Landscape Ecology Analysis Discharge Estimation Of Ciambulawung River, Banten

i

ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN
DAN PENDUGAAN DEBIT SUNGAI CIAMBULAWUNG
BANTEN

Herdian Priambodo
A14070097

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

i

ABSTRAK
HERDIAN PRIAMBODO. Analisis Ekologi Bentanglahan dan Pendugaan Debit Sungai
Ciambulawung Banten. Dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KUKUH
MURTILAKSONO.

Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat digunakan sebagai energi alternatif.
Salah satu contoh sederhana adalah pemanfaatan aliran sungai Ciambulawung untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di kampung terpencil Lebak Picung, Desa Hegarmanah,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Listrik yang dibangkitkan terlihat sangat banyak membantu
kehidupan masyarakat setempat. Namun pada musim kemarau tahun ini PLTMH sempat berhenti
beroperasi, karena debit sungai yang mengalir relatif kecil. Keadaan ini cukup mengganggu
kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Penelitian ini meliput DAS
Ciambulawung dan bertujuan (a) mengidentifikasi bentuklahan, penggunaan lahan, dan kemiringan
lereng, (b) mengkaji sifat fisik tanah (permeabilitas, pF, dan bobot isi), (c) menduga debit dan
volume puncak aliran permukaan; (d) mengidentifikasi kecocokan (fitness) penggunaan lahan
aktual, dan (e) melakukan pemodelan pendugaan nilai debit dan volume puncak aliran permukaan
berdasarkan pada penggunaan lahan aktual dan Tata Guna Hutan Konservasi (TGHK) dari TNGHS.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini mencakup (1) interpretasi citra satelit secara visual
(bentuklahan, penggunaan lahan) dan analisis SIG untuk pembuatan kelas lereng, (2) analisis
laboratorium untuk sifat fisik tanah (permeabilitas, pF, dan bobot isi), (3) analisis pendugaan debit
puncak menggunakan rumus rasionil dan volume puncak aliran permukaan dengan metode dari SCS
(Soil Conservation Service), dan (4) analisis tumpang tindih (overlay) SIG untuk pembuatan peta
satuan lahan dan peta kecocokan (fitness) penggunaan lahan. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa karakteristik ekologi bentanglahan daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan perbukitan
denudasional vulkanik, penggunaan lahan hutan, dan kemiringan lereng yang curam. Kondisi ini

menciptakan karakteristik pergerakan aliran air di dalam DAS Ciambulawung yang tergolong
dinamis dan berpotensi menghasilkan kecepatan aliran serta akumulasi air yang tinggi. Menurut
hasil penilaian debit dan volume puncak aliran yang didasarkan pada kondisi geomorfologis
(bentuklahan, kemiringan lereng, dan tanah), kondisi klimatik (curah hujan), dan tipe penggunaan
lahan, menunjukkan bahwa debit dan volume puncak sungai Ciambulawung mempunyai nilai ratarata berturut-turut 609.90 L/s dan 150.49 mm Angka ini menggambarkan bahwa sungai
Ciambulawung mampu mendukung PLTMH sepanjang tahun 2010, meskipun pada kenyataannya
PLTMH sempat terhenti pada musim kemarau tahun ini dikarenakan kecilnya debit sungai yang
mengalir. Mengingat DAS Ciambulawung mempunyai luas wilayah yang kecil (554.72 Ha) dimana
faktor-faktor geomorfologis dan klimatis tidak begitu beragam, maka pemodelan atau simulasi nilai
debit dan volume puncak dapat ditentukan melalui perubahan penutupan/penggunaan lahan. Analisis
kecocokan penggunaan lahan, menunjukkan DAS Ciambulawung masih tergolong cukup baik
(67.62% masuk ke dalam kelas cocok dan 29.46% agak cocok) atau tidak mengalami kerusakan
ekologi yang berarti. Kondisi ini perlu dipertahankan atau ditingkatkan karena faktor ini banyak
menentukan potensi aliran permukaan di waktu yang akan datang. Hasil pemodelan menunjukkan
bahwa penutupan/penggunaan lahan versi TNGHS paling baik untuk PLTMH karena memiliki
angka debit puncak runoff paling kecil, sehigga cadangan air untuk musim kemarau akan lebih
banyak. Meskipun demikian ketetapan TNGHS ini tampak sulit untuk direalisasikan, karena akan
mengkonversi tipe penggunaan lahan selain hutan (sawah, semak belukar dan kebun campuan)
menjadi hutan. Padahal sudah sejak lama dimanfaatkan oleh penduduk setempat.
Kata kunci : PLTMH, Ekologi Bentanglahan, Geomorfologi, Volume dan Debit puncak Aliran

Permukaan, Kecocokan Penggunaan Lahan, Lebak Picung, Banten.

ii

ABSTRACT
HERDIAN PRIAMBODO. Landscape Ecology Analysis Discharge Estimation Of
Ciambulawung River, Banten. Supervised of BOEDI TJAHJONO and KUKUH
MURTILAKSONO.
Water is a natural resource which can be used as alternative energy. Ones is the utilization
of Ciambulawung river for Electric Micro-Hydro Instalation (EMHI) which is located in the
remote area, Lebak Picung, Hegarmanah, Banten. The water empowered gives much contribution
to local people. But in this dry season, the volume of water is getting decrease that causes the
operational of the water empowered stops. This situation to be annoyed for social-econoy and
culture of local people life. This research focuses on Ciambulawung river which is aimed some
follows: (a) identifying the lands form, land use and slop. (b)Assessing the characteristics of the
soil (including permeability, pF and bulk destiny) (c) supposing peak discharge and runoff volume
(d) identifying the fitness of the using actual land and (e) conducting the model of assessing peak
discharge volume estimation and peak runoff volume based on the actual land use and the Forest
Land Conservation (TGHK) by GHSNP. The method used in this research covers (1) Interpret the
satellite imagery visually (land form and land use) and SIG analysis for manufacturing grade slop

(2) practice laboratory analysis for soil physical properties (including permeability, pF and bulk
density) (3) analyze the peak discharge volume uses rational pattern and (4) analyze overlaying
GIS for mapping land units and fitness of land use. The result of this research shows that ecology
characteristics of area landscape are dominated by volcanoes hill landform, forest land use and a
steep slope. This condition creates the movement of the water flow in Ciambulawung which can
be dynamic and potentially generate velocity and high water accumulation. According to the
assessment of peak flow and volume flow based on the conditions of geomorphologies
(landforms, slope, and soil), climatic conditions (rainfall), and the type of land use suggest that the
peak river discharge and volume Ciambulawung have average value respectively 609.90 L / s and
150.49 mm. The number shows that the river is able to support EMHI Ciambulawung throughout
2010, despite of fact that MHP stops during the dry season this year due to the decreasing river
discharge flows. Remembering that Ciambulawung DAS has a small capacity (554.72 ha) which
the geomorphologies and climates do not diverse so that the modeling or simulation value of peak
flow and peak value can be determined through cover change / land use. Land-use fitness analysis
shows DAS Ciambulawung is capable to flow (67.62% fit into the class and 29.46% bit
compatible) or does not have significant ecological damage. These conditions need to be
maintained and improved because there are some possibility factors can determine the potential
runoff in the future. Modeling results indicates that closure / land use GHSNP version is best for
EMHI as having peak runoff discharge rate of the smallest, so that water reserves will cover it on
dry season. Nonetheless, the GHSNP version is getting difficult to be realized, because it would

convert land use types other than forests (fields, bush, mix garden) into the forest, nevertheless,
the local people have already exploited.
Key words: EMHI, Landscape Ecology, Geomorphology, Peak Volume and discharge Runoff,
Land Use Fitness, Lebak Picung, Banten.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air yang berada di permukaan bumi maupun di dalam tanah merupakan
sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup, baik manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, maupun organisme. Manusia memanfaatkan air untuk berbagai tujuan,
seperti untuk keperluan sehari-hari, pertanian, perikanan, hingga untuk
pembangkit tenaga listrik. Bentuk pemanfaatan sumberdaya air untuk pembangkit
listrik cukup bervariasi, mulai dari yang berteknologi sederhana hingga
berteknologi tinggi. Yang pertama dapat dijumpai di beberapa pelosok daerah di
tanah air, terutama di daerah yang terpencil, seperti yang terdapat di Kampung
Lebak Picung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, sedangkan yang kedua
umumnya dibangun oleh pemerintah melalui pembuatan waduk besar, seperti
waduk Jati Luhur di Jawa Barat.
Di kampung Lebak Picung listrik merupakan energi langka, dimana hanya

sebagian kecil dari masyarakat yang menggunakan listrik, seperti listrik bertenaga
matahari (solar cell) bantuan dari pemerintah, atau listrik bertenaga air (sungai)
sederhana milik pribadi. Namun demikian sejak tahun 2009 berkat adanya
kerjasama CSR Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan penduduk Lebak
Picung, maka aliran listrik kini telah dapat dirasakan oleh semua warga, karena
dalam kerjasama ini telah berhasil dibangun sebuah Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH) berkekuatan 1x10 Kw (Damayanti et al., 2009). PLTMH
merupakan salah satu bentuk pembangkit listrik bermesin turbin yang digerakkan
oleh tenaga air, yaitu aliran sungai.
Kampung Lebak Picung merupakan kampung terpencil yang terletak di
salah satu lereng bawah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Kegiatan sehari-hari dari sebagian besar masyarakat Lebak Picung adalah bertani.
Kegiatan ini menjadikan masyarakatnya sangat bergantung kepada ketersediaan
air sungai, baik untuk pertanian maupun kebutuhan sehari-hari. Sungai yang ada
di kampung ini adalah sungai Ciambulawung dimana PLTMH Lebak Picung juga
bergantung pada ketersedian air sungai ini.

2


Ketersediaan air biasanya sangat tergantung kepada besarnya curah hujan
yang jatuh di atas bentanglahan (landscape). Dalam hal ini interaksi yang terjadi
antara curah hujan, bentuklahan (landform), dan tutupan lahan banyak
mempengaruhi proses-proses hidrologi di dalam daerah aliran sungai (DAS),
mulai dari jatuhnya air hujan hingga mengalir ke dalam sungai.
Meskipun kini masyarakat Lebak Picung telah merasakan kenyamanan
hidup dengan adanya listrik, namun masih ada permasalahan yang dihadapi yaitu
terjadinya kekeringan yang menyebabkan turunnya debit sungai Ciambulawung di
musim kemarau seperti yang terjadi di tahun 2011. Kejadian ini sempat
menghentikan aktivitas mikrohidro selama beberapa bulan, sehingga masyarakat
tidak bisa mendapatkan aliran listrik. Akibatnya kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi
mereka sempat terganggu. Berkaitan dengan hal tersebut muncul suatu
pertanyaan, akankah kekeringan ini lebih disebabkan oleh kondisi iklim,
geomorfologi, ataukah tutupan lahan yang ada di dalam DAS?
Pertanyaan ini perlu dijawab melalui suatu studi yang menyangkut
keterkaitan ketiga faktor tersebut. Studi ekologi bentanglahan merupakan salah
satu studi yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan di atas dan sekaligus
untuk mengetahui potensi air permukaan di dalam DAS Ciambulawung terkait
keberlanjutan PLTMH Lebak Picung di waktu yang akan datang.
Tujuan

Penelitian ini bertujuan melakukan analisis ekologi bentanglahan
(landscape ecology) DAS Ciambulawung untuk mengetahui potensi air
permukaan, dimana rincian dari tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1.

Mengidentifikasi

bentuklahan,

penutupan/penggunaan

lahan,

dan

kemiringan lereng dengan menggunakan data penginderaan jauh
2.

Mengkaji sifat fisik tanah (permeabilitas, pF, dan Bobot isi)


3.

Menduga

debit

dan

volume

puncak

Aliran

Permukaan

Sungai

Ciambulawung
4.


Mengidentifikasi kecocokan penggunaan lahan DAS Ciambulawung

5.

Pemodelan pendugaan nilai debit dan volume puncak aliran permukaan
Sungai Ciambulawung berdasarkan tipe penggunaan lahan aktual dan Tata
Guna Hutan Konservasi (TGHK) dari TNGHS.

3

Manfaat
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan
pertimbangan untuk pengelolaan DAS Ciambulawung, terutama terkait dengan
debit sungai Ciambulawung untuk PLTMH agar dapat membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat kampung Lebak Picung di Banten.

15

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Lokasi
Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang
Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau
3.044,72 km². Kabupaten ini terdiri dari 28 Kecamatan, 340 desa dan 5 kelurahan.
Kabupaten Lebak memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut.
Sebelah Utara

: Kabupaten Serang dan Tangerang

Sebelah Selatan

: Samudera Hindia

Sebelah Barat

: Kabupaten Pandeglang

Sebelah Timur

: Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi

DAS Ciambulawung mempunyai luas kurang lebih hanya sekitar 554,72
Ha dan terletak antara 106° 36’ – 106° 39’ Bujur Timur dan 6° 77’ – 6° 80’
Lintang Selatan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dimana 490.02 Ha dari kawasan
TNGHS berada di dalam DAS Ciambulawung dan sisanya berupa kawasan APL
(Purwanto et al., 2009).
Topografi
Topografi wilayah Provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0 – 1.000
mdpl. Bagian dari Provinsi Banten yang berupa dataran rendah (0 – 200 mdpl)
terletak di daerah Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang, dan
sebagian besar Kabupaten Serang. Adapun daerah Lebak Tengah dan sebagian
kecil Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian berkisar 200 – 2.000 mdpl dan
daerah Lebak Timur memiliki ketinggian dari 500 mdpl hingga 2.000 mdpl. Di
wilayah ini terdapat Puncak Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun.
DAS Ciambulawung terletak di kawasan Lebak Timur. Di daerah ini
keadaan topografinya didominasi oleh topografi pegunungan dengan ketinggian
hingga 680 mdpl untuk sisi bagian selatan, 680-825 mdpl untuk sisi bagian
tengah, serta 825-1.188 mdpl untuk sisi bagian utara yang berbatasan langsung
dengan Gunung Halimun Salak. Berdasarkan elevasi tersebut dan bentuk
topografinya yang berpegunungan, maka DAS Ciambulawung memiliki
kemiringan lereng dominan dari curam hingga sangat curam.

16

Iklim
Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Muson (Monsoon
Trade) dan gelombang La Nina atau El Nino. Saat musim penghujan (November Maret) iklim didominasi oleh angin Barat (dari Sumatera, Samudra Hindia sebelah
selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina
Selatan. Sebaliknya pada musim kemarau iklim didominasi oleh angin Timur
yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan terutama di wilayah
bagian pantai utara terlebih lagi bila terkena gelombang El Nino. Suhu di daerah
pantai dan perbukitan berkisar antara 22º C dan 32º C, sedangkan suhu di
pegunungan pada ketinggian antara 400 –1.350 m dpl mencapai antara 18º C –29º
C (Bappeda Banten, 2008).
Dari data primer curah hujan DAS Ciambulawung yang diolah dan
diklasifikasi menurut metode Schmidt dan Ferguson, didapatkan bahwa wilayah
DAS Ciambulawung termasuk ke dalam kategori iklim C, yakni daerah agak
basah dengan vegetasi hutan rimba, di antaranya terdapat jenis vegetasi yang
daunnya gugur pada musim kemarau dengan nilai perbandingan antara Bulan
Kering (BK) dengan Bulan Basah (BB) berkisar 33-60 %.
Geologi
Geologi Banten bagian selatan terdiri atas batuan sedimen, batuan
gunungapi, batuan terobosan dan alluvium yang berumur mulai Miosen Awal
hingga Resen. Satuan litologi tertua di daerah ini adalah Formasi Bayah yang
berumur Eosen yang terdiri dari tiga anggota, yaitu Anggota Konglomerat, Batu
Lempung, dan Batu Gamping. Selanjutnya adalah Formasi Cicaruep, Formasi
Cijengkol, Formasi Citarate, Formasi Cimapang, Formasi Sareweh, Formasi
Badui, Formasi Cimancuri dan Formasi Cikotok (Puslitbang Geologi, 1998).
DAS Ciambulawung secara umum tersusun dari tiga Formasi Batuan
(Gambar 2), yaitu Formasi Anggota Napal dengan umur Oligosen, Formasi
Cikotok (Eosen), dan Formasi Cimapag (Miosen). Formasi Anggota Napal
melintas di kampung Lebak picung, dimana singkapannya dapat diamati di
wilayah permukiman penduduk (Gambar 3) yang tersusun dari jenis batuan
sedimen (klastik dan marl). Formasi Cikotok mendominasi wilayah DAS
Ciambulawung, tersusun dari batuan vulkanik (submarine), sedangkan Formasi

17

Cimapag terbentang di bagian utara, tersusun dari batuan induk yang sama dengan
Formasi Cikotok, yakni batuan vulkanik (submarine), namun dengan umur yang
lebih muda.

Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian (Sumber: Peta Geologi, Puslitbang
Geologi, 1998).

Gambar 3. Singkapan batuan napal (Oligosen) di Kampung Lebak Picung (posisi
GPS : 06° 47’ 6.2” LS; 106° 21’ 41.8” BT)

18

Geomorfologi
Berdasarkan kondisi topografi, geologi, dan iklimnya, maka kondisi
geomorfologi DAS Ciambulawung didominasi oleh proses denudasi pada
morfologi pegunungan dan perbukitan dengan lereng-lereng yang curam.
Mengingat morfologi di daerah ini tersusun dari batuan Tersier, maka proses
denudasi tampak, seperti pada citra SRTM (Gambar 4), dimana torehan-torehan
hasil proses denudasi menjadi ciri utama bentanglahan di wilayah penelitian.
Berdasarkan kondisi geologi di atas, maka bentanglahan di wilayah ini secara
morfogenesis berasal dari formasi vulkanik yang terbentuk di bawah permukaan
laut yang selanjutnya terangkat secara tektonik, kemudian terdenudasi oleh proses
geomorfologis (eksogenik) sehingga membentuk bentanglahan yang ada seperti
saat ini. Hal ini sesuai dengan penjelasan Van Bemmelen (1949) dan uraian
geomorfologi Pulau Jawa dari Pannekoek (1950) dan Verstappen (2000) yang
mengatakan bahwa Pulau Jawa bagian selatan sebagian besar merupakan wilayah
pengangkatan tektonik Tersier.

DAS
Ciambulawung

Gambar 4. Daerah Penelitian Dilihat dari Citra SRTM
Penutupan/ Penggunaan Lahan
Seperti diuraikan di atas bahwa sebagian besar dari wilayah DAS
Ciambulawung adalah bagian dari Kawasan Taman Nasional Halimun Salak
(TNGHS),

oleh

karena

itu

sangat

wajar

jika

sebagian

besar

penutupan/penggunaan lahan di daerah penelitian ini didominasi oleh hutan
(Gambar 5). Sungguh pun demikian pada wilayah ini terdapat jenis

19

penutupan/penggunaan lahan lainnya meskipun dengan luasan yang cukup kecil,
yaitu kebun campuran, permukiman, sawah, semak belukar dan tanah terbuka.
Berdasarkan tipe penutupan/penggunaan lahan di atas, permukiman
merupakan penggunaan lahan yang paling sempit luasannya dan berada di dataran
di sekitar sungai. Untuk persawahan sebagian besar berada di lereng-lereng kaki
perbukitan dengan system terassering.

Hutan

Kebun Campuran

Lahan Terbangun

Semak Belukar

Sawah

Lahan Terbuka

Gambar 5. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung

20

Hidrologi
Potensi sumber daya air wilayah Provinsi Banten banyak ditemui di
Kabupaten Lebak. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayahnya merupakan
kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Sungai Ciambulawung
merupakan salah satu anak Sungai Cimadur yang bermuara ke Samudera Hindia
dengan arah aliran secara umum ke selatan. Berdasarkan hasil pengukuran debit
sesaat dari sungai Ciambulawung di lapangan, pada saat musim hujan dan
kemarau pada tahun 2011 berturut-turut adalah sebesar 242,71 L/s dan 36,1 L/s.
Pemanfaatan air sungai oleh penduduk setempat umumnya untuk mandi, cuci dan
kakus (MCK), mengisi kolam ikan di luar musim tanam, mengairi sawah
penduduk setempat dan sawah-sawah desa lain melalui saluran irigasi, serta
memutar turbin PLMTH sebagai pembangkit listrik. Adapun untuk keperluan air
bersih umumnya penduduk memanfaatkan mata air yang terdapat di tebing sungai,
ditampung di suatu tempat dan dengan menggunakan selang dialirkan ke setiap
rumah.
Demografi, Sosial-Ekonomi, dan Budaya
Jumlah penduduk di kampung Lebak Picung cukup sedikit yaitu berkisar
52 KK. Lebak Picung termasuk dalam kategori kampung terpencil di Provinsi
Banten. Dimana penduduk kampung Lebak picung sebagian besar bekerja sebagai
petani. Jenis komoditi pertanian utama di kampung ini diantaranya adalah padi,
cengkeh, kopi, jagung, singkong, pisang, dan gula aren. Komoditi pertanian
tersebut selama ini masih diolah secara sederhana dan dimanfaatkan untuk
keperluan sendiri (subsisten). Selain menjadi petani, sebagian besar kaum muda
lebih memilih merantau ke daerah perkotaan untuk mengembangkan bakat dan
kemampuan yang mereka miliki. Untuk memenuhi kebutuhan finansial, sebagian
besar penduduk menjual hasil-hasil sumberdaya alam, terutama kayu hutan yang
terdapat di sekitar perkampungan mereka namun bukan dari kawasan TNGHS.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, padi merupakan tanaman utama dan secara
tradisional sistem bercocok tanam hanya dilakukan sekali dalam setahun. Hasil
panen kemudian dijemur dan disimpan di dalam lumbung atau dalam bahasa lokal
disebut leuit (Gambar 6).

21

Gambar 6. Lumbung (leuit) Padi Khas Kampung Lebak Picung
Kampung Lebak picung juga dikenal sebagai kampung adat, dimana
penduduknya masih memegang teguh adat istiadat yang diturunkan oleh para
leluhurnya. Sebagai contoh terdapat satu hari dari setiap bulannya, berupa
larangan bagi penduduk Lebak picung untuk mengambil hasil alam yang ada di
sekitar mereka. Hal tersebut mereka lakukan sebagai wujud menjaga kelestarian
alam serta hasil bumi di dalamnya. Pada hari yang sama penduduk juga
diharuskan membuat bubur merah untuk dimakan bersama dalam suatu acara
sebagai simbol rasa syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa atas hasil bumi
yang telah dilimpahkan.

22

METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu
Lokasi penelitian berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciambulawung
yang secara administratif terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. DAS Ciambulawung mempunyai luas sekitar
554,73 Ha, dan secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan
105º25'-106º30' Bujur Timur.
Selain di lapangan, penelitian ini juga dilakukan di laboratorium, yaitu di
Laboratorium Fisika Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBPPSDLP), Kementrian Pertanian di Bogor,
untuk analisis sifat fisik tanah. Sedangkan untuk analisis data spasial dilakukan di
Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial (PJIS), Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pengukuran curah hujan di lapangan dilakukan selama satu tahun dari
Januari 2011 hingga Desember 2011. Kerja lapang dilakukan dua kali, yaitu pada
musim penghujan dari tanggal 6 hingga 11 Februari 2011 dan pada musim
kemarau dari tanggal 26 hingga 30 Juli 2011. Analisis contoh tanah dilakukan dari
tanggal 13 hingga 27 Maret 2011, sedangkan analisis dari keseluruhan data
dilakukan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data primer yang digunakan adalah data tanah yang diambil di
lapangan, dan data curah hujan tahun 2011. Adapun data sekunder yang
dipergunakan diambil dari berbagai sumber seperti citra SRTM, citra dari
GoogleEarth tahun 2010, citra ALOS-AVNIR, peta geologi digital (skala
1:100.000) dari Pusat Penelitian dan Penggembangan Geologi tahun 1998.
Alat yang digunakan di lapangan antara lain adalah GPS, kompas, peta
kerja (hasil interpretasi), ring sample, current meter, cangkul, cutter, balok kayu,
bor belgi, plastik, label, dan alat tulis serta alat penangkar hujan sederhana.
Perangkat yang digunakan untuk pengolahan data spasial adalah seperangkat
komputer dengan software pengolah citra dan GIS (Global Mapper v.12., dan
ArcGIS 9.3).

23

Metode
Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu : persiapan,
pengolahan data, survei lapang, analisis data, dan penulisan laporan. Pada Tahap
persiapan dilakukan studi pustaka tentang daerah penelitian dan literatur yang
berkaitan dengan topik penelitian. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data
sekunder seperti peta topografi, peta penggunaan lahan, peta geologi, dan data lain
yang menunjang penelitian ini.
Dilanjutkan dengan tahap pengolahan data yang terdiri dari pengolahan
data spasial dan tabular. Pengolahan data spasial mencakup proses pembuatan
peta DAS Ciambulawung dan interpretasi citra yang menghasilkan peta-peta
tentatif seperti bentuklahan, kemiringan lereng, penggunaan lahan dan rencana
titik lokasi pengambilan contoh tanah. Untuk klasifikasi bentuklahan mengacu
pada metode Van Zuidam (1985), sedangkan interpretasi bentuklahan dilakukan
secara visual di atas citra dan digitasi secara on screen melalui citra SRTM. Untuk
interpretasi bentuklahan ini dibantu dengan informasi-informasi geologis dan
topografis. Metode yang digunakan untuk interpretasi penutupan/penggunaan
lahan juga secara visual dan digitasi juga secara on screen dari citra GoogleEarth
tahun 2010 dengan menggunakan software GIS. Peta kemiringan lereng
dihasilkan dari pengolahan data SRTM menjadi peta kontur dengan software
Global Mapper v.12. Dengan software ArcGIS v.12 data kontur selanjutnya
diklasifikasi menjadi 6 kelas kemiringan lereng yang mengacu pada sistem
klasifikasi USDA seperti yang digunakan oleh Van Zuidam (1985) untuk analisis
terrain. Semua data ini dipersiapkan untuk kerja lapangan.
Pengolahan data tabular mencakup perhitungan untuk menentukan nilai
koefisien limpasan (C) dan bilangan kurva limpasan (CN) yang digunakan untuk
pendugaan nilai debit dan volume puncak aliran permukaan. Metode klasifikasi C
dan CN akan mengacu pada metode Schwab et al. (1981) dan SCS (1972) dalam
Arsyad (2006), adapun data yang diperlukan meliputi data penggunaan lahan dan
sifat fisik tanah (lihat Tabel Lampiran 3 dan 4).
Pada Tahap survei lapang selain dilakukan cek lapangan terhadap hasil
interpretasi (peta bentuklahan, peta penggunaan lahan, peta lereng) juga dilakukan
pengambilan data primer berupa contoh tanah dan curah hujan yang berasal dari 5

24

stasiun/penangkar hujan yang tersebar di sekitar kampung Lebak Picung (Gambar
7). Metoda pengambilan contoh tanah dilakukan secara toposkuen, yaitu melalui
transek dari lereng puncak ke lereng kaki dan transek ini dipilih berdasarkan
keragaman bentuklahan, topografi, penggunaan lahan, dan formasi geologi. Untuk
klasifikasi jenis tanah dilakukan dengan melihat kondisi morfologi tanah (lapisan,
tekstur, struktur, warna, pH,dan lainnya) yang mengacu pada klasifikasi Soil
Taksonomy USDA.

Gambar 7. Salah satu contoh alat penakar hujan sederhana yang digunakan di
lapangan
Tahap analisis data mencakup pekerjaan yang dapat menghasilkan
informasi baru, antara lain: (1) pembuatan peta satuan lahan (land unit) yang
dihasilkan dari analisis bentuklahan dan kemiringan lereng, (2) analisis curah
hujan yang dilakukan untuk mengetahui intensitas hujan, dan (3)analisis sifat fisik
tanah (Tabel 1). Dari data dan informasi yang dihasilkan selanjutnya dapat
dilakukan analisis lanjutan untuk mendapatkan nilai pendugaan debit dan volume
puncak aliran permukaan dan juga kecocokan penggunaan lahan.
Tabel 1. Metode dan Alat untuk Analisis Sifat Fisik Tanah.
No

Sifat Fisik
Tanah

Metode

Alat

1.

Permeabilitas Dalam Keadaaan Jenuh
(De Dooth)

Permeameter

2.

Nilai pF

Ricard dan Fireman (1943)

Pressure Plate Apparatus dan
Pressure membrane Apparatus

3.

Bobot Isi

Ring contoh (core)

Ring sampel dan oven

25

Untuk analisis curah hujan digunakan data primer yang diperoleh dari alat
penakar hujan sederhana yang dipasang di daerah penelitian, tersebar di lima titik
yang berjauhan, dan pada lahan terbuka yang tidak terganggu oleh kanopi.
Volume air hujan yang tertampung dari setiap harinya dianalisis untuk
mengetahui besaran curah hujan dan intensitas curah hujan di wilayah setempat.
Metode yang digunakan dalam analisis ini yaitu metode aritmatik dan metode
Mononobe (Sosrodarsono dan Takeda, 1978).

₂₄ =




R=

Curah hujan harian, 24 jam (cm)

V=

Volume air hujan harian(cm³)

L=

Luas penampang penamgkar hujan (cm)

₂₄ 24
�=
24 �

2/3

r =

Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir
(mm/jam)

t =

Lama curah hujan atau waktu tiba dari banjir (jam)

Metode Kirpich (1940) dalam Arsyad (2000) :
t = 0,0195 L0,77 S - 0,385
t =

Lama curah hujan atau waktu tiba dari banjir (jam)

L =

Panjang aliran (meter)

S =

Lereng daerah aliran (meter per meter)

Pendugaan nilai debit dan volume puncak/banjir aliran permukan sangat
ditentukan oleh beberapa variabel seperti yang telah disebutkan di atas, antara lain
penggunaan lahan, sifat fisika tanah, dan curah hujan. Untuk penilaiannya dapat
digunakan beberapa metode, antara lain: metode empiris, metode rasionil,
hidrograf satuan dan grafik distribusi, metode statistik dan metode kemungkinan.
Metode rasionil merupakan rumus yang paling banyak digunakan untuk
kajian pendugaan debit sungai-sungai dengan daerah pengaliran yang luas,
maupun untuk perencanaan drainase dengan daerah pengaliran yang relatif

26

sempit. Oleh karena itu pada penelitian ini akan digunakan juga metode tersebut
dengan rumusan seperti berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1978) :
q = 0,277 C r A
q =

Debit maksimum (m³/s)

C =

Koefisien pengaliran/limpasan,

r =

Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari
banjir (mm/jam)

A =

Daerah pengaliran (km²).

Metode untuk menentukan volume puncak aliran permukaan yang
dipergunakan, antara lain : Metode hujan-infiltrasi dan Metode dinas konservasi
(SCS). Untuk penelitian ini akan digunakan metode SCS dengan formulasi seperti
berikut (Arsyad, 2006) :


=

− ��

Retensi aktual (F), dengan memperhitungkan abstraksi awal (Ia) adalah :
F= (P-Ia)-Q
Sehingga dengan mensubtitusikan kedua persamaan tersebut, diperoleh persamaan
sebagai berikut :
( − ��)²
( − ��) +

=

Nilai Ia dapat diduga dengan baik dengan menggunakan persamaan:
Ia = 0.2 S
Sehingga diperoleh rumus :
=

( − 0,2 )²
+ 0,8

Q=

Volume aliran permukaan (mm)

P=

Curah hujan (mm)

S=

Volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (mm)

27

S=(25400/CN) - 254
S

= Volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (mm)

CN

= Bilangan Kurva (Curve Number) Aliran Permukaan

Untuk penilaian kecocokan penggunaan lahan (fitness) akan digunakan
metode analisis dari Hidiya (2011), dimana kecocokan yang dimaksud disini
bukan hanya dinilai dari aspek kecocokan secara fisik terhadap kemampuan lahan
untuk mendukung penggunaan lahan yang ada di atasnya, tetapi juga cocok
terhadap aspek fungsi atau manfaat penggunaan lahan serta kepatutan atau
estetikanya. Kecocokan penggunaan lahan ini didapat dari hasil overlay antara
peta kemampuan lahan dengan peta penggunaan lahan DAS Ciambulawung tahun
2010 yang dilengkapi dengan parameter fungsi atau manfaat serta kepatutan
penggunaan lahan (Tabel 2). Klasifikasi kelas kemampuan lahan akan mengacu
pada metode yang dikembangkan USDA seperti yang diacu oleh Hardjowigeno
dan Widiatmaka (2007), dan penilaiannya dilakukan melalui satuan pemetaan,
yaitu satuan lahan. Formulasi penilaian kecocokan penggunaan lahan disajikan
pada Tabel 3.
Suatu penggunaan lahan dikatakan cocok apabila dipandang dari aspek
kemampuan lahan tidak mempunyai kendala, memiliki fungsi atau manfaat yang
baik untuk lingkungan, dan memiliki kepatutan yang baik dalam arti mempunyai
dampak positif atau setidaknya mempunyai dampak negatif yang tidak besar di
waktu sekarang dan mendatang (nilai = 3). Jika dikatakan agak cocok maka ada
salah satu kendala dari ketiga aspek tersebut (nilai = 2), kurang cocok jika ada dua
aspek yang menjadi kendala (nilai = 1), dan dikatakan tidak cocok apabila semua
aspek menjadi kendala (nilai = 0).

28

Tabel 2. Dasar Penilaian (skor) Fungsi atau Manfaat, Kepatutan atau Estetika dan Kemampuan Lahan dari Setiap Penggunaan Lahan
(Hidiya, 2011).
Penggunaan
Kelas Kemampuan Lahan
Fungsi/Manfaat
Kepatutan/Estetika
Lahan
I II III IV V VI VII VIII
Konservasi tanah, air, udara

Penghias lanskap pada perbukitan/pegunungan

(penyedia oksigen), biologi

(penyejuk jiwa)

Kebun

Konservasi tanah, air, udara

Penghias lanskap dataran/perbukitan, tidak merusak

Campuran

dan penghasilan

kualitas lahan

Semak

Konservasi tanah, air, udara

Penghias lanskap dataran/perbukitan, tidak merusak

Belukar

dan penghasilan

kualitas lahan

Tanah

Pangan dan penghasilan

Lahan dataran/perbukitan dapat dimanfaatkan

Hutan

Terbuka

1 1

1

1

1

1

1

1

1 1

1

1

1

1

1

0

1 1

1

1

1

1

1

0

1 1

1

1

1

1

0

0

Pada lahan yang aman dari bahaya bencana

1 1

1

1

1

0

0

0

Penghias lanskap dataran/perbukitan, aman dari

1 1

1

1

0

0

0

0

sebagai alternatif sarana olahraga (Lapangan sepak
bola)

Permukiman

Perlindungan, kesehatan,
pemerintahan, ekonomi

Sawah

Pangan dan penghasilan

bahaya bencana
Keterangan :1 = baik ; 0 = kurang/tidak baik

29

Tabel 3. Formulasi Penilaian Kecocokan Penggunaan Lahan (Hidiya, 2011).
Kecocokan Penggunaan Lahan

Kelas
Hutan

Kemampuan
Lahan

Semak Belukar

Kebun Campuran

kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai Kl

Tanah Terbuka

Permukiman

Sawah

f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai kl f/m k/e Nilai

Kelas I

1

0

0

1

1

0

1

2

1

0

1

2

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

1

3

Kelas II

1

0

0

1

1

0

1

2

1

0

1

2

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

1

3

Kelas III

1

0

1

2

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

0

2

1

0

1

2

Kelas IV

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

1

3

1

0

1

2

1

0

0

1

1

0

1

2

Kelas V

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

1

3

1

1

1

3

1

0

0

1

0

0

0

0

Kelas VI

1

1

1

3

1

0

1

2

1

0

1

2

1

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

Kelas VII

1

1

1

3

1

0

0

1

1

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Kelas VIII

1

1

1

3

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Keterangan : Nilai : 0 = tidak cocok (TC); 1 = kurang cocok (KC); 2 = agak cocok (AC); 3 = cocok (C)
kl = Kemampuan Lahan; f/m = Fungsi atau Manfaat; k/e = Kepatutan atau Estetika
3 = Cocok; 2 = Agak Cocok; 1 = Kurang Cocok ; 0 = Tidak Cocok

30

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekologi bentanglahan di DAS Ciambulawung menggambarkan interaksi
antara manusia dan berbagai komponen sumberdaya alam yang menghasilkan
suatu kondisi kehidupan serta semberdaya wilayah, seperti tipe penggunaan lahan,
aliran air permukaan, air tanah, dan sebagainya. Air merupakan sumberdaya alam
penting yang dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Air hujan
yang jatuh di dalam DAS mengalami berbagai proses sebelum dialirkan ke suatu
outlet, dimana proses tersebut banyak dipengaruhi oleh kondisi bentanglahan yang
dicerminkan dari bentuklahan-bentuklahan (landforms) yang menyusunnya
beserta semua obyek alami dan buatan serta berbagai kegiatan manusia di atasnya.
Dengan demikian besarnya jumlah air yang mengalir di sungai sebenarnya
merupakan cerminan dari hasil interaksi berbagai komponen, seperti curah hujan,
bentuklahan beserta aspek-aspeknya (lereng, tanah), dan penutupan atau
penggunaan lahan di atasnya.
Bentuklahan (Landform) DAS Ciambulawung
Klasifikasi bentuklahan daerah penelitian dilakukan melalui citra SRTM
yang dibantu dengan informasi geologis dan topografis. Interpretasi bentuklahan
dilakukan secara visual di atas citra dimana digitasi dilakukan secara on screen.
Seperti telah diuraikan pada Bab Kondisi Umum bahwa kondisi geomorfologi
daerah penelitian lebih didominasi oleh morfologi pegunungan dan perbukitan
yang tersusun oleh formasi geologi berumur Tersier (Miosen-Oligosen) sehingga
telah mengalami proses denudasi lanjut.
Dari hasil interpretasi citra dan cek lapangan, didapatkan bahwa
bentuklahan di daerah penelitian dapat dikelaskan menjadi 7 macam, yaitu
Pegunungan

Denudasional

Vulkanik

(DV1),

Lereng

Atas

Pegunungan

Denudasional Vulkanik (DV2), Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV3),
Punggung/Igir Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV4), Lereng Kaki Perbukitan
Denudasional Vulkanik (DV5), Lembah Sungai dan Teras Alluvial (F1), serta
Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen (S1). Persebaran spasial dari masingmasing bentuklahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 sedangkan untuk luasan
masing-masing disajikan dalam Tabel 4.

31

Tabel 4. Bentuklahan DAS Ciambulawung dan Luasannya.
Simbol
DV1
DV 2
DV 4
F1
DV 3
S1
DV 5

Bentuklahan
Punggung/Igir Pegunungan Denudasional Vulkanik
Lereng Atas Pegunungan Denudasional Vulkanik
Punggung/Igir Perbukitan Denudasional Vulkanik
Lembah Sungai & Teras Aluvial
Perbukitan Denudasional Vulkanik
Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen
Lereng kaki perbukitan Denudasional Vulkanik
Luas Area Total

Luas Area
Ha
%
124,16 22,38
139,68 25,18
24,12 4,35
2,27 0,41
225,97 40,74
1,95 0,35
36,57 6,59
554,72
100

Dari Tabel 4 terlihat bahwa secara dominan bentuklahan di wilayah
penelitian terbentuk oleh proses vulkanik dan berdasarkan geologinya tersusun
dari batuan vulkanik tua. Hanya sebagian kecil bentuklahan yang dibentuk oleh
proses deposisi, yakni berada di sekitar aliran sungai berupa lembah dan teras
aluvial. Batuan sedimen Tersier (Formasi Anggota Napal) yang tersingkap di
kampung Lebak Picung merupakan batuan yang paling tua di DAS
Ciambulawung dan tampak sebagai batuan dasar (basement rock) dari formasi
batuan vulkanik di atasnya pada saat aktivitas vulkanik masih berlangsung di
wilayah ini.
Bentuklahan perbukitan dan pegunungan seperti DV3, DV2, dan DV1
berturut-turut merupakan bentuklahan yang paling dominan di daerah penelitian.
Hal ini mencerminkan bahwa pergerakan aliran air di daerah penelitian yang
berbukit dan bergunung tergolong dinamis, yaitu didorong oleh kondisi
kemiringan lereng yang besar dan gravitasi. Bentuklahan dengan karakteristik
lereng curam hingga sangat terjal seperti DV3, DV2, dan DV1 ini berpotensi
menghasilkan kecepatan aliran yang tinggi dan juga kecepatan akumulasi
sejumlah air hujan yang tertampung pada DAS dalam waktu yang singkat,
terutama pada bentuklahan F1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
masalah neraca air sesungguhnya merupakan hal penting untuk diperhatikan
dalam pengelolaan DAS Ciambulawung dan terutama keterkaitan antara
bentuklahan dengan penutupan/penggunaan lahannya.

32

BENTUKLAHAN

Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Ciambulawung

33

Penutupan/Penggunaan Lahan (Land Cover//Land Use) DAS Ciambulawung
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penutupan lahan hutan
mendominasi penggunaan lahan di daerah penelitian. Dari hasil pengamatan
lapangan keberadaan hutan di wilayah ini masih terjaga dengan baik. Boleh jadi
peraturan yang ada terkait dengan Taman Nasional membuat masyarakat Lebak
Picung ikut menjaga wilayah TNGHS dan mempunyai kesadaran yang tinggi
untuk tidak mengolah atau memanfaatkan lahan TNGHS tanpa ijin. Masyarakat
lokal, khususnya warga Kampung Lebak Picung hanya memanfaatkan lahan yang
telah ditetapkan sebagai hutan rakyat dan lahan-lahan yang telah digunakan oleh
para leluhurnya. Akan tetapi ada yang melakukan penebangan hutan tanpa ijin dan
membuka lahan hutan pada spot-spot tertentu untuk kepentingan tertentu. Namun
demikian mereka yang melakukan tersebut bukanlah warga dari Lebak Picung,
namun warga dari luar Desa. Gambar 9 berikut menggambarkan beberapa contoh
dari kegiatan-kegiatan dimaksud di atas yang diperoleh saat survei di lapang.

(a)
(b)
Gambar 9. (a) Penebangan Liar (X=650947:Y=9250920); (b) Pembukaan Hutan
(X=650950:Y=9250510).
Peta penutupan/penggunaan lahan DAS Ciambulawung untuk penelitian
ini dibuat melalui interpretasi citra secara visual dan dilakukan digitasi on screen
pada citra GoogleEarth tahun 2010. Dari hasil digitasi, kemudian dilakukan
validasi dengan kenyataan lapang. Hasil pemetaan yang dilakukan menghasilkan
6 jenis penutupan/penggunaan lahan, yaitu hutan, sawah, kebun campuran, tanah
terbuka, semak-belukar, dan permukiman seperti yang terlihat pada Gambar 10
dan Tabel 5 untuk luasannya.

34

Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung.

35

Tabel 5. Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya Tahun 2010.
Simbol
H
S
Kc
Tb
Sb
P

Luas
Ha
%
Hutan
338,55
61,03
Sawah
23,69
4,27
Kebun Campuran
157,11
28,32
Tanah Terbuka
2,20
0,40
Semak Belukar
32,09
5,78
Lahan Terbangun(Permukiman)
1,08
0,19
Luas Total
554,72
100
Penggunaan Lahan

Berdasarkan

Tabel

5

dapat

diketahui

bahwa

hutan

merupakan

penutupan/penggunaan lahan terluas, yaitu meliput 338,55 Ha atau 61.03% dari
total luas DAS Ciambulawung. Penutupan/penggunaan lahan terluas kedua adalah
kebun campuran, seluas 157,11 Ha (28.32%), sedangkan penutupan/penggunaan
lahan yang lainnya relatif kecil, seperti lahan sawah yang hanya mencapai 23,69
Ha (4.27%) atau permukiman dengan luas total hanya 1,08 Ha (0.19%).
Permukiman di sini adalah kampung Lebak Picung itu sendiri yang di dalamnya
terdiri dari rumah-rumah penduduk termasuk fasilitas sosial seperti Sekolah
Dasar, Masjid, MCK dan lumbung-lumbung padi.
Penutupan/penggunaan lahan dalam kaitannya dengan proses hidrologi di
dalam DAS mempunyai peranan sangat penting, khususnya hutan, yaitu dapat
berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap percikan curah hujan secara langsung
hingga berfungsi menggemburkan tanah dan kemudian meresapkan air ke
dalamnya. Dalam hidrologi perbedaan tipe penutupan/penggunaan lahan diketahui
banyak berpengaruh terhadap besarnya nilai debit dan volume puncak aliran
sungai. Pengaruh ini disebut sebagai koefisien runoff yang akan dijelaskan secara
rinci pada Sub bab selanjutnya.
Selain peta penutupan/penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil pada
penelitian ini, dikenal pula ada Peta Tata Guna Hutan Konservasi (TGHK) untuk
daerah penelitian. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor
282/Kpts-II/1992 tentang Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) telah
dihasilkan peta batas TNGH seluas 113.357 Ha, namun pada 10 Juni 2003 SK
tersebut telah diperbarui melalui SK Menteri Kehutanan dengan Nomor 175/KptsII/2003 tentang perubahan status TNGH menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS). Berdasarkan keputusan ini, wilayah TNGHS menjadi

36

jauh lebih luas dan belum ditetapkan luas totalnya. Konsekuensi dari SK yang
baru ini adalah bahwa kampung Lebak Picung yang semula berada di luar
kawasan Taman Nasional, kini menjadi bagian (berada di dalam) dari Taman
Nasional (Gambar 11 dan Gambar Lampiran 1). Meskipun demikian,
dimungkinkan di waktu yang akan datang akan ada kebijakan dari pemerintah
yang dapat memperjelas status kampung ini.
Tabel 6 berikut memperlihatkan bahwa luasan kawasan hutan yang berada
di dalam DAS Ciambulawung mencapai hampir 97 % dari luas total DAS, dan
selebihnya sekitar 3 % berupa Alokasi Penggunaan Lain (APL) atau lahan
budidaya. Dalam hal ini APL terdiri dari kebun campuran (1,71 %) dan semak
belukar (0,73%) namun tidak tergambar di dalam peta (Gambar 11) karena
luasannya relatif kecil dan tersebar.
Tabel 6. Luas Kawasan Hutan dan Alokasi Penggunaan Lain (APL) di DAS
Ciambulawung sesuai dengan ketetapan baru batas Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS) Tahun 2003.
TGHK
Kawasan TNGHS
Alokasi
Penggunaan Lain

Penggunaan Lahan
Hutan
Sawah
Kebun Campuran
Tanah Terbuka
Semak Belukar
LahanTerbangun (Permukiman)
Luas Total

Ha
538,07
2,64
9,51
0
4,07
0
554,742

Luas
%
96,99
0,55
1,71
0
0,73
0
100

Berdasarkan luasan hutan yang baru tersebut, kiranya diperlukan kehatihatian dalam mengambil kesimpulan, karena jika dibandingkan dengan luas hutan
aktual dari hasil pemetaan, maka terdapat selisih luas yang cukup besar. Hal ini
tentu tidak dapat dikatakan bahwa telah terjadi penyempitan luas hutan, karena
peta batas TNGHS adalah peta yang direncanakan (terutama hutan) jadi tidak
mencerminkan luas hutan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hasil
pengamatan lapangan dan wawancara dengan penduduk, dimana didapatkan
informasi bahwa penyempitan hutan tidak pernah terjadi di dalam DAS
Ciambulawung karena memang tidak ada kegiatan konversi hutan oleh
masyarakat maupun dari pihak TNGHS. Jadi luasan hutan yang tergambar di
dalam peta tidak mencerminkan luas hutan yang sesungguhnya.

37

Permukiman

Gambar 11. Peta Tata Guna Hutan Konservari TNGHS di DAS Ciambulawung Tahun 2003

38

Kemiringan Lereng (Slope steepness) DAS Ciambulawung
Kemiringan lereng dalam suatu wilayah merupakan faktor penting dalam
kajian hidrologi. Hal ini menyangkut kondisi bidang luncur yang mempengaruhi
kecepatan pergerakan air (hujan), baik di permukaan maupun di dalam tanah,
dimana semakin curam suatu lereng akan menghasilkan potensi kecepatan
pergerakan air di permukaan yang tinggi dan kurang memungkinkan air untuk
meresap ke dalam tanah.
Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dalam penelitian ini bersumber
dari citra SRTM yang diolah menjadi Peta Kontur dengan software Global
Mapper v.12. Dari peta kontur tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 6 kelas
yang mengacu pada sistem klasifikasi lereng USDA, seperti yang digunakan oleh
Van Zuidam (1985) untuk analisis terrain. Hasil klasifikasi dan pemetaan yang
dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 12 dan luasan dari masingmasing kelas lereng disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kelas Kemiringan Lereng DAS Ciambulawung dan Luasannya.
Simbol

Kemiringan Lereng (%)

Gs
Sl
Mst
St
Vst
Est

Datar sampai Landai (0-8)
Agak Miring(8-15)
Miring sampai Agak Curam (15-30)
Curam (30-45)
Sangat Curam (45-60)
Terjal (60-100)
Luas Total

Luas
Ha
25,38
43,59
174,73
207,69
77,13
26,20
554,72

%
4,58
7,86
31,50
37,44
13,90
4,72
100,00

Lereng pada kelas “curam” (30-45%) merupakan lereng yang paling
dominan di DAS Ciambulawung, yakni meliput luasan sebesar 207,69 Ha atau
37,44% dari total luas wilayah penelitian. Kemudian lereng “miring sampai agak
curam” yang mencapai luasan 31,50%, dan lereng “sangat curam” menempati
luasan 13,90%. Untuk kemiringan-kemiringan lereng yang lainnya relatif kecil
luasannya. Hal ini menandakan bahwa wilayah penelitian mempunyai topografi
yang umumnya berbukit sampai bergunung, sehingga proses geomorfologis

39

denudasional menjadi dominan di wilayah ini. Kondisi ini menyebabkan air hujan
yang jatuh di dalam DAS Ciambulawung menjadi dinamis akan mengalami
pergerakan yang cepat sesuai dengan kondisi topografi melalui lereng-lereng yang
curam dan pengaruh tutupan lahannya. Keadaan lereng yang demikian
menjadikan proses erosi dan longsor merupakan dua proses yang perlu mendapat
perhatian dalam pengelolaan DAS, apalagi sebagian besar wilayahnya merupakan
taman nasional yang berfungsi antara lain sebagai daerah pencadangan air.
Kemiringan lereng banyak menentukan besarnya daya dukung lingkungan,
dan daya lingkungan tersebut merupakan hal penting dalam pengelolaan DAS.
Dalam hal ini kemiringan lereng juga mempunyai peranan penting dalam memilah
bentuklahan menjadi satuan-satuan lahan (land units) yang lebih rinci dan
homogen. Satuan lahan sangat diperlukan untuk penilaian daya dukung
lingkungan melalui kemampuan lahannya (land capability). Dalam penelitian ini
penilaian kemampuan lahan DAS Ciambulawung akan dilakukan berbasis pada
satuan lahan, dan hasilnya dapat digunakan untuk menilai kualitas lingkungan
DAS Ciambulawung secara kualitatif melalui kecocokan penggunaan lahannya.

40

Gambar 12. Peta Kemiringan Lereng DAS Ciambulawung.

41

Satuan Lahan (Land Unit) dan Kemampuan Lahan (Land Capability)
DAS Ciambulawung
Satuan lahan menggambarkan kondisi sebidang lahan yang mempunyai
karakteristik relatif seragam berdasarkan faktor-faktor penyusunnya. Peta Satuan
Lahan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan hasil analisis dari peta
bentuklahan dan peta kemiringan lereng, melalui proses tumpang tindih (overlay).
Gambar 13 pada halaman berikut menunjukkan hasil dari analisis tersebut,
yaitu berupa peta satuan lahan. Pemberian simbol satuan lahan didasarkan pada
simbol dari masing-masing bentuklahan dan kelas lereng. Berdasarkan peta
tersebut terlihat bahwa DAS Ciambulawung memiliki jenis satuan lahan yang
cukup bervariasi yaitu terdapat sekitar 30 kelas, namun satuan lahan yang paling
luas adalah satuan lahan “DV3.St”, yakni satuan lahan yang berada di atas
bentuklahan perbukitan denudasional vulkanik yang mempunyai kemiringan
lereng curam (30-45%). Satuan lahan “DV3.St” ini mempunyai luas sebesar 86.63
Ha, sedangkan satuan-satuan lahan yang lain luasannya secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Satuan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya.
Simbol Satuan Lahan
DV5.Sl
DV5.St
DV5.Vst
Hsn.Gs
Hsn.Sl
Tf.Gs
Tf.Mst
Tf.Sl
Tf.St

Bentuk Lahan
Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional
Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional
Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional
Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen
Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen
Lembah Sungai & Teras Aluvial
Lembah Sungai & Teras Aluvial
Lembah Sungai & Teras Aluvial
Lembah Sungai & Teras Aluvial

Lereng
8-15
30-45
45-60
0-8
8-15
0-8
15-30
8-15
30-45

Luas
Ha
17,38
4,51
0,42
1,58
1,78
1,31
0,04
1,75
0,28

%
3,13
0,61
0,08
0,18
0,13
0,24
0,01
0,32
0,00

42

Tabel 8. Satuan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya.(Lanjutan)
Simbol Satuan
Lahan
DV1.Est
DV1.Gs
DV1.Mst
DV1.Sl
DV1.St
DV1.Vst
DV2.Est
DV2.Mst
DV2.Sl
DV2.St
DV2.Vst
DV3.Est
DV3.Gs
DV3.Mst
DV3.Sl
DV3.St
DV3.Vst
DV4.Gs
DV4.Sl
DV5.Gs
DV5.Mst

Bentuk Lahan
Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional
Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional
Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional
Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional
Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional
Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional
Perbukitan Vulkano Denudasional
Perbukitan Vulkano Denudasional
Perbukitan Vulkano Denudasional
Perbukitan Vulkano Denudasional
Perbukitan Vulkano Denudasional
Perbukitan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Perbukitan Vulkano Denudasional
Punggung/Igir Perbukitan Vulkano Denudasional
Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional
Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional

Lereng
60-100
0-8
15-30
8-15
30-45
45-60
60-100
15-30
8-15
30-45
45-60
60-100
0-8
15-30
8-15
30-45
45-60
0-8
8-15
0-8
15-30

Luas
Ha
0,63
7,70
72,63
15,14
34,56
978,79
24,72
3,51
0,49
61,71
61,80
0,39
1,35
94,31
10,41
92,18
9,37
2,83
3,61
10,23
11,07
554,7