Early Evaluation of Maesopsis eminii Engl. In a Progeny Trial at 5 Years-Old
EVALUASI AWAL UJI KETURUNAN KAYU MANII
(Maesopsis eminii Engl.) UMUR 5 TAHUN
SYUHADA ASDINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Awal Uji Keturunan
Kayu Manii (Maesopsis emnii Engl.) Umur 5 Tahun adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Syuhada Asdini
E451080061
ABSTRACT
SYUHADA ASDINI. Early Evaluation of Maesopsis eminii Engl. In a Progeny
Trial at 5 Years-Old. Supervised by ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR and
PRIJANTO PAMOENGKAS.
Maesopsis eminii is a fast growing tree species commonly found in
community-forest. Due to its economic and ecological significance, breeding
program of this species has been initiated. The objectives of this research were: i)
to estimate the genetic parameters of the progeny trial including genetic gain and
ii) to determine correlation between wood quality traits (based on non-destructive
test) and growth traits. Randomized Complete Block Design (RCBD) were used
consisting of 100 families replicated in 8 blocks for evaluating growth traits and
their associated genetic parameters (Experiment-I), while Completely
Randomized Design (CRD) with 3 treatments, i.e. fast, moderate and slow tree
growths and 16 replicates were used for determining wood quality traits
(Experiment-II). There was a fluctuation in terms of values of genetic parameters;
it was high during the early growth, significantly decreased in the middle, then
increased and reached stability at later growth stages. Consistencies of genetic
parameters value (H2 and rg) were given by growth increments 41 and 56 months,
namely: ΔD41, ΔT41, ΔV41 and ΔD56, ΔT56, ΔV56. Highest genetic gain (ΔG) was
expected by ΔD56 - ΔV56 (14.2%) based on indirect selection method. A negative
correlation between a wood quality trait (MOEd) and a growth trait (tree volume)
was observed with a value of (r = -0.246). The results also would imply that the
recommended genetic selection, i.e. roguing, that is best carried out by using
indirect-method based on measurement of diameter (dbh) as main criteria.
Keywords: Maesopsis eminii, progeny trial, early evaluation, heritability, genetic
correlation, genetic gain, wood quality, MOEd.
RINGKASAN
SYUHADA ASDINI. Evaluasi Awal Uji Keturunan Kayu Manii (Maesopsis
eminii Engl.) Umur 5 Tahun. Dibimbing oleh ISKANDAR ZULKARNAEN
SIREGAR dan PRIJANTO PAMOENGKAS.
Kayu manii (Maesopsis eminii) telah jamak ditemui di Indonesia (Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan) sejak 1920-an. Spesies multiguna ini memiliki
karakteristik yang cepat tumbuh dan adaptif, sehingga melalui program pemuliaan
pohon diharapkan kayu manii dapat menjadi salah satu alternatif dalam
pengembangan sumber benih sekaligus dapat menjawab permasalahan akan
permintaan kayu yang terus meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk: a)
menduga nilai parameter genetik pada pertanaman uji keturunan Maesopsis eminii
umur 5 tahun dan b) menganalisis hubungan antara karakteristik kualitas kayu
(metode non-destruktif) dengan karakteristik pertumbuhan. Manfaat penelitian ini
diharapkan dapat memberikan arahan metode seleksi yang tepat dalam
pengembangan sumber benih manii, khususnya kebun benih semai uji keturunan.
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan (experiment) yaitu: a) evaluasi
karakteristik pertumbuhan, dan b) evaluasi karakteristik kualitas kayu.
Pengukuran karakteristik pertumbuhan (diameter, tinggi dan volume) dilakukan
sebanyak 5 kali dalam kurun waktu 5 tahun, rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak kelompok lengkap (randomized complete block design)
dengan 8 ulangan per blok, masing-masing blok terdiri dari 100 famili. Pada
percobaan kedua yaitu evaluasi karakteristik kualitas kayu (kecepatan gelombang
ultrasonik, kerapatan kayu, kadar air dan kekakuan kayu), dilakukan pengambilan
sampel dengan metode purposive sampling, rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap (completely randomized design) yang terdiri dari 3
kategori pertumbuhan yaitu: cepat, sedang dan lambat, masing-masing kategori
memiliki 16 ulangan.
Analisis data pada percobaan I (karakteristik pertumbuhan) adalah
melakukan perhitungan analisis ragam (ANOVA) menggunakan persamaan linier
rancangan acak kelompok lengkap. Berdasarkan komponen kuadrat tengah
harapan dari analisis ragam selanjutnya digunakan untuk melakukan perhitungan
pendugaan nilai parameter genetik: ragam genetik (σ2g) dan ragam fenotipik (σ2p),
koefisien variasi genetik (KVG), heritabilitas dalam arti luas (H2), korelasi genetik
(rg), dan perolehan genetik (ΔG). Perhitungan analisis ragam (ANOVA) pada
percobaan II menggunakan persamaan linier rancangan acak lengkap untuk
mengetahui nilai rataan dan perbedaan dari karakteristik kualitas kayu, sedangkan
untuk menganalisis hubungan antara karakteristik kualitas kayu dengan
karakteristik pertumbuhan dilakukan analisis korelasi fenotipik (Pearson).
Heritabilitas (H2) variabel selisih pertumbuhan tinggi 13 bulan (ΔT13)
memberikan nilai heritabilitas tertinggi yaitu sebesar 0.984, sedangkan nilai
koefisien variasi genetik (KVG) tertinggi diberikan oleh variabel selisih
pertumbuhan volume 41 bulan (ΔV41) sebesar 21.229%. Korelasi genetik (rg)
yang positif – tinggi terdapat pada pasangan variabel: ΔD25 - ΔD13, ΔT25 – ΔT13,
ΔV25 – ΔV13, ΔV25 – ΔD13, ΔD25 – ΔV13, ΔV25 – ΔD41. Nilai korelasi fenotipik
antara pasangan variabel ΔD13, ΔT13, dan ΔV13, dengan variabel yang lain dapat
dikategorikan dalam kelas (hubungan keeratan) rendah hingga sedang (r = 0.1 –
0.5), sedangkan kategori sedang – tinggi (r = 0.6 – 1.0) dimulai dari selisih
pertumbuhan 25 bulan dan seterusnya.
Secara umum pendugaan nilai heritabilitas dan korelasi genetik
menunjukkan tren yang relatif sama, yaitu tinggi pada awal pertumbuhan namun
secara drastis menurun pada pertumbuhan setelahnya, kemudian mengalami
peningkatan secara perlahan (stabil) pada pertumbuhan tingkat lanjut. Keeratan
dan kestabilan variabel secara konsisten ditunjukkan oleh selisih pertumbuahan
tingkat lanjut (ΔD41, ΔT41, ΔV41 dan ΔD56, ΔT56, ΔV56), sehingga kedua selisih
pertumbuhan (41 dan 56 bulan) ini dijadikan acuan dalam perhitungan perolehan
genetik.
Pendugaan nilai perolehan genetik sebagai respon seleksi (ΔG) melalui
penjarangan genetik (roguing) dapat dihitung berdasarkan dua metode yaitu:
seleksi langsung, dan seleksi tidak langsung. Apabila melakukan seleksi secara
langsung maka variabel selisih pertumbuhan volume 56 bulan (ΔV56) memberikan
nilai perolehan genetik tertinggi sebesar 13.703%, sedangkan melalui metode
seleksi tidak langsung, yaitu dengan melakukan seleksi pada variabel selisih
pertumbuhan diameter 56 bulan (ΔD56) maka perolehan genetik tertinggi
diberikan oleh variabel ΔV56 sebesar 14.235% .
Pertumbuhan kayu manii selama 5 tahun pada pertanaman uji keturunan
mengalami peningkatan yang signifikan tiap tahunnya, laju pertumbuhan paling
tinggi terjadi antara selisih pertumbuhan 25 – 41 bulan (tahun 2010). Famili –
famili yang memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan (selisih pertumbuhan 56
bulan) tertinggi berdasarkan karakter diameter, tinggi, dan volume antara lain:
P.079, P.069, P.010, dan P.051, laju pertumbuhan tertinggi tersebut terdapat pada
blok: 1, 4, dan 8.
Nilai rata-rata karakteristik kualitas kayu adalah: kecepatan gelombang
ultrasonik (Vus) = 3266 m/dtk2, kadar air (KA) = 76.448%, kerapatan kayu berat
kering oven (ρo) = 0.446 g/cm3, kerapatan kayu berat basah (ρb) = 0.780 g/cm3, dan
kekakuan kayu (MOEd) = 8366 kg/cm2. Secara umum besaran nilai dari ketiga
kategori pertumbuhan (cepat sedang dan lambat) menunjukkan nilai yang tidak
berbeda nyata, tidak ada nilai yang lebih menonjol bila dibandingkan satu sama
lainnya. Kecepatan gelombang ultrasonik memiliki hubungan yang positif-tinggi
(linier) dengan kekakuan kayu (R2 = 0.73 dan r = 0.852), sedangkan kerapatan
kayu berat basah memiliki nilai yang bertolak belakang dengan kecepatan
gelombang ultrasonik (r = -0.179), serta hubungan antara dua karakter kombinasi
yaitu kekakuan kayu dengan volume pohon menunjukkan tren negatif, semakin
besar volume pohon maka nilai MOEd semakin kecil (R2 = 0.043 dan r = -0.246).
Kata kunci: Maesopsis eminii, uji keturunan, evaluasi awal, heritabilitas,
korelasi genetik, perolehan genetik, kualitas kayu, MOEd.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI AWAL UJI KETURUNAN KAYU MANII
(Maesopsis eminii Engl.) UMUR 5 TAHUN
SYUHADA ASDINI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc.F
Judul Tesis : Evaluasi Awal Uji Keturunan Kayu Manii
(Maesopsis eminii Engl.) Umur 5 Tahun
Nama
: Syuhada Asdini
NIM
: E451080061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc
Ketua
Dr.Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F
Anggota
Diketahui
Ketua Mayor
Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Basuki Wasis, M.S
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
November 2011 ini adalah Evaluasi Awal Uji Keturunan Kayu Manii (Maesopsis
emnii Engl.) Umur 5 Tahun.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak
Prof.Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Bapak Dr.Ir. Prijanto Pamoengkas,
M.Sc.F selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan
saran yang sangat membantu sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Di
samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada pihak Rumpin Seed Source
and Nursery Center (RSSNC) yang telah mengizinkan untuk mengakses data dan
melakukan penelitian di Experimental Forest Cirangsad Jasinga. Terimakasih juga
penulis ucapkan kepada Among Prasetyo yang telah terlibat langsung dalam
membantu proses penyelesaian penelitian ini, dan Mila Meliana atas dukungan
dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh
keluarga, serta rekan-rekan atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Syuhada Asdini
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lawe Dua, 2 Juni 1983 dari ayah Asdin Broeh dan ibu
Lahiyah Selian. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kutacane dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus tahun
2006. Pada tahun 2008, penulis diterima di Mayor Silvikultur Tropika, pada
Program Pascasarjana IPB.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis juga pernah terlibat aktif di
Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Tenggara (IPMAT) se-Jabotabek sebagai pendiri
dan pembina.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
PENDAHULUAN ...............................................................................................
Latar Belakang ................................................................................................
Tujuan .............................................................................................................
Manfaat ...........................................................................................................
Analisis Permasalahan ....................................................................................
1
1
2
3
3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
Kayu Manii (Maesopsis eminii Engl.) ............................................................
Deskripsi Umum ........................................................................................
Kegunaan dan Manfaat ..............................................................................
Pemuliaan Pohon ............................................................................................
Kebun Benih ..............................................................................................
Uji Keturunan ............................................................................................
Pendugaan Nilai Parameter Genetik ...............................................................
Heritabilitas ................................................................................................
Korelasi Genetik ........................................................................................
Perolehan Genetik ......................................................................................
Seleksi atau Penjarangan Genetik ..................................................................
Pendugaan Kualitas Kayu Metode Non-Destruktif ........................................
4
4
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
METODE PENELITIAN ....................................................................................
Waktu dan Lokasi ...........................................................................................
Bahan dan Alat ...............................................................................................
Variabel Pengukuran dan Evaluasi .................................................................
Percobaan I ................................................................................................
Percobaan II ...............................................................................................
Analisis Data ..................................................................................................
17
17
17
18
18
19
21
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
Pendugaan Keragaman dan Heritabilitas ........................................................
Korelasi Genetik dan Fenotipik ......................................................................
Perolehan Genetik Sebagai Respon Terhadap Seleksi ...................................
Performa Pertumbuhan ...................................................................................
Pendugaan Kualitas Kayu Metode Non-Destruktif ........................................
24
24
27
30
32
34
KESIMPULAN ................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40
LAMPIRAN ........................................................................................................ 46
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Lokasi asal usul pohon plus Maesopsis eminii ............................................. 17
2
Notasi variabel pengukuran selama 5 tahun .................................................. 18
3
Analisis ragam rancangan acak kelompok lengkap ...................................... 21
4
Nilai keragaman, koefisien variasi genetik dan heritabilitas ........................ 24
5
Heritabilitas broad sense dan narrow sense pada beberapa jenis pohon
tropis dan sub tropis ...................................................................................... 26
6
Nilai korelasi genetik dan fenotipik per selisih pertumbuhan ....................... 27
7
Nilai perolehan genetik metode seleksi langsung dan tidak langsung .......... 30
8
Rangking 10 famili terbaik pada selisih pertumbuhan 56 bulan ................... 33
9
Nilai rata-rata dan simpangan baku karakteristik kualitas kayu ................... 34
10 Nilai korelasi fenotipik antara karakteristik kualitas kayu dengan
Karakteristik pertumbuhan ............................................................................ 34
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Skema analisis permasalahan penelitian ....................................................... 3
2
Profil pohon, cabang, bunga dan buah kayu manii ....................................... 4
3
Tahapan pengembangan kebun benih semai uji keturunan ........................... 9
4
Kegiatan pengukuran penelitian .................................................................... 20
5
Grafik heritabilitas per selisih pertumbuhan ................................................. 25
6
Analisis komponen utama (PCA; Loading plot) ........................................... 28
7
Grafik nilai rata-rata per selisih pertumbuhan .............................................. 32
8
Grafik nilai rata-rata pertumbuhan pada tiap blok ........................................ 33
9
Hubungan antara Vus (m/dtk2) dengan MOEd (kg/cm2) ................................ 35
10 Hubungan antara MOEd (kg/cm2) dengan volume (m3/phn) ........................ 37
11 Target kualitas kayu (MOEd) pada program pemuliaan pohon .................... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Layout kebun benih pertanaman uji keturunan blok Maesopsis eminii ........ 46
2 Informasi asal usul pohon plus ...................................................................... 47
3 Analisis akar ciri dan korelasi antar variabel PCA ........................................ 49
4 Nilai perolehan genetik metode seleksi langsung dan tidak langsung
selama 5 tahun ............................................................................................... 50
5 Analisis ragam (ANOVA) pada percobaan I ................................................ 51
6 Uji beda nyata famili pada selisih pertumbuhan 56 bulan ............................ 52
7 Uji beda nyata blok pada selisih pertumbuhan 56 bulan ............................... 54
8 Sebaran normal volume dan analisis ragam (ANOVA) pada
percobaan II ................................................................................................... 55
9 Gambar penelitian ......................................................................................... 56
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan kayu di dalam negeri mencapai 0,3 m3 per orang per tahun atau
total kebutuhan akan pasokan kayu adalah 71 juta m3 per tahun (Cahyana 2012).
Kemenhut (2010) menyebutkan bahwa kapasitas produksi kayu bulat dari hutan
alam dan hutan tanaman per tahun 2009 sebesar 34.320.536,12 m3 per tahun.
Sampai dengan tahun 2005 luas hutan rakyat di Indonesia adalah 1.568.415,63 ha
dengan potensi sebesar 39.416.557 m3 (Abdurachman dan Hadjib 2006).
Kesenjangan antara permintaan dengan ketersediaan kayu serta besarnya potensi
yang diberikan oleh hutan rakyat mengindikasikan perlunya suatu usaha dalam
penyediaan dan pengembangan jenis-jenis alternatif yang cepat tumbuh, adaptif
dan berkualitas, sehingga melalui program pemuliaan pohon dan sumber benih
diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan kesenjangan tersebut.
Kayu manii adalah jenis pionir yang dapat tumbuh dengan cepat dan dapat
digolongkan sebagai tanaman multiguna (multi purpose tree species) (Mulyana
2010). Spesies asli afrika ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun
1920-an, dan sudah jamak ditemui di pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan
(Zulfahmi 2007). Kayu manii banyak ditemui di Uganda dan Zaire, barat-laut
Tanzania, Zambia, Kenya dan Angola, jenis ini mempunyai subspesies
berchemoides (Pierre) N. Halle di Afrika Barat (Binggeli 1989). Persebaran pohon
ini semakin luas setelah pada tahun 1952 diperkenalkan di semenanjung Malaya
(Hanum dan Maesen 1997).
Program pemuliaan pohon merupakan kegiatan jangka panjang yang
memiliki tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas genetik pohon hutan. Faktor
penghambat dalam kegiatan ini adalah butuh waktu yang lama bagi pohon untuk
tumbuh dan mencapai umur matangnya (secara biologis, reproduksi, dan masa
panen), selain itu ukuran pohon yang besar juga menjadi tantangan tersendiri bagi
para pemulia pohon (White et al. 2007). Salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan waktu dalam pemuliaan pohon adalah dengan melakukan penilaian
awal (early evaluation) (Waxler dan Buijtenen 1981).
Pemuliaan pohon di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1930-an ketika
seorang peneliti dari Belanda meneliti biologi pembungaan pohon jati dan diikuti
2
dengan pendirian kebun benih provenans (provenance trial) jati (Suhaendi 1998).
Hingga saat ini jenis-jenis yang sering digunakan dalam program pemuliaan
pohon di Indonesia antara lain: Jati (Tectona grandis), Pinus (Pinus merkusii),
Akasia (Acacia mangium), dan beberapa spesies baru seperti Eucalyptus pellita,
Lophopetalum multinervium, Shorea polyandra, Shorea leprosula, dan Dyospiros
celebica (Suhaendi 1998; Suseno 2001; Nirsatmanto et al. 2004; Leksono et al.
2008; Ishiguri et al. 2011).
Pada tahun 2006, Rumpin Seed Source and Nursery Center (RSSNC)
sebagai implementasi proyek kerjasama antara Departemen Kehutanan RI dengan
KOICA (Korean International Co-operation Agency) membangun hutan
percobaan (experimental forest) berupa kebun benih, dan salah satu jenis yang
dikembangkan adalah kayu manii (Maesopsis emenii). Sebanyak 100 famili pohon
plus kayu manii yang berasal dari 3 lokasi berbeda dikumpulkan untuk
membangun kebun benih uji keturunan (progeny trial) di RPH Cirangsad, BKPH
Jasinga, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Zulfahmi et al. 2007).
Target jangka panjang kegiatan ini diarahkan untuk menjadi sumber kebun benih
semai penghasil benih berkualitas (Dephut 2009).
Penelitian ini melakukan evaluasi awal pada pertanaman uji keturunan kayu
manii umur 5 tahun serta mempelajari hubungan antara karakteristik pertumbuhan
dengan karakteristik kualitas kayu. Beberapa penelitian serupa yang mempelajari
hubungan antara karakteristik pertumbuhan dengan kualitas kayu khususnya
kekakuan kayu secara non-destruktif antara lain menggunakan alat teknologi
gelombang suara (Sylvatest Duo™, FAKOPP™, Metriguard™), sinar X (X-Ray
Diffractometry), dan gelombang cahaya (Near-Infrared Spectroscopy) (Cave
1997; Jayawickrama 2001; Schimleck dan Evans 2002; Grabianowski et al. 2006;
Evans 2008; Eckard et al. 2010).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1
menduga nilai parameter genetik pada pertanaman uji keturunan Maesopsis
eminii umur 5 tahun.
2
menganalisis hubungan antara karakteristik kualitas kayu (metode non
destruktif) dengan karakteristik pertumbuhan.
3
Manfaat
Manfaat penelitian adalah memberikan arahan metode seleksi yang tepat
dalam pengembangan sumber benih manii, khususnya kebun benih semai uji
keturunan.
Analisis Permasalahan
Analisis permasalahan penelitian dijabarkan pada Gambar 1.
Kesenjangan
Kebutuhan Kayu
Program
Pemuliaan Pohon
Jenis Cepat Tumbuh
dan Adaptif
Pemilihan Pohon Plus
Pertumbuhan dan
Kualitas Kayu
Maesopsis eminii
Hutan Rakyat
Seleksi Pohon Plus
Hutan Tanaman
Uji Keturunan
(Progeny Trial)
Evaluasi I
Q#1: Karakteristik Pertumbuhan?
Evaluasi II
Q#2: Karakteristik Kualitas Kayu
(Non Destruktif)?
Penjarangan Genetik
(Roguing)
Konversi Kebun Benih
Uji Keturunan
Benih Maesopsis eminii
Berkualitas
Pertanaman
Gambar 1 Skema analisis permasalahan penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Manii (Maesopsis eminii Engler)
Deskripsi Umum
Kayu manii (Maesopsis eminii
Engl.)
adalah
jenis
pendatang
di
Indonesia, pertama kali diperkenalkan
sekitar
tahun
1920-an
dan
telah
berkembang dengan merata di pulau
Jawa,
Sumatra,
(Zulfahmi
2007).
dan
Kalimantan
Spesies
ini
mempunyai nama dagang internasional
musizi, di Afrika pohon ini mempunyai
beragam nama lokal: Umbrella tree,
Muhumulla, Msira, Muguruka, dan
lain-lain. Kayu manii banyak ditemui
di
Uganda
dan
Zaire,
barat-laut
Tanzania, Zambia, Kenya dan Angola,
Gambar 2: 1) bentuk pohon; 2) cabang dengan bunga; 3)
bagian bawah daun; 4) bunga; 5) cabang dengan buah.
Sumber: Hanum dan Maesen (1997).
tanaman ini mempunyai subspesies berchemoides (Pierre) N. Halle di Afrika Barat.
Penyebarannya semakin luas setelah pada tahun 1952 diperkenalkan di semenanjung
Malaya (Binggeli 1989; Hanum dan Maesen 1997).
Genus Maesopsis dideskripsikan sebagai genus monospesifik (hanya mempunyai
satu spesies sebagai anggotanya), lebih spesifik anggota genus Maesopsis terbagi
menjadi 2 subspesies: subspesies eminii umum ditemui di Afrika Timur dan menyebar
dengan rata di Asia Tenggara, serta subspesies berchemioides (Pierre) N. Halle., yang
menyebar dari Angola hingga Nigeria. Genus ini sangat berbeda bila dibandingkan
dengan genus-genus anggota famili Rhamnaceae, terpencil dari kelompoknya karena
mempunyai perbedaan pada jumlah kromosom, struktur kayu, bunga yang
protogynous, serta morfologi ovari (Hanum dan Maesen 1997).
Kayu manii tergabung dalam famili Rhamnaceae memiliki penyebaran alami
dari daerah dataran rendah hingga ke hutan sub-pegunungan, dengan ketinggian
optimal untuk pertumbuhan 600 – 900 m dpl. Daerah dengan angka curah hujan 1.200
– 3.600 mm per tahun, dan musim kering tidak lebih dari 4 bulan menjadi prakondisi
5
bagi kayu manii agar dapat tumbuh dengan baik. Tumbuhan ini menyukai tanah
dengan ketebalan yang dalam dan drainase yang baik, dapat tumbuh pada tanah dengan
ketebalan tipis dengan syarat terdapat sumber air yang cukup untuk menunjang
pertumbuhannya (Joker 2002).
Tinggi pohon kayu manii dapat mencapai 45 meter, kulit batangnya berwarna
abu-abu pucat, beralur dalam, dan memiliki kulit dalam berwarna merah tua. Daun
memiliki panjang 6-15 cm dengan tepi bergerigi. Memiliki tandan yang terdiri atas
kumpulan bunga di sepanjang ketiak daun dengan panjang 1-5 cm. Bunganya
berukuran kecil, berkelamin ganda dan mahkotanya berwarna putih kekuningan
(Mulyana 2010). Kayu manii mulai berbuah 4 - 6 tahun setelah penanaman jika semua
prasyarat pertumbuhan terpenuhi, sedangkan di tegakan alami pohon ini baru berbuah
setelah berumur 10 tahun. Buah berbentuk batu lonjong, mempunyai panjang 20-35
mm, ketika masak berwarna ungu atau hitam dan berwarna hijau saat masih muda,
serta dalam setiap buah terdapat 1-2 biji (Joker 2002). Musim berbunga adalah pada
bulan Februari hingga Mei dan bulan Agustus hingga September, buah matang dalam
waktu 2 bulan setelah berbunga, dan penyebaran bijinya dibantu oleh binatang seperti:
kelelawar, hewan pengerat, dan monyet (Hanum dan Maesen 1997).
Kegunaan dan Manfaat
Kayu manii memiliki beragam kegunaan dan dapat digolongkan sebagai Multi
Purpose Tree Species (MPTS), selain itu jenis ini merupakan pohon yang memiliki
kemampuan untuk tumbuh dengan cepat dan adaptif. Di Afrika kayu manii umumnya
ditanam di pekarangan atau kebun rumah serta keperluan lainnya yaitu sebagai sumber
kayu bakar, tanaman penaung, dan sumber kayu, tidak jauh berbeda dengan di India
yang memanfaatkan kayu manii sebagai tanaman penaung di perkebunan, kopi, teh,
dan kapulaga; di Zaire menjadi penaung bagi tanaman kakao, sedangkan di Jawa
spesies ini sering menjadi sumber kayu bakar, dan ditanam di pinggir jalan sebagai
pohon peneduh. Selain itu daun kayu manii juga sering dijadikan sebagai bahan pakan
ternak karena mempunyai bobot bahan kering 35% sehingga mudah dicerna oleh
hewan ternak (Hanum dan Maesen 1997; Joker 2002; Mulyana 2010).
Jenis kayu manii termasuk kedalam kelas kuat III dan kelas awet III-IV dengan
kerapatan 0.4 gr/cm3 (Abdurachman dan Hadjib 2006). Kayu ini juga sangat baik
digunakan untuk keperluan bidang konstruksi/pertukangan serta pulp, jenis ini
6
memiliki kerapatan kayu dengan kisaran 380-480 kg/m3, sehingga kayunya sering
digunakan untuk kegiatan konstruksi, kotak dan tiang berkekuatan sedang hingga kuat
(Hanum dan Maesen 1997; Mulyana 2010). Kualitas pulp yang dihasilkan dari jenis
kayu manii sebanding dengan pulp yang dihasilkan dari jenis kayu keras lainnya.
Spesies ini juga bermanfaat bagi praktik agroforestry dan silvopasture, dengan pola
kombinasi permanen ditanam secara campuran antara kayu manii dengan tanaman
pangan (semusim maupun campuran) serta tanaman pakan ternak, maka dapat
menghasilkan kayu bakar, kayu bangunan, pupuk hijau, hasil pangan dan pakan ternak
yang sangat bermanfaat bagi masyarakat (Mulyana 2010).
Pemuliaan Pohon
Pemuliaan pohon (tree improvement) merupakan penerapan dan kombinasi
antara pokok-pokok ilmu genetika kehutanan dengan disiplin ilmu yang lain seperti
fisiologi pohon, silvikultur, dan ekonomi, dengan tujuan akhir adalah untuk
meningkatkan kualitas genetik pohon hutan (White et al. 2007). Program pemuliaan
pohon lahir dari kesadaran para rimbawan bahwa untuk menghasilkan tegakan dengan
produksi yang maksimal praktek pengelolaan hutan konvensional saja tidak cukup;
seleksi pohon melalui kualitas genetik terbaik pun dibutuhkan untuk melengkapi
persamaan F = G + E, begitu juga hal sebaliknya (Zobel dan Talbert 1984).
Pemuliaan pohon secara konvensional yang telah dilakukan di beberapa negara
belum menunjukkan hasil yang optimal, kecuali untuk beberapa jenis saja antara lain:
Eucaliptus, Pinus dan Acasia. Sementara itu pengembangan program pemuliaan secara
molekuler (molecular breeding) membutuhkan biaya yang sangat mahal. Oleh karena
itu perlu strategi yang tepat dalam mengembangkan program pemuliaan. Perlu
penentuan urutan prioritas dalam program pemuliaan jenis tanaman hutan di Indonesia
yang jumlahnya sangat banyak. Pemuliaan pohon tidak hanya berfokus pada karakter
kuantitatif atau ekonomis saja namun juga terhadap karakter kualitatif yang mampu
merespon perubahan iklim, ketahanan hama dan penyakit dan kesesuaian untuk
tanaman agroforestri (Hidayat 2010).
Hidayat (2010) menjabarkan secara umum mengenai strategi pemuliaan pohon
sebagai solusi terhadap permasalahan perbenihan dan produktivitas tegakan yang
sedang atau nantinya akan berkembang, yaitu:
7
1
menyediakan sumber benih atau material vegetatif yang dapat digunakan untuk
memenuhi program penanaman jangka pendek
2
mengumpulkan informasi genetik bagi kepentingan operasional pengembangan
pertanaman dan pemuliaan pohon jangka pendek dan panjang
3
mengembangkan kebun benih yang menghasilkan benih bermutu genetik yang
secara internal merupakan program peningkatan produktivitas tegakan, maupun
untuk mengisi kebutuhan benih komersial di pasaran yang diramal akan semakin
berkembang
4
memenuhi kebutuhan material pemuliaan yang layak dan dapat dipergunakan
sebagai bahan seleksi genetik pada generasi-generasi berikutnya.
Kebun Benih
Salah satu teknik program pemuliaan pohon untuk mendapatkan benih tanaman
kehutanan dengan mutu terbaik adalah mendirikan kebun benih (seed orchard).
Sebagaimana Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan bahwa kebun benih merupakan
persemaian dengan koleksi tanaman yang berasal dari sumber unggulan yang diisolasi
untuk mencegah penyerbukan dari sumber luar yang inferior, serta dikelola dengan
intensif guna menghasilkan benih yang berlimpah. Deksripsi ini memberikan implikasi
bahwa kebun benih kini tidak lagi berfokus pada perbaikan kualitas genetik, melainkan
juga sebagai sarana menghasilkan benih berkualitas dalam kuantitas yang banyak
(Granhof 1991).
Secara umum kebun benih dapat diklasifikasikan menurut asal benih yaitu: a)
kebun benih klon (clonal seed orchard); b) kebun benih semai (seedling seed
orchard); dan c) kebun pangkas (hedge orchard). Peraturan Menteri Kehutanan RI No.
72 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan menguraikan
ketiga jenis kebun benih diatas, yang dimaksud dengan Kebun Benih Semai (KBS)
adalah huma benih dengan sumber utama benih berasal dari pembiakan generatif
tegakan pohon plus yang telah dijarangi berdasarkan hasil uji keturunan. Kebun Benih
Klon (KBK) digambarkan sebagai sumber benih yang dibuat dengan menggunakan
hasil pembiakan vegetatif tegakan pohon plus yang telah dijarangi berdasarkan hasil
uji keturunan. Kebun Pangkas (KP) adalah basis benih yang berasal dari pembiakan
vegetatif klon unggul sebagai hasil dari uji klon (Dephut 2009).
8
Kebun benih juga dapat dikelas-kelaskan dengan berdasarkan fungsi dasar
pembuatannya: Kebun Benih Produksi (KBP), dan Kebun Benih Pemuliaan (KBPm).
Kebun benih produksi sering dipandang sebagai pusat produksi benih dalam skala
industri, ukurannya sangat tergantung pada permintaan benih dan luasannya dapat
berkembang tergantung kebutuhan. Rentang pakai KPB sangat tergantung pada umur
fisik pohon dan produktifitas pohon. KBPm adalah inti dari kegiatan pemuliaan pohon
hutan, pada kebun ini diberikan berbagai perlakuan percobaan (experiment). Bentuk
KBPm umumnya adalah kebun benih semai dan klon (Granhof 1991). Zobel dan
Talbert (1984) mengindikasikan tujuan utama dari KBPm adalah untuk memisahkan
gen dari pengaruh lingkungan, dengan cara memberikan lingkungan yang sama pada
semua anakan.
Uji Keturunan
Teknik yang paling tepat dalam mengevaluasi keunggulan pohon induk terpilih
adalah melalui uji keturunan (progeny test/trial). Uji keturunan memungkinkan untuk
mengetahui perbedaan apakah keunggulan suatu pohon induk disebabkan karena
kebetulan tempat tumbuh pada lingkungan yang baik atau superioritasnya disebabkan
karena genotipenya yang memang bagus. Uji keturunan merupakan hasil
perkembangbiakan pada tanaman secara generatif maupun vegetatif yang umumnya
digunakan dalam program seleksi dan pemuliaan, dan sangat berguna untuk sifat-sifat
yang mempunyai nilai heritabilitas rendah (Zobel dan Talbert 1984).
White (1987) mendefinisikan uji keturunan sebagai suatu uji/tes dari nilai-nilai
genotip (seperti seleksi individu) berdasarkan performa keturunannya. Uji keturunan
pohon plus generasi pertama dapat dievaluasi dalam pengujian secara acak, ulanganulangan di lapangan dimaksudkan untuk menentukan nilai-nilai genetik dari pohon
plus tersebut. Benih adalah hasil dari produksi populasi, hal ini logis karena bibit pada
akhirnya akan digunakan secara komersial pada hutan tanaman. Sebagai contoh,
propagul vegetatif (stek akar) adalah produk dari populasi produksi, uji klon dari uji
keturunan dan seleksi dirangking berdasarkan performa dari propagul vegetatif
tersebut. Uji keturunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program
pemuliaan pohon, beberapa fungsi dan kegunaannya adalah sebagai berikut:
1
seleksi untuk meningkatkan produksi populasi
2
pengembangan produksi populasi
9
3
seleksi untuk meningkatkan pemuliaan (breeding) dalam populasi
4
meningkatkan efesiensi dalam mendesain perkawinan (mating)
5
meningkatkan efesiensi seleksi sebagai basis populasi jangka panjang.
Secara umum, tahapan pengembangan kebun benih semai uji keturunan adalah
seperti yang disajikan pada Gambar 3.
Seleksi pohon plus
Pengumpulan benih
Persemaian
Pertanaman
Uji Keturunan
Pengukuran (Evaluasi)
Analisis dan Pendugaan
Nilai Parameter Genetik
Seleksi / Penjarangan (Roguing)
Kebun Benih Semai
Benih Berkualitas
Gambar 3 Tahapan pengembangan kebun benih semai uji keturunan (Granhof 1991;
Dephut 2009).
Pendugaan Nilai Parameter Genetik
Sebagai bagian dari program pemuliaan pohon, seleksi genetik merupakan
bagian penting guna mendapatkan jenis dengan materi genetik unggul. Salah satu
10
metode dalam melakukan seleksi genetik adalah dengan menduga nilai ekspresi gen
berdasarkan penampakan fisik pohon hidup di tegakan. Hambatan dalam melakukan
penilaian berdasarkan fenotipa pohon adalah memastikan bahwa keragaan pohon yang
tampak merupakan murni ekspresi gen, tanpa pengaruh faktor lingkungan ataupun
faktor interaksi antara genotipa dengan lingkungan. Kuantifikasi ekspresi gen sejak
dulu telah menjadi pilihan untuk mendapatkan nilai genotipa terbaik (Zobel dan
Talbert 1984; White et al. 2007; Hamilton et al. 2008).
Metode kuantitatif ilmu genetika mempunyai dua tujuan: a) mengenali individu
yang membawa gen atau kombinasi gen yang unggul; dan b) memperkirakan
perolehan genetik yang diperoleh jika tiap individu tersebut dikawin-silangkan (Boyle
et al. 1997). Kebun benih uji keturunan dibuat untuk mencapai kedua tujuan tersebut,
karena cara terbaik untuk mengetahui apakah pohon induk mempunyai gen-gen unggul
adalah dengan membandingkan performa anakan pohon itu dengan anakan dari pohon
induk lainnya (Zobel dan Talbert 1984). Mereka juga menyatakan bahwa salah satu
konsep penting untuk memperkirakan seberapa besar sifat-sifat unggul tersebut
diwariskan dari pohon induk ke anakannya adalah melalui heritabilitas.
Heritabilitas
Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan mengenai dua macam pengukuran
heritabilitas: broad-sense heritability (H2), dan narrow-sense heritability (h2). Broadsense heritability adalah perbandingan antara seluruh variasi genetik terhadap total
variasi fenotipa, H2 mempunyai rentang nilai antara 0-1. Nilai 0 berarti variasi yang
terdapat dalam populasi bukan karena pengaruh gen, sedangkan nilai 1 menunjukkan
faktor genetik berpengaruh terhadap variasi dalam populasi. Narrow-sense heritability
dijabarkan sebagai rasio variasi aditif genetik terhadap total variasi fenotipa. Nilai h2
hampir serupa dengan H2 yaitu nilai 0 menandakan tidak adanya variasi aditif dan nilai
1 memberikan arti bahwa variasi murni karena faktor genetik (Zobel dan Talbert 1984;
White et al. 2007). Nilai H2 selalu lebih besar dari nilai h2, kedua nilai heritabilitas
dapat mempunyai nilai sama ketika semua variasi yang ada berupa variasi aditif
genetik (Zobel dan Talbert 1984).
White et al. (2007) dalam bukunya yang berjudul Forest Genetics memberikan
penjelasan mengenai karakteristik heritabilitas yaitu:
11
1
heritabilitas selalu terkait dengan sifat individu, dua sifat yang poligenik dapat
memiliki nilai heritabilitas yang berbeda karena terletak pada lokus gen yang
berbeda
2
heritabilitas merupakan fungsi dari komposisi genetik sebuah populasi
3
heritabilitas juga fungsi dari lingkungan tempat populasi itu berkembang
4
heritabilitas sifat-sifat stress tolerant harus diteliti di lingkungan yang memicu
sifat-sifat itu muncul, karena ekspresi dari gen-gen stress toelrant hanya muncul
ketika kondisi itu terpenuhi.
Telah lama para ilmuwan berusaha untuk menduga nilai heritabilitas dengan
menggunakan pendekatan statistik. Namkoong et al. (1966) memberikan penjelasan
ekstensif mengenai beragam jenis heritabilitas dan formula yang digunakan untuk
menduga nilai heritabilitas, mereka membandingkan 18 rumus h2 dari berbagai sumber
dan berkesimpulan bahwa masih banyak komponen yang tidak jelas dan belum terduga
pada kovarian pembilang dan varian penyebut. Munculnya komponen-komponen
ambigu tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan antara kondisi di lapangan dengan
kondisi ideal seperti yang disyaratkan dalam literatur atau buku teks. Boyle et al.
(1997) menerangkan bahwa heritabilitas merupakan variabel yang berubah sesuai
dengan lingkungan, materi genetik, dan umur. Selain itu heritabilitas individu untuk
sifat-sifat yang diinginkan oleh para pemulia pohon (tinggi, diameter, kelurusan
batang, dll) selalu bernilai kecil, menandakan kuatnya pengaruh lingkungan dalam
menentukan fenotipa pohon.
Korelasi Genetik
Hubungan antara karakter pohon dan bagaimana karakter-karakter tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain dapat diduga dengan menghitung nilai korelasi antar
karakter tersebut. Korelasi genetik berusaha untuk mengkuantifikasikan gen-gen yang
mengekspresikan karakter-karakter yang serupa, korelasi ini berperan penting dalam
menentukan besaran nilai respon-terhadap-seleksi suatu karakter. Korelasi genetik
menjadi faktor penting dalam proses seleksi tidak langsung, karena akan menentukan
seberapa besar nilai perolehan genetik suatu karakter sebagai respon terhadap seleksi
(Roff 1996).
Cheverud (1988) menjelaskan bahwa orang awam sering beranggapan jika
korelasi fenotip serupa dengan korelasi genetik, hal ini berawal dari anggapan: a)
12
dalam kondisi normal korelasi fenotip merupakan hasil dari fungsi penjumlahan unsur
genetik dan faktor lingkungan; b) jika nilai heritabilitas untuk kedua karakter teramati
tinggi atau mendekati satu, maka nilai korelasi genetik dan fenotip akan sama, akan
tetapi jarang dijumpai nilai heritabilitas yang tinggi. Cheverud kemudian menguji
hipotesa tersebut, dan berkesimpulan: a) diperlukan jumlah data yang besar untuk
menduga korelasi genetik, serta dasar teoritis analisa statistik yang kuat untuk
menghasilkan estimasi dengan akurasi tinggi, oleh karena itu perhitungan korelasi
genetik mustahil dilakukan untuk spesies langka atau terancam punah; b) jika tidak
memiliki estimasi nilai-nilai genetik yang akurat, maka hingga batasan tertentukorelasi fenotip dapat menggantikan korelasi genetik dalam model evolusi.
Cheverud (1988) pernah memancing perdebatan di dunia akademis ketika
berpendapat bahwa nilai korelasi fenotip dapat digunakan untuk menggantikan nilai
korelasi genetik. Willis et al. (1991) telah membuktikan bahwa argumen Cheverud
keliru dengan melakukan analisa mendalam berdasarkan kaidah statistik, mereka
mendapati bahwa telah terjadi kesalahan dalam penerapan metode statistik dan
justifikasi yang diajukan oleh Cheverud tidak benar. Apabila tidak terdapat data
genetik yang mumpuni, seseorang tidak dapat memprediksi atau mereka-reka pengaruh
kuat seleksi, karena korelasi genetik dapat berubah-ubah seiring dengan pertambahan
waktu. Waitt dan Levin (1998) juga melakukan pengujian pendapat Cheverud pada
tanaman botani, lebih dari 4000 korelasi genetik dan fenotip dari 27 spesies tanaman
digunakan sebagai basis data penelitian. Perhatian khusus diberikan pada populasi,
lingkungan, karakter, ukuran sampel, dan variabel lain, mereka berkesimpulan bahwa
korelasi fenotip dapat menjadi indikator untuk korelasi genetik. Perkiraan secara
kualitatif berdasarkan korelasi fenotip lebih baik daripada tidak sama sekali, ketika
data-data genetik tidak memungkinkan untuk diperoleh.
Burdon (1977) membagi korelasi genetik menjadi dua tipe: A dan B. Korelasi
genetik tipe A adalah korelasi yang diukur dari 2 karakter yang tersemat pada 1
individu. Sedangkan, korelasi genetik tipe B adalah korelasi antar 2 karakter dari 2
individu yang berbeda, dengan kasus khusus korelasi gentik antar lingkungan yang
berbeda. Burdon juga menjelaskan bahwa selama ini korelasi genetik tipe B lebih
sering digunakan pada hewan, karena ada beberapa karakter yang terkait dengan jenis
13
kelamin. Korelasi genetik bermanfaat untuk menggambarkan lingkungan, serta
berguna dalam prediksi perolehan genetik.
Perolehan Genetik
Konsep terpenting kedua dalam ilmu genetika setelah heritabilitas adalah
perolehan genetik (genetic gain). Zobel dan Talbert (1984) menerangkan bahwa
perolehan genetik merupakan akibat dari proses penjarangan, dan dipengaruhi oleh
nilai heritabilitas dan korelasi genetik. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa nilai
perolehan genetik dapat menentukan keberhasilan program pemuliaan pohon hutan.
White et al. (2007) menyebutkan ada tiga cara untuk menduga nilai perolehan genetik:
a) menduga dengan rumus (predicted gains); b) membandingkan antara pohon hasil
pemuliaan, dengan pohon yang belum menjalani program pemuliaan (realized gains);
dan c) simulasi perolehan genetik (simulated gains).
Perolehan genetik tipe satu (predicted gains) sering digunakan pada berbagai
program pemuliaan pohon karena dapat memberikan perkiraan seberapa besar
perolehan genetik yang akan diraih. Realized gains sangat jarang diaplikasikan dalam
program pemuliaan pohon karena kendala waktu dan biaya, akan tetapi tipe ini sangat
penting karena dapat memberikan bukti empiris bahwa program pemuliaan pohon
dapat memperbaiki kualitas pohon (Wellendorf dan Ditlevsen 1992; Nirsatmanto et al.
2004; White et al. 2007; Leksono et al. 2008; Weng et al. 2008; Gonçalves et al.
2009). Simulated gains diperoleh dengan menerapkan beragam asumsi dari beragam
program pemuliaan pohon sebelumnya, dan dijalankan ke dalam model komputer
(White et al. 2007).
Nilai perolehan genetik dapat menjadi indikator mengenai keberhasilan program
pemuliaan pohon (Zobel dan Talbert 1984; White et al. 2007). Adagium ini telah
dibuktikan oleh beberapa penelitian; Gonçalves et al. (2009) meneliti mengenai
afinitas antara perolehan genetik (dalam hal ini realized gains) dengan variasi genetik
pada pohon karet (Hevea brasiliensis) di Brasil. Diketahui bahwa nilai realized gains
setelah roguing pertama meningkat mencapai 6-10% pada beragam karakter bila
dibandingkan dengan populasi kontrol. Mereka juga memperkirakan apabila intensitas
roguing kedua ditingkatkan, maka nilai perolehan genetik akan meningkat pula. Di
Indonesia, Leksono et al. (2008) telah melakukan penelitian serupa di Sumatra dan
Kalimantan, hanya saja yang diteliti adalah Eucalyptus pellita. Pengamatan dilakukan
14
selama tiga tahun dan mendapati bahwa terdapat peningkatan realized gains sebesar
10-20% pada karakter diameter dan tinggi, bila dibandingkan dengan tegakan kontrol.
Kedua penelitian itu menunjukkan bahwa kegiatan pemuliaan pohon dapat
meningkatkan kualitas pohon, dan hal ini ditunjukan dengan peningkatan pada nilai
perolehan genetik.
Seleksi atau Penjarangan Genetik
Fase seleksi atau penjarangan genetik (roguing) memegang peran kunci dalam
menentukan hasil akhir kegiatan pemuliaan pohon, semua usaha akan menjadi sia-sia
apabila pemulia pohon tidak merencanakannya secara cermat. Wenger (1984) dalam
bukunya Forestry Handbook membagi penjarangan ke dalam dua kelas berdasarkan
tujuan akhirnya: penjarangan (thinning) dan penjarangan genetik (roguing). Wenger
berpendapat thinning adalah kegiatan penjarangan yang bertujuan untuk menciptakan
jarak tanam baru serta untuk menjaga sanitasi, sedangkan roguing bertujuan untuk
meningkatkan kualitas genetik kebun benih.
Kaidah dasar penjarangan seperti diterangkan Zobel dan Talbert (1984)
dilandaskan pada prinsip bahwa rerata nilai genetik individu terpilih akan lebih baik
daripada individu di keseluruhan populasi. Lebih lanjut lagi White et al. (2007)
menerangkan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan selama proses seleksi:
1
karakteristik apa dan berapa yang akan diseleksi
2
perlakuan khusus yang harus diberikan pada karakteristik tertentu
3
penentuan umur seleksi
4
intensitas seleksi untuk tiap populasi
5
kriteria dalam menentukan calon unggulan
6
perolehan genetik yang diharapkan setelah seleksi.
Roguing tidak hanya berpengaruh terhadap nilai perolehan genetik, namun juga
mempunyai beberapa manfaat positif bagi program pemuliaan pohon hutan secara
keseluruhan. Porterfield et al. (1975) menjelaskan bahwa bila dibandingkan antara
kebun benih uji keturunan menggunakan penjarangan genetik dengan tanpa
penjarangan genetik maka total biaya investasi pada kebun benih dengan penjarangan
genetik akan lebih besar, akan tetapi mempunyai nilai internal rate of return 10-14%.
Nilai ini lebih tinggi sekitar 2% apabila disandingkan dengan kebun benih tanpa
penjarangan genetik. Sementara itu Stoehr dan El-Kassaby (1997) menyarankan agar
15
intensitas roguing tidak lebih dari 50% dari total populasi, hal ini berguna untuk
mencegah terjadinya genetic drift pada populasi kebun benih.
Pendugaan Kualitas Kayu Metode Non Destruktif
Pada umumnya karakteristik kualitas kayu sering dinilai dari beberapa karakter
pembentuk atau sifat dasar kayu, antara lain melalui kerapatan dan kekakuan kayu.
Kerapatan kayu dapat dijelaskan sebagai nilai rasio antara berat kayu terhadap volume
kayu, dan memiliki satuan antara lain kilogram per meter kubik (İlker 2003; Stern et
al. 2008). Kerapatan kayu mempunyai hubungan erat dengan pertumbuhan kayu yang
berkaitan dengan tebal dinding sel kayu. Sel penyusun kayu gubal berbeda dengan
kayu teras; sel xylem sekunder mempunyai dinding sel yang lebih tebal dari sel-sel
penyusun phloem, ditambah pula dengan penumpukan hasil metabolisme sekunder
seperti lignin yang menyebabkan sel xylem memiliki tingkat kerapatan yang tinggi
(Stern et al. 2008; Chave et al. 2009). Kadar air dalam kayu juga berpengaruh dalam
menentukan besarnya kerapatan kayu. İlker (2003) menjelaskan karena sel-sel dalam
kayu tidak tersusun dengan rapat dan meninggalkan ruang-ruang kosong diantara selsel (disebut dengan porositas), sehingga air pada dinding sel kayu dapat masuk dan
mendiami ruang kosong tersebut.
Karakter kekakuan kayu, atau yang biasa disimbolkan dengan MOE (Modulus Of
Elasticity) dapat dijabarkan sebagai perbandingan antara tegangan (stress) yang
diberikan pada badan kayu hingga menyebabkan perubahan bentuk atau deformasi
(strain), dan dapat digambarkan sebagai kelandaian kurva untuk menunjukkan
hubungan antara stress dengan strain (Carter et al. 2005). Metode pendugaan MOE
secara langsung menggunakan mesin uji mekanis di laboratorium atau Universal
Testing Machine (UTM) merupakan metode yang efektif dan akurat untuk mendapat
nilai kekakuan kayu. Metode ini sangat mahal dan memerlukan waktu yang lama, serta
bersifat destruktif (Dungey et al. 2006). Bercermin dari fakta tersebut maka dapat
dikatakan bahwa metode tes langsung sulit untuk diterapkan dalam penelitian genetik
karakter kualitas kayu yang pada umumnya memiliki jumlah sampel ratusan hingga
ribuan pohon pada s
(Maesopsis eminii Engl.) UMUR 5 TAHUN
SYUHADA ASDINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Awal Uji Keturunan
Kayu Manii (Maesopsis emnii Engl.) Umur 5 Tahun adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Syuhada Asdini
E451080061
ABSTRACT
SYUHADA ASDINI. Early Evaluation of Maesopsis eminii Engl. In a Progeny
Trial at 5 Years-Old. Supervised by ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR and
PRIJANTO PAMOENGKAS.
Maesopsis eminii is a fast growing tree species commonly found in
community-forest. Due to its economic and ecological significance, breeding
program of this species has been initiated. The objectives of this research were: i)
to estimate the genetic parameters of the progeny trial including genetic gain and
ii) to determine correlation between wood quality traits (based on non-destructive
test) and growth traits. Randomized Complete Block Design (RCBD) were used
consisting of 100 families replicated in 8 blocks for evaluating growth traits and
their associated genetic parameters (Experiment-I), while Completely
Randomized Design (CRD) with 3 treatments, i.e. fast, moderate and slow tree
growths and 16 replicates were used for determining wood quality traits
(Experiment-II). There was a fluctuation in terms of values of genetic parameters;
it was high during the early growth, significantly decreased in the middle, then
increased and reached stability at later growth stages. Consistencies of genetic
parameters value (H2 and rg) were given by growth increments 41 and 56 months,
namely: ΔD41, ΔT41, ΔV41 and ΔD56, ΔT56, ΔV56. Highest genetic gain (ΔG) was
expected by ΔD56 - ΔV56 (14.2%) based on indirect selection method. A negative
correlation between a wood quality trait (MOEd) and a growth trait (tree volume)
was observed with a value of (r = -0.246). The results also would imply that the
recommended genetic selection, i.e. roguing, that is best carried out by using
indirect-method based on measurement of diameter (dbh) as main criteria.
Keywords: Maesopsis eminii, progeny trial, early evaluation, heritability, genetic
correlation, genetic gain, wood quality, MOEd.
RINGKASAN
SYUHADA ASDINI. Evaluasi Awal Uji Keturunan Kayu Manii (Maesopsis
eminii Engl.) Umur 5 Tahun. Dibimbing oleh ISKANDAR ZULKARNAEN
SIREGAR dan PRIJANTO PAMOENGKAS.
Kayu manii (Maesopsis eminii) telah jamak ditemui di Indonesia (Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan) sejak 1920-an. Spesies multiguna ini memiliki
karakteristik yang cepat tumbuh dan adaptif, sehingga melalui program pemuliaan
pohon diharapkan kayu manii dapat menjadi salah satu alternatif dalam
pengembangan sumber benih sekaligus dapat menjawab permasalahan akan
permintaan kayu yang terus meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk: a)
menduga nilai parameter genetik pada pertanaman uji keturunan Maesopsis eminii
umur 5 tahun dan b) menganalisis hubungan antara karakteristik kualitas kayu
(metode non-destruktif) dengan karakteristik pertumbuhan. Manfaat penelitian ini
diharapkan dapat memberikan arahan metode seleksi yang tepat dalam
pengembangan sumber benih manii, khususnya kebun benih semai uji keturunan.
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan (experiment) yaitu: a) evaluasi
karakteristik pertumbuhan, dan b) evaluasi karakteristik kualitas kayu.
Pengukuran karakteristik pertumbuhan (diameter, tinggi dan volume) dilakukan
sebanyak 5 kali dalam kurun waktu 5 tahun, rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak kelompok lengkap (randomized complete block design)
dengan 8 ulangan per blok, masing-masing blok terdiri dari 100 famili. Pada
percobaan kedua yaitu evaluasi karakteristik kualitas kayu (kecepatan gelombang
ultrasonik, kerapatan kayu, kadar air dan kekakuan kayu), dilakukan pengambilan
sampel dengan metode purposive sampling, rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap (completely randomized design) yang terdiri dari 3
kategori pertumbuhan yaitu: cepat, sedang dan lambat, masing-masing kategori
memiliki 16 ulangan.
Analisis data pada percobaan I (karakteristik pertumbuhan) adalah
melakukan perhitungan analisis ragam (ANOVA) menggunakan persamaan linier
rancangan acak kelompok lengkap. Berdasarkan komponen kuadrat tengah
harapan dari analisis ragam selanjutnya digunakan untuk melakukan perhitungan
pendugaan nilai parameter genetik: ragam genetik (σ2g) dan ragam fenotipik (σ2p),
koefisien variasi genetik (KVG), heritabilitas dalam arti luas (H2), korelasi genetik
(rg), dan perolehan genetik (ΔG). Perhitungan analisis ragam (ANOVA) pada
percobaan II menggunakan persamaan linier rancangan acak lengkap untuk
mengetahui nilai rataan dan perbedaan dari karakteristik kualitas kayu, sedangkan
untuk menganalisis hubungan antara karakteristik kualitas kayu dengan
karakteristik pertumbuhan dilakukan analisis korelasi fenotipik (Pearson).
Heritabilitas (H2) variabel selisih pertumbuhan tinggi 13 bulan (ΔT13)
memberikan nilai heritabilitas tertinggi yaitu sebesar 0.984, sedangkan nilai
koefisien variasi genetik (KVG) tertinggi diberikan oleh variabel selisih
pertumbuhan volume 41 bulan (ΔV41) sebesar 21.229%. Korelasi genetik (rg)
yang positif – tinggi terdapat pada pasangan variabel: ΔD25 - ΔD13, ΔT25 – ΔT13,
ΔV25 – ΔV13, ΔV25 – ΔD13, ΔD25 – ΔV13, ΔV25 – ΔD41. Nilai korelasi fenotipik
antara pasangan variabel ΔD13, ΔT13, dan ΔV13, dengan variabel yang lain dapat
dikategorikan dalam kelas (hubungan keeratan) rendah hingga sedang (r = 0.1 –
0.5), sedangkan kategori sedang – tinggi (r = 0.6 – 1.0) dimulai dari selisih
pertumbuhan 25 bulan dan seterusnya.
Secara umum pendugaan nilai heritabilitas dan korelasi genetik
menunjukkan tren yang relatif sama, yaitu tinggi pada awal pertumbuhan namun
secara drastis menurun pada pertumbuhan setelahnya, kemudian mengalami
peningkatan secara perlahan (stabil) pada pertumbuhan tingkat lanjut. Keeratan
dan kestabilan variabel secara konsisten ditunjukkan oleh selisih pertumbuahan
tingkat lanjut (ΔD41, ΔT41, ΔV41 dan ΔD56, ΔT56, ΔV56), sehingga kedua selisih
pertumbuhan (41 dan 56 bulan) ini dijadikan acuan dalam perhitungan perolehan
genetik.
Pendugaan nilai perolehan genetik sebagai respon seleksi (ΔG) melalui
penjarangan genetik (roguing) dapat dihitung berdasarkan dua metode yaitu:
seleksi langsung, dan seleksi tidak langsung. Apabila melakukan seleksi secara
langsung maka variabel selisih pertumbuhan volume 56 bulan (ΔV56) memberikan
nilai perolehan genetik tertinggi sebesar 13.703%, sedangkan melalui metode
seleksi tidak langsung, yaitu dengan melakukan seleksi pada variabel selisih
pertumbuhan diameter 56 bulan (ΔD56) maka perolehan genetik tertinggi
diberikan oleh variabel ΔV56 sebesar 14.235% .
Pertumbuhan kayu manii selama 5 tahun pada pertanaman uji keturunan
mengalami peningkatan yang signifikan tiap tahunnya, laju pertumbuhan paling
tinggi terjadi antara selisih pertumbuhan 25 – 41 bulan (tahun 2010). Famili –
famili yang memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan (selisih pertumbuhan 56
bulan) tertinggi berdasarkan karakter diameter, tinggi, dan volume antara lain:
P.079, P.069, P.010, dan P.051, laju pertumbuhan tertinggi tersebut terdapat pada
blok: 1, 4, dan 8.
Nilai rata-rata karakteristik kualitas kayu adalah: kecepatan gelombang
ultrasonik (Vus) = 3266 m/dtk2, kadar air (KA) = 76.448%, kerapatan kayu berat
kering oven (ρo) = 0.446 g/cm3, kerapatan kayu berat basah (ρb) = 0.780 g/cm3, dan
kekakuan kayu (MOEd) = 8366 kg/cm2. Secara umum besaran nilai dari ketiga
kategori pertumbuhan (cepat sedang dan lambat) menunjukkan nilai yang tidak
berbeda nyata, tidak ada nilai yang lebih menonjol bila dibandingkan satu sama
lainnya. Kecepatan gelombang ultrasonik memiliki hubungan yang positif-tinggi
(linier) dengan kekakuan kayu (R2 = 0.73 dan r = 0.852), sedangkan kerapatan
kayu berat basah memiliki nilai yang bertolak belakang dengan kecepatan
gelombang ultrasonik (r = -0.179), serta hubungan antara dua karakter kombinasi
yaitu kekakuan kayu dengan volume pohon menunjukkan tren negatif, semakin
besar volume pohon maka nilai MOEd semakin kecil (R2 = 0.043 dan r = -0.246).
Kata kunci: Maesopsis eminii, uji keturunan, evaluasi awal, heritabilitas,
korelasi genetik, perolehan genetik, kualitas kayu, MOEd.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI AWAL UJI KETURUNAN KAYU MANII
(Maesopsis eminii Engl.) UMUR 5 TAHUN
SYUHADA ASDINI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc.F
Judul Tesis : Evaluasi Awal Uji Keturunan Kayu Manii
(Maesopsis eminii Engl.) Umur 5 Tahun
Nama
: Syuhada Asdini
NIM
: E451080061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc
Ketua
Dr.Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F
Anggota
Diketahui
Ketua Mayor
Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Basuki Wasis, M.S
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
November 2011 ini adalah Evaluasi Awal Uji Keturunan Kayu Manii (Maesopsis
emnii Engl.) Umur 5 Tahun.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak
Prof.Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Bapak Dr.Ir. Prijanto Pamoengkas,
M.Sc.F selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan
saran yang sangat membantu sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Di
samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada pihak Rumpin Seed Source
and Nursery Center (RSSNC) yang telah mengizinkan untuk mengakses data dan
melakukan penelitian di Experimental Forest Cirangsad Jasinga. Terimakasih juga
penulis ucapkan kepada Among Prasetyo yang telah terlibat langsung dalam
membantu proses penyelesaian penelitian ini, dan Mila Meliana atas dukungan
dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh
keluarga, serta rekan-rekan atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Syuhada Asdini
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lawe Dua, 2 Juni 1983 dari ayah Asdin Broeh dan ibu
Lahiyah Selian. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kutacane dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus tahun
2006. Pada tahun 2008, penulis diterima di Mayor Silvikultur Tropika, pada
Program Pascasarjana IPB.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis juga pernah terlibat aktif di
Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Tenggara (IPMAT) se-Jabotabek sebagai pendiri
dan pembina.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
PENDAHULUAN ...............................................................................................
Latar Belakang ................................................................................................
Tujuan .............................................................................................................
Manfaat ...........................................................................................................
Analisis Permasalahan ....................................................................................
1
1
2
3
3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
Kayu Manii (Maesopsis eminii Engl.) ............................................................
Deskripsi Umum ........................................................................................
Kegunaan dan Manfaat ..............................................................................
Pemuliaan Pohon ............................................................................................
Kebun Benih ..............................................................................................
Uji Keturunan ............................................................................................
Pendugaan Nilai Parameter Genetik ...............................................................
Heritabilitas ................................................................................................
Korelasi Genetik ........................................................................................
Perolehan Genetik ......................................................................................
Seleksi atau Penjarangan Genetik ..................................................................
Pendugaan Kualitas Kayu Metode Non-Destruktif ........................................
4
4
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
METODE PENELITIAN ....................................................................................
Waktu dan Lokasi ...........................................................................................
Bahan dan Alat ...............................................................................................
Variabel Pengukuran dan Evaluasi .................................................................
Percobaan I ................................................................................................
Percobaan II ...............................................................................................
Analisis Data ..................................................................................................
17
17
17
18
18
19
21
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
Pendugaan Keragaman dan Heritabilitas ........................................................
Korelasi Genetik dan Fenotipik ......................................................................
Perolehan Genetik Sebagai Respon Terhadap Seleksi ...................................
Performa Pertumbuhan ...................................................................................
Pendugaan Kualitas Kayu Metode Non-Destruktif ........................................
24
24
27
30
32
34
KESIMPULAN ................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40
LAMPIRAN ........................................................................................................ 46
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Lokasi asal usul pohon plus Maesopsis eminii ............................................. 17
2
Notasi variabel pengukuran selama 5 tahun .................................................. 18
3
Analisis ragam rancangan acak kelompok lengkap ...................................... 21
4
Nilai keragaman, koefisien variasi genetik dan heritabilitas ........................ 24
5
Heritabilitas broad sense dan narrow sense pada beberapa jenis pohon
tropis dan sub tropis ...................................................................................... 26
6
Nilai korelasi genetik dan fenotipik per selisih pertumbuhan ....................... 27
7
Nilai perolehan genetik metode seleksi langsung dan tidak langsung .......... 30
8
Rangking 10 famili terbaik pada selisih pertumbuhan 56 bulan ................... 33
9
Nilai rata-rata dan simpangan baku karakteristik kualitas kayu ................... 34
10 Nilai korelasi fenotipik antara karakteristik kualitas kayu dengan
Karakteristik pertumbuhan ............................................................................ 34
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Skema analisis permasalahan penelitian ....................................................... 3
2
Profil pohon, cabang, bunga dan buah kayu manii ....................................... 4
3
Tahapan pengembangan kebun benih semai uji keturunan ........................... 9
4
Kegiatan pengukuran penelitian .................................................................... 20
5
Grafik heritabilitas per selisih pertumbuhan ................................................. 25
6
Analisis komponen utama (PCA; Loading plot) ........................................... 28
7
Grafik nilai rata-rata per selisih pertumbuhan .............................................. 32
8
Grafik nilai rata-rata pertumbuhan pada tiap blok ........................................ 33
9
Hubungan antara Vus (m/dtk2) dengan MOEd (kg/cm2) ................................ 35
10 Hubungan antara MOEd (kg/cm2) dengan volume (m3/phn) ........................ 37
11 Target kualitas kayu (MOEd) pada program pemuliaan pohon .................... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Layout kebun benih pertanaman uji keturunan blok Maesopsis eminii ........ 46
2 Informasi asal usul pohon plus ...................................................................... 47
3 Analisis akar ciri dan korelasi antar variabel PCA ........................................ 49
4 Nilai perolehan genetik metode seleksi langsung dan tidak langsung
selama 5 tahun ............................................................................................... 50
5 Analisis ragam (ANOVA) pada percobaan I ................................................ 51
6 Uji beda nyata famili pada selisih pertumbuhan 56 bulan ............................ 52
7 Uji beda nyata blok pada selisih pertumbuhan 56 bulan ............................... 54
8 Sebaran normal volume dan analisis ragam (ANOVA) pada
percobaan II ................................................................................................... 55
9 Gambar penelitian ......................................................................................... 56
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan kayu di dalam negeri mencapai 0,3 m3 per orang per tahun atau
total kebutuhan akan pasokan kayu adalah 71 juta m3 per tahun (Cahyana 2012).
Kemenhut (2010) menyebutkan bahwa kapasitas produksi kayu bulat dari hutan
alam dan hutan tanaman per tahun 2009 sebesar 34.320.536,12 m3 per tahun.
Sampai dengan tahun 2005 luas hutan rakyat di Indonesia adalah 1.568.415,63 ha
dengan potensi sebesar 39.416.557 m3 (Abdurachman dan Hadjib 2006).
Kesenjangan antara permintaan dengan ketersediaan kayu serta besarnya potensi
yang diberikan oleh hutan rakyat mengindikasikan perlunya suatu usaha dalam
penyediaan dan pengembangan jenis-jenis alternatif yang cepat tumbuh, adaptif
dan berkualitas, sehingga melalui program pemuliaan pohon dan sumber benih
diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan kesenjangan tersebut.
Kayu manii adalah jenis pionir yang dapat tumbuh dengan cepat dan dapat
digolongkan sebagai tanaman multiguna (multi purpose tree species) (Mulyana
2010). Spesies asli afrika ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun
1920-an, dan sudah jamak ditemui di pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan
(Zulfahmi 2007). Kayu manii banyak ditemui di Uganda dan Zaire, barat-laut
Tanzania, Zambia, Kenya dan Angola, jenis ini mempunyai subspesies
berchemoides (Pierre) N. Halle di Afrika Barat (Binggeli 1989). Persebaran pohon
ini semakin luas setelah pada tahun 1952 diperkenalkan di semenanjung Malaya
(Hanum dan Maesen 1997).
Program pemuliaan pohon merupakan kegiatan jangka panjang yang
memiliki tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas genetik pohon hutan. Faktor
penghambat dalam kegiatan ini adalah butuh waktu yang lama bagi pohon untuk
tumbuh dan mencapai umur matangnya (secara biologis, reproduksi, dan masa
panen), selain itu ukuran pohon yang besar juga menjadi tantangan tersendiri bagi
para pemulia pohon (White et al. 2007). Salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan waktu dalam pemuliaan pohon adalah dengan melakukan penilaian
awal (early evaluation) (Waxler dan Buijtenen 1981).
Pemuliaan pohon di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1930-an ketika
seorang peneliti dari Belanda meneliti biologi pembungaan pohon jati dan diikuti
2
dengan pendirian kebun benih provenans (provenance trial) jati (Suhaendi 1998).
Hingga saat ini jenis-jenis yang sering digunakan dalam program pemuliaan
pohon di Indonesia antara lain: Jati (Tectona grandis), Pinus (Pinus merkusii),
Akasia (Acacia mangium), dan beberapa spesies baru seperti Eucalyptus pellita,
Lophopetalum multinervium, Shorea polyandra, Shorea leprosula, dan Dyospiros
celebica (Suhaendi 1998; Suseno 2001; Nirsatmanto et al. 2004; Leksono et al.
2008; Ishiguri et al. 2011).
Pada tahun 2006, Rumpin Seed Source and Nursery Center (RSSNC)
sebagai implementasi proyek kerjasama antara Departemen Kehutanan RI dengan
KOICA (Korean International Co-operation Agency) membangun hutan
percobaan (experimental forest) berupa kebun benih, dan salah satu jenis yang
dikembangkan adalah kayu manii (Maesopsis emenii). Sebanyak 100 famili pohon
plus kayu manii yang berasal dari 3 lokasi berbeda dikumpulkan untuk
membangun kebun benih uji keturunan (progeny trial) di RPH Cirangsad, BKPH
Jasinga, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Zulfahmi et al. 2007).
Target jangka panjang kegiatan ini diarahkan untuk menjadi sumber kebun benih
semai penghasil benih berkualitas (Dephut 2009).
Penelitian ini melakukan evaluasi awal pada pertanaman uji keturunan kayu
manii umur 5 tahun serta mempelajari hubungan antara karakteristik pertumbuhan
dengan karakteristik kualitas kayu. Beberapa penelitian serupa yang mempelajari
hubungan antara karakteristik pertumbuhan dengan kualitas kayu khususnya
kekakuan kayu secara non-destruktif antara lain menggunakan alat teknologi
gelombang suara (Sylvatest Duo™, FAKOPP™, Metriguard™), sinar X (X-Ray
Diffractometry), dan gelombang cahaya (Near-Infrared Spectroscopy) (Cave
1997; Jayawickrama 2001; Schimleck dan Evans 2002; Grabianowski et al. 2006;
Evans 2008; Eckard et al. 2010).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1
menduga nilai parameter genetik pada pertanaman uji keturunan Maesopsis
eminii umur 5 tahun.
2
menganalisis hubungan antara karakteristik kualitas kayu (metode non
destruktif) dengan karakteristik pertumbuhan.
3
Manfaat
Manfaat penelitian adalah memberikan arahan metode seleksi yang tepat
dalam pengembangan sumber benih manii, khususnya kebun benih semai uji
keturunan.
Analisis Permasalahan
Analisis permasalahan penelitian dijabarkan pada Gambar 1.
Kesenjangan
Kebutuhan Kayu
Program
Pemuliaan Pohon
Jenis Cepat Tumbuh
dan Adaptif
Pemilihan Pohon Plus
Pertumbuhan dan
Kualitas Kayu
Maesopsis eminii
Hutan Rakyat
Seleksi Pohon Plus
Hutan Tanaman
Uji Keturunan
(Progeny Trial)
Evaluasi I
Q#1: Karakteristik Pertumbuhan?
Evaluasi II
Q#2: Karakteristik Kualitas Kayu
(Non Destruktif)?
Penjarangan Genetik
(Roguing)
Konversi Kebun Benih
Uji Keturunan
Benih Maesopsis eminii
Berkualitas
Pertanaman
Gambar 1 Skema analisis permasalahan penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Manii (Maesopsis eminii Engler)
Deskripsi Umum
Kayu manii (Maesopsis eminii
Engl.)
adalah
jenis
pendatang
di
Indonesia, pertama kali diperkenalkan
sekitar
tahun
1920-an
dan
telah
berkembang dengan merata di pulau
Jawa,
Sumatra,
(Zulfahmi
2007).
dan
Kalimantan
Spesies
ini
mempunyai nama dagang internasional
musizi, di Afrika pohon ini mempunyai
beragam nama lokal: Umbrella tree,
Muhumulla, Msira, Muguruka, dan
lain-lain. Kayu manii banyak ditemui
di
Uganda
dan
Zaire,
barat-laut
Tanzania, Zambia, Kenya dan Angola,
Gambar 2: 1) bentuk pohon; 2) cabang dengan bunga; 3)
bagian bawah daun; 4) bunga; 5) cabang dengan buah.
Sumber: Hanum dan Maesen (1997).
tanaman ini mempunyai subspesies berchemoides (Pierre) N. Halle di Afrika Barat.
Penyebarannya semakin luas setelah pada tahun 1952 diperkenalkan di semenanjung
Malaya (Binggeli 1989; Hanum dan Maesen 1997).
Genus Maesopsis dideskripsikan sebagai genus monospesifik (hanya mempunyai
satu spesies sebagai anggotanya), lebih spesifik anggota genus Maesopsis terbagi
menjadi 2 subspesies: subspesies eminii umum ditemui di Afrika Timur dan menyebar
dengan rata di Asia Tenggara, serta subspesies berchemioides (Pierre) N. Halle., yang
menyebar dari Angola hingga Nigeria. Genus ini sangat berbeda bila dibandingkan
dengan genus-genus anggota famili Rhamnaceae, terpencil dari kelompoknya karena
mempunyai perbedaan pada jumlah kromosom, struktur kayu, bunga yang
protogynous, serta morfologi ovari (Hanum dan Maesen 1997).
Kayu manii tergabung dalam famili Rhamnaceae memiliki penyebaran alami
dari daerah dataran rendah hingga ke hutan sub-pegunungan, dengan ketinggian
optimal untuk pertumbuhan 600 – 900 m dpl. Daerah dengan angka curah hujan 1.200
– 3.600 mm per tahun, dan musim kering tidak lebih dari 4 bulan menjadi prakondisi
5
bagi kayu manii agar dapat tumbuh dengan baik. Tumbuhan ini menyukai tanah
dengan ketebalan yang dalam dan drainase yang baik, dapat tumbuh pada tanah dengan
ketebalan tipis dengan syarat terdapat sumber air yang cukup untuk menunjang
pertumbuhannya (Joker 2002).
Tinggi pohon kayu manii dapat mencapai 45 meter, kulit batangnya berwarna
abu-abu pucat, beralur dalam, dan memiliki kulit dalam berwarna merah tua. Daun
memiliki panjang 6-15 cm dengan tepi bergerigi. Memiliki tandan yang terdiri atas
kumpulan bunga di sepanjang ketiak daun dengan panjang 1-5 cm. Bunganya
berukuran kecil, berkelamin ganda dan mahkotanya berwarna putih kekuningan
(Mulyana 2010). Kayu manii mulai berbuah 4 - 6 tahun setelah penanaman jika semua
prasyarat pertumbuhan terpenuhi, sedangkan di tegakan alami pohon ini baru berbuah
setelah berumur 10 tahun. Buah berbentuk batu lonjong, mempunyai panjang 20-35
mm, ketika masak berwarna ungu atau hitam dan berwarna hijau saat masih muda,
serta dalam setiap buah terdapat 1-2 biji (Joker 2002). Musim berbunga adalah pada
bulan Februari hingga Mei dan bulan Agustus hingga September, buah matang dalam
waktu 2 bulan setelah berbunga, dan penyebaran bijinya dibantu oleh binatang seperti:
kelelawar, hewan pengerat, dan monyet (Hanum dan Maesen 1997).
Kegunaan dan Manfaat
Kayu manii memiliki beragam kegunaan dan dapat digolongkan sebagai Multi
Purpose Tree Species (MPTS), selain itu jenis ini merupakan pohon yang memiliki
kemampuan untuk tumbuh dengan cepat dan adaptif. Di Afrika kayu manii umumnya
ditanam di pekarangan atau kebun rumah serta keperluan lainnya yaitu sebagai sumber
kayu bakar, tanaman penaung, dan sumber kayu, tidak jauh berbeda dengan di India
yang memanfaatkan kayu manii sebagai tanaman penaung di perkebunan, kopi, teh,
dan kapulaga; di Zaire menjadi penaung bagi tanaman kakao, sedangkan di Jawa
spesies ini sering menjadi sumber kayu bakar, dan ditanam di pinggir jalan sebagai
pohon peneduh. Selain itu daun kayu manii juga sering dijadikan sebagai bahan pakan
ternak karena mempunyai bobot bahan kering 35% sehingga mudah dicerna oleh
hewan ternak (Hanum dan Maesen 1997; Joker 2002; Mulyana 2010).
Jenis kayu manii termasuk kedalam kelas kuat III dan kelas awet III-IV dengan
kerapatan 0.4 gr/cm3 (Abdurachman dan Hadjib 2006). Kayu ini juga sangat baik
digunakan untuk keperluan bidang konstruksi/pertukangan serta pulp, jenis ini
6
memiliki kerapatan kayu dengan kisaran 380-480 kg/m3, sehingga kayunya sering
digunakan untuk kegiatan konstruksi, kotak dan tiang berkekuatan sedang hingga kuat
(Hanum dan Maesen 1997; Mulyana 2010). Kualitas pulp yang dihasilkan dari jenis
kayu manii sebanding dengan pulp yang dihasilkan dari jenis kayu keras lainnya.
Spesies ini juga bermanfaat bagi praktik agroforestry dan silvopasture, dengan pola
kombinasi permanen ditanam secara campuran antara kayu manii dengan tanaman
pangan (semusim maupun campuran) serta tanaman pakan ternak, maka dapat
menghasilkan kayu bakar, kayu bangunan, pupuk hijau, hasil pangan dan pakan ternak
yang sangat bermanfaat bagi masyarakat (Mulyana 2010).
Pemuliaan Pohon
Pemuliaan pohon (tree improvement) merupakan penerapan dan kombinasi
antara pokok-pokok ilmu genetika kehutanan dengan disiplin ilmu yang lain seperti
fisiologi pohon, silvikultur, dan ekonomi, dengan tujuan akhir adalah untuk
meningkatkan kualitas genetik pohon hutan (White et al. 2007). Program pemuliaan
pohon lahir dari kesadaran para rimbawan bahwa untuk menghasilkan tegakan dengan
produksi yang maksimal praktek pengelolaan hutan konvensional saja tidak cukup;
seleksi pohon melalui kualitas genetik terbaik pun dibutuhkan untuk melengkapi
persamaan F = G + E, begitu juga hal sebaliknya (Zobel dan Talbert 1984).
Pemuliaan pohon secara konvensional yang telah dilakukan di beberapa negara
belum menunjukkan hasil yang optimal, kecuali untuk beberapa jenis saja antara lain:
Eucaliptus, Pinus dan Acasia. Sementara itu pengembangan program pemuliaan secara
molekuler (molecular breeding) membutuhkan biaya yang sangat mahal. Oleh karena
itu perlu strategi yang tepat dalam mengembangkan program pemuliaan. Perlu
penentuan urutan prioritas dalam program pemuliaan jenis tanaman hutan di Indonesia
yang jumlahnya sangat banyak. Pemuliaan pohon tidak hanya berfokus pada karakter
kuantitatif atau ekonomis saja namun juga terhadap karakter kualitatif yang mampu
merespon perubahan iklim, ketahanan hama dan penyakit dan kesesuaian untuk
tanaman agroforestri (Hidayat 2010).
Hidayat (2010) menjabarkan secara umum mengenai strategi pemuliaan pohon
sebagai solusi terhadap permasalahan perbenihan dan produktivitas tegakan yang
sedang atau nantinya akan berkembang, yaitu:
7
1
menyediakan sumber benih atau material vegetatif yang dapat digunakan untuk
memenuhi program penanaman jangka pendek
2
mengumpulkan informasi genetik bagi kepentingan operasional pengembangan
pertanaman dan pemuliaan pohon jangka pendek dan panjang
3
mengembangkan kebun benih yang menghasilkan benih bermutu genetik yang
secara internal merupakan program peningkatan produktivitas tegakan, maupun
untuk mengisi kebutuhan benih komersial di pasaran yang diramal akan semakin
berkembang
4
memenuhi kebutuhan material pemuliaan yang layak dan dapat dipergunakan
sebagai bahan seleksi genetik pada generasi-generasi berikutnya.
Kebun Benih
Salah satu teknik program pemuliaan pohon untuk mendapatkan benih tanaman
kehutanan dengan mutu terbaik adalah mendirikan kebun benih (seed orchard).
Sebagaimana Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan bahwa kebun benih merupakan
persemaian dengan koleksi tanaman yang berasal dari sumber unggulan yang diisolasi
untuk mencegah penyerbukan dari sumber luar yang inferior, serta dikelola dengan
intensif guna menghasilkan benih yang berlimpah. Deksripsi ini memberikan implikasi
bahwa kebun benih kini tidak lagi berfokus pada perbaikan kualitas genetik, melainkan
juga sebagai sarana menghasilkan benih berkualitas dalam kuantitas yang banyak
(Granhof 1991).
Secara umum kebun benih dapat diklasifikasikan menurut asal benih yaitu: a)
kebun benih klon (clonal seed orchard); b) kebun benih semai (seedling seed
orchard); dan c) kebun pangkas (hedge orchard). Peraturan Menteri Kehutanan RI No.
72 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan menguraikan
ketiga jenis kebun benih diatas, yang dimaksud dengan Kebun Benih Semai (KBS)
adalah huma benih dengan sumber utama benih berasal dari pembiakan generatif
tegakan pohon plus yang telah dijarangi berdasarkan hasil uji keturunan. Kebun Benih
Klon (KBK) digambarkan sebagai sumber benih yang dibuat dengan menggunakan
hasil pembiakan vegetatif tegakan pohon plus yang telah dijarangi berdasarkan hasil
uji keturunan. Kebun Pangkas (KP) adalah basis benih yang berasal dari pembiakan
vegetatif klon unggul sebagai hasil dari uji klon (Dephut 2009).
8
Kebun benih juga dapat dikelas-kelaskan dengan berdasarkan fungsi dasar
pembuatannya: Kebun Benih Produksi (KBP), dan Kebun Benih Pemuliaan (KBPm).
Kebun benih produksi sering dipandang sebagai pusat produksi benih dalam skala
industri, ukurannya sangat tergantung pada permintaan benih dan luasannya dapat
berkembang tergantung kebutuhan. Rentang pakai KPB sangat tergantung pada umur
fisik pohon dan produktifitas pohon. KBPm adalah inti dari kegiatan pemuliaan pohon
hutan, pada kebun ini diberikan berbagai perlakuan percobaan (experiment). Bentuk
KBPm umumnya adalah kebun benih semai dan klon (Granhof 1991). Zobel dan
Talbert (1984) mengindikasikan tujuan utama dari KBPm adalah untuk memisahkan
gen dari pengaruh lingkungan, dengan cara memberikan lingkungan yang sama pada
semua anakan.
Uji Keturunan
Teknik yang paling tepat dalam mengevaluasi keunggulan pohon induk terpilih
adalah melalui uji keturunan (progeny test/trial). Uji keturunan memungkinkan untuk
mengetahui perbedaan apakah keunggulan suatu pohon induk disebabkan karena
kebetulan tempat tumbuh pada lingkungan yang baik atau superioritasnya disebabkan
karena genotipenya yang memang bagus. Uji keturunan merupakan hasil
perkembangbiakan pada tanaman secara generatif maupun vegetatif yang umumnya
digunakan dalam program seleksi dan pemuliaan, dan sangat berguna untuk sifat-sifat
yang mempunyai nilai heritabilitas rendah (Zobel dan Talbert 1984).
White (1987) mendefinisikan uji keturunan sebagai suatu uji/tes dari nilai-nilai
genotip (seperti seleksi individu) berdasarkan performa keturunannya. Uji keturunan
pohon plus generasi pertama dapat dievaluasi dalam pengujian secara acak, ulanganulangan di lapangan dimaksudkan untuk menentukan nilai-nilai genetik dari pohon
plus tersebut. Benih adalah hasil dari produksi populasi, hal ini logis karena bibit pada
akhirnya akan digunakan secara komersial pada hutan tanaman. Sebagai contoh,
propagul vegetatif (stek akar) adalah produk dari populasi produksi, uji klon dari uji
keturunan dan seleksi dirangking berdasarkan performa dari propagul vegetatif
tersebut. Uji keturunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program
pemuliaan pohon, beberapa fungsi dan kegunaannya adalah sebagai berikut:
1
seleksi untuk meningkatkan produksi populasi
2
pengembangan produksi populasi
9
3
seleksi untuk meningkatkan pemuliaan (breeding) dalam populasi
4
meningkatkan efesiensi dalam mendesain perkawinan (mating)
5
meningkatkan efesiensi seleksi sebagai basis populasi jangka panjang.
Secara umum, tahapan pengembangan kebun benih semai uji keturunan adalah
seperti yang disajikan pada Gambar 3.
Seleksi pohon plus
Pengumpulan benih
Persemaian
Pertanaman
Uji Keturunan
Pengukuran (Evaluasi)
Analisis dan Pendugaan
Nilai Parameter Genetik
Seleksi / Penjarangan (Roguing)
Kebun Benih Semai
Benih Berkualitas
Gambar 3 Tahapan pengembangan kebun benih semai uji keturunan (Granhof 1991;
Dephut 2009).
Pendugaan Nilai Parameter Genetik
Sebagai bagian dari program pemuliaan pohon, seleksi genetik merupakan
bagian penting guna mendapatkan jenis dengan materi genetik unggul. Salah satu
10
metode dalam melakukan seleksi genetik adalah dengan menduga nilai ekspresi gen
berdasarkan penampakan fisik pohon hidup di tegakan. Hambatan dalam melakukan
penilaian berdasarkan fenotipa pohon adalah memastikan bahwa keragaan pohon yang
tampak merupakan murni ekspresi gen, tanpa pengaruh faktor lingkungan ataupun
faktor interaksi antara genotipa dengan lingkungan. Kuantifikasi ekspresi gen sejak
dulu telah menjadi pilihan untuk mendapatkan nilai genotipa terbaik (Zobel dan
Talbert 1984; White et al. 2007; Hamilton et al. 2008).
Metode kuantitatif ilmu genetika mempunyai dua tujuan: a) mengenali individu
yang membawa gen atau kombinasi gen yang unggul; dan b) memperkirakan
perolehan genetik yang diperoleh jika tiap individu tersebut dikawin-silangkan (Boyle
et al. 1997). Kebun benih uji keturunan dibuat untuk mencapai kedua tujuan tersebut,
karena cara terbaik untuk mengetahui apakah pohon induk mempunyai gen-gen unggul
adalah dengan membandingkan performa anakan pohon itu dengan anakan dari pohon
induk lainnya (Zobel dan Talbert 1984). Mereka juga menyatakan bahwa salah satu
konsep penting untuk memperkirakan seberapa besar sifat-sifat unggul tersebut
diwariskan dari pohon induk ke anakannya adalah melalui heritabilitas.
Heritabilitas
Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan mengenai dua macam pengukuran
heritabilitas: broad-sense heritability (H2), dan narrow-sense heritability (h2). Broadsense heritability adalah perbandingan antara seluruh variasi genetik terhadap total
variasi fenotipa, H2 mempunyai rentang nilai antara 0-1. Nilai 0 berarti variasi yang
terdapat dalam populasi bukan karena pengaruh gen, sedangkan nilai 1 menunjukkan
faktor genetik berpengaruh terhadap variasi dalam populasi. Narrow-sense heritability
dijabarkan sebagai rasio variasi aditif genetik terhadap total variasi fenotipa. Nilai h2
hampir serupa dengan H2 yaitu nilai 0 menandakan tidak adanya variasi aditif dan nilai
1 memberikan arti bahwa variasi murni karena faktor genetik (Zobel dan Talbert 1984;
White et al. 2007). Nilai H2 selalu lebih besar dari nilai h2, kedua nilai heritabilitas
dapat mempunyai nilai sama ketika semua variasi yang ada berupa variasi aditif
genetik (Zobel dan Talbert 1984).
White et al. (2007) dalam bukunya yang berjudul Forest Genetics memberikan
penjelasan mengenai karakteristik heritabilitas yaitu:
11
1
heritabilitas selalu terkait dengan sifat individu, dua sifat yang poligenik dapat
memiliki nilai heritabilitas yang berbeda karena terletak pada lokus gen yang
berbeda
2
heritabilitas merupakan fungsi dari komposisi genetik sebuah populasi
3
heritabilitas juga fungsi dari lingkungan tempat populasi itu berkembang
4
heritabilitas sifat-sifat stress tolerant harus diteliti di lingkungan yang memicu
sifat-sifat itu muncul, karena ekspresi dari gen-gen stress toelrant hanya muncul
ketika kondisi itu terpenuhi.
Telah lama para ilmuwan berusaha untuk menduga nilai heritabilitas dengan
menggunakan pendekatan statistik. Namkoong et al. (1966) memberikan penjelasan
ekstensif mengenai beragam jenis heritabilitas dan formula yang digunakan untuk
menduga nilai heritabilitas, mereka membandingkan 18 rumus h2 dari berbagai sumber
dan berkesimpulan bahwa masih banyak komponen yang tidak jelas dan belum terduga
pada kovarian pembilang dan varian penyebut. Munculnya komponen-komponen
ambigu tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan antara kondisi di lapangan dengan
kondisi ideal seperti yang disyaratkan dalam literatur atau buku teks. Boyle et al.
(1997) menerangkan bahwa heritabilitas merupakan variabel yang berubah sesuai
dengan lingkungan, materi genetik, dan umur. Selain itu heritabilitas individu untuk
sifat-sifat yang diinginkan oleh para pemulia pohon (tinggi, diameter, kelurusan
batang, dll) selalu bernilai kecil, menandakan kuatnya pengaruh lingkungan dalam
menentukan fenotipa pohon.
Korelasi Genetik
Hubungan antara karakter pohon dan bagaimana karakter-karakter tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain dapat diduga dengan menghitung nilai korelasi antar
karakter tersebut. Korelasi genetik berusaha untuk mengkuantifikasikan gen-gen yang
mengekspresikan karakter-karakter yang serupa, korelasi ini berperan penting dalam
menentukan besaran nilai respon-terhadap-seleksi suatu karakter. Korelasi genetik
menjadi faktor penting dalam proses seleksi tidak langsung, karena akan menentukan
seberapa besar nilai perolehan genetik suatu karakter sebagai respon terhadap seleksi
(Roff 1996).
Cheverud (1988) menjelaskan bahwa orang awam sering beranggapan jika
korelasi fenotip serupa dengan korelasi genetik, hal ini berawal dari anggapan: a)
12
dalam kondisi normal korelasi fenotip merupakan hasil dari fungsi penjumlahan unsur
genetik dan faktor lingkungan; b) jika nilai heritabilitas untuk kedua karakter teramati
tinggi atau mendekati satu, maka nilai korelasi genetik dan fenotip akan sama, akan
tetapi jarang dijumpai nilai heritabilitas yang tinggi. Cheverud kemudian menguji
hipotesa tersebut, dan berkesimpulan: a) diperlukan jumlah data yang besar untuk
menduga korelasi genetik, serta dasar teoritis analisa statistik yang kuat untuk
menghasilkan estimasi dengan akurasi tinggi, oleh karena itu perhitungan korelasi
genetik mustahil dilakukan untuk spesies langka atau terancam punah; b) jika tidak
memiliki estimasi nilai-nilai genetik yang akurat, maka hingga batasan tertentukorelasi fenotip dapat menggantikan korelasi genetik dalam model evolusi.
Cheverud (1988) pernah memancing perdebatan di dunia akademis ketika
berpendapat bahwa nilai korelasi fenotip dapat digunakan untuk menggantikan nilai
korelasi genetik. Willis et al. (1991) telah membuktikan bahwa argumen Cheverud
keliru dengan melakukan analisa mendalam berdasarkan kaidah statistik, mereka
mendapati bahwa telah terjadi kesalahan dalam penerapan metode statistik dan
justifikasi yang diajukan oleh Cheverud tidak benar. Apabila tidak terdapat data
genetik yang mumpuni, seseorang tidak dapat memprediksi atau mereka-reka pengaruh
kuat seleksi, karena korelasi genetik dapat berubah-ubah seiring dengan pertambahan
waktu. Waitt dan Levin (1998) juga melakukan pengujian pendapat Cheverud pada
tanaman botani, lebih dari 4000 korelasi genetik dan fenotip dari 27 spesies tanaman
digunakan sebagai basis data penelitian. Perhatian khusus diberikan pada populasi,
lingkungan, karakter, ukuran sampel, dan variabel lain, mereka berkesimpulan bahwa
korelasi fenotip dapat menjadi indikator untuk korelasi genetik. Perkiraan secara
kualitatif berdasarkan korelasi fenotip lebih baik daripada tidak sama sekali, ketika
data-data genetik tidak memungkinkan untuk diperoleh.
Burdon (1977) membagi korelasi genetik menjadi dua tipe: A dan B. Korelasi
genetik tipe A adalah korelasi yang diukur dari 2 karakter yang tersemat pada 1
individu. Sedangkan, korelasi genetik tipe B adalah korelasi antar 2 karakter dari 2
individu yang berbeda, dengan kasus khusus korelasi gentik antar lingkungan yang
berbeda. Burdon juga menjelaskan bahwa selama ini korelasi genetik tipe B lebih
sering digunakan pada hewan, karena ada beberapa karakter yang terkait dengan jenis
13
kelamin. Korelasi genetik bermanfaat untuk menggambarkan lingkungan, serta
berguna dalam prediksi perolehan genetik.
Perolehan Genetik
Konsep terpenting kedua dalam ilmu genetika setelah heritabilitas adalah
perolehan genetik (genetic gain). Zobel dan Talbert (1984) menerangkan bahwa
perolehan genetik merupakan akibat dari proses penjarangan, dan dipengaruhi oleh
nilai heritabilitas dan korelasi genetik. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa nilai
perolehan genetik dapat menentukan keberhasilan program pemuliaan pohon hutan.
White et al. (2007) menyebutkan ada tiga cara untuk menduga nilai perolehan genetik:
a) menduga dengan rumus (predicted gains); b) membandingkan antara pohon hasil
pemuliaan, dengan pohon yang belum menjalani program pemuliaan (realized gains);
dan c) simulasi perolehan genetik (simulated gains).
Perolehan genetik tipe satu (predicted gains) sering digunakan pada berbagai
program pemuliaan pohon karena dapat memberikan perkiraan seberapa besar
perolehan genetik yang akan diraih. Realized gains sangat jarang diaplikasikan dalam
program pemuliaan pohon karena kendala waktu dan biaya, akan tetapi tipe ini sangat
penting karena dapat memberikan bukti empiris bahwa program pemuliaan pohon
dapat memperbaiki kualitas pohon (Wellendorf dan Ditlevsen 1992; Nirsatmanto et al.
2004; White et al. 2007; Leksono et al. 2008; Weng et al. 2008; Gonçalves et al.
2009). Simulated gains diperoleh dengan menerapkan beragam asumsi dari beragam
program pemuliaan pohon sebelumnya, dan dijalankan ke dalam model komputer
(White et al. 2007).
Nilai perolehan genetik dapat menjadi indikator mengenai keberhasilan program
pemuliaan pohon (Zobel dan Talbert 1984; White et al. 2007). Adagium ini telah
dibuktikan oleh beberapa penelitian; Gonçalves et al. (2009) meneliti mengenai
afinitas antara perolehan genetik (dalam hal ini realized gains) dengan variasi genetik
pada pohon karet (Hevea brasiliensis) di Brasil. Diketahui bahwa nilai realized gains
setelah roguing pertama meningkat mencapai 6-10% pada beragam karakter bila
dibandingkan dengan populasi kontrol. Mereka juga memperkirakan apabila intensitas
roguing kedua ditingkatkan, maka nilai perolehan genetik akan meningkat pula. Di
Indonesia, Leksono et al. (2008) telah melakukan penelitian serupa di Sumatra dan
Kalimantan, hanya saja yang diteliti adalah Eucalyptus pellita. Pengamatan dilakukan
14
selama tiga tahun dan mendapati bahwa terdapat peningkatan realized gains sebesar
10-20% pada karakter diameter dan tinggi, bila dibandingkan dengan tegakan kontrol.
Kedua penelitian itu menunjukkan bahwa kegiatan pemuliaan pohon dapat
meningkatkan kualitas pohon, dan hal ini ditunjukan dengan peningkatan pada nilai
perolehan genetik.
Seleksi atau Penjarangan Genetik
Fase seleksi atau penjarangan genetik (roguing) memegang peran kunci dalam
menentukan hasil akhir kegiatan pemuliaan pohon, semua usaha akan menjadi sia-sia
apabila pemulia pohon tidak merencanakannya secara cermat. Wenger (1984) dalam
bukunya Forestry Handbook membagi penjarangan ke dalam dua kelas berdasarkan
tujuan akhirnya: penjarangan (thinning) dan penjarangan genetik (roguing). Wenger
berpendapat thinning adalah kegiatan penjarangan yang bertujuan untuk menciptakan
jarak tanam baru serta untuk menjaga sanitasi, sedangkan roguing bertujuan untuk
meningkatkan kualitas genetik kebun benih.
Kaidah dasar penjarangan seperti diterangkan Zobel dan Talbert (1984)
dilandaskan pada prinsip bahwa rerata nilai genetik individu terpilih akan lebih baik
daripada individu di keseluruhan populasi. Lebih lanjut lagi White et al. (2007)
menerangkan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan selama proses seleksi:
1
karakteristik apa dan berapa yang akan diseleksi
2
perlakuan khusus yang harus diberikan pada karakteristik tertentu
3
penentuan umur seleksi
4
intensitas seleksi untuk tiap populasi
5
kriteria dalam menentukan calon unggulan
6
perolehan genetik yang diharapkan setelah seleksi.
Roguing tidak hanya berpengaruh terhadap nilai perolehan genetik, namun juga
mempunyai beberapa manfaat positif bagi program pemuliaan pohon hutan secara
keseluruhan. Porterfield et al. (1975) menjelaskan bahwa bila dibandingkan antara
kebun benih uji keturunan menggunakan penjarangan genetik dengan tanpa
penjarangan genetik maka total biaya investasi pada kebun benih dengan penjarangan
genetik akan lebih besar, akan tetapi mempunyai nilai internal rate of return 10-14%.
Nilai ini lebih tinggi sekitar 2% apabila disandingkan dengan kebun benih tanpa
penjarangan genetik. Sementara itu Stoehr dan El-Kassaby (1997) menyarankan agar
15
intensitas roguing tidak lebih dari 50% dari total populasi, hal ini berguna untuk
mencegah terjadinya genetic drift pada populasi kebun benih.
Pendugaan Kualitas Kayu Metode Non Destruktif
Pada umumnya karakteristik kualitas kayu sering dinilai dari beberapa karakter
pembentuk atau sifat dasar kayu, antara lain melalui kerapatan dan kekakuan kayu.
Kerapatan kayu dapat dijelaskan sebagai nilai rasio antara berat kayu terhadap volume
kayu, dan memiliki satuan antara lain kilogram per meter kubik (İlker 2003; Stern et
al. 2008). Kerapatan kayu mempunyai hubungan erat dengan pertumbuhan kayu yang
berkaitan dengan tebal dinding sel kayu. Sel penyusun kayu gubal berbeda dengan
kayu teras; sel xylem sekunder mempunyai dinding sel yang lebih tebal dari sel-sel
penyusun phloem, ditambah pula dengan penumpukan hasil metabolisme sekunder
seperti lignin yang menyebabkan sel xylem memiliki tingkat kerapatan yang tinggi
(Stern et al. 2008; Chave et al. 2009). Kadar air dalam kayu juga berpengaruh dalam
menentukan besarnya kerapatan kayu. İlker (2003) menjelaskan karena sel-sel dalam
kayu tidak tersusun dengan rapat dan meninggalkan ruang-ruang kosong diantara selsel (disebut dengan porositas), sehingga air pada dinding sel kayu dapat masuk dan
mendiami ruang kosong tersebut.
Karakter kekakuan kayu, atau yang biasa disimbolkan dengan MOE (Modulus Of
Elasticity) dapat dijabarkan sebagai perbandingan antara tegangan (stress) yang
diberikan pada badan kayu hingga menyebabkan perubahan bentuk atau deformasi
(strain), dan dapat digambarkan sebagai kelandaian kurva untuk menunjukkan
hubungan antara stress dengan strain (Carter et al. 2005). Metode pendugaan MOE
secara langsung menggunakan mesin uji mekanis di laboratorium atau Universal
Testing Machine (UTM) merupakan metode yang efektif dan akurat untuk mendapat
nilai kekakuan kayu. Metode ini sangat mahal dan memerlukan waktu yang lama, serta
bersifat destruktif (Dungey et al. 2006). Bercermin dari fakta tersebut maka dapat
dikatakan bahwa metode tes langsung sulit untuk diterapkan dalam penelitian genetik
karakter kualitas kayu yang pada umumnya memiliki jumlah sampel ratusan hingga
ribuan pohon pada s