut merupakan esensi dari berbagai research programme yang dikembangkan oleh

Indonesian-Dutch Teluk Banten Research Programme on Integrated Coastal Zone

Management. Lembaga kerja sama Indonesia-Belanda ini mengembangkan

research programme yang berbasis pada empat bidang utama, yaitu bidang

abiotik, bidang biotik, bidang remote sensing dan sistem informasi geografi (GIS) serta bidang pengelolaan.

Di bidang abiotik, dikembangkan research programme yang meliputi 3 bagian yaitu sedimentasi, perubahan morfologi pantai dan water transport. Di bidang biotik, research programme yang dikembangkan meliputi 4 bagian yaitu terumbu karang, padang lamun, perikanan dan burung-burung endemik (Douven

et al., 2000). Di bidang remote sensing dan GIS, research programme yang

dikembangkan biasanya terkait dengan bidang pengelolaan dengan penekanan pada dimensi spasial. Berdasarkan lingkup permasalahan di atas, penelitian ini termasuk dalam bidang pengelolaan. Menurut Douven (1999), penelitian di bidang pengelolaan berperan sebagai integrator bagi penelitian-penelitian di bidang lain.

Potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dapat dicermati baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial. Dari aspek biofisik, potensi dan permasalahan yang muncul erat kaitannya dengan dinamika ekosistem alami, pola penggunaan lahan, kandungan pasir laut yang besar dan volume bahan pencemar yang masuk ke Teluk Banten.


(32)

Dari aspek ekonomi, wilayah pesisir dan laut Teluk Banten memiliki tingkat pertumbuhan industri yang mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi perekonomian wilayah. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, pertumbuhan industri yang tinggi ternyata kurang bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholders. Eksploitasi sumberdaya alam hayati secara berlebih di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berdampak pada semakin rendahnya cadangan sumberdaya ikan dan sumberdaya hayati lain.

Dari aspek sosial, jumlah penduduk yang besar memang bisa dianggap sebagai modal pembangunan; tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, jumlah penduduk yang besar justru menjadi permasalahan pembangunan yang serius. Seiring dengan semangat otonomi daerah, tingginya antusiasme untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) ternyata sering menimbulkan gejala feeding frenzy terhadap sumberdaya alam milik daerah. Gejala ini berdampak pada terjadinya bahaya lingkungan dan berakibat pada biaya sosial yang mahal. Di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten, biaya sosial yang harus dibayar adalah frekuensi konflik yang makin sering terjadi yang melibatkan berbagai stakeholders di wilayah tersebut.

Potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten perlu dikelola secara baik melalui mekanisme pengelolaan terpadu. Dalam konteks ini, keterpaduan bermakna tiga dimensi: intersectoral integration, interdisciplinary

approaches dan ecological linkages. Intersectoral integration diperlukan

mengingat koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor pada

level pemerintahan tertentu dan antar level pemerintahan merupakan kunci bagi

keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Tingginya kompleksitas dan dinamika wilayah pesisir dan laut Teluk Banten memerlukan keterlibatan berbagai disiplin ilmu (interdisciplinary approaches)

untuk mengantisipasi perubahan yang berlangsung begitu cepat. Pertimbangan

ecological linkages perlu diperhatikan, mengingat wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten tersusun dari berbagai macam ekosistem yang saling berhubungan satu sama lain serta dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia dan proses-proses alamiah, baik yang terdapat di daerah hulu maupun di laut lepas.


(33)

Mekanisme pengelolaan terpadu menghasilkan output yang dapat digunakan sebagai feedback untuk mengelola potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten di masa yang akan datang. Selain itu output ini juga bisa digunakan sebagai masukan bagi proses pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Secara skematis, kerangka pemikiran pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan disajikan pada Gambar 1.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sebagai berikut :

a. Manfaat ilmiah: penelitian ini memberikan sumbangan kecil bagi

pengembangan khasanah keilmuan di bidang kebijakan publik dalam pengelolaan lingkungan, khususnya di wilayah pesisir dan laut.

b. Manfaat praktis:

1. Bagi Pemerintah Kabupaten Serang dan Pemerintah Provinsi Banten: penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam menyusun rencana pembangunan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.

2. Bagi pelaku industri dan jasa: penelitian ini bermanfaat untuk memahami strategi dan prospek pengembangan usaha sehingga terbangun kemitraan

(partnership) dengan berbagai pihak terkait atas dasar prinsip saling

menguntungkan.

3. Bagi penduduk setempat/nelayan/petani: penelitian ini bermanfaat untuk membantu memahami proses perencanaan pembangunan wilayah sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

1.5 Kebaruan Penelitian

Berdasarkan laporan dari Indonesian-Dutch Teluk Banten Research

Programme on Integrated Coastal Zone Management, diketahui bahwa telah

dilakukan penelitian-penelitian dengan mengambil objek/lokasi studi di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Penelitian Douven (1999) berhasil mengidentifikasi sejumlah aktivitas manusia yang bersifat menekan eksistensi ekosistem pesisir dan laut Teluk Banten serta kecenderungannya di masa yang akan datang.


(34)

Glimmerveen (2001) merancang sebuah model interaksi antara sistem alam dan sosial-ekonomi terkait dengan aktivitas penangkapan dan perdagangan ikan di wilayah pesisir Teluk Banten. Ambarwulan dan Hobma (2004) merancang model bio-optik penyebaran total suspended matter (TSM) di perairan Teluk Banten dengan bantuan citra satelit. Beberapa penelitian lain yang dilakukan dengan mengambil objek/lokasi studi di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada umumnya berbasis pada bidang ilmu tertentu (bersifat monodisipliner) dan tidak terkait dengan dimensi waktu (statis). Penelitian yang mengambil objek studi burung-burung endemik di Cagar Alam Pulau Dua dengan kajian pada aspek ekologi, misalnya, tidak mengkaji keterkaitannya dengan aspek sosial dan ekonomi yang mendukung eksistensi burung-burung tersebut dan kecenderungannya di masa yang akan datang.

Penelitian ini dilakukan melalui kajian secara terpadu terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Kajian aspek biofisik dilakukan secara terintegrasi dengan aspek eko nomi dan sosial serta disimulasikan menurut dimensi waktu pengelolaan. Secara keseluruhan, penelitian ini didisain untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan preservasi ekologi. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kerangka integrated

coastal zone management (ICZM), penelitian ini memberikan sumbangan kecil

bagi upaya pengelolaan berbagai issue global, terutama yang berkaitan dengan masalah degradasi kualitas lingkungan.


(35)

Gambar 1. Gambar 1.Kerangka pemikiran pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Teluk Banten berkelanjutan

Potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

Penduduk Industri

Pasir laut Penggunaan

lahan

Biofisik Ekonomi Sosial

Pengelolaan terpadu Intersectoral integration Interdisciplinary approaches Ecological linkages Pengelolaan lingkungan

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berke lanjutan Ekosistem

alami

Konflik sosial Pencemaran SDA

hayati Bidang permasalahan

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

Bidang abiotik Bidang pengelolaan Bidang biotik Bidang

remote sensing dan GIS

Sedimentasi

Perubahan morfologi pantai

Water transport Terumbu karang Padang lamun Perikanan Burung-burung endemik Model bio-optik Dampak manusia pada ekosistem Model penangkapan dan perdagangan ikan


(36)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut

Wilayah pesisir dan laut meliputi wilayah daratan dan lautan dengan karakteristik yang khas. Banyak pendapat yang berbeda dalam menetapkan batas wilayah pesisir dan laut. Pendapat yang ekstrim mengatakan, wilayah pesisir dan laut meliputi kawasan yang sangat luas, dimulai dari batas lautan terluar (zona ekonomi eksklusif, ZEE) sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pendapat ekstrim lainnya mengatakan, wilayah pesisir dan laut hanyalah sebuah kawasan yang sangat sempit, dimulai dari pasang tertinggi sampai 200 m ke arah darat; sedangkan ke arah laut sampai dengan garis pantai pada saat surut terendah. Dalam konteks interaksi daratan-lautan, Joseph dan Balchand (2000) mengatakan, bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan perluasan dataran pantai sampai bibir luar paparan benua (continental shelf), daerah yang selalu tergenang selama fluktuasi muka air laut terjadi.

Untuk kepentingan pengelolaan, Dahuri et al. (2004) menyarankan batas wilayah pesisir dan laut yang dipandang dari dua pendekatan. Dari pendekatan perencanaan (planning zone), wilayah pesisir dan laut meliputi seluruh daratan (hulu) di mana terdapat kegiatan manusia yang masih menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Dari sudut pandang pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan sehari-hari (day-to-day

management), wilayah pesisir dan laut ditetapkan sesuai dengan wilayah

kewenangan yang disepakati bersama di antara otoritas pengelola. Wilayah pengaturan selalu lebih kecil dan berada di dalam wilayah perencanaan.

Wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang kompleks; di dalamnya terjadi interaksi berbagai proses: alami (misalnya hidrologi dan geomorfologi), sosial, budaya, ekonomi, administrasi dan pemerintahan (French, 2004). Dalam perspektif ekonomi-ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang dicirikan oleh adanya interrelasi secara fisik, biokimia dan sosial-ekonomi (Turner, et al., 1998). Kompleksitas sistem baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun biofisik inilah yang menandai keunikan wilayah pesisir dan laut (Dahuri,


(37)

1999). Wilayah pesisir dan laut juga dikenal karena keunikan historis dan arkeologisnya (Meulen dan Haes, 1996).

Karena posisinya yang berada di daerah perbatasan antara daratan dan lautan, wilayah pesisir dan laut memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam. Faktor-faktor biofisik yang menyusun keunikan wilayah ini ditunjukkan dengan sangat nyata, misalnya tingkat elevasi (rendah-sedang-tinggi), jenis air (asin-payau-tawar), tingkat pasang-surut dan jenis tanah (pasir-tanah liat). Dijumpai banyak bukit pasir (sand dunes) dan jenis tumbuhan asli (indigenous)

pantai di wilayah ini. Kebanyakan dari jenis-jenis tumbuhan itu bersifat endemik. Karena keunikan ini, wilayah pesisir dan laut dinilai penting dalam konteks konservasi. Clark (1998) menilai perlindungan terhadap kekayaan sumberdaya wilayah pesisir pada sisi wetside (lautan) perlu dilakukan melalui ko ntrol terhadap pemanfaatan sumberdaya yang berada pada sisi dryside (daratan).

Wilayah pesisir dan laut juga memiliki nilai penting dalam konteks sosial-ekonomi. Sekitar 70% penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir (MacDonald, 2005). Berbagai aktivitas ekonomi penting penduduk dunia seperti permukiman, industri, pertanian dan pariwisata yang terkonsentrasi di wilayah pesisir telah memberikan dampak pada terjadinya peningkatan kepadatan penduduk secara signifikan (Tol et al., 1996; Joseph dan Balchand, 2000). Pariwisata sebagai salah satu sektor penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan. Aktivitas industri dan permukiman yang intensif telah mendorong wilayah pesisir dan laut berkembang menjadi wilayah dengan dinamika yang semakin besar di masa yang akan datang. Wilayah pesisir dan laut memiliki tingkat kelimpahan sumberdaya yang tinggi namun sarat dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Kondisi ini cenderung menyimpan potensi konflik yang besar, yang apabila tidak dikelola dengan baik (mismanagement), akhirnya akan membawa kerugian baik secara ekonomi maupun ekologi (Aguero et al., 1996).

Pengelolaan wilayah laut berkaitan erat dengan kebijakan nasional masing-masing negara. Lautan merupakan kesatuan dari permukaan, kolom air, sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Dasar hukum yang digunakan oleh negara-negara pantai dalam menentukan batas wilayah laut adalah Konvensi Hukum Laut PBB


(38)

1982 (UNCLOS 1982). Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya (seperti minyak dan gas bumi, perikanan dan berbagai bahan tambang lainnya) yang berada di dalam zona yang diatur di dalam konvensi tersebut.

2.2 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut 2.2.1 Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)

Dunia yang kini berada dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat, perlu mengimbangi diri dengan melakukan konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang masih tersisa. Perlindungan ekosistem dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan kini menjadi issue penting yang mendapat perhatian besar para ilmuwan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin pesat (Joseph dan Balchand, 2000).

Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga kelestariannya, di antaranya adalah mangrove, terumbu karang (coral reefs),

padang lamun (seagrass beds) dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Turner et al., 1998). Pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi juga secara ekonomi dan sosial (Clark, 1998).

Ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis mempunyai potensi besar dalam menunjang produksi perikanan. Tingginya produktivitas perairan pada ekosistem ini mengakibatkan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

ground) dan sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground)

(Supriharyono, 2002).

Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem mangrove

berlokasi di daerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad (1996) mengatakan, bahwa


(39)

Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa dieksplotasi secara ekonomi. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi penting, yakni dalam hal penyediaan material organik sebagai bahan nutrisi bagi udang/ikan yang masih muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran mangrove, pencegahan erosi, perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi banyak spesies akuatik di dataran lumpur dan perakarannya.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik. Ekosistem ini dijumpai di daerah tropik, di perairan yang cukup dangkal (kedalaman kurang dari 30 m) dan suhu di atas 20ºC. Menurut Widiati (2000), ekosistem terumbu karang berperan penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses sedimentasi (Dahuri et al., 2004).

Seperti terumbu karang, ekosistem padang lamun juga dijumpai hanya di laut dangkal. Tumbuhan lamun dinilai unik bila dibandingkan dengan tumbuhan laut lainnya, karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya yang tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas ekosistem (Supriharyono, 2002). Ekosistem padang lamun berperan penting dalam memerangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan aktivitas manusia (Cunha et al., 2005). Ekosistem padang lamun menyediakan habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan sumber makanan langsung bagi kebanyakan hewan.

Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria menghasilkan komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam (Supriharyono, 2002). Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah estuaria memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang hidup di daerah itu. Hewan yang hidup di dalam ekosistem estuaria terdiri dari jenis hewan


(40)

laut (kemampuan mentolerir perubahan kadar garam terbatas), hewan air tawar (tidak mampu mentolerir perubahan kadar garam), dan hewan air payau (tidak ditemukan hidup di air laut maupun air tawar) (Widiati, 2000).

Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria memungkinkan tingginya produktivitas sekunder (produksi perikanan) di wilayah tersebut. Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil (small scale fisheries) yang diusahakan oleh masyarakat (artisanal) mendominasi jenis perikanan tangkap di Indonesia. Perikanan rakyat ini biasanya berlokasi di pantai utara Jawa, Selat Malaka, Selat Bali dan Selat Makassar (Supriharyono, 2002). Tingginya aktivitas penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan terjadinya

overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan terjadinya

permasalahan sosial.

2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources)

Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara), kelas B (mineral vital; misalnya emas, timah dan nikel) dan kelas C (mineral industri; misalnya granit dan pasir). Potensi sumberdaya mineral di wilayah pesisir dan laut Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Cadangan minyak dan gas Indonesia tersebar di 60 cekungan (basins), yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah Timor (Dahuri et al., 2004). Logam mulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat Sunda (sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan dan di daerah perairan Maluku Utara serta Sulawesi Utara.

Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri dan bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut diupayakan agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa menjamin ketersediaan sumberdaya tersebut selama mungkin.


(41)

2.2.3 Pencemaran

Pencemaran wilayah pesisir dan laut terjadi karena adanya konsentrasi permukiman, pertanian, pariwisata dan industri. Berbagai aktivitas tersebut sering menimbulkan gangguan baik secara langsung maupun tidak terhadap ekosistem pesisir dan laut melalui limbah yang dihasilkannya. Penduduk pesisir memberikan 90% sumbangan pencemaran di wilayah ini, berupa bahan-bahan pencemar dari daratan (land-based pollutants) seperti limbah rumah tangga, limbah industri dan bahan-bahan toksik lainnya (Joseph dan Balchand, 2000).

Menurut Supriharyono (2002), ada tiga tipe bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di lingkungan laut; yaitu tipe patogenik, estetik dan ekomorfik. Bahan pencemar tipe patogenik (pathogenic pollutants)

adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Bahan pencemar tipe estetik (aesthetic pollutants) yaitu bahan pencemar yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang tidak nyaman untuk indera

mata, telinga dan hidung. Bahan pencemar tipe ekomorfik (ecomorphic

pollutants) adalah bahan pencemar yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik

lingkungan.

Dilihat dari asal bahan pencemarnya, diketahui ada dua macam bahan pencemar (limbah) yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah domestik adalah limbah yang berasal dari aktivitas masyarakat urban yang biasanya mengandung sampah padat (berupa tinja) dan cair yang berasal dari sampah rumah tangga. Limbah domestik memiliki lima karakteristik, yaitu mengandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus dalam jumlah banyak; serta mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi sehingga nilai biological oxygen demand

(BOD)-nya tinggi. Selain itu juga mengandung padatan (organik dan anorganik) yang mengendap di dasar perairan; memiliki kandungan unsur hara (terutama fosfor dan nitrogen) yang tinggi; serta mengandung bahan-bahan terapung (organik dan anorganik) di permukaan air atau berada dalam bentuk tersuspensi.

Dalam beberapa kasus, limbah industri sulit larut dalam air. Limbah industri cenderung mengapung di permukaan air. Beberapa jenis limbah industri ada yang secara langsung meracuni kehidupan perairan seperti sianida, fenol dan sodium pentaklorofenat. Ada juga yang tidak secara langsung meracuni kehidupan


(42)

perairan, tetapi merubah kualitas lingkungan dengan turunnya oksigen terlarut untuk perombakan bahan-bahan organik. Beberapa jenis limbah mungkin mengalami bioakumulasi sehingga permasalahannya menjadi sangat lama. Limbah industri merupakan land-based pollutants yang telah terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan laut secara signifikan (MacDonald, 2005). Limbah industri berpotensi menyebabkan terjadinya eutrofikasi, sebuah fenomena di mana perairan menerima kelebihan nutrient dan ditandai oleh adanya algal

blooms (red tides). Berbagai jenis logam berat yang terdapat di dalam limbah

industri (misalnya arsen, kadmium, kobalt, kromium, merkuri dan seng) berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan kronis pada manusia.

2.2.4 Degradasi dan Deplesi Sumberdaya Alam

Wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistem yang kini tenga h mengalami permasalahan berat yang mengancam daya lenting (resilience) ekosistem tersebut (Turner et al., 1998). Permasalahan tersebut terutama menyangkut trade-off

pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, yaitu antara kepentingan ekonomi dan preservasi ekologi. Worm (1998) mengatakan, bahwa pada umumnya permasalahan yang dihadapi wilayah ini berupa pencemaran, reklamasi pantai serta pembangunan perkotaan dan infrastruktur terkait lainnya. Ekspansi coastal

aquaculture secara massive telah menimbulkan dampak sosial ekonomi dan

biofisik yang besar. Kondisi itu terkait dengan hilangnya lahan basah pantai, tingginya tingkat keasaman, salinisasi air tanah dan lahan pertanian serta hilangnya produk dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem alami (Chua, 1992).

Di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, terdapat kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya pesisir dan laut) demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004, kecenderungan tersebut justru nampak semakin besar. Nelson dan Geoghegan (2002), bahkan mengatakan bahwa para pengambil keputusan di negara-negara sedang berkembang selalu dihadapkan pada persoalan klasik eksploitasi sumberdaya secara berlebih manakala pertumbuhan ekonomi atau konservasi ekologi menjadi pilihan. Persepsi yang mengatakan bahwa sumberdaya


(43)

alam dapat dijadikan andalan bagi peningkatan PAD, sering menimbulkan fenomena pengurasan sehingga timbul bahaya lingkungan yang mengakibatkan biaya sosial yang tinggi. UU No. 32 Tahun 2004 pada hakekatnya memberikan peluang kepada daerah untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam yang ada bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan jaminan keseimbangan fungsi lingkungan.

Menurut Fauzi dan Anna (2005) degradasi dan deplesi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut lebih banyak bersifat antropogenik (disebabkan oleh manusia) baik berupa aktivitas produksi (penangkapan/eksploitasi) maupun aktivitas non-produksi (pencemaran limbah domestik dan industri). Degradasi mengacu pada terjadinya penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarui (renewable resourcres). Deplesi mengacu pada terjadinya pengurangan cadangan sumberdaya alam tak dapat diperbarui (non-renewable

resources). Depresiasi digunakan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari

pemanfaatan sumberdaya alam (pengukuran tingkat degradasi dan deplesi yang dirupiahkan).

2.3 Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut 2.3.1 Dasar Pengembangan Wilayah

Banyak teori pengembangan wilayah yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Teori-teori tersebut dibangun atas dasar dan tujuan yang berbeda-beda. Kelompok pertama adalah teori-teori yang memberi penekanan pada kesejahteraan wilayah

(regional prosperity). Kelompok kedua memberi penekanan pada sumberdaya

alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi keberlanjutan sistem produksi

(sustainable production). Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok yang

peduli pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kelompok ketiga memberi penekanan pada institusi (kelembagaan) dan proses pengambilan keputusan (decision making) di tingkat lokal sehingga kajian terfokus pada

governance yang bertanggung jawab (responsible) dan berkinerja baik (good).

Ketiga kelompok teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam fokus pengembangan wilayah. Penerapan teori ini didasarkan pada perhatian terhadap


(44)

masalah utama yang dihadapi masyarakat/wilayah dengan sasaran pada 3 aspek, yaitu perekonomian yang baik (good economy), masyarakat yang baik (good

society) dan proses politik yang baik (good political process)(Akil, 2001). Sejalan

dengan sasaran tersebut, Haeruman (2001) mengatakan, bahwa dalam perkembangannya, konsep pengembangan wilayah sejalan dengan penetapan prioritas pembangunan ekonomi. Pada mulanya, pembangunan dilakukan untuk tujuan efisiensi (efficiency objective). Pengalaman kemudian membawa pada berkembangnya pemikiran untuk juga memberikan prioritas bagi tujuan pemerataan (equity objective). Dengan adanya pergeseran orientasi tersebut, kebijakan pembangunan tidak dapat hanya memaksimalkan efisiensi saja, tetapi harus ada trade-off antara keduanya. Pengalaman menunjukkan, bahwa dimensi wilayah dengan karakteristik masing-masing bersifat komplementer dan berperan dalam meningkatkan efisiensi. Pembangunan yang berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan, kemudian meningkatkan pemahaman akan pentingnya tujuan keberlanjutan (sustainability objectives) yang memasukkan wawasan lingkungan sebagai prinsip dasar pembangunan.

Aktualisasi konsep pengembangan wilayah secara terpadu dapat diwujudkan melalui strategi pengembangan potensi ekonomi wilayah. Dalam kaitan ini Haeruman (2001), melihat adanya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang dipengaruhi oleh perkembangan demokrasi dan kecenderungan global yang pada dasarnya mencakup hal-hal berikut:

a. Pergeseran dari functional integration yang memberi tekanan pada pendekatan sektoral menuju territorial integration yang memberi tekanan pada pemberdayaan masyarakat lokal.

b. Pergeseran dari national development menuju ke local development. Pembangunan nasional di masa datang merupakan kerangka tindakan dari pembangunan masyarakat lokal yang bercirikan karakteristik wilayah.

c. Pergeseran dari rural and urban dichotomy menuju ke rural-urban linkages. Pengembangan wilayah di masa datang harus melihat keterkaitan antara desa dan kota sebagai suatu mata rantai pengembangan ekonomi wilayah yang saling mempengaruhi.


(1)

dan 5,96. Nilai NPV dan BCR pada opsi milkfish sylvofishery mencapai USD 3.066.800,88 dan 2,74. Nilai NPV dan BCR pada opsi polyculture sylvofishery mencapai USD 3.118.918,91 dan 2,76. Nilai NPV dan BCR pada opsi shrimp sylvofishery mencapai USD 3.263.940,88 dan 2,80. Untuk shallow water resources, nilai NPV dan BCR pada opsi coral reef protected areas mencapai USD 1.659.268,64 dan 1,35; sedangkan nilai NPV dan BCR pada opsi sustainable harvest mencapai USD 7.076.463,52 dan 3,97. Untuk beach resources, nilai NPV dan BCR pada opsi beach protected areas mencapai USD 4.286.609.192,48 dan 7,30; sedangkan nilai NPV dan BCR pada opsi set back zone mencapai USD 4.896.186.866,75 dan 6,54.

Hasil penilaian terhadap opsi pengelolaan sumberdaya alam dengan menggunakan metode CPI menunjukkan, bahwa untuk sumberdaya mangrove, sustainable management merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 195,1. Untuk shallow water resources, sustainable harvest merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 347,1. Untuk beach resources, beach protected areas merupakan opsi terbaik dengan nilai mencapai 107,0.

Hasil analisis kebijakan pemanfaatan ruang menunjukkan, bahwa berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini (existing condition), kepentingan pengembangan zona industri, serta dengan tetap memperhatikan esensi beberapa koridor ekologi penting, maka kebijakan pemanfaatan ruang darat di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten akan mengalami perubahan mendasar terutama di pesisir barat. Hasil optimasi menunjukkan, bahwa laju peningkatan lahan industri terbangun dan lahan permukiman terbangun di pesisir barat Teluk Banten masih dapat ditekan rata-rata 62,18% dan 3,35% per tahun dari kondisi saat ini, hingga pada akhir periode pengelolaan (tahun 2027) total luas kawasan industri terbangun dan kawasan permukiman terbangun mencapai 5.415 ha dan 9.297 ha. Untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih luas, penghentian total (moratorium) aktivitas penambangan pasir laut di perairan Teluk Banten mutlak dilakukan, mengingat dampak negatif aktivitas tersebut baik secara biofisik, ekonomi maupun sosial. Zona penambangan pasir laut yang ada direkomendasikan untuk dikembalikan pada peruntukan semula, yaitu sebagai zona penangkapan ikan tradisional dan pemanfaatan bersyarat.

Hasil analisis prospektif menunjukkan, bahwa terdapat 5 faktor kunci (key factors) yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten, yaitu pengelolaan sumber dampak, insentif investasi, pengembangan industri, perlindungan fisik habitat dan pemberdayaan masyarakat. Expert judgment menunjukkan, bahwa skenario new urbanism yang berorientasi pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan preservasi ekologi merupakan skenario yang paling implementatif (hasil penilaian mencapai 55%) pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan.

Hasil optimasi menunjukkan, bahwa implementasi kebijakan insentif investasi mampu meningkatkan kinerja investasi rata-rata 6,37% per tahun hingga mencapai USD 580.432.136,37. Tingginya investasi yang didukung oleh kebijakan pengembangan industri mampu meningkatkan pertumbuhan industri rata-rata 0,95% per tahun hingga mencapai jumlah 827 perusahaan.

Peningkatan industri dan jumlah penduduk mendorong peningkatan produksi limbah secara eksponensial. Implementasi kebijakan pengelolaan sumber


(2)

dampak mampu menekan produksi limbah rata-rata 50,75% per tahun dari kondisi saat ini hingga mencapai 312.118.075,34 m3. Sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sumber dampak, regulasi pertambangan yang diberlakukan secara ketat mampu mempertahankan kandungan pasir laut pada posisi mendekati kondisi pada awal periode pengelolaan (134.159.315,68 m3).

Implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan. Hasil optimasi menunjukkan, bahwa pendapatan masyarakat pesisir dapat ditingkatkan rata-rata 123,42% per tahun dari kondisi saat ini hingga mencapai USD 9.285,40. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir didukung oleh peningkatan produksi ikan laut, ikan tambak dan rumput laut secara optimal (rata-rata mencapai 5,41%; 2,19% dan 2,46% per tahun). Peningkatan produksi terjadi seiring dengan peningkatan dayadukung rata-rata 63,07% dari kondisi saat ini hingga mencapai 45.975 fish/1.000 m3. Keberhasilan mempertahankan penutupan karang dan lamun pada luasan semula (yakni 250 ha dan 370 ha) dan kemampuan meningkatkan penutupan mangrove rata-rata 1,19% per tahun hingga mencapai 292 ha dinilai sebagai faktor penting bagi peningkatan dayadukung.

Pada sisi lain, hasil optimasi meningkatkan lapangan kerja rata-rata 21,93% per tahun dari kondisi saat ini hingga dapat menampung 189.282 pekerja. Peranan pesisir pada perekonomian wilayah meningkat rata-rata 0,26% per tahun hingga mencapai 84,16%. Frekuensi konflik menurun rata-rata 63,20% per tahun hingga proses menuju zero conflict dapat berlangsung lebih cepat (tidak tersisa lagi konflik mulai tahun 2024).

Kata kunci: pengelolaan lingkungan berkelanjutan, wilayah pesisir dan laut, sistem dinamik.


(3)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(4)

PENGELOLAAN LINGKUNGAN

WILAYAH PESISIR DAN LAUT TELUK BANTEN

BERKELANJUTAN

SJAIFUDDIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(5)

Judul Disertasi : Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan

Nama : Sjaifuddin

NRP : P 062040021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma'arif, M.Eng. Ketua

Dr.Ir. Etty Riani, M.S. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. Anggota Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(6)