Identification and multiplex reverse transcription polymerase chain reaction detection of viruses associated with mosaic symptom on patchouli (Pogostemon cablin Benth.).

IDENTIFIKASI DAN DETEKSI MULTIPLEX REVERSE
TRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION
VIRUS – VIRUS PENYEBAB GEJALA MOSAIK
PADA NILAM (Pogostemon cablin BENTH.)

MIFTAKHUROHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Deteksi
Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Virus – Virus
Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam (Pogostemon cablin Benth.) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Miftakhurohmah
NIM A352100031

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
MIFTAKHUROHMAH. Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction Virus – Virus Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam
(Pogostemon cablin Benth.). Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA dan TRI
ASMIRA DAMAYANTI.
Nilam merupakan salah satu sumber devisa Indonesia dan Indonesia
menjadi penyuplai terbesar kebutuhan minyak nilam dunia. Salah satu kendala
dalam budidaya nilam adalah infeksi virus. Informasi tentang virus – virus yang
menginfeksi tanaman nilam masih terbatas. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus – virus yang berasosiasi

dengan gejala mosaik pada tanaman nilam secara serologi dan molekuler.
Pengambilan sampel dan pengamatan gejala infeksi virus dilakukan di tiga
lokasi pertanaman nilam, yaitu Manoko (Bandung Barat), Cicurug (Sukabumi)
dan Cijeruk (Bogor). Setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30
tanaman baik yang bergejala maupun tidak. Deteksi secara serologi dilakukan
menggunakan empat antiserum : Cymbidium mosaic virus (CymMV), Broad bead
wilt virus 2 (BBWV2), Cucumber mosaic virus (CMV) dan Potyvirus.
Identifikasi secara molekuler dilakukan meliputi amplifikasi DNA virus tanaman
dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR), perunutan
DNA, dan analisis hasil runutan DNA. Untuk pengembangan deteksi cepat secara
molekuler dilakukan multiplex reverse transcription polymerase chain reaction
(RT-PCR) dengan menggunakan delapan variasi kombinasi konsentrasi primer (I,
II, III, IV, V, VI, VII dan VIII).
Kejadian infeksi Potyvirus di Manoko sebesar 100%, di Cicurug 83.3%
dan 50.0% di Cijeruk. Kejadian infeksi BBWV2 sebesar 100% di Manoko, 73.3%
di Cicurug dan 90.0% di Cijeruk. Kejadian infeksi CymMV sebesar 3.3% di
Manoko dan Cicurug, sedangkan kejadian CMV di Cicurug sebesar 80.0% dan
13.3% di Cijeruk. Semua pasangan primer yang digunakan berhasil
mengamplifikasi semua virus, dan mengkonfirmasi deteksi secara serologi.
Analisis homologi runutan nukleotida dan asam amino menunjukkan bahwa isolat

BBWV2 Manoko memiliki homologi tertinggi dengan BBWV2 asal Singapura
(tanaman inang Megakepasma erythroclamys / ME). Isolat BBWV2 Manoko
mengelompok dengan isolat BBWV2 asal Singapura (ME), Cina (lada) dan
Korea Selatan (cabai merah) berdasarkan runutan nukleotida dan asam amino.
Isolat CymMV asal Manoko memiliki homologi nukleotida dan asam amino
tertinggi dengan isolat CymMV asal Korea Selatan (Cymbidium). Hasil analisis
filogenetik berdasarkan runutan nukleotida, isolat CymMV Manoko
mengelompok dengan CymMV asal Indonesia (Dendobrium), Cina (Cymbidium
dan vanili), Korea Selatan (Cymbidium), India (Phaius sp.), Thailand (Oncidium)
dan Hawai (Dendobrium). Sedangkan berdasarkan asam amino isolat CymMV
asal Manoko mengelompok dengan CymMV Singapura (Dendrobium) dan India
(Phaius sp. dan vanili).

Multiplex RT-PCR berhasil mengamplifikasi Potyvirus, BBWV2 dan
CymMV menggunakan kombinasi primer V, VI, VII dan VIII. Dengan teknik ini,
deteksi infeksi virus ganda pada tanaman nilam bisa dilakukan secara simultan
dan hemat dalam penggunaan bahan – bahan yang diperlukan.
Kata kunci : Broad bean wilt virus 2, Cymbidium mosaic virus, mosaik, nilam

SUMMARY

MIFTAKHUROHMAH. Identification and Multiplex Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction Detection of Viruses Associated with Mosaic
Symptom on Patchouli (Pogostemon cablin Benth.). Supervised by GEDE
SUASTIKA and TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Patchouli essential oil is one of sources of Indonesia foreign exchange,
since Indonesia is the biggest supplier of patchouli oil in the world. One of
obstacle on the patchouli production is viral infection. Virus(es) infecting
patchouli plant has not been well known. Thus, the aim of presented work is to
detect and identify virus(es) associated with mosaic symptom on patchouli either
serologically or molecularly.
Samples were collected from patchouli cultivation in Cicurug and Cijeruk
(Sukabumi) and in Manoko (Lembang, Bandung) by taking 30 symptomatic and
asymptomatic samples from each location. Serological test using four antisera to
Cucumber mosaic virus (CMV), Cymbidium mosaic virus (CymMV), Potyvirus
and Broad bean wilt virus 2 (BBWV2) were carried out to determine the
incidence of virus infection. Further molecular detection of virus(es) was carried
out by reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) and DNA
sequencing. Multiplex RT-PCR was developed to provide rapid detection of those
viruses used eight combination of primer concentrations (I, II, III, IV, V, VI, VII
and VIII).

Serology detections showed that BBWV2 and Potyvirus were detected in
all sampling locations, CymMV was found in Cicurug and Manoko, while CMV
was detected in Cicurug and Cijeruk. Potyvirus disease incidence was 100% in
Manoko, 83.3% in Cicurug and 50.0% in Cijeruk. BBWV2 disease incidence was
100% in Manoko, 73.3% in Cicurug and 90.0% in Cijeruk. Disease incidence of
CymMV in Manoko and Cicurug was 3.3% , while the incidence of CMV in
Cicurug was 80.0% and 13.3% in Cijeruk. Each of primer pairs were able to
amplify the coresponding viruses, which confirmed the serology detections.
Nucleotide and amino acid sequence homology analysis showed that BBWV2
isolated from Manoko has a highest homology with BBWV2 from Singapore
(natural host: Megakepasma erythroclamys / ME). BBWV2 from Manoko
clustered with BBWV2 from Singapore (ME), China (pepper) and South Korea
(red pepper) based on the nucleotide and amino acid sequences. CymMV from
Manoko has a highest homology of nucleotide and amino acid sequences with
CymMV from South Korea (Cymbidium). CymMV from Manoko clustered with
CymMV from India (Phaius sp), Indonesia (Dendrobium), China (Cymbidium and
vanilla), Thailand (Oncidium), Hawai (Dendrobium) and South Korea
(Cymbidium) based on nucleotide sequence. While based on amino acid sequence,
CymMV from Manoko clustered with CymMV from India (Phaius sp and
vanilla), and Singapore (Dendrobium).


Multiplex RT-PCR was succesfully amplified Potyvirus, BBWV2 and
CymMV by using primer combination V, VI, VII and VIII. The multiplex RTPCR can be applied to detect multiple viruses infection on patchouli
simultaneously.
Key words : Broad bean wilt virus 2, Cymbidium mosaic virus, mosaic, patchouli

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IIDENTIFIKASI DAN DETEKSI MULTIPLEX REVERSE TRANSCIPTION
POLYMERASE CHAIN REACTION VIRUS – VIRUS PENYEBAB
GEJALA MOSAIK PADA NILAM (Pogostemon cablin BENTH.)


MIFTAKHUROHMAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi, PhD

Judul Tesis : Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction Virus - Virus Penyebab Gejala Mosaik
pada Nilam (Pogostemon cablin Benth.)
Nama
NIM


: Miftakhurohmah
: A352100031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Gede Suastika, MSc
Ketua

Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Fitopatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Hendrastuti H., MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayahNya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction Virus - Virus Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam (Pogostemon
cablin Benth.)”. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Tesis ini dibuat untuk
memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Fitopatologi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gede Suastika, MSc dan Dr Ir
Tri Asmira Damayanti, MAgr atas bimbingan, saran, kritik, dan dukungan moril
yang sangat besar peranannya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi, PhD yang

bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis; Badan Litbang pertanian
atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
program Pascasarjana di IPB; Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc atas bimbingan
dan izin penggunaan bahan laboratorium untuk penelitian. Terima kasih sebesar –
besarnya penulis ucapkan kepada suami, anak – anak, orang tua dan saudara yang
telah memberikan dukungan selama penulis menjalani studi. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada seluruh pegawai Kelompok Peneliti Proteksi
Tanaman Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat atas seluruh bantuan dan
dukungannya selama penulis menjalani studi. Penulis menyampaikan terima kasih
kepada teman – teman di laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi
Tanaman IPB atas seluruh bantuan, dukungan semangat, dan keceriannya selama
penulis menjalani penelitian.

Bogor, Oktober 2013
Miftakhurohmah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvii


DAFTAR GAMBAR

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

xviii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
3
Budidaya Tanaman Nilam
3
Virus - Virus yang Menginfeksi Tanaman Nilam
4
Potyvirus
4
Cucumber mosaic virus
5
Fabavirus
6
Potexvirus
7
Deteksi dan Identifikasi Virus
8
Pengamatan Partikel Virus Menggunakan Mikroskop Elektron
8
Deteksi dan Identifikasi Virus Berdasarkan Biomolekuler
9
Serologi
9
Polymerase Chain Reaction (PCR)
10
METODE
Tempat dan Waktu
Pengambilan Sampel
Pengamatan Partikel Virus
Deteksi Serologi
Deteksi Asam Nukleat
Ekstraksi RNA
Konstruksi cDNA (complementary DNA)
Amplifikasi DNA dan Multiplex Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Amplifikasi DNA
Multiplex RT-PCR
Visualisasi DNA
Analisis Runutan Nukleotida dan Asam Amino
Perunutan Susunan Nukleotida
Analisis Identitas Matriks dan Filogenetika

11
11
11
11
12
13
13
14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Infeksi Virus pada Nilam
Kejadian Infeksi Virus pada Pertanaman Nilam
Partikel Virus
Deteksi Potyvirus, BBWV2 dan CymMV secara Molekuler
Potyvirus

17
17
17
20
21
21

14
15
16
16
16
16

Broad bean wilt virus 2
Homologi runutan nukleotida dan asam amino gen
SCP BBWV2
Pohon filogenetika runutan nukleotida dan asam
amino gen SCP BBWV2
Cymbidium mosaic virus
Homologi runutan nukleotida dan asam amino gen
CP CymMV
Pohon filogenetika runutan nukleotida dan asam
amino gen CP CymMV
Multiplex RT-PCR

22
23
25
26
28
30
32

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
34
34

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1 Primer - primer yang digunakan untuk deteksi virus mosaik nilam
2 Program amplifikasi untuk setiap primer yang digunakan dalam kegiatan
PCR
3 Kombinasi total konsentrasi primer Potyvirus, BBWV2 dan CymM
4 Kejadian penyakit Potyvirus, BBWV2, CymMV, CMV dan TMV pada
pertanaman nilam di Manoko, Cicurug dan Cijeruk
5 Hasil BLAST runutan nukleotida isolat BBWV2 asal Cicurug
menggunakan software Blast (www. ncbi.nml.niv.gov)
6 Isolat BBWV2, PatMMV dan BBWV1 dari database GenBank yang
digunakan untuk membandingkan homologi gen SCP BBWV2 Manoko
7 Homologi runutan nukleotida dan asam amino gen SCP BBWV2 Manoko
dengan beberapa anggota genus Fabavirus
8 Hasil BLAST runutan nukleotida isolat CymMV asal Manoko
menggunakan software Blast (www.ncbi.nml.niv.gov)
9 Isolat CymMV dari database GenBank yang digunakan untuk
membandingkan homologi gen CP CymMV Manoko
10 Homologi nukleotida dan asam amino gen CP CymMV Manoko dengan
beberapa CymMV asal beberapa negara lain

14
15
15
18
22
24
24
27
29
29

DAFTAR GAMBAR
1 Peta genom secara umum anggota genus Potyvirus. P1-Pro, berukuran
35K, yaitu protein dengan aktifitas proteolitik; HC-Pro berukuran 52K
yaitu protein dengan aktifitas helper component; P3 berukuran 50K;
protein yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; CI berukuran 71 K,
membentuk badan inklusi silindris; protein yang belum diketahui
fungsinya, berukuran 6K; NIa dan NIb berukuran 21, 27 dan 58K
merupakan protein pembentuk badan inklusi (small dan large) dan CP
sebagai pembentuk selubung protein, berukuran 30K (van Regenmortel et
al. 2000)
2 Organisasi genom CMV. 1a dan 2a : protein replikasi berukuran 109K dan
14K; protein 2b overlap dengan ORF 2a sebanyak 69 kodon; 3a :
Movement protein berukuran 32K, dan 3b. : selubung protein (CP)
berukuran 24K (Hull 2002)
3 Struktur genom RNA 1 (A) dan RNA 2 (B) PatMMV. Pro-C= protease
cofactor, NTB= nucleotide tri-phosphate binding protein, VPg= viral
protein genome-linked, C-Pro : cysteine protease, RdRp : RNA dependent
RNA polymerase, MP : movement protein, LCP : Large Coat Protein, SCP
: Short Coat Protein (Ikegami et al. 1998; 2001)
4 Genom CymMV, salah satu anggota genus Potexvirus, RdRP : RNA
dependent RNA polymerase, TGB : triple gene block, MP : movement
protein, CP : coat protein (Ajjikuttira dan Wong 2009)
5 Gejala infeksi virus tanaman nilam di lapangan. a. tidak bergejala, b dan c.
mosaik lemah, d – g. variasi gejala mosaik, h. bintik kuning

5

5

6

7
18

6 Mikrograf elektron dari cairan daun nilam yang telah diwarnai dengan
uranyl acetate : a. Partikel Potyvirus, b. Partikel BBWV2, c. Partikel
CymMV
7 Hasil visualisasi RT-PCR dengan primer P29502 dan CPUP pada gel
agarosa 1.5%. 1-2. Isolat Cijeruk, 3-7. Isolat Cicurug, 8-10. Isolat
Manoko, K+. Kontrol positif Potyvirus dari nilam asal Bogor, K-. Kontrol
negatif, M. Penanda DNA 100 pb
8 Hasil visualisasi RT-PCR dengan primer BBWVVSSP dan BBWVKMRM
pada gel agarose 1.5%. M. Penanda DNA 100 pb, K-. kontrol negatif, 1-2.
isolat dari Manoko positif, 3. isolat Manoko negatif, 4-6. isolat dari
Cicurug positif, 7-9. isolat dari Cijeruk positif
9 Hasil visualisasi RT-PCR BBWV2 pada gel agarosa 1%. 1. Isolat Manoko
negatif, 2. Isolat Manoko positif, 3. Isolat Cicurug positif, K- . kontrol
negatif, M. Penanda DNA 1 kb plus
10 Pohon filogenetika gen SCP BBWV2 isolat Manoko berdasarkan : (a)
runutan nukleotida, (b) asam amino. Pohon filogenetika dibuat dengan
menggunakan software MEGA 4.0, metode neighbour-joining, dengan
bootstrap sebanyak 1000 kali. BBWV1 (AY781172) digunakan sebagai
pembanding di luar grup
11 Hasil visualisasi RT-PCR dengan primer general Potexvirus pada gel
agarosa 1.5 %. M. Penanda DNA 100 pb, K-. kontrol negatif, K+. kontrol
positif, CymMV asal Anggrek, 1. isolat Manoko
12 Hasil visualisasi RT-PCR CymMV pada gel agarosa 1.5 %. M. Penanda
DNA 100 pb, K-. kontrol negatif, K+. kontrol positif, 1. sampel Cicurug,
2-4. sampel Manoko
13 Pohon filogenetika gen CP CymMV isolat Manoko berdasarkan : (a)
runutan nukleotida. (b) asam amino. Pohon filogenetika dibuat
menggunakan software MEGA 4.0, metode neigbour-joining, dengan
bootstrap sebanyak 1000 kali. PVX (AF485891) digunakan sebagai
pembanding di luar grup
14 Hasil visualisasi uniplex RT-PCR pada gel agarosa 1.5%. M. Penanda
DNA 100 pb, 1. Sampel sehat, 2. Potyvirus, 3. CymMV, 4. BBWV2
15 Hasil visualisasi multiplex RT-PCR pada gel agarosa 1.5 %. M. Penanda
DNA 100 pb, 1 – 8. Produk PCR yang teramplifikasi oleh set primer I –
VIII, dimana kombinasinya dapat dilihat pada tabel di atas gambar

21

21

22

23

26

27

28

31
32

33

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil ELISA sampel komposit dan sampel tunggal dari Manoko, Cicurug
dan Cijeruk
2 Hasil alignment nukleotida antara genom SCP BBWV2 isolat Manoko
dengan nukleotida genom – genom SCP BBWV2, dan PatMMV, serta
BBWV1 sebagai isolat di luar grup yang didapatkan dari database
GenBank
3 Hasil alignment asam amino gen SCP BBWV2 isolat Manoko dengan
asam amino gen SCP BBWV2, dan PatMMV, serta BBWV1 sebagai isolat
di luar grup yang didapatkan dari database GenBank

41

45

47

4 Hasil alignment nukleotida antara genom CymMV isolat Manoko
dengan nukleotida genom – genom CymMV yang didapatkan dari
database GenBank Hasil alignment nukleotida antara genom CymMV
isolat Manoko dengan nukleotida genom – genom CymMV yang
didapatkan dari database GenBank
5 Hasil alignment asam amino antara genom CymMV isolat Manoko
dengan nukleotida genom – genom CymMV yang didapatkan dari
database GenBank

48

50

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nilam (Pogostemon cablin Beth) merupakan salah satu tanaman penghasil
minyak atsiri yang menjadi salah satu sumber devisa Indonesia. Minyak nilam
dalam dunia perdagangan internasional dikenal sebagai patchouli oil banyak
digunakan sebagai bahan fiksatif dalam pembuatan parfum, sabun dan kosmetik.
Indonesia memenuhi kurang lebih 70% kebutuhan minyak nilam dunia dengan
volume ekspor rata–rata di atas 1 000 ton per tahun (Barani 2008). Ekspor minyak
nilam Indonesia pada tahun 2004 mencapai 2 074 ton dengan nilai US$ 27 137
juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Hal ini mengakibatkan tingginya
minat petani untuk mengembangkan tanaman nilam. Pada tahun 2009 luas areal
penanaman nilam seluas 24 535 ha, yang meningkat sebesar 9.79% dari tahun
2008, dengan produktifitas sebesar 0.11 ton/ha. Namun demikian, pada tahun
2010, terjadi penurunan sebesar 4.53% luas penanaman nilam, menjadi 23 472 ha,
dan penurunan produktifitas sebesar 0.09 ton/ha (Direktorat Jenderal Perkebunan
2012).
Salah satu kendala budidaya tanaman nilam adalah adanya serangan hama
dan penyakit. Penyakit utama pada tanaman nilam adalah penyakit layu yang
disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dan serangan nematoda (Asman et al.
1998; Mustika et al. 1991). Penelitian tentang penyakit layu sudah banyak
dilakukan, baik mengenai deteksi dan identifikasi, serta usaha –usaha
pengendaliannya. Selain penyakit layu dan serangan nematoda, infeksi virus juga
ditemukan pada tanaman nilam. Beberapa virus yang dilaporkan menyerang
tanaman nilam adalah Tobacco necrosis virus (Gama et al. 1982), Patchouli mild
mosaic virus (PatMMV) (Natsuaki et al. 1994), Patchouli mottle virus (PatMoV)
(Natsuaki et al. 1994, Sugimura et al. 1995), Patchouli virus X (PatVX) (Filho et
al. 2002), dan Peanut stripe virus (PStV) (Singh et al. 2009).
Uji serologi sampel tanaman nilam berhasil mendeteksi PatMoV
(Sumardiyono et al. 1996), dan infeksi campuran antara CMV dan Potyvirus pada
pertanaman nilam di Cianjur dan Bogor (Sukamto et al. 2007). Pada pertanaman
nilam di Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, ditemukan gejala
mosaik yang berasosiasi dengan Potyvirus berdasarkan uji serologi dan PCR.
Sedangkan gejala mosaik di Brebes (Jawa Tengah) terdeteksi positif Broad bean
wilt virus 2 (BBWV2) (Noveriza et al. 2012a).
Infeksi virus pada tanaman nilam diketahui telah menjadi kendala utama
pada pertanaman nilam di Jawa dan Sumatera Barat. Kejadian penyakit akibat
infeksi Potyvirus diperkirakan berkisar antara 30 sampai 50%, sedangkan di Jawa
Tengah akibat infeksi BBWV2 berkisar 40% (Noveriza et al., 2012a). Infeksi
virus menyebabkan penurunan bobot terna basah sebesar 7.87 sampai 34.65%,
bobot terna kering sebesar 0.62 sampai 40.42% dan penurunan kadar patchouli
alcohol sebesar 0.72 sampai 5.06% (Noveriza et al., 2012b).
Deteksi dan identifikasi virus merupakan langkah pertama yang harus
dilakukan sebelum penentuan strategi pengendalian yang tepat. Ada beberapa
metode untuk mendeteksi virus, yaitu berdasarkan sifat-sifat biologi dan bagian
dari partikel virus. Deteksi dengan target partikel virus dapat dilakukan secara

2
serologi dan molekuler. Salah satu teknik serologi adalah Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), sedangkan teknik molekuler yang umum
digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) (Naidu dan Hughes, 2003).
Dari hasil PCR, selanjutnya dapat dilakukan perunutan susunan nukleotida, yang
dapat digunakan untuk mengklasifikasikan virus berdasarkan genomnya.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa analisis sekuen coat protein (CP) sangat
berguna dalam kegiatan identifikasi BBWV1 dan BBWV2 (Kobayashi et al.
1999, Kondo et al. 2005). Beberapa software telah tersedia untuk
mengklasifikasikan virus berdasarkan susunan nukleotida genomnya, diantaranya
BioEdit, MEGA, dan GeneDoc (Tamura et al. 2007; Hall 1999).
Infeksi ganda virus pada tanaman nilam telah dilaporkan sebelumnya oleh
Natsuaki et al. (1994) dan Sugimura et al. (1995), yang menyebabkan gejala lebih
parah dibandingkan infeksi tunggal. Untuk mendeteksi secara cepat infeksi
beberapa virus pada tanaman, diperlukan metode deteksi secara cepat, efisien dan
akurat. Metode multiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RTPCR) telah banyak digunakan untuk mendeteksi infeksi ganda beberapa virus
pada tanaman.
Kebun Percobaan Balittro di Manoko dan Cicurug, serta kebun petani di
Cijeruk memiliki lahan pertanaman nilam yang cukup luas, dan berdasarkan
pengamatan awal, banyak ditemukan gejala penyakit yang diduga berasosiasi
dengan virus. Nilam diperbanyak secara vegetatif dan pada ketiga lahan
pertanaman tersebut diproduksi bibit tanaman nilam, serta belum diketahui status
kesehatan nilam yang berasal dari lokasi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang deteksi dan identifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan
penyakit mosaik pada pertanaman nilam di ketiga lokasi tersebut serta metode
deteksi beberapa virus secara simultan.

Tujuan Penelitian
1.
2.

Mendeteksi dan mengidentifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan
penyakit mosaik pada tanaman nilam.
Mengoptimasi metode multiplex reverse transcription polymerase chain
reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi secara simultan Potyvirus, BBWV2 dan
CymMV.
Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan mendapatkan informasi jenis – jenis virus yang
menginfeksi nilam sebagai dasar pengambilan tindakan pengendalian yang tepat
serta metode deteksi secara simultan Potyvirus, BBWV2 dan CymMV.

Hipotesis
1.
2.

Gejala mosaik pada nilam dapat disebabkan oleh lebih dari satu jenis virus.
Multiplex RT-PCR dapat diterapkan untuk mendeteksi virus – virus pada
tanaman nilam secara simultan.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Tanaman Nilam
Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri.
Minyak nilam, yang dalam dunia perdagangan internasional dikenal sebagai
patchouli oil, merupakan bahan pengikat aroma wangi yang tidak dapat
digantikan dengan zat sintetis lain. Selain minyak nilam yang bermanfaat, limbah
hasil penyulinganpun dapat dipergunakan sebagai bahan baku pupuk organik,
karena memiliki kadar hara yang tinggi. Dengan teknologi pengomposan yang
cepat dan efisien, akan menghasilkan pupuk organik yang bermutu tinggi
(Suhirman 2011).
Di Indonesia, terdapat tiga jenis nilam, yaitu Pogostemon cablin Benth
(nilam Aceh), P. heyneanus (nilam jawa) dan P. hortensis (nilam sabun), dimana
hanya nilam jawa yang berbunga. Selain bunga, ketiga jenis tanaman nilam
tersebut dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologi, kandungan dan kualitas
minyak, serta ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik. Nilam Aceh
merupakan jenis nilam yang paling banyak dibudidayakan karena kadar
minyaknya lebih tinggi dan kualitas minyaknya lebih bagus dibandingkan nilam
jawa dan nilam sabun (Nuryani 2006).
Nilam Aceh diperkirakan masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu,
diduga berasal dari Filipina atau Semenanjung Malaysia. Berdasarkan
pengamatan tanaman nilam Aceh, ditemukan perbedaan baik karakter morfologi,
kandungan minyak, sifat fisika kimia minyak serta ketahanannya terhadap
penyakit dan kekeringan. Hal ini diduga karena telah lama dibudidayakan di
beberapa daerah, menyebabkan terjadinya perubahan dari sifat – sifat asalnya.
Nilam Jawa berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat
berbunga, yang dapat dibedakan dengan nilam Aceh berdasarkan visual daunnya.
Daun nilam Jawa permukaannya kasar dengan tepi bergerigi runcing, sedangkan
daun nilam Aceh permukaannya halus dengan tepi bergerigi tumpul. Nilam Jawa
lebih tahan terhadap serangan nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan
nilam Aceh, namun kualitas minyaknya kurang bagus (Nuryani 2006). Nilam
sabun, seperti halnya nilam Jawa, memiliki kualitas minyak yang kurang bagus
dibandingkan nilam Aceh. Pada zaman dulu, daun nilam sabun digunakan untuk
mencuci pakaian. Daun nilam sabun tidak berbulu, permukaannya mengkilap, dan
lebih tipis dari daun nilam Aceh (Mangun 2002).
Tanaman nilam termasuk tanaman herba yang mudah dibudidayakan.
Nilam dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 500 sampai 400 m dpl, namun
masih mampu tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 1
200 m dpl. Pertumbuhan tanaman nilam membutuhkan curah hujan berkisar
antara 2 000 sampai 2 500 mm/th, suhu optimum 24 sampai 28 oC, intensitas
penyinaran 75 sampai 100%, serta kelembaban lebih dari 75% (Nuryani et al.
2005).
Dalam upaya peningkatan produksi dan produktifitas serta mutu minyak
nilam, perlu memperhatikan bahan tanaman yang digunakan, teknologi budidaya,
lingkungan tumbuh, baik abiotik maupun abiotik, serta panen dan pasca panen.
Dalam pemilihan bahan tanaman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti

4
(1) varietas, harus berasal dari varietas unggul. Varietas yang direkomendasikan
yaitu Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan; (2) Tanaman induk, benih harus
berasal dari tanaman induk yang sehat (bebas hama dan penyakit) dan tanpa gejala
kekurangan unsur hara; (3) Lokasi asal benih, untuk benih dari lokasi dengan
kondisi agroklimat yang berbeda, perlu dilakukan penyesuaian (Ditjenbun 2011).
Salah satu kendala budidaya pada tanaman nilam adalah adanya serangan
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Hama utama pada tanaman nilam
adalah Aphis gossypii, ulat pemakan daun, ulat penggulung daun (Sylepta sp.),
walang sangit, tungau merah, belalang dan rayap (Mardiningsih et al. 2011).
Selain berperan sebagai hama, A. gossypii juga berperan sebagai vektor beberapa
virus, diantaranya yaitu Broad bean wilt virus 1 (BBWV1) (Belliure et al. 2009),
dan Potyvirus. BBWV1 dan Potyvirus ditemukan menginfeksi tanaman nilam,
yang menyebabkan gejala mosaik pada tanaman nilam (Noveriza et al. 2012a).
Penyakit penting pada tanaman nilam adalah penyakit layu bakteri yang
diakibatkan oleh Ralstonia solanacearum, penyakit merah dan kuning yang
disebabkan oleh nematoda, penyakit budok yang diakibatkan oleh cendawan
Synchytrium sp., dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus (Wahyuno et al.
2011). Infeksi virus menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kadar
patchouli alcohol pada beberapa varietas tanaman nilam (Noveriza et al. 2012b).
Virus – Virus yang Menginfeksi Tanaman Nilam
Potyvirus
Potyvirus tergolong ke dalam famili Potyviridae yang memiliki anggota
spesies paling banyak dibandingkan genus lain (Fauquet et al. 2005). Beberapa
anggota genus ini menyebabkan kehilangan secara nyata pada tanaman
holtikultura, tanaman hias, tanaman pangan dan padang rumput (Chen et al.
2001).
Genom Potyvirus terdiri dari satu RNA utas tunggal positif sense,
berukuran kira – kira 8.5 sampai 10 kb, dengan bagian – bagian : (1) 5’ VPg
(genome-linked viral protein) (24kDa); (2) 5’ non coding region, berukuran 144
nukleotida yang kaya dengan basa A dan U, (3) ORF tunggal berukuran besar,
yaitu 9 161 nukleotida yang mengkode 3 000 asam amino (340 kDa), terdiri dari
P1-Pro, HC-Pro, P3, CI (cylindrical inclusion), NIa dan NIb (nuclear inclusion a
dan b), serta CP (coat protein), (4) 3’ untranslated region, berukuran 190 basa,
sebelum poly A (van Regenmortel et al. 2000; Hull 2002) (Gambar 1). Partikel
Potyvirus berbentuk benang lentur, tanpa amplop, berdiameter 11 sampai 15 nm,
dengan panjang 650 sampai 900 nm (Fauquet et al. 2005).
Pada umumnya spesies anggota genus ini memiliki kisaran inang yang
sempit, namun beberapa spesies memiliki lebih dari 30 famili tanaman sebagai
inangnya. Potyvirus ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, serta bisa
ditularkan secara mekanis. Bagian genom, yaitu helper component dan bagian
asam amino triplet (DAG untuk beberapa spesies Potyvirus) dibutuhkan dalam
penularan dengan kutudaun. Penularan melalui kutudaun pada beberapa isolat
tidak efisien, bahkan ada yang tidak bisa ditularkan oleh kutudaun (van
Regenmortel et al. 2000).

5
Potyvirus yang menginfeksi tanaman nilam diidentifikasi sebagai Peanut
stripe virus (PStV) di India yang menyebabkan gejala mosaik pada daun nilam
(Singh et al. 2009), Patchouli mottle virus (PatMoV) di Jepang, dengan gejala
berkisar antara tanpa gejala sampai belang lemah (Natsuaki et al. 1994) dan
Telosma mosaic virus (TeMV) di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Jawa Barat
yang menyebabkan gejala mosaik dengan beberapa variasi (Noveriza et al.
2012a).
VPg

P1Pro

Gambar 1

HCPro

P3

6K1

CI

6K2 NIa NIa

NIb

CP

(A)n3’

Peta genom secara umum anggota genus Potyvirus. P1-Pro,
berukuran 35K, yaitu protein dengan aktifitas proteolitik; HC-Pro
berukuran 52K yaitu protein dengan aktifitas helper component; P3
berukuran 50K; protein yang belum diketahui fungsinya berukuran
6K; CI berukuran 71 K, membentuk badan inklusi silindris; protein
yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; NIa dan NIb
berukuran 21, 27 dan 58K merupakan protein pembentuk badan
inklusi (small dan large) dan CP sebagai pembentuk selubung
protein berukuran 30K (van Regenmortel et al. 2000)

Cucumber mosaic virus (CMV)
CMV tergolong ke dalam genus Cucumovirus, famili Bromoviridae. CMV
merupakan tipe spesies dari Cucumovirus, dengan bentuk partikel spherical
berdiameter 26 sampai 35 nm dan panjang 30 sampai 85 nm. Virus ini memiliki
kisaran inang yang luas, menginfeksi 85 famili tanaman, dan lebih dari 1 000
spesies. CMV ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, dan dapat ditularkan
juga secara mekanis (Fauquet et al. 2005).
Genom CMV memiliki 3 utas tunggal RNA positif sense, yaitu RNA 1 (3
357 nukleotida), RNA 2 (3 050 nukleotida), dan RNA 3 (2 116 nukleotida), serta
2 subgenomik RNA, yaitu RNA 4 dan RNA4A (1 027 nukleotida). RNA 1 dan
RNA 2 mengkode gen replikasi. Selain itu, pada 3’ sequence RNA 2, mengkode
protein yang berperan dalam perpindahan jarak jauh CMV, melalui subgenomik
RNA4A. RNA 3 mengkode movement protein dan protein selubung (CP), dimana
gen CP tersebut diekspresikan dari RNA 4 sebagai subgenomik (Gambar 2) (Hull
2002; Roossinck 2001; Gal-On et al. 2000 dalam Feng et al. 2006).
RNA2

RNA1
1a

Gambar 2

RNA3
2a

2b

3a

3b

RNA4

Organisasi genom CMV. 1a dan 2a : protein replikasi berukuran
109K dan 14K; protein 2b overlap dengan protein 2a sebanyak 69
kodon; 3a : movement protein berukuran 32K dan 3b : selubung
protein (CP) berukuran 24K (Hull 2002)

6
CMV terdeteksi secara serologi menginfeksi pertanaman nilam di Cianjur
dan Bogor, Jawa Barat. Infeksi CMV bersama – sama dengan Potyvirus
menyebabkan gejala mosaik. Berdasarkan hasil ELISA, antiserum Potyvirus
bereaksi lebih kuat dengan sampel dibandingkan dengan antiserum CMV
(Sukamto et al. 2007).
Fabavirus
Fabavirus tergolong ke dalam famili Comoviridae, dilaporkan
menginfeksi tanaman yang memiliki arti penting secara ekonomi diantaranya bush
basil (Ocimum basilicum) (Sanz et al. 2001), gentian (Gentiana scabra)
(Kobayashi et al. 2005), Mikania micrantha (Compositae) (Wang et al. 2008),
dan cabai (Capsicum annum) (Lee et al. 2000). Di lapangan, Fabavirus ditularkan
oleh kutudaun secara non persisten. Broad bean wilt virus 1 ditularkan secara
efektif oleh Myzus persicae dan Aphis gossypii (Belliure et al. 2009), serta BBWV
pada basil juga ditularkan oleh M. persicae dan A. gossypii (Sanz et al. 2001).
Partikel Fabavirus berbentuk icosahedral berdimeter sekitar 30 nm,
memiliki genom 2 RNA utas tunggal berukuran antara 6.0 sampai 6.3 kb (RNA1)
dan 3.9 sampai 4.5 kb (RNA2), di mana masing – masing RNA terenkapsidasi
secara terpisah (Kobayashi et al. 2005). Prediksi runutan poliprotein yang dikode
oleh RNA 1 PatMMV dihasilkan untuk protease cofactor (39K), NTP-binding
protein (66K), VPg (3K), cysteine protease (23K) dan RNA-dependent RNA
polymerase (79K). Protease diperlukan untuk memecah poliprotein pada virus
yang menggunakan polyprotein processing sebagai strategi translasi. ORF
panjang dari RNA2 PatMMV, menunjukkan Movement Protein (MP) berukuran
52K, Large Coat Protein (LCP) berukuran 44K dan Small Coat Protein (SCP)
berukuran 22K (Gambar 3A dan 3B) (Ikegami et al. 1998; 2001).
(A) RNA1
Pro-C

NTB

VPg

C-Pro

RdRp

poly A

(B) RNA2
MP

Gambar 3

LCP

SCP

poly A

Struktur genom RNA 1 (A) dan RNA 2 (B) PatMMV. Pro-C=
protease cofactor, NTB= nucleotide tri-phosphate binding protein,
VPg= viral protein genome-linked, C-Pro : cystein protease, RdRp :
RNA dependent RNA polymerase, MP : movement protein, LCP :
Large Coat Protein, SCP : Short Coat Protein (Ikegami et al. 1998;
2001)

Genus Fabavirus memiliki empat spesies definitif yaitu : BBWV 1 dan 2,
Lamium mild mosaic virus (LMMV) dan PatMMV (van Regenmortel et al. 2000).
Saat ini ditemukan virus baru yang tergolong Fabavirus juga, yaitu Gentian
mosaic virus (Kobayashi et al. 2005).
Fabavirus yang menyebabkan gejala mosaik pada tanaman nilam di
Jepang dilaporkan disebabkan oleh PatMMV. Virus ini memiliki kemiripan

7
morfologi partikel, berat molekul CP dan hubungan serologi dengan BBWV dan
LMMV. Namun demikian, PatMMV menunjukkan perbedaan kisaran inang dan
gejala pada tanaman Vicia faba dan Nicotiana tabacum. Perbedaan ini yang
menyebabkan PatMMV dikategorikan sebagai spesies baru anggota Fabavirus
(Natsuaki et al. 1994).
Potexvirus
Genus Potexvirus dinamakan setelah Potato virus X (PVX), memiliki
banyak anggota yang menginfeksi beberapa tanaman di seluruh dunia. Salah satu
anggota genus ini yang terkenal adalah Cymbidium mosaic virus (CymMV) yang
menyebabkan kehilangan besar secara ekonomi pada tanaman anggrek. Gejala
yang disebabkan Potexvirus umumnya mosaik dan tanaman kerdil. Potexvirus
memproduksi sejumlah besar partikel virus pada sitoplasma sel yang terinfeksi
(Agrios 2005).
Partikel Potexvirus berbentuk flexuous rod, dengan panjang antara 470
sampai 580 nm, dan berdiameter antara 11 sampai 13 nm. Genom Potexvirus
adalah RNA positif utas tunggal, berukuran 5.8 sampai 7.0 kb dan memiliki lima
Open Reading Frame (ORF). ORF1 mengkode protein yang berhubungan dengan
replikasi virus, ORF2 sampai 4 berfungsi sebagai Triple Gene Block (TGB) dan
mengkode gen yang berhubungan dengan perpindahan virus dari sel ke sel. ORF5
mengkode coat protein virus (Gambar 4) (Agrios 2005; van der vlugt dan
Barendsen 2002).
TGB
5’

55’

160K

3’
26K

10K
13K

RdRp

Gambar 4

MP

(A)n
24K

CP

Genom CymMV, salah satu anggota genus Potexvirus. RdRp : RNAdependent RNA polymerase, TGB : triple gene block, MP :
movement protein, CP : coat protein (Ajjikuttira dan Wong 2009)

Anggota genus Potexvirus yang menginfeksi tanaman nilam dilaporkan
adalah Patchouli virus X (PatVX). Secara serologi, virus ini berhubungan dekat
dengan Papaya mosaic virus (PapMV), PVX, Viola mottle virus (VMV), White
clover mosaic virus (WClMV) dan Lily virus X (LVX). PatVX tidak ditularkan
melalui pemangkasan, benih atau vektor, namun ditularkan dengan efektif secara
mekanis. Pada tanaman nilam, infeksi PatVX hanya menyebabkan gejala laten
(Filho et al. 2002).

8
Deteksi dan Identifikasi Virus
Deteksi dan identifikasi secara tepat virus penyebab penyakit merupakan
langkah penting pertama untuk menentukan strategi pengendalian penyakit.
Pengendalian setelah terjadi infeksi virus sering tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Pengendalian virus lebih efektif jika dilakukan sebelum terjadi
infeksi. Penggunaan bahan tanaman bebas virus merupakan pendekatan
pengendalian yang paling efektif. Salah satu bagian penting untuk memproduksi
bahan tanaman bebas virus adalah tersedianya metode diagnosis yang sensitif
(Makkouk dan Kumari 2006).
Teknik deteksi dan identifikasi virus terbagi dalam dua kategori yaitu :
berdasarkan sifat-sifat biologi yang berhubungan dengan interaksi virus dengan
inang dan atau vektor dan berdasarkan bagian dari partikel virus, yaitu asam
nukleat dan CP (Naidu dan Hughes 2003). Deteksi dan identifikasi berdasarkan
sifat biologi virus adalah berdasarkan tipe gejala yang muncul, kisaran inang,
penularan melalui vektor, sifat-sifat fisik virus (titik panas inaktivasi, titik batas
pengenceran dan ketahanan in vitro), dan pengamatan partikel virus dengan
mikroskop elektron. Sedangkan berdasarkan CP dan asam nukleat bisa dilakukan
dengan uji serologi dan teknik molekuler.
Pengamatan Partikel Virus Menggunakan Mikroskop Elektron
Mikroskop elektron merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengamati
bentuk partikel virus, sebagai dasar identifikasi virus tertentu yang belum
diketahui identitasnya. Dengan mikroskop elektron identitas virus dapat diketahui
dengan mengamati bentuk partikel virus, panjang partikel virus, dan
morfologinya. Partikel virus yang akan diamati akan lebih jelas apabila
dipurifikasi terlebih dahulu. Pengamatan partikel virus dari sap tanaman yang
belum dipurifikasi biasanya merupakan ekstrak sap yang kasar sehingga pada
hasil pengamatan akan terlihat kotoran sap disekitar partikel virus (Doi et al.
1969; Djikstra dan De Jagger 1998).
Penggunaan transmission electron microscope (TEM) selama tahun 1970
sampai 1980 telah berkontribusi pada penemuan beberapa virus penting pada
manusia, seperti Adenovirus, Entrovirus, Paramyxovirus dan Reovirus yang
diisolasi dari sel. Pada masa itu, TEM digunakan sebagai teknik rutin dalam
deteksi virus. Setelah teknik ELISA dan PCR ditemukan, penggunaan TEM pada
deteksi virus telah bergeser dari teknik rutin menjadi teknik penunjang dalam
deteksi agen infeksius yang belum diketahui, karena teknik ELISA dan PCR lebih
sensitif. Selain itu, TEM tidak bisa digunakan untuk deteksi cepat virus pada
sampel yang banyak, relatif mahal baik alatnya maupun perawatannya, sehingga
banyak insitusi penelitian pertanian yang tidak mampu memilikinya. Namun
demikian, TEM masih digunakan untuk mempelajari siklus hidup virus pada sel
inangnya, dan deteksi cepat patogen baru atau yang belum diketahui misalnya
pada kasus bioterorisme. Dengan menggunakan TEM, maka akan terlihat semua
morfologi patogen pada sampel yang diamati (Roingeard 2008; Naidu dan Hughes
2003).
Salah satu teknik penyiapan sampel untuk pengamatan struktur dan ukuran
partikel virus di bawah TEM adalah dengan pewarnaan negatif. Pada teknik ini,
diperlukan irisan tipis sampel yang berisi partikel virus. Pada irisan tipis jaringan

9
/ sel tersebut, akan dapat dilihat interaksi virus-sel, termasuk tahapan replikasi
virus. Teknik pewarnaan negatif ini dapat dikombinasikan dengan metode
serologi untuk melokalisasi antigen virus (Marshal 2012). Penggabungan TEM
dengan metode serologi menggunakan antiserum monoklonal ataupun poliklonal
merupakan teknik deteksi virus yang cepat dan akurat. Antiserum VP 664 mampu
mengaglutinasi lebih banyak partikel White spot syndrome virus pada kerang laut
dengan reaksi antigen – antiserum, sehingga lebih banyak partikel virus yang
teramati di bawah TEM (Hipolito et al. 2012). Teknik pewarnaan negatif yang
telah dioptimasi, dapat digunakan sebagai protokol umum untuk mempelajari
struktur protein di bawah mikroskop elektron, terutama protein highly dynamic
dengan struktur equilibrium-fluctuating (Zhang et al. 2013).
Deteksi dan Identifikasi Virus Berdasarkan Sifat Biomolekuler
Serologi. Beberapa teknik serologi yang bisa digunakan adalah dot
immunoblotting assay (DIBA), immunosorbent electron microscopy (ISEM)
(Naidu dan Hughes 2003), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan
tissue blot immunoassay (TBIA) (Webster et al. 2004). ELISA merupakan uji
serologi yang populer untuk deteksi virus pada materi tanaman, serangga vektor,
benih dan bahan tanaman vegetatif (Naidu dan Hughes 2003). Keuntungan dari
teknik ELISA adalah memiliki sensitifitas yang tinggi, dapat mendeteksi sampel
dalam jumlah besar lebih cepat, hanya membutuhkan antiserum dalam jumlah
sediki dan hasilnya kuantitatif (Agrios 2005). Namun demikian, teknik ELISA,
seperti teknik serologi lainnya, memiliki kelemahan, yaitu tidak bisa membedakan
virus yang sekerabat, terutama bila yang digunakan antiserum universal genus.
Selain itu, beberapa antigenic site dimiliki oleh virus yang tidak sekerabat,
sehingga memungkinkan terjadinya reaksi silang (Putnam 1995).
Terdapat dua teknik ELISA, yaitu Double Antibody Sandwich ELISA
(DAS-ELISA atau ELISA secara langsung) dan Indirect ELISA (ELISA tidak
langsung). Perbedaan pada kedua teknik ini telah dijelaskan oleh Clark dan
Adams (1977) serta Koenig (1981), yaitu pada coating microtiter plates-nya
dengan antiserum atau antigen. Pada teknik DAS-ELISA, plate langsung
dicoating dengan antiserum spesifik yang kemudian berikatan dengan antigennya
(virus), sedangkan pada teknik Indirect ELISA, plate dicoating dengan antigen
dulu, baru dicoating dengan antiserumnya.
Penggunaan teknik Indirect ELISA untuk mengamati reaktivitas antiserum
Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) menunjukkan bahwa semakin tinggi
pengenceran antiserum dan sampel menghasilkan reaksi yang semakin lemah.
Sensitifitas teknik ELISA dalam mendeteksi CVB cukup tinggi, yaitu virus masih
terdeteksi pada pengenceran sampel 1/256 dan antiserum 100 000 kali (Temaja et
al. 2010). Dengan teknik Indirect ELISA, CymMV dan Odontoglossum ringspot
virus (ORSV) terdeteksi pada Dendrobium yang diperbanyak secara vegetatif, dan
tidak terdeteksi pada Dendrobium hasil kultur jaringan (Khentry et al. 2006).
Apple mosaic virus (ApMV), Apple stem grooving virus (ASGV) dan Apple
chlorotic leaf spot virus (ACLSV) terdeteksi pada tanaman apel, baik varietas
hasil koleksi maupun komersial dengan teknik DAS-ELISA menggunakan
antiserum komersial (Caglayan et al. 2006).

10
Polymerase chain reaction (PCR). PCR merupakan teknik yang
memungkinkan amplifikasi spesifik dan deteksi runutan target DNA dari
campuran komplek asam nukleat. Kombinasi primer spesifik dan DNA
polymerase, yang digunakan untuk mengamplifikasi runutan target melalui siklus
denaturasi, annealing, dan sintesis DNA yang berulang memungkinkan terjadinya
peningkatan jumlah DNA (Seal dan Coates 1998). Teknik ini memiliki beberapa
kelebihan, yaitu lebih sensitif dan spesifik, dapat digunakan untuk mendeteksi
virus yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, yang tidak memiliki
antiserum, belum tersedia banyak informasi, dan juga bisa untuk mendeteksi virus
dari tanaman berkayu (Agrios 2005; Naidu dan Hughes 2003). Namun demikian,
teknik PCR sulit dilakukan di beberapa laboratorium yang memiliki keterbatasan
dana, karena teknik ini memerlukan peralatan dan bahan – bahan yang relatif
mahal. Selain itu, sensitifitas teknik ini menyebabkan peralatan dan proses
pengerjaan PCR harus selalu steril untuk mencegah hasil positif yang palsu (false
positive), karena kontaminan bisa menjadi DNA templat (Johnson 2000).
Proses PCR terdiri dari 20 atau 30 siklus, yang masing-masing siklus
terdiri dari tiga tahap : (1) DNA utas ganda dipanaskan pada suhu 94 sampai 96
o
C untuk memisahkannya menjadi utas yang terpisah, (2) tahap annealing atau
penempelan primer pada utas DNA yang dilakukan pada suhu 45 sampai 60 oC,
(3) ekstensi setiap primer, selalu terjadi pada suhu 72 oC menggunakan DNA
thermostable (Akinjogunla et al. 2008). Dalam beberapa jam, runutan target
diamplifikasi dalam jumlah besar dan hasilnya dapat dianalisis dengan gel agarosa
yang dielektroforesis, kemudian diwarnai dengan ethidium bromide untuk melihat
keberadaan DNA hasil amplifikasi (Naidu dan Hughes 2003).
Untuk diagnosis virus tanaman yang memiliki asam nukleat RNA, RNA
target dikonversikan menjadi complementary DNA (cDNA) yang dikopi dengan
transkripsi balik sebelum PCR dimulai. Pada siklus awal PCR, DNA akan
disintesis berdasarkan cDNA templat menghasilkan DNA utas ganda. Proses
amplifikasi dinamakan RT-PCR (Naidu dan Hughes 2003). Teknik RT-PCR telah
banyak digunakan untuk mendeteksi virus – virus tanaman yang memiliki genom
RNA. Teknik RT-PCR berhasil mendeteksi sampel positif ACLSV, ASGV, dan
ASPV pada apel lebih banyak 8.6% dibandingkan dengan teknik ELISA
(Caglayan et al. 2006).
Beberapa pengembangan lain dari teknik PCR, diantaranya adalah
Immunocapture-PCR (IC-PCR) (Webster et al. 2004) dan Bio-PCR (Schaad dan
Frederick 2002). Teknik PCR yang dikembangkan untuk mendeteksi beberapa
target sekaligus, dinamakan Multiplex PCR. Teknik ini menggunakan beberapa
pasang primer yang berbeda dalam satu reaksi PCR. Multiplex PCR merupakan
teknik yang cepat, mudah dilakukan dan lebih ekonomis untuk deteksi rutin
beberapa virus dalam satu sampel, dan telah berhasil digunakan untuk deteksi
virus dari beberapa tanaman (Lee dan Chang 2006).
Teknik multiplex RT-PCR dengan menggunakan pasangan primer spesifik,
telah berhasil mendeteksi infeksi CymMV dan Odontoglossum ringspot virus
(ORSV) pada anggrek (Lee dan Chang 2006) dan Dasheen mosaic virus (DsMV),
Turnip mosaic virus (TuMV), Konjac mosaic virus (KoMV), serta Zantedeschia
mild mosaic virus (ZaMMV) pada tanaman Calla lily di Taiwan (Hu et al. 2010).
Penggunaan beberapa pasang primer dalam satu reaksi, bisa menyebabkan
beberapa DNA non target teramplifikasi lebih efisien dibandingkan DNA target.

11
Oleh karena itu, optimasi harus dilakukan untuk meminimalkan produk yang tidak
diinginkan. Beberapa optimasi yang perlu dilakukan adalah : (1) optimasi kondisi
siklus multiplex RT-PCR, yang meliputi suhu dan waktu ekstensi, serta suhu dan
waktu annealing; (2) optimasi komponen reaksi multiplex, yang meliputi
konsentrasi primer, konsentrasi dNTP dan MgCl2, konsentrasi bufer PCR,
konsentrasi templat DNA dan DNA polimerase serta penggunaan adjuvants
seperti DMSO, glyserol dan BSA. Optimasi tersebut dilakukan dengan
pendekatan empiris atau trial and error, karena tidak diketahui cara untuk
memprediksi kinerja pasangan primer yang dipilih. Oleh karena itu, perlu didesain
primer – primer yang digunakan dengan memperhatikan GC content, panjang
primer, dan sekuennya (Henegariu et al. 1997; Elnifro et al. 2000).
Penggunaan beberapa pasangan primer dalam satu reaksi multiplex RTPCR sering menyebabkan kendala dalam pelaksanaannya, yaitu menyebabkan
teknik ini kurang bersifat universal dan memerlukan optimasi yang ekstensif.
Untuk mengatasi kendala tersebut, metode universal multiplex PCR diciptakan
dengan menggunakan universal adapter-F dan universal adapter-R yang
dihubungkan ke primer forward dan reverse. Dengan teknik ini, maka pasangan pasangan primer yang berbeda suhu annealingnya bisa digunakan untuk
mendeteksi secara cepat keragaman genetik jagung. Teknik ini juga bisa
digunakan untuk analisis polimorfisme, pengujian kuantifikasi dan identifikasi
spesies (Wen dan Zhang 2012).

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dari bulan
Januari 2012 sampai Maret 2013.

Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel daun tanaman nilam, baik yang bergejala maupun
tidak, dilakukan di dua Kebun Percobaan Balittro yaitu di Cicurug (Sukabumi)
dan Manoko (Bandung Barat), serta di lahan petani di Cijeruk (Bogor). Setiap
lokasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 tanaman yang terdiri dari 5
sampel diambil dari tanaman yang tidak bergejala, dan sisanya tanaman yang
bergejala. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, baik pada tanaman yang
bergejala maupun tidak. Dokumentasi gejala di lapangan juga dilakukan untuk
keperluan deskripsi gejala.

Pengamatan Partikel Virus
Sampel yang digunakan daun nilam yang terinfeksi virus. Pengamatan
partikel virus dilakukan di Laboratorium Tropical Plant Protection, Department

12
of International Agricultural Development, Tokyo University of Agriculture
(Jepang), serta di lembaga Eijkman, Jakarta. Pengamatan dilakukan dengan
metode pewarnaan negatif dengan menggunakan grid berukuran 400 mesh, di
bawah mikroskop elektron.

Deteksi Serologi
Sampel yang didapatkan dari lapangan, dideteksi secara serologi dengan
menggunakan antiserum universal Potyvirus, antiserum spesifik BBWV2 dan
CymMV (DSMZ, Jerman), serta antiserum spesifik CMV (Agdia, USA). Uji
serologi dilakukan untuk mengetahui kejadian infeksi Potyvirus, BBWV2, CMV
dan CymMV dari setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel yang didapatkan dari
setiap lokasi, yaitu sebanyak 30, dibuat menjadi 6 sampel komposit, dimana setiap
komposit terdiri dari 5 sampel. Selanjutnya, bila sampel komposit menunjukkan
hasil positif, uji serologi dilanjutkan terhadap setiap individu sampel dari sampel
komposit positif tersebut.
Teknik DAS-ELISA untuk antiserum BBWV2 dan CymMV mengacu pada
pedoman DSMZ. Antiserum (IgG), dilarutkan pada bufer coating (sodium