Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren

(1)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

ASPEK IMUNOLOGI STOMATITIS AFTOSA REKUREN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

MOHAMMAD HAIKAL NIM : 050600072

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Penyakit Mulut

2009

Mohammad Haikal

Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren

v + 32 halaman

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) bukanlah penyakit yang baru tetapi merupakan penyakit mulut yang sering dijumpai. Gambaran klinisnya berupa lesi dengan 3 tipe yaitu : SAR tipe mayor, SAR tipe minor dan SAR tipe herpetiform. Dari ketiga tipe tersebut pada kondisi tertentu masing – masing dapat memberikan gambaran klinis yang komplek dan merupakan masalah yang cukup unik dalam pengelolaannya.

Etiologi dari SAR belum diketahui dengan pasti. Terdapat beberapa faktor yang telah diketahui turut berperan dalam timbulnya lesi – lesi SAR. Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, khususnya imunopatologi maka faktor gangguan sistem imun telah banyak dihubungkan sebagai salah satu faktor yang sangat berperan sebagai faktor predisposisi SAR. Imunopatogenesis SAR dapat melibatkan semua komponen sistem imun baik seluler maupun humoral. Pada sistem imun seluler yaitu Sel T dan sitokin, sedangkan pada sistem imun humoral yaitu IgA, IgM dan IgG.

Dengan mengetahui imunopatogenesis SAR pada umumnya dan keseimbangan sistem imun, khususnya pada masing – masing kasus SAR maka dapat diketahui lebih cepat latar


(3)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

belakang faktor pendukung yang berpengaruh. Dengan demikian maka penanganan masalah dan penatalaksanaannya menjadi lebih terarah.


(4)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 2 Juli 2009

Pembimbing : Tanda tangan

Sayuti Hasibuan.drg.,SpPM ………...


(5)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 2 Juli 2009

TIM PENGUJI

KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., SpPM

ANGGOTA : 1. Syuaibah Lubis, drg


(6)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga khusus penulis tujukan kepada ayahanda H. Zulkarnain, drg., M.Kes dan ibunda Aya Sophia yang telah memberikan dukungan, semangat beserta doa kepada penulis.

2. Sayuti Hasibuan, drg., SP.PM selaku dosen pembimbing yang banyak membantu dalam membimbing dan memberi petunjuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Prof. Ismet Danial Nasution, drg., SP.Pros(K)., Ph.D, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Gigi USU, yang memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan Di FKG USU.

4. Wilda Hafni Lubis, drg., Msi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut FKG USU.

5. Prof. Slamat Tarigan, drg., MS. Ph.D, selaku dosen penasehat akademik selama menjalani pendidikan di FKG USU.

6. Seluruh staf pengajar FKG USU yang telah mendidik dan memberikan bimbingan dan ilmu kepada penulis selama masa pendidikan.


(7)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

7. Adik penulis Johan, Rifqi dan Nabila untuk dukungan semangat dan doa yang diberikan.

8. Pak Silalahi, selaku guru bahasa inggris penulis yang banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat – sahabatku : Hanri, Franky, Eko, Ari, Andrew, Mardi, David, Hariyanto, Anwar, Agnes dan Rika untuk semua doanya.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi dan pengembangan ilmu.

Medan, 2 Juli 2009

Penulis.

(Mohammad Haikal) NIM : 050600072


(8)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010. DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 2

1.4 Ruang Lingkup... 3

BAB II DASAR – DASAR SISTEM IMUN 2.1 Pengertian ... 4

2.2 Klasifikasi ... 4

2.2.1 Sistem Imun NonSpesifik ... 5

2.2.2 Sistem Imun Spesifik ... 6

2.3 Antigen dan Antibodi ... 6

2.4 Komplemen... 7

2.5 Sitokin ... 8

2.6 Reaksi Hipersensitivitas ... 9

2.6.1 Tipe I ... 9

2.6.2 Tipe II ... 10

2.6.3 Tipe III ... 11

2.6.4 Tipe IV ... 11

2.6.5 Tipe V ... 12

BAB III STOMATITIS AFTOSA REKUREN 3.1 Pengertian ... 14

3.2 Faktor – faktor Predisposisi ... 14

3.3 Gambaran Klinis ... 15

3.3.1 SAR Tipe Minor ... 16

3.3.2 SAR Tipe Mayor ... 17

3.3.3 SAR Tipe Herpetiform... 18


(9)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

3.5 Perawatan... 19

BAB IV ASPEK IMUNOLOGI SAR 4.1 Sistem Imun Humoral pada SAR ... 23

4.2 Sistem Imun Seluler pada SAR... 25

BAB V KESIMPULAN... 29


(10)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Sistem Imun ... 5

2. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas tipe cepat ... 10

3. Reaksi Tipe II – Sitotoksik ... 10

4. Mekanisme Reaksi Tipe III – Reaksi Kompleks Imun ... 11

5. Reaksi Tipe IV – Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 12

6. Mekanisme Tipe V – Reaksi Hipersensitivitas Stimulatori ... 13

7. Stomatitis Aftosa Minor ... 17

8. Stomatitis Aftosa Mayor di Mukosa Alveolar... 18


(11)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010. BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di kalangan masyarakat terdapat sekelompok orang yang hampir secara rutin mengalami sakit berupa luka – luka didalam mulutnya. Kalangan masyarakat awam menyebutnya dengan nama sariawan atau panas dalam atau pada orang aceh dikenal juga dengan nama kayap. Sedangkan dari kalangan medis penyakit ini dikenal dengan nama Stomatitis Aftosa Rekuren atau SAR.

SAR bukanlah suatu penyakit yang baru, merupakan penyakit mulut yang relatif sering terjadi di masyarakat. Sebenarnya penyakit ini relatif ringan, tidak membahayakan jiwa, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, terutama pada penderita yang selalu berulang kejadiannya. Dari penelitian – penelitian epidemiologi menunjukkan pada umumnya prevalensi SAR berkisar 20 – 60% pada setiap jenis SAR, 1-5 tetapi pada SAR tipe minor berkisar 70 - 90% dibandingkan SAR tipe lainnya.2-3,5-8,11

Sampai saat ini, etiologi yang dari SAR belum diketahui dengan pasti.4,6-7,9-11 Tetapi, para ahli mengatakan terdapat beberapa faktor yang telah diketahui turut berperan dalam timbulnya lesi – lesi SAR. Faktor – faktor tersebut terdiri dari : trauma, herediter, infeksi bakteri dan virus, psikologi atau emosi, gangguan sistem imun, hipersensitif atau alergi, hormonal, penyakit gastrointestinal dan penyakit darah.Dari faktor – faktor tersebut, faktor gangguan sistem imun telah banyak dihubungkan sebagai salah satu faktor yang sangat berperan sebagai faktor predisposisi SAR.1-3,7-8,10-14


(12)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Akhir – akhir ini perkembangan ilmu kedokteran gigi berkembang dengan sangat pesat. Banyak para ahli kedokteran gigi menjelaskan pathogenesis penyakit yang ditinjau dari sudut imunologi.1,6-7,9,11-12,14-16 Begitu juga dengan SAR, telah banyak para peneliti dan ahli yang berlomba – lomba meneliti melalui sistem imun. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat pesat di bidang kedokteran gigi.

Menurut Bazrafshani MR, Hajeer AH, Ollier WER, Thornhill MH, terdapat pengaruh dari IL-1 dan IL-6 terhadap resiko terjadinya stomatitis aftosa rekuren.6 Menurut Martinez KDO, Mendez LL, Alves JB, pada stomatitis aftosa rekuren terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva.9 Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki E, Markopouls AK, Kalogerakou F, dan Antoniades DZ, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita stomatitis aftosa rekuren.12

Pada tulisan ini penulis ingin memaparkan pemahaman tentang sistem imun didalam rongga mulut, baik pada keadaan normal maupun saat terjadi kelainan, karena hal ini sangat diperlukan atau membantu dalam penelitian, pencegahan dan pengobatan penyakit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu bagaimana mekanisme imunologi dari stomatitis aftosa rekuren ?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan mekanisme imunologi dari stomatitis aftosa rekuren.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai aspek imunologi dari stomatitis aftosa rekuren terutama bagi dokter gigi dan mahasiswa kedokteran


(13)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

gigi, agar dapat membantu dalam merencanakan perawatan penyakit tersebut, sehingga dokter gigi dapat menjadi tenaga terdepan dalam mendeteksi penyakit stomatitis aftosa rekuren melalui sistem imunnya.

1.4 Ruang Lingkup

Skripsi ini menjelaskan mengenai sistem imun, stomatitis aftosa rekuren dan aspek imunologi dari stomatitis aftosa rekuren. Pada sistem imunnya akan dijelaskan mengenai pengertian, klasifikasi, antigen dan antibodi, sitokin, komplemen, dan reaksi hipersensitivitas.15,17-22 Pada stomatitis aftosa rekuren akan dijelaskan mengenai pengertian, faktor – faktor predisposisi, gambaran klinis, diagnosa dan perawatan.1-5,7,10-11,13-14 Pada aspek imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren akan dijelaskan mengenai patogenese dan sel – sel yang terlibat.


(14)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010. BAB II

DASAR – DASAR SISTEM IMUN

Dalam menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat dikelompokkan menjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara pasif.15

2.1 Pengertian

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun dan reaksi yang dikoordinasi sel – sel dan molekul – molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.17

2.2 Klasifikasi

Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Untuk memudahkan dalam membedakan maka akan dipakai istilah spesifik dan non spesifik..15,17


(15)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 1. Sistem imun.17

NK = Natural Killer ; CTL/Tc = Cytotoxic T Lymphocyte/T cytotoxic/T cytolytic Ts = T supresor ; Tr = T regulator

2.2.1 Sistem imun non spesifik

Mekanisme fisiologik imunitas non spesifik berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.17

SISTEM IMUN

NON SPESIFIK SPESIFIK

FISIK LARUT SELULER HUMORAL SELULER

- Kulit

- Selaput lendir - Silia - Batuk - Bersin Biokimia : - Lisozim - Sekresi sebaseus - Asam lambung - Laktoferin - Asam neuraminik Humoral : - Komplemen - Interferon - CRP - Fagosit * Momonuklear *Polimorfonuklear - Sel NK

- Sel mast - Basofil

Sel B - Ig D - Ig M - Ig G - Ig E - Ig A

Sel T - Th 1 - Th 2 - Ts/Tr/Th 3 - Tdth - CTL/Tc


(16)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Pertahanan sistem imun non spesifik terbagi dari pertahanan humoral dan pertahanan selular. Pertahanan humoral non spesifik terdiri dari komplemen, interferon, C – Reactive Protein (CRP). Sedangkan pertahanan selular non spesifik terdiri dari fagosit, makrofag, sel NK, sel mast.17

2.2.2 Sistem imun spesifik

Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik.15,17

Pertahanan sistem imun spesifik terdiri dari pertahan humoral dan pertahanan selular. Pada pertahanan humoral spesifik terdiri dari sel B yang terbagi lagi yaitu IgD, IgM, IgG, IgE, dan IgA. Sedangkan pertahanan selular spesifik terdiri dari sel T yang terbagi lagi yaitu Th1, Th2, Ts/Tr/Th3, Tdth, dan CTL/Tc.17

2.3 Antigen dan antibodi

Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk merangsang produksi antibodi.17,22 Antigen biasanya protein atau polisakarida tetapi dapat juga berupa molekul lainnya, termasuk molekul kecil dipasangkan ke protein pembawa.22


(17)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Determinan antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi, dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi.17

Antibodi adalah protein yang dapat ditemukan pada darah atau kelenjar tubuh, dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda asing seperti bakteri dan virus.21

Bila darah dibiarkan membeku akan meninggalkan serum yang mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut mengandung molekul antibodi yang digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai imunoglobulin. Imunoglobulin terdiri dari IgD, IgM, IgG, IgE, dan IgA.15

2.4 Komplemen

Komplemen meliputi protein serum dan protein terikat selaput yang fungsi keduanya merupakan sistem pertahanan inang yang didapat dan alami. Protein ini sangat teratur dan berinteraksi melalui suatu rangkaian tangga proteolitik. Istilah komplemen mengacu pada kemampuan protein ini untuk melengkapi yakni memperbesar efek senyawa lain pada sistem imun. Dalam keadaan normal komponen-komponen komplemen terdapat didalam serum dalam keadaan inaktif, yang dinyatakan dalam huruf C (C=complement) diikuti dengan angka, misalnya C1, C2, C3, C4, hingga C9.17

Aktifasi komplemen dapat melalui 2 jalur yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Caranya ialah dengan dilepaskannya sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein tersebut (pro enzim) yang


(18)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

tidak aktif menjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit theory.17

Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran). Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan lisisnya dinding sel antigen.17

Fungsi dari komplemen yaitu berperan dalam proses inflamasi, kemokin, fagositosis – opsonin, adherens imun, eliminasi kompleks imun, lisis osmotic bakteri, dan aktivitas sitolitik.15,17

2.5 Sitokin

Istilah sitokin yang juga disebut limfokin pertama kali digunakan pada tahun 1960 untuk

golongan protein yang diproduksi limfosit yang diaktifkan pada respon imun selular. Sekarang ternyata bahwa limfokin selain diproduksi limfosit T dan B juga oleh sel – sel lain seperti makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel dan epitel.17

Sitokin adalah mediator yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara sel – sel untuk mengatur respon setempat dan kadang – kadang juga secara sistemik.18

Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung yaitu lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel, autoregulasi, terhadap sel yang letaknya tidak jauh.


(19)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Sedangkan efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama dengan sitokin lain dalam merangsang sel, mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin.17

Pada sistem imun, sitokin terbagi 2 yaitu sitokin pada imunitas nonspesifik dan sitokin pada imunitas spesifik. Sitokin yang terdapat pada imunitas spesifik yaitu TNF, IL-1, Kemokin, IL-12, IFN , IFN , IL-10, IL-6, IL15 dan IL-18. Sedangkan sitokin pada imunitas spesifik yaitu IL-2, IL-4, IL-5, IFN , TGF- , Limfotoksin dan IL-13.17

2.6 Reaksi hipersensitifitas

Sistem imunitas spesifik bak pisau bermata dua, disatu pihak merupakan sistem pertahanan tubuh, dilain pihak dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Efek sampingnya dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas. Hipersensitifitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.15,17,18,19 Reaksi hipersensitifitas terbagi atas 5 tipe.15

2.6.1 Tipe I – Reaksi anafilaktik

Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat / anafilaksi,15,17,18,19 disebabkan reaksi antigen dengan IgE yang terikat pada sel mast atau basofil di dalam sirkulasi melalui region Fc. Akibatnya akan terjadi degranulasi dan penglepasan bahan – bahan vasoaktif yang akan bertindak sebagai mediator reaksi hipersensitifitas tipe cepat.15


(20)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 2. Mekanisme reaksi hipersensitifitas tipe cepat.15

2.6.2 Tipe II – Reaksi sitotoksik

Reaksi tipe II merupakan reaksi hipersensitifitas sitotoksik yang tergantung antibodi.15,17,18,19 Reaksi ini terjadi karena antibodi yang dalam keadaan bebas bereaksi dengan antigen yang berada dipermukaan sel atau jaringan. Antigennya dapat berupa bagian dari sel atau jaringan dan dapat pula diabsorpsi dari luar sehingga melekat pada sel atau jaringan tersebut. Lisisnya sel bukan hanya karena aktivasi komplemen tetapi juga oleh sel fagositik, mieloid, dan sel K. Kotak penghancuran sel target melalui antibody-dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC).15


(21)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

2.6.3 Tipe III – Reaksi kompleks imun

Terbentuknya kompleks antigen – antibodi akan menginduksi reaksi tipe III melalui aktifitas sistem komplemen dan agregasi platelet dengan konsekuensi timbulnya berbagai aktifitas biologik yang akan menimbulkan kerusakan jaringan. Organ tubuh tempat deposisi kompleks imun, akan mengalami inflamasi akut.15

Gambar 4. Mekanisme reaksi tipe III-Reaksi kompleks imun.15

2.6.4 Tipe IV – Reaksi hipersensitifitas tipe lambat

Bentuk reaksi hipersensitifitas tipe lambat,15,17-18 terlihat pada berbagai reaksi alergi terhadap bakteri, virus, jamur, atau pada dermatitis kontak akibat bahan kimia sederhana, reaksi tolakan jaringan transplantasi, dan gigitan serangga. Smallpox, measles, dan lesi herpes simplex pada kulit, berkaitan dengan reaksi alergi tipe lambat dengan kerusakan yang ekstensif karena sitotoksisitas limfosit – T terhadap sel yang terinfeksi virus. Reaksi tipe IV ini juga terlihat pada penyakit jamur kandidiasis.15


(22)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 5. Reaksi tipe IV- Hipersensitivitas tipe lambat.15

2.6.5 Tipe V – Reaksi hipersensitifitas stimulatori

Antibodi yang tidak memfiksasi komplemen terhadap komponen – komponen permukaan sel tertentu, biasanya tidak menghancurkan tetapi akan menstimulasi sel tersebut. Pada reaksi tipe ini, antibodi bereaksi dengan komponen permukaan kunci seperti reseptor hormon atau switches on sel. Banyak sel yang menerima instruksi oleh bahan – bahan seperti hormon melalui reseptor yang khusus untuk mengikat bahan eksternal tersebut. Kombinasi ini akan menyebabkan perubahan alosterik konfigurasi reseptor atau molekul yang berdekatan sehingga mengaktifkan sinyal ke dalam sel.15


(23)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 6. Mekanisme tipe V-Reaksi hipersensitivitas stimulatori.15

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, sistem imun diperlukan dalam membantu dalam mengatasi penyakit.


(24)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010. BAB III

STOMATITIS AFTOSA REKUREN

SAR merupakan radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, serta palatum dalam rongga mulut. Meskipun tidak tergolong berbahaya, namun sariawan sangat mengganggu.7-8

3.1 Pengertian

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan ulser yang terjadi berulang – ulang pada mukosa mulut tanpa adanya tanda – tanda suatu penyakit.3,7,13 Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang – orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu.23 Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan gejala klinis yang sama.3

3.2 Faktor – faktor Predisposisi

Sampai saat ini, etiologi yang pasti dari SAR belum diketahui dengan pasti. 4,6-7,9-11 Tetapi, para ahli mengatakan terdapat beberapa faktor yang turut berperan dalam timbulnya lesi – lesi SAR. Faktor – faktor tersebut terdiri dari : herediter, infeksi bakteri dan virus, psikologi atau emosi, gangguan hipersensitif atau alergi, hormonal contohnya premenstruasi dan menopouse, penyakit gastrointestinal contohnya penyakit kolon, penyakit darah contohnya defisiensi Fe, defisiensi B12 dan defisiensi asam folat, dan gangguan sistem imun yang sampai sekarang belum juga diketahui penyebabnya. Dari faktor – faktor tersebut, gangguan sistem imun


(25)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

telah banyak dihubungkan sebagai salah satu faktor yang sangat berperan sebagai faktor predisposisi SAR. 1-3,7-8,10-14

Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR.6 Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva.9 Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.12

3.3 Gambaran Klinis

Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode diagnosa laboratorium yang spesifik yang dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR diawali gejala prodormal yang dilukiskan / digambarkan sebagai rasa sakit, rasa terbakar atau tertusuk – tusuk 24 – 48 jam sebelum terjadi ulser.

Selanjutnya, Stanley telah membagi karakter klinis dari SAR kepada 4 tahap yaitu premonitori, pre-ulseratif, ulseratif dan penyembuhan. Tahap premonitori terjadi pada pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel – sel mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan oedema akan mulai berkembang.25

Tahap pre-ulserasi terjadi pada 18 – 72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematous. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap preulserasi ini. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini papula – papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.25


(26)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Tahap penyembuhan terjadi pada hari ke – 4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan selalu tidak meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Oleh karena itu, semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.25 Berdasarkan gambaran klinisnya Stomatitis Aftosa Rekuren dibagi dalan 3 tipe yaitu SAR tipe minor, SAR tipe mayor dan SAR tipe herpetiform.2-3,7,11,13

3.3.1 SAR Tipe Minor

SAR tipe minor adalah penyakit yang paling sering ditemui, sekitar 70 sampai 90 persen dibandingkan tipe SAR yang lainnya. 2-3,5-8,11 Pada stadium awal SAR tipe minor timbul rasa sakit dan terbakar pada mukosa 1 sampai 2 hari sebelum ulser terlihat. Kadang – kadang dapat diketahui adanya vesikel. Epitelium hilang dan dalam beberapa jam terlihat papula kecil berwarna putih. Dalam 2 sampai 3 hari terjadi ulserasi yang berangsur – angsur membesar dengan rasa yang sangat sakit, terutama jika terkena lidah, rangsangan, atau makanan. Pasien mengalami demam ringan, kelenjar limpa dan malaise. Lesi bentuknya bundar atau oval dengan diameter < 1 cm. Permukaan abu – abu sampai kuning. Tepi lesi dikelilingi jaringan eritematous menggembung dengan lesi yang dangkal. Jumlah lesi 2 sampai 6 dan kadang – kadang bisa sampai 8. Lokasi biasanya di daerah mukosa bukal, dasar mulut, dan lidah. Penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa hari sampai 2 minggu tanpa meninggalkan jaringan parut.2-3,7,11


(27)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 7. Stomatitis Aftosa Minor.17 3.3.2 SAR Tipe Mayor

Stomatitis tipe ini disebut juga Recurrent Scarring Aphthous Ulser, kira – kira berkisar 10 sampai 15 persen dari kasus SAR adalah stomatitis aftosa tipe mayor.11 Pada stadium permulaan berupa nodul atau plak yang kecil, lunak, merah dan sakit yang jika pecah akan menjadi ulser yang sangat sakit. Lesi > 1 cm dan dapat mencapai hingga 5 cm. Tepi lesinya meninggi dan erythematous. Lesi berbentuk kawah warna abu – abu dan keras jika di palpasi. Tipe ini sering diragukan dengan squamus karsinoma. Masa penyembuhannya sekitar 3 – 6 minggu. Lesi yang sembuh akan meninggalkan parut.2-3,7,11


(28)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 8. Stomatitis Aftosa Mayor di mukosa alveolar.17 3.3.3 SAR Tipe Herpetiform

Stomatitis tipe ini sangat jarang terjadi, biasanya sekitar 5 – 10 persen dari kasus SAR yang terjadi. Ukurannya lebih kecil, sebesar ujung peniti dan dapat terbentuk berkelompok -kelompok bahkan dapat terbentuk 30 buah sekaligus pada mulut. Selain ukurannya yang kecil, sariawan juga terasa sangat sakit dan dapat membuat mulut penderita terasa sangat tidak enak karena jumlahnya yang banyak dan dapat mencapai 50 sampai 100. Permukaannya berwarna abu – abu dan tepinya tidak eritematous.2-3,7,11,13


(29)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Gambar 9. StomatitisAftosa Herpetiform.17 3.4 Diagnosa

Untuk dapat menegakkan diagnosa yang tepat dari SAR dapat dilakukan dengan cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biasanya pada anamnesis pasien akan merasakan sakit pada mulutnya, tempat ulser sering berpindah – pindah dan biasanya kejadiannya selalu berulang. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya sekitar 2 – 6. Pasien biasanya dalam keadaan demam ringan.3,24

3.5 Perawatan

SAR adalah penyakit yang sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Karena penyebab SAR sulit diketahui maka pengobatannya lebih untuk mengobati keluhannya saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan periode bebas penyakit.


(30)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Perawatan terbaik adalah yang akan mengendalikan ulkus untuk waktu selama mungkin dengan efek samping yang minimal. Tujuan perawatan harus ditentukan dengan keparahan penyakit (rasa sakit), riwayat medis pasien, frekuensi rasa sakit diantara kunjungan dan kemampuan pasien untuk mentoleransi pengobatan. Pada pasien dengan SAR, penting untuk menentukan faktor – faktor predisposisi dan merawat faktor – faktor tersebut, kapanpun mungkin dilakukan, sebelum memulai terapi yang lebih spesifik.11

Mungkin merupakan hal yang mengejutkan bahwa sedikit uji klinis terkontrol yang telah dilakukan untuk menentukan perawatan terbaik SAR. Penelitian – penelitian yang ada memperlihatkan bahwa obat kumur klorheksidin glukonat dan kortikosteroid topikal dapat mengurangi keparahan dan durasi ulkus SAR, tetapi tidak mempengaruhi frekuensi kejadian SAR.11

Ulser aftosa biasanya berkaitan dengan keadaan imunologi, sehingga perawatannya mencakup obat – obat yang dapat mengatur atau mengendalikan respon imun. Pada kategori penyakit ini, pemakaian kortokosteroid merupakan pengobatan terbaik yang pernah digunakan. Pada pasien dengan kasus ulser aftosa yang parah, pemberian steroid secara sistemik dapat digunakan, tetapi pada pasien dengan ulser aftosa yang ringan atau sedang, hanya diperlukan terapi / pengobatan secara topikal.1

Steroid topikal, jika digunakan sesuai aturan, secara relatif efektif dan aman dalam perawatan kasus ulser aftosa yang ringan sampai sedang. Walaupun hampir seluruh obat – obatan topikal diaplikasikan pada kulit, tetapi setiap obat topikal secara standar harus dapat diaplikasikan pada membran mukosa. Untuk penggunaan dermatologis, obat topikal (salep) merupakan sediaan obat yang paling efektif karena bahannya dapat menyatu (oklusif) dengan


(31)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

kulit. Secara intraoral, penggunaan salep (obat topikal yang dioleskan) tidak begitu bermanfaat karena ketidakmampuan bahan ini untuk berikatan dengan mukosa membran. Obat topikal dengan sediaan krim dan gel lebih baik / diterima karena lebih mudah diaplikasikan. Namun, bahan sediaan gel dapat mengakibatkan rasa terbakar pada mulut (pada beberapa pasien). Hal ini disebabkan adanya kandungan alkohol pada formulasi bahan gel ini.1

Antibiotik dan antiseptik (khususnya suspensi oral tetrasiklin) telah sering digunakan dalam perawatan ulser aftosa, dengan hasil yang baik. Efeknya secara topikal lebih dominan terjadi dan berkaitan dengan eliminasi dari infeksi sekunder bakteri dari ulser tersebut. Banyak klinisi yang menyatakan bahwa kombinasi suspensi oral tetrasiklin , suspensi oral nystatin, dan dipenhidramin hidroklorida (Benadryl) elixir memiliki keuntungan lebih banyak dibandingkan obat – obat (bahan – bahan) lain yang digunakan sendirian (tidak dikombinasikan).1

Penggunaan steroid secara sistemik diperlukan untuk kondisi ulser aftosa yang parah. Untuk kontrol yang segera dari kasus stomatitis aftosa yang parah, penggunaan Prednison dengan dosis rendah sampai sedang dalam jangka waktu singkat sangat dianjurkan. Dosis inisial yang diberikan adalah 20 – 40 mg/hari dalam waktu 1 minggu yang dilanjutkan dengan setengah dari dosis awal (10 – 20 mg) pada minggu berikutnya. Berhubungan dengan terjadinya sekresi Adrenalin secara normal setiap harinya, yang mana sebanding dengan sekresi 5 – 7 mg Prednison pada pagi hari, maka Prednison harus diminum pada pagi – pagi sekali untuk menstimulasikan (menyeimbangkan) proses fisiologis tubuh dan meminimalisir pengaruh adrenalin pituitary dan meminimalisir efek samping. Pada umumnya kerja steroid yang lambat tidak diperlukan jika perawatan berlangsung kurang dari 4 minggu, karena supresi adrenalin biasanya sedikit (minimal).1


(32)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Penggunaan Imunodulator diperlukan berdasarkan efek – efek imunostimulatornya yang luas. Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR, namun oleh karena efek sampingnya, pemakaian obat ini tidak diindikasikan transfer faktor, colchicine dan gamma globulin telah dinyatakan bermanfaat dalam merawat SAR, tapi masih dibutuhkan penelitian selanjutnya untuk memasukkannya.

Pemberian obat – obatan tertentu ada yang tidak diperbolehkan karena dapat merusak jaringan normal disekeliling luka dan bila pemakaiannya berlebihan maka akan mematikan jaringan dan dapat memperluas luka.2-3,13


(33)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010. BAB IV

ASPEK IMUNOLOGI STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Etiologi SAR hingga kini masih belum jelas diketahui. Penelitian tentang etiologi dan patogenese SAR yang paling memberikan harapan adalah dalam bidang imunologi. Beberapa penelitian telah membukt ikan bahwa perubahan respon imun bertanggung jawab terhadap patogenese dari SAR. Sebagian besar ahli menganggap bahwa mekanisme yang menimbulkan SAR ada yang bersifat humoral dan ada yang bersifat selular.

4.1 Sistem imun humoral pada SAR

Mediator humoral yang paling penting untuk imunitas mukosa adalah sekretori IgA. IgA berfungsi untuk bekerja sama dengan sejumlah mekanisme proteksi, menghasilkan daya tahan yang lebih besar terhadap degradasi proteolitik yang disebabkan oleh imunoglobulin lainnya dan untuk dilokasikan secara khusus di saluran pencernaan dan pernapasan yang berkontak rapat dengan lingkungan dan mencegah pengeluaran antigen dalam jumlah besar dan pembebanan yang berlebihan di sistem imun.9

IgA mewakili imunoglobulin urutan kedua terbanyak dalam serum manusia dan tersebar luas di dalam saliva dalam bentuk diametriknya (IgA) yang lebih baik dalam menahan proteolisis dalam lingkungan seperti mulut.9

Defisiensi IgA adalah defek imun humoral pada manusia dan terutama menyebabkan infeksi gastrointestinal dan respiratori. Jika imunitas mempunyai beberapa efek pengaturan pada


(34)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

perkembangan ulkus rekuren, diharapkan IgA menjadi imunoglobulin yang memberikan proteksi, mempertimbangkan peranannya dalam bagian tubuh lainnya.9

Menurut penelitian Martinez KDO dkk, level dari IgA saliva pada pasien dengan SAR pada waktu lesi insipiren dan akut, regresi dan penyembuhan yang lengkap, menunjukkan peningkatan IgA pada periode akut dan pengurangannya dalam periode regresi dan penyembuhan. Pada beberapa wanita dalam kelompok tersebut level IgA saliva dipengaruhi oleh siklus menstruasi dan tidak terdapat hubungan. Hal ini mengakibatkan korelasi yang tidak dapat diandalkan antara level IgA saliva dan periode menstruasi, bahkan pada mereka yang mempunyai hubungan dengan siklus menstruasi dan ulkus aftosa rekuren.9

Sekretori imunoglobulin A yang terdapat di saliva yang merupakan indikator yang sangat baik untuk status imun mukosa oral. Namun, perbandingan klinis-laboratoris SAR dan mekanisme proteksi lokal yang terlibat mengindikasikan kebutuhan penelitian lebih lanjut, mengingat sedikitnya jumlah makalah yang diterbitkan dan hasil yang bertentangan.9

Selain IgA, pada penelitian beberapa ahli ditemukan penigkatan level imunoglobulin G dan immunoglobulin M.26 IgG dan komplemen bekerja saling membantu sebagai opsonin (memudahkan fagositosis) pada pemusnahan antigen. IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena sel – sel fagosit, monosit, dan makrofag, mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG sehingga dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Opsonin dalam bahasa yunani berarti menyiapkan untuk dimakan. Selanjutnya proses opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit.17


(35)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

IgG juga berperan pada imunitas seluler karena dapat merusak antigen sel melalui interaksi dengan sisitem komplemen atau melalui efek sitolitik sel NK, eosinofil, neutrofil yang semuanya memiliki Fcy-R. 17

Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun primer terhadap kebanyakan antigen dibanding dengan IgG, karena itu kadar IgM yang tinggi dalam darah umbilikus merupakan petunjuk adanya infeksi intrauterin. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator poten antigen.17

4.2 Sistem imunitas selular pada SAR

Imunitas yang paling banyak berperan pada SAR adalah imunitas selular. Limfosit merupakan tipe sel dominan pada lesi SAR. Pada stadium akhir pada lesi berat terlihat dominasi limfosit dan histokit. Telah diketahui bahwa pasien dengan SAR terlihat peningkatan ADCC pada stadium awal penyakit ini. Juga diketahui neutrofil darah perifer berperan penting dalam memfagosit dan mengeliminasi materi antigen atau produk dari jaringan ikat yang rusak pada SAR ketika mengevaluasi fungsi limfosit. Adanya streptokokus sanguis dengan frekuensi tinggi pada daerah lesi dini menjelaskan kemungkinan kuman tersebut ikut berperan serta dalam proses terjadinya SAR. Hal ini menunjang pernyataan adanya reaksi silang mikroba dengan antigen mukosa mulut dan menginduksi respon imun dengan terbentuknya autoantibodi terhadap epitel rongga mulut. Beberapa penelitian menunjukkan ketidakseimbangan fraksi sel T dari darah perifer seperti turunnya sel T limfosit. Persentase yang menurun dari sel CD4 dan CD8 pada darah perifer sudah dijelaskan, tapi hasil ini masih kontroversial.27


(36)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

Pada penelitian Sistig S dkk, ditemukan penurunan yang sangat signifikan pada CD4 pada pasien SAR akut ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selama periode remisi tidak ditemukan perbedaan persentase CD4 pada pasien SAR dengan kontrol. Pada lesi ulseratif, Savage menemukan banyak CD8 supresor / sel sitotoksik dan hanya memiliki sedikit CD4 induksi / helper sel. Hal ini mendukung teori akan reaksi hipersensitifitas yang tertunda sebagai patogenesis SAR.27

Pada masa pra-ulserasi terlihat sel CD4 banyak, sedangkan sel CD8 sedikit, dengan perbandingan CD4 / CD8 = 2 : 1. Pada masa ulserasi CD8 jumlahnya meningkat banyak, sedangkan CD4 hanya sedikit / menurun dengan perbandingan CD4 / CD8 = 1 : 10. Pada waktu penyembuhan CD4 meningkat kembali, dan hanya terdapat sedikit CD8 dengan perbandingan CD4 / CD8 = 10 : 1. Gambaran ini mendukung bahwa limfositotoksisitas berperan pada proses terjadinya lesi SAR dan menunjukkan tidak adanya keseimbangan regulasi sistem kekebalan lokal. Sel T subset dalam hal ini CD4 dan CD8 berperan utama pada tipe serta kekuatan respon sistem kekebalan.29

Walaupun limfosit merupakan sel awal yang menginfiltrasi / masuk ke ulserasi aftosa yang bukan merupakan tipe sel yang terlihat pada destruksi jaringan ikat lokal. Sel PMN dapat menyebabkan rusaknya jaringan ikat, terutama pada penyakit autoimun. Dilaporkan bahwa imunokompleks vaskulitis berperan penting pada patogenesi SAR. Deposit imuno kompleks lokal pada mukosa oral dapat menyebabkan lesi dengan menarik leukosit PMN yang mana berperan melepaskan enzim yang diturunkan jaringan ikat dan menghasilkan ulserasi.27

Penelitian terbaru menyatakan bahwa kemungkinan peranan penting untuk varicella zoster dan sitomegalovirus pada patogenesis SAR. Kemampuan deri sel NK untuk melisis sel


(37)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

yang terinfeksi virus dan peranan pentingnya dalam resistensi sampai virus yang dijelaskan sebelumnya telah diketahui secara luas. Berkenaan dengan fungsi dan fenotip permukaan sel, Sel NK merupakan grup heterogen dari sel. Sel NK memaparkan beberapa tanda non spesifik yang juga muncul pada sel T dan beberapa monosit dan granulosit. Sistig S dkk menemukan bahwa aktivitas Sel NK secara signifikan berkurang pada pasien SAR akut dan pasien dalam periode remisi daripada kelompok kontrol.27

Sitokin merupakan mediator utama dalam respon imun melawan mikroorganisme tumor dan self antigen. Sitokin diproduksi oleh berbagai macam tipe sel termasuk sel T helper tipe 1 dan tipe 2. Umumnya, kedua tipe sitokin disekresikan dari sel T helper, tipe 1 (IL-2, IL-12, IFN ,

dan TNF yang mana diperkirakan mendukung sitokin inflamatori yang menginduksi imunitas

sel penghalang dan tipe 2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL10 dan IL-13) yang mana juga merupakan sitokin antiinflamatori yang menaikkan imunitas humoral dan toleransi. Profil sitokin sangat penting dalam penetapan aktivasi imunitas dan toleransi.12

TNF telah diketahui dapat menginduksi inflamasi oleh karena efeknya pada adhesi sel

endotel dan kemotaksis neutrofil. Peningkatan level serum TNF dari rangsangan PBMC pada pasien SAR telah dilaporkan pada beberapa penelitian.12

Respon imun natural dan profil sitokin pada SAR menunjukkan tipe respon imun mediated oleh sitokin tipe -1. Peningkatan paparan dari sitokin pro inflamatori (TNF , IFN dan IL-2) dari sel PBMC dan mekanisme imunosupresif yang inadekuat pada SAR dapat menyebabkan respon imun berlebihan pada antigen oral. Kenyataan ini dapat memunculkan gejala klinis pada SAR. Peningkatan paparan dari TNF , INF- dan IL-6 pada SAR dapat juga membawa pada maturasi sel epitel oral langerhans dan pada aktivasi sel T selanjutnya. Destruksi


(38)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

jaringan ikat dijelaskan secara kenyataannya bahwa RAS secara potensial mengaktivasi sel sitotoksik yang mana dapat menyebabkan gambaran lesi pada tingkat lokal.12


(39)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010. BAB V

KESIMPULAN

SAR adalah suatu penyakit rekuren yang belum diketahui penyebabnya. Kelainan sistem imun diperkirakan terjadi oleh berbagai faktor, dan kini sebagian besar ahli menyatakan bahwa kelainan sistem imun bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan yang terjadi pada SAR.

Para ahli telah membuktikan bahwa ada kelainan pada sistem humoral dan selular pada pasien yang menderita SAR. Kedua sistem imun tersebut memegang peranan penting dalam terjadinya SAR. Pada sistem imun humoral yang banyak berperan adalah sistem antibody seperti IgA, IgG, dan IgM. Sedangkan pada sistem imun selular yang banyak berperan adalah sel T, sel

NK, sel TNF dan sitokin.

Menurut penelitian sebagian besar ahli sistem imun yang paling banyak berperan dalam terjadinya SAR adalah sistem imun selular. Hal ini terjadinya karena sistem selular memegang peranan penting dalam sistem imunitas di dalam tubuh walaupun sistem imun humoral juga memiliki peranan dalam proses terjadinya SAR.


(40)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

1. Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology : clinical pathologic correlations. Philadelpia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Company., 1989; 46-53.

2. Anonymous. Recurrent aphthous stomatitis

3. Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicines diagnosis and treatment. 10th ed., Philadelpia, London, Mexico City, New York, St. Louis, San Paulo, Sydney: J.B. Lippincott Company., 2004; 63-65.

4. Wiyandono A. Stomatitis aftosa rekuren.

5. Silverman SJr. Mucosal lesions in older adult. J Am Dent Assoc 2007; 138 (1): 41-6. 6. Bazrafshani MR, Hajeer AH, Ollier WER, Thornhill MH. IL-1b and IL-6 gene

polymorphisms encode significant risk for the development of recurrent aphthous stomatitis (ras). Brief Communication: Genes and Immunity 2002; 3: 302-5.

7. Casiglia JM. Aphthous stomatitis

8. Kutcher MJ, Ludlow JB, Samuelson AD, Campbell T, Pusek SN. Evaluation of a bioadhesif device for the management of aphthous ulcers. J Am Dent Assoc 2001; 132 (3): 368-376.

9. Martinez KDO, Mendez LL, Alves JB. Secretory a immunoglobulin, total protein and salivary flow in recurrent aphthous ulceration. Rev Bras Otorrinolaringol 2007; 73 (3): 323-8.


(41)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

10.Anonymous. Tantangan di abad milenium dan perubahan paradigma.

11.Scully C, Gorsky M, Lozada-Nur F. The diagnosis and management of recurrent aphthous stomatitis. J Am Dent Assoc 2003; 134 (2): 200-7.

12.Albanidou-Farmaki E, Markopouls AK, Kalojerakou F, Antoniades DZ. Detection, enumeration and characterization of t helper cells secreting type 1 and type 2 cytokines in patients with recurrent aphthous stomatitis. Tohoku J. Exp. Med 2007; 212: 101-5. 13.Lubis E. Saya kok sering mengalami sariawan?. Harian Analisa 2008.

14.Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH, Wells JV. Basic and clinical immunology. 6th ed., Los Altos, California: Lange Medical Publications., 1987; 692-3.

15.Roeslan BO. Imunologi oral : kelainan di dalam rongga mulut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI., 2002.

16.Roeslan BO. Respon imun di dalam rongga mulut. M I Kedokteran Gigi 2002; 17 (49): 112-128.

17.Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. 6th ed., Jakarta: Balai Penerbit FKUI., 2004; 3-17, 32-90, 92-105, 128-150, 171-190.

18.Subowo. Imunobiologi. Bandung: Penerbit ANGKASA., 1993; 55-9, 167-184, 187-205, 219-232.

19.Samuel. Hipersensitivitas tipe 1 (reaksi alergi).

20.Anonymous. Reaksi hipersensitivitas.


(42)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

21.Anonymous. Antibodi.

22.Anonymous. Antigen.

23.Anonymous. Sariawan. Dentistry News (31 Mei 2007). 24.Anonymous. Sariawan (chanker sores, ulkus aftosa).

25.Roger RS. Recurrent aphthous stomatitis : clinical characteristic and associated systemic disorder. Seminars in Cutaneus Medicine and Surgery 1997; 16 (4); 278 – 283.

26.Robinson NA, Porter SR. Low frequency of anti-endomysial antibodies in recurrent apththous stomatitis. Departement of Oral Medicine University college london United Kingdom 2004; 33 (4).

27.Sistig S et al. Natural immunity in recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol Med 2001.

28.Bazrafshani MR, Hajeer AH, Ollier WER, Thornhill MH. Polymorphism in the il-10 and il-12 gene clutser and risk of developing recurrent aphthous stomatitis. Oral Disease 2003; 9: 287-91.

29.Hadi SSS. Aspek imunologi stomatitis aftosa rekuren. Kumpulan Makalah KPPIKG X 1994.


(1)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

yang terinfeksi virus dan peranan pentingnya dalam resistensi sampai virus yang dijelaskan sebelumnya telah diketahui secara luas. Berkenaan dengan fungsi dan fenotip permukaan sel, Sel NK merupakan grup heterogen dari sel. Sel NK memaparkan beberapa tanda non spesifik yang juga muncul pada sel T dan beberapa monosit dan granulosit. Sistig S dkk menemukan bahwa aktivitas Sel NK secara signifikan berkurang pada pasien SAR akut dan pasien dalam periode remisi daripada kelompok kontrol.27

Sitokin merupakan mediator utama dalam respon imun melawan mikroorganisme tumor dan self antigen. Sitokin diproduksi oleh berbagai macam tipe sel termasuk sel T helper tipe 1 dan tipe 2. Umumnya, kedua tipe sitokin disekresikan dari sel T helper, tipe 1 (IL-2, IL-12, IFN ,

dan TNF yang mana diperkirakan mendukung sitokin inflamatori yang menginduksi imunitas

sel penghalang dan tipe 2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL10 dan IL-13) yang mana juga merupakan sitokin antiinflamatori yang menaikkan imunitas humoral dan toleransi. Profil sitokin sangat penting dalam penetapan aktivasi imunitas dan toleransi.12

TNF telah diketahui dapat menginduksi inflamasi oleh karena efeknya pada adhesi sel

endotel dan kemotaksis neutrofil. Peningkatan level serum TNF dari rangsangan PBMC pada pasien SAR telah dilaporkan pada beberapa penelitian.12

Respon imun natural dan profil sitokin pada SAR menunjukkan tipe respon imun

mediated oleh sitokin tipe -1. Peningkatan paparan dari sitokin pro inflamatori (TNF , IFN dan

IL-2) dari sel PBMC dan mekanisme imunosupresif yang inadekuat pada SAR dapat menyebabkan respon imun berlebihan pada antigen oral. Kenyataan ini dapat memunculkan gejala klinis pada SAR. Peningkatan paparan dari TNF , INF- dan IL-6 pada SAR dapat juga membawa pada maturasi sel epitel oral langerhans dan pada aktivasi sel T selanjutnya. Destruksi


(2)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

jaringan ikat dijelaskan secara kenyataannya bahwa RAS secara potensial mengaktivasi sel sitotoksik yang mana dapat menyebabkan gambaran lesi pada tingkat lokal.12


(3)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

BAB V

KESIMPULAN

SAR adalah suatu penyakit rekuren yang belum diketahui penyebabnya. Kelainan sistem imun diperkirakan terjadi oleh berbagai faktor, dan kini sebagian besar ahli menyatakan bahwa kelainan sistem imun bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan yang terjadi pada SAR.

Para ahli telah membuktikan bahwa ada kelainan pada sistem humoral dan selular pada pasien yang menderita SAR. Kedua sistem imun tersebut memegang peranan penting dalam terjadinya SAR. Pada sistem imun humoral yang banyak berperan adalah sistem antibody seperti IgA, IgG, dan IgM. Sedangkan pada sistem imun selular yang banyak berperan adalah sel T, sel

NK, sel TNF dan sitokin.

Menurut penelitian sebagian besar ahli sistem imun yang paling banyak berperan dalam terjadinya SAR adalah sistem imun selular. Hal ini terjadinya karena sistem selular memegang peranan penting dalam sistem imunitas di dalam tubuh walaupun sistem imun humoral juga memiliki peranan dalam proses terjadinya SAR.


(4)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

1. Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology : clinical pathologic correlations. Philadelpia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Company., 1989; 46-53.

2. Anonymous. Recurrent aphthous stomatitis

3. Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicines diagnosis and treatment. 10th ed., Philadelpia, London, Mexico City, New York, St. Louis, San Paulo, Sydney: J.B. Lippincott Company., 2004; 63-65.

4. Wiyandono A. Stomatitis aftosa rekuren.

5. Silverman SJr. Mucosal lesions in older adult. J Am Dent Assoc 2007; 138 (1): 41-6. 6. Bazrafshani MR, Hajeer AH, Ollier WER, Thornhill MH. IL-1b and IL-6 gene

polymorphisms encode significant risk for the development of recurrent aphthous stomatitis (ras). Brief Communication: Genes and Immunity 2002; 3: 302-5.

7. Casiglia JM. Aphthous stomatitis

8. Kutcher MJ, Ludlow JB, Samuelson AD, Campbell T, Pusek SN. Evaluation of a

bioadhesif device for the management of aphthous ulcers. J Am Dent Assoc 2001; 132

(3): 368-376.

9. Martinez KDO, Mendez LL, Alves JB. Secretory a immunoglobulin, total protein and

salivary flow in recurrent aphthous ulceration. Rev Bras Otorrinolaringol 2007; 73 (3):


(5)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

10. Anonymous. Tantangan di abad milenium dan perubahan paradigma.

11. Scully C, Gorsky M, Lozada-Nur F. The diagnosis and management of recurrent

aphthous stomatitis. J Am Dent Assoc 2003; 134 (2): 200-7.

12. Albanidou-Farmaki E, Markopouls AK, Kalojerakou F, Antoniades DZ. Detection,

enumeration and characterization of t helper cells secreting type 1 and type 2 cytokines in patients with recurrent aphthous stomatitis. Tohoku J. Exp. Med 2007; 212: 101-5.

13. Lubis E. Saya kok sering mengalami sariawan?. Harian Analisa 2008.

14. Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH, Wells JV. Basic and clinical immunology. 6th ed., Los Altos, California: Lange Medical Publications., 1987; 692-3.

15. Roeslan BO. Imunologi oral : kelainan di dalam rongga mulut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI., 2002.

16. Roeslan BO. Respon imun di dalam rongga mulut. M I Kedokteran Gigi 2002; 17 (49): 112-128.

17. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. 6th ed., Jakarta: Balai Penerbit FKUI., 2004; 3-17, 32-90, 92-105, 128-150, 171-190.

18. Subowo. Imunobiologi. Bandung: Penerbit ANGKASA., 1993; 55-9, 167-184, 187-205, 219-232.

19. Samuel. Hipersensitivitas tipe 1 (reaksi alergi).

20. Anonymous. Reaksi hipersensitivitas.


(6)

Mohammad Haikal : Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren, 2010.

21. Anonymous. Antibodi.

22. Anonymous. Antigen.

23. Anonymous. Sariawan. Dentistry News (31 Mei 2007). 24. Anonymous. Sariawan (chanker sores, ulkus aftosa).

25. Roger RS. Recurrent aphthous stomatitis : clinical characteristic and associated systemic

disorder. Seminars in Cutaneus Medicine and Surgery 1997; 16 (4); 278 – 283.

26. Robinson NA, Porter SR. Low frequency of anti-endomysial antibodies in recurrent

apththous stomatitis. Departement of Oral Medicine University college london United

Kingdom 2004; 33 (4).

27. Sistig S et al. Natural immunity in recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol Med 2001.

28. Bazrafshani MR, Hajeer AH, Ollier WER, Thornhill MH. Polymorphism in the il-10 and

il-12 gene clutser and risk of developing recurrent aphthous stomatitis. Oral Disease

2003; 9: 287-91.

29. Hadi SSS. Aspek imunologi stomatitis aftosa rekuren. Kumpulan Makalah KPPIKG X 1994.