Detection and identification of phytoplasmas associated with coconut wilt disease in derawan Island East Kalimantan

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI FITOPLASMA
YANG BERASOSIASI DENGAN PENYAKIT LAYU KELAPA
DI PULAU DERAWAN KALIMANTAN TIMUR

AGUS EKO PRASETYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Deteksi dan Identifikasi
Fitoplasma yang Berasosiasi dengan Penyakit Layu Kelapa di Pulau Derawan
Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2012
Agus Eko Prasetyo
NIM A0352090041

ABSTRACT
AGUS EKO PRASETYO. Detection and Identification of Phytoplasmas
Associated With Coconut Wilt Disease in Derawan Island East Kalimantan.
Under direction of KIKIN HAMZAH MUTAQIN and GIYANTO.
Coconut as a main commodity in Derawan Island has two functions, i.e.
farmer’s income source and beach plant aesthetics. The occurrence of coconut
wilt disease resulted in eradication of about 10% of the palm in 2010. The
objectives of this study were: (1) to describe morphological and histopathological
symptoms of coconut wilt disease in Derawan island, (2) to detect the presence of
phytoplasmas associated with coconut wilt disease in Derawan island using
nested-PCR (n-PCR) technique, (3) to identify and classify phytoplasmas
associated with coconut wilt disease based on 16S rRNA gene sequences, (4) to
detect the presence of phytoplasmas from leafhoppers (Hemiptera: Cicadellidae)
and love vein (Cassytha filiformis) (Laurales: Lauraceae), which expected to have
ability to transmit the pathogen. The methods in this research included visual and
microscopic observation, detection of phytoplasmas with n-PCR method, cloning

of the nPCR products, sequencing, analysis of sequencing results using BLAST,
construction of phylogenetic tree, and in silico RFLP analysis. The results
showed that the suspected phytoplasmas reside in phloem tissues and were
detected with both microscopic and molecular techniques. Phytoplasmas
associated with coconut wilt disease in Derawan island belong to 16SrII (witches’
broom phytoplasma) and 16SrXI (Ca. Phytoplasma oryzae) groups. The use of
nPCR employing R16F2n/R16R2 primer pair with expected amplicon at size of
about 1.25 kb are positive not only for particular strain of phytoplasmas but also
other bacterial species that mainly belong to Gram Positive group. Phytoplasmas
that belong to 16SrII are also detected in some leafhoppers and C. filliformis.
Keywords:

Coconut wilt disease, phytoplasmas, nested PCR, sequencing,
Derawan Island

RINGKASAN
AGUS EKO PRASETYO. Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma yang Berasosiasi
dengan Penyakit Layu Kelapa di Pulau Derawan Kalimantan Timur. Dibimbing
oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan GIYANTO.
Tanaman kelapa di Pulau Derawan bernilai ekonomi sangat tinggi, karena

selain sebagai tanaman penghias pantai, juga menjadi satu-satunya tanaman
perkebunan yang dibudidayakan. Akhir-akhir ini populasi tanaman kelapa di
Pulau Derawan semakin menurun, karena adanya penyakit layu kelapa yang telah
mengakibatkan tidak kurang dari 10% tanaman mati. Produktivitas kelapa yang
dihasilkan juga sangat menurun. Di Indonesia, penyakit serupa dikenal sebagai
layu Kalimantan (Kalimantan wilt) yang disebabkan oleh Candidatus
Phytoplasma oryzae dan telah mengakibatkan kerugian yang besar pada
pertanaman kelapa di daerah Sampit, Kalimantan Tengah.
Gejala penyakit layu kelapa di Pulau Derawan juga mirip dengan gejala
penyakit lethal yellowing yang mematikan dan sangat merugikan tanaman kelapa
dan kelapa sawit yang disebabkan oleh Ca. Phytoplasma palmae di daerah
Amerika dan Afrika. Ca. Phytoplasma palmae termasuk dalam Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) kelas A1 Badan Karantina Tumbuhan
Indonesia. Kekhawatiran bahwa penyebab penyakit tersebut adalah sama dengan
penyebab penyakit layu kelapa di Pulau Derawan mendorong penelitian ini
dilakukan untuk memastikan identitas patogen penyebabnya. Hal tersebut
mempertimbangkan tanaman kelapa dan kelapa sawit yang berpotensi terserang
penyakit di Indonesia yang mana luas arealnya menduduki peringkat pertama di
dunia.
Metode deteksi dan identifikasi fitoplasma dari penyakit layu kelapa

dilakukan melalui dua pendekatan: Pertama, metode konvensional dengan
membandingkan morfologi gejala dan histopatologi antara jaringan tanaman yang
sakit dengan yang sehat; Kedua, metode deteksi secara molekuler dengan
mendasarkan pada gen yang bersifat stabil (conserved) dan paling banyak
digunakan sebagai dasar klasifikasi fitoplasma saat ini yakni gen 16S rRNA.
Pembandingan morfologi gejala penyakit dilakukan secara visual terhadap
bentuk daun, pelepah, batang, dan buah antara tanaman yang bergejala dengan
yang masih sehat, sedangkan studi histopatologi dilakukan dengan
membandingkan jaringan pengangkutan terutama floem dari jaringan tanaman
yang sakit dan sehat. Studi histopatologi mencakup pewarnaan 4,6-diamino-2phenylindole (DAPI) pada jaringan floem dan pengamatan mikroskopi fluoresen
dan mikroskopi elektron (scanning electron microscope/SEM).
Metode molekuler nested polymerase chain reaction (nPCR) dalam
penelitian ini menggunakan dua pasang primer universal fitoplasma, yaitu P1 (5’AAG AGT TTG ATC CTG GCT CAG GAT T-3’)/P7 (5’-CGT CCT TCA TCG
GCT CTT-3’) dan dilanjutkan dengan pasangan primer R16F2n (5’-GAA ACG
ACT GCT AAG ACT GG-3’)/R16R2 (5’-TGA CGG GCG GTG TGT ACA AAC
CCC G-3’). Lokasi yang diamplifikasi dengan primer P1/P7 adalah daerah
keseluruhan gen 16S rRNA, daerah internal transcribed spacer (ITS), dan bagian
pangkal gen 23S rRNA dengan ukuran fragmen DNA 1.8 kb, sedangkan produk
amplifikasi nPCR dengan primer R16F2n/R16R2 mengandung daerah internal


gen 16S rRNA dengan ukuran 1.25 kb. Produk hasil nPCR kemudian digunakan
untuk cloning, sequencing dan karakterisasi menggunakan program BLAST di
NCBI, analisis filogenetik dengan program PAUP 4.0, dan analisis RFLP in silico
menggunakan 17 enzim restriksi yang sering digunakan untuk karakterisasi
fitoplasma.
Gejala penyakit layu kelapa di Pulau Derawan adalah daun menguning,
pelepah-pelepah maupun daun kelapa yang muncul terlihat lebih pendek daripada
yang normal (sehat), daun mengering(klorosis) yang dimulai dari bagian daun
yang tua (bawah), pangkal pelepah tua mudah sengkleh (jawa: lunglai pada bagian
pangkal pelepah), buah kelapa yang masih muda gugur atau jika masih ada buah
kelapa yang tersisa sampai besar dan masak, biasanya hanya 1 atau 2 biji saja.
Gejala akhir penyakit ini adalah seluruh pelepah dan daun kelapa mengering,
gugur dan terlihat hanya seperti tonggak batang kayu.
Pengamatan pada jaringan pengangkutan batang, akar, dan daun tanaman
kelapa bergejala layu dengan pewarnaan DAPI menunjukkan adanya akumulasi
fitoplasma pada jaringan pengangkutan floem. Sama halnya pada pengamatan
jaringan dengan SEM, sel-sel fitoplasma tampak melekat pada dinding-dinding sel
floem, walaupun tidak terlihat menggerombol. Bentuk sel fitoplasma pleomorfik
dengan ukuran diameter berkisar antara 0,5 – 0,9 μ m.
Hasil PCR dengan primer P1/P7 tidak mampu memperlihatkan fragmen

DNA fitoplasma yang berasal dari tanaman kelapa pada gel agarosa, namun hasil
nPCR dengan primer R16F2n/R16R2 memperlihatkan adanya fragmen DNA
berukuran sekitar 1.25 kb. Semua sampel dari tanaman kelapa bergejala layu
ringan dan berat (masing-masing 6 tanaman) dari Pulau Derawan menunjukkan
hasil positif dengan nPCR, sedangkan pada tanaman yang belum bergejala hanya
3 dari 6 tanaman yang positif. Setelah dilakukan sequencing dan analisis
menggunakan BLAST dari NCBI, diperoleh bahwa 77,78% (dari total 15 tanaman
bergejala berat, ringan dan belum bergejala) sekuen DNA produk nPCR sangat
mirip dengan beberapa strain fitoplasma dan 23,22% bukan merupakan
fitoplasma.
Sebanyak 6 sekuen DNA yang berbeda yang diperoleh dari sequencing, 5
sekuen DNA tergolong ke dalam kelompok witches’ broom phytoplasma (grup
16SrII) dengan nilai homologi 99% terhadap sekuen gen 16S rRNA witches'broom phytoplasma isolat T4, patogen pada Echinacea purpurea dari Taiwan
(JN885462.1), dan satu sekuen tergolong ke dalam Ca. Phytoplasma oryzae (grup
16SrXI) dengan nilai homologi 96% terhadap sekuen gen 16S rRNA flower stunt
phytoplasma strain BVK, patogen pada Psammotettix cephalotes (HQ589192).
Keenam sekuen DNA yang berbeda tersebut mempunyai ukuran yang sama yaitu
1247 bp.
Sekuen DNA yang mirip dengan spesies bukan fitoplasma meliputi Bacillus
megaterium, Bacillus sp., Clostridium sp.,

Friedmaniella lacustris, dan
Lagionella birminghamensis memiliki nilai homologi 93% sampai 96%, yang
termasuk ke dalam bakteri Gram Positif. Menurut sejarah perkembangan bakteri
secara umum, fitoplasma erat berhubungan dengan bakteri Gram Positif
khususnya grup Bacillus dan Clostridium yang menjadi nenek moyang fitoplasma.
Analisis hasil sequencing dengan uji filogenetik menggunakan metode
analisis bootstrap neighbor-joining dengan program PAUP 4.0 menunjukkan
bahwa lima sekuen DNA fitoplasma (Sekuen Derawan 1 – 5) memiliki

kekerabatan yang tinggi dengan kelompok witches broom phytoplasma (grup
16SrII). Hal ini memperkuat hasil BLAST dari NCBI. Sekuen Derawan 6 dan
sekuen DNA Kalimantan wilt dari Sampit mempunyai hubungan kekerabatan
yang tinggi, tetapi relatif jauh dari witches broom phytoplasma dan Ca.
Phytoplasma oryzae. Hasil uji filogenetik ini berbeda dengan hasil BLAST dari
NCBI yang menyatakan bahwa Sekuen Derawan 6 dan sekuen Kalimantan wilt
dekat dengan Ca. Phytoplasma oryzae.
Hasil uji RFLP in silico dari sampel asal Pulau Derawan juga menunjukkan
adanya 6 pola potongan fragmen DNA yang berbeda. Bila dibandingkan dengan
hasil RFLP in silico terhadap berbagai grup fitoplasma yang telah dibuat oleh Wei
et al. (2007), maka keenam sekuen DNA tersebut mempunyai nilai koefisiensi

kesamaan yang tinggi dengan grup 16SrIIA (peanut witches broom phytoplasma)
yakni berkisar antara 0,84 – 0,98. Kelompok witches broom phytoplasma yang
berasosiasi dengan penyakit layu kelapa ini baru pertama kali dilaporkan.
Hasil deteksi dan identifikasi fitoplasma yang berasosiasi dengan penyakit
layu kelapa di Pulau Derawan ini membuktikan bahwa strain fitoplasma yang
ditemukan berbeda dengan strain fitoplasma sebagai penyebab penyakit lethal
yellowing pada tanaman kelapa dan kelapa sawit. Ini berarti bahwa status Ca.
phytoplasma palmae tetap menjadi OPTK A1. Penyakit ini juga diketahui telah
mengakibatkan kerugian ekonomis sehingga kewaspadaan akan penyebaran
penyakit ke lokasi yang lain perlu menjadi perhatian bagi pemerintah setempat.

Kata kunci: layu kelapa, Pulau Derawan, fitoplasma, nPCR, sequencing

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI FITOPLASMA
YANG BERASOSIASI DENGAN PENYAKIT LAYU KELAPA
DI PULAU DERAWAN KALIMANTAN TIMUR

AGUS EKO PRASETYO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Endang Nurhayati, MS


Judul Tesis

Nama
NIM

: Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma yang Berasosiasi
dengan Penyakit Layu Kelapa di Pulau Derawan
Kalimantan Timur
: Agus Eko Prasetyo
: A3502090041

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi
Ketua

Dr. Ir. Giyanto, MSi
Anggota


Diketahui

Ketua Program Studi Fitopatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Januari 2012

Tanggal Lulus: ………………………

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian tesis ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai September 2011
ini adalah “Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma yang Berasosiasi dengan Penyakit
Layu Kelapa di Pulau Derawan Kalimantan Timur”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi.
dan Dr. Ir. Giyanto, MSi. yang bersedia membimbing penulis dalam
melaksanakan penelitian ini serta Dr. Ir. Endang Nurhayati, MS. sebagai Penguji
Luar Komisi. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Direktur, Kepala Bidang
Penelitian, dan Ketua Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman Pusat Penelitian
Kelapa Sawit Medan atas ijin melanjutkan studi S2 di IPB beserta segala biaya
untuk penelitian tesis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ir.
Waimin beserta jajaran Dinas Perkebunan Berau Kalimantan Timur yang telah
menemani penulis selama berada di lokasi sampel penelitian, Dr. Sunaryo beserta
para peneliti di lingkup Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Cibinong yang telah memberikan kesempatan magang dan
melakukan penelitian termasuk penggunaan alat penelitian, dan Prof. Naotake
Ogasawara beserta staf peneliti dan teknisi di Laboratorium Genomic of Bacterial
Cell Function, Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang atas
segala pemberian fasilitas dana dan bimbingan penelitian melalui program The
Japan Society for Promoting Sciences (JSPS).
Bagi teman-teman di
Laboratorium Bakteriologi, Mikologi, dan Virologi Departemen Proteksi
Tanaman IPB atas segala bantuan yang mempermudah jalannya penelitian,
penulis juga mengucapkan terima kasih.
Tak lupa, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri,
anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Bahwa
“Keberhasilanku adalah keberhasilan kalian, kelulusanku adalah kelulusan kalian,
pencapaianku adalah pencapaian kalian, ijazahku adalah ijazah kalian. Terima
kasih atas pengorbanan, dukungan dan cinta yang tiada henti selama ini. Dan
maafkan, banyak sekali perasaan dan keinginan kalian yang terabaikan selama 2,5
tahun perjalanan ini, I love you so much”.
Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2012
Agus Eko Prasetyo

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 12 Agustus 1982 dari pasangan
Hasyim dan Siti Khotimah. Penulis merupakan putra pertama dari lima
bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Muntilan dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) pada jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan di Fakultas Pertanian. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh
pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister akhirnya
penulis dapatkan dengan lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
mayor Fitopatologi, Fakultas Pertanian tahun 2009.
Sejak tahun 2005 penulis bekerja sebagai staf peneliti bidang proteksi
tanaman Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Selama bekerja, penulis aktif
dalam kegiatan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia dan Perhimpunan
Entomologi Indonesia. Pada tahun 2010 penulis terpilih sebagai peneliti muda
terbaik yang mewakili IPB untuk melakukan penelitian di Nara Advance Institute
Science of Technology (NAIST) selama 2 bulan.

DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ···················································································· 1
Latar Belakang ················································································· 1
Tujuan Penelitian ·············································································· 3
Manfaat Penelitian ············································································ 3
TINJAUAN PUSTAKA
Ciri Geografis dan Potensi Ekonomis Pulau Derawan ·························
Kondisi Pertanaman Kelapa di Indonesia ···········································
Fitoplasma ·······················································································
Gejala Penyakit dan Kisaran Inang ············································
Penularan ·················································································
Pengelolaan Penyakit ·······························································
Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma ···········································
Klasifikasi Fitoplasma ······································································
Klasifikasi Konvensional dan Berdasarkan Gen 16S rRNA
dan Gen Lain ············································································
Kajian Proses Evolusi Fitoplasma ·············································
Analisis Sequencing dan Filogenetik Fitoplasma ························

5
6
7
8
9
10
11
12
12
14
15

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu ···········································································
Morfologi dan Histopatologi Penyakit Layu Kelapa ···························
Pengamatan Morfologi Gejala ···················································
Pengambilan Contoh Tanaman ··················································
Pengamatan Jaringan Tanaman dengan Pewarna DAPI ·············
Pengamatan Jaringan Pengangkutan Floem dengan SEM ···········
Deteksi Fitoplasma dengan Nested Polymerase Chain Reaction
(nPCR) ·····························································································
Pengambilan Contoh ································································
Ekstraksi DNA dari Tanaman ···················································
Amplifikasi DNA dengan Metode Nested PCR ··························
Elektroforesis Gel Agarose ·······················································
Cloning DNA Fitoplasma ··································································
Preparasi Sel Bakteri Kompeten ················································
Insersi Produk Nested PCR ke dalam DNA Plasmid ···················
Transformasi DNA Plasmid ke Sel Bakteri Kompeten ················
Isolasi Plasmid ·········································································
Sequencing dan Kajian Filogenetik Fitoplasma ···································
Analisis Hasil Sequencing ·························································
Kajian Filogenetik ····································································
Pemotongan Fragmen DNA dengan Enzim Restriksi Secara
In Silico ···················································································

17
17
17
17
18
18
19
19
19
20
20
21
21
22
23
24
26
27
27
28

Deteksi Fitoplasma pada Wereng Daun dan Cassytha filiformis ··········
Pengambilan Contoh Tanaman dan Serangga ·····························
Ekstraksi DNA Fitoplasma dari Tanaman dan Wereng Daun ······
Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma ···········································

28
28
28
29

HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi dan Histopatologi Penyakit Layu Kelapa ···························
Gejala Morfologi Penyakit Layu Kelapa di Pulau Derawan ········
Pengamatan Jaringan Pengangkutan Tanaman dengan
Pewarnaan DAPI ······································································
Pengamatan Jaringan Pengangkutan Floem dengan SEM ···········
Deteksi Fitoplasma dengan Nested Polymerase Chain Reaction
(nPCR) ·····························································································
Identifikasi dan Karakterisasi Molekuler Fitoplasma dari Kelapa
Bergejala Layu di Pulau Derawan ······················································
Sequencing Produk nPCR ·························································
Analisis Filogenetik ··································································
Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP) In Silico ···
Deteksi dan Sequencing Fitoplasma pada Wereng Daun dan
Tumbuhan Cassytha filiformis ···························································

31
31
33
35
36
40
40
46
47
50

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ························································································· 57
Saran ······························································································· 57
DAFTAR PUSTAKA ··············································································· 59
LAMPIRAN ····························································································· 69

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk reaksi insersi
produk nPCR ····················································································· 23
2 Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk PCR koloni ················· 24
3 Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk PCR plasmid ··············· 26
4 Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk PCR sequencing ·········· 27
5 Data hasil sequencing dan uji BLAST pada NCBI dari produk
nPCR contoh tanaman kelapa, kacang tanah, dan kedelai ······················ 41
6 Penyakit layu pada tanaman kelapa yang berasosiasi dengan
fitoplasma ·························································································· 43
7 Fitoplasma grup witches broom phytoplasma (16SrII) yang pernah
dilaporkan pada beberapa tanaman inang ············································ 44
8 Koefisien kesamaan yang diperoleh dari analisis pola RFLP in
silico gen 16S rRNA dari 6 sekuen DNA asal Pulau Derawan ·············· 49
9 Perbandingan karakteristik spesies C. filiformis dan Cuscuta sp.
(Nelson 2008) ······················································································· 53
10 Data hasil sequencing dan uji BLAST pada NCBI dari produk
nPCR contoh wereng daun dan tanaman tali cinta di Pulau Derawan ····· 55

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Dendogram klasifikasi fitoplasma berdasarkan gen 16S rRNA (Wei
et al. 2007 cit. Hodgetts & Dickinson 2010) ········································· 16
2 Representasi diagram operon 16S – 23S rRNA, menunjukkan posisi
beberapa primer universal yang telah dikembangkan untuk
amplifikasi PCR daerah ini dari fitoplasma ··········································· 21
3 Gejala penyakit layu kelapa di Pulau Derawan ······································ 31
4 Gejala lanjut penyakit layu kelapa di Pulau Derawan ····························· 33
5 Jaringan pengangkutan tanaman yang diberi DAPI ································ 34
6 Sel floem batang kelapa bergejala layu yang diamati menggunakan
SEM ··································································································· 36
7 Fragmen DNA fitoplasma hasil PCR menggunakan primer P1/P7
dari berbagai tanaman ·········································································· 37
8 Fragmen DNA fitoplasma hasil nPCR menggunakan primer
R16F2n/R16R2 dari berbagai tanaman ················································· 37
9 Pohon filogenetik yang menggambarkan hubungan kekerabatan
strain fitoplasma dari contoh yang diuji dengan strain fitoplasma dari
setiap grup 16S rRNA yang telah tersimpan di GenBank yang dibuat
dengan analisis bootstrap neighbor-joining program PAUP 4.0 ············· 47
10 Ploting hasil analisis RFLP in silico menggunakan 17 enzim
restriksi ·································································································· 48
11 Beberapa jenis wereng daun yang ditemukan di sekitar tanaman
kelapa bergejala penyakit layu ····························································· 51
12 Morfologi tanaman Cassytha filiformis yang hampir menutupi
seluruh permukaan tanaman inang ························································ 52
13 Tanaman C. filiformis pada beberapa tanaman inang ···························· 53
14 Fragmen DNA hasil nPCR menggunakan primer R16F2n/R16R2
dari tanaman Cassytha filiformis dan berbagai wereng ··························· 54

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Hasil padanan sekuen gen 16S rRNA dari sampel kelapa Pulau
Derawan dan Sampit, kacang tanah dan kedelai menggunakan
program BLAST di NCBI ···································································· 71

2

Hasil pola fragmentasi grup 16SrII dan 16SrXI fitoplasma dengan 17
enzim restriksi yang dianalisis menggunakan program pDRAW (Wei
et al. 2007) ·························································································· 82

3 Komposisi larutan-larutan bufer (penyangga) ········································· 83
4 Komposisi media pertumbuhan bakteri ·················································· 85
5 Komposisi larutan-larutan alkalin lisis ··················································· 86

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa merupakan komoditi sosial kedua setelah padi di Indonesia dengan
luas areal sekitar 3.7 juta ha, setara dengan sepertiga luas penanaman kelapa dunia
dan menjadikan Indonesia sebagai negara penanam kelapa terluas di dunia
(Deptan 2007). Di Pulau Derawan (Kalimantan Timur), kelapa menjadi satusatunya tanaman perkebunan yang dibudidayakan.

Selain sebagai penambah

pendapatan masyarakat, tanaman kelapa di Pulau Derawan juga memiliki fungsi
artistik sebagai penambah nilai estetika pantai yang menjadi maskot pariwisata di
provinsi tersebut.
Keberadaan tanaman kelapa di Pulau Derawan mulai berkurang. Faktor
utama terjadinya penurunan populasi tanaman ini adalah adanya penyakit layu
yang telah mengakibatkan tidak kurang dari 10% tanaman mati (Waimin 9
September 2010, komunikasi pribadi). Selain itu, selama masa inkubasi penyakit,
produktivitas tanaman sangat menurun.

Di Indonesia, penyakit serupa pada

tanaman kelapa dikenal dengan penyakit layu Kalimantan (Kalimantan wilt) yang
ditemukan oleh Warokka et al. (2006). Penyakit ini disebabkan oleh fitoplasma
dan telah mengakibatkan kerugian yang besar pada pertanaman kelapa di daerah
Sampit Kalimantan Tengah.
Menurut Weintraub & Wilson (2010), pada tanaman kelapa, fitoplasma
dapat menyebabkan gejala daun menguning sampai klorosis dan berakhir pada
kematian tanaman. Tanaman kelapa yang telah menunjukkan gejala penyakit layu
akibat fitoplasma umumnya akan mengalami gugur buah muda.

Jika satu

tanaman telah terinfeksi, maka penyebaran penyakit akan sangat cepat. Sampai
saat ini, pengendalian penyakit ini pada tanaman kelapa belum ada yang
memuaskan.
Strain fitoplasma yang menyebabkan penyakit layu kalimantan (kalimantan
wilt) adalah Ca. Phytoplasma oryzae (Warokka et al. 2006). Strain yang berbeda
yakni Ca. Phytoplasma cynodontis juga dilaporkan menyebabkan penyakit
coconut lethal decline di Malaysia (Nejat et al. 2009). Strain fitoplasma yang
telah diketahui menyebabkan kerugian yang sangat besar pada tanaman kelapa di

2
daerah Amerika dan Afrika adalah Ca. Phytoplasma palmae (Tymon et al. 1998,
Harrison et al. 2002a, b, Myrie et al. 2006). Strain fitoplasma tersebut terakhir
masuk dalam kelas A1 Karantina Tumbuhan karena selain tanaman kelapa, strain
ini juga telah diketahui dapat menyerang tanaman kelapa sawit yang saat ini
menjadi sumber devisa non migas utama di Indonesia (Utomo & Susanto 2006)
Oleh karena itu, deteksi dan identifikasi fitoplasma sebagai penyebab
penyakit layu kelapa di Pulau Derawan sangat penting dilakukan untuk mencegah
perluasan penyakit yang dapat menjadi ancaman bagi kebun kelapa dan kelapa
sawit.

Jika penyebab penyakit telah diketahui, maka penyusunan strategi

pengendalian penyakit akan lebih tepat.

Pengklasifikasian berdasarkan

karakteristik molekuler gen 16S rRNA antar strain fitoplasma yang ditemukan dan
kemudian dibandingkan dengan data yang telah didepositkan di GenBank akan
membantu menganalisis asal patogen ini dan kemungkinan adanya penularan
fitoplasma dari tanaman kelapa ke kelapa sawit. Metode deteksi yang digunakan
untuk mengetahui keberadaan fitoplasma pada tanaman kelapa adalah nested
polymerase chain reaction (nPCR) menggunakan beberapa pasang primer
universal fitoplasma.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menunjukkan gejala morfologi dan histopatologi penyakit layu kelapa di
Pulau Derawan.
2. Menunjukkan asosiasi fitoplasma dengan penyakit layu kelapa di Pulau
Derawan menggunakan teknik deteksi nested PCR.
3. Mengidentifikasi dan membuat hubungan kekerabatan fitoplasma yang
berhubungan dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan dengan
fitoplasma yang telah tersimpan di GenBank berdasarkan sekuen gen 16S
rRNA.
4. Mendeteksi keberadaan fitoplasma dalam wereng daun dan Cassytha filiformis
sebagai pendugaan agen penularan fitoplasma penyakit layu kelapa di Pulau
Derawan.

3

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai keberadaan
fitoplasma sebagai penyebab penyakit layu tanaman kelapa di Pulau Derawan
serta kemungkinan agen penularnya. Studi penelitian ini akan bermanfaat dalam
langkah-langkah penyusunan strategi pengendalian penyakit.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA
Ciri Geografis dan Potensi Ekonomis Pulau Derawan
Pulau Derawan terletak di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau
Kalimantan Timur. Pulau ini memiliki dataran pantai bertopografi datar dengan
pantai pasir memiliki kemiringan lereng sekitar 7° - 11° dan lebar 13,5 - 20 meter
(Pemrov Kaltim 2011). Secara geografis, pulau ini terletak diantara 116o sampai
119o Bujur Timur dan 1o sampai dengan 2,33o Lintang Utara (Disbun Berau 2009).
Pulau Derawan mempunyai potensi laut yang sangat kaya yang dicirikan
dengan keindahan taman laut dan keanekaragaman biota laut, serta menjadi
daerah konservasi penyu hijau menduduki posisi ke tiga di dunia. Pulau ini telah
dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2005.
Sebagai lokasi wisata, pulau ini kini dikelola oleh PT. Bhumi Manimbora
Interbuana sejak 1993 dan telah dilengkapi dengan cottages, restoran, speed boat
serta perlengkapan selam lainnya, sehingga menjadi salah satu maskot pariwisata
perairan Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim 2011).
Pulau Derawan memiliki potensi sumber daya alam dan letak yang strategis,
yang dapat dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha unggulan.

Potensi

tersebut terutama pada sektor perkebunan dalam penyediaan bahan baku
pengembangan Agroindustri.

Tanaman kelapa yang menjadi satu-satunya

komoditi perkebunan yang dibudidayakan di Pulau Derawan, selain berfungsi
sebagai tanaman penghias bibir pantai, juga sering dimanfaatkan untuk diambil
buah muda maupun kopra (Disbun Berau 2009).
Sejak tahun 2005, Dinas Perkebunan Berau Kalimantan Timur telah
menemukan tanaman kelapa bergejala penyakit menguning dan layu yang
kemudian diikuti dengan kematian tanaman di Pulau Derawan.

Penyakit ini

kemudian menyebar di dalam pulau ini hingga mengakibatkan lebih dari 10%
tanaman kelapa mati sampai tahun 2010 (Waimin 9 September 2010, komunikasi
pribadi).

Penyakit ini telah menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur sejak tahun 2008, salah satunya dengan melakukan upayaupaya pencegahan dan pengendalian di lapangan agar tidak menyebar luas ke
pertanaman kelapa dan kelapa sawit di luar Pulau Derawan. Dinas Perkebunan

6
Provinsi Kalimantan Timur dan Dinas Perkebunan Kabupaten Berau bekerjasama
dengan Puslit Kelapa Manado dan Puslit Kelapa Sawit Medan untuk melakukan
sosialisasi mengenai penyakit layu kelapa kepada masyarakat di Kepulauan
Derawan pada tahun 2009 (Pemprov Kaltim 2011).

Kondisi Pertanaman Kelapa di Indonesia
Kelapa (Cocos nucifera L.) adalah tanaman monokotil tropis dari Famili
Palmae yang sangat dikenal masyarakat Indonesia.

Tanaman ini merupakan

komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak
pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa,
tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian
besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai "pohon
kehidupan" (the tree of life) atau "pohon surga" (a heaven tree) (Deptan 2007).
Menurut Cook, Beccari, dan Herjerdhal, tanaman kelapa berasal dari
Amerika Selatan.

Namun Berry, Werth, Mearil, Mayurathan, Lepesma, dan

Pureseglove menyebutkan bahwa tanaman ini berasal dari Asia atau Indo Pasifik
(Suhardiono 1993). Tanaman kelapa yang sering dibudidayakan dibagi menjadi
tiga: (1) Kelapa dalam, misalnya varietas Viridis (kelapa hijau), Rubescens
(kelapa merah), Marcocorpu (kelapa kelabu), dan Sakarina (kelapa manis), (2)
Kelapa genjah, misalnya varietas Eburnea (kelapa gading), Regia (kelapa raja),
Pumila (kelapa puyuh), dan Pretiosa (kelapa raja malabar), (3) Kelapa hibrida
(Warisno 1998).
Areal penanaman kelapa di Indonesia terdapat di hampir seluruh wilayah
negeri, yaitu di Sumatera dengan areal 1,20 juta ha (32,90%), Jawa 0,903 juta ha
(24,30%), Sulawesi 0,716 juta ha (19,30%), Bali, NTB, dan NTT 0,305 juta ha
(8,20%), Maluku dan Papua 0,289 juta ha (7,80%), dan Kalimantan 0,277 juta ha
(7,50%). Kelapa diusahakan petani baik di kebun maupun pekarangan rumah
(Deptan 2007).
Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia.
Persentase luas areal perkebunan kelapa di Indonesia adalah 31,2% dari total luas
areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India

7

(16,0%), Sri Langka (3,7%) dan Thailand (3,1%) (Deptan 2007). Menurut
Allorerung & Hossang (2003), luas areal perkebunan kelapa sekitar 3,74 juta ha
dengan 96,60% pertanaman kelapa dikelola oleh petani dengan rata-rata
pemilikan 1 ha/kepala keluarga. Tanaman ini dibudidayakan secara monobiakan,
kebun campuran atau sebagai tanaman pekarangan.
Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki
posisi kedua setelah Filipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia
juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai
US$ 229 juta atau 11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 (Deptan
2007).
Rendahnya produktivitas kelapa di Indonesia ini salah satunya disebabkan
oleh kurang intensifnya pengelolaan kebun oleh petani. Banyak dari perkebunan
kelapa yang ada hanya bersifat usaha sampingan.

Pengelolaan kebun yang

dimaksud termasuk juga dalam hal manajemen pengendalian hama dan penyakit.
Sebagai tanaman tropis, kelapa masih cukup rentan dengan adanya berbagai
serangan hama dan penyakit (Deptan 2007).

Fitoplasma
Nama fitoplasma mulai diusulkan oleh Sears & Kirkpatrick (1994) karena
sifatnya hanya sebagai patogen yang menyerang tumbuhan. Sebelumnya patogen
ini

disebut

mycoplasma-like

organism

(MLO)

berdasarkan

pengamatan

menggunakan mikroskop elektron pada jaringan floem tanaman oleh peneliti di
Jepang, yaitu Doi et al. pada tahun 1967 yang mirip dengan mikoplasma pada
hewan. Bahkan sebelum itu, karena sifat gejala penyakit dan cara penularannya
patogen ini dianggap sebagai virus (Kirkpatrick 1989). Fitoplasma merupakan
bakteri tanpa dinding sel (Bertaccini 2007, Hogenhout et al. 2008). Bentuk selnya
adalah polimorfik dengan distribusi berada pada jaringan floem.

Fitoplasma

belum bisa dibiakankan pada media buatan serta perkembangbiakannya sangat
tergantung pada tanaman inang dan serangga vektor inang.

Oleh karena itu,

fitoplasma termasuk patogen obligat (Lee et al. 2000).
Fitoplasma termasuk ke dalam kelas Mollicute Kingdom Bacteria dengan
sistem penamaan belum dikukuhkan (masih sebatas Candidatus (‘Ca’)

8
fitoplasma).

Sistem klasifikasi fitoplasma baru didasarkan pada karakteristik

molekuler yaitu gen 16S rRNA (Zhao et al. 2010) dan gen selain gen 16S rRNA
seperti gen Intergenic Spacer Region (ISR) antara gen 16S–23S rRNA, gen Tuf,
gen Ribosomal Protein (rp), gen SecY, dan gen SecA (Lee et al. 2010, Hodgetts &
Dickinson 2010).

Gejala Penyakit dan Kisaran Inang
Fitoplasma telah diketahui menyebabkan penyakit pada ratusan spesies
tanaman (Bertaccini 2007, Hogenhout et al. 2008). Secara umum, tipe gejala
penyakit yang disebabkan oleh fitoplasma meliputi filodi (perubahan warna
bagian tanaman menjadi hijau yang pada umumnya tidak berwarna hijau),
virescen (bagian yang seharusnya menjadi bunga, tumbuh menjadi daun), sapu
(pertumbuhan tunas yang berlebihan dari satu titik tumbuh), pertambahan
abnormal jumlah akar sekunder (akar rambut), penghambatan pembungaan, kerdil
dan klorosis (Bertaccini 2007, Hogenhout et al. 2008). Gejala penyakit ini terjadi
karena terganggunya sistem fotosintesis terutama transpor fotosintat dan
konduktansi stomata, ketidakseimbangan hormon pertumbuhan, metabolisme
senyawa sekunder, dan perubahan nutrisi pada berbagai bagian tanaman (Marcone
2010).
Pada tanaman palma, patogen ini telah dilaporkan menyerang lebih dari 30
jenis tanaman palma inang (Alvarez et al. 2005). Daftar genus tanaman palma
yang termasuk ke dalam spesies yang rentan terhadap lethal yellowing akibat
fitoplasma adalah: Allogoptera, Arenga, Arikuryroba, Borassus, Caryota,
Chrysalidocarpus, Cocos, Corypha, Dictyosperma, Gaussia, Hyophorbe, Latania,
Livistona, Mascarena, Nannorrops, Phoenix, Pritchardia, Trachycarpus dan
Veitchia (Harrison & Elliot, 2006).
Salah satu penyakit yang merugikan pada tanaman kelapa adalah lethal
yellowing. Penyakit sejenis yang disebabkan oleh fitoplasma ini telah dilaporkan
menyebabkan kerugian yang cukup besar di berbagai daerah meliputi Afrika,
Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan serta terakhir daerah Asia.
Di Afrika, patogen ini telah dilaporkan menyerang tanaman kelapa di Benin,
Kamerun, Ghana, Nigeria, Togo, Tunisia (Triki et al. 2003), Kolombia (Alvarez

9

et al. 2005), Mesir (Ammar et al. 2005) dan Tanzania. Di Amerika Utara, patogen
ini telah menyerang tanaman kelapa di Semenanjung Yucantan Meksiko (Aguilar
et al. 2009), Florida, Miami dan Texas Amerika Serikat serta pulau Key West
Kuba. Di Amerika Tengah, penyakit karena fitoplasma ini terjadi di pulau
Cayman, Bahamas, Kuba, Republik Dominika, Haiti, Honduras dan Jamaika. Di
Asia, beberapa peneliti telah melaporkan keberadaan patogen ini di India
(Sharmila et al. 2004), Malaysia (Nejat et al. 2009) dan Indonesia (Warokka et al.
2006).
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit ini sangat besar. Triki et
al. (2003) melaporkan bahwa di Nefta oasis, persentase kematian tanaman
meningkat dari 12% pada tahun 1987 menjadi 50% pada tahun 1994. Survey juga
menunjukkan bahwa jumlah tanaman kelapa di Tunisia yang terinfeksi fitoplasma
sejumlah 4.700 tanaman pada tahun 1987 meningkat menjadi 36.000 tanaman
pada tahun 2002. Penyakit ini juga secara signifikan menurunkan jumlah tanaman
kelapa di Florida dan Karibia (Harrison & Elliot 2006).
Pada tanaman kelapa, gejala penyakit karena fitoplasma yang paling khas
adalah menguningnya daun-daun dari bawah (yang tua) dan merembet naik ke
daun yang lebih muda (Harrison & Elliot 2006).

Perkembangan generatif

tanaman yang terserang fitoplasma juga menjadi terhambat. Gejala lanjut adalah
gugurnya daun dan buah oleh produksi asam absisat dan etilen yang tinggi
(Marcone 2010).

Tingkat kemunculan gejala sampai kematian tanaman

tergantung dari ketahanan tanaman, konsentrasi dan tingkat virulensi patogen.

Penularan
Fitoplasma merupakan patogen sistemik yang hanya ditemukan pada
jaringan floem (jaringan vaskuler yang mengangkut sari-sari makanan) pada
tanaman dan di dalam tubuh serangga vektor. Di luar tanaman ataupun serangga
vektor, patogen ini tidak dapat hidup (Hogenhout et al. 2008).
Perpindahan fitoplasma dari tanaman satu ke tanaman yang lain secara
alami dibantu oleh serangga vektor dan tumbuhan parasit tali putri (Cuscuta spp.).
Serangga vektor memiliki tipe alat mulut pencucuk penghisap, stilet serangga
akan menghisap makanan dari jaringan vaskuler tanaman sakit termasuk floem

10
dan menyebarkan ke tanaman sehat (Hogenhout et al. 2008). Penularan fitoplasma
oleh serangga vektor bersifat persisten dan propagatif yaitu selama vektor masih
aktif hidup, patogen memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan tengah dan
saluran peredaran darah serangga hingga menuju kelenjar salivari sebelum
ditransfer melalui penghisapan makanan pada tanaman inang yang baru (Fletcher
et al. 1998).
Serangga vektor yang terlibat dalam penularan fitoplasma adalah wereng
(ordo Hemiptera) terutama wereng daun (famili Cicadellidae), wereng batang
(famili Fulgoroidea), dan serangga psyllids (famili Psyllidae) (Mitchell 2004,
Weintraub & Beanland 2006).

Mathen et al. (1990) melaporkan bahwa

Stephanitis typica (Distant) dewasa menjadi vektor penting fitoplasma pada
tanaman kelapa dengan masa inkubasi 13-18 hari dan 5 hari akses periode
akuisisi.

Vektor Myndus crudus dewasa menyerang tanaman kelapa (Cocos

nucifera) dan tanaman Palma yang lain, sedangkan stadia larva menyerang
tanaman rumputan yang tumbuh di sekitar tanaman Palma khususnya rumput St
Augustine (Stenotaphrum secundatum) (Howard, 1990). Vektor ini yang
menyebabkan perpindahan patogen dari India ke Negri Karibia (Ogle & Harries,
2005).

Pengelolaan Penyakit
Pengendalian penyakit fitoplasma pada tanaman kelapa maupun pada
tanaman lain belum ada yang efektif. Metode pengendalian yang paling baik
bersifat preventif meliputi penggunaan bahan tanaman yang bebas dari patogen,
penggunaan tanaman resisten, dan manajemen serangga vektor.

Namun

demikian, tanaman kelapa resisten fitoplasma masih sebatas pengujian ketahanan
pada varietas kelapa tertentu sedangkan serangga vektor umumnya memiliki
kisaran inang yang cukup luas sehingga menyulitkan pengendalian. Penggunaan
tanaman resisten terhadap fitoplasma merupakan solusi jangka panjang sedangkan
pengendalian serangga vektor dengan aplikasi insektisida juga tidak cukup
mengurangi daya sebar penyakit (Weintraub & Wilson 2010).
Pengendalian penyakit tanaman yang disebabkan oleh fitoplasma pada areal
endemik juga belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengendalian secara

11

kimiawi dengan aplikasi antibiotik oxytetracycline HCl melalui injeksi batang
ternyata tidak dapat membunuh fitoplasma tetapi hanya mampu mengurangi atau
menekan populasi fitoplasma dalam tanaman sampai pada batas yang tidak
merusak.

Ketika injeksi antibiotik dihentikan, populasi fitoplasma kembali

meningkat sehingga gejala penyakit akan berkembang kembali. Tanaman kelapa
yang telah terserang sebaiknya dieradikasi, tetapi karena penyebaran penyakit
dapat terjadi dengan cepat maka kehilangan hasil produksi bisa mencapai 100%
(Harrison & Elliot 2006).

Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma
Akhir-akhir ini deteksi dan identifikasi fitoplasma lebih didasarkan pada
karakteristik molekuler, khususnya terhadap gen 16S rRNA (Alvarez et al. 2005,
Zhao et al. 2010). Klasifikasi pendahuluan pada fitoplasma yang belum diketahui
dapat dilakukan menggunakan analisis randomly fragment length polymorphism
(RFLP) dari hasil amplifikasi fragmen DNA dengan nested PCR pada daerah 16S
rRNA dan kemudian dibandingkan dengan grup 16S rRNA fitoplasma yang sudah
ada (CIAT 2002, 2004, Alvarez et al. 2003, 2004). Fragmen hasil amplifikasi
(amplikon) kemudian disekuen dan didepositkan ke GenBank sebagai referensi
bagi peneliti yang lain (Sharmilla et al. 2004).
Nested PCR menjadi pilihan yang paling tepat untuk mengamplifikasi
daerah 16S rRNA dengan menggunakan pasangan primer universal yang
kemudian diikuti dengan pasangan primer produk hasil PCR yang pertama.
Nested PCR didesain memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifik untuk
amplifikasi fitoplasma. Teknik ini digunakan untuk mengantisipasi sedikitnya
jumlah patogen yang ditemukan pada jaringan floem (Lee et al. 1994, Gundersen
& Lee 1996, Ammar et al. 2005, Nejat et al. 2009).
Pasangan primer yang digunakan dalam PCR yang diturunkan dari sekuen
DNA ribosom atau non ribosomal telah digunakan untuk mendeteksi fitoplasma
pada daun, bunga jantan, jaringan batang atau akar tanaman kelapa (Harrison et
al. 1999). Fitoplasma lebih mudah dideteksi dari jaringan yang masih muda
daripada jaringan yang sudah tua (Escamilla et al. 1995, Harrison et al. 1995).
Mpunami (1997) menyebutkan bahwa DNA fitoplasma terdeteksi dari semua

12
jaringan merismatik contoh, meliputi petiole daun yang masih sangat muda,
daerah di bawah titik tumbuh, ujung akar, bunga jantan dan daun tombak.
Konsentrasi

paling

tinggi

ditemukan

pada

petiole

daun

yang

belum

membuka/daun tombak, ujung akar dan daerah di bawah titik tumbuh.

Klasifikasi Fitoplasma
Klasifikasi Konvensional dan Berdasarkan Gen 16S rRNA dan Gen Lain
Klasifikasi fitoplasma berdasarkan metode konvensional, yaitu lebih banyak
didasarkan atas sifat-sifat fenotip terutama pada gejala penyakit tanaman yang
ditimbulkan, masih belum memuaskan. Suatu fitoplasma dapat menyebabkan
perbedaan gejala penyakit pada tanaman yang berbeda atau gejala penyakit yang
sama dapat disebabkan oleh fitoplasma yang berbeda (Lee et al. 2000). Metode
ini juga dinilai kurang efektif karena fitoplasma termasuk dalam patogen obligat
sehingga sangat sulit dibiakan dalam media buatan. Kesulitan ini mengakibatkan
proses determinasi status taksonomi dengan serangkaian uji morfologi, fisiologi
dan biokimia dalam media buatan seperti halnya pada kelompok bakteri yang lain
menjadi rumit (Murray et al. 1990).

Oleh karena itu, pendekatan molekuler

dibutuhkan untuk menjadi acuan utama dalam studi klasifikasi fitoplasma saat ini.
Klasifikasi fitoplasma secara molekuler berdasarkan pada data sekuen genomik
dapat dilakukan tanpa membutuhkan biakan bakteri hidup (Lee et al. 2010).
Sampai saat ini, klasifikasi dan penamaan spesies fitoplasma utamanya
didasarkan pada gen 16S rRNA yang sebagian besar peneliti mengacu pada sistem
taksonomi untuk bakteri yang tidak dapat dibiakankan (Murray & Schleifer 1994).
Penamaan patogen baru sebatas kandidat fitoplasma (Ca. Phytoplasma). Kini
telah diketahui 28 spesies ‘Ca. Phytoplasma’ yang telah dinamai berdasarkan
pada kriteria yang direkomendasikan oleh Inte