Badah haji adalah salah satu di antara perintah

badah haji adalah salah satu di antara perintah-perintah Allah swt dan sunnah yang ditinggalkan
semenjak Nabi Adam as hingga Nabi Ibrahim as yang kemudian diwariskan dan disempurnakan
oleh Nabi Muhammad saw.
Ibadah haji adalah sebuah perjanjian antara manusia dengan Tuhannya dan menjadi sebagai
camp persatuan para penerus ajaran Ibrahimi yang hanif.
Ibadah haji adalah pusat perkenalan dan komunikasi umat Islam yang agung ini, pelatihan
kesadaran, kebebasan dan pembentukan diri.
Ibadah haji merupakan sunnah seluruh utusan Allah dan Ka’bah adalah tempat ibadah pertama di
muka bumi. Para penziarah Ka’bah dan pelaku haji menjadi tamu-tamu Allah swt.
Haji adalah sebuah ibadah agung yang merupakan salah satu puncak kebebasan mukmin
muwahhid dari selain-Nya, jalan penyucian diri dan manifestasi kerinduan dan pengorbanan,
kesadaran dan tanggung jawab dalam kehidupan individual dan sosial. Dengan demikian ibadah
haji adalah penjelmaan seluruh hakekat dan norma Islam.
Ibadah haji dengan seluruh aspeknya dapat membantu menerangi kehidupan manusia. Namun
demikian tetap saja masih banyak sisi dari ibadah ini yang masih belum dimanfaatkan
semaksimal mungkin dan bahkan ditinggalkan begitu saja.
Ibadah haji memiliki kandungan yanga sangat kaya dan sudah semestinya untuk diletakkan pada
tempat yang sebenarnya sebagaimana seluruh hukum dan pengetahuan Islam yang lain.
Untuk mewujudkan hal tersebut, harus melalui jalan panjang dan penantian lama sehingga
berbagai manfaat dan berkah dapat dipetik darinya dan diterapkan dalam seluruh aspek
kehidupan individual maupun sosial.

Masa ibadah haji merupakan sebuah kesempatan yang tepat untuk membebaskan diri dari
berpandangan sempit, egoisme, kelalaian dan ketergantungan kepada dunia.
Ibadah haji adalah gambaran terjadinya hari kiamat dan manifestasi bergeraknya umat manusia
secara serentak.

Ibadah haji adalah salah satu tugas seluruh kaum Muslimin dan termasuk di antara rukun agama
dan panji mulia Islam.
Amalan haji merupakan kewajiban ibadah berdimensi sosial bahkan politik yang paling besar
dalam agama Islam dan dapat merubah nasib individu dan umat Islam serta mengusir setan hawa
nafsu dari dalam diri dan setan besar (musuh-musuh umat Islam) dari negara Islam.
Dimensi Ibadah Haji
Ibadah haji adalah pusat dan sumber pengetahuan Ilahi yang bahkan memiliki kandungan politik
Islam dalam seluruh dimensi kehidupan.
Ibadah haji merupakan salah satu di antara kewajiban Ilahi teragung yang sebagaimana ibadahibadah lain seperti shalat yang dinyatakan sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar di
tengah masyarakat, zakat sebagai hak yang harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan
dan…, memiliki dua dimensi: Individual dan sosial.
Adapun target ibadah haji dari sisi individual adalah menyucikan diri, mencapai kejernihan dan
cahaya, membersihkan noda material dan spiritual, meraih ketenangan jiwa, kedekatan diri
kepada Allah swt untuk menemukan shirath mustaqim ke arah kesempurnaan dan penghambaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ibadah haji merupakan training jangka pendek untuk melatih jiwa dan ruh manusia secara
individual dan sosial. Sisi sosial ini lebih berharga dari sisi individualnya dan sering dilalaikan
banyak orang.
Dan poin yang perlu diingat bahwa kitab suci Al-Qur’an ketika menjelaskan hikmah dan tujuan
haji, menegaskan urgensi haji dari sisi sosialnya dan berbagai manfaat yang dapat direalisasikan
untuk kebahagiaan seluruh umat manusia.
Fungsi Ka’bah dan hikmah haji menurut pandangan Al-Qur’an adalah untuk menjamin berbagai
manfaat bagi umat manusia. Allah swt berfirman:
‫م قسييا م ل‬
‫جع ي ي‬
"‫س‬
‫ه ال لك يعلب ي ي‬
‫ت ال ل ي‬
‫" ي‬
‫حيرا ي‬
‫ة ال لب يي ل ي‬
‫ل الل ن ه‬
‫ما للننا س‬

“Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah Suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia)

bagi manusia”
Artinya ka'bah dan sekitarnya menjadi tempat yang aman bagi manusia untuk mengerjakan
urusan-urusannya yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi, dan pusat bagi amalan haji.
Dengan adanya ka'bah itu, kehidupan manusia menjadi kokoh.
Dengan demikian ibadah haji adalah gerakan sosial bersama untuk menyelesaikan segala
problema, menjamin segala kebutuhan dan memajukan urusan-urusan umat Islam dan umat
manusia.
Manfaat Ibadah Haji
Kaum Muslimin dalam penyelenggaraan manasik dan ibadah haji yang agung ini akan
menyaksikan dan meraih berbagai manfaat darinya, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an:
‫ل سي ي ل‬..."
"‫م‬
‫شهي ه‬
‫مينافسعي ل يهه ل‬
‫دوا ي‬
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka…”
Dari penggalan ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manfaat-manfaat yang menyangkut
urusan umat Islam memiliki beberapa jenis dan tingkatan: Manfaat yang bersifat budaya, politik,
ekonomi dan bahkan militer. Seluruh manfaat seperti yang telah disebutkan di atas dan selainnya
akan disaksikan dan diraih oleh para jamaah haji dan dapat dirasakan oleh seluruh kaum

Muslimin, karena ayat tersebut bersifat umum “‫ع‬
‫مينافس ي‬
‫ ” ي‬dan mencakup seluruh manfaat dengan
segala bentuknya.
Haji Dan Persatuan Umat Islam
Marilah kita baca pesan haji yang pernah disampaikan oleh pimpinan spiritual tertinggi Iran saat
ini, Ayatullah Ali Khamenei pada musim haji tahun 1417 H:
“Tidak ada kewajiban apapun dari aspek sosial melebihi ibadah haji, karena haji merupakan
manifestasi kekuatan, kemuliaan dan persatuan umat Islam. Ibadah haji mengajarkan pelajaran

tentang problema-problema umat dan dunia Islam dan memberikan kekuatan, kemuliaan dan
persatuan. Oleh karena itu, melalaikan manfaat haji dari aspek ini berarti menutup sumbersumber kebaikan kaum Muslimin yang tidak dapat dipenuhi dari jalur lain.”
Kita dengar pula ringkasan pesan haji dari pendiri dan proklamator Republik Islam Iran,
Ayatullah Khomeini yang disampaikan kepada para jamaah haji pada 5 Dzul Hijjah 1408 H:
“Semua orang dapat mengambil manfaat dari ibadah haji sebagaimana yang mereka dapatkan
dari Al-Qur’an. Akan tetapi hanya ulama’, orang-orang yang mendalami arti, hukum dan tujuan
sosialnya dan mengetahui permasalahan umat Islam saja yang mampu meraih manfaat lebih
berupa esensi petunjuk, hikmah dan kebebasan.
Namun bagaimana prakteknya? Ibadah haji tidak banyak dimanfaatkan sebagaimana juga AlQur’an. Setiap tahun jutaan kaum Muslimin berbondong-bondong menginjakkan kaki di atas
bumi yang pernah diinjak oleh Hajar, Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad

saw, akan tetapi jarang sekali mereka bertanya: Siapakah Nabi Ibrahim as dan Nabi
Muhammad saw? Apa yang telah mereka lakukan? Apa tujuan mereka? Dan apa yang mereka
inginkan dari kita?
Ringkasnya, kaum Muslimin harus serius dalam menghidupkan kembali ibadah haji dan AlQur’an di dalam kehidupan mereka.”
Dengan demikian jelas bahwa ibadah haji yang tidak membawa manfaat-manfaat sosialnya
(mencakup manfaat kultural, ekonomi, politik, militer dan…) tidak bernilai sama sekali dan tidak
akan tergolong sebagai haji Islam, akan tetapi akan masuk dalam kategori haji jahiliyah, kosong
dari makna dan tujuan, hanya berbentuk ritual dan praktek semata sebagaimana pernah dilakukan
oleh orang-orang masa jahiliyah sebelum Islam yang meniatkannya untuk selain Allah swt.
Bila kita memperhatikan beberapa ayat yang memuat kewajiban beberapa ibadah dari sisi waktu
pelaksanaannya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ibadah-ibadah ini lebih banyak melihat
kepada dimensi sosialnya daripada individualnya. Kebersamaan dalam menjalankan ibadahibadah tersebut akan menunjukkan kekuatan, kemuliaan dan persatuan umat Islam.
Dalam shalat misalnya, Al-Qur’an menyebutkan:

‫صل ية ي ي‬
"‫مولهقومتا‬
‫مؤ ل س‬
‫"إ س ن‬
‫ن ك سيتامبا ن‬
‫ت ع ييلى ال ل ه‬

‫كان ي ل‬
‫ن ال ن‬
‫مسني ي‬
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.
Penetapan waktu ini dan anjuran melaksanakan shalat secara berjamaah merupakan sebuah
anugerah kepada umat Islam. Dapat dibayangkan kekuatan, kemuliaan dan persatuan kaum
Muslimin apabila mereka melaksanakan shalat serentak dan secara berjamaah serta
menggunakan kesempatan ini dengan baik untuk kepentingan Islam
Berkenaan dengan puasa, Al-Qur’an mewajibkan seluruh umat Islam untuk berpuasa di bulan
suci Ramadhan. Sebuah kesempatan lain diberikan untuk mewujudkan kekuatan, kemuliaan dan
persatuan umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Adapun berkenaan dengan haji, Allah berfirman:
‫ج أي ل‬
"‫ت‬
‫ح ج‬
‫"ا يل ل ي‬
‫ما ت‬
‫معلهلو ي‬
‫شههتر ن‬

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan
Zulhijjah]…”
Pada momen itulah kaum Muslimin seharusnya memberikan atensi lebihnya kepada ibadah haji
ini untuk membenahi diri, menjalin komunikasi dengan jamaah lain dan bersama-sama mengejar
tujuan individual atau sosial yang diinginkan oleh Islam.
Ibadah haji merupakan sebuah muktamar agung yang dihadiri oleh umat Islam berbagai lapisan
dari seluruh belahan dunia. Semuanya kembali kepada umat Islam sendiri apakah mampu
memanfaatkan anugerah Ilahi ini semaksimal mungkin atau tidak, apakah mampu melobi dan
berkomunikasi dengan sesamanya untuk menyelesaikan problema umat dan dunia Islam,
menjamin kebutuhan mereka dan menciptakan dan mempersembahkan tatanan dunia Islami
kepada umat manusia? Inilah PR yang harus diselesaikan oleh individu dan umat Islam.
Penutup

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, perkenankan penulis memberikan usulan kepada setiap
jamaah haji yang akan berangkat, khususnya yang memiliki otoritas untuk melobi, mengundang
dan mengadakan pertemuan dengan para tokoh dari negara lain untuk memprakarsai
penyelenggaraan muktamar tahunan dan membentuk komite-komite dalam berbagai bidang yang
diperlukan oleh umat Islam.
Pada musim haji ini umat Islam dapat mengadakan pertemuan atau seminar khusus sesuai
dengan keahlian dan bidangnya masing-masing untuk menjalin kontak, tukar pengalaman,

menciptakan kreatifitas dan innovasi bersama atas nama kaum Muslimin dalam bidang kultural,
ekonomi, politik, militer dan keilmuan yang lain seperti kedokteran, sains, teknologi dan…
Dan hal ini paling tidak –sesuai dengan apa yang pernah penulis saksikan di musim haji tahun
2008 yang lalu- telah mulai dirintis oleh para pemuka jamaah haji Iran dengan mengundang para
pakar dan ahli pada bidang-bidang tertentu, mengulurkan kerjasama dan mengadakan berbagai
pertemuan ilmiah untuk mendengarkan, mengamati, menganalisa dan menyelesaikan berbagai
permasalahan dan problema umat Islam dan dunia internasional.
Tentunya hal itu tidak cukup bila dilakukan pada masa haji saja, harus ada langkah-langkah
sebelum datangnya musim haji dan upaya-upaya untuk menindaklanjuti kerjasama, kesepakatan
dan lain sebagainya setelah selesainya musim haji, supaya hal yang telah diusahakan dengan
pengorbanan waktu dan tenaga tidak sia-sia dan hanya menjadi sekedar ide.
Dan tidak diragukan lagi bahwa bila suatu hari haji memperoleh posisi sebenarnya di dunia
Islam, kaum Muslimin melaksanakannya sesuai dengan yang diinginkan Islam, maka Islam akan
mengambil alih dan menguasai dunia. Semoga kita dapat menyaksikan datangnya hari itu. Amin
ya Rabbal Alamin!
*Alumni Universitas Azzahra Iran, aktif menerjemah buku bahasa Persia ke bahasa Indonesia.
Saat ini ia juga mengajar di SMP Sitrah Jakarta.

Komentar(0 komentar)
kirim komentar

Space Iklan
625 x 100 Pixel
Allah Ta'ala berfirman:

Artinya: "Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka
menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan, atas rizki yang telah Allah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya, dan (sebagian
lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. " (Q.S. al-Hajj 22:28)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu 'Abbas RA berkata: "Sesungguhnya yang dimaksud ialah
manfaat-manfaat di dunia dan di akhirat. Adapun manfaat-manfaat di akhirat ialah keredhaan
Allah Ta'ala. Sedang manfaat-manfaat di dunia ialah keuntungan-keuntungan yang mereka
peroleh dari binatang-binatang kurban, sembelihan-sembelihan dan bermacam-macam
perniagaan."
Sebenarnya, kalau kita hendak menjabarkan perkataan Ibnu 'Abbas ini dan menghitung satupersatu manfaat-manfaat keduniaan maupun keagamaan yang dia kemukakan, maka akan kita
lihat betapa banyak manfaat-manfaat tersebut. Berikut ini adalah sebagian di antaranya:
Pertama, pertemuan kaum muslimin: Ketahuilah, bahwa bangunan Islam ini dibina atas dasar
perkumpulan dan perhimpunan di antara sesama kaum muslimin. Maka dari itu, Allah Ta'ala
menjadikan sebagian besar ibadah-ibadah yang di syari’atkan-Nya sebagai sarana bagi
bermacam-macam pertemuan di antara mereka. Allah membuat pertemuan kaum muslimin yang
berulang lima kali sehari, pada tingkat perkampungan dari suatu kota. Dan untuk mengatur itu,

Dia syari'atkan shalat jama'ah.
Dan Allah membuat pula pertemuan lain bagi mereka, yang berulang sekali setiap minggu pada
tingkat kota. Dan untuk mengatur itu, Dia syari'atkan shalat Jum'at.
Dan ada pertemuan lain lagi yang Allah buat untuk kaum muslimin, yang berulang sekali setiap
tahun pada tingkat dunia Islam seluruhnya. Dan untuk mengaiur itu, Dia syari'atkan haji ke
Baitullah al-Haram.
Kedua, menghidupkan hakekat Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan lilimi) dan menampakkannya
secara nyata, yakni tanpa dipengaruhi dengan hambatan-hambatan bahasa maupun perbedaan
tempat yang saling berjauhan. Dan sebaik-baik cara untuk menghidupkan ukhuwah tersebut ialah
dengan mempertemukan kaum muslimin di sekitar Baitul- Inti. rumah Allah yang tua itu, di
mana mereka melafazhkan doa yang sama kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan satu arah.
Ketiga, mengikat kaum muslimin seluruhnya meski negeri mereka nling berjauhan- kepada satu
poros, yaitu Makah al-Mukarramah, yang merupakan tempat kelahiran Islam di muka bumi ini,
yang dari sana terpancarlah cahaya Tauhid ke segenap penjuru dunia, agar kota itu menjadi
lambang kesatuan mereka dan penjelmaan prinsip mereka.
Keempat, haji merupakan salah satu perwujudan dari persamaan di antara kaum muslimin, yang
menggugurkan segala norma yang membeda-bedakan sesama manusia dan membuat mereka
saling mengungguli dalam soal pakaian dan tempat tinggal. Di Arafat umpamanya, dan juga di
Mina, dan ketika melontar jumrat, dan ketika thawaf, mana yang kaya dan mana yang miskin
nyaris tidak diketahui. Buruh dan majikan, pemimpin dan rakyat jelata sama saja. Semuanya


larut dalam kerohanian yang sama, yaitu mabuknya kedekatakan kepada Allah dan Imirut kepada
redha-Nya.
Sesungguhnya haji itu pemandangan indah yang mengingatkan permulaan manusia, di kala
mereka keluar dari perut ibu mereka masing- masing dalam keadaan yang sama, tidak ada
keistimewaan bagi seorang pun atas yang lain, sebagaimana mengingatkan tempat mereka
kembali kelak, di kala seluruh manusia menghadap kepada Rabbul 'Alamin dalam keadaan
telanjang dan tiada beralas kaki, tanpa pangkat, tanpa nasab.
Kelima, Haji juga merupakan peringatan terpenting yang mengingatkan kaum muslimin
peristiwa-peristiwa yang telah dialami nenek- moyang dan generasi tua mereka, yaitu para Nabi
dan Utusan Tuhan. Setiap persinggahan selama ibadah haji ada hubungannya dengan suatu
peristiwa yang membangkitkan banyak kenangan dalam perasaan para jamaah haji. Ketika di
Baitullah umpamanya, tergambarlah dalam fikiran seorang mu'min dua Nabi Allah Ibrahim dan
Isma'il saat keduanya membangun rumah tua itu. Dan tergambar pula peristiwa-peristiwa yang
dialami Nabi Muhammad SAW ketika beliau mencium Hajar Aswad dan menghancurkan
patung-patung hingga roboh terjungkal dengan hina-dina. Sedang ketika berada di Shafa dan
Marwah, seorang muslim akan teringat Hajar AS di kala ia lari mondar-mandir di antara kedua
bukit itu, mencari air buat bayinya, Isma'il. Dan di Mina, ketika melempar jumrat, ia dapat
merasakan peristiwa-peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim ketika melawan syaitan dan tidak
mempedulikan perintah- perintahnya, lalu dilemparnya dengan batu-batu, sementara beliau
dengan mantap memenuhi perintah Tuhannya dan melaksanakan apa yang Dia wahyukan
kepadanya dalam mimpinya, agar menyembelih puteranya. Sedang di 'Arafat, bergeloralah
dalam sanubari si mu'min desakan-desakan keinginan kepada rahmat Allah dan hasrat akan
ampunan-Nya. Sementara itu takkan hilang dari hatinya peristiwa yang mengagumkan itu, yang
telah dialami Rasulullah pada Haji Wada', yaitu ketika beliau mengendarai untanya seraya
berpesan lewat khutbahnya, dan ditetapkannya bagi mereka prinsip-prinsip hidup yang indah,
persamaan yang adil dan persaudaraan yang tulus, serta diingatkannya mereka jangan sampai
kembali lagi kepada keburukan-keburukan Jahiliyah:

‫ض ي‬
‫ل‬
‫م يوا س‬
‫م س‬
‫ ل يفي ل‬٬ ‫ب‬
‫س اس ن‬
‫م يوآد ي ه‬
‫م لد ي ي‬
‫ ك هل جك ه ل‬٬ ‫حد ت‬
‫ن يرب نك ه ل‬
‫ن ت هيرا ب‬
‫ا يي جيها الننا ه‬
‫م ل‬
‫ب‬
‫ ا يل ي ل ي ت يعهولد هلوا ب يعلد سىل ك ه ن‬٬ ‫وى‬
‫ى ا سل ن سبالت ن ل‬
‫ج س‬
‫ضرس ه‬
‫فامر ي ي ل‬
‫ى ع ييلى ا يع ل ي‬
‫ق ي‬
‫م ى‬
‫ل سعييرب س ى‬
٠‫ض‬
‫م رسقيا ي ي‬
‫ب يعل ه‬
‫ضك ه ل‬
‫ب ب يعل ب‬
Artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa. Setiap kamu adalah
keturunan Adam, sedang Adam itu dari tanah. Tidak ada kelebihan bagi seorang Arab atas yang
bukan Arab, melainkan dengan takwa. Ketahuilah, janganlah kamu kembali menjadi kafir
sepeninggalku, sebagian kamu memenggal leher sebagian yang lain. "
Keenam, lain dari itu semua adalah karunia yang diperoleh kaum fakir di negeri itu pada musim
haji yang diberkati, berupa rizki yang membuat mereka kaya sepanjang tahun, yaitu realisasi dari
doa Nabi Ibrahim AS ketika beliau bermunajat kepada Tuhannya:
Artinya : "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
lembah tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati. Ya Tuhan

kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka, jadikanlah hati sebagian
manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rizki dari buah-buah mudah-mudahan
mereka bersyukur." (Q.S. Ibrahim 14:37)
Ketujuh, haji adalah pendidikan jasmani agar tabah dalam menghadapi kekerasan dan kesulitan,
dan sabar dalam menanggung apa pun yang tidak disukai. Dan juga merupakan pendidikan
akhlak, agar mau bersikap merendah diri (tawadhu'), tenggang rasa dan berlaku baik dan lemahlembut dalam pergaulan. Di samping juga merupakan pendidikan jiwa agar gemar berkorban,
bermurah hati, bersedekah dan melakukan kebajikan.
Dan juga merupakan pendidikan hati nurani agar senantiasa suci dan takut kepada Allah SWT.
Allah Ta'ala berfirman dalam Surat al-Baqarah 2:197:
Artinya: "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berbicara kotor, berbuat
fasik dan berbantah- bantahan selama mengerjakan haji. Dan kebaikan apa pun yang kamu
kerjakan, niscaya Allah mengetahuinya. Dan berbekallah. Sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah
takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal."

Kurang lebih dua bulan yang lalu, tepatnya 66 hari dari sekarang, kita hadir di Masjid ini
untuk melaksanakan Hari Raya Idul Fitri, hari raya pertama dalam Islam yang melambangkan
kemenangan orang-orang Islam dalam perjuangan melawan hawa nafsu melalui ibadah puasa.
Sekarang, di pagi hari yang cerah ini, kita kembali hadir di Masjid ini, duduk tafakur, bermunajat
kepada Allah, mengumandangkan takbir dan tahmid, mengalunkan tasbih dan tahlil, memuji
kemahabesaran dan kemahamuliaan Allah, mengagungkan kemahakuasaan dan kemahasucianNya, mensyukuri nikmat karunia-Nya sambil melaksanakan shalat dua rakaat kemudian
mendengarkan khutbah, sebagai pelaksanaan hari raya kedua Islam, Idul Adha, hari raya
Qurban.
Nun jauh di sana, di Tanah haram, bumi Allah yang kudus dan dihormati, Makkah alMukarramah, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia sedang tenggelam dalam alunan
talbiah sambil melaksanakan rukun Islam kelima, ibadah haji. Hari ini, tanggal 10 Zulhijjah,
mereka serempak bergerak dalam formasi raksasa menuju Kota Mina untuk melontar jamarat
(jumrah-jumrah) setelah mereka melaksanakan puncak ibadah haji, yakni wuquf tanggal 09
Zulhijjah di Padang Arafah. Sedangkan di tempat-tempat lain, di seluruh pelosok dunia, umat
Islam yang berjumlah ± 1,1/4 milyar secara bersama-sama melaksanakan shalat Idul Qurban
seperti yang kita laksanakan di Masjid ini. Semua itu menggambarkan dengan amat gamblang
adanya kesatuan umat Islam yang kokoh kuat karena diikat oleh tali akidah tauhid yang suci
murni, dibingkai oleh prinsip-prinsip syariah yang agung, dan direkat oleh nilai-nilai moralakhlak yang universal dan abadi karena bersumber dari Allah Azza wa Jall, Tuhan Yang Maha
Agung lagi Maha Perkasa.

Hari raya Idul Adha disebut juga hari raya haji sebagai simbol dari persatuan umat
sedunia yang berdasarkan atas asas kebersamaan yang hakiki, asas persaudaraan yang sejati,
asas kemanusiaan yang universal, bahkan asas kemakhlukan yang bernuansa spiritual. Itulah
sebabnya, dalam berhaji terdapat berbagai macam larangan, mulai dari larangan bercekcok dan
berbantah-bantahan sampai kepada larangan merusak atau mematikan makhluk hidup, baik flora
maupun fauna di tanah Suci Haram. Larangan-larangan itu menyiratkan makna yang amat dalam
dari ajaran Islam yang intinya adalah menjaga keharmonisan hubungan kemanusiaan dalam
bentuk persatuan dan kesatuan yang kokoh, dan menjaga keseimbangan kosmos dalam bentuk
pelestarian lingkungan hidup yang damai.
Ajaran dasar dan agung dari Islam ini mestinya dapat kita hayati bersama dan mestinya
dapat kita terapkan dengan baik dalam keseharian kita, baik dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat yang terkecil yaitu bertetangga, maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih
besar yaitu berbangsa dan bernegara; bahkan lebih besar lagi dari itu yakni, hubungan
kemanusiaan tanpa mempersoalkan latar belakang primordial, suku, bangsa, agama, ras, dan
sebagainya. Inilah makna kerahmatan Muhammad saw. dan inilah kandungan dari universalitas
Islam untuk semua manusia.

‫و ماارسلنا ك ا ل رحمة للعا لمين‬
.‫وماارسلنا ك ال كا فة للناس بشيرا ونذ يرا‬
Artinya:

(Dan tidaklah kami mengutus engkau [Muhammad] melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam).(Q.S. al-Anbiya’:107).
(Dan tidaklah kami mengutus-mu [Muhammad] kecuali untuk seluruh manusia [dan
kemanusiaan] sebagai pembawa berita gembira dan ancaman.). (Q.S. Saba’:27).

Kaum Muslimin Rahimakumullah yang berbahagia. Allahu akbar 3x walillahil Hamdu
Persatuan dan kesatuan, persaudaraan dan kebersamaan selalu diidamkan kehadirannya,
selalu didambakan perwujudannya di antara sesama umat manusia. Dan umat beragama,
terutama sekali umat Islam, haruslah menjadi pelopornya yang pertama dan utama. Persatuan
dan persaudaraan dibutuhkan dalam suka dan duka, didambakan dalam senang dan susah. Tetapi
persatuan dan persaudaraan yang sejati akan lebih dibutuhkan lagi dalam keadaan susah dan

duka, dan dalam suasana yang terakhir inilah akan terlihat kesejatian dan kemurnian dari
persatuan dan persaudaraan itu. Ketika Anda dalam senang dan gembira, ketika Anda sedang
berada di singgasana kesuksesan, begitu mudah mencari teman dan saudara. Tetapi di kala Anda
dalam duka dan derita, ketika Anda jatuh terpuruk dalam hina dan nista begitu sulit mencari
karib dan keluarga. Sebabnya tidak lain karena manusia sangat sulit melepaskan diri dari interest
dan pamrih pribadi bahkan tidak jarang ada manusia yang tega membiarkan saudaranya
menderita tanpa mengulurkan tangan membantunya meskipun ia berkemampuan dan
berkesempatan melakukannya. Apa yang sering digemborkan sebagai kepedulian sosial atau
kesetiakawanan sosial lebih banyak bersifat retorika daripada fakta dan realita.
Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi umat Islam yang benar-benar konsisten pada nilainilai Islam yang sangat mementingkan aspek-aspek moral dan sosial dari ajaran-ajarannya.
Setiap aspek ajaran Islam pasti mempunyai kaitan langsung maupun tidak langsung dengan
aspek moral dan sosial, sehingga istilah hablum min-Allah dan hablun min al-nas merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam istilah lain, aspek ritual atau peribadatan yang
biasanya sangat diutamakan oleh orang-orang Islam sesungguhnya mempunyai kaitan yang
sangat erat dengan aspek moral dan sosial. Keberislaman yang terfokus hanya pada aspek
peribadatan dengan melalaikan aspek sosial dan moral sungguh-sungguh merupakan praktek
keagamaan yang masih jauh dari Islami. Bahkan al-Qur’an mengancam orang-orang yang rajin
bershalat tetapi lalai dalam memperhatikan kaum dhuafa’ dan fuqara’, termasuk anak-anak
yatim, dengan ancaman neraka wayl (api yang sangat dahsyat nyalanya) sebagaimana tercantum
dalam Q.S.al-Ma’un.

Kaum Muslimin Rahimakumullah yang berbahagia. Allahu akbar 3x walillahil Hamdu
Ibadah haji dan qurban yang dewasa ini dilaksanakan oleh umat Islam juga sangat sarat
dengan nilai-nilai sosial dan moral. Ibadah haji di samping menjadi simbol persatuan dan
persaudaraan umat Islam sedunia seperti yang telah disebutkan tadi, juga mengandung aspek
sosial, moral, bahkan etos kehidupan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Haji penuh dengan simbol-simbol yang mengandung makna
yang dalam.
Ihram dengan mengenakan dua helai kain putih tanpa jahit antara lain melambangkan
kembalinya kita ke fitrah, ke posisi semula dari diri kita yang terlahir suci dan tidak memiliki
apa-apa. Dengan ber-ihram, kita menanamkan dalam diri kita nilai-nilai kesucian, nilai
kerendah-hatian, nilai kebersamaan dan kesetaraan dengan setiap manusia dari manapun asalnya
dan apapun status sosialnya. Dengan ber-ihram, kita mengenyahkan sifat-sifat yang mengotori
jiwa kita, menjauhkan sifat-sifat kesombongan dan keangkuhan, membuang jauh-jauh rasa

superioritas yang menganggap diri lebih hebat, lebih pintar, lebih kaya, lebih mulia, dan lebih
dalam segala-galanya dibanding orang lain.
Thawaf di Ka’bah melambangkan spiritualisme yang tinggi, menyimbolkan bahwa
sumbu dari roda kehidupan yang kita lakoni di dunia ini adalah pemilik Ka’bah, Allah swt. Di
situlah kita berputar dalam seluruh dimensi dan aktifitas kehidupan kita sehingga tidak sedikit
pun dari waktu dan kesempatan hidup yang dianugerahkan kepada kita, boleh kita lewatkan
tanpa mengingat-Nya.
Sa’i, yang secara harfiah berarti berusaha dan bekerja, jelas sekali menyimbolkan etos
kerja yang tinggi untuk mencari kehidupan, menggapai kesejahteraan dan kemakmuran di dunia
ini. Ibunda Ismail, Hajar, berlari-lari antara bukit Shafa’ dan Marwah untuk mencari air
kehidupan buat anaknya Ismail yang masih bayi. Kita melestarikan tradisi ini dalam bentuk Sa’i
sebagai simbol dari kerja keras yang harus dimiliki oleh setiap muslim, apalagi mereka yang
sudah haji.
Wuquf di Arafah sebagai puncak ibadah haji menyiratkan kefanaan dan kesementaraan
hidup di dunia. Wuquf yang secara harfiah berarti stop atau berhenti sebentar memberi kesadaran
yang dalam kepada kita bahwa hidup di dunia benar-benar hanya sebentar dan temporer.
Perbandingan waktu di dunia dengan akhirat adalah 1 hari akhirat berbanding 1000 tahun sampai
50.000 tahun di dunia. Itulah sebabnya kita tidak bisa berleha-leha dan menyia-nyiakan
kesempatan berhenti yang hanya sebentar ini guna mempersiapkan bekal berupa investasi akhirat
yang akan dijalani dalam rentang waktu yang amat-amat panjang sehingga dianalogikan sebagai
keabadian (al-khulud), kendatipun yang benar-benar abadi (baqa’) hanyalah Allah SWT.
Wuquf di Arafah juga menyiratkan kepada kita bahwa kita harus senantiasa berusaha
mengenal (makrifat) kepada jati diri kita masing-masing untuk lebih memperteguh makrifat kita
kepada sang Khaliq, Allah SWT. Di sinilah ungkapan yang populer di masyarakat Islam,
khususnya kaum sufi atau mistikus Islam bahwa barangsiapa mengenal jati dirinya maka ia
telah mengenal Tuhannya

(‫(من عرف نفسه فقد عرف ربه‬
Pengenalan kesejatian diri dan pengenalan yang benar mengenai Tuhan Allh SWT, sangat
esensial dalam rangka membentuk pandangan hidup dan tujuan hidup yang pasti bagi setiap
insan muslim. Dengan tujuan dan pandangan hidup yang pasti, setiap muslim dapat mengarungi
kehidupannya di dunia ini dengan penuh ketegaran, optimisme, dan ketenangan batin meskipun
harus menghadapi badai dan ombak yang seringkali ganas dan menakutkan. Kepastian akan
tujuan hidup juga akan menjadi dinamisator dan sekaligus katalisator bagi kehidupan muslim
sehingga ia tidak akan pernah memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan apalagi bersikap
dhalim ketika ia berada pada posisi puncak. Dan sebaliknya ia tidak akan pernah mengalami

pesimisme apalagi putus harapan ketika ia berada pada posisi bawah ataupun ketika diterpa badai
kehidupan.
Dalam kaitan inilah, Al-Qur’an senantiasa memberikan motivasi dan dorongan-dorongan
agar setiap mukmin selalu memandang ke masa depan dengan penuh optimisme sambil bekerja
keras. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

‫ياأيها الذين ءامنوا اتقواالله ولتنظرنفس ماقدمت لغد واتقواالله‬
.‫إن الله خبير بما تعملون‬
Artinya.

Hai orang–orang yang beriman bertawakkallah kamu kepada Allah dan hendaklah sertiap
orang memikirkan apa yang akan diperbuat untuk hari esok (masa depan), dan bertaqwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu perbuat (al-hasyar 18)

Di dalam ayat yang lain Allah berforman:

‫( وأن سعيه سسسوف‬٣٩) ‫وأن ليس لل نسان إل ما سعي‬
(٤٠) ‫يري‬
Artinya:
Sesungguhnya tidak akan ada yang diperoleh mnausia kecuali apa yang telah
diusahakannya sendiri, dan sesungguhnya hasil jerih payahnya pasti akan dilihatnya kelak
(al-An’am 39-40)

Kaum Muslimin Rahimakumullah yang berbahagia. Allahu akbar 3x walillahil Hamdu
Amaliah haji yang juga mempunyai makna yang sangat dalam adalah melontar jumrah di Mina
baik pada Junrah al-Ula; jumrah al-wustha; dan jurah al-aqabah, karena yang menjadi obyek
lemparan para jamaah haji adalah tidak lain adalah simbol Iblis. Syethan, dan setiap bentuk

kejahatahan yang dapat menjerumuskan manusia kepada kesengsaraan duniawi dan ukhrawi.
Termasuk dalam hal ini adalah dorongan doroangan nafsu jahat yang ada dalam diri setiap
manusia.

Kaum Muslimin Rahimakumullah yang berbahagia. Allahu akbar 3x walillahil Hamdu
Ibadah qurban yang juga diwarisi dari Bapak para Nabi Ibrahim as. mengandung nilai-nilai
moral dan sosial yang tinggi. Orang Muslim yang memiliki kemampuan material sangat
dianjurkan memotong hewan kurban sebagai wujud pengabdian dan rasa syukur yang dalam
kepada Allah swt. sekaligus sebagai wujud dari rasa persaudaraan, kebersamaan dan kepedulian
terhadap umat Islam yang kebetukan kurang beruntung. Ketika kita memotong hewan kurban,
aspek ritualnya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Itulah sebabnya ibadah ini disebut qurban
yang berasal dari kata ‫قربان – قرب‬.yang secara harfiah berarti dekat. Oleh karena itu Tuhan
menegaskan dalam firman-Nya bahwa bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah,
akan tetapi ke ikhlasan hati dan ketaqwaan yang ada di dalalm dada itulah yang diterima oleh
Allah. Dalam al-Qur’am Allah berfirman:

.‫لن ينال الله لحومها ول د ما ؤها ولكن يناله التقوى منكم‬
Di sinilah sesungguhnya hakikat qurban yang kita lakukan patut kita renungi kembali, agar kita
tidak terjebak ke dalam rutinitas ibadah, yang kemudian berlalu tampa makna bagi kehidupan
kita kini dan akan datang. Dan semoga dengan peristiwa qurban, kita bisa menjadikan diri kita
menjadi manusia-manusia paripurna menjadi diri yang sesungguhnya.

Kaum Muslimin Rahimakumullah yang berbahagia. Allahu akbar 3x walillahil Hamdu
Jika kita kembali menelusuri apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap anaknya Ismail as.,
bermula dari suatu isyarat mimpi yang benar dari Allah swt. sebagaimana yang dikisahkan dalam
Alquran:

‫فلما بلغ معه السعي قال يابني إني أرى في المنام أننني أذ بحننك‬
‫ قال ياأبت افعل ما تؤمرستجد ني إن شنناء اللننه‬.‫فانظر ماذا ترى‬
.‫من الصبرين‬
Artinya:

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata;” Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Ia menjawab:”Hai Bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar”.
Tidak dapat kita bayangkan betapa goncangnya jiwa Ibrahim as. ketika menerima wahyu itu. Ia
mengalami konflik di dalam bathinnya. Siapakah yang lebih disayangi Ismail atau Allah? Ego
atau super-ego? kesenangan, keyakinan, dan perjuangan? Kepatuhannya benar-benar diuji di
puncak kesempurnaan kenabiannya melalui ujian yang ternyata lebih sulit daripada semua
perjuangannyai yang terdahulu. Bila gagal menempuh ujian tersebut, maka kegagalannya ibarat
kejatuhan dari puncak tertingrgi, padahal kejatuhan dari puncak yang paling tinggi adalah
kejatuhan yang paling mencelakakan dan paling menyedihkan. Dan ternyata Ibrahim, juga
Islmail as. telah melampaui ujian tersebut dengan gemilang. Firman Allah dalam al-Qur’an surat
Ash Shafaat (37) ayat : 106-107:

‫ وفدينه بذبح عظيم‬,‫ان هذا لهوا لبلئوا المبين‬
Artinya :
(106) Sesungguhnya in benar-benar suatu ujian yang nyata. (107) Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembilahan yang besar.

‫ وللهالحمد‬٣

x ‫اكنبر‬

‫الله‬

Keberhasilan Ibrahim dan Ismail yang gemilang ini sesungguhnya tidak terlepas dari
kesadaran akan makna suatu penyerahan diri dengan menyelami dengan sangat dalam makna
dari ‫راجعون‬
kita kembali).

‫( انالله واناليه‬sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan kepada-Nya

Dengan memahami makna ‫ انالله‬Ibrahim menyadari bahwa walau Ismail ini adalah
puteranya yang sangat ia cintai, ia tidak lebih dari hanya suatu titipan dari Allah dan bukan
miliknya. Sementara itu, Ismail itu, Ismail menyadari pula bahwa ia tidak pernah memiliki
dirinya sendiri serta apapun yang lain dalam kehidupannya. Ia tidak pernah merancang bahkan
uga tidak berniat untuk lahir dan menjadi seorang anak manusia, termasuk menjadi putera
Ibrahim. Ia ada karena Allah Swt, yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada. Dalam
pemahaman yang demikian, berarti pengurbanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail,
hanyalah bersifat pengembalian hak Allah kepada Allah, sebagai aktualisasi atas kesadaran

mereka berdua akan makna
lah kita akan kembali).

‫انالله ونااليه راجعون‬

(sesungguhnya kepada-Nya

Dengan demikian tidak ada sesuatupun yang hilang dari keduanya dengan penyembelihan
hewan qurban, karena memang asalnya mereka tidak memiliki apapun juga tidak terhadap
dirinya sendiri.
Dari pemahaman di atas, berwurban berarti menyerahkan atau menyampaikan sesuatu yang
sementara merupakan milik kita kepada sesuatu, orang, atau kepada Tuhan, yang memang
berhak atas sesuatu itu.
Untuk itulah, ketika Ibrahim menyembeli Islmail, dan Ismail merelakan nyawanya, tidaklah
berarti Ibrahim mengorbankan anaknya, dan Ismail mengorbankan hidupnya, akan tetapi
keduanya mengebalikan hak Allah kepada Allah.
Pengembalian hak itu ditempuh Ibrahim as. dengan cara melepaskan, menaklukkan dan
memusnahkan kepentingan pribadinya, yaitu rasa memiliki anaknya, sementara Ismail as.
menempuh dengan cara menaklukkan rasa memiliki diri sendiri.

‫ وللهالحمد‬٣

x ‫اكنبر‬

‫الله‬

Hadirin yang berbahagia
Rasa memiliki anak, memiliki diri sendiri, hanyalah contoh dari sikap mementingkan diri
sendiri. Di sekitar kita, bahkan pada diri kita sendiri, betapa terdapat banyak contoh dari sikap
mementingkan diri sendiri, baik yang ia sadari maupun yang tidak disadari, seperti obrolan atau
gosip di tengah suatu acara yang semestinya hidmat, membuang sampah di semberang tempat.
Di tengah jalan raya, hanya demi kebersihan kendaraan kita, ugal-ugalan pengemudi kendaraan
di jalan raja, egosentrisme spekulan dollar yang mempermainkan pasar bursa saham, konsentrasi
pedagang, pengusaha atau direktur sebuah perusahaan pada keuntungan sepihak yang merugikan
konseumen, dan bahkan merugikan karyawan karena upah yang tidak naik, egosentrisme
kekuasaan yang phobi terhadap kontrol dan kritik serta tidak memperhatikan nasib rakyat pada
umumnya, ekslusifisme kelompok sosial perburuan simbol-simbol status sosial, pakaian, mobil,
rumah, gaya hidup, karir, pangkat, dan masih banyak lagi dalam kehidupan kita, kehidupan
masyarakat kita.
Bukankah ini semua contoh-contoh konkrit dalam kehidupan kita yang merupakan sifatsifat kebinatangan yang harus kita sembelih dan harus kita qurbankan demi penyatuan dengan
kehendak Allah Swt. sang Pemilik Tunggal diri kita dan jagad raya ini.

Sanggupkan kita menyembeli sifat dan sikap yang tercelah pada diri kita?. Sanggupkah kita
mengurbankan sikap-sikap kita yang banyak mementingkan diri sendiri? Kunci kesanggupan kita
menyembeli sifat-sifat kebinatangan kita terletak pada keadaran ita akan makna pandangan hidup
"Inna lillah wa inna Ilaihi raji’un", beserta dengan aktualisasinya, yaitu perubahan sikap dari
pola hidup memiliki ke pola hidup menjadi.
Jika kita merasa bahagia karena memiliki mobil bagus, rumah yang indah dan mewah,
deposito rupiah/dollar jutaan, kedudukan yang basah, status sosial yang tinggi, berarti kita masih
memiliki dan memilih pola hidup memiliki, dan alangkah rendahnya kita pada berbagai
persoalan bila hati kita diletakkan pada benda-benda yang kita miliki, menyebabkan kita bisa
merasa kecewa saat kita gagal meraih dan mempertahankan kedudukan, marah pada saat yang
kita miliki dirusak atau diambil oleh orang, bermuram durja ketika teman dan keluarga menjauhi.
Bila demikian, betapa kebahagiaan ini kita gantunge pada orang lain, sehingga kebahagiaan itu
sangat ditentukan oleh apa-apa di luar diri kita, dan bukan oleh diri kita sendiri. Sehingga tanpa
kita sadari diri kita jadikan robot iyang sepenuhnya sangat tergantung dan ditentukan oleh
lingkungan dimana kita hidup dan berada.
Untuk inilah Allah dalam Al-Qur’an memperingatkan kepada kita untuk tidak merasa
memiliki karena semua unsur yang kita miliki adalah ujian dan cobaan bagi kita. Seperti firman
Allah Dalam Al-Qur’an surah At Atghaabun ayat 15.

.‫انما اموالكم واولدكم فتنة والله عنده اجر عظيم‬
Artinya:
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allahlah
pahala yang besar

‫ وللهالحمد‬٣

x ‫اكنبر‬

‫الله‬

Hadirin jamaah id yang berbahagia
Seorang yang berpola hidup menjadi, tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi
menggunakan semua itu untuk mengembangkan dirinya, kebahagiaannya tidak terletak pada
benda-benda mati, tetapi pada pengangkatan kualitas hidupnya, baik psikologis maupun spiritual.
Ia bahagia karena ia berhasil menjadi apa yang ia dapat menjadi demi meraih ridha Allah.
Dengan demikian, sungguh betapa relevannya Idul Qurban bila kita mau menggalinya dengan
apa yangr kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kita mengalami hidup sebagai umat yang beragama maupun sebagai warga bangsa untuk
hidup di tengah-tengah kehidupan sejahtera, dalam wadah Indonesia Baru, marilah kita
melakukan penyembelihan qurban yang tidak berhenti pada segi upacara ritualnya saja demi
memuaskan hubungan subjektif kita dengan Tuhan Allah Swt. tetapi dilanjutkan dengan
pencarian hakikatnya, maknanya, dan kemudian kita refleksikan dalam kehidupan kita dalam
keseharian. Dengan merubah pola hidup memiliki kepada pola hidup menjadi, sebagai makna
qurban yang dapat kita gali, betapa banyak sikap dan tindakan mementingkan diri sendiri dapat
kita hindari dan cegah, dan betapa banyak sikap dan tindakan keserakahan dapat kita jauhi,
sehingga kehidupan yang berkeadilan penuh cinta dapat kita realisasikan dalam kehidupan, baik
sebagai umat yang beragama maupun sebagai warga negara.
Jika nilai-nilai haji dan qurban diimpelemtasikan dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara, maka akan terciptalah kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan
ketentraman.
Rusaknya simpul-simpul kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat, yang kemudian
merambah ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian puka rusaknya ekosistem
alam dan lingkungan kehidupan yang mengakibatnya terjadinya banjir, tanah longsor, dan
bencana alam yang lainnya, yang hampir melanda seluruh wilayah nusantara adalah akibat dari
ketidak mampuan menusia menguasai dan mengendalikan sifat kebinatangan yang ada pada
dirinya. Sehingga muncullah sikap penistaan terhadap hak-hak kemanusiaan yang agung,
demikian pula terhadap lingkungan kehidupan, yang kemudian menghancurkan eko sistema
alam.
Dan sebaliknya manakala yang senantiasa dimunculkan hakikat haji dan qurban ke dalam hidup
keseharian dengan penghayatan akan makna qurban (kedekatan) kepada Zat Yang Maha Suci,
secara intensif, akan membuka jalan dalam dirinya bagi nilai-nilai luhur dan suci itu untuk di
internalisasi, sehingga dengannya tumbuhlah manjadi manusia yang sesungguhnya (manusia
yang hakiki), manusia akhlaqi yang luhur, yang meresapi unsur-unsur kualitas Ilahi, bahkan
mengantarkannya berakhlaq dengan akhlaq Allah (al-takhalluqu bi akhlaqillah).
Dengan itu manusia akan mengaktualisasikan diri dalam sikap hidup yang menempatkan diri
sebagai bagian dari kemanusiaan universal, dan dengan nyata ia menunjukkan kepeduliannya
kepada kehidupan manusia yang lain, ia akan senantiasa menjaga dan merajut tali hubungan
yang intensif dengan Allah (hablum minallah), tali hubungan dengan sesama manusia, (hablum
minannaas), serta hubungan serasi terhadap alam dan lingkungan sekitar, sehingga dirinya
kemudian tidak hanya menjadi rahmat bagi sesamanya manusia, tapi juga menjadi rahmat bagi
semesta alam.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan dalam khutbah yang singkat ini, mudah-mudahan
dengan idil Kurban kita pada hari ini, mengantarkan kita menjadi manusia yang hakiki, yang

senantiasa dekat dan dekat kepada Allah sebagaimana hakikat makna qurban itu. Semoga Allah
swt. senantiasa menyertai kita semua. Amin.

‫الله أكبر ‪٧ x‬‬
‫الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسننبحان اللننه بكننرة وأصننيل‪ .‬ل‬
‫إله إل اللننه وحنند ه صنندق وعننده ونصننرعبده وأعزجننند ه وهننزم‬
‫الحزاب وحد ه‪ .‬ل إله إل الله ولنعبد إل إياه مخلصين له الد يننن‪.‬‬
‫ولو كره المشركون‪ .‬ل إلننه إل اللننه واللننه أكننبر‪ .‬أللننه أكننبر وللننه‬
‫الحمد‪.‬‬
‫الحمد لله حمدا كننثيرا كمنناأمر‪.‬أشننهد أن ا إلننه إل اللننه وحنند ه ل‬
‫شريك له‪ ,‬وأشهد أن محمدا عبد ه ورسننوله‪ ,‬أللهننم صننل وسننلم‬
‫على هذاالنبي الكريم سيد نا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعيننن‪.‬‬
‫أما بعد‪.‬‬
‫فياعبنناد اللننه أوصننيكم ونفسننى بتقننوى اللننه فقنند فننازالمتقون‪.‬‬
‫وأحثكم علي طاعة الله ورسوله لعلكم ترحمون‪ .‬قال الله تعالي‬
‫في القران العظيم‪.‬‬
‫إن الله ومل ئكته يصلون على النبي ياأيها الذ ين امنواصلوا عليه‬
‫وسلموا تسليما‪ ,.‬اللهم صل وسلم علي هذاالنبي الكريم سيد نننا‬
‫محمد وعلي أله وصحبه وسلم‪ .‬كما صليت علي إبراهيننم وعلننى‬
‫أل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد‪.‬‬
‫اللهننم اغفننر للمسننلمين والمسننلمات‪ ,‬والمننؤمنين والمؤمنننات ال‬
‫حياء منهم والموات إنك سميع قريب مجيب الد عوات وياقاضنني‬
‫الحاجات‪ .‬يارب العالمين ‪ ,‬اللهم انصر مننن نصننر النندين واحننذ ل‬
‫من حذ ل السلمين‪ .‬وأجعل اللهم بلد تنا هذه امنة مطمئنة وسائر‬

‫بلدان المسلمين عامة‪ .‬اللهم اجعل عبادة حجاج المسلمين حاجا‬
‫مبرورا‪.‬وسعيا مشكورا وتجارة لن تبورا‪.‬‬
‫اللهم ربنا لتزغ قلوبنا بعد إذهد يتنا وهب لنا من لد نك رحمة إنك‬
‫أنت الوهاب‪ .‬اللهم ربنا اغفر لنا ول خواننا الذ ين النذ ينن سنبقونا‬
‫بال يمان ول تجعل فني قلوبننا غل للنذ ينن أمننوا ربننا إننك غفنور‬
‫رحيم‪ .‬اللهم ربنا أتنا في الد نيا حسنة وفنني ال خننرة حسنننة وقنننا‬
‫عذاب النار‪.‬‬
‫عباد الله‪ ,‬إن الله يننأمركم بالعنندل وال حسننان وإيتنناء ذي القربننى‬
‫وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكننم لعلكننم تننذ كننرون‪.‬‬
‫ولذ كرالله أكبروأعظم‪.‬‬
‫السلم عليكم ورحمة الله وبركاته‪.‬‬