Ekonomi Keluarga dan Kesempatan Pendidikan

6 terdesak dan mengalami dilema kehimpitan keuangan keluarga. Kaum perempuanlah yang berhadapan dengan seluruh anggota keluarga dan bagaimana harus memenuhi kebutuhan keluarga ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, keluarga berada dalam masalah dan rentan ter- hadap kemiskinan Indraswari, 2005. Kesemuanya itu mengakibatkan kemiskinan yang bukan hanya sementara tetapi selama kehidupan itu ada. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi dapat disebabkan faktor internal dan eksternal. Penuturan Wagner dalam wawancara bahwa, sebab-sebab kebodohan dihubungkan dengan belum adanya kesadaran akan diri sendiri, merasa tidak mampu, tidak ada kesempatan dan tidak mau memanfaatkan kesempatan, kurang lapangan kerja atau ketrampilan, malas, tidak mau melakukan pekerjaan yang dianggap rendah, menggantungkan diri pada orang lain, kurang mampu berwiraswasta, mental peminta-minta karena struktur sosial yang menekan kehidupan masyarakat. Industrialisasi yang menjadikan semakin berkurangnya lahan pertanian, sehingga lapangan kerja bagi perempuan-perempuan desa menjadi sangat terbatas, membuat mereka terjebak dengan iming-iming gaji yang tinggi sebagai tenaga kerja wanita di luar maupun di dalam negeri, sebagaimana yang dituturkan Gabriel dalam wawancara bahwa: Sebagian besar perempuan-perempuan pencari kerja karena tekanan kemiskinan itu adalah Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, akhirnya menjadi pekerja seks komersial dipaksa untuk melayani para turis yang datang dari Singapura, Malaysia dengan ciri-ciri etnis Cina, Jepang, India, Melayu dan Australia 3 .

2. Ekonomi Keluarga dan Kesempatan Pendidikan

Untuk membantu perekonomian keluarga, anak-anak perempuanlah yang dianggap dapat membantu keberlangsungan hidup keluarga dengan be-kerja, seperti yang dituturkan Nico dalam wawancara bahwa: Masyarakat Indonesia yang terdesak karena tekanan ekonomi keluarga, melihat anak-anak perempuan adalah tulang punggung keluarga. Hal ini disebabkan karena latarbelakang pendidikan yang rendah, kurang informasi tentang dunia luar 4 . Rendahnya pendidikan merupakan salah satu faktor yang juga mengakibatkan anak-anak mudah terjebak ke dalam dunia prostitusi dan tertipu untuk masuk kedalam lingkaran perdagangan anak khususnya anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan kemudian didorong untuk memperoleh penghasilan begitu mereka berhenti sekolah, agar dapat menjadi mandiri dari segi keuangan karena untuk menghidupi keluarganya. Pendidikan formal yang rendah menyebabkan banyak di antara mereka yang mendapatkan pekerjaan dengan bayar-an yang rendah, dengan ketrampilan yang serba terbatas karena pendidikan rendah mereka terpaksa menerima tawaran-tawaran untuk bekerja di lembah nista. Maksud untuk membantu ekonomi keluarga, justru membawa mereka terjebak dalam kubangan eksploitasi seksual dan komersial, seperti yang dituturkan Ola dalam wawancara bahwa: Mereka dijanjikan untuk bekerja keluar negeri sebagai TKI Tenaga Kerja Indonesia, tetapi dikirim dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di Tanjung Balai Karimun, 3 Romo Marcel Gabriel; Pimpinan Komisi Migran dan Perantau KMP Keuskupan Pangkalpinang yang berada di Batam: 30 Agustus 2006. 4 Nico, Guru SMU Yapendik GPIB, Batam: 27 Agustus 2006. 7 Jakarta, Bali dan yang terbanyak di Batam serta beberapa tempat lain di Indonesia. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan target pelaku perdagangan dan jaringan trafficker mengeksploitasi mereka untuk kepentingan seksual dan komersial. Perempuan-perempuan desa dan anak-anak lugu yang miskin informasi ini hanyalah ingin mengubah nasib, namun mereka malah jatuh ke dalam lembah nista yang membuat mereka tak berharga serta malu, sebab mereka adalah para “penyaji tubuh” bagi para lelaki hidung belang yang haus akan nafsu seksual Venny, 2005. Tubuh para korban trafficking ini menjadi tak bertuan, jatuh dalam pelukan manusia-manusia penikmat tubuh perempuan yang tidak banyak memahami apa yang sedang terjadi, karena ketika mencari pekerjaan dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan yang ringan, enak, dengan gaji yang tinggi, tetapi semuanya hanyalah tipuan belaka. Akibat praktik perdagangan ini, para perempuan dan anak-anak sekarang merintih, meratap, menyesal atau bahkan mungkin mengumpat-umpat pada biro tenaga kerja yang mengirimkannya. Dalam kondisi seperti ini yang bisa “dinikmati” adalah kebengisan para sindikat, kepahitan hidup serta perlakuan kekerasan lain yang menyebabkan penderitaan dan tekanan batin. Tubuh yang tidak lagi dikuasai karena telah dikuasai orang lain sebagai objek merupakan bagian dari penderitaan para korban trafficking. Seks menjadi sasaran utama mereka yang menjadi korban. Perempuan dan anak-anak ini, menganggap dengan bekerja mereka dapat mengubah nasib dan menuju surga dunia, namun tanpa disadari mereka menjadi objek pada ajang praktik manipulasi dan perangkap pekerjaan illegal. Mereka tidak mendapatkan backing dari kekuatan sosial tertentu sehingga cenderung ditutup-tutupi. Mereka mengalami penderitaan karena disiksa, dari pada disayangi dan dihargai sebagai manusia, seperti yang dituturkan Gabriel dalam wawancaranya. Berbagai kekerasan fisik lainnya yang dialami oleh korban perdagangan manusia ini seperti; dipukul pada bagian kepala, bagian punggung dipukul dengan kayu, ditempeleng, badan dibenturkan ke lemari, ditusuk dengan pisau, disundut dengan rokok bahkan ada yang disetrika. Lebih tidak manusiawi lagi mereka yang ada dalam kondisi sakit juga karena disiksa tetap diharuskan untuk bekerja.

3. Sex Tourism