RESTRUKTURISASI BIROKRASI PADA KANTOR PEMERINTAH KOTA BANDARLAMPUNG

(1)

ABSTRACT

BUREAUCRACY RESTRUCTURING IN BANDARLAMPUNG LOCAL GOVERNMENT OFFICE

By

Riko Firmansyah

The consequence of local government autonomy based on law number 32 in 2004 about the local government autonomy and its derivation law imposes local government to restructure its bureaucracy. Based on the paradigm of government management, the bureaucracy restructuring should be able to create a good governance locally.

This research purposes to find out if the Bandarlampung bureaucracy restructuring leads to the good governance, especially in order to develop good governance in region viewed from administration competence, transparency, and efficacy aspects of local government bureaucracy.

The research uses a descriptive qualitative method; to interpret and describe with intellectual comprehension of the research object in line with data and information found in the field.

The result shows that the Bandarlampung bureaucracy restructuring does not lead to the good governance development; from both the restructuring process and its result. The bureaucracy restructuring is conducted in closed process that is limited in the formal structure only; the bureaucracy in the local House of Representative.


(2)

The restructuring predominantly is subjectively based on bureaucrat’s interest. The restructuring result does not realize in organizational and personnel competence improvement, because practically there are duplications of duties and responsibilities among units of bureaucracy. The personnel distribution does not refer to “the right man on the right place” principle, and the personnel promotion is still based on seniority aspect; not the competence. The bureaucracy restructuring does not realize the transparency improvement in local government bureaucracy, because formally the transparency aspect is not accommodated in main duties and function of organization while practically the bureaucracy activity is still closed and tends to be in status quo condition. The bureaucracy restructuring also does not realize the efficacy improvement, because the restructuring does not make Bandarlampung local government to be more efficient; both in using public fund for bureaucracy necessity and in giving public service.

Keywords: restructuring, good governance,administration competence, transparency and efficacy


(3)

ABSTRAK

RESTRUKTURISASI BIROKRASI PADA KANTOR PEMERINTAH KOTA BANDARLAMPUNG

oleh Riko Firmansyah

Konsekuensi implementasi Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan derivasinya, mengharuskan Pemerintah Daerah melakukan restrukturisasi pada birokrasinya. Sesuai dengan paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan, maka Restrukturisasi Birokrasi harus mampu menciptakan pengembangan Good Governance di tingkat lokal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui apakah restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung mengarah pada pengembangan Good Governance, khususnya dalam rangka pengembangan

Good Governance di tingkat daerah, khususnya dilihat dari aspek kompetensi administrasi, transparansi dan efisiensi dari Birokrasi Pemerintah Daerah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu menginterpretasikan dan menggambarkan dengan pemahaman intelektual tentang keadaan objek sesuai data dan informasi yang ditemukan di lapangan.


(4)

Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan analisa peneliti dapat di simpulkan bahwa restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung ternyata tidak mengarah pada pengembangan good governance, baik dilihat dari prosesnya maupun hasil restrukturisasinya. Proses restrukturisasi birokrasi dilakukan dengan cara tertutup atau terbatas hanya dilakukan oleh struktur formal, yaitu Birokrasi (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif). Restrukturisasi birokrasi formulasinya juga dominan didasarkan pada pertimbangan kepentingan subjetif birokrat. Hasil restrukturisasi belum dapat mewujudkan peningkatan kompetensi lembaga dan kompetensi personil, karena dalam praktek birokrasi ternyata masih ditemukan realitas duplikasi atas tugas dan tanggung jawab antar satuan. Distribusi personil belum mengacu pada prinsip “The Right Man on The Right Place” dan dalam promosi personil dominan masih didasarkan pada aspek senioritas bukan kompetensi. Restrukturisasi birokrasi belum dapat mewujudkan peningkatan transparansi dari Birokrasi Pemerintah Daerah, karena secara formal aspek transparansi tidak diakomodasi di dalam tugas pokok dan fungsi organisasi dan secara praktis, aktivitas birokrasi masih tertutup dan cenderung pro status quo. Restrukturisasi Birokrasi juga belum dapat mewujudkan peningkatan efisiensi, karena restrukturisasi ternyata tidak membuat Birokrasi Pemerintah Kota Bandarlampung semakin efisien, baik dalam penggunaan dana publik untuk keperluan birokrasi maupun dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kata Kunci: restrukturisasi, good governance, kompetensi administrasi, transparasi, dan efisiensi


(5)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung belum mengarah pada penerapan (implementasi) prinsip-prinsip Good Governance. Pertama, dilihat dari prosesnya, restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung dilakukan tidak dalam upaya penerapan prinsip-prinsip organisasi yang efektif dan efesien. Restrukturisasi birokrasi formulasinya juga dominan didasarkan oleh pertimbangan kepentingan subjektif birokrat dari pada pertimbangan obyektif. Kedua, dilihat dari hasilnya, restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung tidak dalam kerangka mengakomodasi terjadinya peningkatan kompetensi administrasi, peningkatan transparansi maupun peningkatan efisiensi dari Birokrasi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2. Restrukturisasi birokrasi yang dilakukan Pemerintah Kota Bandarlampung belum mampu menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dalam prosesnya. Prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, dan efektifitas yang seharusnya menjadi pondasi dalam proses restrukturisasi belum mampu diwujudkan.


(6)

B. Saran

1. Untuk menciptakan efisiensi penyelenggaran pemerintahan, maka pembentukan lembaga di Jajaran Birokrasi Pemerintah Daerah perlu memperhatikan prinsip miskin struktur kaya fungsi sehingga perlu dilakukan

regrouping/penyatuan atau penghapusan terhadap lembaga–lembaga yang telah ada dan dianggap menyebabkan ketidakefisienan dalam penggunaan dana APBD untuk keperluan birokrasi.

2. Guna mewujudkan efektifitas pelayanan kepada masyarakat maka semua jajaran organisasi birokrasi yang ada perlu melakukan perbaikan dan beberapa reorientasi. Perbaikan yang harus dilakukan diantaranya perlunya penyederhanaan terhadap prosedur yang telah ada, memberi jaminan ketepatan waktu pelayanan serta adanya kepastian biaya pelayanan. Jaminan ketepatan waktu bisa dilakukan dengan cara memberi kompensasi terhadap masyarakat yang dirugikan.

3. Untuk terciptanya aspek transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka setiap lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah di dalam Tugas Pokok dan Fungsi organisasi tersebut perlunya diakomodasi/dicantumkan kewajiban transparan bagi setiap organisasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya serta diikuti dengan berbagai konsekuensi bila dilanggar. Selain hal tersebut Pemerintah Daerah juga perlu melakukan upaya yang bisa merubah budaya birokrasi model tertutup menjadi kearah yang lebih terbuka.


(7)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi terhadap semua aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah dibawah undang–undang ini tidak sekedar memindahkan sebagian besar kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tetapi undang-undang ini harus membawa makna bagi kesejehteraan rakyat di daerah yang selama ini belum dapat diwujudkan. Kesejahteraan rakyat akan terwujud dengan baik apabila rakyat memiliki keleluasaan untuk menentukan nasibnya sendiri dan memiliki akses serta ruang yang cukup untuk masuk dalam arena proses pengambilan kebijakan publik. Adanya ruang yang cukup bagi rakyat untuk ikut mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik yang akan sangat menentukan nasibnya hanya mungkin tercipta jika ada Demokratisasi.

Demokratisasi menuntut penguatan pada sektor rakyat dari pada sektor pemerintah (birokrasi). Selama dibawah sistem sentralisme, birokrasi sangat dominan dalam menentukan segala aktivitas pembangunan yang menyebabkan rakyat menjadi apatis terhadap pelaksanaan pembangunan yang cenderung hanya sebagai objek. Dalam sistem baru yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, sistemnya dirubah secara total yaitu menempatkan rakyat


(8)

lebih dominan dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan khususnya dalam kontek penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Dalam konteks Otonomi Daerah yang dilaksanakan di daerah, apakah semangat yang dikandung oleh Undang–Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan derivasinya yaitu dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang ingin mewujudkan penguatan pada sisi rakyat dan mengurangi dominasi birokrasi benar-benar diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut implementasinya di daerah sangat menentukan nasib Birokrasi Daerah dan nasib rakyat daerah, sebab apabila Pemerintah Daerah akan benar-benar mewujudkan kehendak memberdayakan rakyat maka dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah tersebut, Birokrasi Daerah harus eksis dengan performa yang slim, efisien dan efektif (miskin struktur kaya fungsi).

Tampilan birokrasi yang besar dan gemuk akan menghabiskan banyak risorsis, fenomena ini telah banyak dilihat dalam praktek birokrasi selama ini baik ditingkat pusat maupun daerah. Organisasi Birokrasi Daerah dari Sabang sampai Merauke dibangun dan dikembangkan dengan menggunakan azas uniformitas. Adaptasi terhadap keragaman aktualitas kontektual lokal tidak direspon secara proporsional. Akibatnya nomenklatur, jenis dan jumlah lembaga (organisasi) yang dikembangkan di seluruh Daerah di Indonesia hampir sama. Apakah organisasi yang dikembangkan tersebut diperlukan dan urgen dalam rangka merespon kepentingan masyarakat lokal atau tidak bukan hal yang penting untuk dijawab.


(9)

Dalam praktek Otonomi Daerah dibawah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Daerah diberi keleluasaan untuk menetapkan/mengembangkan nomenklatur, jenis dan jumlah kelembagaan Birokrasi Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan beban kerja yang ada ditingkat daerah. Dengan materi aturan baru yang demikian, secara implisit sebenarnya ada nuansa kesadaran bahwa praktek pembentukan dan pengembangan kelembagaan Birokrasi Pemerintah Daerah yang uniform sudah tidak relevan dengan dinamika lingkungan internal maupun eksternalnya.

Nuansa implisit lainnya sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa organisasi yang dibentuk Pemerintah Daerah haruslah disesuaikan dengan kondisi kontektual Daerah. Dengan berpedoman kepada hal tersebut diatas maka sebenarnya bagi daerah–daerah yang memiliki volume dan kompleksitas permasalahan yang berbeda dengan daerah lainnya juga harus memiliki, menetapkan dan mengembangkan organisasi di lingkungan pemerintahannya yang berbeda pula.

Bagi daerah yang memiliki volume dan kompleksitas permasalahan yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah lainnya seharusnya juga mengembangkan kelembagaan organisasi yang kecil pula. Ini berarti bahwa organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah yang telah eksis selama ini perlu dikaji ulang untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi dan tuntutan Era Otonomi Daerah.

Meskipun peraturan pemerintah tersebut telah mengisyaratkan akan perlunya sebuah bentuk Birokrasi Daerah yang berbeda dari yang telah ada sekarang ini,


(10)

namun ternyata dalam realitas pelaksanaan Otonomi Daerah di Era Reformasi dan Demokratisasi ini fenomena-fenomena yang ditampilkan oleh Pemerintah Daerah dalam merestrukturisasi dan atau mengembangkan organisasi dilingkungannya masih seperti pada masa sebelumnya.

Birokrasi Daerah masih saja dibangun dengan gaya struktur lama dan cenderung justeru lebih besar dari masa sebelumnya. Dengan adanya tampilan yang demikian maka kehendak untuk mewujudkan pemberdayaan rakyat akan menemui persoalan, sebab sebagian besar dana pemerintah akan tersedot untuk membiayai birokrasi sedangkan untuk pemberdayaan rakyat menjadi tidak terprioritaskan.

Penerapan Peraturan Pemerintah telah memungkinkan terbangunnya sebuah Birokrasi Pemerintahan Daerah yang besar, Peraturan Pemerintah ini sebenarnya dipersiapkan dalam rangka mengakomodasi adanya tuntutan penempatan pegawai yang didasarkan atau berbasis kompetensi. Dengan sistem ini dimungkinkan seseorang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang tertentu bisa dipromosikan dengan cepat untuk menduduki suatu jabatan, karena seseorang dimungkinkan pangkatnya dinaikan secara cepat dalam waktu yang relatif singkat.

Namun dalam realitas praktek Birokrasi Pemerintahan Daerah yang terjadi justeru sebaliknya. Dimana dalam kenaikan pangkat yang dipercepat akomodasi terhadap kepentingan tersebut diatas justeru terabaikan, namun yang terjadi justeru hanya dalam rangka mengakomodasi pengisian jabatan-jabatan yang telah ada karena adanya lowongan jabatan sebagai akibat dari adanya restrukturisasi dan pengembangan Organisasi Birokrasi Pemerintah Daerah.


(11)

Selain hal tersebut di atas, terbangunnya sebuah organisasi birokrasi yang besar juga mengakibatkan terjadinya overlap implementasi tugas pokok dan fungsi antar organisasi yang ada. Banyaknya keragaman organisasi birokrasi yang dibangun oleh Pemerintah Daerah menciptakan potensi terjadinya duplikasi pelaksanaan tugas. Kondisi ini selain menciptakan sulitnya koordinasi pada tataran implementasi kebijakan publik juga berakibat pada pemborosan penggunaan sumber daya. Banyaknya keragaman organisasi yang dibangun juga menciptakan semakin banyak kemungkinan terciptanya garis konflik diantara organisasi birokrasi itu sendiri. Konflik antar organisasi birokrasi diakibatkan oleh adanya rebutan tugas (proyek), sinyalemen ini selain akan menyebabkan inefisiensi juga berakibat terbengkalainya pelayanan publik.

Didasari oleh argumentasi tersebut maka selayaknya dalam restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah maka hal tersebut perlu mendapat pertimbangan yang proporsional, sehingga organisasi birokrasi yang dibangun oleh pemerintah daerah adalah merupakan sebuah organisasi birokrasi yang benar-benar sesuai dengan keinginan jaman.

Secara lebih luas dengan adanya Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah sebenarnya adalah dalam kerangka pengembangan kepemerintahan yang baik

(Good Governance). Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam kerangka Good Governance diharapkan akan menciptakan suatu penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih akuntabel, transparan, responsive, terbuka, efektif dan efisien, karena dengan penyelenggaraan Good Governance


(12)

masyarakat bisa terlibat secara proporsional dalam menentukan kebijakan publik yang dibuat dan akan diimplementasikan.

Dalam pendekatan legal formal maka Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam implementasinya didasarkan pada Peraturan Pemerintah yakni Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Restrukturisasi dilakukan seharusnya tidak sekedar karena adanya tuntutan formal dengan adanya perubahan aturan/paradigma atau hanya dalam rangka mengakomodasi kepentingan internal birokrasi itu sendiri, namun yang lebih penting dan substansial adalah karena adanya kebutuhan objektif di Era Otonomi Daerah yang baru dan secara lebih luas harus mampu menciptakan sebuah kepemerintahan yang baik (Good Governance).

Governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan

administrative. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang mempasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life.

Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governace meliputi tiga domain, yaitu state

(negara/pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan

society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing (LAN, 2001:23).


(13)

Dari ketiga pilar penyokong Good Governance sebagaimana disebutkan di atas, yaitu negara, sektor swasta dan masyarakat sebenarnya semuanya memiliki proporsi yang seimbang, namun mengingat negara memiliki beberapa fungsi, diantaranya fungsi pengaturan yang memfasilitasi sektor swasta dan masyarakat serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan maka dalam kontek ini dapat dikatakan bahwa negara/pemerintah merupakan pemegang peranan paling penting dalam mewujudkan Good Governance.

Mengingat peranan negara yang begitu penting dalam mewujudkan Good Governance maka penelitian ini hanya akan difokuskan pada sisi negara/pemerintah, khususnya mengenai Restrukturisasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan kaitannya dengan pengembangan Good Governance. Dilematis Berbagai kendala mengenai tidak efisiennya struktur birokrasi kemudian membuat Pemerintah Pusat mengundangkan PP No. 41 Tahun 2007 mengenai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menggantikan Peraturan yang lama hal ini kemudian membuat OPD Provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia mengalami perubahan baik dari sisi teknis maupun substansi.

Secara umum unsur perangkat daerah kabupaten ataupun kota terdiri atas 6 unsur, yaitu unsur staf yang merupakan bagain dari sekretariat daerah, unsur perencanaan yang berada pada dibawah pengawasan Bapedda, unsur pelaksana yang merupakan dinas-dinas daerah, unsur pendukung yaitu badan-badan daerah, unsur pengawas yang merupakan bagian dari kantor inspektorat dan sekretariat DPRD. Keenam unsur ini harus saling bersinergi untuk menjalankan peran dan fungsi pemerintahan di daerah.


(14)

Dalam konteks pemerintahan Kota Bandarlampung dalam dua periode kepemimpinan Walikota yakni Drs. Edy Sutrisno, M.Pd. (2005-2010) dan Drs. Herman HN, M.M. (2010-2015) masih memperlihatkan struktur organisasi perangkat daerah yang inefeisinsi, yakni terlalu ’gemuk’ dengan satuan kerja yang ada. Dimana pada saat kepemimpinan Edy Sutrisno terdapat 40 satuan kerja dan pada kepemimpinan Herman HN menjadi 41 satuan kerja.

Secara umum restrukturisasi pasti diawali dengan niatan baik oleh Pemerintah Pusat untuk mewujudkan struktur birokrasi yang lebih baik, akan tetapi terdapat beberapa masalah yang timbul akibat pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 ini setidaknya terdapat 3 (tiga) masalah krusial yang timbul akibat dari implementasi PP ini. Pertama, subjektifitas penempatan pejabat, secara umum penempatan pejabat dalam konteks pemerintahan pusat/daerah melewati beberapa mekanisme salah satu mekanisme yang tidak akan dilewatkan adalah baperjakat. Secara teknis, penempatan pajabat daerah akan dinilai lebih objektif jika peran baperjakat juga dapat objektif dalam melakukan penilaian terhadap siapa-siapa saja yang berhak untuk ‘menduduki’ jabatan tertentu dalam birokrasi.

Kedua, secara umum restrukturisasi birokrasi pemda juga akan sangat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan. Setiap dinas, kantor, badan, kecamatan sampai dengan kelurahan sibuk untuk membenahi persoalan nomenklatur dan struktur pejabat internal masing-masing, ditambah lagi dengan kebiasaan kerja birokrasi pemda yang terkenal lambat dan penuh dengan slogan jika bisa dipersulit kenapa harus dipermudah.


(15)

Ketiga, adalah persoalan tarik menarik kepentingan penempatan pejabat pasca diundangkannya PP No.41 Tahun 2007 yang jauh dari logika the right man in the right position. Setelah diamati lebih detail hubungan transaksional politik tidak hanya terjadi di Partai Politik saja, dalam tubuh birokrasi di era Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pun ternyata yang lebih mementingkan hasil dari transaksi politik tersebut dibandingkan dengan kemampuan personal dalam menjalankan tugas sebagai birokrat. Dan momentum restrukturisasi ala PP 41 juga merupakan bagian dari pembuktian bahwa memang telah terjadi hubungan transaksional tersebut sehingga kedepan akan lebih sering terdengar slogan orangnya bupati/walikota, wakil dan sebagainya dibandingkan dengan slogan kerja baik pasti posisi baik.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan dibahas dan difokuskan dalam penelitian ini adalah: Apakah restrukturisasi birokrasi di Pemerintahan Kota Bandarlampung mengarah pada penerapan prinsip-prinsip Good Governance?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung mengarah pada implementasi Good Governance, khususnya dalam rangka implementasi


(16)

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Secara Akademis, penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu pemerintahan, dan dinamika perkembangannya, khususnya pengembangan birokrasi pemerintahan dari good government ke arah good governance.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan masukan bagi Pemerintah Kota Bandarlampung dalam melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai pelaksanaan kebijakan restrukturisasi birokrasi dalam mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang


(1)

Selain hal tersebut di atas, terbangunnya sebuah organisasi birokrasi yang besar juga mengakibatkan terjadinya overlap implementasi tugas pokok dan fungsi antar organisasi yang ada. Banyaknya keragaman organisasi birokrasi yang dibangun oleh Pemerintah Daerah menciptakan potensi terjadinya duplikasi pelaksanaan tugas. Kondisi ini selain menciptakan sulitnya koordinasi pada tataran implementasi kebijakan publik juga berakibat pada pemborosan penggunaan sumber daya. Banyaknya keragaman organisasi yang dibangun juga menciptakan semakin banyak kemungkinan terciptanya garis konflik diantara organisasi birokrasi itu sendiri. Konflik antar organisasi birokrasi diakibatkan oleh adanya rebutan tugas (proyek), sinyalemen ini selain akan menyebabkan inefisiensi juga berakibat terbengkalainya pelayanan publik.

Didasari oleh argumentasi tersebut maka selayaknya dalam restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah maka hal tersebut perlu mendapat pertimbangan yang proporsional, sehingga organisasi birokrasi yang dibangun oleh pemerintah daerah adalah merupakan sebuah organisasi birokrasi yang benar-benar sesuai dengan keinginan jaman.

Secara lebih luas dengan adanya Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah sebenarnya adalah dalam kerangka pengembangan kepemerintahan yang baik (Good Governance). Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam kerangka Good Governance diharapkan akan menciptakan suatu penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih akuntabel, transparan, responsive, terbuka, efektif dan efisien, karena dengan penyelenggaraan Good Governance memungkinkan semua elemen yang ada yaitu negara, sektor swasta dan


(2)

masyarakat bisa terlibat secara proporsional dalam menentukan kebijakan publik yang dibuat dan akan diimplementasikan.

Dalam pendekatan legal formal maka Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam implementasinya didasarkan pada Peraturan Pemerintah yakni Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Restrukturisasi dilakukan seharusnya tidak sekedar karena adanya tuntutan formal dengan adanya perubahan aturan/paradigma atau hanya dalam rangka mengakomodasi kepentingan internal birokrasi itu sendiri, namun yang lebih penting dan substansial adalah karena adanya kebutuhan objektif di Era Otonomi Daerah yang baru dan secara lebih luas harus mampu menciptakan sebuah kepemerintahan yang baik (Good Governance).

Governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang mempasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governace meliputi tiga domain, yaitu state (negara/pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing (LAN, 2001:23).


(3)

Dari ketiga pilar penyokong Good Governance sebagaimana disebutkan di atas, yaitu negara, sektor swasta dan masyarakat sebenarnya semuanya memiliki proporsi yang seimbang, namun mengingat negara memiliki beberapa fungsi, diantaranya fungsi pengaturan yang memfasilitasi sektor swasta dan masyarakat serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan maka dalam kontek ini dapat dikatakan bahwa negara/pemerintah merupakan pemegang peranan paling penting dalam mewujudkan Good Governance.

Mengingat peranan negara yang begitu penting dalam mewujudkan Good Governance maka penelitian ini hanya akan difokuskan pada sisi negara/pemerintah, khususnya mengenai Restrukturisasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan kaitannya dengan pengembangan Good Governance. Dilematis Berbagai kendala mengenai tidak efisiennya struktur birokrasi kemudian membuat Pemerintah Pusat mengundangkan PP No. 41 Tahun 2007 mengenai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menggantikan Peraturan yang lama hal ini kemudian membuat OPD Provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia mengalami perubahan baik dari sisi teknis maupun substansi.

Secara umum unsur perangkat daerah kabupaten ataupun kota terdiri atas 6 unsur, yaitu unsur staf yang merupakan bagain dari sekretariat daerah, unsur perencanaan yang berada pada dibawah pengawasan Bapedda, unsur pelaksana yang merupakan dinas-dinas daerah, unsur pendukung yaitu badan-badan daerah, unsur pengawas yang merupakan bagian dari kantor inspektorat dan sekretariat DPRD. Keenam unsur ini harus saling bersinergi untuk menjalankan peran dan fungsi pemerintahan di daerah.


(4)

Dalam konteks pemerintahan Kota Bandarlampung dalam dua periode kepemimpinan Walikota yakni Drs. Edy Sutrisno, M.Pd. (2005-2010) dan Drs. Herman HN, M.M. (2010-2015) masih memperlihatkan struktur organisasi perangkat daerah yang inefeisinsi, yakni terlalu ’gemuk’ dengan satuan kerja yang ada. Dimana pada saat kepemimpinan Edy Sutrisno terdapat 40 satuan kerja dan pada kepemimpinan Herman HN menjadi 41 satuan kerja.

Secara umum restrukturisasi pasti diawali dengan niatan baik oleh Pemerintah Pusat untuk mewujudkan struktur birokrasi yang lebih baik, akan tetapi terdapat beberapa masalah yang timbul akibat pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 ini setidaknya terdapat 3 (tiga) masalah krusial yang timbul akibat dari implementasi PP ini. Pertama, subjektifitas penempatan pejabat, secara umum penempatan pejabat dalam konteks pemerintahan pusat/daerah melewati beberapa mekanisme salah satu mekanisme yang tidak akan dilewatkan adalah baperjakat. Secara teknis, penempatan pajabat daerah akan dinilai lebih objektif jika peran baperjakat juga dapat objektif dalam melakukan penilaian terhadap siapa-siapa saja yang berhak untuk ‘menduduki’ jabatan tertentu dalam birokrasi.

Kedua, secara umum restrukturisasi birokrasi pemda juga akan sangat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan. Setiap dinas, kantor, badan, kecamatan sampai dengan kelurahan sibuk untuk membenahi persoalan nomenklatur dan struktur pejabat internal masing-masing, ditambah lagi dengan kebiasaan kerja birokrasi pemda yang terkenal lambat dan penuh dengan slogan jika bisa dipersulit kenapa harus dipermudah.


(5)

Ketiga, adalah persoalan tarik menarik kepentingan penempatan pejabat pasca diundangkannya PP No.41 Tahun 2007 yang jauh dari logika the right man in the right position. Setelah diamati lebih detail hubungan transaksional politik tidak hanya terjadi di Partai Politik saja, dalam tubuh birokrasi di era Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pun ternyata yang lebih mementingkan hasil dari transaksi politik tersebut dibandingkan dengan kemampuan personal dalam menjalankan tugas sebagai birokrat. Dan momentum restrukturisasi ala PP 41 juga merupakan bagian dari pembuktian bahwa memang telah terjadi hubungan transaksional tersebut sehingga kedepan akan lebih sering terdengar slogan orangnya bupati/walikota, wakil dan sebagainya dibandingkan dengan slogan kerja baik pasti posisi baik.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan dibahas dan difokuskan dalam penelitian ini adalah: Apakah restrukturisasi birokrasi di Pemerintahan Kota Bandarlampung mengarah pada penerapan prinsip-prinsip Good Governance?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung mengarah pada implementasi Good Governance, khususnya dalam rangka implementasi Good Governance di tingkat daerah.


(6)

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Secara Akademis, penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu pemerintahan, dan dinamika perkembangannya, khususnya pengembangan birokrasi pemerintahan dari good government ke arah good governance.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan masukan bagi Pemerintah Kota Bandarlampung dalam melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai pelaksanaan kebijakan restrukturisasi birokrasi dalam mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang Good Governance.