Membangun fasilitas dan standar baru pe

Makalah Seminar Nasional UII 2015

Fasilitas dan standar baru perpustakaan
Ida Fajar Priyanto
Universitas Gadjah Mada
Ida.fajar.p@ugm.ac.id

Disampaikan dalam Seminar Nasional “Menuju Perpustakaan sebagai Knowledge Enterprise”
15 Oktober 2015

Pendahuluan
Mellon (1986) pernah meneliti tentang apa yang terjadi dalam sebuah perpustakaan dan kemudian
dikenal sebagai teori library anxiety. Berdasarkan hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa
library anxiety atau kegalauan perpustakaan disebabkan oleh (1). The size of the library (besarnya
perpustakaan), (2) a lack of knowledge about where things were located (kekurangtahuan tentang
perpustakaan dan penempatan berbagai hal di dalam sebuah perpustakaan), (3) how to begin
(bagaimana memulai melakukan sesuatu di dalam sebuah perpustakaan), dan (4) what to do (apa
yang harus dilakukan di dalam sebuah perpustakaan). Dari keempat alasan tersebut, dua pertama
merupakan masalah di dalam perpustakaan, sedangkan dua alasan berikutnya adalah masalah
literasi informasi.
Di Indonesia perkembangan dunia perpustakaan dan kepustakawanan terus meningkat. Semakin

banyak perpustakaan yang berusaha mengikuti tren baru dalam berbagai hal: perpustakaan sebagai
tempat, perpustakaan digital, repository system, dan convergence atau penyatuan unit lain ke
dalam kompleks perpustakaan, namun demikian sisi library anxiety kadang belum seluruhnya
tersentuh.

Hal-hal tersebut—perkembangan dan perubahan—yang terjadi dalam dunia perpustakaan dan
kepustakawanan layak mendapatkan perhatian dari para praktisi perpustakaan maupun
stakeholders perpustakaan. tidak kalah penting adalah selalu proaktif terhadap kebutuhan dan
keinginan pemustaka sehingga penyelenggaraan dan operasional perpustakaan memberikan
manfaat bagi para pemustaka.
Makalah berjudul fasilitas dan standar baru perpustakaan ini berkaitan dengan disain dalam
membangun suasana akademis dan kreatif dalam perpustakaan sebagai perwujudan dari solusi
library anxiety. Makalah ini juga membahas secara ringkas tentang berbagai perkembangan baru
dalam fasilitas dan standar baru perpustakaan secara fisik. Selain itu, juga dibahas tentang
pentingnya fasilitas baru untuk pemustaka seperti digital literacy, digital library dan repository
system yang dapat diterapkan dalam sebuah perpustakaan. hal ini juga terkait dengan library
anxiety.
Perlu ditekankan disini bahwa perpustakaan masih merupakan lembaga penting sampai saat ini.
Woorpole (2003) mengatakan bahwa “the library remains a socially inclusive institution and this
needs to be reflected in issues of physical access and family-friendly design. Dengan kata lain,

eksistensi sebuah perpustakaan masih merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari baik
di dalam masyarakat secara umum maupun secara intelektual.

Membangun suasana akademis dan kreatif dalam perpustakaan
Perpustakaan perlu memperhatikan flow dan area peruntukan. Area mana saja yang dapat
digunakan untuk pemustaka dan area mana yang digunakan untuk staf perpustakaan: Jalan untuk
pemustaka sebaiknya diusahakan tidak terganggu oleh kegiatan administratif dan teknis internal
perpustakaan. Dengan kata lain, harus diusahakan ada jalur yang terpisah antara kegiatan
administratif staf perpustakaan dengan area untuk pemustaka. Dengan begitu, pemustaka yang
sedang membaca buku atau lainnya, mendengarkan podcast, atau sedang t administratif dan teknis
internal perpustakaan.
Perkembangan yang menarik adalah adanya tren yang menggambarkan bahwa perpustakaan masa
kini harus dapat menjadikan pemustaka melihat apa yang ada di dalam perpustakaan dana apa yang

ada di luar perpustakaan. ini dalam kaitannya dengan teknologi dimana pemustaka harus dapat
mengetahui apa yang ada di dalam perpustakaan dana pa yang ada di luar perpustakaan. namun
demikian, secara fisik, pemustaka juga perlu melihat apa yang ada di luar perpustakaan dan
pemustaka yang ada di luar perpustakaan dapat melihat apa yang ada di dalam perpustakaan. secara
fisik, maka perpustakaan telah berubah dari yang sebelumnya menggunakan tembok tebal dan
tertutup untuk menjaga koleksi yang dimiliki, menjadi banyak kaca dan dapat pemustaka yang ada

di dalam perpustakaan dapat melihat apa yang ada di luar. Hal ini penting agar kebosanan
membaca buku atau di depan layar komputer dapat diatasi dengan memandang suasana di luar
perpustakaan. demikian hal nya pemustaka yang ada di luar perpustakaan perlu melihat apa yang
ada di dalam perpustakaan sehingga ingin memasuki perpustakaan apabila penataan interiornya
menarik. Woorpole (2003) mengatakan bahwa “greater visual transparency between interior and
exterior worlds now seems to be a mark of a more open and democratic culture” (hal. 12).
Terkait dengan disain interior, perpustakaan perlu melihat dan mengevaluasi berapa lama
pemustaka berada di dalam perpustakaan dan untuk melakukan apa saja. Hal ini ditegaskan
kembali oleh Woorpole (2003) yang mengatakan bahwa “design needs to take into account matters
of ‘time-management’ and the allocation of space and patterns of circulation which reflect both
short-term and long-term uses.” (hal. 12).
Tidak kalah penting dalam disain perpustakaan adalah fasilitas. Karena generasi digital natives
banyak menggunakan fasilitas teknologi informasi maka “all library facilities, of whatever size,
will need to incorporate ICT and online services. (Woorpole, 2003, p. 14). Namun demikian semua
hal itu harus tetap mempertimbangkan sisi artistic dan keindahan dalam disain interior sehingga
perkabelan, tata lampu, jaringan wifi maupun kabel Internet dan nsebagainya harus mendapatkan
perhatian para pustakawan.
Dalam kaitannya dengan fasilitas perpustakaan, Latimer & Niegaard (2007) menyampaikan ada
10 kualitas penting yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Functional –fasilitas perpustakaan harus mempertimbangkan fungsi

b. Adaptable—fasilitas perpustakaan harus dapat beradaptasi dengan perubahan
c. Accessible—fasilitas perpustakaan harus dapat diakses oleh siapapun termasuk disabled
d. Varied—fasilitas dan disain interior dapat bervariasi agar tidak membuat jenuh
e. Interactive—fasilitas perpustakaan interaktif akan memberikan kemudahan pemustaka

f. Conducive—suasana perpustakaan harus dibuat kondusif
g. Environmentally suitable—lingkungan perpustakaan harus membuat pemustaka betah
berada di dalam perpustakaan
h. Safe and secure—jaminan keamanan baik bencana alam maupun kriminalitas perlu ditekan
dengan berbagai fasilitas security dan safety.
i. Efficient—efisiensi pemanfaatan fasilitas perlu mendapatkan perhatian seperti listrik dan
space
j. Suitable for information technology—karena teknologi informasi berkembang cepat,
perpustakaan harus selalu mengantisipasi hal ini agar tetap relevan.
Selain itu, space perpustakaan perlu memiliki “wow” factor dan menjadikan pemustaka merasakan
bahwa suasana perpustakaan membuat mereka merasa mendapatkan kejutan.

Perpustakaan harus informatif
Perpustakaan adalah sumber informasi dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Di dalam
perpustakaan itu juga terjadi proses komunikasi ilmiah antar pemustaka dan antara pemustaka

dengan sumber-sumber informasi. Informasi koleksi baru, informasi lokasi-lokasi, informasi
keamanan harus selalu terlihat jelas. Sebaiknya informasi menggunakan Bahasa yang paling
dikenali oleh para pemustaka. Sangat perlu diperhatikan bahwa pemasangan rambu-rambu dan
papan informasi harus diusahakan terlihat oleh pemustaka. Woorpole (2003) mengatakan bahwa
“the importance of clear patterns of circulation, of architectural and spatial legibility, and of
coherent and attractive signage cannot be over-estimated.” (hal. 14). Pemanfaatan teknologi
informasi untuk penyampaian informasi juga akan membantu memperjelas apa yang akan
disampaikan oleh perpustakaan kepada para pemustaka sehingga informasi benar benar sampai.
Selain informatif, area pemustaka harus benar benar menampilkan suasana akademis tetapi
welcoming siapapun

Fasilitas-fasilitas dan standar baru perpustakaan

Perpustakaan saat ini mengalami perubahan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari berbagai sisi.
Misalnya pada sisi koleksi, pada masa lalu, perpustakaan sangat identic dengan membeli bahan
pustaka dan menyimpannya di perpustakaan sehingga perpustakaan banyak dipenuhi dengan
koleksi perpustakaan. kini pengadaan bahan pustaka mulai identic dengan membeli akses,
sehingga wujud dari koleksinya sendiri tidak ada, karena koleksi seperti ebooks dan ejournals tetap
berada di penerbit dan perpustakaan hanya membeli akses. Perpustakaan juga tidak sekedar
menyediakan koleksi untuk dipinjam atau dibaca di tempat, tetapi juga menyediakan berbagai

fasilitas yang dulu tidak ada dan menimbulkan kontroversi tetapi kini hal itu menjadi tren, seperti
kafe perpustakaan, tempat tidur di perpustakaan, ruang diskusi, dansebagainya. “Libraries are as
stated experiencing a paradigm shift from collection focus to connection and library buildings must
therefore be designed to reflect this” v (Latimer & Niegaard, 2007, hal. 33)
Apa yang terjadi saat ini terlihat mulai bergeser menjadi “1/3 traditional services related to printed
and other physical materials….and 2/3 related to e-based information or services (Latimer &
Niegaard, 2007, hal. 33) dan ada kemungkinan akan terus berubah menjadi 25% koleksi dan 75%
layanan dan koleksi berbasis digital. Perlu diketahui juga kini area pemustaka menjadi 3.5 meter
per orang menurut standar internasional. Pada tahun 1990-an area pemustaka adalah 1.8 meter per
orang. Itulah sebabnya area pemustaka menjadi cukup lapang dan memungkinkan adanya
kolaborasi antar pemustaka.

Program perpustakaan untuk membangun visibilitas universitas
Dalam hal mendukung lembaga yang menaunginya, perpustakaan perlu melakukan berbagai hal.
Untuk perpustakaan perguruan tinggi, misalnya, perpustakaan perlu meng-online-kan semua
jurnal universitas dan perpustakaan sebagai host-nya – kalau jurnalnya berbayar, perpustakaan
dapat meng-upload artikel-artikel archives saja; sedangkan kalau jurnal milik lembaga gratis,
maka perpustakaan dapat meng-online-kan semuanya sebagai database dan perpustakaan dapat
menjadi host.
Open Access merupakan salah satu kunci dari keberhasilan sebuah repositori perpustakaan. halhal tersebut dirangkum oleh UNESCO (2015) sebagai manfaat dari Open Access, yaitu

peningkatan visibilitas lembaga,

pemunculan secara global, peningkatan aksesibilitas, dan

peningkatan kolaborasi baik individu maupun intitusi, disamping juga meningkatkan Altmetrics.

Dengan membuka akses informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh lembaganya, perpustakaan
sudah membantu meningkatkan visibilitas lembaganya. Perpustakaan juga dapat mempromosikan
kegiatan universitas baik di perpustakaan maupun melalui web perpustakaan. perpustakaan juga
perlu mempromosikan mahasiswa berprestasi, dosen, dan karya dosen melalui perpustakaan dan
web perpustakaan. dengan kata lain, perpustakaan perlu menjadi tempat untuk mengaktualisasikan
lembaganya. Mendisplay karya-karya universitas di perpustakaan merupakan hal yang sangat baik.
Karya universitas dapat digunakan sebagai hadiah tamu-tamu perpustakaan. buku tentang
universitas, buku karya dosen, maket universitas disain dari mahasiswa, dan sebagainya.

Pustakawan dan pemustaka
Seperti dikemukakan di atas, menurut Mellon (1986), sebagian masalah library anxiety adalah
karena pemustaka tidak tahu akan melakukan apa dan bagaimana memulainya. Hal inilah yang
perlu diantisipasi agar pustakawan dapat membantu pemustaka. Untuk itulah pustakawan harus
“out of the desk” dan menjadi seorang pustakawan yang “mobile.” Pustakawan harus melihat

pemustaka yang perlu dibantu dan terus proaktif terhadap berbagai kesulitan yang mungkin
dihadapi oleh para pemustaka. Perlu diingat bahwa pemustaka pada umumnya kurang berani
menghubungi pustakawan. Hal itulah yang perlu dipahami oleh para pustakawan untuk berusaha
mendekati pemustaka. Hal ini pernah diteliti oleh Knight, Hight, Polfer (2010) dan mereka
mengatakan bahwa “while they definitely welcome areas for quiet study, computers, and course
materials, they do not often interact with librarians (hal. 581).
Tidak kalah penting adalah bahwa komputer-komputer yang ada di perpustakaan, terutama OPAC
mulai dirasakan sebagai fasilitas yang “aneh” bagi para pemustaka baru, karena hanya dapat
digunakan untuk akses koleksi yang ada di dalam perpustakaan dan kadang-kadang kurang dapat
memahami kebutuhan pemustaka. Jiao & Onwuegbuzie (2004) pernah meneliti hal ini dan melihat
bahwa “library anxiety experienced by students is, in part, a function of their attitudes toward
computers” (hal. 138). Perlu diingat bahwa para pemustaka baru berbeda dengan para pemustaka
generasi lama karena “they value the internet and regularly keep up-to-date through online media
sources” (Knight, Hight, Polfer, 2010, p. 591).

Untuk itulah maka perpustakaan perlu selalu melakukan assessment terhadap pemanfaatan fasilitas
oleh pemustaka, assessment atas koleksi yang dibeli/dilanggan, assessment pemanfaatan ruangruang dan layanan, assessment perilaku pemustaka, serta mengetahui keinginan pemustaka melalui
survey.
Kerjasama kegiatan perpustakaan bersama mahasiswa dan kegiatan mahasiswa yang didukung
perpustakaan dapat menumbuhkan kerjasama dan pemahaman atas berbagai kebutuhan

pemustaka. Kegiatan semacam itu juga akan mendorong para pemustaka untuk terus
memanfaatkan perpustakaan dan menggunakan layanan yang ada di dalam perpustakaan.

Referensi
Jiao, Q. & Onwuegbuzie, A, (2004). The Impact of Information Technology on Library Anxiety:
The Role of Computer Attitudes. Information Technology and Libraries, 138-144
Latimer, K. & Niegaard, H. (2007). IFLA library building guidelines: Developments and
reflections. Munchen: K.G. Saur.
Knight, L., Hight, M., & Polfer, L. (2010). Rethinking the library for the international student
community. Reference Services Review, 38(4), 581-605.
Mellon, C. (1986). Library anxiety: A grounded theory and its development. College and Research
Libraries, 47, 160-165.
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (2015). Introduction to Open
Access. Paris: UNESCO.
Woorpole, K. (2003). 21st Century libraries. London: Scarecrow.