Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe)

(1)

STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

(STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE)

TESIS

Oleh

MISWAR

067024037/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

(STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Magister Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MISWAR

067024037/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE

Nama Mahasiswa : Miswar

Nomor Pokok : 067024037 Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) (Drs. Kariono, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 8 Juli 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si Anggota : 1. Drs. Kariono, M.Si

2. Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si 3. Drs. Agus Suriadi, M.Si


(5)

PERNYATAAN

STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 8 Juli 2008


(6)

ABSTRAK

Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Tidak terkecuali yang terjadi di Pemerintah Kota Lhokseumawe. Berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah lain. Oleh karena itu, peneliti ini hendak melihat strategi efisiensi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe dan apa saja kendalanya.

Pembahasan mengenai strategi efisiensi dalam pemerintahan daerah akan terkait dengan beberapa teori atau konsep, diantaranya teori pemerintahan daerah desentralisasi, otonomi dan pemerintahan wirausaha, serta efisiensi beserta strategi efisiensi itu sendiri dari Rodinelli, Osborn dan Gaebler. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan pengamatan langsung dan wawancara semi terstruktur. Informan yang dipilih sebagai sumber data ditentukan secara purposive yang berjumlah 14 orang dan berasal dari pejabat pemerintah dari walikota sampai kepala desa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, Strategi efisiensi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah Strategi Dana, Orang dan Aset, yaitu pendayagunaan anggaran keuangan, personal termasuk struktur organisasi dan seluruh asset/fasilitas/sarana secara seefisien mungkin dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan, manfaat dan kesinambungan yang mengacu pada tujuan organisasi pemerintah daerah dan bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Kedua, efisiensi orang atau personil. Dilakukan dengan restrukturisasi organisasi birokrasi pemerintah daerah yang sebelumnya gemuk dan boros menjadi ramping. Miskin struktur kaya fungsi. Rasionalisasi struktur organisasi ini mencakup jumlah organisasinya dan jumlah jabatan serta jumlah personil yang dibutuhkan.

Ketiga, efisiensi aset/alat. Antara lain dengan pemanfaatan aset berupa gedung, tanah

dan lain-lain secara maksimal.


(7)

ABSTRACT

The efficiency is the normative case that must be done by every organization. In the normative part, the efficiency is a easy thing to said by everyone but it is not easy to be done and it is not a free trouble. It is interesting to learn deeply. It is unexcept that happened in Lhokseumawe government. Every the limitation, the challenges and the problems have different way and it will result different things. A part of area receive the outonomy enthusiastically and high creativity in public serve optimalitation case and reaching security council people. One of areas that is suitable get the appreciation is Lhokseumawe government that has done many case such as innovative programs by the same limitation as other areas. Even though researcher will know the efficient strategy that is held by Lhokseumawe government and the problem is.

The explaination about the efficient strategy in district government will be connected by some theories and concepts, some of them are desentralization of district government, autonomy and industry life, also efficient and efficient strategy it self by Rodinelly, Osborn and Gaebler. Kind of the research that is used is descriptive with kwalitative approach by using direct research the semi structure interview. The object that chosen as data resourch determined purposively that account 14 persons they are from officials government from chief of town to chief of village.

The result of the research shows that the first, the efficient strategy of bureaucracy that done by Lhokseumawe government is fund strategy, people and properties, those are using financial budget, personil include organization structure and all of properties/facilities efficiently by considering needs, usefull and continuing aspect that based of district government organization purpose and resource on safety people. The second, it is the person efficient. It is done by restructurization of district government bureaucracy organization that was before fat and waste to be slim. Poor structure rich function. Rasionalization of the organization structure include amount of organizations officials and people needed. The third, it is equipment efficient. Part of them by using properties such as buildings, lands and soon maximally.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul “Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah” (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan keiklasan dan ketulusan telah banyak memberikan bantuan baik secara moriel maupun materil untuk kelancaran studi dan penulisan tesis ini, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa, B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Bapak Drs. Kariono, M.Si, selaku dosen Pembimbing II, yang telah memberikan waktu dan pemikiran dalam penyelesaian tesis ini 5. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si, selaku dosen Penguji I, yang selalu


(9)

Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku dosen Penguji II, yang tidak bosan-bosannya memberikan waktu dan arahannya dalam penyelesaian tesis ini

6. Bapak Munir Usman, Selaku Wali Kota Lhokseumawe beserta seluruh jajaran yang telah banyak membantu dalam memberikan arahan dan data bagi penulis. 7. Para rekan-rekan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana USU Program Studi- Studi

Pembangunan angkatan X (sepuluh) yang telah memberikan dukungan dan bantuan guna kelancaran studi ini. Segenap civitas akademika, terutama dosen dan staf sekretariat Sekolah Pascasarjana Studi Pembangunan USU yang telah memberikan pelayanan akademik dan adminstratif guna kelancaran studi ini. 8. Teristimewa untuk seluruh anggota keluarga, ibunda sulbiah yang berbahagia,

isteri yang tercinta Asmiati dan anak-anakku Dedy Iswardy, Fachrizaldy, Fachrurrazi dan Fachrurreza yang telah memberikan inspirasi dan dukungan serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di MSP-USU Medan Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut andil dan memberi bantuan langsung maupun tidak langsung, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan atas segala saran dan kritik untuk penyempurnaan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 8 Juli 2008 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Identitas

Nama : Miswar

Tempat/Tgl.Lahir : Aceh Utara, 15 Agustus 1960 Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Jabatan : Kabag. Humas dan Sistem Informasi Setdako Lhokseumawe Alamat : Jalan Cut Nyak Sada 4 Cot Girek Kandang Kec.Muara Dua

Kota Lhokseumawe Status Perkawinan : Kawin

Nama Isteri : Asmiati

Nama Anak : 1. Dedy Iswardy 2. Fachrizaldy 3. Fachrurrazi 4. Fachrurreza Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Kutablang Lhokseumawe...Tahun 1967 – 1972 2. SMP Negeri I Lhokseumawe... Tahun 1974 – 1976 3. SMEA Negeri Lhokseumawe... Tahun 1977 – 1980 4. Fakultas Ekonomi Unima Lhokseumawe... Tahun 1999 – 2003


(11)

Riwayat Pekerjaan

1. Bendaharawan Proyek UPP-PKKR Lhoksukon... Tahun 1980 – 1984 2. Bendaharawan Bag.Pro. Wilayah II Aceh Utara-Tengah... Tahun 1984 – 1985 3. Sekretaris Korpri Sub Unit Dinas Perkebunan Aceh Utara... Tahun 1986 – 1991 4. Bendaharawan Gaji dan Rutin Dinas Perkebunan Aceh Utara. Tahun 1991 – 1995 5. Pj. Kaur Umum Dinas Perkebunan Aceh Utara... Tahun 1996 – 1999 6. Kaur Umum Dinas Perkebunan Aceh Utara... Tahun 1999 – 2001 7. Pj. Kasubbag Umum Disbunhut Aceh Utara... Tahun 2001 – 2005 8. Sekretaris Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lsm... Tahun 2005 – 2007 9. Kabag. Humas dan Sistem Informasi Setdako Lhokseumawe.. Tahun 2008.

Medan, 8 Juli 2008


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 14

1.3. Tujuan Penelitian ... 15

1.4. Manfaat Penelitian ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1. Strategi ... 17

2.2. Efisiensi... 19

2.3. Birokrasi... 20

2.4. Pemerintahan Daerah ... 25

2.4.1. Desentralisasi ... 27

2.4.2. Otonomi Daerah ... 30

2.4.3. Pemerintahan Bercorak Wira Usaha ... 32

2.4.3.1 Entrepreneur dan Entrepreneurship... 32

2.4.3.2 Makna ”Pemerintahan Wirausaha” ... 36

2.4.3.3 Inovasi ... 43

2.4.3.4 Organisasi Berkinerja Tinggi ... 46

2.5. Strategi Efisiensi dan Manajemen Biaya Strategik untuk Mengendalikan Pengeluaran Daerah... 48

2.6. Kesejahteraan Sebagai Fungsi Pelayanan Pemerintah Daerah... 49

2.7. Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha... 50

2.7.1. Strategi Inti... 50

2.7.2. Strategi Konsekuensi... 51

2.7.3. Strategi Pelanggan... 52

2.7.4. Strategi Kontrol... 53


(13)

BAB III METODE PENELITIAN ... 55

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 55

3.2. Teknik Pemilihan Informan ... 56

3.3. Teknik Pengumpulan Data... 58

3.4. Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS... 60

4.1. Gambaran Umum Kota Lhokseumawe... 60

4.1.1. Sejarah Singkat Lahirnya Kota Lhokseumawe ... 60

4.1.2. Letak Geografis Kota Lhokseumawe... 65

4.1.3. Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe ... 67

4.1.4. Lembaga Pendidikan dan Sarana Prasarana Kota Lhokseumawe... 67

4.2. Visi dan Misi Pemerintah Kota Lhokseumawe... 69

4.2.1. Visi ... 69

4.2.2. Misi ... 69

4.3. Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah... 70

4.3.1. Strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe ... 70

4.3.1.1 Strategi Efisiensi Dana... 76

4.3.1.2 Strategi Efisiensi Sumber Daya Manusia... 87

4.3.1.3 Strategi Efisiensi Aset/Alat (Pemanfaatan Sarana) ... 92

4.4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi... 94

4.4.1. Faktor-Faktor Pendukung dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi ... 94

4.4.2. Faktor-Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi ... 97

4.5. Peran Kebijakan Strategi Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat di Lhokseumawe ... 100

4.5.1. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang pendidikan... 102

4.5.2. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang kesehatan... 105

4.5.3. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Ekonomi... 108

4.5.4. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Pelayanan Perizinan... 111

4.5.5. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Pembangunan Insfrastruktur ... 113


(14)

4.6. Analisis... 117

4.6.1. Strategi Efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe... 117

4.6.2. Faktor-faktor yang menjadi Penghambat dan Pendukung dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi... 121

4.6.3. Peran Kebijakan Strategi Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat... 125

BAB V PENUTUP... 127

5.1. Kesimpulan ... 127

5.2. Saran... 129


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Penetapan Informan Berdasarkan Informasi yang dicari ... 57

2. Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe ... 66

3. Jumlah Penduduk dan Konsentrasi Penduduk per kecamatan dalam Kota Lhokseumawe... 67

4. Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Lhokseumawe ... 68

5. Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe ... 68

6. Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe... 69

7. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Lhokseumawe... 102

8. Jumlah Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006... 103

9. Jumlah Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006 ... 104

10. Rasio Sekolah, Guru dan Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe 2006 ... 104

11. Perkembangan Angka Kematian Ibu Hamil dan Bayi Kota Lhokseumawe Tahun 2006 – Mei 2008... 107

12. Struktur Perekonomian Kota Lhokseumawe Tahun 2000-2006... 111

13. Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Penduduk menurut Kecamaan Kota Lhokseumawe... 115


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Grand Strategy Pemerintah Pemko Lhokseumawe dalam

Pemanfaatan Sumber daya ... 75 2. Peran Kebijakan Efisiensi Terhadap Kesejahteraan Rakyat ... 101


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Wawancara dengan Pejabat Pemerintah Kota Lhokseumawe ... 134


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.

Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya


(19)

untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.

Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.

Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaran otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.


(20)

Berbicara soal kesajahteraan, tentu kita be!um bisa berbangga hati dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dewasa ini. Berdasarkan data Menteri Koordinator Perekonomian, pada akhir Tahun 2004 masih terdapat 16 persen penduduk miskin di Indonesia. Apabila menuruti ukuran kemiskinan Bank Dunia US$ 2 per hari, maka masih ada 47 persen penduduk yang tergolong miskin (Tempo Interaktif, 2004), Posisi HDI (Human Development Index) Indonesia pada Tahun 2004 ada di urutan 111 (setingkat di atas Vietnam, tetapi masih di bawah Filipina, Malaysia, dan Thailand). Indeks itu didasarkan pada ukuran pendapatan per kapita serta tingkat pendidikan, kasehatan dan harapan hidup dalam lingkup kesejahteraan nasional. Di bidang pendidikan khususnya, data dari Depdiknas menunjukkan, Tahun 2004 angka putus sekolah SD/MI mencapai 650.000 siswa, sedangkan angka tidak melanjutkan mencapai 500.000. Adapun jenjang SMP/MTs angka putus sekolah mencapai 100.000 dan SMA/MA/SMK mancapai 45.000. Angka-angka tersebut kait-mengait dengan angka buta huruf di Indonesia yang jumlahnya 15,5 juta jiwa.

Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan, mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan kemajuan bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan tentunya. ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal sejak tahun 2003 melalui UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003 sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat nasional dan juga di daerah-daerah.


(21)

Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.

Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo, Kompas 2004). Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efesien, tidak efektif (over

consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan

dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.


(22)

Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.

Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.


(23)

Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994:35-145).

Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang


(24)

diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.

Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.

Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah "perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.


(25)

Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama “managerialism" oleh Pollitt, "new public management” oleh Hood, "market based

public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang

dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.

Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good

governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek

reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang


(26)

partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.

Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge

based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).

Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar ditengah


(27)

gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.

Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.

Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.

Selama beberapa tahun terakhir ini semenjak diberlakukannya otonomi (mulai dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar UU No. 32/2004), kita mulai melihat adanya nuansa baru dalam praktek


(28)

pemerintahan di daerah yang menangkap bola otonomi melalui program-program inovatif dan terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan sedang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan Tabanan, Pemko Deli Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir serta melalui Pengembangan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran Irigasi yang Partisipatif. Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS) dan Pemko Sumba Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi, 2003 dalam Prasojo, Dkk, 2004:2).

Daerah lain yang juga punya prestasi yang tidak kalah menariknya seperti Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu sempat memperoleh penghargaan sebagai daerah dengan iklim investasi terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi terbaik yang disandang oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi, kecepatan, kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan pelayanan one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan dukungan sarana prasarana.


(29)

Pemko Kudus belakangan juga menjadi sorotan para Walikota-waIikota. Para Walikota tersebut ingin belajar dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola pelayanan izin satu pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga mencapai 250%. Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan. "Pemuda Award 2005", karena prestasinya di bidang ini.

Hal yang sama juga terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang tak kalah inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM pemula. Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia harus menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah mendapat kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini, dan untuk itu perlu keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara terpadu. Dampaknya pun langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu pintunya, Walikota Sragen mampu menumbuhkan wirausahawan baru secara sangat signifikan di daerahnya sampai 700% pada Tahun 2004. Dampak ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen yang signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa Tengah seperti Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi pelayanan publiknya dengan pola yang sama.

Satu lagi daerah yang belakangan ini sering menjadi perbincangan di era otonomi daerah adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe. Hal ini dikarenakan sejumlah program inovasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe yang terbukti mampu mengangkat derajat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya.


(30)

Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secare efisien.

Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.


(31)

1.2. Permasalahan

Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.

Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.

Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.

Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan ,


(32)

maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe?

2. Faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut?

3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di Lhokseumawe?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni:

1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program program inovatif.

2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.

3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejateraan rakyat Lhokseumawe.


(33)

1.4. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembahasan mengenai strategi efisiensi birokrasi pemerintahan daerah akan terkait dengan beberapa teori atau konsep, diantaranya teori strategi, efesiensi, birokrasi, pemerintahan daerah, desentralisasi, otonomi dan pemerintahan wirausaha, serta strategi efisiensi itu sendiri. Berikut ini akan dipaparkan pengertian, cakupan dan hakekat dari konsep-konsep tersebut sebagai kerangka teori dari penelitian ini.

2.1. Strategi

Henry Mintzberg mendefenisikan strategi sebagai 5 P, yaitu strategi sebagai PERSPECTIF, strategi sebagai POSISI, strategi sebagai PERENCANAAN, strategi sebagai POLA kegiatan, dan strategi sebagai PENIPUAN (Ploy). Sebagai Perspectif, dimana strategi dalam membentuk misi, menggambarkan perspectif kepada semua aktifitas. sebagai posisi, dimana dicari pilihan untuk bersaing, sebagai perencanaan, dalam hal strategi menentukan tujuan performansi perusahaan, sebagai pola kegiatan, dimana dalam strategi dibentuk suatu pola, yaitu umpan balik dan penyesuaian. dan strategi sebagai penipuan yaitu muslihat rahasia.

Dalam bidang manajemen, defenisi mengenai strategi cukup beragam dan bervariasi dari beberapa ahli dan pengarangnya. Gerry Johnson dan Kevan Scholes (dalam buku “Exploring Corporate Strategi”) misalnya mendefinisikan strategi sebagai arah dan cakupan jangka panjang organisasi untuk mendapatkan keunggulan


(35)

melalui konfigurasi sumber daya alam dan lingkungan yang berubah untuk mencapai kebutuhan pasar dan memenuhi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder).

Menurut Iman Mulyana, Strategi adalah ilmu dan seni menggunakan kemampuan bersama sumberdaya dan lingkungan secara efektif yang terbaik. Terdapat empat unsur penting dalam pengertian strategi yaitu: kemampuan, sumberdaya, lingkungan, dan tujuan. Empat unsur tersebut sedemikian rupa disatukan secara rasional dan indah sehingga muncul beberapa alternatif pilihan yang kemudian dievaluasi dan diambil yang terbaik. Lantas hasilnya diumumkan secara tersurat sebagai pedoman taktik yang selanjutnya turun pada tindakan operasional. Rumusan strategi paling tidak mesti memberikan informasi apa yang akan dilakukan, mengapa dilakukan demikian, siapa yang bertanggung jawab dan mengoperasionalkan, berapa besar biaya dan lama waktu pelaksanaan, hasil apa yang akan diperoleh. Akhirnya tidak terlupa keberadaan strategipun harus konsisten dengan lingkungan, mempunyai alternatif strategi, fokus keunggulan yang menyeluruh, mempertimbangkan kehadiran resiko, serta dilengkapi tanggung jawab sosial. Singkatnya strategi yang ditetapkan tidak boleh mengabaikan tujuan, kemampuan, sumber daya, dan lingkungan. Pengabaian terhadap kualitas maupun kuantitas salah satunya memastikan dan membuka keberadaan titik serang kompetitor.

Dari berbagai pengertian dan defenisi mengenai strategi, secara umum dapat didefinisikan bahwa strategi itu adalah rencana tentang serangkaian tindakan, yang mencakup seluruh elemen yang terlihat maupun yang tidak terlihat, untuk menjamin keberhasilan mencapai tujuan.


(36)

2.2. Efesiensi

Hal yang paling rawan adalah apabila efesiensi diartikan sebagai penghematan, karena bisa menggangu operasi, sehingga pada gilirannya akan mengganggu hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan juga tidak setinggi yang diharapkan.

Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efesiensi. Persepsi yang tidak tepat mengenai efesiensi dengan menganggap semata-mata sebagai penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai program pengurangan biaya (Cost reduction program), yang sebaliknya dipandang sebagai Program perbaikan biaya (Cost improvement program) yang berarti mengefektifkan biaya. (Kisdarto, 2002:139)

The Liang Gie dalam rujukan Filsafat Administrasi menyebutkan, Efesiensi adalah perbandingan terbaik antara suatu kegiatan dengan hasilnya, menurut defenisi ini, efesiensi terdiri atas dua unsur yaitu kegiatan dan hasil dari kegiatan tersebut. Kedua unsur ini masing – masing dapat dijadikan pangkal untuk mengembangkan pengertian efesiensi berikut

a. Unsur kegiatan yaitu suatu kegiatan dianggap mewujudkan efesiensi kalau suatu hasil tertentu tercapai dengan kegiatan terkecil. Unsur kegiatan terdiri dari lima sub unsur, yaitu pikiran, tenaga, bahan, waktu dan ruang.

b. Unsur hasil yaitu suatu kegiatan dianggap mewujudkan efesiensi kalau dengan suatu kegiatan tertentu mencapai hasil yang terbesar, unsur hasil terdiri dari dua sub unsur, yaitu jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas).


(37)

Efesiensi merupakan sebuah konsep yang bulat pengertiannya dan utuh jangkauannya. Hal ini berarti bagi efesiensi tidak tepat dibuat tingkat-tingkat perbandingan derajat, seperti ”lebih efisien” atau ”paling efesien”. Efesiensi adalah perbandingan terbaik diantara dua unsur kegiatan dan hasilnya. Oleh karena itu tidaklah mungkin dikatakan perbandingan yang ”lebih” atau ”paling” terbaik. Kemungkinannya adalah efisiensi dan nonefisiensi.

2.3. Birokrasi

Birokrasi seringkali memiliki makna ganda yang berbeda, pertama ia selalu dikaitkan dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayananan – pelayanan pemerintah, seperti kelambanan, kekakuan, pungli, dan korupsi. Ini terjadi karena persepsi masyarakat mengenai birokrasi sebagai salah satu sumber pelayanan publik pada umumnya cenderung negatif, namun disamping makna yang negatif itu, birokrasi sebenarnya memiliki makna yang lain. Birokrasi sebagaimana dijelaskan oleh Weber, adalah suatu organisasi modern yang memiliki struktur tertentu, seperti hirarkhi, spesialisasi, impersonalitas, dan formalisasi yang memungkinkan ia bekerja secara efisien dan efektif,. Namun karena dalam banyak kasus birokrasi publik sering kali gagal dalam memberi pelayanan yang efisien dan adil kepada masyarakat maka makna yang pertama itu yang kemudian dominan dalam masyarakat.

Perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalah pahaman umum bahwa pengertian birokrasi diberikan kepada hal–hal seperti jika seorang ingin mendapatkan


(38)

informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang lain, tanpa mendapat informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi dihubungkan dengan kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak adanya efesiensi. Padahal pengertian birokrasi yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi dimaksud untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Dalam perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988).

Menurut (Blau dan Page, 1956) birokrasi justeru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efesiensi administratif, biarpun kadangkala dalam pelaksanaannya birokratisasi akibatnya seringkali malahan kurang adanya efesiensi.

Istilah birokrasi pertama kali diperkenalkan oleh max Weber, sosiolog Jerman. Birokrasi merujuk pada hubungan rasional sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam wujud konkritnya, hubungan tersebut terwadahi dalam organisasi. Melalui organisasi sekelompok orang berkumpul dan bersepakat melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu yang disepakati.


(39)

Agar hubungan antar orang dalam organisasi tersebut berjalan efektif sehingga tujuan bisa dicapai secara efektif dan efisien, maka hubungan tersebut harus diatur secara rasional. Pertama, hubungan tersebut harus diatur dalam bentuk peraturan. Dengan peraturan yang jelas maka peran yang dimainkan seseorang dalam organisasi, wewenang dan batas-batasnya jelas. Kedua, harus dibuat tata jenjang hirarki dan tingkat kewenangan. Ini berarti bahwa ada tata jenjang tingkat atas dan tingkat bawah. Yang berada pada tingkat atas mempunyai kewenangan dan mengendalikan tingkat bawahnya. Ketiga, harus didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis. Keempat, orang yang menduduki jabatan dalam organisasi tersebut harus orang yang terlatih, Kelima, hubungan kerja di antara orang-orang dalam organisasi didasarkan pada hubungan impersonal: tak mendasarkan pada hubungan-hubungan yang bersifat pribadi seperti belas kasih, tak tega, kasihan, dan lain-lain karena saudara / keluarga / teman baik.

Birokrasi lokal yaitu organisasi pemerintahan daerah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan daerah untuk mencapai tujuan negara pada lingkup daerah. Birokrasi lokal terdiri atas kepala daerah beserta aparaturnya. Pada daerah Pemkab dan kota berarti Bupati/walikota dan aparaturnya sekretaris daerah dan bawahannya, kepala dinas dan bawahannya, kepala kantor dan bawahannya, kepala badan dan bawahannya, camat dan bawahannya, lurah dan bawahannya, dan direktur BUMD dan bawahannya.


(40)

Semua aparatur pemerintah daerah diluar kepala daerah yang duduk dalam birokrasi lokal disebut birokrat lokal. Para birokrat lokal bekerja atas dasar sistem merit, yaitu kecakapan dan keahlian.

Birokrasi lokal merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah. Dengan desentralisasi/otonomi daerah maka lahirlah daerah otonomi yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Disebut birokrasi lokal karena organisasi birokrasi ini berada dibawah pemerintahan lokal (daerah).

Kedudukan dan tugas pokok birokrasi lokal sebagai pelaksana kebijakan pemerintah daerah, baik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan maupun pemerintah pusat. Sedangkan fungsinya adalah memberikan pelayanan publik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan. Dalam hal memberikan pelayanan publik, sesuai dengan lima prinsip konsep birokrasi Max Weber, maka birokrasi lokal harus profesional dalam memberikan pelayanan publik, yang mencakup pelayanan publik, pembangunan infrastruktur ekonomi, dan penciptaan ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat.

Ciri-ciri utama dari struktur birokrasi didalam tipe idealnya menurut Max Weber adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan-kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi dalam cara yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Pembagian kerja yang jelas ini memungkinkan untuk mengerjakan tenaga-tenaga spesialisasi dalam tiap jabatan, dan membuat mereka bertanggung jawab untuk pelaksanaan efektif dari tugasnya tersebut.


(41)

2. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarki, yaitu jabatan yang lebih rendah berada dibawah pengawasan atau pimpinan dari pada jabatan yang lebih atas. Setiap pejabat didalam hirarki administratif ini dapat diminta pertanggungan jawabnya oleh atasannya mengenai keputusan atau kegiatan pejabat yang dibawah pimpinannya itu. Supaya ia dapat memimpin bawahan, seorang mempunyai kewenangan atas bawahan tersebut, yaitu mempunyai hak untuk mengeluarkan petunjuk/instruksi dan bahwa atas kewenangan itu, bawahan diminta kesediaannya untuk menuruti. Kewenangan tersebut hanyalah terbatas kepada pemberian petunjuk/instruksi yang relevan dengan tugas atau fungsi jabatan. Penggunaan dari prerogatif status untuk memperluas kekuasaan terhadap bawahan tidak dibenarkan karena tidak sesuai pelaksanaan kewenangan birokratis yang sah (legitimate).

3. Operasi-operasi atau pelaksanaan kegiatan, dikendalikan oleh suatu sistem peraturan yang konsisten dan pelaksanaan dari pada peraturan-peraturan ini terhadap kejadian atau kasus-kasus tertentu. Sistem dari standar ataupun peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan, tanpa melihat jumlah orang yang terlibat didalamnya, serta untuk koordinasi berbagai tugas. Peraturan atau tata cara tersebut juga memberikan pembatasan wilayah tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan antar mereka. Pelaksanaan kegiatan yang mendasarkan diri kepada peraturan atau standar-standar tersebut dipakai untuk jabatan di tingkat bawah yang bersifat rutin, tetapi juga untuk jabatan-jabatan tinggi ada standar untuk menjadi dasar pelaksanaan kegiatannya. 4. Pejabat yang ideal dalam sesuatu birokrasi melaksanakan kewajiban didalam

semangat formil non pribadi. Artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Supaya standar-standar rasional dapat berjalan dalam pelaksanaan kegiatan tanpa gangguan pertimbangan yang bersifat pribadi, maka suatu pendekatan yang non pribadi harus berlaku didalam suatu organisasi dan terutama kepada pelanggan. Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi didalam urusan jabatan berarti suatu pra kondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk efisiensi. Dan sebetulnya hal ini adalah untuk keuntungan mereka yang dilayani. Dengan sikap pelayanan yang sama berarti juga membina demokrasi dalam administrasi.

5. Penempatan kerja didalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Didalam suatu organisasi birokrasi, penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karir. Ada sistem promosi, entah atas dasar senioritas atau prestasi atau kedua-duanya. Kebijaksanaan kepegawaian demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan tumbuhnya jiwa korps diantara para anggotanya. Identifikasi anggota organisasi dengan organisasinya merangsang mereka mengusahakan tujuan dan kepentingan organisasi secara lebih baik.


(42)

6. Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisien tingkat tertinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efisien dari pada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya. Birokrasi memecahkan masalah organisasi yang utama, yaitu memaksimalkan efisiensi organisasi dan bukan dari masing-masing anggota organisasi tersebut. Untuk inilah maka diperkembangkan spesialisasi dan pengadaan serta penempatan kerja pegawai atas dasar kualifikasi teknis.

2.4. Pemerintahan Daerah

Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalam wilayahnya. Makin tinggi praktek-praktek diskriminasi, akan makin kuat menciptakan tuntutan akan otonomi. Tuntutan tersebut ditujukan agar golongan minoritas dapat menikmati hak-hak yang sama dengan yang dinikmati oleh golongan mayoritas. Di berbagai belahan dunia, desentralisasi juga dipakai sebagai suatu alat untuk meredam gejolak politik yang ditimbu!kan oleh golongan separatis. Dari situasi ini muncullah kebutuhan untuk mendesentralisasikan sebagian kewenangan pemerintah dalam konotasi politik maupun administratif. Dalam konteks ini timbul kebutuhan membuat kebijakan membentuk unit pemerintahan lokal, dengan kewenangan-kewenangan yang berkarakter lokal, dengan suatu asumsi bahwa masyarakat setempatlah yang paling tahu persoalan-persoalan yang dihadapinya dan cara-cara untuk memecahkan persoalan tersebut secara efektif. Oleh karena itu keberadaan pemerintahan sendiri di tingkat daerah adalah sangat penting untuk artikulasi kepentingan rakyat daerah yang pada akhirnya secara kumulatif akan menguntungkan persatuan dan kesatuan negara


(43)

Secara tradisional, argumen keberadaan pemerintah daerah lebih dititikberatkan pada kepentingan untuk mengetahui kondisi daerah untuk menangani persoalan-persoalan daerah secara lebih efektif. Tujuan lainnya adalah bahwa dengan adanya pemerintah daerah akan memungkinkan adanya interaksi yang efektif antara rakyat dengan wakil-wakilnya ataupun dengan birokrasi pemerintah daerah.

Hoessein menjelaskan bahwa konsep Pemerintahan Daerah (local

Government) dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal. Kedua,

berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga, berarti daerah otonom. Local Government pada arti pertama menunjuk pada lembaga atau organnya. Maksudnya local Government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di daerah.

Local Government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi/kegiatannya.

Dalam arti ini local Government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks Indonesia pemerintahan daerah dibedakan dengan istilah pemerintah daerah. Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan bentuk pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya. Dengan kata lain, pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

De Guzman dan Taples, menyebutkan unsur-unsur .pemerintahan daerah yaitu :

1. Pemerintahan daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara

2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum


(44)

penduduk setempat

4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundangan

5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya.

Hoessein menjelaskan bahwa otonomi daerah berhubungan dengan pemerintahan daerah otonom (self local-Government). Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional.

2.4.1. Desentralisasi

Berdasarkan realitas negara-negara yang ada di dunia Bowman dan Hampton dalam Oentarto,dkk. berpendapat bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan ini dapat dilihat urgensi kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar pemerintah pusat itu sendiri. Dalam pengertian yang luas, penyerahan atau pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat tersebut masuk dalam domain kebijakan desentralisasi

Argumen di atas memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya otonomi daerah tidak lain merupakan refleksi dari power sharing yaitu pembagian atau


(45)

distribusi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan kebijakan desentralisasi. Konsep power sharing tersebut dilakukan oleh pemerintah mengingat luasnya wilayah negara yang harus dikelola.

Rondinelli dalam Oentarto dkk, mengatakan bahwa desentra!isasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Dalam hak kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah, kebijakan tersebut disebut devolusi. Sedangkan kalau kewenangan dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan di daerah, maka hal tersebut masuk dalam kategori kebijakan dekonsentrasi.

Sebagai model pertama pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah seperti pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan lembaga yang dibentuk dengan kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut instansi vertikal dan wilayah kerjanya disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom.

Pada umumnya semua negara yang mempunyai wilayah yang luas menganut kebijakan desentralisasi yang dimanifestasikan dalam bentuk unit pemerintahan bawahan (sub-national government). Kebijakan desentralisasi ini dilakukan untuk menjaga agar kegiatan pemerintahan dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Oentarto, Suwandi, Riyamadji, 2004:11).


(46)

Khusus untuk pemahaman di Indonesia, apa yang secara umum dipahami sebagai devolusi, dalam praktik pemerintahan disebut dengan istilah desentralisasi. Sedangkan istilah dekonsentrasi dalam praktek di Indonesia tidak mengalami perubahan pengertian. Dekonsentrasi tetap dipahami sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan di daerah untuk menjalankan sebagian dari kewenangan pusat yang dilaksanakan di daerah.

Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kerja di pemerintah pusat. Program didesentralisasikan dengan harapan keterlambatan-keterlambatan dapat dikurangi. Juga diperkirakan desentralisasi akan meningkatkan pemerintah menjadi lebih tanggap pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah pada rakyatnya. Desentralisasi sering juga dimaksudkan sebagai cara untuk mengelola pembangunan ekonomi secara lebih efektif dan efisien.

Dilain pihak desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala persoalan.-persaoalan timbul dalam pelaksanaan.

Secara ekonomis desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi yang terlihat dari terpenuhinya kebutuhan rakyat daerah melalui pelayanan yang diberikan oleh


(47)

pemerintah daerah. Desentralisasi merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam atas barang dan jasa publik sesuai dengan kekhususan wilayahnya. Sebagai contoh, pemerintah daerah menyediakan fasilitas-fasilitas pariwisata untuk daerah dengan potensi pariwisata yang dominan. Secara ekonomis desentralisasi dapat mengurangi biaya dan meningkatkan pelayanan pemerintah karena mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan secara efektif memanfaatkan sumber daya manusia.

Atas dasar berbagai argumen tersebut, maka dapat disimpulkan adanya dua tujuan utama dari kebijakan desentralisasi. Pertama adalah tujuan politis yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah dalam usaha menggalang stabilitas politik nasional. Kedua adalah tujuan administratif dan ekonomis yaitu untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-daerah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat.

2.4.2. Otonomi Daerah

Otonomi mempunyai arti pemerintah sendiri dimana auto berarti sendiri dan nomes berarti pemerintahan. Lebih spesifik lagi Manan mengemukakan bahwa otonomi mengandung arti “kemandirian” untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri dimana beliau mendefinisikan sebagai “Kebebasan dan

kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus


(48)

secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi”. Perlu ditekankan kembali disini bahwa arti kebebasan dan

kemandirian disini adalah dalam arti ikatan kesatuan yang lebih besar.

Menurut Pide, pada dasarya penyelenggaraan azas desentralisasi akan menghasilkan “daerah otonomi”, sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom yang menjadi hak atau kewenangannya di sebut “otonomi daerah” atau otonomi saja.

Daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pusat dengan cara desentralisasi atau devolusi menjadi daerah otonom. Daerah ini disebut daerah otonom karena penduduknya berhak mengatur dan mengurus kepentigannya berdasarkan prakarsanya sendiri. Maksudnya daerah tersebut memiliki kebebasan untuk mengatur dan mengurusi urusan-urusan rumah tanggannya (kepentingannya sendiri) yang diperbolehkan oleh undang-undang tanpa mendapat campur tangan langsung dari pemerintah pusat. Di sini posisi pemerintah pusat hanya mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan agar penyelenggaraan otonominya tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan yang diterapkan

Contoh daerah otonom (local self Government) adalah Pemkab dan kota. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pemkab dan Kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada Pemkab dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah


(49)

otonom penuh. Hal ini berbeda dengan status Pemkab dan kota di bawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di bawah undang-undang ini Pemkab dan kota, disamping sebagai daerah otonom juga sebagai daerah/wilayah administrasi atau local state Government.

Perbedaan antara daerah otonomi dengan otonomi daerah adalah daerah otonomi menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi atau kebebasan masyarakat. Charles Eisenmann menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan. Sementara The Liang Gie menjelaskan otonomi adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang mencakup mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan penduduk. Jadi, otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, msngendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku.

2.4.3. Pemerintahan Bercorak Wirausaha 2.4.3.1. Entrepreneur dan Entrepreneurship

Kajian mengenai pemerintahan berjiwa wirausaha tidak bisa dilepaskan dari pembahasan kewirausahaan dalam pengertian atau sudut pandang bisnis sebagai


(50)

Istilah ”entrepreneur” berasal dari perkataan bahasa Perancis dan secara harfiah berarti perantara (Bahasa Inggris: Between-taker atau go-between). Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para entrepreneur seringkali tidak dibedakan dengan kelompok manajer dan kelompok pengusaha terutama dipandang dari sudut perspektif ekonomi. Pada pertengahan abad ke-20. muncullah pandangan tentang seorang entrepreneur sebagai seorang inovator/orang yang menemukan hal-hal baru (Winardi, 2003:2-3).

Schumpeter seorang ekonom yang banyak melakukan penelitian-penelitian tentang entrepreneur, mengemukakan (Winardi, 2003:3) :

“Fungsi para entrepreneur adalah mengubah atau merevolusionerkan pola

produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau secara !ebih umum, sebuah kemungkinan teknogikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru, atau memproduksi sebuah komoditi lama dengan cara baru, membuka sebuah sumber suplai bahan-bahan baru, atau suatu cara penyaluran baru (ingat saluran distribusi dalam kegiatan pemasaran), atau mereorganisasi sebuah industri baru”.

Mengenai siapa yang layak disebut sebagai entrepreneur, Drucker menisbatkannya kepada seorang yang mampu mengalihkan sumber-sumber daya dari daerah-daerah yang menghasilkan hasil rendah atau hasil-hasil yang sedang menyusut, ke bidang-bidang yang memberikan hasil tinggi, atau yang meningkat. Ia perlu memangkas masa lampau dan ia perlu melepaskan apa yang berlaku. Ia harus menciptakan hari esok (Winardi, 2003:13). Drucker menekankan pada bahwa sumber-sumber daya harus dialokasikan ke peluang-peluang bukan masalah-masalah, maksimalisasi peluang merupakan sebuah definisi berarti bahkan sangat tepat untuk


(51)

pekerjaan entrepreneurial. Ia mengimplikasikan bahwa efektivitas dan bukanlah efisiensi bersifat esensial di lingkungan bisnis.

Menurut Schermerhorn dalam Winardi (2003:16-17), ada sejumlah karakteristik tipikal entepreneur yang antara lain mencakup:

a. Lokus pengendalian internal: para entrepreneur beranggapan bahwa mereka berkemampuan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri, mereka mampu mengarahkan diri mereka, dan mereka menyukai otonomi.

b. Tingkat energi tinggi: para entrepreneur merupakan manusia yang persisten, yang bersedia bekerja keras, dan mereka bersedia untuk berupaya ekstra untuk meraih keberhasilan.

c. Kebutuhan tinggi akan prestasi: para entrepreneur termotivasi untuk bertindak secara individual untuk melaksanakan pencapaian tujuan-tujuan yang menentang. d. Toleransi terhadap ambiguitas: para entrepreneur merupakan manusia yang

bersedia menerima resiko; mereka mentoleransi situasi-situasi yang menunjukkan tingkat ketidakpastian tinggi.

e. Kepercayaan diri : para entrepreneur merasa diri kompeten, dan mereka yakin akan diri mereka sendiri, dan mereka bersedia mengambil keputusan-keputusan. f. Berorientasi pada action: para entrepreneur berupaya agar mereka bertindak

mendahului munculnya masalah-masalah, mereka ingin menyelesaikan tugas-tugas mereka secepat mungkin dan mereka tidak bersedia menghamburkan waktu yang berharga.


(52)

Pengertian entrepreneurship oleh Hisrich didefinisikan sebagai proses di mana diciptakan sesuatu yang berbeda, dan yang bernilai, melalui pengorbanan waktu, dan upaya yang diperlukan di mana orang yang bersangkutan menerima resiko finansial-psikologikal dan sosial, untuk mana ia menerima imbalan moneter dan kepuasan pribadi (Winardi, 2003:164).

Schumpeter melukiskan entrepreneurship sebagai sebuah proses dan para

entrepreneur dianggapnya sebagai inovator yang memanfaatkan proses tersebut

untuk menghancurkan kondisi status quo melalui kombinasi-kombinasi baru sumber-sumber daya metode-metode perniagaan baru (Winardi, 2003:14)

Adapun pandangan modern tentang entrepreneurship menerima kenyataan bahwa individu-individu memainkan peranan maha penting dalam hal mengintroduksi perubahan inovatif, dan bahwa pertumbuhan serta pengembangan muncul karena perubahan konstruktif, dan bahwa birokrasi-birokrasi yang stagnan,

perlu diganti dengan organisasi-organisasi entrepreneurial yang terdesentralisasi, adaptif serta kreatif (Winardi, 2003:14)

Menurut Schermerhorn, entrepreneurship merupakan perilaku dinamik, menerima risiko, kreatif serta yang berorientasi pada pertumbuhan. Seorang entrepreneur merupakan seorang individu yang menerima resiko, dan yang melaksanakan tindakan-tindakan untuk mengejar peluang-peluang da!am situasi dimana pihak lain tidak melihatnya atau merasakannya, bahkan ada kemungkinan bahwa pihak lain tersebut menganggapnya sebagai problem-problem atau bahkan ancaman-ancaman (Winardi, 2003:16).


(53)

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa entrepreneurship adalah sebuah proses (penerimaan/sebuah ide dan menginvensi sebuah organisasi guna mengembangkan ide tersebut) dan para entrepreneur merupakan inovator yang memanfaatkan proses tersebut sebagai alat untuk menghancurkan kondisi status Quo melalui kombinasi-kombinasi baru, sumber-sumber daya dan metoda-metode baru dalam bidang perniagaan. la juga berusaha mengalihkan sumber-sumber daya dari daerah-daerah yang menghasilkan hasil rendah atau hasil-hasil yang sedang menyusut, ke bidang-bidang yang memberikan hasil tinggi, atau yang meningkat.

Entrepreneur memiliki karakteristik tertentu yang kebanyakan dinilai positif, juga

menunjang pencapaian sasarannya.

Hal lain yang cukup penting adalah saat ini telah mulai digunakan cara pandang bahwa selain entrepreneurship menerima kenyataan bahwa individu-individu memainkan peranan maha penting dalam hal mengintroduksi perubahan inovatif, juga dalam kaitannya dengan birokrasi bahwa birokrasi-birokrasi yang stagnan, perlu diganti dengan organisasi-organisasi entrepreneurial yang terdesentralisasi, adaptif serta kreatif

Dengan pertimbangan di atas maka bisa dikatakan bahwa seorang birokrat dapat pula bertindak sebagai seorang entrepreneur.

2.4.3.2. Makna “Pemerintahan Wirausaha”

Pada Tahun 1992 Osborn dan Gaebler sempat menggemparkan public Amerika maupun dunia (terutama para akademisi dan praktisi administrasi publik)


(54)

dengan mengusung ide Pemerintahan Wirausaha yang terkenal dengan 10 prinsipnya. Osborn dan Gaebler sendiri mengakui (1996:xvi) bahwa istilah pemerintahan wirausaha mungkin mengejutkan. banyak pihak, yang berfikir bahwa wirausaha semata-mata adalah pria atau wanita yang menjalankan bisnis. Tetapi arti sebenarnya dari kata wirausaha (entrepreneur) Jauh lebih luas. Kata ini diciptakan oleh ahli ekonomi kebangsaan Perancis, J.B.Say, sekitar tahun 1800. "Wirausaha." Tulis Say.”memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas.

Menurut Osborn dan Gaebler definisi Say berlaku juga bagi sektor swasta, pemerintah, dan sukarelawan atau sektor ketiga. Pengawas dan kepala sekolah yang dinamis menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan etektivitas. Para manajer bandar udara yang inovatif melakukan hal yang sama. Anggota komisi kesejahteraan, menteri tenaga kerja, staf departemen perdagangan -semua dapat memindahkan sumber daya ke wilayah yang produktivitas dan hasilnya lebih tinggi. Wirausaha pemerintah yang dimaksud adalah orang-orang yang melakukan persis seperti ini. Bila berbicara mengenai model wirausaha, yang dimaksud adalah lembaga sektor pemerintah yang mempunyai kebiasaan bertindak seperti ini- yang tetap menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk mempertinggi efisiensi dan efektivitas mereka (Osborne dan Gaebler, 1996:xvi)


(55)

Osborne dan Gaebler memposisikan pemerintahan wirausaha sebagai solusi di bidang pemerintahan karena kebangkrutan/ketidakmampuan birokrasi dalam memecahkan berbagai persoalan (yang semakin kompleks) dengan cepat dan efektif dan tuntutan perubahan yang semakin kuat. Pemerintahan wirausaha adalah anti tesis dari fakta pemerintahan dengan etos yang lamban, tidak efisien, impersonal dan memiliki kecenderungan rutin menolak perubahan, membangun, kerajaan, memperbesar lingkup kendali seseorang, melindungi proyek / program (yang tidak peduli masih diperlukan atau tidak).

Sebaliknya, pemerintahan bergaya "wirausaha" akan mencari cara yang lebih efisien dan efektif dalam mengelola. Pemerintahan wirausaha dicirikan bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif, dan kreatif, serta berani mengambil risiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana penghasil uang ketimbang penguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif tradisional yang hanya memberikan system penopang hidup. Ia bekerja sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan dan mengadakan berbagai usaha yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan terhadap jasa. Ia pun mengatakan, "Mari kita selesaikan pekerjaan ini," dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar (Osborne dan Gaebler, 1996:20)

Secara lebih rinci Osborne dan Gaebler (1996:29-341) memetakan pemerintahan wirausaha dengan uraian 10 prinsipnya, yaitu:


(56)

1. Pemerintahan Katalis

Pemerintahan Katalis memisahkan fungsi pemerintah sebagai pengarah (membuat kebijakan, peraturan, undang-undang) dengan fungsi sebagai pelaksana (fungsi penyampai jasa dan penegakan). Selain itu, kemudian mereka menggunakan berbagai metode (kontrak, voucher, hadiah, insentif pajak, dan sebagainya) untuk membantu organisasi publik mencapai tujuan, memilih metode yang paling sesuai untuk mencapai efisiensi, efektivitas, persamaan, pertanggungjawaban, dan fleksibilitas.

2. Pemerintahan Milik Masyarakat

Pemerintah milik masyarakat mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan. oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pegawai negeri (dan juga pejabat terpilih, politisi) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah.

3. Pemerintahan Kompetitif

Pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan.


(57)

4. Pemerintahan Berorientasi Misi

Pemerintah berorientasi misi melakukan deregulasi internal, menghapus banyak peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan sistem administratif, seperti anggaran, kepegawaian, dan pengadaan Mereka mensyaratkan setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas, kemudian memberi kebebasan kepada manajer untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut, dalam batas-batas legal.

5. Pemerintahan Berorientasi pada Hasil

Pemerintah yang result-oriented mengubah fokus dari input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai ketetapan) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mereka mengukur kinerja badan publik, menetapkan target, memberi imbalan pada badan-badan yang mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya anggaran.

6. Pemerintahan Berorientasi Pelanggan

Pemerintah berorientasi pelanggan memperlakukan masyarakat yang dilayani -siswa, orang tua -siswa, pembayar pajak, orang mengurus KTP, pelanggan telepon, sebagai pelanggan. Mereka melakukan survei pelanggan, menetapkan standar pelayanan, memberikan jaminan dan sebagainya. Dengan masukan dan insentif ini, mereka mendesain organisasinya untuk menyampaikan nilai maksimum kepada pelanggan.


(58)

7. Pemerintahan Wirausaha

Pemerintah berusaha memfokuskan energinya bukan sekedar untuk menghabiskan anggaran. Tetapi juga menghasilkan uang. Mereka meminta masyarakat yang dilayani untuk membayar, menurut return of investment. Mereka memanfaatkan insentif seperti dana usaha, dan inovasi untuk mendorong para pimpinan badan pemerintah berpikir mendapatkan dana operasional.

8. Pemerintahan Antisipatif

Pemerintahan antisipatif adalah pemerintahan yang berpikir ke depan. Mereka mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menghilangkan masalah. Mereka menggunakan perencanaan strategi pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.

9. Pemerintahan Desentralisasi

Pemerintah Desentralisasi adalah pemerintah yang mendorong wewenang dari pusat pemerintahan melalui organisasi atau sistem. Mendorong mereka yang langsung melakukan pelayanan, untuk lebih berani membuat keputusan sendiri. 10. Pemerintahan Berorientasi Pasar

Pemerintah berorientasi pasar sering memanfaatkan struktur pasar swasta untuk memecahkan masalah dari pada menggunakan mekanisme administratif, seperti menyampaikan pelayanan atau perintah dan control dengan memanfaatkan peraturan. Mereka menciptakan insentif keuangan – insentif pajak, pajak hijau, affluent fees. Dengan cara ini, organisasi swasta atau anggota masyarakat


(59)

berprilaku yang mengarah pada pemecahan masalah sosial.

Konsep Osborn dan Gaebler di atas menurut Wahab adalah salah satu dari sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) gugus pemikiran yang berpengaruh terhadap upaya reformasi pelayanan publik, khususnya yang berkaitan dengan persoalan kualitas dan keadilan. Pertama, munculnya pemikiran baru dalam studi ilmu politik / pemerintahan yang menekankan perlunya ditegakkan prinsip pemerintahan yang berpusat pada warganegara (citizen - centered government) dan pemerintahan yang jujur (fair) dan adil (equality) sebagai terpantul lewat konsep Total Quality

Polities-TQP; Kedua, gerakan pemikiran reformasi administrasi publik yang disebut New Public Administration movement yang dipelopori oleh Marim dan Frederickson sejak

dekade 1960-an dan masih berlanjut hingga sekarang; Ketiga, gerakan reformasi administrasi publik yang lebih radikal, yakni Reinventing Government movement (dipelopori oleh Osborne dan Gaebler pada 1992) yang oleh banyak kalangan dinilai berhasil dengan cukup gemilang mengkombinasikan antara Total Quality

Management (TQM) dan entrepreneurial management.

Wahab Juga melihat adanya satu benang merah yang dapat ditemukan Gerakan - gerakan pemikiran tersebut baik sendiri-sendiri atau secara bersama -sama, secara implisit maupun eksplisit, menekankan perlunya demokratisasi dan desentralisasi dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan (termasuk sector pelayanan publik). Di balik itu, esensi ide dasarnya ialah hasrat melenyapkan


(60)

birokrasi publik yang kelewat gendut, penginjeksian sikap pro aktif, inovatif dan jiwa kewirausahaan {enterpreneurial spirit} pada diri administrator publik, serta

diperhatikannya aspek keadilan dalam pemberian pelayanan publik. 2.4.3.3. Inovasi

Salah seorang pakar manajemen modern Drucker, merumuskan jiwa kewirausahaan itu sebagai spotting opportunities and marshalling resources to produce innovation. Sedangkan dalam kontek, administrasi publik, menurut Staver, jiwa kewirausahaan itu adalah an adaptive, apportunistic, and individualistic

response to the chaos and fragmentation of post-proqressive public administration.

Kalau kedua konsep tersebut diperlukan dengan seksama, maka kata kuncinya tak lain adalah inovasi. Namun, konsep inovasi di sini tidak harus dipahami secara kaku dan diartikan hanya menyangkut sesuatu yang baru sama sekali. Inovasi dalam konteks pelayanan publik bisa pula berarti merekombinasikan secara kreatif unsur-unsur yang sebelumnya sudah dikenal untuk kemudian diterapkan dalam bentuk cara-cara baru atau pada situasi / lingkungan baru.

Kata inovasi merupakan kata serapan dari innovation, dengan kata dasar

Innovate yang berarti mendapatkan faham-faham baru atau membawakan

pendapat-pendapat baru.

Janszen dalam bukunya “The age of Innovation” menyebutkan bahwa inovasi merupakan komersialisasi dari sesuatu yang mungkin berupa technology, aplikasi baru dari produk, jasa dan proses yang baru, segmen pasar yang baru serta bentuk


(61)

organisasi yang baru atau pendekatan manajemen yang baru. Inovasi yang digambarkan mempunyai beberapa aspek yaitu teknologi, aplikasi produk baru, service, process dan pasar serta Inovasi Organisasi (Jones, 1986:8).

Menurut Shapiro nilai inovasi mencakup lima komponen kunci yaitu strategy,

measurements, processes, people, and technology dipandang sebagai alat untuk

meningkatkan kemampuan suatu organisasi dalam mencapai kinerjanya secara optimal. Shapiro juga menyebut bahwa inovasi itu sebagai kapabilitas (innovation as a capability).

Supaya kapabilitas ini dapat bekerja, Shapiro terlebih dahulu menjelaskan proses yang dapat memberikan peluang terjadinya inovasi (process enabled

innovation). Proses ini sebagai suatu cara dalam mengorganisir kegiatan-kegiatan dan

sumber-sumber daya suatu perusahaan dengan membangun koordinasi lintas fungsional di seluruh perusahaan. Sedangkan inovasi proses berkaitan dengan menggerakkan, mengevaluasi dan mengimplementasikan pemecahan-pemecahan yang inovatif yang memungkinkan perusahaan mencapai dan memperbaharui bisnisnya (Shapiro, 2001 :7).

Sementara Drucker mengatakan, bahwa inovasi morupakan tindakan yang memberi sumber daya kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Memang inovasi menciptakan sumber daya. Tidak ada sesuatupun yang menjadi “sumber daya” sampai orang menemukan manfaat dari sesuatu yang terdapat di alam, sehingga memberinya nilai ekonomis (Drucker, 1991:33).


(1)

1. Anggaran kesehatan yang belum memadai serta belum meratanya penempatan tenaga kesehatan serta faktor ekonomi masyarakat perkotaan yang masih rendah.

2. Peningkatan kasus-kasus penyakit menular masyarakat dan penyakit lainnya akibat pola kehidupan masyarakat.


(2)

INFORMAN

KEPALA SMK NEGERI 3 LHOKSEUMAWE

1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi di bidang pendidikan?

a. Penerapan manajemen mutu ISO 9001:2000

Dalam arti SMK Negeri 3 Lhokseumawe berusaha untuk memberikan pelayanan sebagik-baiknya kepada peserta didik untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas secara nasional dan internasional dengan menerapkan secara konsisten persyaratan-persyaratan ISO 9001:2000 dan peraturan perundangan yang berlaku.

b. Membangun kerja sama yang baik dengan komite sekolah dan stake holder Untuk mencapai keberhasilan pendidikan SMK Negeri 3 Lhokseumawe selalu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan dan komite sekolah selaku penentu kebijakan dan unsur masyarakat.

2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui?

1. Faktor pendukung

a. Letak SMK Negeri 3 Lhokseumawe sangat strategis di pusat kota sehingga minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di SMK Negeri 3 Lhokseumawe sangat tinggi.

b. Tersedianya SDM yang berkualitas sesuai dengan program keahlian yang ada

2. Faktor penghambat

a. Banyaknya animo masyarakat pada awal tahun pelajaran menjadi kendala utama dalam pemenuhan ruang belajar yang cukup untuk kelancaran proses pembelajaran sehingga sebagian Rombel harus belajar pada siang hari, hal ini akan mempengaruhi efektivitas belajar.

b. Belum adanya Drainase sehingga setiap musim hujan sering terjadi banjir. c. Kurangnya peralatan praktek khususnya bidang keahlian Teknik Grafika


(3)

praktek yang dibutuhkan siswa dalam 1 tahun anggaran sehingga menjadi kendala dalam pencapaian kompetensi siswa.

e. SMK Negeri 3 Lhokseumawe ditetapkan sebagai salah satu SMK berpotensi bertaraf Internasional melalui Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan SMK, namun sampai saat ini belum dapat direalisasikan karena terkendala dengan kurangnya lahan sesuai dengan persyaratan SBI.


(4)

INFORMAN

KEPALA DINAS PEKERJAAN UMUM KOTA LHOKSEUMAWE

1. Bagaimana efisiensi yang dilakukan berkaitan dengan pembangunan fisik?

a. Ditunjuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pelaksanaan kegiatan fisik tahun anggaran 2008.

b. Pelaksanaan lelang terpusat, diharapkan dapat selesai sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan

c. Setelah pengumuman pemenang lelang diharapkan penyedia barang/jasa dapat langsung melaksanakan pekerjaan.

d. Melakukan pengawasan secara terus menerus.

2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui?

1. Faktor hambatan

a. Faktor non teknis di lapangan

b. Kualitas bahan/material yang digunakan tidak sesuai spesifikasi c. Penyedia barang kurang memahami pekerjaan yang akan dilaksanakan d. Kemampuan penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai

dengan waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi, keterbatasan tenaga teknis, peralatan, modal dan lain-lain.


(5)

KEPALA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA LHOKSEUMAWE

1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi dibidang pendidikan?

a. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan

b. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing keluesan pendidikan c. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra public pendidikan

2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui?

1. Faktor pendukung

a. Terdapatnya ± 40% wali murid di Kota Lhokseumawe yang memiliki penghasilan kaya

b. Sebagian besar wali murid Kota Lhokseumawe memiliki pendidikan SMA ke atas.

c. Pemahaman wali murid terhadap perlunya pendidikan sangat positif. d. Berbagai kebutuhan pendidikan bagi siswa sangat mudah di dapat e. Jangkauan siswa antara tempat tinggal dengan sekolah tidak begitu jauh. f. Sebagian besar guru yang ada pada tiap sekolah memiliki disiplin ilmu

yang sesuai dengan kebutuhan.

g. Koordinasi sekolah dengan Dinas Pendidikan sangat lancar.

h. Motivasi kepala sekolah untuk memajukan sekolah yang dipimpinnya cukup tinggi.

i. Daya saing antar satu sekolah dengan sekolah lainnya cukup tinggi. 2. Faktor hambatan

a. Masih terdapatnya penahan wali murid, ada sekolah-sekolah tertentu yang favorit dan non favorit.

b. Masih terdapatnya ± 30% wali murid yang memiliki penghasilan sangat rendah.


(6)

d. Anggaran pendidikan disaat ini belum memadai sebagai penunjang proses belajar mengajar maupun ekstra kurikuler.

e. Masih terdapatnya tenaga honorer yang berpendidikan SMA sebagai guru. f. Distribusi tenaga pengajar yang belum merata.

g. Pada umumnya komite sekolah belum berfungsi sebagai perwakilan wali murid sebagai mitra sekolah yang baik.

h. Lingkungan sekolah yang tidak sehat, termasuk transaksi barang yang mengancam dunia pendidikan.

i. Masih terdapatnya pemahaman sebagian kecil wali murid, bahwa tanggung jawab pendidikan hanya tertumpu pada sekolah.